Chapter Text
Sungguh, tak ada sesuatu hal yang istimewa selama duapuluh tahun ia hidup. Dari ia bangun tidur hingga kembali terlelap, kegiatannya begitu monoton layaknya rangkaian mesin pada kapal udara. Namun bukan berarti dirinya tak bersyukur sama sekali dengan kehidupannya, justru sebaliknya. Berterima kasihlah atas kemurahan hati Tuan Muda—ah, lebih tepatnya Yang Mulia Adiraja Carnelian. Jikalau saat itu beliau tak mengulurkan tangannya kepada bocah yang meringkuk di bawah reruntuhan, mungkin bocah itu sudah lama mati sebab tak sanggup menahan perihnya kemalangan. Maka dari itu, dengan segenap jiwa serta raga yang dimiliki, ia akan mengabdi seumur hidup pada sang adiraja muda apapun situasinya. Walau suatu saat seluruh dunia menentangnya, ia akan tetap setia berdiri di sisinya.
Begitulah sugesti yang ia tanam sendiri dalam benaknya selama bertahun-tahun mengabdi. Sampai ia bertemu dengan sang pelindung Ayaskara sekaligus semesta raya.
Sedari lahir hingga detik itu, ia tak pernah melihat rupa wajah dengan kecantikan paripurna seperti itu.
***
“Lazu, kau mengerti?”
Suara di seberang sana bertanya dengan nada datar sedikit mengintimidasi. Pemuda dengan topeng yang menutupi kedua matanya hanya mengangguk paham. Setelahnya, suara itu tak kembali terdengar, lenyap begitu saja.
Strategi pencurian kepingan Ayaskara adalah misi yang diberikan adiraja untuknya. Dari semenjak saudagar Negeri Bestia menginjakkan kaki di Istana Alba, maklumat adiraja telah diturunkan untuknya. Awalnya pemuda yang merupakan ksatria tangan kanan adiraja tak begitu peduli dengan misi tersebut. Di benaknya tertanam bahwa segala apapun ucapan yang keluar dari mulut adiraja adalah mutlak. Ia tak akan membantah, sebab ucapan dan keinginan Yang Mulia merupakan keinginannya pula.
Namun seiring berjalannya waktu, berpetualang dengan si pengembara dan para saudagar Negeri Bestia serta lainnya telah mengubah perspektifnya. Selama ini dirinya merasa sudah cukup dengan melayani Yang Mulia Carnelian saja sepanjang hidupnya. Sesungguhnya, ia tak pernah menyangka bahwa mengembara yang biasa dilakukannya bersama adiraja serta para prajurit, akan terasa begitu menyenangkan jika bersama orang-orang seperti si pengembara dan lainnya.
Tertinggal rasa tak tega yang terucap dalam lubuk hatinya jika mengkhianati mereka. Namun perintah adiraja adalah sesuatu yang mutlak, tak terlintas di benaknya untuk membantah sedikit pun. Yang Mulia Carnelian telah memberinya kesempatan hidup dan tumbuh berkembang, serta rela membagi waktunya untuk mendidiknya menjadi seorang ksatria paling kuat seantero Alba.
Jika mengkhianati si pengembara dan lainnya adalah salah satu jalan untuk mengabdi setia pada adiraja, maka akan dilakukannya dengan sepenuh hati. Tak sedikit pun acuh terhadap reaksi yang nantinya diberikan si pengembara dan lainnya.
***
Kepingan Ayaskara terakhir milik Negeri Bestia telah berhasil didapat sang ksatria. Pemuda itu berniat segera melarikan diri, tetapi ketika dirinya berhasil mencapai gerbang, rombongan si pengembara datang menghadangnya.
“Aku tak menyangka, kau adalah sang serigala di balik para kawanan domba lugu seperti kami. Aw, itu cukup mengejutkan,” sebuah ujaran terlontar dari salah satu rombongan si pengembara. Ah, itu adalah si mantan pembunuh bersurai jingga kemerahan, yang tersenyum manis pada sang ksatria. Namun ia tahu, sebetulnya si mantan pembunuh tak benar-benar tersenyum, terlihat dari kilatan cahaya netranya. Dingin layaknya es, dengan niat membunuh yang menguar begitu besar.
Sebilah pisau melayang di udara dengan kecepatan satu kedipan mata, menghunus ke arah sang Ksatria Alba. Nahas, ia terlambat sepersekian detik untuk menangkis sehingga meninggalkan luka gores yang cukup dalam di lengan kirinya.
Si pengembara menyaksikan seluruh adegan sengit tersebut, pun berujar setengah terisak, “Mengapa kau tega melakukan ini semua, Lazu? Apa yang ada di benakmu hingga berbuat seperti ini?”
Sang ksatria menoleh ke arah dimana si pengembara berpijak. Kedua matanya berkaca-kaca, hendak menangis namun berusaha ia tahan. Setelah sekian lama terisolasi di Negeri Tandus Eterno, baru kali ini si pengembara dapat berkawan dengan banyak orang dari berbagai negeri. Tak pernah menyangka bahwa ia akan menerima pengkhianatan seperti ini.
Semua orang tak menyadari, bahwa di balik topeng sang ksatria terdapat mata yang memancarkan rasa tak tega dan belas kasihan. Seketika Lazu sadar akan sekelibat perasaan yang membuncah di lubuk hatinya, segera ia menyampingkan itu semua. Teringat akan amanah yang dibebankan Adiraja Carnelian padanya. Bergegaslah ia mempersiapkan strategi guna melarikan diri dari kepungan orang-orang di sekitarnya.
Sang Raja Bestia tanpa-aba-aba mendadak maju menyerang Lazu dengan sekuat tenaga. Tersadar dari lamunannya, segera berupaya mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan tersebut. Lazu adalah seseorang yang belajar dari kesalahan, jadi kali ini ia tak membuat kesalahan yang sama seperti sebelumnya.
Serangan tersebut berhasil dirinya tangkis, walaupun sempat goyah sesaat sebab perbandingan tenaga yang tak seimbang. Kemampuan bertarung sang Raja Bestia memang tak dapat diremehkan. Ia menyerang sang ksatria hanya dengan tangan kosong saja. Selain karena naluri alami hewan buas yang mendominasi, sang Raja Bestia nampaknya telah terlatih dalam bertarung. Dilihat dari bagaimana cara ia bertarung serta refleks gerakan otot yang ditimbulkan.
Posisinya benar-benar tak diuntungkan. Terkepung oleh banyak orang, dengan sebagian dari mereka memiliki kemahiran dalam bertarung. Selain itu, ia telah meninggalkan banyak luka di tubuhnya. Sebetulnya ia masih sanggup untuk bertarung, namun niat itu diurungkan. Lazu sangat yakin jika ia bersikeras melanjutkan perlawanan hanya akan merugikan dirinya sendiri dan berakhir tertangkap oleh mereka. Salah satunya cara yang tersisa adalah melarikan diri kembali ke Negeri Alba.
Sang ksatria mengeluarkan sebongkah kristal dari sebalik lengan bajunya. Itu adalah kristal dengan kekuatan magis yang terkandung di dalamnya. Ia mengambil ancang-ancang membanting kristal tersebut ke tanah seraya merapal kalimat mantra di dalam pikirannya. Kristal tersebut menghantam tanah dengan keras, lalu seketika hancur berkeping-keping. Timbul seberkas cahaya ketika kristal tersebut hancur. Akan tetapi, sesaat setelahnya cahaya tersebut bersinar kian terang hingga menyilaukan mata dan menyebar ke seluruh penjuru ruangan.
“HENTIKAN DIA! Dia ingin melarikan diri!” Sang Raja Bestia berseru memerintahkan para prajurit dan orang-orang di sekitarnya untuk segera menyergap Lazu sebelum berhasil melarikan diri.
Kristal itu bukanlah kristal magis biasa yang hanya dapat meledakkan cahaya. Rangkaian sihir teleportasi sudah ditanam di dalam kristal magis tersebut. Ketika kristal magis hancur berkeping-keping, otomatis mengaktifkan rangkaian sihir dan dapat membuat penggunanya secara perlahan berpindah ke tempat yang ingin dituju. Radius jangkauannya tak terbatas dan dengan begitu mudahnya dapat berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Akan tetapi, untuk mendapatkan kristal magis seperti ini tidaklah mudah. Rangkaian sihir teleportasi yang tertanam cukup rumit, tak semua orang mampu mempelajari rangkaian sihir tersebut. Selain itu, daya mana yang dibutuhkan juga sangat besar sehingga dapat membuat penggunanya mengalami efek samping hingga tak sadarkan diri. Maka dari itu, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat memakainya.
Kala tangan sang Raja Bestia hampir dapat menggapainya, tubuh Lazu perlahan mulai hilang dalam serpihan cahaya. Tahu bahwa ia dihimpit oleh waktu, sang Raja Bestia memilih untuk langsung lompat menerjang ke arah sang ksatria berpijak. Namun sayang, waktu lebih dulu menerkam dirinya. Lazu lenyap ditelan oleh cahaya.
***
Lembaran halaman terakhir baru saja dibaliknya, dengan begitu ia berhasil menamatkan novel yang sedari tadi dibaca. Kemudian ditutupnya buku, tak langsung ia letakkan pada tempat seharusnya. Ditatapnya sampul buku sembari merenungi suatu hal yang berkeliaran di benaknya. Sebetulnya ia sedari awal tak pernah menaruh fokus pada novel yang dibaca olehnya.
Menghela napas panjang, iris sewarna cakrawala mengalihkan pandangannya pada objek di hadapannya. Seseorang yang terbaring lemah di atas ranjang tidurnya. Kedua matanya terpejam –entah kapan akan terbuka–, ritme napasnya begitu teratur nan halus. Saking halusnya, ia bahkan kesulitan untuk mendengar suara deru napasnya. Namun, hal itu justru membuatnya ketakutan dan cemas setiap saat. Dirinya takut bahwa orang di hadapannya tak akan pernah terbangun lagi.
“Hingga kini, engkau bahkan masih belum terbangun pula,” ia bergumam, tangannya terulur menangkup sebelah pipi yang tengah tertidur. Ibu jarinya terangkat, mengusap pelan pipi hangat nan lembut itu.
Seseorang yang tertidur lelap ialah sang pelindung Ayaskara, Vega. Akibat dari kekacauan besar yang terjadi ribuan tahun yang lalu, ia memutuskan untuk membuat permohonan mutlak pada Sang Ayaskara dan semesta raya. Demi memberikan kebahagiaan serta kebebasan pada seluruh umat manusia, ia harus menerima bayaran yang besar. Ayaskara terpecah akibat permohonan mutlaknya, membuat jiwanya yang terhubung langsung dengan kristal mistik tersebut mengalami guncangan hebat. Dengan begitu ia jatuh dalam tidur abadi, terbelenggu di alam mimpi hingga berabad-abad lamanya.
Capella, salah seorang dari enam Pendeta Agung Negeri Mistero, menjadi satu-satunya pengikut Vega yang selalu setia berada di sampingnya. Dari semenjak ia pertama kali ditunjuk sebagai pendeta agung, hingga sang pelindung Ayaskara jatuh dalam tidur abadi, barang sedetikpun ia tak pernah meninggalkan sisinya.
Setiap hari, jam, detik, ia selalu menunggu di sisi ranjang sang pelindung Ayaskara. Berharap dalam suatu waktu, Capella menemukan bahwa dia terbangun dari belenggu mimpi abadi. Walau kedengarannya begitu mustahil, sebab ia sendiri telah menghabiskan waktu berabad-abad lamanya untuk menunggu sosok yang diagungkannya.
Ibu jarinya masih sibuk mengusap pipi hangat nan lembut milik Vega. Kedua matanya tak pernah lepas memandangi wajah terlelap sang pelindung Ayaskara. Dalam hati mengagumi struktur rupa wajah yang terpahat sedemikian indahnya. Bulu matanya lentik, sama halnya dengan jari-jemarinya. Kulit dan surainya seputih salju, juga lembut dan halus. Bibirnya ranum dan mungil, kala mematri sebuah senyuman akan membuat siapapun yang melihatnya terpana.
Setiap kali Capella memandangi wajah sang pelindung Ayaskara dengan seksama, ia selalu merasa seperti jatuh cinta. Jatuh cinta akan pahatan paripurna dari Sang Penguasa Semesta. Sungguh merupakan sebuah berkah dapat melayani seseorang seperti Yang Mulia Vega.
Terkadang sekelibat pikiran muncul di benaknya. Jikalau dirinya dan Yang Mulia Vega terlahir sebagai manusia biasa, mungkin ia akan meminangnya dan membangun rumah tangga bersamanya. Lalu mereka akan tinggal di sebuah desa tentram, hidup damai dengan dirinya bekerja di ladang gandum dan Yang Mulia Vega merajut syal sembari duduk di kursi goyang hingga senja tiba.
Tentu itu semua hanya angan-angan belaka. Tak mungkin dirinya yang rendahan ini berani berlaku seperti itu kepada sosok agung Yang Mulia Vega. Baginya, seperti ini saja sudah sangat cukup. Dapat berada di sisinya setiap saat adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Tak semua orang memiliki kesempatan yang sama seperti dirinya.
“Selamat tidur, Yang Mulia. Aku pamit undur diri. Masih ada kewajiban yang menantiku,” dengan begitu Capella bangkit dari tempatnya. Mendekat ke arah dimana Sang Pelindung terbaring. Lalu pendeta agung tersebut mencondongkan tubuhnya ke depan. Bibirnya meninggalkan sebuah kecupan kecil di kening Yang Mulia Vega. Itu sudah menjadi suatu kebiasaan yang tak pernah luput ketika ingin beranjak pergi dari sisi Sang Pelindung selama ia dalam belenggu mimpi abadi.
Lantas Capella bergegas meninggalkan ruangan dimana Yang Mulia Vega tertidur. Kala ia mencapai ambang pintu, berpijaklah seorang pria dengan postur elegan sembari melipat kedua tangannya di depan dada. “Tindakanmu barusan begitu ambigu. Apakah itu hanyalah bentuk suatu pujaan terhadap Yang Mulia atau ada makna lain yang terselip?” Sungguhlah ia terkejut mendengar perkataan yang terlontar dari mulut pria tersebut, tetapi Capella berusaha untuk menjaga air mukanya. “Sejak kapan engkau tiba?” Senyum tipis terpatri di bibir pria itu, “Baru saja.”
Sang pendeta agung berdeham sedikit, “Jadi, bagaimana kondisi di luar sana?” Kedua kakinya perlahan melangkah maju, melewati sosok pria yang berpijak di hadapannya. Secara tak langsung memberi sebuah isyarat pada pria itu untuk mengikutinya. Kemudian terdengar derap langkah kaki yang berirama di belakangnya.
“Untuk saat ini tentram. Entah bagaimana kedepannya,” nada suaranya begitu tenang, tapi terdengar penuh misteri seperti ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Capella menyadari hal tersebut, lantas menghentikan langkahnya. Berbalik ke belakang, menatap pria yang sebagian wajahnya tertutup tudung jubahnya sendiri. Mengernyitkan dahinya, “Apa maksud ucapanmu tersebut?”
Sejenak, pria itu menundukkan pandangannya ke bawah. Menatap lurus memandangi sepatunya yang mulai sedikit usang akibat sering berkelana menjelajahi dunia. “Akan ada kekacauan akibat dari ambisi dan keserakahan seorang penguasa,” pria itu mengangkat kepalanya, kembali menatap balik sang pendeta agung. Tatapannya begitu tenang layaknya air mengalir, namun Capella dapat melihat sekilas ombak besar di sana.
“Apakah permohonan mutlak Yang Mulia Vega masih belum cukup untuk menghindari bencana dari umat manusia?” Rasa amarah dan kekecewaan terlukis jelas di raut wajah pendeta agung tersebut. Dahinya berkerut, lalu dipijatnya dengan pelan sembari menghela napas pasrah.
Pria dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya tersebut melangkah maju, mendekati Capella. Tangannya terulur, menepuk pelan bahu sang pendeta agung, “Begitulah manusia pada hakikatnya. Selalu merasa tak pernah puas dengan apa yang telah ia miliki sebagai berkah dari Sang Penguasa Semesta,” sang pendeta agung menatap sejenak sosok pria tersebut, “Dirimu benar.”
Tatapannya beralih menuju taman bunga yang luas, tak jauh dari tempat ia berpijak. Nampak sebuah paviliun di tengah hamparan berbagai jenis bunga. Pada pilar-pilar paviliun ditumbuhi oleh tanaman yang merambat hingga menjalar ke langit-langit. Di setiap tangkai, bermekaranlah ratusan bunga wisteria yang cantik. Gemericik dari air terjun yang letaknya tak jauh dari paviliun menambah suasana di sekitarnya terasa tentram dan damai. Menjadikan paviliun tersebut memiliki nilai estetika yang begitu tinggi.
Seketika Capella bernostalgia akan kenangan masa lalunya bersama sang pelindung Ayaskara. Terkadang Yang Mulia Vega mengajaknya untuk membuat pesta minum teh kecil-kecilan di paviliun tersebut sembari menikmati pemandangan menyejukkan mata. Yang Mulia Vega gemar sekali memandangi hamparan bunga. Ia sangat menyukai bunga, terutama bunga serunai dan bunga wisteria. Capella juga menyukai dua bunga tersebut. Sebab kala ia memandangi keduanya, mengingatkannya pada rupa paripurna sang pelindung Ayaskara. Irisnya serasi dengan kedua bunga kesukaannya itu.
Bernostalgia sesaat membuat hatinya sedikit terobati akan kerinduannya pada sang pelindung Ayaskara. Namun tak dapat dipungkiri, bila nestapa tetap menggerogoti relung hatinya. “Entah kapan Yang Mulia Vega terbebas dari belenggu mimpinya.”
Pria bertudung menatap wajah tampan sang pendeta agung dengan seksama. Ia dapat melihat sepasang netra yang berkaca-kaca, seperti hendak menangis. Tenggelam dalam lautan nestapa yang tak berujung. “Sejujurnya, aku kesulitan untuk memahamimu. Pemujaanmu pada Yang Mulia terlalu berlebihan.”
“Aku tahu, ia adalah sosok yang agung dan patut untuk dipuja atas segala jasanya. Namun aku merasa caramu melayani serta memujanya sangat berbeda dari yang lain. Kau memperlakukan Yang Mulia layaknya ia adalah tambatan hatimu.”
Pernyataan pria bertudung itu membuat isi perut sang pendeta agung sedikit bergejolak. Merasa tak nyaman mendengar pernyataan tersebut. Perasaan di lubuk hatinya telah terbaca oleh orang lain. Berpikir untuk menyangkal pernyataan si pria bertudung adalah sesuatu hal yang sia-sia. Capella mengenal baik tabiat pria di hadapannya. Ia bukanlah seorang idiot yang mudah ditipu. Selain itu, pria bertudung adalah sesosok makhluk surgawi utusan Taman Eden. Kedudukannya hampir setara dengan sang pelindung Ayaskara. Jadi, ia dapat begitu dengan mudahnya membaca isi hati seseorang. Namun, Capella juga tak mau terjebak dalam pernyataan tersebut.
Sang pendeta agung sibuk akan perang batin, kala pria bertudung itu mulai bergegas meninggalkannya. “Aku pergi dulu. Pastikan Yang Mulia selalu dalam pengawasanmu,” dengan begitu ia pamit undur diri. Capella memandangi punggung pria tersebut yang mulai mengecil sedikit demi sedikit seiring melebarnya jarak di antara mereka.
“Ah, satu lagi,” mendadak pria bertudung tersebut menghentikan langkahnya ketika sampai di ujung lorong. Suaranya menggema begitu jelas, sehingga Capella masih dapat mendegar apa yang dikatakannya walau jarak memisahkan keduanya. “Segera lupakan saja perasaanmu itu terhadap Yang Mulia. Ku harap kau tak lupa tentang aturan yang tertulis. Sesuatu hal yang tabu jika seorang pendeta agung menjalin hubungan asmara, apalagi dengan sosok agung seperti sang pelindung Ayaskara.”
***
Berjalan tertatih-tatih sembari menahan rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka di sekujur tubuh. Kesadarannya perlahan mulai memudar seiring detik waktu, ia dapat tumbang kapan saja. Akan tetapi, sang ksatria berusaha membuat dirinya tetap terjaga apapun kondisinya. Tak peduli dengan rasa sakit yang kian ganas menggerogoti tubuhnya, ia tak boleh tumbang sebelum mencapai Istana Alba.
Setelah melarikan diri dari kepungan rombongan si pengembara, Lazu terlempar di kawasan antah berantah. Sepanjang melangkah menelusuri kawasan tersebut, dirinya hanya menemukan hamparan bunga saja. Dapat dipastikan bahwa ini bukan berada di Negeri Alba, sebab kawasan ini disinari oleh sang surya. Tak seperti Alba yang senantiasa terkurung dalam kegelapan abadi.
Sang ksatria merenung sejenak, memikirkan segala kemungkinan mengapa ia dapat terlempar hingga ke kawasan antah berantah ini. Sebelumnya Lazu sudah sangat yakin bahwa ia tak mengalami kekeliruan dalam merapal mantra. Jadi, tak mungkin jika mantra yang dirapal dalam pikirannya adalah sumber masalah utamanya.
“Apakah mungkin…” sang ksatria bergumam, memikirkan sebuah kemungkinan yang terlintas di benaknya. Satu tangannya merogoh sesuatu dari sebalik lengan bajunya. Dikeluarkannya sisa-sisa serpihan kecil dari kristal magis yang digunakannya untuk melarikan diri. Lazu memperhatikan serpihan di genggamannya dengan seksama, menganalisis adanya kemungkinan kekeliruan.
Sedari awal Lazu sudah menaruh kecurigaan terhadap kristal magis ini. Dirinya merasa jeda waktu yang dihabiskan dalam masa teleportasi sedikit lebih lama beberapa detik dari biasanya. Lazu sudah hafal betul jeda waktu setiap mantra yang dirapalnya agar suatu sihir dapat bekerja. Ia menduga bahwa ada sebuah kekeliruan dalam rangkaian sihir yang tertanam dalam kristal magis ini.
Kini hal tersebut menjadi pertanyaannya, mengapa bisa ada kekeliruan dalam rangkaian sihir?
Lazu merasa kekeliruan dalam rangkaian sihir di kristal magis miliknya adalah sesuatu hal yang mustahil. Pelaku yang menanamkannya merupakan seorang penyihir termasyhur dari Negeri Alba. Dirinya cukup yakin jika sang penyihir tak mungkin melakukan kesalahan kecil seperti ini dalam menanamkan suatu rangkaian sihir. Namun, hipotesanya mengatakan bila ada suatu kemungkinan paling masuk akal yang dapat terjadi.
“Mungkinkah… kesengajaan?”
Sang ksatria kembali menyusun hipotesa dalam benaknya. Akhirnya ia menyimpulkan dua kemungkinan alasan mengapa si penyihir sengaja menyabotase rangkaian sihir kristal magis miliknya. Pertama, si penyihir sengaja melakukannya sebab ingin menyingkirkan sang ksatria demi merebut jabatannya. Lazu memahami tabiat si penyihir yang begitu ambisius untuk mendapatkan kedudukan di Istana Alba. Lalu kedua, kemungkinan paling buruk yang ia waspadai—
—rencana permulaan kudeta.
Negeri Alba begitu kaya akan sumber daya alam berupa mineral yang melimpah. Mineral dari Negeri Alba juga dapat dikatakan memiliki kualitas paling baik dari negeri manapun. Perdagangan ekspor dan impor mineral antar negeri sangat sukses dan mendapatkan keuntungan berlipat. Menjadikan kehidupan penduduk Negeri Alba makmur. Lazu sendiri bahkan jarang sekali menemui penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Namun, bukan berarti bahwa semua orang akan memilih tunduk dengan pemerintahan Kerajaan Alba. Sebelumnya, Negeri Alba memiliki sejarah yang kelam terkait rezim adiraja terdahulu. Ayahanda dari Adiraja Carnelian begitu bengis dan otoriter dalam memerintah kerajaan. Sehingga banyak rakyatnya yang menderita pada masa rezimnya berlangsung. Jikalau suatu saat ada sekelompok orang yang memberontak, Lazu tak begitu terkejut mendengarnya. Akan tetapi, situasi kini berbeda jauh sekali dengan masa lampau. Yang Mulia Carnelian tak pernah melakukan sesuatu hal yang akan membuat rakyatnya menderita.
Semua memang masih prasangka yang hanya berputar di benaknya, tetapi sang ksatria tetap meningkatkan kewaspadaannya. Keselamatan serta nyawa adiraja adalah sesuatu yang berharga. Sudah menjadi tanggung jawab Lazu untuk melindungi hal tersebut dengan segenap jiwa dan raganya.
Lazu kembali melangkah dengan tertatih-tatih. Dalam lubuk hatinya, sungguh ia sudah tak sanggup lagi untuk melangkah lebih jauh. Terbesit keinginan untuk beristirahat sejenak sembari mengurus luka-lukanya, tetapi ia mengurungkan niat tersebut. Ia tak bisa tenang memikirkan kondisi sang Adiraja Carnelian.
Ketika isi kepalanya tengah berkecamuk, kakinya tak sengaja berpijak pada bebatuan curam. Seketika membuat bebatuan itu runtuh karena tak mampu menahan beban dan tekanan yang besar. Lazu pun kehilangan keseimbangan dan jatuh terperosok sebelum ia dapat bereaksi apapun. Betapa terkejutnya ia, beberapa meter di hadapannya ada sebuah jurang. Ia berusaha menghentikan laju pada tubuhnya dengan mencengkram kuat pada tanah bebatuan. Akan tetapi upayanya tak berhasil, jari-jemarinya terluka akibat beradu dengan tanah bebatuan, dan tubuhnya terus merosot ke bawah menuju jurang.
Sang ksatria sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Jika hari ini jiwanya berpulang ke pangkuan Sang Penguasa Semesta, ia hanya dapat berharap semoga Adiraja Carnelian memaafkan dirinya atas kecerobohan yang dibuatnya.
Setelahnya, semua menjadi gelap gulita.
***
“Ini barangmu, Tuan,” satu keranjang penuh berisi roti diberikan si pedagang pada lelaki bertudung putih. Lelaki itu lantas menerima barang belanjaannya, lalu sebagai gantinya ia memberikan beberapa koin perak. Senyum sumringah terpancar dari wajah si pedagang, “Terima kasih, Tuan!”
Lelaki bertudung putih berniat hendak beranjak dari sana, namun si pedagang menahannya terlebih dahulu sebelum ia benar-benar pergi. “Hei, Tuan. Sepertinya aku merasa asing denganmu. Apakah kau pendatang dari luar?” Mendengar pertanyaan tersebut, lelaki itu hanya memberi jawaban singkat seraya tersenyum tipis, “Ya.”
Sebelum ia dihujani berbagai macam pertanyaan, lelaki bertudung putih itu segera pergi meninggalkan lapak si pedagang roti. Ia tak punya waktu untuk berbincang demi memuaskan rasa penasaran orang lain terhadap dirinya. Si pedagang roti hanya terpaku memandangi punggung lelaki bertudung putih yang semakin lama menjauh dan hilang tenggelam dalam kerumunan lautan manusia.
…
Hari ini cerah seperti biasanya. Sang pendeta agung memutuskan untuk pergi keluar dari Kuil Agung. Dengan berbekal sebuah jubah besar bertudung yang menyelimuti seluruh tubuhnya, ia siap untuk menuruni bukit menuju kawasan permukiman manusia. Tak lupa pula ia menarik tudung jubah tersebut guna menutupi fitur wajahnya yang tampan. Hampir semua orang mengetahui identitasnya sebagai pendeta agung. Capella tak ingin mengundang keributan yang tak perlu.
Ucapan sang pengamat tempo hari terus terngiang-ngiang dalam benaknya. Capella nyaris terjaga sepanjang malam karena hal tersebut. Jika ramalan sang pengamat terjadi dalam waktu dekat, ditakutkan akan memicu peperangan besar untuk kedua kalinya seperti yang terjadi ribuan tahun silam. Capella sama sekali belum memiliki strategi pencegahan kekacauan yang akan datang nantinya. Semisal ia bergerak tanpa persiapan dan hanya bergantung pada nalurinya saja, tentu itu adalah suatu tindakan bodoh. Bahkan anak kecil berusia sepuluh tahun pun akan berpikir dua kali sembari menyusun rencana ketika mereka akan memilih camilan favoritnya. Ini menyangkut kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Namun sejujurnya, itu bukan menjadi sesuatu hal utama yang ditakutkan sang pendeta agung. Capella lebih takut, jika peperangan besar terjadi untuk kedua kalinya, sang pelindung Ayaskara benar-benar akan terjerat belenggu mimpi untuk selamanya. Memang benar, sang pelindung Ayaskara dapat dikatakan abadi. Tak dapat menua, memiliki usia yang cenderung sangat panjang dibanding manusia pada umumnya hingga dapat hidup ribuan tahun lamanya. Namun bukan berarti Yang Mulia Vega tak dapat mati, bagaimanapun juga ia bukan dewa. Yang Mulia Vega hanyalah seorang entitas agung yang mendapat anugerah langsung dari Sang Penguasa Semesta untuk mengemban tugas melindungi Ayaskara.
Walaupun peperangan tak akan terjadi –Capella berharap demikian– , tetap saja suatu saat Yang Mulia Vega akan kembali pada pangkuan Sang Penguasa Semesta karena dimakan usia. Memang sang pelindung tak dapat menua, namun bukan berarti ia tak akan layu suatu hari nanti. Tubuhnya tak kekal, semakin lama akan semakin melemah. Kemudian ketika ia telah tiada, Sang Penguasa Semesta akan mengutus pelindung Ayaskara yang baru. Begitulah hakikat makhluk hidup, suatu saat pasti akan mati.
Capella lebih memilih melihat sang pelindung tiada karena faktor usia dibanding berkorban demi menghentikan peperangan. Yang Mulia Vega selalu tersenyum apapun masalah yang dihadapinya, namun Capella tahu jika ia telah menderita sepanjang hidupnya. Bahkan rela berkorban demi kedamaian alam semesta walaupun ia harus menerima konsekuensi yang besar, yaitu terjerat belenggu mimpi hingga ribuan tahun lamanya.
“Tidak adil!” sang pendeta agung selalu berpikir demikian. Seseorang yang cantik dan begitu lembut seperti Yang Mulia Vega, harus membayar seluruh hidupnya demi umat manusia dan alam semesta. Namun, balasan yang diterima sangat jauh dari kata layak. Umat manusia berlaku tidak tahu diri. Selalu mengemis supaya permohonan mereka dapat dikabulkan oleh Ayaskara. Setelah satu permohonan terkabul, mereka akan terus-menerus meminta permohonan lainnya untuk dikabulkan. Ketika satu permohonan saja tak terkabul, mereka langsung mengumpat dan mengutuk Yang Mulia Vega. Mereka melimpahkan semua amarah, kesedihan, kebencian serta dendam yang dimiliki pada sang pelindung Ayaskara.
Akan tetapi respon dari Yang Mulia Vega selalu, “Tidak apa-apa, ini memang tugasku,” atau “Ini memang kelalaianku, mereka berhak untuk marah karenanya.” Terlampau lembut hatinya, rela menerima perlakuan seperti itu dari para pengikutnya. Bahkan sebelum ia jatuh dalam belenggu mimpi, ia masih saja memikirkan nasib umat manusia.
Capella mengeritkan giginya, setiap memikirkan nasib Sang Pelindung Ayaskara, emosinya sulit untuk dikendalikan. Setiap Yang Mulia Vega melaksanakan tugas sucinya, ingin sekali Capella menghentikannya. Kemudian berkata, bahwa ia tak perlu melakukan itu semua, sebab hanya memberikan kesengsaraan bagi dirinya. Kebebasannya terkekang oleh sifat tamak manusia.
Kedua netra sewarna cakrawala menatap lurus ke depan. Tak jauh dari tempat ia berpijak, ia dapat melihat permukiman penduduk setempat. Sang pendeta agung terus bergelut dengan pikiran dan batinnya sepanjang perjalanan sehingga tanpa sadar ia hampir sampai pada tempat tujuannya.
Dari jarak ini ia dapat melihat bagaimana ramainya kawasan permukiman. Para penduduk berlalu-lalang memadati jalan-jalan utama, melakukan kegiatan dan urusannya masing-masing. Di setiap sisi jalanan utama, berjajar lapak-lapak pedagang dan kedai-kedai kecil. Banyak kegiatan transaksi jual-beli terjadi disana. Kereta-kereta kuda pengangkut barang-barang kebutuhan logistik menjadi penguasa jalanan. Mereka membelah lautan manusia yang memadati jalan-jalan utama. Membuat para pejalan kaki menepi dan berjalan berdesak-desakkan di sisi jalan yang sempit, sebab terhimpit di antara lapak-lapak para pedagang dan kereta-kereta kuda yang tengah berlalu-lalang.
Sang pendeta agung perlahan mememasuki kawasan permukiman melalui jalanan setapak yang terhubung dengan sebuah gang kecil. Gang kecil tersebut cukup gelap, sinar mentari sulit masuk sebab terhalang oleh atap-atap bangunan yang saling berdempetan. Samar-samar tercium aroma pesing sepanjang jalan. Lokasi gang kecil ini agak jauh dari jalan utama dan letaknya juga terpencil. Beberapa pria pasti buang air kecil disini entah karena sudah tak sanggup menahan lagi atau memang malas mencari kamar mandi umum. Capella tak menyukai bebauan menyengat dan menjijikan seperti ini.
Tetiba ia teringat dengan Yang Mulia Vega. Sang pelindung Ayaskara selalu berpenampilan bersih dan harum. Sebetulnya ia tak begitu sering menggunakan wewangian, namun aroma alami yang keluar dari tubuhnya sudah cukup harum. Aroma manis nan lembut layaknya bunga yang baru mekar dan dipetik langsung dari kebun. Mungkin ketika Yang Mulia Vega mencium bau tak sedap yang begitu menyengat seperti ini, ia tak akan menyukainya.
Capella tertawa masam, “Kemana pun aku pergi, sukar rasanya untuk melupakan dirinya barang sejenak saja…”
Kembali ia melangkahkan kakinya untuk keluar dari gang kecil yang gelap dan berbau pesing ini. Dalam beberapa langkah saja, sang pendeta agung telah mencapai sisi ujung gang kecil. Sinar mentari yang terik langsung menyambut dirinya hingga menusuk matanya. Ia mengalihkan pandangannya sejenak karena tak mampu menahan teriknya sinar mentari. Matanya memerlukan waktu untuk dapat beradaptasi dengan cahaya di sekitarnya.
Sesuatu menabrak tubuhnya cukup keras dari samping. Membuat Capella terhuyung, namun beruntung ia tak sampai terjatuh. Ia menoleh untuk mencari tahu penyebabnya. Di depannya ia menemukan sekelompok anak kecil yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Mereka menatap ke arah dirinya dengan mimik wajah khawatir dan penuh keraguan. Lalu pandangan para anak kecil tersebut tertuju ke bawah, seperti tengah memandangi suatu objek. Capella lantas menengok ke bawah, dan ia menemukan seorang anak kecil lainnya meringkuk di sana. Nampaknya bocah ini pelaku yang menabraknya tadi. Akan tetapi karena perbedaan ukuran tubuh di antara keduanya, membuat si bocah terhempas dan jatuh terjerembap ke jalan. Kemudian bocah itu meringkuk, sepertinya merasa ketakutan dengan reaksi amarah yang nantinya akan diberikan Capella sebab ia begitu ceroboh.
Sang pendeta agung membungkuk sembari mengulurkan tangannya, “Maafkan aku. Apa kau terluka?” Ia sama sekali tak menaruh rasa amarah pada bocah ini. Toh, dia tak sengaja menabraknya dan Capella juga tak terluka sedikit pun. Semua ini hanyalah kecerobohan kecil anak-anak pada umumnya. Tak perlu ia besar-besarkan masalah sepele seperti ini.
Bocah itu menerima uluran tangan Capella dengan ragu-ragu. Sang pendeta agung kemudian menarik tubuh bocah itu perlahan, membantunya untuk bangkit. “Lain kali berhati-hatilah dalam melangkah. Kalau tidak, kau akan terluka,” Capella tersenyum lembut sembari menepuk-nepuk pelan pucuk kepala bocah tersebut. Si bocah membalasnya dengan senyuman sumringah, “Te-Terima kasih!”
Sekelompok anak kecil yang sedari tadi menatap dari kejauhan pun perlahan menghampiri si bocah. Setelahnya mereka beranjak pergi meninggalkan Capella sendirian di sana. Anak-anak itu berlarian dengan menggenggam sebuah tongkat di tangan mereka masing-masing. Terkadang mereka sengaja mengarahkan tongkat itu ke satu sama lain. Tongkat-tongkat di genggaman mereka saling beradu, menimbulkan bunyi ketukan yang cukup nyaring. Entah permainan apa yang tengah dimainkan oleh sekelompok anak kecil tersebut. Dari pengamatan yang Capella tangkap, kemungkinan mereka tengah bermain peran sebagai sekelompok ksatria. Suasana canda tawa yang begitu menyenangkan menyelimuti mereka. Tak satupun dari mereka nampak memasang wajah masam.
Capella menatap sendu ke arah sekelompok anak kecil tersebut. Ia berandai, bila saja sosok yang dihormati dan dipuja olehnya memiliki kebebasan layaknya anak-anak yang tengah bermain di sana. Yang Mulia Vega tak dapat keluar dari wilayah Kuil Agung sesuka hatinya. Jika memang ingin atau diharuskan untuk pergi keluar dari Kuil Agung, Yang Mulia Vega hanya dapat keluar kala tengah hari dan ia sudah harus kembali sebelum senja tiba. Sang pelindung Ayaskara juga tak diperkenankan keluar dari batas wilayah Negeri Mistero. Jiwanya yang terhubung langsung dengan Ayaskara, membuat Yang Mulia Vega harus tetap berada di Negeri Mistero. Selain itu, satu-satunya yang dapat berkomunikasi dan membuat permohonan pada Sang Ayaskara hanyalah Yang Mulia Vega seorang. Apabila marabahaya menimpa dirinya, bencana mungkin akan datang sebab tak ada yang mampu melindungi Sang Ayaskara.
“Seandainya… aku bisa membawanya pergi jauh…”
“Jauh sekali… ke tempat yang damai dan tentram…”
“Dimana ia bisa bebas… tanpa ada yang mengekangnya…”
Dalam angan-angannya, ia dapat melihat sang pelindung Ayaskara berlarian di padang bunga yang luas dengan senyuman manis terukir di bibir ranumnya. Surainya yang panjang dan seputih salju berkibar indah diterpa angin sejuk. Kemudian ia menoleh ke arah sang pendeta agung tanpa memudarkan senyumannya sedikit pun. Ditariknya tangan sang pendeta agung, lalu diajaknya untuk ikut berlarian bersama menjelajahi padang bunga. Ada satu waktu dimana keduanya menjatuhkan tubuh mereka di tengah-tengah hamparan bunga yang bermekaran. Kelopak-kelopak bunga segala macam warna berterbangan di udara akibat ulah keduanya. Lalu mereka menatap wajah satu sama lain, gelak tawa keluar dari mulut keduanya setelahnya. Sang pelindung Ayaskara kemudian memanggil namanya dengan suara yang lembut dan senyuman manis yang masih tertinggal di bibir ranumnya. Wajahnya yang cantik paripurna dihujani oleh kelopak-kelopak bunga yang mulai turun sebab gaya gravitasi.
Untuk dapat melihat pemandangan elok seperti dalam angan-angannya, harus ada pengorbanan besar yang diberikan. Melakukan suatu tindakan jauh lebih sulit dibanding hanya berandai-andai. “Aku harus membawanya pergi,” kalimat itu terlintas di benak Capella.
Namun, sang pendeta segera sadar atas pemikiran laknatnya. Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat, “Berani-beraninya aku yang rendahan ini memiliki pemikiran seperti itu.” Kemudian melangkahkan kedua kakinya dengan sedikit gontai tanpa arah. Melakukan tindak kejahatan dengan membawa kabur sang pelindung Ayaskara adalah pelanggaran keras terhadap aturan kode etik yang berlaku di Negeri Mistero. Selain itu, dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan sebab meninggalkan kewajiban dan tugas mulia yang telah diberikan demi tujuan pribadi.
Kala upacara pengangkatan pendeta agung, ia harus bersumpah untuk mengabdi seumur hidup pada Sang Penguasa Semesta dan sang pelindung Ayaskara demi umat manusia. Jika Capella berkhianat, tentu itu sama saja dengan melanggar sumpahnya sendiri. Dirinya akan dijatuhi hukuman yang begitu berat oleh pengadilan Kuil Agung. Kemungkinan ia sendiri pun tak akan mampu untuk menjalani hukuman yang ada.
Kakinya terus melangkah hingga tanpa sadar ia telah berada di kawasan jalan utama. Suasananya sangat ramai dan padat. Penduduk asli dan para pendatang saling berbaur dalam kerumunan lautan manusia. Mereka berlalu-lalang, menyelesaikan urusannya masing-masing. Capella juga dapat melihat dengan jelas para pedagang yang membuka lapak mereka di setiap sisi jalan. Berbagai macam barang dagangan pun dapat ditemukan di sini. Para pedagang berteriak sahut-sahutan, menawarkan barang yang mereka jual kepada para pengunjung. Nampak sebagian tertarik lalu mendatangi pedagang yang dimaksud, sebagian pula nampak acuh tak acuh dan kemudian beranjak pergi dari sana.
Iris sewarna cakrawala itu menangkap salah satu pedagang yang menarik perhatiannya. Pedagang itu menjual roti, nampak dari lapaknya yang menjejerkan berbagai jenis roti dengan ukuran yang beragam. Di ingatannya, makanan terakhir Yang Mulia Vega sebelum jatuh dalam belenggu mimpi adalah sepotong roti gandum yang diolesi selai kacang. Nestapa lagi-lagi menggerogoti relung hatinya hingga yang terdalam.
Capella sudah sangat lama berada di sisi sang pelindung Ayaskara. Ribuan tahun ia habiskan hanya untuk mengabdi setia padanya. Semua kenangan-kenangan indah yang dilaluinya bersama sang pelindung Ayaskara masih membekas di ingatannya. Berbagai perasaan suka maupun duka ia bagikan pula dengan sang pelindung Ayaskara. Seluruh perasaan yang dimiliki oleh Capella, diberikannya seutuhnya pada Yang Mulia Vega. Hingga kini Capella baru tersadar, ia bahkan sudah tak dapat memilah perasaan mana yang seharusnya diberikan dan mana yang seharusnya ia pendam saja.
Tawa lirih keluar dari mulutnya, “Mungkin ia memang benar, sepertinya aku terlalu berlebihan dalam memuja Yang Mulia.”
Kemudian ia melangkah menuju lapak pedagang roti tersebut.
***
Cakrawala dihiasi oleh warna jingga kemerahan dengan sekelompok burung yang berterbangan menuju arah selatan. Sang surya perlahan turun dari takhtanya setelah berkuasa sepanjang hari. Para penduduk mulai berhenti melakukan kegiatan di luar. Kereta-kereta kuda pengangkut barang-barang logistik pun nampak tak terlihat lagi sejauh mata memandang. Para pedagang pun menutup lapak mereka dan beranjak pergi dari sana. Para pendatang yang berlalu-lalang di sana pun juga pergi entah kemana. Mungkin mereka memasuki penginapan atau memang telah meninggalkan Negeri Mistero. Jalan-jalan utama yang semula ramai dan dipadati, berangsur-angsur sepi dan menyisakan para prajurit yang berpatroli. Capella memutuskan untuk kembali ke Kuil Agung. Kewajibannya sebagai pendeta agung masih harus ia laksakanan hingga tuntas.
Kala ia di tengah perjalanan mendaki bukit menuju Kuil Agung, Capella merasakan ada sesuatu hal yang janggal. Seketika langkah kakinya terhenti, kemudian ia mengamati sekelilingnya dengan hati-hati. Dirinya hanya menemukan pepohonan rindang dan semak-semak belukar, yang sedari awal memang hanya pemandangan ini yang menemani perjalanannya. Beberapa kali semak-semak belukar itu nampak bergoyang sebab timbul dari adanya suatu pergerakan. Namun Capella tahu, itu hanya ulah hewan-hewan kecil seperti tupai.
“Aku yakin, tak ada seorang pun yang mengikuti diriku sedari awal hingga saat ini,” ia bergumam pelan. “Namun, perasaan tidak nyaman apakah ini?”
Sang pendeta agung lantas beranjak dari tempatnya dengan langkah kaki yang cepat. Perasaan tidak nyaman yang bergejolak di lubuk hatinya memanggilnya untuk segera kembali menuju Kuil Agung. Berbagai skenario terburuk telah berputar di benaknya. Capella hanya berharap jika masalah yang akan ia temukan nanti adalah suatu hal sepele dan dapat diatasi.
Tak butuh waktu lama, Capella akhirnya sampai di Kuil Agung. Sebelum memasuki area kuil, ia memperhatikan situasi di sekitarnya. Kemudian ia mendapati sesuatu hal yang tak pernah diharapkan. Skenario terburuk yang awalnya hanya berputar di benaknya menjadi kenyataan. Rasanya seperti ditodong oleh puluhan moncong senapan, detak jantungnya nyaris berhenti sepersekian detik.
Tabir transparan yang menyelimuti keseluruhan area Kuil Agung telah lenyap. Bahkan Capella tak dapat melihat satu pun rangkaian sihir tabir yang tersisa. Kuil Agung adalah tempat paling suci sekaligus terlarang. Disebabkan Kuil Agung pusat keseimbangan semesta raya dan tempat dimana Ayaskara berada. Tak sembarang orang dapat bebas keluar masuk ke dalam area kuil.
Capella segera berlari masuk menuju ke dalam Kuil Agung. Dirinya tak mengetahui penyebab pastinya tabir itu lenyap. Namun ia dapat mengambil kesimpulan pasti bahwa ada penyusup masuk ke dalam sana. “Tapi, siapa?!” batinnya menjerit frustasi. Siapakah gerangan penyusup tersebut hingga dapat menembus pertahanan Kuil Agung? Tabir yang menyelimuti Kuil Agung berjumlah tujuh lapis. Rangkaian sihir yang terkandung sangatlah rumit, penyihir jenius sekalipun tak mampu menghancurkannya. Hanya keenam pendeta agung dan sang pelindung Ayaskara yang dapat membatalkan maupun menghancurkan tabir pelindung tersebut. Capella tak tahu musuh macam apa yang akan dihadapinya nanti. Situasi yang di luar prediksinya seperti ini, membuatnya mau tak mau harus bersiap dengan segala macam kemungkinan terburuk.
Tetiba ia teringat dengan sang pelindung Ayaskara yang masih tertidur pulas dalam jeratan belenggu mimpi. Capella tak tahu apakah tabir pelindung Yang Mulia Vega masih bekerja atau telah lenyap dihancurkan oleh si penyusup. Dirinya semakin frustasi memikirkan hal tersebut. Keranjang berisi roti yang baru saja dibelinya lepas dari genggamannya begitu saja akibat Capella berlari layaknya seseorang tengah dirasuki roh jahat.
“Yang Mulia Vega!” Ia setengah berteriak memanggil nama sang pelindung Ayaskara. Kala memasuki ruangan dimana sosok yang dipujanya terbaring, dirinya mendapati ranjangnya kosong dengan tabir pelindung yang telah lenyap. Seketika hatinya mencelos ke bagian jurang yang paling dalam. Bahkan Capella nyaris tak bernapas sepersekian menit. Mimik wajahnya sangat tegang dan berwarna pucat pasi.
Sang pendeta agung ingin melangkah maju untuk memastikan kembali, walau sebenarnya dengan melihat saja ia sudah tahu di atas ranjang sudah tak ada siapapun lagi. Sekeras apapun Capella berusaha, kakinya sama sekali tak meninggalkan tempatnya barang sejengkal pun. Jadi ia hanya dapat memandangi ranjang itu dengan tatapan kosong.
“Capella?”
Rungunya menangkap satu suara yang bersumber tak jauh dari tempatnya. Suara dengan ciri khas nada yang begitu lembut ini, terasa sangat familiar olehnya. Seketika ia menoleh ke arah sumber suara itu berasal. Kedua netra dengan iris cakrawala itu membelalak tak percaya. Di benaknya ia berpikir, mungkin ia sudah setengah gila hingga dapat berhalusinasi seperti ini sebab terlalu lama menunggu sang pelindung Ayaskara terbangun dari mimpinya.
Tepat di depan pintu yang terbuka, sosok agung yang ia puja dan dambakan selama ini tengah berdiri di hadapannya.