Work Text:
.
.
.
Biru cerah membentang di langit dengan sekelebat kapas tipis, limpahan sinar masuk ke dalam Kubbe Altu melalui mosaik kaca warna-warni di dalam kubah-kubah melengkung.
“Pasukan Imperium... kembali dengan kemenangan ke markas di depan kota Chielo sambil mengangkat kepala Khalil Pasha...”
Beberapa peserta rapat pada siang yang cerah itu dapat dilihat mulai menitikkan air mata serta menangkupkan tangan. Umur mereka yang rata-rata sudah uzur sama sekali tidak menjadi penghalang untuk melepaskan kesedihan yang tetiba meluap atas kepergian rekan kepercayaan mereka yang terasa begitu cepat; suasana hati kalut bagaikan langit cerah di luar sana mendadak terbelah oleh petir di siang bolong.
“Pasukan ekspedisi kita, dikepung dan dihabisi oleh Imperium. Prajurit yang berhasil kabur pun diserbu tanpa sisa...”
Duduk diantara Davud Pasha dan Shabbetein Pasha, Zaganos dapat melihat dengan jelas ekspresi wajah kedua rekan lama dari Khalil Pasha tersebut, tertekuk sedemikian rupa dalam upaya mereka untuk menahan butiran air mata yang siap untuk jatuh kapan saja.
Satu persatu, Zaganos mulai melihat bagaimana keresahan mulai menggantung di benak para peserta rapat, kerutan di dahi dan binar mata yang penuh kecemasan akan situasi yang tidak menguntungkan makin terasa berat dengan berita duka yang datangnya tak dinyana tersebut.
“Para tawanan dijajarkan dan dipenggal satu-persatu, di depan mata pasukan yang mengurung diri di Chielo tanpa pandang bulu.”
Ah.
Begitu mendengar detail tersebut, rasanya seperti sebilah sembilu menyayat hati Zaganos; terbayang di dalam pikirannya, sekelebat bayangan wajah familiar seorang remaja bersurai pirang yang ia tahu kini tengah bersiaga di kota tersebut.
.
[Zehir Zaganos pertama kali mendengar mengenai seorang Tughril Mahmud dari buah bibir orang-orang, tidak berselang lama sejak pemuda berambut ungu tersebut mulai menjabat sebagai seorang pasha.
"Hei, apakah kalian tahu? Putra angkat Khalil Pasha berhasil masuk ke dalam akademi militer!"
"Desas desus nya, ia berhasil dalam sekali coba dan ia baru berusia 12 tahun…"
"Apa!? Luar biasa, anakku saja sudah gagal berkali-kali di tes masuknya…"
Jauh di dalam lubuk hati Zaganos, muncul sebuah pertanyaan: Seberapa dalam kah kehilangan yang dialaminya, yang menceburkan dirinya ke dalam kesepian yang teramat sangat?]
.
Sendu, itulah kata yang paling simpel untuk menggambarkan raut muka pasha muda kenamaan tersebut.
Dengan bibir tertarik sedikit ke bawah, dahi yang mengernyit pedih, dan sepasang netra yang separuh tersembunyi oleh kelopak mata yang setengah mengatup, jelas terlihat bagi mereka yang memperhatikan jika Zehir Zaganos saat ini sedang bersedih.
Namun, jika dilihat lebih teliti, terdapat api yang berpendar di dalam netra lembayung milik lelaki muda tersebut; kian membesar dan membakar di tengah keheningan sejenak yang menyelimuti pikirannya.
Amarah.
.
[“Maaf, Khalil Pasha ada!? Saya harus bicara…”
Sayup-sayup, Zaganos mendengar ribut-ribut dari kejauhan. Sekilas, ia dapat mengenali suara tersebut sebagai suara Tughril Mahmud Pasha; anak kemarin sore yang baru saja dilantik sebagai pasha termuda di Turkiye.
Refleks, Zaganos pun menengok ke arah sumber suara, menjumpai raut muka cemas si anak muda.
“Jangan jangan… Anda yang menyuruhnya pergi!?”
Zaganos ingat betul, pada waktu itu, bagaimana kemarahan yang dirasakannya tidak hanya berasal dari tuduhan Mahmud Pasha terhadapnya.
(Bagaikan kaca benggala, pemuda berambut pirang tersebut mengingatkannya pada dirinya sendiri, bertahun-tahun silam.
Ia yang ditelan oleh gelapnya kehilangan yang tak berbatas.) ]
.
“Kita tidak bisa mengirimkan prajurit lebih dari ini ke Rumeliana Selatan.”
Setelah terdiam sekian lama, akhirnya kemarahan Zaganos yang telah tersumbat sekian lama pun memuncak; meluap ke permukaan dalam wujud untaian kalimat dingin yang menusuk kalbu para pasha yang juga sedang meluapkan kemarahan mereka dan meraung untuk diberikan kesempatan membalas dendam.
Seketika, ruangan Diwan pun hening.
Merasakan bara amarah yang makin tersulut, Zaganos pun melanjutkan perkataannya.
(Sekilas terlihat di pelupuk mata Zaganos, punggung seorang kakek tua yang bergerak menjauh.)
“Wilayah Cuore dan Rumeliana Selatan sudah menjadi tanggung jawab Khalil Pasha dan Mahmud Pasha.”
.
[Dihadapkan pada kehilangan yang dialami Mahmud, Zaganos pun kembali teringat:
Astolphe yang gagal mendeteksi kemelut hati Ayahanda.
Astolphe yang gagal mendampingi Ayahanda dalam menghadapi kejamnya ekspektasi masyarakat.
Astolphe yang gagal melindungi segala yang dicintai Ayahanda, hanya dapat menonton dalam diam ketika semua hal tersebut terbakar habis menjadi abu.
Astolphe yang kini sendirian, seorang diri memikul dendam kesumat 13 tahun lamanya. Dendam yang ia harap untuk antarkan dengan kedua tangannya sendiri.]
.
“Namun demikian, saya,” Satu tarikan napas, “sejak 13 tahun lalu hingga saat ini, bertahan hidup hanya dengan memikirkan kemenangan dalam perang melawan Imperium.”
Zaganos melayangkan pandangannya ke seantero peserta Divan, menyaksikan bagaimana para pasha di ruangan tersebut hanya dapat tertegun, merenungi ketidakberdayaan mereka sendiri.
(Sangat menggelikan bagi Zaganos, bagaimana beberapa saat lalu mereka menyampaikan sesumbar akan membalaskan dendam Khalil Pasha.
Bagaimana mereka nyaris merenggut kesempatan bagi seorang anak untuk membalaskan dendam bagi Ayahanda nya.)
Silakan tuntaskan pembalasan dendammu, Mahmud Pasha.
“Akan saya hancur-leburkan negara bernama Baltrhein itu.”
Biar saya yang ambil alih urusan di sini.
“Oleh karenanya, biarkan saya mengemban dendam Khalil Pasha.”