Chapter Text
“Hey, hyung. Kau berhasil menghubunginya?” Jungkook menepuk pundak Seokjin yang sedang duduk di ruang tamu apartemennya.
“Belum sama sekali. Dia mematikan telepon genggam dan mengunci apartemennya,” Seokjin menjawab, “Aku akan mencoba meneleponnya lagi, ketika dia menyalakan teleponnya. Kalau dia memutuskan untuk mengacuhkan telepon dariku aku akan meninggalkan voice mail untuknya.”
“Terima kasih, hyung. Aku akan berkeliling kota dan menanyakan warga sekitar,” Jungkook tersenyum ke arah Seokjin lalu mengambil tasnya dari meja ruang tamu dan berlari keluar dari apartemen Seokjin. Seokjin memandanginya dari jauh, rasa familiar menyelimuti pikirannya.
“Ya, hati-hati di jalan.”
[error]
Jungkook tidak bisa mempercayai telinganya sendiri. Apakah yang baru saja ia dengar tidak salah? Sudah sekian banyak orang yang ia tanya, dan semuanya menjawab hal yang sama.
Siapa ya Taehyung?
Taehyung yang mana ya?
Maaf tapi aku tidak mengenalnya, aku rasa.
Jujur saja, Taehyung adalah orang paling berisik dan sangat sosial. Dia berteman dengan hampir seisi kota (dengan jumlah warga yang sedikit, itu mungkin) dan tidak ada yang mengenalnya? Ada apa ini? Jungkook sangat yakin bahwa pasti salah satu dari warga pernah melihat seseorang berambut pirang mencolok di kota ini, semenjak hanya Taehyung yang memilikinya. Tapi tidak ada yang memiliki memori tentangnya. Bahkan namanya saja tidak ada yang tau.
“Kau yakin kau tidak mengenal Taehyung? Um, ini fotonya,” Jungkook menunjukkan foto Taehyung yang selalu ia bawa di dalam tasnya.
“Maaf, tapi aku tidak mengenalnya. Aku turut menyesal aku tidak bisa membantu menemukannya,” orang yang baru saja ia tanya hanya membungkuk sebagai permintaan maaf dan berjalan pergi meninggalkan Jungkook yang kebingungan.
Karena ini tidak normal. Dan yang membuat ini semua lebih gila adalah deja vu yang terus bermunculan.
Terutama kucing putih milik Taehyung.
[error]
“Tsk, kucing Taehyung lagi? Entah kenapa aku merasa kesal ketika melihatnya...” Jungkook mendengar suara Jimin di kejauhan dan dia melihat Jimin bersama kucing putih Taehyung.
“Jimin-hyung!”
“Oh, Jungkook!” Jimin mengalihkan perhatiannya dari kucing itu dan menatap mata cokelat tua Jungkook.
“Hai, Jimin-hyung,” Jungkook tersenyum ramah ke arah Jimin yang membalas dengan senyuman yang sangat cerah.
“Hai! Kau... membuat progres?” Jimin menawarkannya sekaleng soda yang ia terima dengan senang hati.
“Belum, dan kau tahu? Aku punya sebuah berita yang mungkin tidak akan kau percaya,” Jungkook menenggak cairan dingin tersebut. Ia merasa haus setelah berkeliling kota selama hampir satu jam. Ia dan Jimin lalu duduk di atas bangku terdekat di taman tempat mereka berada.
“Tentang bagaimana tidak ada orang yang mengingat Tae? Yap, aku sudah tahu.”
“Jadi itu benar? Tidak ada yang mengingatnya?”
“Sekarang ini hanya kita bertujuh yang mengingat keberadaan seorang Taehyung,” Jimin hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan, lalu meminum jus apelnya.
“Bahkan Namjoon-hyung mencari Taehyung di Naver, bertanya ke teman satu sekolahnya dan bahkan bertanya ke guru-gurunya tapi tidak ada yang mengingatnya,” Jimin melanjutkan, “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi yang pasti ini jauh dari normal.”
“Semuanya menghilang. Akun Kakao Talk miliknya, akun Instagram nya, akun Twitter nya, semuanya menghilang. Seakan-akan ia... tidak pernah ada. Tidak pernah hidup. Tidak pernah diciptakan.”
“Dan–“ Bunyi ringtone yang khas dari telepon Jimin berbunyi, memotong ucapannya. Tampak kontak telepon Hoseok terpampang di layar telepon Jimin, “Oh, telepon dari Hobi-hyung. Sebentar, biar ku angkat,” Jungkook hanya mengangguk sebagai tanda untuk Jimin untuk menjawab teleponnya.
“Hai, hyung. Ada apa? Aku sedang bersama Jungkook sekarang.”
“Jadi, aku mengecek ID Taehyung di database warga kota, dan dia tidak terdaftar. Aku juga pergi ke apartemennya untuk mengecek, dan mengintip ke dalam lewat lubang kunci nya. Dan aku tertangkap basah pemilik apartemennya. Kau tidak akan percaya apa yang wanita tua itu katakan.”
“A-apa yang ia katakan?”
“Dia berkata padaku– oh, maaf aku harus mengakhiri teleponnya. Sebenarnya aku sedang ada di rumah sakit untuk mengecek riwayat kesehatan Taehyung dan susternya sudah memanggilku, dan wajahnya tampak masam. Kita lanjutkan nanti ya. Sampai nanti.”
“Hyung, tunggu sebentar– Ya Tuhan!” Jimin merasa sangat kesal ketika Hoseok mematikan telepon dan dia ingin membanting teleponnya ke tanah.
“Ada apa, hyung?”
“Hobi-hyung hampir memberitahuku sebuah informasi yang sangat penting dan dia memutus teleponnya! Persetan, Hoseok, aku juga ingin membantu!” Dengan frustasi Jimin mengacak-acak rambutnya yang dicat merah muda. Jungkook hanya memandanginya dengan sedikit terkejut, karena Jimin jarang berkata kasar.
“Kita bisa menunggu, hyung.”
“Kita tidak bisa! Aku merasa apabila kita telat sedikit saja, Taehyung akan lepas dari genggaman kita. Aku yakin kita bisa menemukannya, bagaimanapun caranya. Kita pasti bisa menemukan jejaknya, walaupun hanya sebatas sehelai rambutnya.”
“Baiklah, Jimin-hyung. Tapi kita tidak harus bekerja sendiri. Kita harus mempercayai hyung kita. Karena kerja tim menghasilkan hasil yang optimal.”
[error]
Hoseok berjalan di trotoar jalan utama di kotanya. Pikirannya kacau. Dia tidak bisa berpikir dengan rasional. Setelah insiden di rumah sakit, ia merasa semakin gundah. Ia ingin sekali berteriak dan mengeluarkan semua frustasi yang tertahan di hatinya. Dia cukup stress setelah Taehyung menghilang. Di pikirannya hanyalah Taehyung, Taehyung, dan Taehyung. Dia tidak bisa makan dan tidur dengan tenang semenjak Taehyung menghilang. Baginya Taehyung sudah lebih dari sahabat. Taehyung sudah seperti saudara kandung baginya, sudah seperti saudara sedarah. Ia tumbuh besar bersama Taehyung, jadi ketika Taehyung menghilang, tubuhnya seperti di belah menjadi dua, dan belahannya di lempar ke laut.
Sekarang dia juga merasa bersalah terhadap Namjoon. Dia merasa sangat marah ketika suster rumah sakit memberitahunya bahwa Taehyung tidak terdaftar di daftar riwayat kesehatan pasien. Wanita itu juga berkata bahwa mungkin dirinya berhalusinasi, dan bahkan sampai menelepon psikiatris yang sedang bertugas siang itu. Seakan-akan kenangannya akan Taehyung, semua memorinya mengenai adik tidak sedarahnya hanya angan-angan yang ia buat di kepalanya.
Seakan-akan ia adalah orang tidak waras.
Dia sudah hampir menampar wanita itu kalau Namjoon tidak menahannya. Namjoon datang dan menyelesaikan masalahnya untuknya, tetapi ia malah lari dari rumah sakit dan membebankan semuanya ke Namjoon. Dia merasa bersalah karena ialah yang sudah berbuat onar, tetapi Namjoon yang harus membersihkan hasil dari perbuatannya.
Ia sampai pada taman tempat ia biasa bermain dengan Taehyung ketika mereka masih kecil, dan dengan tangan gemetar ia menelepon Namjoon. Ia merasa sudah ditelan oleh penyesalan dan rasa takut, sampai memegang teleponnya untuk menelepon Namjoon saja seperti tidak mampu. Setelah beberapa detik, Namjoon mengangkat teleponnya.
“Halo, Hobi? Kau baik-baik saja? Dimana kau? Hobi jawab aku. Kenapa kau diam saja?”
“A-aku–“ Hoseok merasakan matanya mulai memanas, dan sebutir air mata jatuh ke pipinya. Ia merasa sangat bersyukur bahwa Namjoon selalu ada untuknya, bahkan ketika dia yakin semua petugas di rumah sakit sudah membencinya karena berteriak-teriak seperti binatang liar kepada wanita itu, “Aku di taman yang biasa. Kau mau menjemputku?”
“...apa kau menangis?”
“Sumpah, aku tidak apa-apa. Aku hanya frustasi karena aku tidak bisa menemukan Taehyung. Aku merasa aku gagal sebagai seorang kakak dan aku–“
“Sudahlah, tidak apa-apa. Berhentilah menangis. Aku akan menjemputmu. Dan jangan sekali-sekali kau menyalahkan dirimu lagi karena aku tidak mau mendengar satupun kabar dari Jimin atau Jungkook bahwa kau kena insomnia lagi. Sudah ya, aku matikan teleponnya. Kau diam di tempat!”
Hoseok hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Namjoon. Ia tidak bisa berhenti tersenyum, bahkan setelah Namjoon menutup teleponnya.
Ia sangat bersyukur.
[error]
Seokjin menunggu dengan gelisah di apartemennya. Tidak ada satupun telepon masuk dari keenam anak itu, dan matahari sudah hampir tenggelam. Sudah hampir waktunya makan malam. Ia sudah memasak makanan, dan ia lebihkan sedikit karena mereka berlima gemar mengunjungi apartemennya untuk menyantap hasil masakannya. Sekarang ini, ia merasa sangat khawatir, terutama kepada Yoongi karena dia kadang suka tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Ia takut Yoongi membuat onar lagi dan tertangkap polisi, seperti waktu itu ketika ia tanpa sengaja membakar kios seorang ibu tua dekat rumahnya.
Yoongi adalah seorang pyromaniac. Seokjin telah mencoba berbagai cara untuk menahan hasratnya untuk membakar sesuatu, bahkan ia membawanya ke beberapa psikiater ternama. Tapi tidak ada satupun cara yang berhasil.
Seokjin merasa terkejut ketika seseorang membuka pintu apartemennya dengan keras, dan ia mendapati Yoongi yang tengah berdiri di ambang pintu, terengah-engah. Tampat bekas air mata di pipinya yang merona dan basah dan matanya yang sedikit bengkak dan memerah.
“Yoongi...? Kau tidak apa-apa?”
“Aku membakar kucing Taehyung, hyung.”
Pupil mata Seokjin membesar.
“Apa?”
“Aku membakar kucing Taehyung!”
“Kenapa– kenapa kau melakukan itu?”
“Aku tidak tahan, hyung,” ia kembali menangis, “Aku tidak tahan melihat kucing itu!”
“Kenapa...?”
“Setiap aku melihatnya, aku selalu teringat akan Taehyung. Dan karena itu aku mengingat bagaimana Taehyung tidak ada disini. Aku kesal dan frustasi, hyung. Tidakkah kau juga begitu?”
Seokjin juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia melihat kucing Taehyung di sekitar rumahnya, ia merasakan rasa sakit yang mengganjal di dadanya. Rasa sakit akan kehilangan.
“Aku mengerti, Yoongi,” Seokjin berkata pelan. Dia melangkah maju dan memeluk Yoongi yang menangis di dekapannya, “Kebetulan aku memasak makan malam lebih. Cuci wajahmu dan mari kita makan, ya?”
Yoongi hanya mengangguk dalam diam dan melepaskan dirinya dari pelukan Seokjin. Ia berjalan menuju kamar mandi Seokjin untuk mencuci wajahnya yang basah karena air mata.
Seokjin tidak pernah melihat Yoongi menangis. Seumur hidup, ini pertama kali. Dan ia mengerti perasaan hancur yang dirasakan Yoongi ketika ia membakar kucing itu. Ia merasa terkekang dalam perasaan menyesal yang ia rasakan demi menuju kebebasannya. Yoongi ingin bebas dari memori akan Taehyung, karena itu mengekangnya, tetapi rasa penyesalan yang ia rasakan ketika ia berhasil memusnahkan salah satu bukti bahwa Taehyung pernah hidup mengekangnya lebih kuat. Tetapi itu terlihat egois. Membunuh hewan tidak berdosa karena keinginan ita untuk bebas adalah hal yang salah, tetapi di saat yang sama merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan. Dan hati nurani Yoongi membuatnya terkekang dalam penyesalan.
Seokjin takut suatu saat Yoongi sendirilah penyebab kehancuran dirinya.
[error]
Namjoon sudah mengantar Hoseok pulang. Dia terlihat sangat lelah, jadi Namjoon berharap insomnianya tidak akan menyerang malam ini. Dalam perjalanan pulang di dalam mobil pick-up miliknya, ia berpikir.
Namjoon merasa bahwa hilangnya Taehyung suatu saat akan menghancurkan mereka sendiri. Setelah menerima pesan dari Seokjin mengenai Yoongi, ia mengerti. Yoongi telah jatuh di dalam lubang penyesalan tanpa dasar, dimana ia akan terus jatuh. Mungkin membunuh kucing terlihat sepele, tetapi fakta bahwa kucing itu adalah salah satu peninggalan Tae membuat semuanya lebih rumit. Namjoon juga merasa rasa sakit yang sama ketika melihat kucing itu, membuatnya enggan bertatapan dengan kucing itu.
Hal ini membuatnya semakin yakin bahwa melupakan Taehyung adalah jalan yang paling benar. Itu terlihat sangat egois karena ia ingin melupakan Taehyung untuk menyelamatkannya dari kehancuran dirinya sendiri. Ia tidak mau termakan penyesalan seperti Hoseok dan Yoongi. Ia takut Hoseok akan kembali ke insomnianya yang dulu, dan pyromaniac Yoongi akan menjadi lebih parah. Semakin lama mereka bergelut dalam kesedihan akan kepergian Taehyung, semakin dalam mereka menenggelamkan mereka sendiri ke dalam kehancuran.
Ini adalah kesimpulan yang bahkan Namjoon sendiri tidak tahu dari mana ia dapat. Ia hanya merasa seakan-akan ia pernah mengalami ini sebelumnya, yang membuat ia yakin dalam mengambil kesimpulan dan keputusan.
Mereka harus melupakan Taehyung.
Bagaimanapun caranya.
Namjoon memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Waktu menunjukkan pukul 11.59 PM. Namjoon menghela napas, berharap keesokan harinya Taehyung dapat ditemukan. Ia sudah ikhlas untuk melupakan Taehyung.
Di waktu yang sama, di apartemennya Seokjin sedang membaca buku jurnalnya yang ia buat bersama Taehyung di atas kasur. Yoongi sudah tertidur pulas di sofa ruang tamunya.
Seokjin memandang buku jurnal itu dengan perasaan sedih.
“Tae, kalau memang kau ingin pergi, pergilah. Aku akan merelakanmu. Tapi jangan lupakan kami,” bisiknya pelan ke keheningan malam.
Tepat ketika jarum panjang menyentuh angka dua belas, Seokjin merasakan rasa sakit yang hebat di kepalanya, dan berakhir dengan perasaan kosong yang tidak bisa hilang.
Ketika ia melihat buku jurnal yang ada di atas pahanya, dia mengernyit.
“...siapa Taehyung?”
Perasaan familiar yang sama.
[404]
Hyung
Sudah hampir 3 bulan sejak kepergianmu.
Satu persatu dari kami mulai kehilangan memori tentangmu.
Pertama Jin-hyung, lalu Namjoon-hyung dan seterusnya.
Tadi malam, Jimin datang ke rumahku dan menangis.
Ia bilang ia tidak ingin melupakanmu.
Ia tidak bisa membayangkan sebuah kehidupan tanpa ada dirimu di dalamnya.
Aku menemaninya sampai malam, memeluknya.
Tapi, ia tidur dengan senyum.
Seakan-akan ia sudah merasa tenang.
Mungkinkah ia sudah tenang akan kepergianmu?
Sudah merelakanmu?
Dan keeseokan paginya, aku terbangun dari tidur, dan ia sedang melihat-melihat foto-foto yang kupajang di dinding kamarku.
“Siapa orang berambut pirang itu?”
Aku adalah orang terakhir yang mengingat keberadaan akan dirimu.
Bagiku juga sulit untuk menerima fakta bahwa besok pagi aku akan kehilangan kenangan tentang dirimu, dan mungkin akan membuang semua memori bersamamu ke dalam tong sampah.
Aku takut, hyung.
Jujur aku takut.
Aku takut aku akan kehilanganmu.
Taehyung-hyung.
Maafkan aku.
Jungkook mengakhiri surat untuk Taehyung dengan derai air mata. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia akan melupakan Taehyung, mau tidak mau.
“Hyung, aku benar-benar minta maaf."
[not]
Hai, diari.
Sudah hampir 2 bulan sejak kutemukan sebuah surat yang kubuat untuk seseorang bernama ‘Taehyung’ yang tidak bisa kuingat. Aku merasa bahwa tidak seharusnya aku membuang surat itu walaupun aku sangat bingung (tentu saja), karena aku merasa bahwa itu adalah petunjuk tentang seseorang berambut pirang yang selalu ada di foto kami berenam. Aku hanya berharap aku bisa menemukan jawaban tentang orang berambut pirang itu, karena setiap aku melihatnya di foto, aku selalu merasa kosong.
Jungkook
Jungkook dengan cepat menutup diarinya karena takut ketahuan teman satu sekolahnya bahwa ia menulis diari. Ia melihat jam tangannya dan terkejut ketika melihat bahwa ia hampir terlambat. Dia berlari dengan cepat ke kelasnya, dan sampai tepat waktu, walaupun wali kelasnya sudah memasuki kelas.
“Ah, Jungkook. Cepat duduk di kursimu karena kita kedatangan murid baru hari ini,” wali kelasnya mempersilahkannya untuk duduk.
Jungkook duduk di kursinya di saat yang sama ketika si anak baru masuk ke kelas.
Rambut pirang yang familiar.
“Perkenalkan, namaku Kim Taehyung.”
Dan juga perasaan yang familiar.
[found]
Chapter 2: Penjelasan
Chapter Text
Taehyung adalah seseorang yang melambangkan paradoks. Paradoks adalah sesuatu yang baik tetapi juga buruk, sesuatu yang buruk tetapi juga baik. Keberadaan Taehyung adalah untuk kehancuran mereka. Taehyung datang dan membuat memori bersama mereka, tetapi akan selalu meninggalkan mereka di akhir. Ia melakukan itu agar mereka mencapai kedewasaan mereka dengan rasa sakit akan kehilangan.
Setiap mereka rela untuk melupakan Taehyung, mereka akan semakin mencapai kedewasaan mereka. Taehyung akan terus kembali ke dalam kehidupan mereka sampai mereka mencapai titik kedewasaan. Mereka mencapai kedewasaan ditandai dengan dibunuhnya kucing putih milik Taehyung. Itu berarti mereka sudah dapat membedakan apa yang baik dan benar, sudah dapat mengorbankan hal untuk diri mereka sendiri dan membuat keputusan yang sulit. Apa yang baik dan buruk bagi seseorang berbeda-beda, karena kedewasaan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menentukan apa yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri.
Ketika mereka sudah mencapai kedewasaan, ‘paradoks’ Taehyung tidak akan kembali lagi karena ia sudah menyelesaikan tugasnya, tetapi Taehyung akan lahir kembali sebagai manusia biasa. Memori Taehyung juga di reset sehingga ia tidak akan ingat masa-masa ketika ia masih menjadi sebuah 'paradoks,.
Mereka berenam merasa familiar saat Taehyung hilang karena mereka pernah mengalami hal yang sama dulu ketika mereka masih lebih muda dan kekanakan.
Cerpen ini terinspirasi dari buku novel Demian karya Herman Hesse dimana novel ini menceritakan perjalanan tokoh utama, Sinclair, menuju kedewasaan yang dibantu oleh sahabatnya, Demian, dimana Demian melambangkan paradoks.
Notes:
You can ask me anything about the explanation (if you are still a little confused about what concept I am going for here) in the comment below! Thanks for reading my story, kudos and comments will be very appreciated!
Stay tune for more of my works, see you next time~
aaiza (Guest) on Chapter 1 Mon 01 Mar 2021 03:44PM UTC
Comment Actions
Misaki_Younna on Chapter 2 Mon 03 Sep 2018 11:12AM UTC
Comment Actions
Misaki_Younna on Chapter 2 Mon 03 Sep 2018 11:12AM UTC
Comment Actions
chiisanz on Chapter 2 Mon 11 Feb 2019 05:39AM UTC
Comment Actions
hanseul on Chapter 2 Fri 08 Feb 2019 09:11AM UTC
Comment Actions