Actions

Work Header

Long Distance Relationship

Summary:

selepas hujan, memang patutnya dibubuhi temu untuk sebuah keyakinan yang telah menggantung semu.

Notes:

Berupa sequel singkat point of view sunghoon dari short au LDR yang terbit di akun twitter @ayelysian.

Dibuat dengan sengaja untuk tujuan menambah perspective lain dari cara pandang lawan main.

Kencangkan sabuk pengaman, selamat menunaikan ibadah membaca dengan aman dan tentram.

Salam Sayang,
ayelysian

Work Text:

 


 

DALAM kesadaran penuhnya, Sunghoon pahami betul arah pandang orang-orang bagaimana setelah apa yang terjadi belakangan. Hubungan jarak jauh, intensitas bertemu yang kian menyurut, jarak pandang yang tak lagi lengang, betulan rentan lahirkan spekulasi liar yang sukar dihentikan. Sunghoon juga mafhum bahwa hal ini, perlahan mengikis kepercayaan pacarnya yang kini dalam pelukan. Tetapi, stigma soal hubungan jarak jauh yang tak pernah bisa berhasil, membuat Sunghoon ingin sekali patahkan itu. Paling tidak, untuk Sunoo yang mulai ikut terseret arus. Arus perkataan kebanyakan orang, pun arus pikirannya yang semakin liar.

Bergumulnya mereka berdua kini, menghantarkan tenang yang menyamankan. Selayaknya seorang tualang yang akhirnya kembali rebahkan badan di pelapukan rumah. Dibawa kembali pada putaran peristiwa beberapa hari lalu, Sunghoon menjadi meringis kelu. So much happened at that time. Hingga berhasil lahirkan kesalahpahaman yang mengharuskannya pulang demi yakini sang pacar bahwa spekulasi yang ada, hanyalah pikiran yang tak perlu ada.

Penjelasannya menyoal apa yang ditakutkan orang dalam pelukan, adalah benar adanya. Adalah keabsahan yang seharusnya tidak perlu dituturkan ragu. Sebab bagaimanapun, Sunghoon adalah seorang pembohong yang cupu. Sekali-kalinya berbohong adalah sewaktu tanpa sengaja ia gosongkan wajan Ibu, karena lupa tak matikan kompor setelah goreng telur untuk dimakan. Itu pun hanya bertahan dua jam, sebelum akhirnya mengaku karena merasa beban. Bahkan sewaktu pertama kalinya Sunghoon mengetahui orientasi seksual yang tak seperti orang pada umumnya, dengan percaya diri ia akui pada orang tua. Harap-harap cemas akan ditendang dari KK, atau parahnya dipukuli hingga mati rasa. Tetapi dengan gagah, Sunghoon tetap hadapi. Ia hadapi hari-hari sewaktu Bapak mogok bicara nyaris satu tahun—tentu tanpa agenda pukul-memukul yang ditakutkan—ia hadapi tatap hina Bapak yang tak hentinya memandang rendah dan penuh jijik. Ia hadapi hingga akhirnya berhasil luluhkan hati dan berani kenalkan Sunoo sebagai orang terkasih. Hal sebesar itu pun, Sunghoon tak kuasa untuk membohongi. Apalagi ini soal Sunoo. Soal laki-laki yang dulu ia perjuangkan mati-matian hanya demi Bapak-Ibu mengenalnya sebagai orang yang amat ia sayang.

Sunghoon dan Jakarta bukanlah sebuah ajang berontak demi rasakan pergaulan yang tak pernah ia dapat di Jogja. Sunghoon dan Jakarta betulan sebatas kebutuhan pendidikan, dan bekal untuk nanti ia dampingi Sunoo dengan penuh kemantapan finansial dan juga hati. Tidak ada janji lain yang ia ikrarkan dalam surat kuasa antar diri sendiri selain soal Sunoo yang ingin ia bahagiai. Semua itu demi masa depan dengan Sunoo sang terkasih.

Begitu seharusnya terjadi. Dan memang hingga detik ini pun masih selalu seperti itu. Hanya saja, intensitas keintiman mereka entah secara fisikali pun verbal dalam perantara gawai harus sedikit terkurangi sebab proses menuju memenuhi janji perlu usaha lebih. Sunghoon dan pendidikannya kerap terlalu digeluti hingga nyaris mengesampingkan hal lain. Fokusnya selalu totalitas hingga tanpa sengaja berhasil abaikan orang sekitar sebegitunya. Dan yang terjadi minggu-minggu belakangan adalah memang begitu adanya.

Sunghoon dan ambisinya untuk jaring sebanyak keuntungan yang ia bisa, membawanya pada berbagai kegiatan kampus pun luar kampus. Observasi lapangan, tugas antropologi, diskusi cilik, bedah buku, santunan dan bakti sosial hima, dan masih banyak lagi yang tak perlu disebutkan semuanya, menjadi hal yang paling besar pengaruhnya dalam alur komunikasi ia dan si Manisnya. Paginya Sunghoon harus penuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswa, siangnya harus garap tugas mata kuliah atau sesekali review kecil-kecilan. Menjelang sore, Sunghoon terkadang sibukkan diri dengan ikut bertandang ke acara bakti sosial, atau bedah buku rutinan, atau bahkan sekadar mengunjungi perkumpulan asrama demi suatu ikatan antar sesama daerahnya.

Maka, kekhawatiran yang lahir di kepala kecil kekasihnya ini sebetulnya hanyalah kesia-siaan. Lantaran dengan padatnya kegiatan yang ia lakukan, pun besarnya cinta yang ia miliki untuk lelakinya, selingkuh adalah satu-satunya hal yang begitu jauh dari gapaian. Bahkan terpikir sekelebat dalam kepala pun rasa-rasanya tidak pernah.

Meski begitu, rasa bersalah dalam dirinya tetap mengambang. Sesibuk apa pun ia di belahan bumi sana, memang tidak sepatutnya mengizinkan Sunoo mengkhawatirkan banyak hal tentang hubungan mereka sendirian. Hal inilah yang akhirnya membawa Sunghoon menggila beberapa hari lalu. Semua kegiatan dan tugas-tugas yang diembannya diburu hingga nyaris tak tidur tiga hari. Heeseung—teman paling dekat di jurusannya—kerap kali menegur setiap Sunghoon teguk gelas kopi yang entah ke berapa. Menyuruhnya menahan diri untuk tidak menjadi sinting di saat ia harus menghadapi Sunoo di kemudian hari.

Satu minggu. Satu minggu waktu yang dibutuhkan Sunghoon untuk bebaskan diri dari semua kegiatan yang ia ikuti. Dikebut tanpa kenal lelah hanya agar semuanya selesai dan cepat-cepat pulang pada lelakinya yang tengah diujung pemikiran antara bertahan atau menyerah. Siang malam tak tahu bagaimana caranya terlelap. Sebab yang ada dalam pikiran, hanyalah beri keyakinan pada Sunoo-nya. Menyelamatkan hubungan yang mati-matian ia perjuangkan agar tetap bernahkoda. Lebih dari itu, Sunghoon takkan pernah siap kehilangan Sunoo-nya.

Tenggelamnya Sunghoon dalam lamunan kemudian terputus oleh gerak pelan laki-laki dalam pelukan. Menyembulkan wajah yang semula tenggelam dalam dada, menjadi menatap maniknya dengan binar yang sama.

Cantiknya.

“Kenapa?” tanya Sunghoon begitu lembut. Balas menatap mata Sunoo yang lekat oleh kabut keruh meski tidak begitu pekat sebab binarnya masih tetap terlihat.

“Kamu beneran gak suka sama orang lain di sana?”

Pertanyaan itu membuatnya tercekat. Bukan karena ia merasa demikian, hanya saja, ia sadar bahwa perlakuannya kemarin sangat berpengaruh banyak pada Sunoo hingga laki-laki ini mempertanyakan lagi ketulusannya.

“Mana sempet aku suka orang lain kalau setiap hari cuma kamu yang ngendap di otak aku?” jawab Sunghoon sembari jemarinya berpindah mengelus surai kecokelatan Sunoo.

Tidak ada respons lagi dari Sunoo. Hanya terus memandangnya dengan sesekali berbinar, sesekali meredup. Lahirkan gelenyar nyeri di ulu hati Sunghoon hingga terasa begitu nyaring.

“Kalau Gaeul itu … enggak juga?”

Entah kenapa, pertanyaan Sunoo menjadi terdengar lirih. Seolah ada perasaan yang entah apa hingga membuatnya takut untuk menyerukan bagian ini.

Sekali, Sunghoon kecup lama kening yang lebih muda. Berharap dapat salurkan keyakinan yang mendalam di antara kecup yang ia berikan.

“Enggak sedikit pun. Aku kepikiran buat suka sama Gaeul aja enggak, Yang.”

“Terus soal SG-nya dia?”

Adalah cara Sunoo meyakinkan dirinya sendiri. Menjalin hubungan intim selama 2 tahun lamanya bersama Sunoo, menjadikan Sunghoon hapal tabiat ini di luar kepala. Maka sewaktu ia harus kembali menjelaskan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, Sunghoon sama sekali tidak keberatan. Toh memang niatnya kan memberi yakin sepenuhnya kepada Sunoo, hingga satu minggu penuh hidupnya hanya dikelilingi laptop, kopi, dan kertas-kertas yang berserakan.

“Cuma keisengan dia aja. Emang orangnya sering masukin sembarangan orang yang dia temuin,” jawab Sunghoon.

“Masa? Kok kayak gitu?”

Sunghoon terbitkan senyum kecil sewaktu bulat karamel Sunoo membola. Pertanda bahwa Sunoo-nya sedang ciptakan ketertarikan pada pembahasannya.

“Aku juga gak ngerti kenapa dia kayak gitu. Kata Heeseung, bahkan waktu SMA itu dia pernah fotoin orang asing cuma karena orangnya ngebuka payung terus payungnya kebalik lengkung ke atas.”

“Terus fotonya diapain?”

“Fotonya dicetak kayak photocard korea, terus dia simpen di belakang HP-nya.”

Tawa Sunoo kemudian mengudara, renyah dan mengalun sayang di pendengar Sunghoon. Tidak ada yang lebih menyejukkan hatinya dari tawa Sunoo yang kembali bersenandung. Rasa sesak berminggu-minggu lalu seketika memudar terbayar kala tawa itu bertandang.

Mata Sunghoon tak hentinya menelisik rupa Sunoo di depannya yang nyaris tidak berjarak. Kata indah tak pernah cukup untuk deskripsikan betapa mewah karya tuhan yang sedang didekapnya.

“Kok liatin akunya gitu banget?” tanya Sunoo sembari tetap menatap lurus pada jelaganya.

“Kamu cantik banget, kayak enggak nyata,” jawab Sunghoon. Jemarinya kini berpindah menangkup pipi Sunoo. Mengusapnya halus, memberi banyak afeksi dan apresiasi hingga telinga Sunoo berhasil memerah padam.

“Cantikan aku atau Gaeul?”

“Cantikan Sunoo.” Jawabannya diselipi dengan kecup di kening lagi.

“Kenapa gitu? Padahal Gaeul kan cewe? Aku bukan cewe, Kak.”

Kecupnya kini berpindah pada ujung hidung Sunoo yang tinggi dan ramping.

“Cantik itu kata pujian yang universal. Jadi kamu juga boleh dibilang cantik meskipun bukan perempuan. Di mata aku, kamu yang paling cantik, di mata orang lain juga pasti gitu.” jawabnya dengan mencubit kecil ujung hidung yang tadi ia kecup.

“Gombal. Sok tau aja kamu. Padahal di mata orang lain juga pasti ada yang lebih cantik dari aku.” Sunoo membantah dengan sekali mencubit pipi Sunghoon. Membuatnya melahirkan sebuah tawa yang disusul jemari Sunoo menusuk-nusuk lucu di pipinya.

“Aku setuju, pasti ada yang mikir kaya gitu. Tapi aku enggak peduli orang lain, Yang. Menurut aku, kamu yang cantik. Udah gak usah dibantah.”

Tusukan di pipi lantas berpindah menjadi pukulan kecil di lengan atas. Tetapi Sunghoon jelas saja tidak terganggu.

“Aku mau nanya ini deh dari tadi, Kak,” celetuk Sunoo masih dalam posisinya yang kini mulai mengusap-usap dagu Sunghoon. Ingat, seminggu penuh Sunghoon seperti orang gila, maka sudah pasti tidak sempat juga untuk sekadar mencukur daerah rawan rambut halus tersebut. Dan kini Sunoo tengah memainkan rambut-rambut yang mulai tumbuh kecil-kecilan itu.

I let you, Sayang.”

Sunoo lantas mengangguk.

“Kamu kok bisa tiba-tiba ada di depan pintu rumah kaya tadi? Seinget aku, kamu pernah bilang kalo sekarang kamu gak bisa kaya gitu lagi? Kamu juga gak ngabarin aku kalau mau pulang.”

Sunghoon dekatkan wajahnya bertemu wajah Sunoo, menempelkan kening masing-masing, lalu ia gesekkan hidung mancung mereka yang bertemu sambil bergumam, “Enggak keburu, Sayang, maaf,” katanya terus kembali menjauh. Kembali memberi jarak untuk melihat bulat karamel kesukaannya yang tengah membuka kelopak sebab tadi sempat menutup mata.

Sekali lagi, cantiknya.

“Sibuk banget? Emang kamu ngapain aja sebenernya?” tanya Sunoo kembali selepas matanya sepenuhnya terbuka.

“Aku ngebut tugas kuliah sama tugas di luar kampus lainnya buat seminggu ke depan. Biar bisa pulang dan ketemu kamu.”

Lagi-lagi mata Sunoo membola. Kali ini yang terpampang di raut mukanya adalah keterkejutan.

“Sumpah, Kak? Cuma demi aku kantung mata kamu sampe kaya gini?” tanyanya dengan terkejut.

Sunghoon menggeleng menanggapi.

“Ini bukan kepaksa, kok. Emang maunya aku gitu.”

Jawaban itu lantas membawa Sunoo kembali menubruk dadanya. Menenggelamkan wajah di sana, seolah sembunyikan panas pada mata yang kembali bernyawa. Sunghoon dengan sigap beri usap dan sesekali tepukan halus di punggung lebar kekasihnya.

“Kalau kayak gini, harusnya aku yang minta maaf udah enggak percaya sama kamu,” sambung Sunoo dengan suaranya yang teredam peluk.

“Sayang … gapapa, lagian aku juga salah. Aku juga punya andil besar sampe keraguan kamu itu muncul. Maaf ya? Aku bakal perbaiki kesalahan aku biar kamu gak terus kepikiran dan sedih kaya kemarin-kemarin.”

Dengan itu, pelukan mereka lantas mengerat. Saling tumpukan kekuatan dan sayang yang sama besarnya. Memberi waktu pada keduanya untuk saling rasakan kehadiran masing-masing dengan membiarkan lelap menjemput di antara peluk yang hangat.

“Selamat istirahat, Sayang. Maaf belakangan kamu harus selalu telan kekecewaan. Aku udah janji sama diri aku supaya gak bikin kamu kaya gini lagi. Aku sayang kamu,” lirih Sunghoon tepat di telinga Sunoo yang samar-samar laki-laki itu masih dengar. Hingga terbitkan senyum manis dalam setengah lelapnya, sembari beri kecup kecil di antara tulang selangka Sunghoon-nya.

“Sayang Kak Sunghoon,” balas Sunoo tak kalah lirih.