Work Text:
Mingyu tersenyum melihat kalimat penyemangat dari sang suami lewat ponselnya. Sebetulnya tanpa harus disemangati pun ia harus tetap semangat menjalani harinya di kantor untuk menghidupi suami dan calon anaknya.
Ya, Wonwoo sedang hamil anak pertama mereka. Kandungannya sekarang sudah delapan bulan.
“Mas Gyu! tolong bikinin kopi satu ya ke meja saya.” suara lelaki berkemeja biru memanggilnya dari balik bilik pantry. “Oh, siap Pak Han!” balas Mingyu.Mereka sama-sama berkemeja biru, namun bedanya kemeja milik Mingyu ada seragam bertuliskan Office Boy.
Ia sudah bekerja di kantor ini kurang lebih lima tahun, bahkan sebelum menikah dengan Wonwoo. Walaupun dapat dibilang gajinya kecil, namun masih cukup untuk membiayai mereka makan dan hidup sehari-harinya. Pekerjaannya pun cenderung melelahkan. Akhir-akhir ini Mingyu harus bekerja lebih giat dan menabung untuk persiapan kelahiran anaknya nanti.
“Ini Pak Han kopinya, gulanya sedikit kan?” Mingyu meletakkan secangkir kopi di atas meja kerja lelaki yang bernama Han itu. “Wih mantaaap, memang kopi buatan kamu ga ada yang ngalahin deh, paling tahu selera saya. Makasih ya Mas!” ujar Han dengan senyum manisnya itu.
Mingyu melanjutkan pekerjaannya kembali, ia menyapu lantai dan membersihkan ruang meeting untuk dipakai rapat siang nanti.
Jam makan siang pun tiba, para karyawan kantor mulai berhamburan keluar untuk mencari makan atau sekedar mencari angin. Mingyu pun turun dari gedungnya bekerja untuk mencari makan siang. Ada satu warung gado-gado murah yang menjadi favoritnya.
“Mas, gado-gadonya satu ya, ga usah pake nasi.” Mingyu duduk di kursi kayu di samping penjual gado-gado tersebut sambil menenggal air mineral dingin di tangannya. Nikmat benar di siang hari bolong begini.
Selesai makan siang, ia kembali ke gedung untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Mas Gyu, dipanggil Pak Cheol ke ruangan.” ujar Han.
Tidak biasanya bos besarnya itu memanggil seorang office boy ke ruangannya. Biasanya kalau ada perlu sesuatu entah itu makanan atau hal-hal lain, pasti melalui sekretarisnya.
Ia tidak menyangka, pertemuan bersama bos besarnya itu akan menjadi pertemuan terakhirnya.
Ia di pecat.
Bukan karena skandal tertentu. Tapi karena saat ini perusahaan sedang terjerat hutang. Tak hanya dirinya, beberapa karyawan lain juga terpaksa harus meninggalkan perusahaan ini karena hal yang serupa.
Bagai petir di siang bolong, pusing menjalar ke kepalanya.
Bagaimana ini? Aku harus bilang apa ke Wonwoo?
Pikir Mingyu ketika sampai di lokernya. Ia mengganti baju menjadi baju kasualnya dan mengemasi barang-barangnya. Ia harus pergi dari sini dan segera mencari pekerjaan baru.
Benaknya sekarang benar-benar hanya terisi bagaimana ia bilang ke suaminya di rumah. Ia tidak ingin menambah beban pikirannya. Usaha toko kue kecil-kecilan Wonwoo juga tidak mungkin meng-cover kebutuhan mereka dan calon anak mereka nanti.
Dengan motor bebeknya, Mingyu keluar dari lahan parkir gedung yang telah menemaninya selama 5 tahun ini. Ia tidak mungkin pulang jam segini karena masih sore dan suaminya pasti menanyakan kenapa ia sudah pulang. Alasan apalagi yang harus ia katakan.
Oh, apa aku cari aja kerjaan di sekitar sini ya, siapa tau ada yang buka lowongan
Dari kafe, tempat makan cepat saji, hingga bengkel sudah ia kunjungi dan apesnya sedang tidak ada yang buka lowongan.
Hari sudah malam, sudah seharusnya ia jam segini sedang perjalanan pulang. Namun ia masih belum mendapat pekerjaan pengganti.
Duh gimana ini? Besok aku harus kemana lagi buat cari kerja? Gimana kalo Wonwoo tahu aku dipecat?
Mingyu terduduk di warung dekat bengkel — tempat terakhirnya mencari lowongan. Melihat warung tenda pecel lele sudah buka, ia jadi teringat ngidam suaminya. Pasti suaminya itu sudah menunggu di rumah.
Baiklah, besok kita berjuang lagi.
“Mas, mau aku bekelin apa hari ini?” Wonwoo bangun subuh-subuh untuk menyiapkan bekal sekaligus memanggang roti untuk tokonya.
“Ga usah, yang. Aku nanti beli aja di warteg.” Mingyu bangun dari tidurnya yang tak nyenyak — bahkan rasanya tidak tidur sama sekali. “Kamu pucet banget hari ini, lagi sakit?” tanya Wonwoo sambil menyentuh dahi suaminya. “Izin sakit aja, Mas. Jangan dipaksain.”
Mingyu menggelengkan kepalanya. “Engga kok, kemaren agak capek aja.” Lelaki jangkung itu kemudian menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk menjalani hari yang berat ini.
Wonwoo tentunya tidak tega melihat sang suami yang sedang tidak fit itu berangkat kerja dengan tangan kosong. Ia inisiatif membekali Mingyu dengan roti coklat buatannya dan termos berisi teh manis panas.
“Mas, ini aku bekelin roti coklat sama teh manis ya, nanti kamu minum. Jangan dipaksain kalo emang ga kuat kerja, nanti izin aja.” Wonwoo memasukkan semuanya ke dalam tas punggung sang suami. Mingyu hanya menurut saja. Sebisa mungkin ia kondisikan raut wajahnya agar tidak terlihat lesu dan sedih. “Makasih ya sayangku.” Mingyu mencium pipi Wonwoo singkat.
Tangannya turun ke perut besar pria berkacamata itu sambil mengelusnya perlahan. Mingyu menyamakan tinggi kepalanya dengan perut sang suami kemudian mendusel ke perutnya.
“Ayah berangkat kerja dulu ya, Mbul. Kamu jagain Papa ya, jangan nendang terus-terusan nanti Papa sakit.” Wonwoo tertawa melihat tingkah Mingyu. Ini memang sudah menjadi ritualnya sebelum berangkat kerja. Tapi setiap Mingyu melakukannya, rasa geli dan hangat menjalar di perutnya. “Iya, Ayah. Semangat cari uang buat aku jajan ya, Yah.” Wonwoo menjawab seolah-olah itu anaknya yang berbicara.
Setelah mengecup pipinya singkat, Mingyu berpamitan untuk berangkat. Dari spion motornya, ia bisa melihat Wonwoo dari kejauhan melambaikan tangannya.
Yuk kita berjuang lagi hari ini.
Hari sudah mulai siang, entah kenapa hari itu terik sekali rasanya. Mungkin karena Mingyu terbiasa untuk bekerja di dalam ruangan, ia tak terbiasa diterjang panasnya mentari.
Hasil pencarian lowongan pekerjaannya siang ini masih nihil. Ia terduduk di sebuah warung dekat toko bangunan. Jam makan siang membuat warung itu dipenuhi oleh para pekerja dan kuli bangunan yang sudah bersimbah keringat dan cemong-cemong. Hanya dirinya saja yang berpakaian rapih bak karyawan.
“Kerja dimana mas?” tanya salah seorang kuli bangunan. Mingyu menoleh, “Oh ini justru saya lagi nyari kerjaan, Pak.” Sang jangkung tersenyum gigi menjawab pertanyaan si Bapak.
“Ohh lagi nyari kerja, toh. Coba tanya sama pemilik toko bangunan ini aja, namanya Ko Hao. Kayaknya lagi butuh orang.”
Rezeki dari Tuhan, ia hanya sekedar duduk saja bisa dapat informasi yang sangat membuat dirinya bersemangat kembali.
“Oh gitu ya Pak. Makasih ya Pak infonya.” Dengan semangat, Mingyu memberanikan masuk ke dalam toko bangunan.
“Permisi…” dengan tangan memegang amplop cokelat berisi CV dan berkas, ia mengintip-intip di depan etalase yang penuh paku, baut, dan alat perkakas. “Sebentar!” terdengar sautan dari dalam.
Tak berapa lama kemudian, seorang pria memakai kaos putih dengan kacamata yang bertengger di setengah batang hidungnya muncul dari balik tembok. “Nyari apa, Mas?”
“Anu..” Mingyu jadi grogi, “Maaf Ko, mau tanya, tadi saya dapat informasi dari tukang di depan katanya toko bangunan ini lagi nyari karyawan ya?”
“Hmm iya betul. Ada apa ya?”
“Saya Mingyu, Ko. Kebetulan lagi butuh pekerjaan, Ko. Apa aja boleh, ini CV saya.” Mingyu menyodorkan berkas berisi CV. Koko tersebut kemudian membuka amplop cokelat dan melihat sekilas isi dari CV itu dan melihat kembali ke sang pelamar.
“Ah, saya ga butuh kertas-kertas begini.”
Mingyu jadi tegang.
“Kamu bisa kerja yang berat-berat ga? Pernah ngangkat batu bata? nyetir mobil pick-up?”
“Er.. belum pernah, Ko. Tapi bisa kok…”
“Yaudah gapapa, coba dulu aja lah nanti diajarin sama Ko Jun, itu tuh yang pake baju biru dipojok. Nah, minta ajarin dia aja ya. Kamu ada baju biasa ga? kaos biasa gitu? Nah ganti dulu itu baju ya nanti susah pake kemeja gitu.” Ko Hao kemudian mengembalikan berkas-berkas Mingyu.
Setelah dipersilahkan bekerja, Mingyu menjabat tangan Ko Hao sebagai tanda terima kasihnya. Untungnya ia punya baju ganti di dalam tasnya.
Setelah berkenalan dengan Ko Jun, ia mencoba untuk membantunya menyusun batu bata dan memindahkannya ke truk pick-up hitam yang terparkir di halaman toko.
Hari ini ada pengiriman sejumlah batu bata ke sebuah lokasi pembangunan di daerah pinggiran. Karena Mingyu masih dalam masa percobaan, ia masih memantau di kursi penumpang saja.
“Ohhh, jadi kamu habis di pecat terus ngelamar kerja disini. Aduh kasiannya.” Jun yang menyetir mobil pick-up tersebut. Setelah berbincang-bincang dengan Mingyu, mereka jadi tidak canggung. “Iya Ko. Suami saya lagi hamil besar, jadi harus kerja keras nih cari uang.”
“Oh sama dong, suami saya juga lagi hamil. Udah berapa bulan?” tanya Jun. “Delapan, Ko.”
“Aduh itu mah bulan depan juga udah brojol yah si dedek.” Mingyu tertawa, Jun ini orangnya lucu juga. “Kalo Koko suaminya udah berapa bulan?”
“Masih muda, baru 3 bulan.” Jawab Jun
Mingyu mengangguk-angguk, “Kerja atau di rumah suaminya, Ko?”
“Ngurus toko aja dia mah. Lah itu suami saya kan tadi ngobrol sama kamu.”
Oalah, suaminya Ko Hao ternyata.
Setelah memutari kota ditengah teriknya matahari, Mingyu dan Jun kembali ke toko. Hao menyiapkan air mineral dan kue basah untuk mereka santap.
“Capek juga ya Ko muter-muter nganter batu.” Mingyu mengelap keringatnya dengan handuk sambil menyantap kue basah. “Saya mah udah biasa.” jawab Jun.
“Pah! Beton buat Pak Roni sore ini jangan lupa.” teriak Hao dalam toko.
Siap laksanakan.
Entah kenapa dari terik matahari sekarang jadi mendung disertai gerimis dan angin. Jun menyetir dengan hati-hati ke rumah Pak Roni.
Sesampainya disana, hujan deras turun dan membasahi badan mereka. “Mingyu, tolong bukain terpalnya ya, biar Saya yang turunin betonnya.” suruh Jun dari balik truk. Mingyu menurut dan memulai membuka terpal yang menutupi beton-beton pesanan Pak Roni.
Karena hujan semakin deras dan petir menyambar kesana-sini, Mingyu mulai membantu Jun menurunkan beton untuk mempercepat pergerakan.
Karena tanah yang cukup licin dan tangan basah, Mingyu tergelincir dan menabrak salah satu beton yang terjatuh dari tangannya.
“Ah!”
“Ah!” Shua menoleh dari balik etalase. “Kenapa Nu? Ada yang sakit?” Wonwoo yang sedang terduduk di dingklik untuk menyusun kue langsung memegang perutnya dan meringis. “Gapapa Kak, ini tadi dedeknya nendang kenceng banget aku kaget.”
“Astaga, aku kira kenapa.” Shua lega mendengar pernyataan partner kerjanya itu. “Kalo capek istirahat aja dulu, Nu. Biar aku lanjutin.”
“Ga capek kok, aku bantuin aja Kak biar cepet selesai.” Siang itu mereka mendapat pesanan seratus kotak kue basah untuk acara lamaran anak Pak RW. Wonwoo sangat senang ketika mendapat kabar itu, pasalnya beberapa minggu ini toko mereka juga sedang sepi. Semoga dengan adanya pesanan ini, ada tamu dari keluarga Pak RW yang mau menggunakan jasa tokonya lagi untuk acara.
Wonwoo juga kerja keras untuk kebutuhan calon anaknya nanti, semakin hari ia semakin besar. Suaminya juga sedang kerja keras di luar sana. Ia tentu tidak mau kalah dengannya.
“Pelan-pelan, Gyu.” Mingyu dituntun oleh Jun duduk di teras toko. Hujan sudah berhenti dan pesanan hari ini juga telah habis. Setelah kejadian tadi, Mingyu mendapat oleh-oleh luka gores di tangan kanannya.
Hao mengambil kotak obat dan mencoba membersihkan lukanya.
“Bisa jatoh gini gimana ceritanya sih?” Mingyu meringis ketika ditanya Hao yang sedang membersihkan lukanya menggunakan cairan khusus luka. “Untung cuma luka gores ringan. Kalo ada anak baru tuh awasin dong, Pah!” Hao melotot ke arah Jun yang melihat polos ke arah sang suami. Masalahnya ini juga bukan salah dia.
“Engga Ko… ini salah saya kok yang ga hati-hati.” Mingyu meringis kembali ketika perban diaplikasikan ke lukanya yang sudah bersih. “Dah, ini kalo kenapa-napa ke klinik atau rumah sakit aja ya. Maaf lho hari pertama jadi luka gini.” Hao meminta maaf atas keteledoran pengawasan suaminya. “Kalo gitu, saya pamit ya Ko Hao, Ko Jun. Saya takut dicariin suami saya.”
“Oh sebentar.” Hao berlari kecil ke dalam toko kemudian keluar membawa amplop kecil berisi uang.
“Ini untuk hari ini ya, anggap aja uang kompensasi karena kecelakaan kerja hari ini. Makasih banyak ya Mas Mingyu.”
Sesampainya di rumah, Mingyu langsung disambut oleh suaminya.
“Ayah, tumben pulang agak tel- Mas! Ini kenapa tangannya?!” Nada bicara Wonwoo langsung berubah menjadi khawatir ketika melihat tangan kanan suaminya dibalut perban.
“Oh.. engga, ini cuma kegores tiang pembatas jalanan tadi waktu aku mau nyalip, terus tadi mampir klinik dulu buat dibersihin lukanya.” Mingyu beralasan. Semoga saja tidak terdengar aneh.
Wonwoo meraba tangannya dengan lembut, Mingyu melihat raut wajahnya yang seakan ingin menangis. Lambat untuk menyadari ternyata jari jari suami juga dipenuhi dengan plester kecil.
“Ini.. tangan kamu juga kenapa, sayang?”
“Oh, tadi kena loyang panas abis masak kue. Gapapa kok! udah diobatin tadi.” Wonwoo tersenyum lembut.
Mingyu tidak tahan lagi. Air matanya jatuh begitu saja. Sang pria di hadapannya jadi bingung kenapa suaminya menangis. Apa karena lukanya ia pegang? atau karena tangannya yang terkena loyang panas?
“Sayang, kenapa nangis?”
Mingyu harus ceritakan semuanya, ia tidak bisa memendamnya sendiri.
“Nu, aku mau ceritain semuanya.” Mingyu menyeka air matanya dengan tangan yang sehat. “Aku dipecat dari pekerjaanku di kantor. Aku bingung harus bilang gimana sama kamu, aku takut kamu kepikiran.” Wonwoo menatap wajah Mingyu.
“Sekarang aku udah dapet kerja, tapi jadi kuli di toko bangunan. Ini alasan kenapa aku pulang keringetan, tangan berdarah, sepatu kotor. Tadi aku jatuh waktu ngangkat beton dari truk.” Mingyu mengambil sebuah amplop yang ia terima dari bosnya tadi sore dan memberikannya kepada Wonwoo. “Pendapatannya ga seberapa, Yang. Tapi semoga cukup buat kamu sama dedek.”
Wonwoo juga tak tahan lagi membendung air matanya. Suaminya itu rela kepanasan bahkan sampai kehujanan demi mencari nafkah untuknya dan calon anaknya. Ia tidak muluk-muluk meminta hidup mewah bergelimang harta. Ia hanya ingin hidup bahagia bersama keluarga kecilnya dengan Mingyu.
“Mas… makasih banyak ya udah usahain yang terbaik buat aku sama dedek.” Wonwoo memeluk tubuh Mingyu yang keringatan dan masih basah di guyur hujan tadi sore. “Kamu emang calon Ayah dan suami terbaik.” Mingyu memeluknya balik. “Kamu juga suami terbaik, Nu. Makasih ya udah mau menjalin hidup sama aku yang serba pas-pasan ini. Aku janji nanti bakal kerja lebih keras lagi.”
Malam itu mereka habiskan dengan hati yang lega.
Dua minggu kemudian.
“Mas Gyu! Ada titipan!” teriak seorang lelaki dari pintu gerbang toko. Mingyu yang sedang mengeruk pasir menoleh dan memicingkan matanya ditengah panas matahari. Lelaki yang memanggilnya itu kemudian mendekatinya dan membawa sebuah kotak makan dan secarik kertas diatasnya. “Dari suami nih, Mas.”
Mingyu mengambil kotak tersebut dan membaca tulisan di kertasnya.
Jangan lupa makan siang, Ayah. ^^
— selesai —
mw_jsh Fri 12 Apr 2024 11:57AM UTC
Comment Actions
Shua (Guest) Sun 14 Apr 2024 02:42PM UTC
Comment Actions