Chapter 1: Hyungwon-aid
Chapter Text
Tentu saja Minhyuk berlari meninggalkan Kihyun, alias teman kencannya untuk pesta malam ini yang sudah susah-payah ia ajak setelah jutaan kali berlatih bersama Changkyun kiat-kiat mengajak orang yang kausuka, agar dapat datang ke pesta bersamamu; tetapi, lima menit yang lalu, ia melihat seseorang dengan tubuh yang lebih besar dari siapa pun malam itu tengah mengalungkan lengannya di pinggang Kihyun, kemudian membisikkan sesuatu tepat di telinganya. Kihyun terkekeh kecil, kemudian mereka bercumbu, kemudian Minhyuk merasa ia adalah manusia paling bodoh, paling tolol, paling payah, di seluruh jagad raya ini.
Ponselnya terus bergetar menampilkan kontak Changkyun sebagai pemanggil. Temannya yang satu itu mungkin sedang kebingungan mencari di mana Minhyuk berada ketika ia putar-balik begitu saja setelah melihat Kihyun dicumbu oleh si populer Hyunwoo di pinggir kolam renang.
Oh, tentu saja. Siapa pula itu Lee Minhyuk. Jika ia adalah Kihyun, Minhyuk juga akan memilih tidur bersama Hyunwoo. Lelaki itu sasaran seluruh mahasiswa-mahasiswi di kampusnya. Ia begitu populer dan disukai oleh para dosen, sedangkan Minhyuk hanyalah ketua klub radio yang kerjaannya berbicara panjang-lebar di depan mikrofon. Mana pula radio mereka didengarkan oleh penghuni kampus, justru ruangan klub mereka lebih sering dijadikan alat pengumuman darurat jika ada sesuatu terjadi di kampus mereka, misalnya ketika Changkyun dan anak-anak dari klub sains tiba-tiba meledakkan cairan kimia mereka.
Minhyuk menatap refleksi wajahnya sendiri pada cermin wastafel di depan—oh, betapa berantakannya. Hancur sekali, tetapi rasanya ia sudah biasa disepelekan. Beberapa orang sebelum Kihyun sudah pernah membuatnya berada di posisi ini; posisi di mana ia hanyalah serpihan daun kering pada musim gugur, yang disapu, ditumpuk sampai tinggi, lalu dibakar dalam sebuah tungku yang tertutup; sebegitu tidak berharganya ia.
Setelah menghela beberapa kali, ia akhirnya mengangkat panggilan Changkyun.
“Halo—astaga, Changkyun, bisakah kau tidak berteriak? Aku sudah pusing, tambah pusing mendengar teriakanmu.”
Changkyun mengatakan ia berada di ruang tengah, duduk di sofa dekat perapian bersama dengan beberapa orang cupu lainnya. Ia meminta Minhyuk untuk melupakan apa yang baru saja ia lihat, dan kembali bergabung bersamanya, menikmati sisa waktu yang ada sebelum pesta digrebek aparat setempat.
“Terima kasih, Changkyun. Biarkan aku di sini dulu.”
“Sepertinya kau sedih sekali.”
“Ya, aku memang sedih, tapi tidak apa-apa, aku sudah sering menghadapinya.”
“Pesta seperti ini memang sesat. Pacarmu pasti selingkuh.”
“Tidak, Changkyun. Kihyun bukan pacarku, kenapa kau berpikir seperti itu—“ Minhyuk mengerjap, ”tunggu dulu.”
Itu jelas bukan Changkyun. Suaranya berbeda. Hubungan telepon itu telah berakhir beberapa menit yang lalu. Yang Minhyuk lihat di layar ponselnya saat ini adalah walpaper seekor anjing kecil dan bukan log telepon antara ia dengan Changkyun.
“Aku yang bicara dari tadi, di sebelah sini, hei.”
Minhyuk menoleh pada asal suara, pada lelaki yang duduk di tepian bak mandi sambil bersandar menyamping. Jarinya mengapit sebilah rokok yang terlihat belum dinyalakan. Ia mengenakan jaket kulit hitam tebal kebesaran, dengan celana jins berornamen robek di lutut dan paha. Rambutnya panjang sampai menyentuh leher belakang, menutupi dahi dan hampir mengenai kedua matanya.
“Jadi teman kencanmu si keras kepala Kihyun, ya? Coba kutebak, Senior Hyunwoo mencoba mendekatinya lagi? Melihat dari wajahmu yang pucat dan berantakan itu sepertinya tebakanku benar. Mereka sudah sering saling tukar-menukar kode suka, sudah bukan rahasia umum lagi. Omong-omong, namaku—” ia menguap lebar sekali, mengecap mulutnya tiga kali, “—Hyungwon.”
Minhyuk pernah mendengar nama itu, berulang kali. Nama Hyungwon tidak kalah populer dengan Hyunwoo, tetapi ia tidak pernah tahu sosok dibaliknya. Seperti hantu, ada di mana-mana, tetapi sulit ditemukan. Sejauh yang Minhyuk tahu, Hyungwon adalah tipe yang tidak ingin terkenal, namun ia dapat menarik orang-orang di sekitarnya sehingga ia menjadi populer secara tidak sengaja. Kini, Hyungwon tersebut hadir di depan matanya, terlihat bermalas-malasan di sisi bak mandi, seringkali menguap; Minhyuk menemukan ekspresi mengantuk di seluruh wajahnya tanpa terkecuali.
“Aku mengerti pesta ini sangat membosankan, tapi kalau kau sebegitu ngantuknya, bukankah seharusnya kau mencari kamar tidur dan bukannya kamar mandi?”
Hyungwon meliriknya sekilas. “Tidak bisa, terisi semua. Kalaupun ada, sudah kotor dan kumuh, kau tahu maksudku.”
Tentu saja Minhyuk mengerti maksudnya. Lelaki itu memutar bilah rokoknya di antara jari telunjuk dan tengah, menguap sekali, kemudian menatap Minhyuk lurus. “Siapa namamu?”
“Lee Minhyuk.”
“Tidak pernah dengar.”
Urat pelipisnya mengencang. “Maaf, aku tidak populer sepertimu atau Hyunwoo.”
“Aku tidak merasa diriku populer, Minhyuk. Aku tidak pernah menginginkan itu.”
“Ya, aku tahu.”
“Kau tahu?” Wajah Hyungwon berubah antusias. “Kau tahu aku tidak mau dikenal banyak orang? Wow. Apa kau cenayang? Bisa kau ramal dengan siapa aku tidur malam ini? Wanita atau laki-laki?”
“T-tidak, bukan begitu.” Minhyuk berdecak. Ia bukan cenayang, bukan pula peramal. Ia hanya banyak mendengar desas-desus tentang Hyungwon, atau orang sekitar, sebab tidak banyak yang ia lakukan selama istirahat kelas berlangsung selain mendengarkan para gadis-gadis di kelasnya bergosip ria, secara tidak sengaja tentu saja. “Aku hanya banyak mendengar tentangmu.”
Hyungwon menggumam, ia kembali bersandar di dinding kamar mandi, mungkin merasa kecewa dengan jawaban Minhyuk. “Apa yang mereka katakan tentangku?”
“Memangnya kau peduli?”
“Minhyuk, apa yang mereka katakan?” Mata Hyungwon berubah tajam, “tentangku.”
Minhyuk mengernyit melihat perubahan yang tidak biasa itu. Ia meneguk ludahnya gugup. “Tidak banyak, sebenarnya.”
“Apa saja?”
“Misalnya tentang kau yang sering bergonta-ganti pasangan, membeli alkohol, mencuri di minimarket, melubangi ban mobil milik wakil rektor,” Minhyuk melirik rokok yang berada di jari Hyungwon, “merokok—kau tahu, kita baru saja menginjak usia legal tapi rasanya sudah banyak sekali melakukan hal ilegal.”
“Aku mengerti sekarang. Jika Senior Hyunwoo terkenal dengan ketampanan dan prestasinya, sementara aku terkenal karena suka bikin onar.” Hyungwon terkekeh, tetapi terdengar pahit dan pedih. Ia merobek putung rokok tadi, menyalakan api dan membakar ujungnya, lalu segera mematikannya kembali. Bekasnya ia buang di bak mandi, tanpa sempat ia isap atau nikmati sama sekali. “Apa yang kau dengar setengah benar, setengah salah. Aku tidak mencuri di minimarket, ayah temanku pemilik minimarket yang sering kudatangi dan dia membiarkanku mengambil apa pun yang kumau. Aku tidak melubangi ban mobil wakil rektor, aku membersihkannya dari permen karet yang menempel dengan pisau karena sebelumnya aku punya kelas seni memahat.”
Gosip memang tidak selamanya benar, mungkin saja orang-orang percaya hanya pada satu sisi saja, tidak mengetahui kebenarannya di sisi yang lain.
“Begitu.” Minhyuk tidak mengerti mengapa Hyungwon harus mengklarifikasi semua gosip tentangnya kepada orang asing seperti dirinya—semua?
“Aku tidak bergonta-ganti pasangan,” ujar Hyungwon, cepat membenarkan semua tuduhan tentang dirinya. “Kalau minum alkohol, ya, itu benar, kadang-kadang. Seperti yang kau bilang, kita baru saja menginjak usia legal tapi rasanya sudah banyak sekali melakukan hal ilegal; lagaknya sudah seperti orang dewasa tiga puluhan.”
Lelaki itu berdiri sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan, ia melihat refleksi diri di depan cermin kemudian menyumpah ketika melihat ada jerawat di dekat telinganya.
“Aku rasa ... kau tidak perlu memberitahukan itu semua padaku,” ujar Minhyuk tertunduk.
Hyungwon meliriknya kecil, kemudian kembali menyumpahi jerawat kecil yang muncul di sisi ujung wajahnya. “Kau tidak mau tahu kebenarannya? Bukankah kau mahasiswa hukum?”
Lantas Minhyuk terkejut. Ia melotot pada Hyungwon. “Bagaimana kau bisa tahu—”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Hyungwon memutar tubuh Minhyuk, meraih pundaknya dan membawanya ke luar dari kamar mandi.
“Tunggu dulu,” seru Minhyuk seraya berusaha melepaskan tangan Hyungwon. “Bagaimana kau bisa tahu aku mahasiswa hukum? Baiklah, jika kau tidak mau menjawabnya. Setidaknya ambil putung rokok yang kau buang di bak mandi tadi.”
“Biarkan saja di situ. Aku ingin Jooheon dimarahi orang tuanya karena melaksanakan pesta tanpa seizin mereka, ditambah ada yang membuang batang rokok di bak mandi? Kurasa besok dia akan diterbangkan ke luar negeri.”
“Hei!”
Teriakan protes dari Minhyuk ia hiraukan, Hyungwon tetap memboyongnya ke luar kamar mandi. Tangan yang awalnya berada di pundak, kini turun ke pinggang ketika mereka mencapai kerumunan mahasiswa lain yang sedang berpesta. Minhyuk melirik tangan itu, lekat sekali ia bertengger di sana, semoga Changkyun tidak melihat pemandangan atau ia akan kena bulan-bulanan anak itu sepanjang hidupnya.
Mereka mendekati meja tempat botol-botol alkohol dan minuman lain disejejerkan. Minhyuk mengambil jus jeruk, Hyungwon mengernyit.
“Kenapa jus jeruk?”
“Aku tidak tahan alkohol,” jawab Minhyuk cepat seraya mengedarkan pandangannya sekeliling. Berharap tidak menemukan Kihyun dan—ugh, Hyunwoo, si populer satu itu—ketika ia sedang berusaha menikmati pesta ini kembali.
“Jadi, toleran alkoholmu rendah.”
“Benar sekali.”
“Mereka bilang jika tidak meminum setidaknya satu saja alkohol di pesta kampus, kau bisa dianggap cupu seumur hidup.”
Minhyuk mengangkat kedua alis, tidak terganggu dengan pernyataan tersebut. “Aku memang sudah cupu sejak awal, tidak ada bedanya.”
Hyungwon menyeringai, puas dengan jawaban yang ia terima.
Selagi menenggak jus jeruk, Minhyuk melihat seseorang di belakang Hyungwon, yang masuk ke dalam rumah setelah dari kolam renang bersama dengan seseorang yang amat tinggi di belakangnya.
“Ah, Kihyun,” lirik Minhyuk pelan sekali, tetapi masih terdengar oleh Hyungwon. Pemandangannya kembali buram, Minhyuk ingin menangis sekali lagi. Oh, teman kencan yang sudah ia dambakan lama sekali, sirna dari genggaman hanya dalam satu malam.
Hyungwon yang melihat itu lantas berdecak, tidak sadar hal tersebut membuatnya kesal. Ia mengambil paksa gelas jus jeruk milik Minhyuk, mendorongnya tidak sabar ke dinding terdekat, mengabaikan wajah bingung Minhyuk meskipun kakinya terus melangkah mundur.
Kihyun yang tidak sengaja melihat itu tiba-tiba saja ingat jika ia datang ke pesta ini dengan Minhyuk, dan bukannya justru meninggalkannya bersenang-senang dengan Hyunwoo. “Minhyuk—”
Tangan Hyungwon terjulur, menghalangi arah pandang Kihyun, menghalangi mata Minhyuk.
“Kau lihat ke mana?” tanyanya, nada bicaranya dingin.
Minhyuk mengernyit. “Apa-apaan ini? Kenapa kau menyudutkanku begini?”
“Lupakan saja. Kihyun tidak akan membalas perasaanmu.”
“Tahu apa kau?”
“Kau tidak lihat tangan Hyunwoo letaknya di mana?”
“Mana kutahu? Kau menutupi arah pandang kami. Sekarang, permisi, jauhkan tanganmu agar aku dapat jelas melihatnya.”
Hyungwon mendekatkan wajahnya, ia berbisik. “Tangan itu ada di bokongnya. Kau tidak punya kesempatan sama sekali, Minhyuk.”
Minhyuk tahu itu. Ia juga melihatnya. Dusta jika ia tidak melihat kedekatan Kihyun dengan Hyunwoo yang sudah seperti pasangan baru menikah. Ia juga tahu ia tidak punya kesempatan sama sekali. Minhyuk tahu betul ia sudah tertinggal jauh dari balapan ini. Ibarat Hyunwoo sudah mencapai garis finis, Minhyuk baru ingin memanaskan motornya.
Dan sebenarnya, ia juga tidak ingin Hyungwon melepas lengan yang terjulur ke dinding, menutupi arah pandangnya ke arah Kihyun. Minhyuk tidak sanggup lagi melihat Kihyun malam ini.
Maka saat Hyungwon semakin dekat, dan semakin dekat, lalu bibir mereka bersentuhan, Minhyuk membiarkan itu semua terjadi. Pikirannya begitu kalut, dan bercumbu dengan Hyungwon membantunya melupakan apa yang telah terjadi malam ini. Kedua tangannya memegangi bahu lawan, menjawab setiap cium yang Hyungwon lakukan padanya.
Minhyuk membuka mata. Kihyun di sana menyaksikan dirinya dicumbu Hyungwon.
“Luapkan semua kesalmu,” bisik Hyungwon di sela cium. “Tunjukan padanya kau mampu berdiri sendiri tanpa dia.”
Mata Minhyuk berkobar. Sugesti Hyungwon masuk ke dalam telinga, lurus ke dalam kepala. Ia masih menatap Kihyun, tangan yang tadi memegangi pundak Hyungwon berubah terjulur maju dan mantap mengacungkan jari tengah tepat ke arah Kihyun berdiri. Lelaki itu terkejut setengah mati, mulutnya terbuka, tidak menyangka akan mendapatkan hinaan dari orang yang membawanya datang ke pesta ini. Kihyun berlalu pergi dengan wajah kesal, meninggalkan Hyunwoo yang masih sibuk mengemil keripik kentang.
Ada kelegaan yang muncul dari dalam lubuk hati. Minhyuk merasa seluruh kesalnya sirna, tergantikan rasa panas menjalar ke seluruh badan. Ia mencengkeram rambut panjang Hyungwon, melanjutkan cumbuan mesranya bersama lelaki itu.
Ciuman itu beralih lebih intens dan intim. Hyungwon melepaskan bibir Minhyuk, turun ke lehernya, menghirup aroma harum di sana dan mengecupnya ringan. Minhyuk hanya terpejam, tidak banyak yang bisa ia lakukan selain mendongak dan tangan mencengkeram rambut Hyungwon. Ia meringis setiap lehernya digigit. Lelaki yang sedang menciumnya ini bukan jelmaan drakula, ‘kan?
Tiba-tiba ia dengar suara gelas jatuh dan cairan kola mengalir menyentuh buritan sepatu keduanya.
Changkyun berdiri di belakang Hyungwon dengan mulut terbuka. Minhyuk terbelalak, sontak mendorong Hyungwon mundur.
“Minhyuk....” Changkyun tidak mampu berkata apa-apa lagi, “apa yang sebenarnya terjadi....”
“Kenakalan remaja.”
Hyungwon segera menutup mulutnya, tidak ingin tawanya terdengar oleh kedua pihak yang lain.
Changkyun menatap lelaki jangkung yang membelakanginya, tidak ingin tahu sosoknya lebih lanjut sebab melihat penampilan Minhyuk yang berantakan lebih membuatnya tidak habis pikir. “Aku kira kita akan bersama-sama ke luar dari pesta ini tetap sebagai bujangan, tapi aku tidak yakin lagi.”
“B-bagaimana denganmu? Tidak ada yang mendekatimu?”
Changkyun menyipit. “Kau membuatku tersinggung. Tentu saja tidak ada yang mendekatiku—belum.”
“Begitu.”
“Maaf menganggu kegiatanmu.” Changkyun mengambil gelasnya yang sempat terjatuh, “aku mau ke sebelah sana dulu, mungkin ada yang mau mengajakku bersenang-senang malam ini. Silakan lanjutkan.”
Changkyun meninggalkan Minhyuk sambil mengerling singkat, wajah jahilnya mengatakan ia mendukung Minhyuk melepaskan status perjakanya malam ini.
Minhyuk yang melihat hanya memutar bola matanya jengah. Ia menatap Hyungwon yang masih setia berdiri di depannya, tangan lelaki itu mengelus belakang kepala.
“Kau kenapa?”
“Sakit. Kau mencengkeram rambutku terlalu kuat. Kalau sampai rambutku rontok, aku menyalahkanmu.”
Wajah Minhyuk memerah, entah karena malu atau kesal. Malam ini sudah terlalu kacau, mulai dari Kihyun, sampai Hyungwon, ia tidak menyangka akan berjalan begitu amburadul.
“Aku mau pulang.”
Hyungwon mengerjap. “Kenapa pulang?”
“Aku tidak berminat lagi dengan pesta ini.”
Hyungwon menatap Minhyuk lama. “Kau yakin? Bagaimana dengan temanmu tadi? Kau mau meninggalkannya?”
“Kami tidak pernah janji akan pulang bersama,” jawab Minhyuk seraya memperbaiki tatanan rambutnya yang sempat berantakan.
Hyungwon mengangguk. “Baiklah. Kuantar kau pulang.”
Minhyuk mengangkat kedua alis. Ia diam saja mengekori Hyungwon yang berjalan ke luar dari rumah Jooheon. Mereka menghampiri mobil sedan hitam yang terparkir di samping pekarangan. Hyungwon lebih dulu masuk ke dalam mobil, kemudian membukakan pintu penumpang sebelah kanan dari dalam, ia menengok ke luar, pada Minhyuk yang diam berdiri tidak tahu harus apa.
“Masuk.”
Buru-buru Minhyuk masuk dan duduk dengan perasaan canggung. Hyungwon memperhatikan gelagat Minhyuk yang seperti robot, tatapannya turun ke leher Minhyuk, pada bercak kemerahan di sana, kemudian memutar kunci mobil sebelum pikirannya kembali melalang-buana ke lain hal.
“Kau perlu mengoleskan krim tebal di lehermu kalau tidak ingin diperhatikan seisi kampus besok.”
Lekas Minhyuk memegangi lehernya, lalu menatap tajam pelaku yang sedang menyetir di sebelahnya.
Perjalanan pulang itu dihiasi diam. Padahal Minhyuk adalah pribadi yang banyak cakap. Jika itu bersama Changkyun, ia akan mengomentari semua hal yang mereka lewati. Misalnya bak sampah yang terbalik, nenek yang mengajak anjingnya jalan-jalan, pasangan muda-mudi yang bermesraan di pinggir jalan (Changkyun begitu ekstrim, ia bilang ingin menabrak mereka, Minhyuk tertawa mendengar ide gila sahabatnya itu).
Namun, bersama Hyungwon, Minhyuk seperti menerima tekanan dari berbagai arah. Detak jantungnya tidak pernah melambat, napasnya terasa begitu berat, wajahnya panas. Matanya tidak berhenti melihat ke samping, pada pemandangan luar yang tidak menarik. Malam ini sunyi, Minhyuk tidak mendengar suara jangkrik sama sekali, mereka bahkan tidak berselisih dengan pengendara lain. Terakhir kali ia memeriksa, ini masih pukul sebelas malam.
Hyungwon memberhentikan mobilnya tepat di depan rumah Minhyuk. “Kita sampai.”
“Terima kasih sudah mengantarku.”
“Tidak masalah.”
“Kau mau ke mana setelah ini?”
Hyungwon menggumam. “Hmm, tidak tahu. Mungkin aku akan kembali ke rumah Jooheon.”
Mendengar itu, ide nakal terlintas di pikirannya. Minhyuk bergegas memutar kunci mobil Hyungwon, setelah mobil itu mati, Minhyuk ke luar dan menghampiri Hyungwon dari luar. Ia meneguk ludahnya sekali sebelum mengatakan sesuatu pada Hyungwon.
“Orang tuaku tidak ada di rumah.”
Keduanya saling menatap dalam, seakan saling tahu apa yang masing-masing inginkan. Minhyuk melihat perubahan yang terjadi di mata Hyungwon, yang berubah lebih gelap, alegori permata hitam incaran semua kolektor. Ia penasaran, apakah Hyungwon juga menemukan hal yang serupa pada matanya?
Karena setelah itu, yang Minhyuk ingat adalah Hyungwon yang kembali mendorongnya ke dinding tepat setelah lelaki itu masuk ke dalam rumahnya. Padahal Minhyuk baru selesai mengunci pintu rumah, tetapi Hyungwon menariknya dan kembali mencumbu.
Kali ini tidak akan ada yang mengganggu mereka. Tidak akan ada Kihyun, Changkyun, atau bahkan orang tuanya.
Jari jemari Hyungwon cepat meloloskan kancing-kancing kemeja Minhyuk sambil tetap menciumi. Bibir itu saling membalas, tidak ada yang mengalah. Mereka berciuman dengan tergesa-gesa. Minhyuk kembali mencengkeram rambut panjang Hyungwon, kakinya berjinjit ketika lelaki itu turun menciumi rahangnya, turun lagi ke celah leher, melanjutkan yang sebelumnya sempat tertunda.
“Hyungwon,” lirih Minhyuk. Lelaki itu tidak mendengar; lebih tidak mau mendengar. Minhyuk membuka mata. “Hyungwon, dengarkan aku.”
“Nanti saja.”
“Hyungwon—ugh,” Minhyuk merasakan lagi rasa sakit ketika gigi Hyungwon menekan kulitnya. “Hyungwon!”
“Apa!”
Ekspresi Hyungwon terlihat frustasi, Minhyuk ingin tertawa. “Aku tidak punya apa pun.”
Kedua alis Hyungwon mengernyit. Minhyuk membuatnya berhenti hanya untuk mengatakan hal itu? “Astaga, yang benar saja.”
Minhyuk menutupi mulutnya ketika Hyungwon berniat ingin menciumnya lagi. “Hyungwon, aku serius. Aku tidak punya apa-apa.”
“Tidak punya apa?”
“Aku tidak punya kondom atau lube.”
Hyungwon mengerjap. “Huh?”
“Kita tidak bisa melakukannya tanpa mereka.”
“Kau serius? Kita sudah setengah jalan. Kau mau melakukannya tanpa pengaman? Omong-omong, aku bersih.”
"Jangan gila." Minhyuk mendorong Hyungwon menjauh. “Kau mengatakan hal itu pada semua orang yang kau dekati?”
Hyungwon menghela, ia terlihat tidak tertarik dengan kalimat terakhir yang Minhyuk tujukan padanya. Langkahnya menjauh, menaiki tangga menuju lantai dua, menunjuk sebuah pintu di sana.
“Ini kamarmu?” tanyanya.
Minhyuk mengangguk, lalu cepat menggeleng. “Kau mau apa di kamarku? Sudah kubilang kita tidak bisa melanjutkannya—hei! Jangan masuk sembarangan!”
Minhyuk cepat menyusul Hyungwon yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. Mulutnya sudah siap ingin menggerutu, tetapi terhenti ketika Hyungwon begitu fokus melihat-lihat kertas-kertas yang tertempel di dinding kamarnya bagai mengunjungi sebuah galeri.
“Gambarmu bagus,” ujarnya, berhenti di salah satu gambar paus. “Aku boleh minta digambar olehmu, tidak?”
Minhyuk melipat tangan, mimiknya datar. “Hyungwon, kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Ada yang salah dengan pertanyaanmu, jadi aku tidak mau menjawabnya.”
“Bagian mana?”
“Semuanya.” Hyungwon terus melihat gambar-gambar itu, ia perhatikan setiap detail, tidak menoleh pada Minhyuk sama sekali.
“Coba jelaskan. Apa kau juga akan langsung ke kamar orang yang kau dekati tepat setelah—uhuk, berciuman dengan mereka. Apa kau seperti itu?”
Hyungwon bersenandung, tampak tidak peduli dengan pertanyaan tadi, lelaki itu berhenti di coretan gambar kura-kura yang belum selesai. “Aku suka ini, bisa kau selesaikan? Nanti kubeli—”
“Hyungwon, apa dimatamu aku sama seperti orang-orang itu?”
“Kubilang ada yang salah dari pertanyaanmu.” Kali ini Hyungwon menatapnya, wajahnya agak jengkel. “Aku tidak pernah mendekati mereka, Minhyuk. Mereka yang mendekatiku. Jadi, seharusnya pertanyaanmu bunyinya, apa kami langsung ke kamar orang yang mendekatiku? Tidak. Karena jika kau membalik pertanyaannya, maka jawabannya iya. Kau orang pertama yang kudekati.”
Minhyuk mengerjap bingung. “Huh? Aku tidak mengerti.”
Betul. Memang sulit untuk dimengerti. Selama ini Hyungwon selalu bermain dengan orang-orang yang berusaha menghampirinya; mendekatinya, wanita, pria. Hyungwon terbuka dengan semua jenis hubungan. Namun, permainan itu hanya berakhir selama satu malam, tidak pernah ia putuskan agar membuatnya panjang umur. Mereka terlalu membosankan, hanya menyenangkan sesaat. Mungkin itu yang membuat Hyungwon punya gelar sering bergonta-ganti pasangan, kenyataannya, tidak ada yang pernah menjadi pasangan secara nyata, mereka semua hanyalah bidak kesenangan sesaat. Toh, mereka juga yang menghampiri lebih dulu, bukan Hyungwon.
Lalu ada Lee Minhyuk.
Yang pertama kali ia lihat di pekarangan belakang kampus. Hyungwon baru saja selesai dari kelas dosen Park yang paling ia benci. Baru ingin membalas pesan dari temannya Hoseok, ia melihat Minhyuk membawa bak sampah besar, isinya penuh, tiba-tiba ia tersandung dan semua isi sampah itu terburai ke tanah. Minhyuk mengomel panjang lebar sambil memunguti sampah-sampah tadi dengan tangan kosong. Ia mencium tangan sendiri, meringis dengan bau busuknya, lalu kembali menyumpahi temannya yang membuatnya bertugas membuang sampah itu sendirian.
Hyungwon menyaksikan kejadian itu dalam diam, sampai lupa membalas pesan Hoseok.
Kedua kali Hyungwon bertemu Minhyuk adalah saat ia baru saja ke luar dari minimarket, membeli tiga buah bir kaleng sebagai teman bermain gim di apartemen nanti. Di pinggiran gang sunyi, Hyungwon menemukan Minhyuk berjongkok, menyisihkan setengah dari sosis gorengnya kepada tiga kucing liar yang mengeong kelaparan. Minhyuk tersenyum melihat kucing-kucing itu makan dengan lahap, senyumnya begitu tulus.
Melihat itu, keesokan harinya, Hyungwon membeli makanan kucing di minimarket yang sama dan memberikannya ke tiga kucing liar tadi.
Ketiga kali Hyungwon melihat Minhyuk adalah saat festival budaya di kampusnya. Semua orang begitu heboh dengan pagelaran busana yang diadakan fakultas hukum, padahal semua orang tahu mahasiswa di sana dipenuhi dengan orang-orang serius saja. Hyungwon datang menonton bersama Hoseok dan Jooheon. Rupanya peserta pagelaran tersebut bukanlah mahasiswi seperti yang Jooheon harapkan, melainkan para mahasiswanya yang berdandan ala wanita. Ketika peserta ketujuh muncul, semua orang berseru kagum. Mereka tidak melihat bulu-bulu kaki keriting layaknya peserta sebelumnya, atau kumis-jenggot di wajahnya. Mereka seakan melihat bidadari, semua mata orang berbinar, bahkan Jooheon, Hoseok, dan tentu saja Hyungwon.
Minhyuk berdiri di sana dengan rok pendek kotak-kotak, blus tebal entah milik teman perempuannya yang mana, kemeja putih yang dimasukkan ke dalam rok. Kakinya yang kurus dibalut kaus kaki panjang dan sepatu modis. Minhyuk mengenakan wig bergelombang warna kecokelatan, ditambah riasan wajah yang begitu cantik. Penonton berdecak kagum, semuanya berdiri dan bertepuk tangan. Tentu saja Minhyuk menjadi pemenang kontes tersebut (posisi kedua diraih teman Minhyuk yang lebih pendek, yang sempat mengganggu kegiatan mereka di pesta tadi, siapa namanya? Changkyun? Entahlah).
Hari itu Jooheon terus mengirimi pesan yang berisi pertanyaan kejelasan seksualitasnya.
Keempat kali Hyungwon tidak sengaja melihat Minhyuk adalah saat ia dan kedua temannya duduk di bawah pohon, membicarakan hal tidak penting seperti Hoseok yang tidak sengaja mengirim foto telanjangnya ke ibunya. Mereka terus tertawa, tetapi tawa Hyungwon perlahan hilang saat melihat Minhyuk berlari menghampiri Kihyun, dua orang itu begitu serius membicarakan sesuatu. Wajah Kihyun terlihat ragu, tetapi kemudian ia mengangguk dan pergi meninggalkan Minhyuk, setelah itu Minhyuk melompat-lompat kegirangan.
Pada hari yang sama, Hyungwon iseng menyalakan radio kampus dan terkejut mendengar suara Minhyuk dari sana. Nada bicara lelaki itu terdengar gembira. Bibirnya tidak kuasa menahan senyum. Hoseok dan Jooheon saling berpandangan melihat Hyungwon senyam-senyum tidak keruan.
Setelah semua ketidaksengajaan itu, Hyungwon masih saja tidak mengetahui namanya, ia juga tidak pernah terpikirkan untuk ingin tahu. Hingga sampai pada malam ini, akhirnya semuanya terlihat jelas. Padahal Hyungwon sempat menolak ajakan Jooheon, ia sudah begitu bosan dengan semua pesta yang ia hadiri, semuanya sama saja. Hyungwon pun berakhir di kamar mandi, duduk di pinggir bak, memutar-mutar rokoknya sambil memikirkan ide gila apa yang harus ia lakukan malam ini.
Kemudian Minhyuk masuk dengan isak tangis.
Lelaki itu begitu fokus menangis sampai tidak menyadari bahwa ada Hyungwon di dekatnya. Hyungwon menebak mungkin teman kencannya meninggalkannya di tengah-tengah pesta—
“Tidak, Changkyun. Kihyun bukan pacarku, kenapa kau berpikir seperti itu.”
Hyungwon menyeringai. Bingo.
Itu adalah kali pertama Hyungwon sangat amat penasaran dengan seseorang. Ia penasaran dengan sisi yang ada pada Minhyuk, karena semua sisi itu membuatnya tertarik. Mungkinkah ada sisi lain lagi yang membuat Hyungwon semakin terperosok? Hyungwon tidak sabar ingin menemukannya satu per satu.
Kembali ke kenyataan. Minhyuk masih mengerjap bingung dengan pernyataan Hyungwon. “Maaf, biasanya aku pintar jika membahas materi hukum perdata, tapi jawabanmu tadi membuat kepalaku berputar.”
“Kalau begitu jangan dipikirkan.” Hyungwon kembali menekuni kegiatannya melihat-lihat hasil gambaran Minhyuk. “Kita bisa melakukannya lain kali.”
“Melakukan apa?”
“Seks.”
Minhyuk tersedak ludah sendiri. Ia kemudian mengernyit. “Lain kali? Ada lain kali?”
“Apa? Kau tidak mau?”
“Kau serius?”
Hyungwon mengangguk. “Seratus persen.”
“Tapi kenapa harus aku?”
Hyungwon tidak perlu menjelaskan panjang-lebar mulai dari pertemuan pertamanya dengan Minhyuk sampai dengan apa yang terjadi pada malam ini, ‘kan?
“Kalau begitu, kita bisa mengawalinya pelan-pelan. Bagaimana dengan kencan, hmm? Kudengar kafe yang baru buka di dekat kampus kita sedang diskon besar-besaran. Kau mau ke sana denganku?” tawar Hyungwon seraya mendekati tempat Minhyuk berdiri. “Mau atau tidak, kau tetap akan kubawa ke sana, sih.”
Minhyuk terkekeh. “Kau tidak butuh jawabanku lagi, ‘kan?”
Hyungwon mengangguk. Tangannya menyisipkan rambut Minhyuk ke belakang telinganya, menyingkirkan poni yang mengganggu matanya, menangkup pipi Minhyuk dan memperhatikan bagian kiri-kanannya serius.
“Untung Kihyun melewatkan ini semua, jika tidak dia akan berhenti menyukai si besar Hyunwoo dan memilih berkencan denganmu.”
“Apa kau harus menyebut namanya lagi?” Mimik wajah Minhyuk berubah, suasana hatinya kembali berubah buruk setelah Hyungwon menyebut nama tersebut.
“Maafkan aku, aku hanya membayangkan hal yang menyeramkan. Kau bisa melupakannya.”
“Kau harus mentraktirku nanti.”
“Tentu saja.”
“Juga tiket bioskop plus popcorn-nya. Kau juga harus datang tepat waktu di tempat kencan. Jangan menulis nama kontakku dengan gelar aneh. Jangan menciumku di tempat umum. Dan berhenti menyebut nama siapa pun ketika kita sedang berdua.”
Hyungwon tersenyum. “Ide bagus.”
Mereka habiskan malam itu berdua dengan saling mengenal satu sama lain. Sesekali mencuri-curi kesempatan di sela saat salah satunya sedang sibuk bercerita. Hyungwon menginap di rumahnya, mereka tidur berhadapan setelah lelah berceloteh ria. Tidak menyangka mereka akan cepat sekali merasa serasi.
Malam ini—tidak terlalu buruk juga.
Sudah lama Changkyun tidak berkunjung ke rumah Minhyuk, terakhir kali ia berkunjung adalah saat ia membantu Minhyuk berpakaian untuk pesta yang diadakan di rumah Jooheon, tepatnya dua bulan yang lalu. Lama sekali rupanya. Musim ujian benar-benar membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk bermain.
Changkyun melihat sedan hitam terparkir di samping rumah Minhyuk, sedikit tersembunyi, entah milik siapa, mungkin milik salah satu tetangga. Pintu depan rumah Minhyuk dapat ia buka dengan mudah, heran kenapa tidak terkunci.
“Minhyuk? Kau di rumah?” seru Changkyun memanggil nama si kawan. “Minhyuk?”
Tidak ada tanda-tanda Minhyuk ada di ruang tengah atau di dapur. Ia melangkah naik ke lantai dua.
“Minhyuk?” teriak Changkyun lebih nyaring.
Tubuhnya masih terasa panas. Hyungwon mengecup punggungnya dengan mesra. Tangannya meremas tato paus yang terukir cantik di lututnya. Napas Minhyuk kembali berubah berat, ia meringis geli setiap kali bibir Hyungwon mengenai kulitnya.
Teriakan Changkyun yang memanggil namanya seketika menggema.
Minhyuk yang mendengar itu terbelalak. Mereka baru selesai bercinta, Hyungwon bahkan masih senang menyentuh tubuhnya.
“Hyungwon, itu Changkyun,” bisik Minhyuk, membuat Hyungwon berhenti menciumi.
“Kau tidak mengunci pintu?”
“Bagaimana aku bisa mengunci pintu jika kau langsung menerjangku? Aku sendiri tidak sadar.”
Hyungwon tertawa canggung, ia meminta maaf atas kelalainnya.
Langkah kaki itu semakin dekat. Suara Changkyun yang memanggil nama Minhyuk terdengar dari luar pintu.
“Minhyuk, kau di sana?” Changkyun mengetuk pintu dari luar. “Apa dia masih tidur, ya? Hei, Minhyuk! Bangun!”
Hyungwon bergegas beranjak dari kasur dan memasang pakaian. Minhyuk sendiri turut berpakaian sembarangan, ia berlari kecil ke sisi kamar dan membuka jendela.
“Cepatlah!” seru Minhyuk pelan.
“Sedang kulakukan!” Hyungwon tergesa-gesa memasang celananya. “Hei, jangan lupa tutupi bak sampahmu, nanti dia lihat bekas kond—”
“Iya, iya, aku tahu! Jangan banyak bicara, cepat saja pasang pakaianmu. Changkyun itu anaknya tidak sabaran.”
Hyungwon berjinjit berjalan ke arah jendela, ia ke luar dari kamar Minhyuk dari sana penuh hati-hati. Sebelum benar-benar pergi, ia menarik wajah kekasihnya, lalu menciumnya dua kali.
“Minhyuk, I love you so much.”
“I love you too, Hyungwon. Sekarang turun!”
Minhyuk memastikan Hyungwon dapat turun dari jendelanya dengan selamat. Lelaki itu melompat dengan telaten, seperti sudah biasa melakukannya. Hyungwon mendongak, menatap Minhyuk dari bawah, bibirnya bergerak mengatakan ‘aku akan mengunjungimu lagi malam ini’ dan memberikan kecupan jauh.
Melihat itu membuat Minhyuk terkekeh. Mereka saling membalas senyum sebelum teriakan Changkyun semakin terdengar nyaring. Minhyuk melambaikan tangannya pada Hyungwon dan lelaki itu berlari pergi.
Changkyun membuka pintu kamar Minhyuk dengan ekspresi masam. Ia menemukan Minhyuk membaca buku dengan posisi berbaring setengah duduk di kasurnya yang berantakan.
“Kukira kau tidur. Kenapa lama sekali membukakan pintu?”
Minhyuk membalik halaman bukunya. “Kau tidak lihat aku sedang sibuk membaca buku?”
“Kau membaca buku yang terbalik, Minhyuk.”
“Oh.” Minhyuk membalik bukunya. “Tadi itu ada gambar yang terbalik.”
“Terserah kau saja.” Changkyun melompat ke atas Minhyuk, seketika mencium aroma parfum yang berbeda. “Kau punya parfum baru?”
“Huh? Oh, iya, aku suka wangi yang lebih maskulin akhir-akhir ini. Kenapa? Kau tidak suka?”
“Bukan begitu, hanya saja ini di luar kebiasaanmu.”
“Kebiasaan bisa saja berubah.”
“Tidak dalam satu malam. Kemarin kau masih berbau bunga, Minhyuk. Sekarang sudah berbau musk. Kau habis tidur dengan siapa?”
Minhyuk terbelalak. “Hei, jangan sembarangan. Jaga kata-katamu.”
“Kau yang sembarangan. Kau bahkan membiarkan pintu depanmu tidak dikunci. Mana orang tuamu?”
“Ada urusan ke luar kota sampai minggu depan. Baru berangkat tadi pagi.”
Wajah Changkyun berubah cerah. “Oh, ya? Kita bisa bersenang-senang, Minhyuk! Bagaimana kalau kita bermain game malam ini? Aku yang membawa makanannya.”
“Uh ... malam ini tidak bisa.”
“Kalau begitu besok.”
“Besok juga tidak bisa.”
“Kapan bisanya?”
“Kusesuaikan dengan jadwalku dulu.”
“Kau ini punya pacar, ya?”
Keringat dingin menetes di pelipis Minhyuk. “Aku? Punya pacar? Kau tidak lihat setiap hari ada saja orang mengataiku pecundang dan kau curiga aku punya pacar? Siapa yang sudi memacariku? Yang benar saja.”
“Apa dia orang yang menciummu saat di pesta waktu itu?”
“Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Changkyun. Lupakan saja, aku mau mengunci pintu dulu.”
Minhyuk buru-buru meninggalkan Changkyun dengan semua pertanyaannya yang menggebu-gebu. Ia harus lebih pintar berakting di depan orang itu, intuisinya terlalu tajam. Changkyun mungkin mengomel panjang-lebar ketika tahu orang yang berpacaran dengannya adalah Chae Hyungwon, alias pemuda populer nomor dua setelah Hyunwoo, tetapi juga yang ditakuti seantero kampus sebab rumor jelek yang mengitarinya.
Baguslah. Dengan begitu, berkurang orang-orang yang mendekati Hyungwon. Biarkan Minhyuk saja yang tahu semua kebenaran tadi.
Bibirnya tiba-tiba saja tersenyum. Oh, astaga, Minhyuk punya kekasih sekarang, terlebih orang itu adalah Hyungwon. Siapa yang menyangka?
Selagi ia tersenyum sendirian, dengan wajahnya yang berbunga-bunga, Changkyun menatap Minhyuk dari atas tangga dengan wajah ingin muntah.
Sobatnya satu itu jelas sekali sudah punya pacar. Minhyuk telah mendahuluinya.
.
.
.
Bersambung.
Chapter 2: Minhyuk-mu
Summary:
Semoga kamu menemukan Minhyuk-mu juga.
Notes:
Saya tidak terlalu mengerti soal hukum, tapi semoga apa yang saya tulis di sini tidak melenceng jauh dari bidangnya sendiri ya. Disklaimer: Pasal yang Changkyun sebutkan adalah pasal dari negara sendiri, bukan Korea.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Setahun belakangan ini merupakan kehidupan yang amat membahagiakan. Minhyuk mendapatkan pacar setelah sekian lama. Ia sangat menyukai hari-harinya bersama Hyungwon, yang tidak kalah mesra dari film roman mana pun. Mereka memang beberapa kali bertengkar karena hal-hal kecil, tetapi tidak akan berjauhan terlalu lama, terlebih karena mereka cepat sekali merindukan satu sama lain.
Minhyuk memutuskan untuk merahasiakan hubungannya dengan Hyungwon, ia masih belum siap mengatakan pada orang lain jika ia sudah memiliki kekasih. Yang paling ia takutkan adalah, orang-orang mempertanyakan kewarasan Hyungwon mengencaninya. Kenapa harus Minhyuk? Siapa itu Minhyuk? Bagaimana bisa dengan Minhyuk? Sementara itu teman-temannya (mungkin) akan menjauhinya karena mau menerima ajakan kencan dari berandalan kampus.
Hei, Hyungwon tidak seberandal itu sampai harus mereka takuti.
Sejauh ini, yang mengetahui hanyalah kedua orang tua mereka dan teman-teman Hyungwon: Hoseok dan Jooheon. Changkyun? Minhyuk belum memberitahunya sampai sekarang meskipun pemuda itu sering sekali menaruh curiga padanya. Sepertinya ia sudah tahu, tetapi memutuskan untuk menunggu Minhyuk untuk mengatakannya sendiri padanya daripada harus mengira-ngira.
Hyungwon bilang, ia menghormati keputusan Minhyuk untuk menutupi hubungan mereka sampai Minhyuk merasa lebih berani untuk terbuka pada semuanya. Lagipula, ini seperti tantangan. Hyungwon seringkali mengusilinya di depan umum atau di area kampus. Lelaki itu senang sekali melihat wajah cemberut Minhyuk jika ia mulai merayunya di tengah-tengah publik.
Misalnya saat Hyungwon tiba-tiba mampir ke ruang klub radio, mengambil tempat duduk tepat di sebelah Minhyuk seenak jidat, tidak memedulikan tatapan semua orang yang ada di sana. Hyungwon mengetik sesuatu di ponselnya, padahal ia tengah mengirim pesan pada Minhyuk. Minhyuk mau tidak mau harus berakting seolah-olah sedang mengetik pesan serius pada seseorang. Ia dapat melihat sekilas seringai kecil Hyungwon.
Salah satu anggota klub bertanya apa yang Hyungwon lakukan di ruangan klub mereka. Lelaki itu menjawab dengan jawaban menantang.
“Apa? Aku tidak boleh berada di sini? Ruangan ini punya nenekmu? Kalau kau punya masalah denganku, selesaikan sekarang juga.”
Kalau bukan sang pacar, Minhyuk jelas akan memukul kepala lelaki itu dengan barang apa pun yang ada di dekatnya. Bagaimana orang-orang tidak takut dengannya jika balasannya saja seakan ingin mengajak orang berperang? Minhyuk mengusir Hyungwon saat itu juga, ia berteriak dan menutup pintu tepat di depan Hyungwon yang baru ingin protes. Anggota klub lain bertepuk tangan melihat aksi heroik Minhyuk.
Hal kedua yang membuat Minhyuk sering kali terkena serangan jantung adalah saat pindah ruangan. Ia berjalan paling belakang dari kelompoknya, dari koridor gedung fakultas yang sunyi, seseorang menarik tangannya, membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan. Hyungwon mengimpit ke dinding tepat setelah menutup pintu, menciumnya cepat, membisikkan sesuatu tentang ia yang merindukan kekasihnya dan akan berkunjung malam nanti. Minhyuk yang masih terkejut tidak mampu berkata apa-apa, melihat Hyungwon yang tersenyum manis di depannya juga membuat proses kerja kepala terganggu.
Hyungwon terkikik melihat Minhyuk yang melamun, lebih lucu lagi melihat rona kemerahan mengitari kedua pipi. Ia mencubit pipi Minhyuk, membuatnya sadar pada kenyataan bahwa ada dua orang lain yang berada di ruangan itu; Hoseok dan Jooheon, yang melihat mereka dengan tatapan ingin muntah.
“Haruskah aku dan Hoseok-hyung menonton pertunjukan kalian berdua di pagi hari yang tenteram ini?” ucap Jooheon saat itu, yang membuat Minhyuk melangkah mundur, bibirnya bergerak membentuk kata ‘aku membencimu’ yang ia tujukan untuk Hyungwon, dan ke luar dari ruangan. Hyungwon yang melihat itu hanya tertawa, lalu berhenti ketika segumpal kertas mengenai belakang kepala. Hoseok dan Jooheon menggeleng melihat teman mereka yang satu itu bertingkah layaknya dimabuk cinta (teman kalian memang sedang dimabuk cinta, tidak salah lagi).
Minhyuk tertawa mengingat semua kejadian itu. Hubungannya dengan Hyungwon tidak lebih dari film komedi romansa, ditambah pertemuan pertamanya dengan Hyungwon di kamar mandi rumah Jooheon saat pesta berlangsung, sudah seperti titik krusial sebuah cerita cinta komedi. Omong-omong soal Kihyun, Minhyuk sudah menyelesaikan masalahnya dengan lelaki itu. Kihyun juga meminta maaf, keduanya sepakat untuk tidak lagi mengurusi urusan masing-masing.
Ia dan Hyungwon sedang duduk di depan televisi, menonton serial kartun Jepang kegemaran Minhyuk yang bergenre pahlawan. Bersandar di tepian kasur, dengan piyama tidur masing-masing; milik Minhyuk bermotif anak anjing menggemaskan, milik Hyungwon bermotif kura-kura dari kartun Pokemon.
“Hyungwon.”
“Hmm?”
“Ingat saat aku mendiamkanmu seminggu penuh?”
Hyungwon berhenti mengunyah keripik kentang, menatap Minhyuk dengan wajah masam. “Kau mendiamkanku seminggu gara-gara saat aku datang ke rumahmu, ada biji timun di ujung mulutku.”
“Benar.”
“Saat itu aku tidak tahu kau sangat membenci timun! Kau juga tidak pernah memberitahuku! Aku menangis di hari keempat karena merindukanmu, ah kau kejam sekali.”
Minhyuk terkekeh kecil, menyandarkan kepalanya di pundak Hyungwon. “Aku lebih memilih merasakan rasa tembakau di mulutmu daripada rasa timun. Catat itu.”
Hyungwon mengembuskan napasnya ke atas, membuat poni panjangnya mengembang. Ia memang sudah menanamkan hal itu dalam kepalanya sebagai catatan penting. Tidak mungkin ia ulangi untuk kedua kali, bahkan ia ikut menjauhi timun semisal mendadak Minhyuk memintanya berkunjung ke rumahnya. Lebih baik mencegah selamanya daripada harus didiamkan kekasihnya seminggu lagi.
“Minhyuk, ingat saat kau mengantarku ke rumah Jooheon dengan sepedamu? Aku berdiri di belakang, memegangi bahumu, dan kau mengayuh sepeda seakan-akan kau sedang balapan. Tapi saat itu sangat menyenangkan, aku merasa kembali seperti anak kecil. Lain kali kita bersepeda berdua, okay?” Hyungwon melihat ke samping, pada lelaki yang bersandar di pundaknya. “Minhyuk?”
Terdengar dengkuran halus keluar dari mulut Minhyuk. Kedua kelopaknya terpejam erat, wajahnya begitu rileks. Lelaki itu tertidur begitu saja. Hyungwon tersenyum melihat kekasihnya, ia menyingkirkan poni yang menyentuh matanya, melihat dengan jelas wajah Minhyuk dari dekat.
Lelaki ini tidak pernah tahu semua keajaiban yang terjadi pada Hyungwon setelah bertemu dengannya. Minhyuk membawa banyak sekali perubahan di kehidupannya yang dipenuhi abu-abu dan warna pucat, ia menyinari bagai matahari, membuat semuanya lebih hidup dan berwarna. Andai ia tahu ia begitu dicintai olehnya saat ini. Andai Minhyuk tahu perasaan Hyungwon padanya nyata dan sulit diubah, mungkinkah mereka akan bersama selama-lamanya?
Hyungwon takut dengan istilah itu, tetapi bersama Minhyuk, ia ingin menjalaninya.
Pintu kamar itu diketuk tiga kali. Hyungwon menoleh dan menemukan Ibu Minhyuk sedang membuka pintu.
“Apa aku mengganggu kalian?” tanyanya ramah, ia membawa senampan kudapan.
“Tidak, Nyonya Lee. Silakan masuk,” jawab Hyungwon sopan.
“Oh, astaga, apa dia tidur? Dasar anakku yang satu itu. Maafkan dia, ‘nak Hyungwon. Dia memang suka semaunya.” Wanita paruh baya itu melirik jam dinding. “Padahal baru pukul sembilan. Aku yakin kau masih ingin bersenang-dengannya, benar begitu?”
Hyungwon tersenyum canggung, ia menggaruk belakang kepala, seketika merasa malu. “T-tidak juga. Minhyuk memang sangat sibuk belakangan ini, dia harus mempersiapkan pertunjukan simulasi sidang di festival kampus nanti. Aku mengerti jika dia memang harus banyak-banyak istirahat.”
“Kau benar juga.” Nyonya Lee mendekati Minhyuk, mengelus rambut sang anak, senyumnya begitu tulus. “Anakku yang malang. Dia tidak dirundung ‘kan di kampus?”
Hyungwon menggeleng. “Tidak, Nyonya Lee. Sama sekali tidak. Semua orang senang dengannya.”
“Lega mendengarnya. Tolong hajar siapa pun yang berusaha menyakitinya, oke?”
Hyungwon mengerjap mendengar itu. “A-ah, ya, pasti.”
Nyonya Lee kemudian tertawa. “Aku hanya bercanda! Minhyuk tidak selemah itu, aku yakin, kau juga tahu pasti. Dia masih bisa melawan siapa pun yang cari gara-gara dengannya, tapi, saat dia lengah, aku ingin kau yang menjaga belakangnya; aku ingin kau menjauhkan siapa pun yang berusaha menjatuhkannya dari titik butanya. Selama kita hidup, setidaknya kita membutuhkan seseorang yang dapat kita beri amanah untuk bersama kita ketika kita sedang terpuruk. Hyungwon-ah, aku ingin kau menjadi orang tersebut untuk anakku.”
Hyungwon termenung mendengar pesan dari Nyonya Lee. Layaknya diberi sugesti, Hyungwon mengangguk pelan, tetapi masih harus memproses apa yang dikatakan wanita tersebut.
Nyonya Lee pamit setelah mengecup pipi sang anak dan membiarkan Hyungwon menginap di rumah mereka malam ini. Sepeninggal wanita itu, pikiran Hyungwon tidak lagi fokus ke acara televisi, isi kepalanya penuh dengan ribuan pertanyaan. Sel-selnya berdiskusi, berdebat, satu dengan yang lainnya mengutarakan opini masing-masinh. Namun, ada satu keraguan yang begitu hebat hinggap di benaknya.
Bisakah ia?
Wajah Minhyuk berhias emosi. Tatapannya berapi-api pada Changkyun yang berada di tengah-tengah podium sedang membawakan pembelaan untuk kliennya yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap salah satu petinggi perusahaan ternama.
Setiap kata yang keluar dari mulut Changkyun terdengar begitu logika, sedangkan Minhyuk, yang berperan sebagai jaksa penuntut umum, harus rela beberapa kali disanggah oleh sang pengacara andal. Semua orang yang menonton simulasi sidang di sana terlihat begitu serius, sesekali terbawa suasana kesal ketika Changkyun memotong perkataan saksi dan menjelaskan panjang-lebar bahwa kliennya tidak merencanakan aksi itu dengan sungguh-sungguh.
Hakim akhirnya mengetuk palu. Hukuman untuk terdakwa turun dari yang diberikan jaksa. Minhyuk berdecak kesal, ia melihat Changkyun tersenyum penuh kemenangan di tengah-tengah sana. Materi yang ia siapkan jauh-jauh hari masih saja belum bisa mengalahkan otak pintar Im Changkyun.
Hoseok dan Jooheon mengambil napas panjang. Hyungwon melirik keduanya heran.
“Kenapa?”
Jooheon bersandar kemudian bersedekap. “Aku masih tidak mengerti mengapa kami harus ikut denganmu pergi ke fakultas hukum dan menonton simulasi sidang begini. Kau tahu? Aku sangat tegang! Aku merasa akulah yang disidang di sana! Astaga.”
“Tapi kalau kau yang disidang di sana, hukumanmu akan diringankan oleh pengacaramu. Teman Minhyuk yang satu itu adalah mahasiswa kebanggaan fakultas hukum.”
Hoseok menggeleng. “Bayangkan jika Minhyuk yang menang. Jooheon akan dipenjara berpuluh-puluh tahun!”
“Aku akan dipenjara melebihi umurku saat ini!” Jooheon mengerjap, “tunggu. Hei! Aku bukan kriminal!”
Hyungwon mengabaikan kedua temannya, ia berdiri dari kursi penonton dan masuk ke balik podium. Ia menemukan Minhyuk yang sedang sibuk melepas jubah jaksa.
“Kau keren sekali tadi,” ucap Hyungwon lalu mengusak rambut Minhyuk.
Minhyuk menggeleng. “Tidak keren sama sekali. Lagi-lagi aku dikalahkan Changkyun.”
“Suatu hari kau pasti bisa melampauinya.”
“Tidak mungkin. Changkyun itu sudah dicanangkan agar masuk ke firma hukum ternama di Seoul. Orang-orang di sana sudah melirik Changkyun semenjak menonton anak itu di simulasi sidang pertama. Aku mungkin tidak bisa mengalahkannya, tapi mungkin aku bisa jadi yang nomor dua, dan aku tidak akan membiarkan orang lain mengambil posisi itu.”
Hyungwon tersenyum bangga. “Kau bisa menjadi nomor dua di bidang ini, tapi kau tetap nomor satu untukku.”
Merasa malu, Minhyuk pun memukul lengan Hyungwon. “Jangan bicara yang aneh-aneh. Kita masih di tempat umum.”
“Tidak ada yang melihat kita?”
“Kalau tiba-tiba ada yang masuk?”
“Ya ... biarkan saja?”
“Mana bisa begitu....” Minhyuk membereskan perlengkapannya dan bersiap pulang. “Kau akan berkunjung malam ini?”
Hyungwon menggeleng. “Tidak dulu. Hoseok dan Jooheon ingin latihan malam ini, mereka mau menyempurnakan nyanyian dan rap mereka dengan musikku, biar besok penampilan kami bisa pecah dan keren! Seperti kau hari ini, baby.”
“Sudah kubilang, aku tidak keren—”
“Minhyuk, kau di sini? Oh—” Changkyun tiba-tiba menyibak tirai, masuk begitu saja dan menemukan Minhyuk sedang bercengkerama dengan Hyungwon. Ia menatap Hyungwon dari atas ke bawah, ke atas lagi, tatapannya penuh curiga. “Sedang apa kau di sini? Apa kau memalak temanku?”
Hyungwon mengangkat kedua alis. Lelaki satu ini benar-benar tidak ada takut. “Ya, aku sedang memalak Minhyuk. Mau apa kau?”
“Mau memenjarakanmu dengan tuduhan pasal 368 dengan tindak pidana pemerasan dan kau akan dipenjara maksimal sembilan tahun.”
Hyungwon menganga. Minhyuk menutup mulut ingin tertawa.
Changkyun kembali bersuara. “Masih ingin memalak Minhyuk?”
Minhyuk mendorong Hyungwon pergi, kekasihnya itu melangkah menjauh dengan wajah masih terlihat bodoh setelah mendengar ancaman tadi.
“Jangan menakutinya.”
“Aku mencoba melindungimu, Minhyuk.” Changkyun merengkel otot, “kau mau menemaniku ke toko buku malam ini?”
Minhyuk mengangguk. “Boleh.”
Malam itu Changkyun tiba dengan sebuah skuter sederhana. Toko buku yang mereka kunjungi tidak lebih dari toko buku langganan tempat Changkyun sering sekali menghabiskan uangnya di sana. Sang Penjual juga sudah hapal wajah mereka berdua. Dalam pikirannya, ah, dua anak ini pasti mau membeli buku yang berhubungan dengan hukum lagi, kapan sebenernya mereka lulus? Tapi, toh, selama apa yang Minhyuk dan Changkyun lakukan membuahkan cuan untuknya, ia tidak mau banyak berkomentar.
Minhyuk terus memperhatikan ponselnya, berharap Hyungwon membalas pesan. Changkyun yang sudah beres memilih buku memperhatikan bagaimana warna wajah Minhyuk berubah gelisah.
“Ada apa?” tanyanya mendekat, berusaha mengintip ponsel Minhyuk, tetapi lelaki itu lekas menjauh.
“Tidak ada. Kau sudah selesai? Temani aku ke kafe sebentar, boleh?”
Changkyun mengerjap. Sempat bingung dengan perubahan itu. “Iya, boleh.”
Changkyun tidak perlu tahu apa yang menjadi kegelisahan Minhyuk. Terakhir kali Hyungwon membalas pesannya adalah sore tadi, saat Minhyuk baru saja ke luar dari kamar mandi. Lelaki itu bilang ia latihan di rumah Jooheon, dan sampai sekarang, Hyungwon tidak membalas pesannya lagi, bahkan membacanya pun tidak.
Segelas amerikano dan kue sudah ada di tangan. Minhyuk berpamitan dengan Changkyun, ia beralasan harus pergi ke rumah bibinya (lagi-lagi Changkyun menyipitkan matanya curiga). Ia mengambil taksi dan pergi ke rumah Jooheon dengan buah tangan tadi. Sesampainya di sana, Minhyuk menemukan mobil milik Hyungwon dan sebuah mobil lagi entah milik siapa, mungkin milik Hoseok, entahlah.
Bel ditekan dua kali.
Yang membukakan pintu adalah seorang perempuan.
Perempuan itu bertubuh tinggi semampai, lebih tinggi dari Minhyuk, rambutnya bergelombang, wajahnya ditutupi masker skincare beraroma persik. Minhyuk mengerjap melihat penampilannya, ia tidak menyangka yang membukakannya pintu adalah seorang perempuan, dengan masker menutupi seluruh kulit wajahnya selain mata, hidung, dan bibir.
“Apa kau salah satu rekan mereka?” tanya perempuan itu. Bibirnya bergerak kecil karena terhalang masker.
Minhyuk menggeleng. “A-aku hanya mau menemui Hyungwon.”
“Hyungwon? Kau ke rumah Jooheon untuk menemui Hyungwon?”
“Katanya dia di sini.”
Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkacak pinggang. “Dia memang di sini. Kapan anak itu mengirimu pesan? Kulihat mereka tidak ada memegang ponsel sejak tadi.”
“Dia menghubungiku tadi sore,” Minhyuk melirik ke dalam sekilas, “boleh aku masuk?”
“Kalau ada yang perlu kau katakan padanya, katakan saja sekarang, akan kusampaikan.” Ia melirik buah tangan yang dibawakan Minhyuk. “Itu untuk Hyungwon?”
“Ah, iya. Boleh aku masuk saja?”
“Dengar, kalau tidak terlalu penting, sampaikan lewat pesan saja. Kalau penting, katakan padaku biar kusampaikan padanya—“
“Hei, kau bicara dengan siapa—ah, Minhyuk!” Hoseok datang sebagai penyelamat. “Kenapa kau kemari? Mau menemui Hyungwon?”
Minhyuk mengangguk pelan, melirik takut pada wanita bermasker di sebelah Hoseok. “Iya ... rencananya begitu.”
“Dodo, jangan terlalu galak padanya.”
Wanita bernama Dodo itu menatap Minhyuk dari atas ke bawah. “Memangnya dia siapa?”
“Dia pacar Hyungwon, sekarang permisi biar kubawa dia masuk ke dalam. Lebih baik selesaikan acara skincare-mu dulu.” Hoseok pun menarik tangan Minhyuk dan membawanya masuk, meninggalkan Dodo yang terkejut.
Minhyuk masih ingat bagaimana isi rumah Jooheon yang amat luas. Di tempat inilah kisah cintanya dimulai. Dari sebuah ruangan, Minhyuk melirik ke dalam, menemukan Jooheon dan Hyungwon yang tidak mengenakan atasan, dan seorang perempuan lain duduk di antara mereka.
Astaga, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa mereka sedang melakukan pesta kumpul kebo?
“Hyungwon—”
Belum sempat Hoseok memberitahu Hyungwon, Minhyuk sudah menariknya dan menutupi mulut Hoseok. “Jangan panggil dia.”
Hoseok mengerjap. Pipinya memerah sebab posisi wajah Minhyuk begitu dekat dengan wajahnya. Ia langsung melihat kedua mata Minhyuk yang berkilau. Indah, tetapi ada rasa takut di sana. Inikah pemandangan yang sering Hyungwon lihat? Betapa beruntung.
“Berikan saja ini untuknya, aku tidak mau mengganggu kalian,” bisik Minhyuk kemudian melepaskan tangannya dari mulut Hoseok.
Hoseok menerima buah tangan Minhyuk yang berisi segelas amerikano dan kue. “Kau tidak mengganggu sama sekali. Kami sebentar lagi selesai, aku panggilkan Hyungwon untukmu, ya?”
Minhyuk menggeleng tidak mau.
“Kenapa?”
Itu bukan suara Hoseok. Wanita bermasker tadi ikut berbisik di antara mereka.
Hoseok menatap Minhyuk dan Dodo dengan canggung. “Uh....”
"Kenapa kau tidak mau menemui Hyungwon?” tanya Dodo menggebu-gebu. “Kalian bertengkar, ya? Oh, atau kau cemburu ada perempuan lain di dalam sana? Ayo jawab, aku suka gosip.”
“Dodo!” seru Hoseok nyaring. Membuat orang-orang yang ada di dalam ruangan sana ikut menoleh.
Minhyuk terjengat, ia buru-buru berbalik pergi sebelum Hyungwon melihatnya ada di sana. Jooheon dan Hyungwon segera menghampiri, tetapi Minhyuk sudah tidak ada di sana lagi.
Hyungwon melirik plastik yang ada di tangan Hoseok. “Kau tadi ke luar membeli itu?”
Hoseok berdecak kesal, ia menyerahkan plastik itu langsung ke dada Hyungwon. “Untukmu.”
“Untukku?”
Jooheon berseru protes. “Untukku mana?”
“Bukan aku yang beli—”
“Tadi pacarmu datang, Hyungwon. Siapa namanya tadi? Aku lupa,” ujar Dodo lalu masuk ke dalam ruangan kecil tadi dan menghampiri perempuan yang ada di sana.
Hyungwon mengernyit, ia menoleh pada Hoseok. “Minhyuk tadi datang? Kenapa kau tidak memberitahuku?”
“Dia menolak menemuimu.”
“Kenapa?”
“Aku juga menanyakan hal yang sama!” teriak Dodo. “Sepertinya dia tidak terlalu suka melihat kau bertelanjang dada begitu sementara ada perempuan cantik lain yang satu ruangan denganmu.”
“Bisakah kau diam? Urus saja skincare-mu itu, Dodo!” balas Hyungwon tidak kalah nyaring.
“Hei! Yang sopan! Aku kakakmu!”
“Kita hanya berbeda tujuh menit!” Hyungwon buru-buru memasang kausnya dan mengambil kunci mobil. “Dan seharusnya kau beritahu dia soal Dior, atau kau juga bisa beritahu dia kalau kau itu saudari kembarku, atau kau bisa beritahu Minhyuk kalau perempuan di sana itu pacarmu!”
Dodo memutar bola matanya jengah. “Untuk apa? Aku suka liat kau terpuruk. Lagipula kau tidak pernah cerita soal dia selama aku masih di Inggris. Anyway, jangan habiskan persediaan wiski kita, in case kau diputusi dan perlu minum-minum. So, good luck, my little brother.”
Hyungwon menyumpah. Ia lelah punya saudari paling buruk sealam semesta.
“Dan mereka bilang, anak hukum itu terlalu serius, tapi lihatlah mereka,” Changkyun mengitari sekitar, pada orang-orang yang berkunjung ke fakultas seni. Mereka semua mengenakan pakaian yang eksentrik, bahkan ada yang jauh lebih aneh dari lainnya; jiwa seni sudah sangat melekat di nadi mereka. “Aku seperti dikelilingi sekumpulan alien.”
Minhyuk turut melihat pemandangan yang terjadi di setiap sudut festival budaya yang diadakan di fakultas seni. Berbanding terbalik dengan pengunjung yang mengunjungi pertunjukan simulasi sidang di fakultas mereka, fakultas seni memang selalu menjadi andalan urusan perayaan seperti ini.
Manusia membludak. Tenda makanan berjejer di sepanjang lahan depan gedung fakultas. Minhyuk sudah membeli gula kapas sebagai pengganjal lapar. Menjelang malam, orang-orang semakin berdatangan. Jadwal Hyungwon tampil adalah sekitar pukul tujuh malam. Kekasihnya itu akan menjadi DJ, memainkan musik elektronik pemekik gendang telinga, diiringi nyanyian Hoseok dan rap Jooheon di tengah-tengah pertunjukan.
Kemarin, setelah pergi begitu saja dari rumah Jooheon, Ibunya bertanya apakah ia bertemu Hyungwon sebelumnya. Minhyuk menggeleng dusta, rupanya Hyungwon menyusul ke rumahnya, tetapi agaknya mereka berselisih karena Minhyuk berjalan kaki, mampir ke minimarket sebentar untuk membeli beberapa roti, baru pulang ke rumah setelah menghabiskan roti tadi di taman terdekat. Ponselnya pun ia matikan, ia sedang tidak ingin berhubungan dengan Hyungwon malam itu.
Sampai sekarang.
Mungkinkah Hyungwon akan terkejut melihat Minhyuk hadir di festival fakultasnya bersama dengan Changkyun setelah kemarin mendiamkannya tanpa alasan pasti?
“Minhyuk, temani aku beli minuman di sana.”
Minhyuk melihat arah tunjuk Changkyun. Tenda penjual minuman yang diinginkan Changkyun berada dekat dengan sisi belakang panggung.
“Kenapa harus yang itu?”
“Karena aku ingin yang itu.” Changkyun tidak ingin mendengar penolakan dari temannya, ia pun menyeret Minhyuk secara paksa agar menghampiri tenda penjual yang ia inginkan. “Ayo.”
Tidak banyak yang bisa Minhyuk lakukan. Langkahnya mengekori jalan Changkyun yang terkesan menggebu-gebu. Minhyuk tidak terlalu bersemangat, ia hanya ingin melihat penampilan Hyungwon dengan rekan-rekannya setelah itu pulang ke rumah.
Changkyun masih menunggu pesanannya diberikan, sementara itu Minhyuk menyipitkan mata, ia melihat ke suatu titik di dekat panggung. Ada Hyungwon di sana, kebetulan sekali. Dengan dua perempuan yang sedang bersamanya, mereka seperti sedang berargumen, Minhyuk tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas karena cukup jauh. Hyungwon terlihat mengusap wajahnya dan duduk di sebelah perempuan tadi, perempuan yang satunya masih berdiri, berkacak pinggang—mungkinkah itu Dodo?
Dodo—kemungkinan—tiba-tiba melihat ke arah Minhyuk berdiri, melirik sebentar, kemudian mengucapkan sesuatu. Perempuan yang duduk di sebelah Hyungwon mendekatkan posisi duduknya lalu mengecup pipi Hyungwon.
Minhyuk terbelalak. Apa yang baru saja ia lihat? Apakah Dodo yang memerintahkan perempuan itu mengecup Hyungwon?
Hyungwon sendiri terlihat kaget, ia mengusap kasar kecupan tadi, kemudian melihat ke arah belakang sesuai telunjuk Dodo yang mengarah pada Minhyuk. Wajah Hyungwon pucat pasi, tepat ketika ia ingin menyusul, Minhyuk sudah melangkah mundur dan meninggalkan tempatnya berdiri; meninggalkan Changkyun yang celingak-celinguk mencari sang teman akrab sudah tidak ada lagi di sana.
Hyungwon mengentakkan kakinya kesal. Dodo tertawa setengah mati.
Pada akhirnya, Minhyuk pulang ke rumah tanpa sempat menikmati pertunjukan dari fakultas seni. Apa pun itu, masa bodoh. Pikirannya sudah terlalu kalut.
Minhyuk—tidak membalas pesan Hyungwon selama tiga hari penuh.
Di kampus, ia juga menjauhi Hyungwon. Jika tiba-tiba Hyungwon muncul di luar kelas, ia akan meminta Changkyun untuk mengusir dengan alasan laki-laki itu masih setia memalaknya. Changkyun jelas pasang badan paling depan untuk membela sang sobat.
Banyak hal yang menjadi pemikiran Minhyuk selama ia mendiamkan kekasihnya. Benar, ia memang cemburu ketika melihat ada perempuan lain ada di dalam ruangan yang sama dengan Hyungwon sementara lelaki itu tidak memakai atasan. Benar, ia cemburu ketika perempuan yang sama tiba-tiba saja mengecup pipi kekasihnya. Namun, bukan itu yang menjadi masalah utama. Minhyuk memikirkan sekali lagi perihal rahasia hubungannya dengan Hyungwon, sementara kekasihnya itu terbuka dengan kedua temannya, Minhyuk justru menutup-nutupi dari Changkyun.
Mungkin jika mereka terbuka sejak awal, tidak akan yang ada yang semena-mena dengan perasaannya. Tidak akan ada perbuatan jahil yang membuatnya cemburu tidak jelas. Karena semua orang tahu Hyungwon adalah kekasih Minhyuk dan sebaliknya.
Saat ada masalah seperti kemarin, Minhyuk tidak tahu harus bertumpu pada siapa selain diri sendiri. Orang tuanya memang tahu, tetapi mana mungkin ia menceritakan masalahnya pada mereka.
Apa sudah saatnya Minhyuk mengatakan pada dunia jika Hyungwon itu kekasihnya?
Tidak, tidak. Ia belum siap.
Lalu, kapan? Mau berapa banyak orang yang harus Hyungwon tolak ajakan kencannya dengan alasan murahan padahal sebenernya ia sudah punya Minhyuk? Mau berapa kali Changkyun harus Minhyuk bohongi? Mau berapa lama seperti ini?
Nafsu makan Changkyun hilang. Minhyuk, yang duduk di depannya, hanya memainkan nasi dan ayam dengan sumpit, tidak ada niatan makan. Mereka sedang berada di kantin selagi menunggu kelas selanjutnya.
“Minhyuk-hyung, kau mau membicarakannya?” tanya Changkyun khawatir.
Sedikit terkejut mendengar Changkyun setelah sekian lama akhirnya kembali memanggilnya dengan sebutan sopan. “Nanti, Changkyun-ah.”
“Aku ikut sedih melihatmu begini. Kau tidak semangat menjalani kelas, kau bahkan lebih banyak diam.”
“Maafkan aku.”
“Kau tidak percaya padaku?”
“Bukan begitu.” Minhyuk meletakkan sumpitnya. “Kubilang, nanti akan kukatakan padamu.”
“Apa ini soal pacarmu?”
Minhyuk terdiam. Changkyun menarik kesimpulan jika apa yang ia katakan kemungkinan benar.
Seseorang tiba-tiba duduk di antara mereka. Ia membawa segelas es kopi di tangan. Lelaki itu mengambil posisi berdempetan dengan Minhyuk. Ia laki-laki yang beberapa hari terakhir seringkali Changkyun usir.
“Ini kantin fakultas hukum, kenapa mahasiswa seni jauh-jauh kemari?” tanya Changkyun sinis.
Hyungwon menyeruput es kopinya. “Memangnya tidak boleh?”
“Bukan tidak boleh, lebih ke mengapa harus fakultas hukum? Dan bukannya fakultas lain.”
“Karena aku mau menemui Minhyuk.”
“Berhentilah memalaknya—”
“Aku tidak memalak Minhyuk.” Hyungwon menghela panjang, menatap Minhyuk yang tidak berekspresi. “Aku tidak akan pernah melakukan itu padanya.”
Melihat tatapan Hyungwon yang berbeda membuat Changkyun mengernyit. “Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang tidak kuketahui?”
“Dia tidak tahu?” Hyungwon menunjuk Changkyun seraya melihat ke arah Minhyuk, “kau tidak mengatakan padanya?”
Minhyuk menggeleng.
"Sedikit pun?"
Minhyuk menggeleng lagi.
“Mengatakan apa?” tanya Changkyun penuh tanda tanya.
Angin berembus sepoi. Orang-orang tertawa dan terlihat bahagia. Ibu kantin senang melihat makanan buatannya habis hari itu. Dan ada Hyungwon yang menjawab pertanyaan Changkyun dengan:
“Aku bercinta dengan Minhyuk.”
Minhyuk menggebrak meja dengan kedua tangan. Changkyun tersedak ludah sendiri. Hyungwon mengaduh ketika kakinya diinjak oleh orang di samping.
“Apa-apaan kau ini?” seru Minhyuk lalu membawa nampan makanannya menjauh. Ia meletakkannya di pantri, menatap tajam ke arah Hyungwon dan berlalu pergi.
Hyungwon bersandar, mimiknya berubah murung. “Kukira dia akan tertawa.”
“Tidak akan ada yang tertawa jika kau mengatakan garis besar hubungan kalian seperti itu,” jawab Changkyun lalu mengunyah makanannya kembali seakan tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi.
Hyungwon melirik Changkyun, yang terlihat tenang menikmati makanannya. “Apa Minhyuk menceritakan masalahnya belakangan ini padamu?”
Changkyun menggeleng. “Tidak ada. Dia memang banyak bicara, tapi hampir tidak pernah menceritakan masalah pribadi.”
“Pernahkan dia menyebut namaku?”
“Sekali pun tidak pernah, kecuali saat dia memintaku mengusirmu belakangan ini. Minhyuk menutupi hubungan kalian dengan sempurna.” Changkyun menunjuk Hyungwon dengan sumpitnya. “Sejujurnya, aku tidak pernah menyangka jika dalang dari semua ini adalah kau.”
“Maksudmu?”
“Aku tidak menyangka jika kaulah kekasih Minhyuk. Aku memang menduga Minhyuk berpacaran dengan seseorang, tapi tidak menyangka jika itu kau, Chae Hyungwon dari fakultas seni.”
“Kalau bukan aku, lalu siapa?”
“Kukira dia akan berkencan dengan teman satu klub radio, atau teman sesama jurusan hukum. Tidak secara random dengan orang populer dari fakultas yang berbeda. Kecuali jika kalian bertemu di tempat dan situasi di mana orang-orang berkumpul dari jurusan yang berbeda—” Changkyun terbelalak, lagi-lagi menunjuk Hyungwon dengan sumpit. “Pesta. Pesta di rumah Jooheon. Kau orang yang menciumnya di pesta waktu itu.”
Hyungwon mengangguk mantap. “Benar.”
“Sekarang ini semua masuk akal.”
Hyungwon tersenyum kecil mengingat interaksi pertamanya dengan Minhyuk saat di pesta Jooheon waktu itu. Ia sering kali kembali ke momen tersebut, bagaimana semuanya berawal dari Minhyuk yang sakit hati karena teman kencannya meninggalkannya, lalu di sana Hyungwon menawarkan diri sebagai pengobat hati. Tidak menyangka jika ia benar-benar jatuh cinta dengan lelaki itu; jatuh sejatuh-jatuhnya sampai Hyungwon pikir ia tidak dapat merasakan perasaan yang seperti ini lagi untuk orang lain.
Changkyun menatap Hyungwon yang terdiam merenung menatap gelas kopi, es di dalamnya mencair, pasti rasanya sekarang sudah hambar. Ia menghela, ini bukan ranah Changkyun, ia tidak bisa memberikan nasihat percintaan dengan seseorang terlebih karena pengalaman cintanya memang masih sangat sedikit.
“Kau sangat menyukainya?” tanya Changkyun serius.
“Minhyuk? Tentu saja. Aku mengiriminya pesan ‘aku menyukaimu’, ‘aku mencintaimu’, setiap hari.”
Changkyun ingin muntah mendengar itu. “Perkataan atau tulisan saja tidak menjamin apa pun. Kecuali jika kau melakukan sumpah tertulis di atas kertas, lalu ditempeli materai yang jika kau melanggarnya, kau harus ke pengadilan dan membayar denda.”
“Aku ini mahasiswa seni, jangan beri aku pemahaman tentang hukum, aku tidak akan mengerti.”
“Aku juga tidak ahli dengan hal ini. Aku hanya bisa mengucapkan semoga beruntung padamu. Minhyuk tidak serumit itu, beri waktu dia untuk bepikir.”
“Harus berapa lama?”
“Kenapa harus bertanya berapa lama? Tunggu saja. Tunggu saja sampai dia datang padamu. Minhyuk pasti akan kembali padamu, aku yakin dia juga sangat—eum, menyukaimu? Jadi, menurutku, yang kau perlukan saat ini hanyalah waktu dan kesabaran.”
“Bagaimana jika aku merindukannya?”
“Tumpuk saja rindumu itu. Tumpuk sampai setinggi langit. Ketika Minhyuk sudah kembali padamu, runtuhkan semuanya, tumpahkan semuanya. Aku rasa kalian berdua akan menyukainya jika seperti itu, karena yang akan rindu bukan hanya kau saja, tapi Minhyuk juga.” Changkyun telah menyelesaikan santapannya dan bersiap menjauh. “Aku tidak percaya aku mengatakan ini pada orang yang sedang dilanda masalah percintaan, seingatku aku ini masih mahasiswa hukum.”
Hyungwon tersenyum. “Terima kasih. Kau sangat membantu.”
“Hyungwon, kupikir kau bukanlah orang jahat seperti semua rumor yang beredar tentangmu. Kau memang terlihat tangguh dari luar, tapi ketika kau lemah, kau menjadi sangat lemah. Kau lemah dari siapa pun. Aku harap penantianmu akan membuahkan hasil, aku juga akan menunggu kabar baik dari kalian berdua. Semoga beruntung.”
Sedikit banyak petuah dari Changkyun membuat segalanya terlihat lebih baik. Waktu dan sabar, hanya itu bekal yang dimiliki Hyungwon. Karena jika sekalipun ia memaksa, Minhyuk hanya akan memperpanjang masa sabarnya. Toh, berapa kali pun ia mengirimi pesan, tidak akan pernah ada balasan.
Hari itu, Hyungwon pun berhenti mengirim pesan pada Minhyuk.
Semua terasa sangat aneh.
Bagaimana ceritanya mahasiswa dari jurusan hukum dan jurusan seni memiliki tujuan destinasi belajar yang sama. Kolaborasi antara hukum dan seni, kata para dosen. Tahi kucing.
Minhyuk berulang kali menghela napas. Total dua bulan ia mendiamkan Hyungwon dan hari ini adalah hari yang sangat merepotkan karena ia benar-benar harus menghindar dari lelaki itu berulang kali. Mulai dari dalam pesawat, Minhyuk berdoa dalam hati semoga tidak bersebelahan dengan kursi Hyungwon, dan bersyukur sekali ia mendapatkan tempat duduk yang jauh dari tempat Hyungwon berada. Kedua adalah saat mereka harus menerima pengarahan dari para penunjuk arah, Minhyuk duduk di tempat terjauh yang sekiranya tidak dapat dijangkau oleh Hyungwon.
Ia dapat merasakan tatapan Hyungwon yang terasa panas di punggungnya. Minhyuk merasa bersalah, dan tidak tahu kapan harus menghentikannya. Ini semua terdengar sangat kekanakan. Terkadang Changkyun menakut-nakuti, jika Minhyuk mendiamkan lelaki itu lebih lama lagi, Hyungwon mungkin saja benar-benar akan meninggalkannya karena terlalu lelah dengan sikap Minhyuk yang seenaknya mendiamkan.
Lebih lucu lagi saat salah satu dosen mengatakan jika mahasiswa seni dan hukum masing-masing akan menginap di satu kamar yang sama dengan alasan agar hubungan kekeluargaan antar mahasiswa dapat lebih terjalin dekat dan akrab. Asal kalian tahu saja, hubungan Minhyuk dengan Hyungwon jauh dari sekadar akrab.
Maka ketika Minhyuk mendengar kriteria mahasiswa seni yang akan satu kamar dengannya, ia langsung berkeringat dingin. Tubuhnya besar, salah satu kebanggaan fakultas seni, tampan, populer, Minhyuk langsung memikirkan satu orang. Ia sudah memikirkan hal apa saja yang harus ia lakukan misalnya ia satu kamar dengan Hyungwon.
Namun, yang masuk ke dalam kamarnya saat itu bukanlah orang yang Minhyuk perkirakan.
Keduanya saling mengerjap melihat teman sekamar.
“H-halo,” ucapnya membungkuk sopan.
“Halo,” jawab Minhyuk ikut membungkuk.
Kriteria bertubuh besar, kebanggaan fakultas seni, tampan, populer, rupanya tidak hanya dimiliki Hyungwon saja. Minhyuk ingin meminta maaf pada orang di depannya ini, yang mana adalah Hoseok, karena tidak membukakan pintu kamar untuknya lebih cepat sebab ekspektasinya yang mengira ia akan satu kamar dengan Hyungwon meneror isi kepala.
Tersirat sedikit perasaan kecewa, tetapi Minhyuk segera menepisnya.
“Jadi ... kita satu kamar,” ujar Hoseok meletakkan kopernya di samping kasur. “H-haruskah aku bertukar dengan Hyungwon?”
Minhyuk menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku belum sanggup satu kamar dengannya, kau tahu sendiri, situasi kami sedang tidak baik.”
“Ah, ya, aku mengerti.”
Kecanggungan begitu terasa. Hoseok benar-benar merasa ia harus pindah, tetapi melihat Minhyuk yang sedang duduk di samping kasur, menatap ke luar jendela dengan ekspresi sedih, membuatnya berpikir ulang.
Mungkin ada baiknya ia tetap di sini.
Sementara itu, Hyungwon berlari di koridor hotel, menyeret kopernya dengan cepat. Ia begitu antusias ketika tahu mahasiswa hukum yang akan satu kamar dengannya adalah salah satu mahasiswa unggulan fakultas, menarik secara wajah dan penampilan, dan juara kontes busana. Hyungwon tidak mendengar apa pun lagi setelahnya karena ia sudah mengira ia akan satu kamar dengan Minhyuk, padahal penjelasan setelahnya begitu penting, tetapi ia hiraukan.
(“Siapa yang akan satu kamar denganku?” tanya Hyungwon pada dosen yang mengatur urusan penginapan.
“Yang pasti salah satu mahasiswa hukum.”
“Nama?”
“Kau menyuruhku mengingat empat puluh tiga nama mahasiswa hukum?” jawab dosen itu berkacak pinggang.
“Baiklah. Berikan ciri-cirinya.”
“Kau ini ada-ada saja, Chae Hyungwon. Kudengar dia salah satu mahasiswa unggulan fakultas hukum, dia juga berpenampilan menarik, salah satu juara kontes busana di pagelaran festival budaya dulu, wajahnya juga oke, tubuhnya agak lebih pendek, sikapnya cukup dingin, dia juga sangat pandai bahasa Inggris. Kupikir dia akan sangat membantumu selama tur ini, Hyungw—huh? Mana anak berandal tadi?”)
Changkyun berada di kasur sedang membaca buku. Selimut sudah menutupi setengah tubuh. Lampu kuning temaram menghiasi ruangan.
Salah satu mahasiswa unggulan fakultas hukum? Tiada bukan, Im Changkyun. Berpenampilan menarik? Changkyun, tentu saja. Juara kontes busana di pagelaran festival budaya? Hei, Changkyun itu juara kedua, maka dia tetap dinamakan juara!
“Kau terlihat kecewa, kawan,” ucapnya saat Hyungwon sampai di kamar mereka.
Hyungwon mengeluh nyaring. Ia melempar koper dan terduduk murung. “Aku berharap akan disambut Minhyuk, ternyata yang satu kamar denganku justru kau.”
Changkyun mengangkat bahu. “Aku sendiri tidak masalah harus satu kamar dengan siapa.”
“Tapi aku ingin dengan Minhyuk.”
“Haruskah itu menjadi masalahku? Jangan menangis di sini, kau mengganggu acara membacaku.”
Hyungwon merengut. Ia ingin menangis dengan semua kesialan ini.
Selama tur berlangsung, Minhyuk lebih banyak bersama Hoseok, dan Hyungwon bersama Changkyun. Minhyuk merasa beruntung memiliki rekan belajar seperti Hoseok, yang punya banyak pengetahuan sejarah mengenai Socrates, Aristoteles, dan tokoh sejarawan Yunani lainnya. Sesekali Minhyuk akan melirik apa yang Hyungwon kerjakan bersama Changkyun, seringkali ia lihat Changkyun menerangkan sesuatu pada Hyungwon, dan lelaki itu mengangguk mendengarkan. Minhyuk tersenyum melihat interaksi keduanya.
Hoseok mengikuti arah pandang Minhyuk. “Mau menyapa mereka?”
Minhyuk menggeleng. “Aku masih belum siap bertemu Hyungwon. Aku merasa sangat bersalah sudah mendiamkannya, sementara dia terus menunggu, aku tidak tahu kapan harus berhenti bertingkah kekanakan.”
“Hyungwon itu ... sangat menyayangimu.”
“Aku tahu.”
“Lalu kenapa?”
“Kenapa apa?”
“Kenapa kau sia-siakan waktunya untuk menyayangi seseorang tanpa kepastian seperti dirimu?”
Minhyuk terdiam. Rasa nyeri menekan dadanya. Ia berhenti menulis dan menatap lurus pada Hoseok yang sibuk menulis, tidak menjawab tatapan lawan bicara. “Kau berpikir begitu?”
“Yang aku lihat seperti itu.”
Minhyuk merasakan matanya memanas. “Aku ... kalau begitu ... aku harus bagaimana?”
“Kau juga menyayanginya, ‘kan? Kalau begitu selesaikan masalahmu berdua dengannya, jangan kau urus sendiri. Hyungwon tidak akan tahu apa yang terjadi padamu, dia hanya akan terus menunggu, menunggu, menunggu, sampai tidak sadar jika ia menunggu sesuatu yang tidak pasti, karena kau tidak memberikan kepastian padanya. Akan lebih baik jika kalian menyelesaikan perkara bersama-sama, karena jujur saja, melihat kalian berjauhan seperti ini terlihat terlalu drama. Kalian berdua itu sudah dewasa, sudah satu tahun lebih berpacaran, bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya? Apakah jika ada masalah kecil kalian akan tetap seperti ini? Tegaskan saja semuanya, kalau kau tetap ingin menjauhi Hyungwon dan tidak berbicara dengannya, putuskan saja. Daripada saling menggantung seperti ini, lebih baik kalian mencari pasangan yang baru—ah ... b-bukan begitu maksudku. M-maaf, aku—aku tidak bermaksud menyakiti hatimu. Minhyuk, jangan menangis, a-aku minta maaf. Kumohon jangan menangis, Minhyuk.”
Seluruh perkataan Hoseok menghantam dadanya. Ia sudah menahan air mata sejauh ini, tetapi ketika seluruh perkataan pedas yang Hoseok lontarkan padanya terasa begitu menusuk, Minhyuk tidak dapat membendun lagi. Hoseok berusaha menyeka air matanya dan berulang kali melirik Hyungwon dan Changkyun agar dua orang itu tidak melihat Minhyuk yang menangis karena kata-katanya.
“Minhyuk, maafkan aku, sungguh, aku tidak sadar sudah berkata terlalu banyak sampai menyakiti hatimu.”
Minhyuk menggeleng. “Tidak, kau ada benarnya.”
“Tidak, tidak. Aku salah. Aku salah tidak memahamimu dan terus melantur, aku hanya berkata dari sudut pandang orang yang terus bersama dengan Hyungwon, tidak dari sudut pandangmu. Aku benar-benar minta maaf, Minhyuk.”
Minhyuk tertawa ironi. Begitukah yang dilihat orang-orang? Bagaimana dengan Changkyun? Apakah temannya itu juga melihatnya seperti itu?
“Menurutmu, haruskah aku mengakhirinya? Hubunganku dengan Hyungwon.”
Hoseok semakin panik, ia benar-benar tidak sadar mulutnya terus melanturkan sesuatu yang salah. Hyungwon akan sangat membencinya jika tahu ia yang telah membuat Minhyuk menangis saat ini.
“Jangan, jangan jangan jangan jangan jangan. Jangan putus. Jangan akhiri. Lupakan kata-kataku yang terakhir tadi. Hyungwon akan membunuhku jika tahu ini semua, Minhyuk. Aku benar-benar ingin kalian kembali, sungguh.” Hoseok menggenggam kedua tangan Minhyuk, menatapnya dalam dan saksama. “Kau bisa, Minhyuk. Kau bisa memperbaikinya. Kalian berdua hanya perlu dialog. Aku yakin kalian akan baik-baik saja. Aku sangat senang jika bisa melihat kalian kembali bersama. Tidak masalah jika kalian bercumbu di depanku atau Jooheon, tidak masalah jika kalian bermesraan di depan kami, tidak apa-apa! Maaf sudah menyakiti hatimu dan membuatmu menangis, Minhyuk. Kembalilah padanya—”
“Jadi, kau yang membuat Minhyuk menangis?”
Itu suara Changkyun. Berat dan terkesan horor. Di belakangnya berdiri Hyungwon dengan aura yang menyeramkan, matanya menatap tajam pada tangan Hoseok yang menggenggam tangan Minhyuk erat.
“Apa yang sudah kau lakukan?” tanya Changkyun lagi.
Hoseok tersenyum canggung. “Hanya sedikit ... dorongan semangat untuk Minhyuk.”
“Sampai Minhyuk menangis begitu?”
"Aku menangis haru, Changkyun-ah. Jangan berpikir yang aneh-aneh terhadap Hoseok.” Minhyuk melepaskan genggaman Hoseok. Ia melangkah mendekati Hyungwon, berdiri tepat di hadapannya dengan mantap. “Kita bicara malam ini.”
Mereka saling menatap dalam diam. Minhyuk yang pertama memutusnya, ia berbalik, sebelum tangannya dicegat oleh Hyungwon.
“Aku merindukanmu.”
Minhyuk menatap tangan itu, Hyungwon memeganginya begitu lembut, hatinya trenyuh. “Aku juga. Aku juga.”
Sepeninggal Minhyuk, Hoseok merasa nyawanya terancam ketika ia harus ditinggalkan berdua dengan Hyungwon dan Changkyun.
“Sungguh, tadi itu, aku hanya memberikan kata-kata penyemangat saja untuknya, mungkin terlalu berlebihan sampai Minhyuk menangis—”
“Aku sangat ingin menjebloskanmu ke penjara, tapi aku tidak punya bukti konkrit sehingga tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Sekali lagi kulihat Minhyuk seperti itu saat bersamamu, aku tidak akan segan-segan mengirimkanmu ke jeruji besi, bahkan neraka sekalipun. Ini juga berlaku untukmu, Chae Hyungwon. Aku permisi.”
Hoseok akhirnya dapat bernapas lega. “Uwah, dia sangat menyeramkan. Aku tidak akan pernah mau dekat-dekat dengannya.”
Hyungwon menghiraukan perkataan Hoseok. Ada banyak hal yang harus ia persiapkan untuk malam ini, baik nantinya ia akan menerima kabar buruk atau kabar baik, Hyungwon harus bersiap dengan segala kemungkinan.
Mereka duduk bersila di atas alas karpet, saling berhadapan. Akhirnya Minhyuk dapat melihat Hyungwon dari jarak dekat setelah sekian lama. Dua bulan tidak berjumpa terasa layaknya berabad-abad.
“Kau yakin ingin membicarakannya?” tanya Hyungwon hati-hati.
“Aku tidak mau membuatmu menunggu lebih lama dari ini.”
“Aku dapat menunggumu sampai kapan pun.”
Minhyuk menggeleng, mendekatkan posisi duduknya dengan Hyungwon. “Jangan berkata seperti itu, aku justru semakin merasa bersalah.”
“Sepertinya aku yang pertama kali harus menjelaskan sesuatu padamu. Pertama-tama, perempuan yang duduk dalam satu ruangan denganku dan yang mengecup pipiku waktu itu adalah perempuan yang sama. Namanya Dior, dan dia adalah kekasih Dodo. Kedua, Dodo adalah saudari kembarku.”
Minhyuk mengerjap, tidak menyangka selama ini ia cemburu pada sesuatu yang tidak seharusnya ia cemburui. Sadar jika selama ini ia tidak benar-benar melihat wajah Dodo dengan jelas, sebab pertama kali Minhyuk bertemu dengannya, perempuan itu menggunakan masker yang menutupi seluruh wajah, kedua adalah saat festival budaya di mana jarak antara Dodo dengannya lumayan jauh sehingga wajahnya tidak terlihat jelas.
“Kenapa Dior menciummu?”
“Dodo yang menyuruhnya—ah, keduanya memang suka sangat jahil. Dodo melihatmu waktu itu, lalu meminta Dior menciumku. Dia juga sengaja tidak menjelaskan padamu hubungan kami berdua, dia benar-benar ingin membuatku terpuruk. Kau tahu, kami memang bersaudara, tapi sejak dulu kami memang sangat ingin menjatuhkan satu sama lain, hubungan kami tidak terlalu baik. Dodo sangat sering menggangguku. Kau lihat sendiri, dia datang ke rumah Jooheon padahal aku sedang latihan, lalu datang menemuiku saat aku sebentar lagi mau tampil, dan merusak semuanya. Dia tiba dari Inggris yang kukira dia akan menetap di sana selamanya, ternyata dia pulang ke Korea, hanya agar bisa mengacau.”
Hyungwon meraih tangan Minhyuk, mengelus kulitnya lembut dengan ibu jari. Ia kembali bersuara. “Maafkan aku tidak memberitahumu sejak awal. Aku sendiri tidak ingin mengenalkanmu padanya, aku ingin kau jauh-jauh darinya. Setelah ini kau tahu sendiri, aku punya saudari paling buruk sedunia.”
Minhyuk tersenyum sambil mendengar penjelasan Hyungwon dengan saksama, tidak ada niatan menyanggah sama sekali, ia biarkan kekasihnya itu berbicara sampai tuntas.
“Dior—kekasih Dodo—wajahnya sangat mirip denganmu, apalagi jika kau berdandan seperti perempuan, seolah-olah kau adalah Dior apa adanya. Karena itu kupikir aku dan Dodo benar-benar saudara kembar sejati sampai memiliki tipe pasangan yang sama. Bedanya, Dior itu sassy setengah mati, sedangkan kau pintar, menyenangkan, definisi matahari berbentuk manusia, kesayanganku, dan menggemaskan lucu sekali.”
Wajah Minhyuk berubah geli mendengar semua pujian Hyungwon yang ditujukan padanya. “Aku juga bisa seperti Dior kalau kau mau.”
“Jangan. Kumohon. Aku tidak ingin kau tiba-tiba mencium pipi orang lain hanya agar kau bisa membuat kekasih orang itu menjauhinya tiga bulan penuh.”
Minhyuk mengernyit. “Dua bulan, bukan tiga bulan.”
“Oh, ya? Terasa jauh lebih lama dari itu.” Hyungwon memperhatikan tangan Minhyuk, meskipun besar, tetapi jari-jarinya begitu lentik dan cantik. “Omong-omong, aku sangat merindukanmu.”
Minhyuk tersenyum, menggenggam erat tangan Hyungwon yang melingkupi tangannya. “Aku juga. Tidak pernah sekali pun aku merasa tidak merindukanmu. Maafkan aku, Hyungwon. Maafkan aku sudah mendiamkanmu. Aku merasa sangat bersalah, tapi aku sendiri perlu waktu untuk berpikir.”
“Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu, kau bisa mengatakannya kapan pun, aku akan menunggu.”
“Tidak, Hyungwon. Aku ingin menuntaskannya, sekarang juga.”
Hyungwon meneguk ludahnya gugup. Ia mengeratkan genggamannya pada tangan Minhyuk. “Baiklah.”
Minhyuk mengambil napas panjang. Waktu dua bulan sudah cukup lama untuknya memikirkan ini; memikirkan semua risiko keputusannya ini. Ia yakin Hyungwon tidak akan masalah, orang lain justru yang akan masalah, tapi apalah untungnya mendengarkan coletehan orang lain? Tidak akan pernah ada habisnya.
Kedua matanya tertuju pada dua netra hitam Hyungwon. Perasaan gelisah, khawatir, cemas; tercampur di dalam sana, takut jika apa yang Minhyuk katakan hanyalah kabar buruk untuk dirinya. Minhyuk tersenyum kecil, ia merasa aman, karena Hyungwon percaya padanya, dan ia tidak akan mengecewakan lelaki itu.
“Mulai sekarang, jika ada yang mengajakmu berkencan, bilang saja kau sudah punya kekasih,” Minhyuk mengeratkan genggamannya, menatap kedua mata Hyungwon dengan tegas, “kemudian, sebut namaku.”
Hyungwon membola. “Kau tidak ingin menutupi hubungan kita lagi?”
“Aku ingin semua orang tahu tentang kita berdua. Aku sudah lebih percaya diri. Dua bulan berkutat dengan diri sendiri membuatku sadar dengan sesuatu, selama ini aku selalu takut dengan reaksi orang yang ada di sekitarku. Padahal jika dipikirkan, orang tuaku mendukung saja dengan keputusanku, mereka juga menyukaimu. Changkyun. Dia juga terlihat tidak ada masalah. Hanya mereka yang dekat denganku dan itu semua sudah lebih dari cukup. Mau orang lain mendukung hubungan kita atau tidak, selama sudah ada Changkyun dan orang tuaku, kupikir aku akan baik-baik saja. Kita akan baik-baik saja.”
Kedua mata Hyungwon berkaca-kaca, ia tersenyum lega. “Minhyuk....”
“Aku benar-benar minta maaf, Hyungwon. Maaf sudah membuatmu menunggu, maaf sudah mendiamkanmu, maaf sudah bertingkah kekanakan. Aku tidak berjanji kita tidak akan bertengkar lagi suatu hari nanti, tapi untuk masalah ini, aku rasa kita sudah sepakat untuk menyelesaikannya.”
Kedua tangan Hyungwon terangkat menangkup wajah Minhyuk. Ia telusuri mata, hidung, bibir yang selalu menjadi kesukaannya. Bukan hanya soal wajah, Hyungwon juga sangat menyukai perilaku Minhyuk yang baik hati, terkadang memang mengesalkan, tetapi tidak mengurangi rasa sukanya terhadap lelaki itu. Minhyuk juga mahasiswa yang pintar, bukan hanya dalam bidang hukum (yang selalu dielukan sebagai yang nomor dua setelah Changkyun), tetapi ia juga pandai melukis, suaranya bagus, ia juga menari dengan baik.
Ada banyak hal ajaib terjadi pada Minhyuk dan sekitarannya, dan Hyungwon merasakan seluruhnya.
“Aku akan mengatakan pada semua orang, Minhyuk. Aku akan menyebut namamu pada semua orang.”
“Uh ... jangan berlebihan juga.”
“Tidak. Aku akan berlebihan. Lihat saja nanti.”
“Hyungwon. Jangan.”
“Kau tidak bisa melarangku.”
Keduanya memejamkan mata pada ciuman lembut yang Hyungwon bawakan ke atas bibirnya. Minhyuk ingin menangis saking rindu sekali. Semua penantian terasa genap sudah dan saatnya ia mengambil kembali apa yang menjadi miliknya. Ada perasaan kejut dalam dada dan perut, ada pula kupu-kupu yang berterbangan, ada pula hewan yang berlarian. Minhyuk merasakan gejolak yang sudah sangat lama tidak ia rasakan, kini kembali hadir, dan ia sangat menyukainya.
“Minhyuk,” bisik Hyungwon di sela cium, ia terus ciumi Minhyuk, terus seperti itu sampai ia mengira tiada lagi hari esok. “Minhyuk.”
Mendengar namanya terus disebut, Minhyuk yakin sekali Hyungwon tidak main-main dengan perkataannya. Lelaki itu benar-benar akan mengatakan pada semua orang tentangnya, namanya, siapa ia sebenarnya; siapa sosok yang menghalangi-halangi orang lain agar dapat berkencan dengan Hyungwon.
Ketika jarinya berusaha mencengkeram rambut belakang Hyungwon, Minhyuk terbelalak, mendadak melepaskan pagutan mesra.
“Kenapa?” tanya Hyungwon, suaranya parau, matanya sayu.
“Kau potong rambut. Aku baru sadar.”
“Kau baru sadar aku potong rambut saat kau tidak bisa menjambak rambutku?” Hyungwon tertawa sambil memegangi perut, tangannya beralih menutupi wajah. “Kau benar-benar luar biasa. Aku sangat menyukaimu, Minhyuk.”
Wajah Hyungwon sangat merah, mungkin ia merasa malu (atau entahlah) ketika Minhyuk baru sadar tatanan rambutnya berubah hanya saat mereka sedang bercumbu dan Minhyuk tidak dapat mencengkeram rambutnya seperti biasa.
“Kau mau aku memanjangkan rambutku lagi?” tanyanya, meraih tangan Minhyuk, membuat lelaki itu berdiri dan duduk di bibir ranjang.
“Terserah. Aku juga suka gayamu yang sekarang.”
“Tapi kau terkesan tidak menikmati ciuman kita tadi.”
Minhyuk berbaring dengan kasual, Hyungwon merangkak naik ke atasnya seperti sudah sangat biasa sekali. Mereka bahkan masih mengobrol dengan normal.
“Aku ingin kau menjadi apa yang kau mau, Hyungwon.”
“Oh, ya?” Hyungwon melepas sweater, melemparnya sembarang sampai menabrak dinding. “Kau sangat mengerti diriku.”
Minhyuk membantu Hyungwon melepaskan kausnya. Hyungwon menunduk, menyelipkan wajahnya ke celah leher Minhyuk, mengecup kulit di sana. Hyungwon menghirup dalam. Setiap napas yang menerpa permukaan kulit membuat Minhyuk merinding sampai ujung kaki.
“Haruskah aku mewarnai rambutku setelah lulus nanti?” tanya Minhyuk, memegangi belakang kepala Hyungwon selagi lelaki itu menciumi lehernya.
“Kau mau mewarnainya?”
Minhyuk terkekeh geli, merasakan Hyungwon berbicara ketika masih menggauli lehernya.
“Blonde. Bagaimana menurutmu?”
Kedua tangan dingin Hyungwon masuk ke dalam kaus, Minhyuk pikir ia tidak mungkin dapat melanjutkan obrolan ini lagi dengan santai. Semua sentuhan yang ia terima, semakin lama semakin membuatnya gila. Napas berubah berat, matanya tidak mampu lagi terbuka sempurna, hanya bisa sayup-sayup. Wangi parfum Hyungwon juga membauri hidung. Minhyuk merasakan adrenalinnya terpacu kencang, dan Hyungwon membawa romansa ini sangat pelan sekali.
Debur yang menggemuruh dalam dada bagai genderang perang, menggiring mereka pada perpaduan dansa acak yang nihil ritme. Tarik ulur napas tertera di kulit, di telinga Hyungwon, tangan menyentuh pasangan terkasih hati-hati takut tergelincir. Hyungwon begitu luwes dengan gerakannya, ia tumpahkan seluruh rindu yang ia tumpuk, menuruti apa kata Changkyun kapan hari. Anak itu pintar dalam mengolah kata, Hyungwon pintar menemukan titik di mana Minhyuk dapat meneriakkan namanya malam-malam.
Ketika suara desah adalah yang paling terasa di dalam ruangan, Hyungwon masih ingin melanjutkan obrolan mereka. "Warna apa pun, kurasa kau akan tetap mengagumkan—nya! Suara apa itu?”
Hyungwon terjengat, ia sontak menegap. Minhyuk juga terkaget-kaget mendengar suara dentum yang cukup kencang. Keduanya menatap bersamaan ke arah pintu kamar.
Minhyuk mengerjap, ia baru sadar sesuatu. “Ah, aku lupa Hoseok-hyung di sini sejak tadi.”
“Dia di sini?”
“Iya. Terakhir kulihat dia tidur di kasurnya, tapi karena aku fokus mengobrol denganmu, aku tidak terlalu memperhatikan lagi.”
Hyungwon mengernyit. “Apa itu artinya dia mendengar semua percakapan kita?”
“Mungkin?”
Mendengar itu, Hyungwon menghela panjang. “Terserah saja, mau dia dengar atau tidak, yang penting masalah kita sudah beres. Nah, biarkan aku menuntaskan yang satu ini dulu. Kita tidak mau menundanya lagi, ‘kan?”
Lekuk bibir Minhyuk membentuk senyum manis, ia mengalungkan lengan ke pundak Hyungwon ketika lelaki itu kembali menundukkan tubuhnya dan melanjutkan kegiatan yang sebelumnya sempat terhenti.
Malam masih panjang, masih dapat berlalu lama. Hyungwon dan Minhyuk berlagak selayaknya pasangan kekasih dibalut uap napas dan peluh melayang di udara, dan dinding dihias temaram cahaya kuning lampu neon, dan Hoseok yang menutup pintu dengan kalap serta menemukan teman sekamar Hyungwon—Changkyun—menatapnya tanda tanya.
Hyungwon menatap Minhyuk dan—siapa nama lelaki ini tadi?
“Ulangi lagi?” tanya Hyungwon, matanya tajam menatap pria asing yang tiba-tiba saja menghampiri Minhyuk.
“Jaehyun,” jawabnya mantap. Tiada takut.
“Baiklah, Jaehyun. Kau mau apa dengan Minhyuk?”
“Aku ingin mengajaknya nonton film berdua.”
Hyungwon mengangkat kedua alis. Berani betul junior satu ini, pikirnya.
Minhyuk hanya menghela. Ia baru saja ke luar dari gedung fakultas, tiba-tiba saja ada adik tingkat menghampiri dan mengajaknya menonton film bersama. Lalu, Hyungwon tiba-tiba saja hadir di antara mereka. Sedikit banyak mengingatkannya dengan Dodo ketika ia berbicara berdua dengan Hoseok.
“Begini, Jaehyun. Apa kau tahu seniormu ini sudah punya pacar?” Hyungwon mendekatkan wajahnya agar lebih mengintimidasi.
Jaehyun menggeleng. “Setahuku Senior Minhyuk itu single.”
Minhyuk samar melihat urat kesal dari pelipis Hyungwon, ia juga melihat Hoseok dan Jooheon yang jauh berada di belakang sana memutar bola mata mereka jengah.
“Apa kau tahu siapa aku?”
“Kau Senior Hyungwon, dari fakultas seni.”
“Benar. Benar sekali. Kau tahu aku tapi tidak tahu kabar tentangku?”
“Maaf, aku tidak terlalu memperhatikan orang-orang populer, menurutku mereka tidak lebih dari penyuka sensasi.”
Kedua bola mata Hyungwon melotot, ia menggigit bibir bawahnya kesal, tangannya berkacak pinggang.
“Dengar, Jaehyun. Kau itu tampan, aku yakin kau juga yang terpintar di angkatanmu. Kenapa tidak mencari yang sepantaran denganmu saja? Kenapa harus repot-repot mengajak Minhyuk berkencan denganmu?”
“Karena aku suka dengannya.” Jaehyun menatap Hyungwon dari atas ke bawah, tatapannya seakan merendahkan. “Apa? Kau juga? Berlombalah dengan sportif, jangan mau menang sendiri. Aku yang lebih dulu mengajaknya, jangan asal serobot seperti tidak tahu aturan.”
Minhyuk bisa melihat ada gunung meletus imajiner di atas kepala Hyungwon. Hoseok dan Jooheon melangkah mendekat takut terjadi hal yang tidak diinginkan.
Hyungwon meraih kerah kemeja Jaehyun, mencengkeramnya kuat, mendekatkan wajah si junior ke hadapannya. “Kita tidak sedang berlomba, Jaehyun. Jangan naif. Kalaupun kau menganggapnya seperti itu, aku sudah menang lebih dulu, jauh lebih dulu daripada kau. Aku ini kekasihnya Minhyuk, orang yang kau sukai. Aku mendatangi rumahnya hampir setiap malam, aku mengajaknya makan malam dengan orang tuaku setiap akhir pekan, aku bertengkar dengannya dua bulan sekali, aku bercinta dengannya setidaknya seminggu sekali, aku menciuminya setiap waktu, aku akan bersamanya sepanjang hidupku, dan kau tidak dapat berbuat apa pun selain pulang ke rumah, menangis karena fakta orang yang kau sukai ternyata adalah pacar Chae Hyungwon, orang populer yang suka cari sensasi.”
Jaehyun mengerjap. Ia merasa sangat malu. Tangannya menepis cengkeraman Hyungwon dari kerahnya, beralih menatap Minhyuk yang juga sedang menatapnya.
“Benarkah itu, senior?”
Minhyuk menyeringai kecil, meraih tangan Hyungwon dan menautkan jari jemari mereka. Jaehyun mafhum, ia tidak perlu penjelasan apa pun lagi, ia pergi membawa duka.
“Kau tidak perlu sekeras itu padanya,” tutur Hoseok menepuk pundak Hyungwon. Ia dan Jooheon sudah wanti-wanti, takut Hyungwon akan melayangkan pukulan ke wajah si junior.
“Tapi, jika aku Hyungwon, aku juga pasti akan kesal sekali dengannya.”
Hoseok melirik tajam ke arah Jooheon. Anak satu ini benar-benar tidak bisa membaca situasi, mudah sekali baginya untuk langsung mengutarakan apa yang ada dalam kepala.
“Kenapa kalian semua berkumpul di sini?” Tiba-tiba saja Changkyun tiba di antara mereka, tiga buah buku tebal berada di pelukannya. Ia melirik semua orang yang ada di sana, Changkyun melirik Minhyuk biasa saja, melirik Hyungwon tajam, melirik Jooheon heran karena ia tidak kenal dengannya, lalu berhenti di Hoseok. Changkyun menatapnya datar. Bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Ia kembali beralih menghadap Minhyuk. “Apa urusanmu sudah selesai? Kita masih ada kelas setelah ini.”
Minhyuk tertawa canggung, tangannya lekas melepaskan tangan Hyungwon darinya. “I-iya, ayo pergi.”
“Semoga kau tidak masalah Minhyuk-mu kubawa dulu,” ujar Changkyun pada Hyungwon.
Hyungwon tidak banyak bicara, diam-diam ia takut sekali dengan Changkyun. Kepintaran lelaki muda itu bisa saja membawanya ke balik jeruji besi, mau ia bercanda atau tidak, tetap saja setiap lontaran pasal yang tertutur dari mulutnya bagai mimpi buruk. Ia hanya bisa melihat Changkyun menyeret Minhyuk pergi dari sana, meninggalkannya bersama kedua teman.
Minhyuk menoleh ke belakang, bibirnya bergerak membentuk kalimat ‘temui aku malam ini’ dan Hyungwon tersenyum melihat itu.
“Senang hubunganmu dengan Minhyuk sudah lebih baik?” tanya Jooheon.
Hyungwon tidak merespons. Ia terus melihat Minhyuk dan Changkyun yang berjalan menjauh dari tempatnya berdiri. Semua beban yang selama ini bergantung di atas pundaknya telah hilang; sirna sepenuhnya.
Terima kasih kepada Lee Minhyuk dan keberaniannya, juga kesabaran yang Hyungwon miliki. Terima kasih kepada semua hal yang telah mempertemukannya dengan Minhyuk, sengaja atau tidak sengaja.
Apa yang akan terjadi jika Hyungwon tidak melihat Minhyuk membuang sampah hari itu? Apa yang akan terjadi jika Hyunwoo tidak mencium Kihyun malam itu? Apa yang akan terjadi jika Minhyuk tidak hadir di dunia ini? Di dunianya Hyungwon? Apakah akan tetap seperti sedia kala?
“Lihatlah orang ini, senyam-senyum mirip orang sinting.”
Hyungwon tertawa mendengar cemoohan Hoseok. Boleh dikatakan ia sudah sinting, tetapi Hyungwon akan jauh lebih sinting jika ia tidak bersama Minhyuk. Dunianya hanya akan dipenuhi dengan permainan membosankan semata. Nikmatkah hidup selamanya seperti itu?
“Suatu hari, kau akan merasakannya. Kau akan menemukan Minhyuk-mu sendiri, hyung.”
Hoseok mengerjap. “Minhyuk-ku sendiri?”
Hyungwon mengangguk. “Betul. Minhyuk-mu sendiri.”
Hoseok menatap Hyungwon dalam, perkataannya tadi masuk ke dalam kepalanya dan berbegar di dalamnya, beralih menatap punggung dua orang mahasiswa yang semakin menjauh. Hoseok menatap salah satunya, yang lebih pendek dari Minhyuk, yang tadi tiba-tiba hadir dengan tiga buku tebal dalam pelukan.
Hoseok, mungkin atau tidak mungkin, sudah menemukan Minhyuk-nya sendiri tanpa ia sadari.
“Kalau aku, aku sudah punya Minhyuk-ku sendiri. Ingat Yeojoo dari kelas sebelah? Iya yang kecil dan galak itu. Kemarin aku mengajaknya jalan bersama, dan kalian tahu? Dia menerimanya! Dia menerima ajakan kencanku! Aku benar-benar tidak menyangka! Yeojoo, si cantik kebanggaan fakultas seni, mantan si populer nomor satu seantero kampus, Hyunwoo, mau berkencan denganku! Kalian tidak akan pernah berada di levelku—”
“Jooheon.” Hyungwon menoleh dengan tatapan ingin melempar Jooheon ke kolam ikan di depan mereka. “Aku senang kau bisa berkencan dengan Yeojoo, tapi bisakah kau lihat aku sedang menikmati momenku sendiri saat ini?”
“Maaf.”
Kembali pada Hyungwon. Oh, ia tentu akan berkunjung ke rumah Minhyuk malam ini seperti yang biasa ia lakukan. Bagai tradisi, bagai ritual.
.
.
.
Selesai.
Notes:
Chapter 2: 8423 words.
Cerita utama sudah selesai! Rasanya saya masih demen banget nulis delinquent!Hyungwon dan law student!Minhyuk ini ( ・ั﹏・ั)
Terima kasih sudah membaca sampai sini!
Saya memutuskan untuk menjadikan cerita wonkyun sebagai cerita terpisah, tetapi dalam satu series yang sama.
Ara (Guest) on Chapter 1 Thu 22 Apr 2021 04:41AM UTC
Comment Actions
Imorz on Chapter 1 Sat 24 Apr 2021 06:44PM UTC
Comment Actions
Delu (Guest) on Chapter 1 Thu 22 Apr 2021 01:52PM UTC
Comment Actions
Imorz on Chapter 1 Sat 24 Apr 2021 06:48PM UTC
Comment Actions
Ara (Guest) on Chapter 2 Wed 28 Apr 2021 04:16PM UTC
Comment Actions
Delu (Guest) on Chapter 2 Wed 28 Apr 2021 05:02PM UTC
Comment Actions
itssME_charLene on Chapter 2 Sat 01 May 2021 11:49PM UTC
Comment Actions
hyunghyuk (Guest) on Chapter 2 Thu 06 May 2021 02:38PM UTC
Comment Actions