Actions

Work Header

Kasih Tak Sampai

Summary:

Cinta itu telah pergi, bahkan sebelum dimulai, bersama tubuhnya yang pergi dan tak akan pernah kembali. Cinta yang Joonghyuk miliki selama ini akhirnya tersampaikan melalui surat yang Dokja baca setelah kematiannya.

Notes:

Tulisan pertama pairing SPOD-only 🎉🎉 aku lagi coba dan belajar membuat tulisan pakai POV orang pertama. Semoga berhasil dan tidak terlalu out of characther yaaa :') TMI, aku menulis ini karena terinspirasi sama buku dari salah satu penulis favoritku, Mary Shelley yang judulnya Mathilda. Tulisan ini pun langsung aku tulis draftnya waktu udah selesai baca buku itu, hingga selesai setelah belasan purnama dan berakhir untuk pairing SPOD.

Semoga kalian suka. Happy reading😁

Work Text:

Aku menghapus air mata yang jatuh. Mata dan pipiku begitu basah meski sudah berkali-kali aku usap air mata ini. Aku duduk di pinggir kasur kamar tidurku. Hari yang penuh badai kesedihan itu masih belum bisa mereda di dalam diri ini. Aku tidak nafsu makan. Tak mau membaca buku di halaman rumah setiap pagi sampai terik matahari menggerogoti kulitku. Tak lagi pergi ke kebun bunga, merawatnya bersama bibi pengasuh.

Aku pun tak lagi memasuki ruang kerja Ayah yang selalu menjadi tempat favoritku menyembunyikan buku-buku yang baru saja aku beli. Masuk ke ruangan itu hanya menambah kesedihanku yang mendalam kepada Ayah. Ruangan itu akan selalu membuatku rindu dengan sosok Ayah yang tidak akan pernah kembali.

Bahkan setelah hari-hari berlalu dan aku selalu mencoba meyakinkan diriku, Dokja! Kembali lah hidup! Kamu harus tetap hidup . Namun, tetap saja tubuh dan hati ini masih bersedih. Hidupku seakan terhisap oleh pasir yang berusaha menguburku selamanya. Aku tidak memiliki semangat hidup seperti saat Ayah masih ada disini.

Aku menatap nakas putih di samping ranjang. Kumpulan surat-surat itu, yang ayah tinggalkan, masih tergeletak di dalamnya. Aku belum membacanya, lebih tepatnya aku tidak berani membacanya. Surat itu seakan bisa membuatku kembali menangis dan mengutuk diriku sendiri hanya dengan membaca satu kata di dalamnya. 

Walaupun begitu, rasa penasaran terus menghantuiku. Aku ingin melihatnya, aku ingin membaca surat-surat itu. Surat yang ayah tinggalkan hanya untukku. Sisa air mata kuhapus. Aku membuka laci nakas lalu terlihat kumpulan surat yang masih terikat rapi dengan tali yang menyatukan belasan surat yang saling bertumpukan. 

Hatiku kembali merasa ragu, apakah aku akan baik-baik saja saat membacanya? Akan tetapi, rasa penasaran ini lebih kuat dari yang kukira. Aku merasa tidak bisa menyia-nyiakan waktu lagi. Aku merasa harus segera membacanya, bukankah aku sendiri yang ingin tau kenapa Ayah memutuskan untuk pergi?

Dadaku naik-turun merasa sangat gugup saat mengeluarkan seikat surat yang ditumpuk rapi dengan tali berwarna biru muda. Surat-surat itu aku letakan di atas kasur, tepat di depanku. Simpul talinya kubuka hingga kumpulan suratnya tercerai berai.

Surat-surat itu memiliki rupa yang beragam. Mulai dari ukuran yang sedang hingga kecil, ada yang berwarna putih polos, ada pula yang berwarna dengan ornamen-ornamen kecil berbentuk bunga di beberapa sudutnya. Jumlah tumpukan surat itu tidak lebih dari sepuluh surat, jumlah yang cukup banyak bila mengingat sosok Ayah yang tidak suka menulis.

Aku mulai membuka satu persatu surat itu. Tidak seperti yang aku pikirkan. Sebagian surat berisi perjalanan yang Ayah lakukan dan tidak sempat ia kirimkan kepadaku. Beberapa suratnya bahkan hanya berisi satu paragraf saja atau tulisan yang tidak selesai.

Saat membaca surat-surat itu, tanpa sadar aku tersenyum. Aku merasa dia ada di sisiku, membacakan surat ini satu per satu, menceritakan perjalanan yang panjang dan mendebarkan. Aku bisa merasakan tatapan matanya yang melembut setiap kali bercerita denganku. Aku bisa mendengar suaranya yang dalam dan terasa hangat setiap kali menjelaskan sesuatu hal yang membuatku penasaran. Hatiku, jantungku terasa kembali hidup. Aku merasa ada kekuatan magis yang ayah tuangkan dalam setiap kata yang tertulis di dalamnya.

Surat-surat itu aku baca tanpa terkecuali tiga surat terakhir yang memiliki tampilan berbeda dari yang lain. Tiga surat itu lebih besar dan tak ada tulisan apapun di sampulnya. Aku membuka surat pertama dari ketiga surat itu yang tertuliskan:

 

Juni, 19xx

Aku merasa sudah tidak mampu menahan beban ini. Beban di hatiku yang selalu menghantui selama aku bertemu lagi denganmu anakku, Dokja. Aku tau, aku akan terus membawa beban ini, rasa bersalah dan penyesalan ini sepanjang hidupku. Aku juga tau anakku tak akan pernah memaafkanku.

Tiga belas tahun lalu aku pergi meninggalkan anakku, saat dia masih sangat kecil. Aku tidak tahan melihat setiap inci rumah itu yang selalu dibayang-bayangi perempuan terkasihku. Aku terpaksa meninggalkannya bersama bibi pengasuh dengan seluruh kekayaan yang ada di rumah itu untuk Dokja kecil hidup sampai dewasa.

Aku lari begitu lama dan jauh, lalu kembali. Ketika aku memutuskan kembali ke rumah itu, kakiku gemetar. Aku tidak berani membuka pintu rumahku sendiri. Aku hanya berdiri di depan pintu itu selama…entah lah, mungkin beberapa menit atau berjam-jam, sampai akhirnya seorang anak laki-laki membuka pintu.

Aku mengenali anak itu. Ia sangat mirip denganmu, istriku. Bibirku gemetar ketika menatap anak itu di depan mataku. Dokja kecil kini sudah tumbuh semakin tinggi. Berapa umurnya sekarang? Sepuluh tahun? Dua belas? Apakah dia sudah sekolah? Entahlah, bahkan sampai surat ini aku tulis, aku tidak pernah tau tentang itu.

“Ayah? selamat datang,” sapanya kepadaku saat pertama kali datang ke rumah. Kakiku semakin terasa lemas. Detak jantungku berdetak begitu cepat, lidahku kelu, dan  air mataku hampir jatuh setelah mendengar anak itu berbicara dan tersenyum dengan penuh ketulusan kepadaku. Anak itu seakan lupa bahwa aku adalah orang yang menelantarkannya.

Hari-hariku saat kembali ke rumah adalah mencoba menerima trauma yang aku rasakan belasan tahun yang lalu. Aku menelusuri setiap sisi hingga di suatu pagi aku melihat Dokja sedang duduk sambil membaca buku di teras rumah, menghadap taman bunga yang dirawat bibi pengasuh. Aku tidak pernah tau kalau dia suka membaca buku.

Di hari-hari berikutnya, aku melihat hal yang sama sampai suatu ketika aku mendapatinya sedang membaca di ruang kerja yang dulu kugunakan. Untuk pertama kalinya, mata kami bertemu setelah pertemuan pertama yang mengharukan bagiku.

“Oh ayah, mau menggunakan ruang kerja?” tanyanya dan segera berdiri dari kursi.

“Tidak, lanjutkan saja yang sedang kamu lakukan,”

Aku kembali menutup pintu lalu mencari beberapa berkas yang aku perlukan untuk kunjungan ke daerah lain beberapa hari kedepan. Saat aku sedang mencari berkas pada rak di ruang kerja, aku menemukan satu buku yang tidak bisa aku ingat pernah membelinya.

“Ah, ma—maaf ayah, i—itu bukuku,” suara terdengar lemah dan ketakutan seperti kucing pemalu terdengar dari belakangku.

Dokja menatapku dengan tatapan memelas. Tentu saja aku tidak marah kepadanya. Sejak saat itu, pembicaraan kami berkembang menjadi pembicaraan tentang buku. Kemudian aku bertanya, kenapa kamu suka membaca buku?

“Karena aku kesepian sepanjang waktu. Hanya buku yang bisa menghiburku,”

Aku tertegun. Ini semua salahku.

Ruang kerja yang usang itu pun menjadi tempat kami bertukar cerita tentang apapun yang Dokja ingin ketahui dariku. Selama hidupku sebagai pengelana dan melakukan perdagangan di banyak tempat, tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini saat berbicara dengan seseorang. Aku berusaha memahami Dokja, begitu juga dengannya yang berusaha memahamiku. 

Aku sungguh menyesal tidak melakukan ini sejak dahulu. Aku menyesal tidak melihatnya tumbuh menjadi seseorang yang sangat mencintai cerita lebih dari siapapun. Aku menyesal menjadi seorang ayah yang pengecut, yang tidak berani menghadapi masa lalunya sendiri. Dokja, bila kamu membaca surat ini, tolong maafkan ayah.

 

Oktober, 19xx

Sejak kembali dan tinggal di rumah, aku merasa inilah waktuku untuk memperbaiki semua kesalahanku. Aku mencoba untuk selalu dekat dengannya, anakku Dokja. Bertanya buku apa yang sedang dia baca dan kenapa dia membaca buku itu. Kemudian Dokja akan membalas dengan penuh semangat. Ia akan menjelaskan semua yang dia sukai tanpa henti.

Terkadang, aku merasa iri dengan karakter favorit yang selalu ia bicarakan. Matanya berbinar, pipinya memerah, dan bibirnya tersenyum lebar sambil terus membicarakan tokoh utama laki-laki yang paling ia suka. Aku juga ingin Dokja seperti itu setiap kali menceritakan tentangku kepada teman-temannya. Mustahil, tidak mungkin ia akan melakukan itu. Betapa tak tahu dirinya aku mengharapkan anak yang pernah kutinggalkan merasa bangga dan menyayangi ayahnya.

Setiap sore kami akan duduk di teras rumah. Dokja akan membantu bibi pengasuh menyiram tanaman dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Sedangkan aku hanya duduk sambil melihat semua kebahagiaan yang terukir di wajahnya. Saat waktunya beberapa bunga mekar, Dokja akan datang kepadaku lalu memberikan beberapa bunga itu kepadaku.

“Untuk ayah, karena aku menanamnya sambil memikirkan ayah,” katanya dengan wajahnya yang seperti mentari pagi yang bersinar hangat.

Setiap kali Dokja memberikan bunga-bunga yang ia tanam sendiri kepadaku, aku akan memeliharanya di dalam vas dan menaruhnya di setiap sudut ruangan. Tidak pernah terpikirkan olehku kalau rumah ini akan penuh dengan berbagai macam bunga. Harum wanginya membuatku selalu teringat dengan senyum manis Dokja saat memberikan bunga-bunga itu kepadaku.

Aku akan pergi beberapa bulan ke depan, karena pekerjaan. Seminggu sebelum kepergianku, Dokja menjadi sering memintaku menemaninya di ruang kerja atau teras rumah. Dia akan bertanya banyak, dan aku akan menjawab banyak. Dia akan memberitahu banyak hal tentang buku-bukunya, dan aku akan dengan senang hati mendengarkan. Pada saat-saat itulah aku tidak lagi menganggapnya sebagai darah dagingku. Dia terlalu dewasa untuk anak seumurannya, dia tidak mirip sama sekali denganku ataupun ibunya.

Terkadang aku berpikir, mungkinkah sebenarnya seorang anak bisa sangat berbeda dari kedua orang tuanya? Ini bukan tentang penampilan, tetapi caranya berpikir, berperilaku, dan mengasihi orang lain. Aku menjadi sangat mengagumi Dokja, bukan sebagai anakku, tetapi sebagai orang yang baru aku temu beberapa waktu lalu.

Tiga hari sebelum kepergianku, Dokja merengek ingin tidur bersamaku. Ini pertama kalinya aku melihat sisi kekanak-kanakannya. Kami tidur bersama di kamar tidurku yang rasanya sangat besar dan dingin saat aku tempati seorang diri. Kali ini, kamar tidurku tidak terasa begitu lapang dan lebih hangat dari sebelumnya.

Dokja memelukku di dalam tidurnya. Tangannya yang ramping dan pendek memeluk tubuhku yang lebih besar tiga kali lipat dari tubuh kecilnya. Kepalanya bersandar pada dadaku. Dari pandanganku, aku dapat melihat rambut hitamnya yang lebat, hidungnya yang kecil, dan bulu matanya yang pendek tertutup rapat sama seperti kelopak matanya.

Aku tidak pernah merasakan hangatnya pelukan seseorang di dalam tidur. Kini, aku bisa merasakannya. Yang aku rasakan bukan hanya hangat peluk tubuh Dokja, tetapi ketulusan dan kepolosan cinta kasihnya yang dia berikan padaku.

Aku membalas pelukannya, mencium puncak kepalanya, menghirup harum tubuhnya. Aku berharap pelukan ini tidak segera berakhir. Aku harap bisa mendekap tubuh kecil ini selamanya.

 

Kami berpisah untuk waktu yang lama. Aku merindukannya, sangat merindukannya. Tanpa sadar, tanganku telah mengambil pena dan kertas lalu menuliskan apapun yang aku alami di tempat yang jauh dari rumah. Setiap sore hari, aku akan pergi ke kantor pos dan mengirimkannya ke rumah.

Surat pertamaku dibalas begitu cepat oleh Dokja. Di dalam suratnya ia meminta banyak hal, termasuk terus mengirimkannya surat-surat yang berisi perjalananku. Maka, aku terus menuliskan surat untuknya setiap kali aku berpindah kota. Aku menuliskan semua yang ingin dia tau, sampai satu surat yang membuatku sulit membalasnya.

Isi surat itu sebagian besar sama seperti surat balasan yang lain, tetapi di surat yang Dokja tulis ia mengatakan, “ kau tau ayah, aku selalu merasa kesepian sehari setelah ayah pergi. Aku memutuskan tidur di kamar ayah, mencoba merasakan kembali hangat tubuh ayah yang kupeluk dalam tidurku. Aku membayangkan tangan ayah yang selalu membelai kepalaku lalu mencium pucuk kepalaku. Setiap malam, aku selalu berdoa agar ayah cepat kembali ke rumah, menemaniku membaca buku di teras, mengajariku membaca tulisan rumit di ruang kerja, lalu memelukku erat saat tidur. Aku harap ayah juga merasakan hal yang sama denganku, merindukan tubuh kita yang saling menyatu dalam senyapnya malam. Ayah, cepatlah kembali, aku merindukanmu .”

Bagian akhir surat itu membuatku bingung. Aku tak tau harus membalas apa. Aku juga merindukannya, sangat merindukan Dokjaku, tetapi ada perasaan yang begitu mengganggu. Aku merasa ada sesuatu yang salah muncul dalam perasaanku.

Malamnya, aku tidak bisa tidur. Aku terbayang-bayang wajah polos itu tersenyum kepadaku, tangan rampingnya menyentuh punggungku dalam pelukannya, dan bibir kecilnya mengucapkan segala hal yang membuatnya senang. Aku merasa kembali menjadi remaja laki-laki yang baru puber.

Kedua mata kupejam, membayangkan kembali Dokja terbaring di sampingku. Tanganku membelai tubuhnya, menjamah punggungnya sambil kucium dahinya. Aku tidak bisa menahan lagi liarnya imajinasi yang ada di kepalaku. Aku sudah telanjang di bawah sana, memegang penisku dan mengocoknya dengan kedua tanganku. Di kepalaku, tubuh Dokja terlihat sangat cantik sesaat aku melepaskan pakaiannya. Setiap inci tubuhnya kusentuh, kuraba, dan kutatap lekat-lekat, aku ingin sekali memilikinya hanya untukku.

Aku mulai menyentuh tubuh Dokja secara perlahan. Dari pipinya, dadanya, pinggangnya, pusarnya, hingga selangkangannya. Ia menatapku dengan matanya yang sejernih kristal murni. Setiap kali aku menyentuh tubuhnya, mata itu akan tertutup rapat, wajahnya memerah, dan dari bibirnya keluar lenguhan yang memantik api nafsu dalam dadaku semakin besar.

“Ugghh…Dokja,” aku terus menyebutkan namanya sepanjang membayangkannya dalam imajinasi liarku. Tanganku semakin cepat, bergerak mengocok penisku. Tubuh putih bersih, jari-jari yang ramping, dada kecil yang baru tumbuh, dan bibir merah muda yang mengkilap membuat penisku semakin membesar. Aku ingin mengecupnya dan menggigitnya hingga meninggalkan bekas yang sulit hilang. Aku ingin memiliki Dokja seutuhnya hanya untukku.

“Dokja, mmnghh…aahh~!!”

Ini pertama kali dari sekian lama aku melakukan masturbasi. Air maniku keluar membasahi kedua telapak tanganku, bahkan rasanya tidak sedikit yang membasahi seprai dan pahaku. Aku sudah gila.

Kegilaanku terhadap Dokja semakin menjadi-jadi. Beberapa minggu setelah aku membalas surat terakhir darinya, aku melakukannya lagi, masturbasi. Kali ini bahkan lebih gila dari sebelumnya. Imajinasi nafsuku yang liar telah menggerogoti isi kepalaku.

Dalam imajinasiku, kami benar-benar bersetubuh. Ia duduk dipangkuanku, membiarkan jari-jariku menjamah tubuhnya yang sudah telanjang bulat. Bibirnya yang berwarna merah muda kucium, merasakan hangat mulutnya, lembut lidahnya, dan manis salivanya. Tanganku mencubit gemas dada kecilnya, sementara yang lain mengelus-elus punggung mulusnya. Saat aku berhenti mencium bibirnya, Dokja mengeluarkan desahan dari mulutnya, merespons setiap cubitan pada dadanya.

Aku menunduk, melihat penis kecilnya yang sudah mengacung sempurna. Tanpa sadar, aku sudah mengocok penis kecil itu dan memainkan dadanya dengan kedua tanganku. Dokja tidak bisa berhenti mendesah dan mengerangkan namaku. Ia terlihat begitu menikmatinya, tapi ia tidak menatap mataku. Aku ingin melihat matanya yang jernih dan cantik itu.

“Dokja, buka matamu, lihat kesini,” dia menuruti ucapanku. Air matanya mengalir, aku menjilatnya mencoba menghentikannya.

Sesaat Dokja mau menatap mataku, aku melakukannya dengan cepat. Aku memasukan penisku ke dalam lubang analnya. Dokja merintih, tetapi ia tetap mendorong tubuhnya memasukan penisku hingga masuk sempurna ke dalam lubangnya.

Ia pun bergerak di atas tubuhku. Tubuh kecilnya itu bergoyang-goyang, menggenjot penisku sambil menyebut namaku setiap kali penisku mengenai titik terdalamnya.

“Hhnngghh…aahh…ayah…ayah Joonghyuk,”

Wajahnya yang basah karena keringat dan air mata membuatku begitu terpesona. Aku mencengkram kedua bokongnya, membantunya untuk menggenjot penisku lebih cepat dan dalam. Dadaku begitu menggebu-gebu seperti ada api yang terus diberikan bahan bakar, semakin besar dan semakin padam. Kami terus bersetubuh sampai keringat merembes ke kasur yang menjadi saksi persetubuhan kami.

Dalam imajinasi itu, aku tidak tau sudah berapa banyak ejakulasi yang aku keluarkan di dalam lubang kecil milik Dokja. Aku sangat menyukainya, dia pun menyukainya. Aku terus mengocok penisku, semakin kencang, semakin membayangkan Dokja menyebut namaku setiap kali ia membenamkan penisku di dalam lubangnya. Dalam satu hentakan kencang (di dalam imajinasiku), aku menyemburkan semua air mani di dalam lubang Dokja, dan Dokja memuncratkan air maninya yang sudah bening di atas perutku. Begitulah, aku ejakulasi yang entah sudah keberapa kali dengan tanganku sambil membayangkan anakku, Dokja. Aku pikir, aku sudah gila.

 

Januari, 19xx

Setelah berbulan-bulan pikiran yang liar bersetubuh dengan Dokja menghantuiku, aku mulai menyadarinya. Semua yang aku lakukan adalah kesalahan. Aku adalah pendosa besar.

Aku menyadarinya setelah berkali-kali masturbasi dengan membayangkan Dokja bersetubuh denganku. Di dalam fantasiku, kami bahagia layaknya sepasang kekasih. Kami saling mencumbu, bertukar napas, hingga melumat kelamin satu sama lain. Gila, aku merasa sudah gila. Pikiran penuh nafsu berahi yang menjijikan ini harus segera kuhapus dari pikiranku. Namun, kenyataannya aku tidak bisa melakukannya.

Sesampainya aku kembali pulang, dadaku begitu berdebar saat melihat Dokja menyambutku di depan rumah. Ia memelukku begitu erat, wajahnya terlihat begitu riang. Aku juga merindukannya.

Di hari-hari berikutnya, seperti biasa, kami banyak menghabiskan waktu di ruang kerja. Dokja bertanya banyak hal, dan aku menjawab semua pertanyaannya. Ia masih seperti sebelumnya, bahkan terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. Ia terus mengekoriku kemanapun aku pergi. Ia juga masih meminta tidur bersamaku setiap malam.

Pelukan hangat yang selama ini selalu kubayangkan terasa nyata dan semakin sering aku menerimanya. Aku tidak ingin melepasnya. Dokja pun sering menyentuhku kapanpun ia bisa. Jari-jari kecilnya menggenggam telapak tanganku ketika aku sedang menulis sebuah laporan di ruang kerja. Di lain waktu, ia mengalungkan tangannya pada pergelangan tanganku saat sedang memasak.

Sentuhan-sentuhan itu yang membuat bara api neraka di dalam hidupku semakin membesar. Aku melakukan semampuku untuk menahan hasrat biadab ini. Namun, usaha taubatku runtuh saat Dokja menunjukkan senyum manisnya sambil mengatakan bahwa dia mencintaiku dengan seluruh hatinya.

Aku tak tau, cinta yang dia bicarakan apakah sama denganku? apakah dia juga ingin menyentuhku? apakah dia juga ingin bersetubuh denganku?  apakah dia juga ingin memiliki diriku hanya untuk dirinya? aku tak tau.

Setiap malam, saat Dokja sedang tidur, aku pandangi wajah tidurnya yang damai. Bibir yang mengatup kusentuh, kupisahkan, lalu ibu jariku menyentuh deret depan giginya. Apakah cintanya sama buruknya dengan milikku?

Pertanyaan demi pertanyaan terus terlintas di kepalaku. Setiap pertanyaan itu menyuburkan rasa bersalahku pada cinta yang aku miliki kepada anakku. Tidak seharusnya cintaku kepada Dokja penuh dengan kebiadaban ini. Aku perlu dihakimi.

Atas penantian yang menyiksa, penghakiman yang dilakukan semesta untukku akhirnya datang. Aku memiliki kesempatan untuk pergi dari neraka ini. Aku segera memberitahu jadwal kepergianku padanya siang itu di ruang kerja.

Kepalanya menunduk, tangannya berhenti membolak-balikkan lembaran buku kemudian dengan suara yang lemah ia berkata, “ayah akan pergi lagi,”

Aku menatapnya, tentu aku tidak ingin membuatnya sedih, tetapi ini adalah akhir dari segalanya.

“Kapan ayah akan kembali?”

Aku diam sejenak, “entahlah, mungkin tak akan pernah kembali,”

Seperti kilat, Dokja mengangkat kepalanya dan menatap mataku, “kenapa?” tanyanya.

Aku bisa mendengar suara lirih, bisa melihat air mata yang belum jatuh dari kedua matanya, “sudah saatnya ayah harus pergi, ayah tidak perlu berlama-lama ada di sisimu,”

“kenapa ayah bilang begitu? apa ayah tidak mencintaiku lagi?” katanya.

Lagi-lagi kata itu, kata-kata yang mengandung duri dan racun. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Lebih tepatnya, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.

Pada sore hari aku mengemas barang-barangku dan menuliskan surat ini. Surat perpisahan untuk Dokja tersayang. Ayah menyadari segala dosa-dosa yang ayah miliki, termasuk mencintaimu, bukan sebagai kamu adalah darah dagingku, tetapi sebagai Dokja yang tangguh, baik hati, lembut, dan cerdas.

Dokja, maafkan ayah. Ayah senang bisa bertemu lagi denganmu, menghabiskan sisa hidup ini bersamamu di sangkar kecil ini. Ayah senang bahwa kamu tidak membenci ayah, bahwa kamu menyayangi ayah. Ayah harus pergi. Kepergian ini karena cinta kasih yang tidak bisa kita wujudkan bersama meski kita setuju untuk melaluinya. Sejak awal cinta ini sudah salah. Ayah salah telah mencintaimu, anakku.

Cinta yang ayah miliki untukmu lebih buruk dari yang kamu pikirkan. Cinta ini hanya mengandung racun yang akan menjangkiti hati kecilmu, membuatmu jijik, dan semakin membenci ayah. Ayah tidak sanggup untuk mencintaimu lagi. Ayah akan berhenti mencintaimu sampai disini. Ayah akan pergi meninggalkanmu dan tak akan pernah kembali. Ini adalah bentuk penghakiman yang patut ayah terima. Ayah harus meninggalkanmu selamanya.

Maafkan aku anakku. Ayah akan meninggalkanmu lagi dengan kesedihan dan kesepian yang kamu benci. Ayah akan meninggalkanmu dengan kehampaan yang ingin kamu hindari. Ayah akan meninggalkanmu dengan bekas pelukan hangat yang menempel pada bajumu. Ayah mencintaimu lebih dari siapapun. Ayah ingin terus hidup bersamamu, membasuh air matamu; mengelus punggungmu, mencium bibirmu, dan menghirup wangi aroma tubuhmu. Ayah ingin melakukannya lebih dari siapapun. Namun, itu tak bisa, takkan pernah bisa.

Ayah ingin kamu hidup bahagia. Tanpa cinta yang busuk dari ayahmu ini. Tanpa merindukan ayahmu yang biadab ini. Tanpa pernah tau pikiran menjijikan di dalam kepala ayahmu ini. Ayah yakin kamu bisa hidup lebih bahagia saat ayah pergi. Buanglah semua jejak yang ayah tinggalkan. Kubur semua dan bakar semuanya sampai tidak tersisa.

Dokjaku yang manis dan yang kucintai. Yang terakhir kalinya, maafkan lah ayah. Ayah harus pergi meninggalkanmu selamanya bersama cinta buruk rupa yang ayah miliki kepadamu.


Dokja menatap surat yang sedang ia genggam. Air matanya terus mengalir tanpa henti, membuat surat-surat itu basah hingga menembus ke telapak tangannya. Badannya lemas, ia terjatuh dari pinggir tempat tidur.

“Ayah…hiks…hiks,”

Ia menangis semakin kencang. Semua kata yang ia baca di dalam surat itu terekam sempurna di dalam kepalanya. Ia meremat surat yang ada di genggamannya, membuatnya menjadi hancur tak berbentuk.

Dokja mengepalkan kedua tangannya, menahan segala emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia merasa bingung, gusar, dan sengsara pada saat yang sama. Ia mengutuk dirinya sendiri di kepalanya. Semua ini karenaku .

Ia tidak tau semua kemalangan yang menimpanya akibat dirinya sendiri, akibat keberadaannya di dunia ini. Dirinya lah yang membuat Joonghyuk pergi. Dirinya lah yang membunuh ayahnya sendiri.

“Ayah…”

Semua ini karena cinta, kata yang indah tetapi menyakitkan bagi beberapa orang. Joonghyuk adalah yang menganggap cinta begitu menyakitkan. Cinta kepada anaknya yang tidak terdefinisi dan membingungkan. Cinta yang telah berakhir, meski belum dimulai sama sekali. Cinta yang menguliti semua kenangan manis di dalam ingatan. Ialah orang yang menginginkan cinta lebih dari siapapun, dia pula yang membenci cinta lebih dari siapapun. Kini, Dokja memahaminya.

Seharusnya ia membencinya, seharusnya ia mengutuknya, seharusnya ia memusuhinya, tetapi tidak bisa. Rasa kesepian dan hampa di dalam hatinya membuat Dokja tidak bisa membenci ayahnya. Ia menyayanginya, mencintainya, dan menginginkan ayahnya. Sama seperti Joonghyuk, ia juga memiliki cinta yang sama buruk rupanya.

“Ayahh…” tangannya kembali meremat kertas-kertas surat yang tergeletak di lantai, “hikss…hikss…ayah…AYAAHHH!!” 

Dokja berteriak begitu kencang. Air matanya membanjiri pipinya. Dokja berdiri, lalu berlari sambil terus menangis menuju kamar tidur Joonghyuk yang terasa sangat hampa.

Ia mengeluarkan semua pakaian Joonghyuk yang masih tertinggal di dalam lemari. Pakaian-pakaian itu ia dekap, remat, dan ia basahi dengan air mata yang tidak pernah bisa berhenti dari kedua matanya.

“Dokja juga mencintai ayah. Aku juga ingin terus mendekap, mencium, dan menyatu dengan ayah. Sama seperti ayah, aku juga menginginkan ayah hanya untukku. Ayah, aku mohon kembalilah, sadarkan aku kalau semua ini bukan mimpi, kalau ayah akan datang dalam tidurku dan memelukku. Ayah, jangan tinggalkan aku sendiri dalam kesepian ini lagi. Aku mencintaimu ayah.”

Di bawah terik matahari yang masuk melalui jendela kamar, Dokja tidak merasakan sama sekali hangatnya sinar matahari. Ia memiliki badainya sendiri, yang tak pernah kesudahan entah sampai kapan. Ia tidak mungkin akan pernah merasakan lagi kebahagiaan. Semua kebahagiaannya telah pergi selamanya bersama tubuh ayahnya yang telah binasa oleh deburan ombak laut.