Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandoms:
Relationships:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2024-04-30
Completed:
2025-03-28
Words:
44,072
Chapters:
26/26
Comments:
8
Kudos:
38
Bookmarks:
1
Hits:
1,713

The Power Of Love (Mohabbataein JJK)

Summary:

“Love is just like life, its not always easy and it does not always bring happiness. But when we do not stop living, why should we stop loving.” (Cinta itu seperti kehidupan, tidak selalu mudah dan tidak selalu membawa kebahagiaan. Namun bila kita tidak berhenti hidup, mengapa kita harus berhenti mencintai.)

Dahulu, Gojo Satoru punya sahabat dan seorang kekasih yang merupakan adik dari sahabatnya.

Akan tetapi, takdir memisahkan tali mereka bertiga.

Tali Persahabatan.

Dan ... Tali Percintaan.

Adapun Getou Suguru. Pria menyedihkan yang dipaksa hidup terpuruk sendiri dan membenci dua hal.

Cinta dan Teman.

Waktu berganti, kini ada tiga pemuda yang hadir membawa dua hal yang Suguru benci.

Notes:

Halo~

Aku kembali aktif buat Fanfic di sini lagi 🤗

Sayangnya...

Aku lagi menghindari membuat Fanfic BL. Jadi, ini adalah Fanfic normal.

Terinspirasi dari Film Bollywood Mohabbatein (2000)

 

Selamat Membaca 😘

(See the end of the work for more notes.)

Chapter 1: Akademi Kaisen dan Tiga Pemuda Lajang

Chapter Text

Tampak di sebuah terminal bus, tiga pemuda duduk sejajar di kursi tunggu. Mereka menunggu bus tujuan Akademi Kaisen. Dari Subuh hingga pukul sepuluh pagi, bus yang ingin mereka tumpangi tak kunjung datang. Pemberitahuan informasi tentang bus tersebut pun tak ada.

 

Pemuda berambut undercut pink yang duduk di ujung kanan kursi tunggu mengerang keras. Merasa frustasi dan bosan. Hal itu menyebabkan dua pemuda di samping kirinya melirik sekilas. Akan tetapi, mereka memilih tak peduli. Lanjut menatap ponsel masing-masing.

 

Sudah hilang kesabaran, pemuda berambut undercut pink berdiri tegak. Dia meneriaki dan memprotes pada seorang pria paruh baya berseragam biru tua.

 

“Pak! Kapan bus tujuan Akademi Kaisen sampai!”

 

Pria yang sedang fokus menyapu lantai menoleh ke pemuda tersebut dengan berkedip heran. “Sumimasen, Tuan. Saya tidak tahu.”

 

“Kenapa tidak tahu?! Bukankah kau adalah staff terminal?!”

 

Dengan emosi, pria paruh baya membanting sapu ijuknya ke lantai. Dia memencak. “Asal kau tahu saja, Bocah! Aku ini cuma OB di terminal ini!”

 

Pemuda tersebut malah semakin marah. “Masa bodo! Aku hanya ingin tahu kapan busnya datang! Kau tak tahu saja, aku ini jauh-jauh dari Sendai ke Okinawa demi mengejar beasiswa! Sekolah di Sekolah Elit! Kalau aku tahu Akademi Kaisen itu ada di pelosok Okinawa, aku lebih baik jagain toko bangunan kakekku!”

 

Akhirnya, dua pemuda yang tadi duduk bersebelahan dengan pemuda dari Sendai bereaksi. Mereka mengapit pemuda tersebut, lalu menyikutnya. Mereka mengulas senyum lembut kepada sang OB.

 

Sumimasen, Ojisan. Temanku ini ... sepertinya lapar. Maklum, biasanya jam segini dia makan,” ujar pemuda berambut bulu babi.

 

Pemuda berambut hitam klimis berkantung mata menjawab gagap. “Y-ya! Anda bisa melanjutkan pekerjaan. Dia biar kami yang urus. Ayo ... um ....”

 

“Itadori Yuuji!” seru si pemuda dari Sendai sambil cemberut.

 

“Itadori-kun, ayo kita makan di kantin terima!” ajaknya.

 

Itadori Yuuji pun mengangguk meski masih kesal pada sang OB. Bersama dua pemuda asing lainnya, dia pergi ke kantin terminal.

 

Hening, ketiganya duduk sejajar di sisi kiri meja kantin. Di atas meja sudah tersuguh tiga mangkuk ramen bertabur suwiran ikan cakalang kering. Yuuji bersedekap dan berdeham sambil melirik dua pemuda yang mengajaknya kemari.

 

“Jadi, siapa nama kalian berdua? Tidak adil rasanya kalian tahu namaku, belum lagi ikut campur urusanku.”

 

Pemuda berambut hitam klimis berkantung mata, yang duduk di samping kiri Yuuji tersenyum kikuk. “A-ku ... Okkotsu Yuuta. Yoroshiku, Itadori-kun. Gomen, aku terpaksa melakukannya karena kasihan pada OB itu.”

 

“Kau kasihan?! Sungguh hatimu terlalu lembut, Okkotsu-kun,” gerutu Yuuji.

 

Pemuda berambut bulu babi menyahut dari samping kiri Yuuta. Lirikan mata sangat tajam ke arah Yuuji. “Kau sungguh idiot. Bertanya tentang bus tujuan Akademi Kaisen pada OB. Tentu saja dia tidak tahu. Harusnya kau datangi customer service terminal jika ingin bertanya dan komplain.”

 

Yuuji tercengang. Dia baru menyadari kesalahannya. Tawa tengsin, itulah balasan yang keluar.

 

“Eh, btw, siapa namamu, Bro?” tanya Yuuji ke pemuda berambut bulu babi.

 

Sambil memainkan ponsel, tanpa menatap, dia menjawab, “Fushiguro Megumi.”

 

Yoroshiku ne, Fushiguro-kun!”

 

Mereka mulai memakan ramen yang dipesan. Setelah hampir habis, Yuuji pun mengingat sesuatu yang ingin dia tanyakan pada Megumi dan Yuuta.

 

“Kalian berdua, mau pergi ke mana? Kulihat ... barang bawaan kalian banyak sekali?” Yuuji melihat ke arah dua lori berisi dua koper ukuran sedang. Warna hitam untuk koper Megumi dan putih koper Yuuta.

 

“A-ku juga ingin pergi ke Akademi Kaisen. Aku dapat beasiswa untuk bersekolah dan tinggal di sana sampai lulus,” jawab Yuuta.

 

“Ohh ....” Yuuji melirik Megumi. “Kalau kau, Fushiguro-kun?”

 

Megumi fokus menghabiskan kuah ramen, baru setelahnya menjawab singkat. “Sama.”

 

“Dih! Singkat amat jawabnya!” cibir Yuuji.

 

Megumi melirik sengit. “Kenapa? Masalah buatmu?”

 

Yuuta terkekeh berusaha mendinginkan suasana. “Su-dah, sudah! Mari kita kembali ke ruang tunggu! Siapa tahu busnya sudah datang!”

 

Benar saja kata Yuuta, bus tujuan Akademi Kaisen sudah parkir di halaman terminal. Bus warna merah hitam tersebut berkapasitas 40 orang penumpang. Akan tetapi, yang membuat Yuuji, Yuuta, dan Megumi heran adalah pakaian supirnya yang seperti supir pribadi. Pria kurus berkacamata minus berpenampilan begitu rapi. Rambut disisir ke belakang dan klimis. Dia memakai setelan jas hitam dan sepatu hitam. Ada name tag putih bertuliskan Kiyotaka Ijichi di dada kiri jas hitamnya.

 

Ijichi yang sedari lima menit lalu berdiri di depan pintu masuk bus, kini membungkuk begitu melihat tiga pemuda di hadapannya.

 

Konniciwa, perkenalkan, nama saya Kiyotaka Ijichi, supir bus resmi Akademi Kaisen. Mohon maaf atas keterlambatan saya menjemput kalian bertiga. Silakan naik dan duduk di mana pun kalian suka.” Ijichi membuka pintu bus.

 

Tanpa basa-basi, Yuuji masuk pertama kali. Dia terkagum pada interior bus yang bernuansa hitam dan emas.

 

Megumi berulang kali menggeser pantatnya, mencari kenyamanan duduk di kursi baris depan sebelah kanan. Kursi warna emas ini anehnya kurang nyaman diduduki olehnya. Dia berganti tempat duduk sampai kursi terakhir pun sama saja. Megumi kini pasrah duduk di tempat awal.

 

Yuuta sudah duduk di kursi seberang kiri Megumi, yang paling depan dekat jendela. Raut wajahnya gembira bercampur cemas.

 

Sehabis memasukkan kopernya ke bagasi, Yuuji pun memilih duduk di samping Megumi, dekat jendela. Dia berfoto selfie yang membuat risih Megumi. Namun, pemuda itu tidak pernah berniat pindah apalagi mengusirnya.

 

Sepanjang perjalanan, mereka disuguhi pemandangan dari mulai pepohonan hingga pantai berpasir putih. Ijichi mengatakan, letak Akademi Kaisen berada di belakang bukit hijau dekat Laut Okinawa.

 

Akhirnya, setelah melalui jalan berliku dan agak terjal, mereka sampai di depan pintu gerbang raksasa berwarna hitam berukiran bunga tulip warna biru laut. Ijichi menurunkan ketiganya bersama barang-barang bawaan mereka di depan gerbang. Dia pun pergi menuju parkiran akademi karena tugasnya sudah selesai.

 

Bola mata emas melebar, berbinar melihat sekolah sekaligus asrama yang akan dia tinggali. Mulut tak henti menyerukan kekaguman pada bangunan berarsitektur eropa bercat emas tersebut.

 

Sughoi! Ini lebih keren dari gambar di internet!”

 

Megumi memutar bola mata muak melihat tingkah katro Yuuji. Dia memilih masuk ke dalam menggeret dua koper hitamnya.

 

Yuuta menepuk pundak Yuuji, tersenyum antusias. “Ayo masuk, Itadori-kun!”

 

“Woke!” Yuuji tertawa gembira mengangkat dua koper merah miliknya di kedua pundak.

 

Yuuta terngaga terkejut melihat kekuatan bocah asal Sendai. Belum lagi, Yuuji juga berlari begitu cepat hingga mendahului Megumi yang sudah sampai setengah jalan.

 

Dengan napas terengah, Megumi menopang tubuhnya yang lelah dengan memegangi pilar di teras bangunan. Dia memelototi Yuuji yang sedang mengetuk berulang kali pintu raksasa berwarna cokelat yang terbuat dari kayu jati.

 

“Kau ini manusia atau alien, hah, Itadori! Larimu cepat sekali!”

 

Yang diteriaki menoleh sambil manyun. “Aku manusia, lah! Kau mainnya kurang jauh, Fushiguro-kun! Kecepatanku itu normal di kampungku!”

 

“Pantesan! Anak Desa!” celetuk Megumi.

 

“Memang kau anak apa? Anak Kota? Cih! Pantas saja lemah!” decih Yuuji.

 

“Memangnya kenapa kalau aku anak kota?! Asal kau tahu saja, dulu di SMA, aku ini ketua geng motor!” seru Megumi.

 

Yuuta segera turun tangan, takut mereka berakhir adu jotos. “Fushiguro-kun, Itadori-kun, jangan bertengkar. Bukankah kalian akan menjadi teman sebentar lagi? Kalian harus akur.”

 

“Teman, huh?” Ada suara asing yang hadir. Ketiganya tidak sadar kalau pintu raksasa sudah terbuka lebar. Hadir sosok pria berambut hitam lurus sepunggung, yang dicepol sebagian. Pria itu berwajah dingin, tatapan iris mata ungu sangat mengintimidasi. Pria yang memakai jubah gojo-kesa hitam berdiri tepat di depan Yuuji.

 

Yuuji segera mundur ke belakang. Berdiri sejajar di tengah-tengah Megumi dan Yuuta. Mata menatap nyalang, berbeda dengan Yuuta dan Megumi yang memilih menundukkan kepala.

 

Tidak ada hubungan pertemanan di Akademi Kaisen. Di sini, hanya ada yang rekan belajar. Teman hanyalah sumber masalah penyebab utama kegagalan dalam bidang pendidikan.”

 

Mendengar itu, Yuuji memprotes. “Teman adalah segalanya! Berkat Teman, tak jarang setiap orang berhasil lulus dengan nilai sempurna! Teman mengajari kita bagaimana cara mencintai layaknya saudara sendiri!”

 

Pria itu tertawa, lalu menatap tajam Yuuji. “Teman akan menghancurkan hidupmu. Cinta hanya bisa membutakanmu. Sekarang, tahukah dengan siapa kau berbicara, Nak?”

 

Alis Yuuji tertekuk, dia menggeleng kuat. Selanjutnya, pemuda itu berjingkat kaget mendengar decakan kecil dari mulut Megumi.

 

Pria itu tersenyum ramah, melangkah maju demi menepuk pundak Yuuji. “Nak, saya Geto Suguru, Kepala Sekolah Akademi Kaisen. Yoroshiku. Sekarang, bawalah kedua temanmu ke Ruang Bimbingan Pemula di lorong sebelah kanan, pintu kelima.”

 

Sang Kepala Sekolah berjalan menjauh. Saat hampir memasuki Akademi, dia menoleh ke belakang. Tidak ada lagi senyuman ramah di bibir. Ekspresinya begitu dingin.

 

“Selamat datang di Akademi Kaisen. Menaati perintah sekolah adalah suatu kewajiban. Melanggarnya berarti siap menerima konsekuensi apapun termasuk dikeluarkan dari Akademi. Koniciwa.”

 

***

 

Buku Tata Tertib Akademi Kaisen yang tebalnya dua puluh senti jatuh, mampu menggetarkan lantai kayu kamar asrama nomor 257. Kamar asrama tempat Megumi, Yuuji, dan Yuuta tinggal bersama.

 

Megumi menampar kepala belakang Yuuji. “Idiot! Jangan rusak lantainya! Apa kau ingin kita semua kena sanksi, hah?!”

 

Yuuji menggerutu seraya mengelus kepala belakangnya yang berdenyut. Buku yang lebih berat dari sepatu gunung pun diambil kembali. “Aku tak habis pikir dengan tata tertib akademi ini yang begitu banyak dan hampir mengekang kita! Memangnya ini sekolah militer, apa!”

 

“A-ku kira ... aku setuju dengan Itadori-kun.” Yuuta menyahut. Dia sedang duduk di ranjang pojok dekat kamar mandi.

 

Megumi menaikkan sebelah alis. “Bagian mana?”

 

Tentang tidak boleh kerja paruh waktu. Karena ... tidak semua mahasiswa terlahir kaya atau cerdas hingga dapat beasiswa,” tutur Yuuta dengan raut wajah sedih.

 

“Benar, itu! Aku saja mati-matian belajar demi mendapatkan beasiswa sekolah di sini meski tidak cerdas! Seandainya aku tidak dapat beasiswa, dan hanya mengharapkan uang kakekku untuk bayar sekolah per semester, tentu kurang!” seru Yuuji setuju.

 

“Hanya itu? Bukankah memang lebih baik kita fokus belajar, ya? Kerja part time itu menyita waktu dan tenaga. Belum lagi, kalian masih ingat tata tertib nomor satu, kan?”

 

Yuuji dan Yuuta kembali murung. Peraturan tata tertib nomor satu adalah Setiap Mahasiswa Harus Berada Di Asrama Tepat Jam Sepuluh Malam. Tidak mungkin mereka bisa pulang jam sepuluh malam, sedang pelajaran berakhir pukul tujuh malam. Rata-rata kerja part time itu dari sore sampai malam.

 

Tiba-tiba saja, Yuuji tersenyum simpul bertelak pinggang. Membuat Yuuta dan Megumi bingung.

 

“Tenang saja, Minna! Sekejam apapun tata tertib di Akademi ini, semua akan terobati dengan kehadiran yang bening-bening!”

 

“Sayur bening?”

 

“Bukan, Okkotsu-kun! Ini wanita! Pasti di sini banyak mahasiswi yang cantik dan bahenol seperti Jennifer Lawrence!”

 

Seketika, Yuuta sweetdrop.

 

“Maaf menghancurkan impian terbesarmu, Itadori. Tapi ... Akademi Kaisen itu adalah sekolah yang memisahkan antara murid perempuan dan laki-laki. Jadi, di sini cuma ada laki-laki,” terang Megumi.

 

Dari sore sampai malam, Yuuji tak henti terisak menyesali pilihan hidupnya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Megumi acuh tak acuh, menyumbat telinga dengan headphone. Yuuta berempati, tetapi dia memilih tidur karena besok adalah hari pertama mereka masuk sekolah.

 

 

 

 

•Tbc•

 

 

 

Chapter 2: Antara Biola, Suguru, dan Satoru

Summary:

Maaf agak lama update karena masih bernostalgia mendengarkan lagu-lagu soundtrack film Mohabbatein 🤗

Terima kasih sudah menunggu~

Happy reading ❤

Chapter Text

“Onii-san ... aku mencintaimu. Tapi ... mengapa kau marah saat kau tahu aku juga mencintai Satoru? Bukankah kau sahabatnya? Kau pasti sangat tahu seperti apa Satoru.”

 

Berdiri membelakangi pantai, seorang gadis berseragam SMA menatap nanar ke depan. Dia bertelanjang kaki, membiarkan kakinya basah tersapu deburan ombak.

 

“Mengapa ... Onii-san ...? Mengapa kau melarangku untuk mencintai Satoru?”

 

Tiba-tiba, terdengar suara tembakan. Jidat gadis berambut hitam dikepang satu berbandana putih bolong tertembus peluru. Air laut biru berubah warna menjadi merah.

 

Pemandangan bergeser ke tepi pantai dekat batu karang. Di sana, berdiri sesosok pria tinggi berotot dengan luka codet di bibir kanan. Pria itu menggenggam pistol seraya menyeringai.

 

“Aku yang membunuh adikmu. Kenapa? Karena Gojo Satoru menyuruhku.”

 

***

 

“Riko!”

 

Napasnya tersengal, keringat menetes membasahi sekujur tubuh. Tangan kanan masih terulur ke udara kosong. Pemandangan yang selalu membuatnya trauma menghilang dalam sekejap, digantikan oleh kegelapan. Dia terdiam begitu melihat ada setitik sinar matahari yang mengintip dari celah jendela kamarnya.

 

“Sudah pagi. Dan ... masih dengan mimpi buruk yang sama,” gumamnya.

 

Sesungguhnya, apa yang Geto Suguru anggap mimpi buruk adalah sebuah kenangan buruk. Terjadi saat dia berada pada fase paling bahagia dalam hidupnya.

 

Dahulu, dia mengenal apa itu cinta.

 

Dahulu, dia percaya pada kekuatan persahabatan.

 

Sampai di hari itu, hari di mana dia kehilangan satu-satunya cinta dalam hidupnya. Satu-satunya keluarga sedarah yang dia punya.

 

Geto Suguru bukanlah orang yang sama lagi. Sekarang, dia hanya hidup demi meneruskan cita-cita ayah tirinya, Gakuganji. Menjadi Kepala Sekolah dengan peraturan yang dia buat sendiri. Peraturan yang mengekang tanpa ada dua unsur. Cinta dan Teman.

 

Sang Kepala Sekolah melangkah menaiki tangga menuju satu-satunya bangunan kuil di belakang sekolah. Kuil yang mempunyai gerbang tori warna putih selalu dikunci rapat dan tidak untuk umum. Sebab, isi kuil bukan untuk pemujaan Kamisama manapun. Kuil tersebut adalah makam seseorang yang sangat berharga bagi Geto Suguru.

 

Sepiring kecil Kikufuku yang sedari tadi dibawa, dia taruh di depan pigura foto seorang gadis berseragam SMA yang tersenyum manis. Suguru tersenyum lembut, berjongkok dan mengusap sayang foto tersebut.

 

Ohayou, Riko-chan. Onii-chan datang membawa makanan kesukaanmu lagi hari ini. Jangan cepat bosan, ya ....”

 

Keheningan yang tentram di pagi hari rusak oleh suara biola. Suguru menggeram murka, segera bangkit meninggalkan dan mengunci kuil sucinya. Dia menyambangi asal suara biola.

 

Sarapan pagi di Kantin Asrama Akademi Kaisen memang mewah, tetapi Yuuji tidak bergairah. Yuuta juga melamun sambil mengotak-atik tamago-nya. Megumi masih mengantuk, hampir saja menumpahkan susu putih yang dia minum.

 

Sampai akhirnya, suara fals biola mengagetkan ketiganya juga semua mahasiswa di kantin. Semua orang kompak menutupi kedua telinga. Kesal karena suara tak kunjung berhenti, mereka pun berhambur keluar kantin demi menemukan siapa pelaku kebisingan di pagi hari.

 

Di taman Akademi, dekat air mancur berpatung Gakuganji, seorang pria albino berkacamata bulat hitam menggesek terus biola di genggaman. Dia menutup mata, tidak telinga. Dia sangat tahu permainan biolanya sangatlah ambyar. Namun, ini adalah strategi demi memancing semua penghuni Akademi Kaisen untuk menemuinya.

 

Derap langkah kaki yang satu ini sangat dia hapal. Dia berhenti sejenak tanpa mau menatap.

 

Suguru tidak pernah menyangka orang ini akan datang. Dia tidak tahu dari mana orang ini masuk. Dia ingat dan tentu saja mengenal siapa orang ini meski penampilannya sekarang lebih keren dari waktu dulu.

 

Belum sempat Suguru menghardik, pria albino kembali menggesek biolanya. Kali ini, instrumen yang dia mainkan terdengar begitu merdu dan damai. Suguru pun terdiam, merasa nostalgia.

 

Yuuji terpesona begitu mendengar suara biola satu ini. Dia merasa aneh karena orang yang memainkannya tak lain masih orang yang sama. Dia terpaku, menonton keindahan permainan biola pria albino yang memakai kemeja panjang biru muda dan celana panjang bahan hitam. Ada percikan glamour dari merk sepatu, jam tangan, kacamata hitam, hingga biolanya.

 

Saat permainan biola usai, pria albino membuka mata tanpa membuka kacamata hitam. Dia tahu satu-satunya orang yang dia kenal di depannya sedang mengamati. Untuk itu, dia mengumbar senyum lebar ceria. Dia bertepuk tangan.

 

“Tepuk tangan, dong! Kok diem aja?”

 

Yuuji adalah orang pertama yang bertepuk tangan, diikuti oleh semua mahasiswa, dosen, dan staff. Megumi dan Yuuta memilih mengalihkan pandangan dari si pria albino.

 

“Sa--”

 

Ucapan Suguru dipotong seruan pujian Yuuji. “Sughoi! Kok bisa suaranya dari jelek jadi sempurna kayak suara merdu malaikat di surga! Tuan ini guru musik sekolah ini, ya?!”

 

Pria albino tersenyum kecil ke arah Yuuji. “Bukan ..., sayangnya. Tapi ... jika di Akademi ini butuh guru musik, saya bersedia mengajarkan teknik bermain biola sebagus tadi.”

 

Dia mengalihkan pandangan ke arah Suguru. “Apakah ada lowongan untuk guru musik di sekolahmu ..., Suguru?”

 

Suguru resmi dijebak oleh bajingan albino ini. Dia tidak tahu bajingan itu begitu manipulatif. Padahal jelas, di Akademi Kaisen tidak ada Jurusan Musik karena keinginannya. Namun, di sinilah dia harus memutuskan di tengah-tengah kerumunan para mahasiswa, para dosen, dan staff. Sudah nampak dari raut wajah mereka semua yang mengharapkan adanya penyegaran. Mereka menyukai permainan biola bajingan ini.

 

“Sebenarnya ..., Jurusan Musik akan dibuka tahun depan. Apakah Anda bersedia menunggu sampai saat itu?” Suguru menjawab dengan ketenangan.

 

Yuuji berceloteh protes. “Kenapa tidak sekarang ini saja dibukanya?! Aku mau pindah jurusan kalau Tuan ini dosennya! Setuju, tidak, Minna!”

 

Para mahasiswa terprovokasi. Mereka kompak meneriakkan kata ‘Setuju’. Dosen-dosen lain dan para staff menunduk diam. Tidak ingin komentarnya membuat marah Kepala Sekolah.

 

Suguru mengembuskan napas, sekujur tubuh gemetaran akibat menahan luapan emosi. Dia tersenyum begitu lembut ke arah para mahasiswa, lalu ke pria albino. Baginya, jika para mahasiswa menuntut seperti ini, maka permintaan mereka harus dituruti. Sebab, tidak ada sebuah pelanggaran dari kehadiran musik sebagai jurusan di Akademi Kaisen.

 

“Baiklah. Mulai hari ini, Jurusan Musik akan dibuka. Tolong para staff sekolah untuk mengurus semuanya dari mulai jadwal kelas hingga ruang kelas. Dan ..., “ Suguru melirik ke arah pria albino. “Kita akan membicarakan masalah gaji dan tempat tinggal Anda ... Tuan ...?”

 

Pria albino tersenyum. “Satoru. Gojo Satoru.”

 

***

 

Yuuji heran melihat kedua teman barunya malah melamun di setiap mata kuliah. Saat istirahat seperti sekarang ini pun mereka juga melamun.

 

“Fushiguro-kun! Okkotsu-kun! Bicaralah! Jangan diam saja!”

 

Megumi melirik Yuuta, dia heran mengapa pemuda itu ikut-ikutan diam. Megumi memilih menyahuti Yuuji agar dia diam. “Ada apa, Itadori?”

 

“Kenapa kau diam saja, sih?!” Yuuji menggigit kasar sepotong paha ayam goreng miliknya.

 

“Aku sedang memikirkan masa depanku,” jawab Megumi, menunduk ke bawah.

 

Yuuji ikut menatap apa yang Megumi tatap. “Otongmu?”

 

Megumi berkedip, lalu mencubit bibir Yuuji. “Bukan Otongku! Bisakah kau berpikir normal, Itadori?!”

 

“Ya habisnya apa, dong! Kau dari tadi ngeliatin ke bawah terus! Aku gak salah!”

 

“Kau sudah melihatnya, bukan? Pria albino yang main biola pagi-pagi di taman?”

 

Dari nada bicaranya, Yuuji tahu ini adalah percakapan serius. Dia pun mengangguk kuat, fokus menatap Megumi.

 

“Dia itu sebenarnya ....”

 

“Sebenarnya?”

 

Megumi mengalihkan wajah ke jendela kantin. Dia berbisik malu-malu. “Ayah angkatku.”

 

“Apa?” Yuuji menelengkan kepala tidak mampu mendengarnya.

 

Megumi yang frustasi pun menggebrak meja berteriak keras. “DIA ITU AYAH ANGKATKU! DASAR BOLOT!"

 

Yuuji sepertinya sudah berada di dimensi lain. Dia tidak percaya sedikitpun kalau pria albino yang memperkenalkan dirinya sebagai Gojo Satoru adalah ayah angkat Megumi. Penampilan Megumi jauh dari kata glamour.

 

“Aku tidak percaya! Kalau kau anak angkatnya Gojo Sensei, kau pasti punya barang setidaknya yang brandit! Ini kulihat kau selalu pakai barang-barang lokal dan loak pula!”

 

“Yang loak kan cuma sendal jepitku! Masalah buatmu, Itadori?! Lagian, fashionku tidak sama seperti fashionnya yang norak!”

 

Yuuji mendengkus merasa kasihan pada Megumi. “Seharusnya ..., kau masuk ke Jurusan Tata Busana, bukan Jurusan Akutansi, Fushiguro ....”

 

“Kau meledekku, hah?!”

 

Yuuta berdiri, membuat keduanya terkejut. Dia diam tanpa kata, pergi mengangkut nampan yang isinya setengah kosong menuju wastafel yang disediakan untuk piring dan gelas bekas makan. Dia meninggalkan kantin.

 

“Eh, Okkotsu-kun kenapa, ya?” bisik Yuuji.

 

Megumi mengendikkan bahu. “Entah. Mungkin nilainya jelek di mata kuliahnya. Jurusan Kedokteran kan susah banget. Lebih susah dari jurusanmu.”

 

“Oi! Tata Boga adalah jurusan yang paling sulit! Karena apa? Karena tidak semua orang pandai memasak! Jangan ingatkan aku tentang kekacauan yang kau buat semalam karena membakar panci saat merebus air, Fushiguro!” protes Yuuji.

 

“Tapi yang penting asrama tidak kebakaran! Sudah, ah! Aku mau ke Perpustakaan!” Megumi kesal, buru-buru pergi mengangkut nampan yang kosong dan menaruhnya di wastafel.

 

“Tunggu aku, Fushiguro!” Yuuji menelan kue keju bentuk jari dalam sekali hap. Dia bergegas mengekori Megumi.

 

***

 

Sebuah bingkai foto yang ada di atas meja sahabatnya mampu membuat dia tak berkedip. Perasaan rindu yang mendalam merasuk ke dalam jiwa. Suara dehaman akhirnya menghapus rasa itu. Mencegahnya jatuh ke dalam imajinasi.

 

“Siapa yang mengizinkanmu menatap foto adikku?”

 

Dia, Gojo Satoru tersenyum tipis membalas nada dingin kejam Suguru. “Kau masih belum berubah, ya, Suguru?”

 

Suguru menggeram. “Jatuhkan panggilan itu dari mulut kotormu. Panggil aku dengan sopan santun, Gojo.”

 

Satoru menghela napas, lalu mengembalikan. Dia melepas kacamata hitam, membiarkan kedua mata aquamarine yang indah itu tersingkap. “Tuan Getou Yang Terhormat, apa saya bisa melihat, membaca, dan menandatangani kontrak kerja kita?”

 

Suguru berdecih. Tangan kanan mengambil sebuah proposal dari dalam laci meja kerja. Dia menyodorkan proposal ke Satoru yang duduk di hadapannya. “Silakan, Tuan Gojo.”

 

Arigatou, Tuan Getou.” Senyum Satoru terlampau lebar hingga membuat rahangnya sakit. Dia membaca dan memahami isi kontrak. Anehnya, itu tidak terlalu membebaninya. Dari situ, Satoru tahu. Masih ada harapan untuknya bisa membalikkan hati Suguru.

 

Usai menandatangani kontrak kerja sebagai dosen Jurusan Musik, Satoru pamit. Sayang, uluran tangan tidak dijabat Suguru. Pria itu dengan angkuh melangkah pergi meninggalkan Satoru di Ruang Kepala Sekolah.

 

Satoru tersenyum pahit, berusaha tetap tegar. Dia harus berjuang demi membersihkan namanya dari tuduhan yang tidak benar. Tentu saja dia kemari juga demi menyelamatkan Suguru agar tidak terjebak dalam kenangan buruk.

 

Saat langkah kaki panjangnya menyentuh tangga menuju taman belakang kampus, Satoru terkekeh. Dia melihat wanita yang dia cintai duduk di bangku panjang taman. Dua tangan menangkup dagu, senyuman manis terukir di bibir.

 

“Satoru ..., sudah lama aku menunggumu di sini ... kemarilah ... aku merindukanmu ....”

 

“Aku juga merindukanmu ... Amanai ....”

 

 

 

•Tbc•

 

 

Mohabbatein Poster Edit Canva

Chapter 3: Mengenangmu

Summary:

Di tengah mengajar, Gojo Satoru menceritakan sebuah cerita tentang Seorang Pemuda Yang Mencintai Biola Dan Seorang Gadis.

Chapter Text

“Maafkan aku, Amanai ... Suguru--”

 

Riko Amanai langsung menutup mulut Satoru seraya menggeleng lemah. “Itu bukan salahmu. Onii-chan hatinya masih membeku saat ini. Perlahan ... aku yakin hatinya akan mencair.”

 

Satoru menggenggam tangan yang menutup mulutnya, mengecup punggung tangan sang kekasih. “Ya ... aku sangat yakin bisa mencairkan hatinya kembali. Tapi ... maukah kau membantuku, Amanai?”

 

Riko tertawa pelan, menyentil ujung lancip hidung Satoru. Membuatnya mengeluh dan cemberut. “Tentu saja aku akan membantumu, Baka!”

 

Sebagai balasan, Satoru menyeringai licik. Dia memiting leher Riko. “Arigatou ne~ Boncel~”

 

Riko kesal dikatai, dia balas menggigit pergelangan tangan Satoru.

 

“Aduh! Kau ini piranha atau manusia! Gigitanmu sakit banget!”

 

“Rasain! Siapa suruh ngatain aku Boncel! Dasar Tiang Listrik Berjalan!”

 

“Nah! Kau pun ngatain aku Tiang Listrik Berjalan! Sebenarnya, kau ini cinta gak, sih, sama aku?!”

 

Riko menjulurkan lidah sembari tertawa terbahak-bahak. Satoru mencibir, lalu perlahan mengulas senyum lembut.

 

Aksi Satoru rupanya mendapat penonton dari balik pohon mapple. Yuuji masih mengucek kedua mata memastikan kebenaran yang dia lihat. Megumi memijit pelipis sudah hilang kesabaran. Yuuta ternganga, dia syok berat melihat pemandangan tersebut.

 

“Dia ... sejak kapan ....” Yuuta kehilangan kata-kata.

 

“Fushiguro, ayah angkatmu ... gila, ya? Mengapa dia senyam-senyum sendiri? Bicara sendirian di taman?” tanya Yuuji.

 

Megumi mengerang. Dia memelototi Yuuji dan Yuuta. “Kalian di sini saja. Aku harus mengurus sesuatu. Dan ingat ... jangan beritahu kelakuan aneh ayah angkatku pada siapapun. Paham?”

 

Yuuta dan Yuuji mengangguk takut. Saat Megumi melangkah menyambangi ayah angkatnya, mereka berdua masih lanjut mengintip. Ingin tahu apa yang akan dilakukan Megumi. Dalam sepersekian detik, mereka hampir menjerit. Semua karena Megumi dengan kurang ajarnya menjitak ubun-ubun sang ayah angkat.

 

Satoru merengek begitu mendapat salam kasih sayang dari anak angkatnya, Fushiguro Megumi. Dia menatap sekitar, lalu mendengkus. Riko lagi-lagi menghilang jika orang asing hadir di antara mereka.

 

“Gumi~ aku perlu pelukanmu, bukan jitakanmu~” rengek Satoru.

 

“Gojo-san! Kendalikan dirimu! Ini bukan di rumah! Ini sekolahku! Aku tidak mau semua orang menganggapmu gila karena tingkah anehmu! Lagian, aku selalu penasaran dari dulu. Kau ini ... sedang berbicara dengan siapa sebenarnya?” Megumi bersedekap, memandang cemas sang ayah angkat.

 

Satoru menyahut acuh tak acuh sambil menaikkan kacamata hitamnya. “Kekasihku.”

 

Megumi mengernyit. “Kekasihmu? Bukankah kau itu jones?”

 

Satoru berdiri tegak, emosi. “Aku gak jones kayak kau, Gumi! Pria Terseksi Nomor Satu Di Jepang tentu punya kekasih!”

 

Megumi memutar bola mata muak. “Ya, ya. Kekasih Gelap yang saking gelapnya gak bisa kulihat dan gak pernah kau kenalkan padaku.”

 

Satoru menggaruk kepala, berpikiran jauh. “Tapi ... kekasihku gak ada keturunan Afrika, kok?”

 

“Idiot.” Megumi memilih pergi meninggalkan Satoru menuju kelas selanjutnya.

 

“Gumi! Tunggu--” Satoru tak sengaja melirik ke arah pohon maple. Dia meneriaki dua pemuda yang hendak kabur. “Oi, Kalian Berdua! Jangan kabur!”

 

Yuuji dan Yuuta menoleh kaku, terkekeh polos. “Gojo Sensei! Ko-niciwa!”

 

Satoru menghampiri kedua mahasiswa Akademi Kaisen. Dia memandangi keduanya, cukup lama pada Yuuta.

 

“Kalian sedang apa, tadi? Mengintipku, ya?” Satoru menginterogasi sinis.

 

Yuuta awalnya ingin menjawab jujur karena dia pemuda yang tidak pernah bisa berbohong. Namun, Yuuji memotong.

 

“Ka-kami ingin mendaftar di kelas Anda, Sensei!” seru Yuuji sedikit gagap.

 

Terbukti, senyum cerah dan wajah polos Yuuji dapat menyelamatkan keduanya dari tuduhan. Satoru bersorak gembira memeluk Yuuji dan Yuuta. Mengucapkan selamat datang, berikut memberi jadwal kelasnya dimulai.

 

“Sampai ketemu di kelasku besok jam tujuh pagi, Yuuji-kun! Yuuta-kun!”

 

Arigatou, Gojo Sensei!”

 

“Jangan lupa ajak mahasiswa yang bernama Fushiguro Megumi juga, ya! Aku menunggu kalian bertiga!” Satoru melambai, terus melangkah tergesa seraya bersenandung. Dia hendak mempersiapkan segalanya untuk kelas musik perdananya besok pagi.

 

Selepas kepergian sang dosen musik baru, Yuuta mendesah lelah. Dia tampak enggan pergi ke kelas musik. Yuuji menjadi merasa bersalah melihat temannya tak bersemangat.

 

Gomen, Okkotsu-kun ....”

 

Yuuta memberi senyuman tulus. “Tidak masalah, Itadori-kun. Lagipula, aku juga butuh pelepas stress. Aku masih akan tetap berada di Jurusan Kedokteran, kok.”

 

Bola mata kuning keemasan berbinar kagum. “Hebat! Okkotsu-kun hebat banget kuliah di dua jurusan! Kupikir kau bakal pindah jurusan atau menolak ajakanku ke Jurusan Musik!”

 

“Kau sendiri? Mau pindah jurusan, Itadori-kun?” tanya Yuuta.

 

Yuuji mengelus dagu memikirkan keputusannya. “Hmm ... kalau aku pindah jurusan ... hmm ... aduh! Sial!

 

“Kenapa, Yuuji?”

 

Yuuji menjawab lunglai. “Aku ... harus mengikuti jejakmu juga, Okkotsu-kun. Kakekku akan mengusirku kalau aku pindah jurusan. Karena ... waktu SMA, aku sering pindah-pindah jurusan juga. Kakekku jadi pusing.”

 

“Kau ... berarti pindah-pindah sekolah terus? Sering gak naik kelas?” tebak Yuuta.

 

“Jangan diperjelas, Okkotsu-kun! Aku kan jadi malu!” Yuuji memprotes.

 

Yuuta terkekeh. “Iya, gomen. Aku mau ke perpustakaan dulu.”

 

“Tunggu! Siapa yang akan mendaftarkanmu ke kelas musik!” teriak Yuuji.

 

Yuuta melambai dari kejauhan. Dia masih berjalan menuju ke lorong sebelah kanan dari taman. “Kau saja yang daftarkan diriku, Itadori-kun! Jangan lupa daftarkan juga Fushiguro-kun! Aku ini mahasiswa mahasibuk!”

 

“Cih! Begini banget punya dua temen sok sibuk!” Yuuji berlari pergi ke Kantor Administrasi untuk mendaftar jurusan. Untung saja, staff memperbolehkan Yuuji mendaftarkan Megumi dan Yuuta hanya dengan nama dan jurusan mereka.

 

***

 

Kerumunan mahasiswa berbagai jurusan telah berkumpul di taman gazebo yang luas. Di kelilingi oleh puluhan tanaman berbagi macam jenis bunga, gazebo tersebut sudah diisi oleh puluhan kursi kayu putih. Di depan kursi-kursi tersebut, sudah ada papan tulis kecil, proyektor, satu kursi silver, dan kumpulan alat musik di atas meja besar samping kanan papan tulis.

 

“Lah? Katanya jam tujuh pagi? Ini udah jam delapan pagi kok Gojo Sensei belum dateng?” Yuuji bersedekap, terus menggerutu sebal. Dia lelah ingin duduk.

 

Semua mata tertuju pada Megumi. Pemuda berambut bulu babi dengan santai langsung duduk di kursi paling pojok baris depan.

 

“Apa?”

 

“Fushiguro! Kau tidak sopan! Dosen belum datang kau main duduk aja!” tunjuk Yuuji marah.

 

Yuuta yang baru datang, langsung duduk di samping kanan Megumi. Dia mengipasi leher berpeluh dengan buku kunci lagu berbagai alat musik.

 

“Okkotsu-kun! Kau baru datang jam segini?! Ter-la-lu!” Yuuji bertelak pinggang memelototi teman sekamar yang datang telat.

 

“Masih mending aku datang, padahal aku baru rapi praktikum di laboratorium,” cibir Yuuta. Lelah setelah membedah sekumpulan katak untuk mengambil empedunya dari jam tiga pagi.

 

Suara langkah kaki mendekati gazebo. Para mahasiswa sudah tersenyum lega. Mereka bersiap menyambut kedatangan dosen musik mereka. Akan tetapi, begitu sosoknya mulai terlihat dari balik tanaman anggur hitam yang menjuntai, mereka langsung berkeringat dingin.

 

“Kenapa diam? Saya lihat tadi di kejauhan, kalian semua berisik seperti monyet.”

 

Suguru cuma ingin tahu seberapa jauh kemampuan seorang Gojo Satoru dalam bermusik dan mengajar. Namun, yang dia temui hanya kekosongan. Padahal jelas, di jadwal yang tertera di setiap papan pengumuman kelas bahwa sekarang adalah kelas musik.

 

Kepala Sekolah Akademi Kaisen berdecih, tahu persis apa yang terjadi di sini. Dia sangat membenci Gojo Satoru karena hal ini.

 

Hening sejenak, kemudian langkah sepatu terdengar nyaring dan gaduh. Sosok yang ditunggu akhirnya muncul. Penampilan sungguh berantakan menurut Suguru. Kemeja lengan panjang hitam sedikit kusut di bagian depan dan sepatu lain sebelah.

 

Di antara napas terengah, Satoru tersenyum dan menyapa semua orang tanpa malu. “Ohayou, Minna!”

 

Suguru menyipitkan mata ke arah Satoru. “Anda terlambat. Satu Jam Sepuluh Menit.”

 

Hilang sudah senyum ceria di bibir. Satoru menatap datar Suguru. “Ma--”

 

“Maaf tidak cukup untuk mengganti semuanya, Tuan Gojo. Ini kelas perdana Anda dan Anda terlambat selama itu? Jika Anda tidak berniat menjadi pengajar, Anda bisa menggeluti profesi lain. Karena apa? Karena di Akademi Kaisen, hanya dosen-dosen terbaik dan tepat waktu yang akan kami pertahankan,” potong Suguru.

 

Sekali lagi, hanya ada keheningan. Suguru menoleh ke para mahasiswa. Tatapan matanya sedingin es.

 

“Bagi yang mengikuti ini, tapi juga mengikuti jurusan lain, sebaiknya kalian disiplin waktu. Saya tidak menolelir keluhan apapun dari keputusan yang kalian buat. Peraturan tetap mutlak. Jika nilai kalian semua menurun, maka beasiswa kalian akan dicabut.”

 

Satoru berani terkekeh geli. “Sugu-- maksud saya, Tuan Geto, tidak perlu khawatir akan itu. Saya yakin, mereka tahu resikonya. Lagipula, kelas saya hanya ada satu hari dalam seminggu. Mereka tidak akan terbebani.”

 

Satoru dan Suguru saling tatap. Lama berdiam, akhirnya Suguru mengangguk kuat. Mata tak pernah menunjukkan ekspresi hangat.

 

“Waktu mengajar Anda tersisa satu jam lagi. Lain kali, saya tidak ingin ada yang terlambat. Baik mahasiswa, staff, atau dosen. Permisi.”

 

Satoru masih menatap lekat punggung berbalut gojo-kesa hitam. Ada rasa sakit yang Satoru rasakan. Perlakuan kejam Suguru entah mengapa semakin menusuk hati.

 

Apakah aku sanggup melakukan ini semua untukmu, Amanai ...?

 

Satoru berkedip, menampar kedua pipi dengan kuat. “Ganbate, Gojo Satoru!” Dia menyemangati diri sendiri.

 

“Gojo-san!” Panggilan Megumi yang risih dengan tingkah gila sang ayah angkat pun digubris.

 

Satoru melesat memeluknya erat. “Aww~ Gumi~ aku tak percaya kau mau ikut kelas musik~”

 

“Lepaskan aku! Jangan peluk-peluk! Aku masih suka wanita!” Megumi menggeliat mencoba melepas pelukan Satoru.

 

Yuuji berseru protes. “Ayo, Sensei! Cepetan dimulai! Aku udah capek nungguin dari tadi!”

 

“Betul, tuh!” sorak mahasiswa lain kompak.

 

Satoru kembali ke hadapan para mahasiswa. Dia mengeluarkan biolanya. Lantunan instrumen dimainkan. Sebuah lagu ... mereka tahu yang dimainkan Satoru adalah sebuah lagu populer saat ini. Lagu yang sendu, menyentuh kalbu.

 

Tepuk tangan dan isakan pelan terdengar setelah lagu selesai dimainkan.

 

Sensei, lagunya ... lagu favoritku! Karena ... mengingatkanku pada kedua orang tuaku yang sudah meninggal!” aku Yuuji, masih memeluk Yuuta yang duduk di tengah-tengah dia dan Megumi.

 

“Kok kita sama, sih, Yuuji-kun! Aku juga sangat menyukai lagu itu!” seru Satoru tersenyum lebar.

 

“Aneh sekali kau masih tersenyum lebar setelah memainkan lagu paling sedih abad ini, Sensei,” celetuk Megumi. Sejujurnya, dia ingin tahu arti dari lagu tersebut bagi ayah angkatnya.

 

Satoru masih tersenyum, tetapi tipis. Ekspresi kehancuran tersembunyi dengan baik di balik kacamata hitam. Dia mendongak menatap lampion kaca berwarna emas yang tergantung di tengah atap berbentuk kubah. Jiwanya mengembara ke masa lalu. Tanpa sadar, dia pun menceritakannya.

 

“Dahulu kala, ada seorang pemuda ... yang sombong, arogan, dan merasa dirinya hebat.”

 

Megumi seolah mengenal karakteristik yang diungkapkan Satoru.

 

Yuuji dan Yuuta sama seperti para mahasiswa lain. Fokus mendengarkan.

 

“Pribadi buruknya berasal dari ajaran kedua orang tuanya. Di mana dia terlahir mempunyai segalanya. Namun ..., saat dia menginginkan satu hal yang sangat dia cintai, keluarganya menolak untuk memberikan. Meski begitu, dia tetap keras kepala. Menarik semua uang tabungannya dari rekening, hanya untuk kabur dari rumah. Pergi ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya dan hal yang paling dia cinta.”

 

Yuuji mengangkat tangan dan bertanya, “Apa yang pemuda ini cintai, Sensei?”

 

Satoru berhenti sejenak, mengirim tatapan lembut pada Yuuji. “Bermain Biola.”

 

Hati Yuuji, Yuuta, bahkan Megumi membuncah. Mereka semakin bersemangat ingin tahu akhir dari kisah si pemuda yang mencintai bermain biola.

 

“Pemuda ini jatuh cinta pada biola, tapi keluarganya tidak. Keluarganya ingin dia menjadi pewaris perusahaan keluarga. Untuk itulah dia menolak dan pergi mengejar impiannya. Pemuda itu berhasil menemukan sekolah di mana bermain biola tidak dilarang. Di mana permainan biolanya dikagumi, dipuji, dan diberi tepuk tangan meriah. Saat itu, dia juga menemukan seseorang ....”

 

Satoru tersenyum begitu mengingat pertemuan pertamanya dengan Geto Suguru. Pria yang dahulu rambutnya dicepol dan diberi poni sedang bermain piano di ruang musik. Satoru datang, tanpa melihat, langsung memainkan biola.

 

“Awalnya, mereka berdua hampir adu jotos kalau tidak dipisahkan dosen musik. Karena pemuda itu mengacaukan nada lagu yang sedang dimainkan orang tersebut. Dari pertengkaran, berubah menjadi pertemanan. Mereka selalu kompak latihan bersama di ruang musik. Mereka selalu menjadi pasangan duet terbaik di sekolah. Mereka selalu menang dalam kompetisi musik manapun. Mereka ... adalah Yang Terkuat ....”

 

Satoru menunduk sedih setelah mengatakan itu. Megumi merasa simpati terhadapnya. Dia kurang lebih tahu siapa pemuda yang sedang diceritakan. Tak lain adalah Gojo Satoru sendiri, juga ... sahabatnya ... Geto Suguru. Megumi sedari kecil telah diceritakan tentang sosok Suguru meski tidak terlalu lengkap.

 

“Sampai akhirnya ..., dia datang. Dia ... mampu menyaingi keindahan dari biola yang pemuda itu puja. Dia ... adalah jelmaan Dewi Kagura dan Angel. Dia ... yang mengajari pemuda ini tentang kehidupan. Pemuda ini pun sadar ... bahwa jatuh cinta dengan manusia lebih mewarnai hidupnya dibandingkan jatuh cinta dengan biola. Hidupnya terasa ... lengkap ....”

 

Satoru terkikik geli mengingat hari itu. Cinta pada pandangan pertamanya dengan Riko Amanai. Satoru melupakan biolanya di Gereja setelah selesai latihan dengan kakak kelas. Pemuda albino membuka pintu, lalu nyanyian akapela terhenti. Di sana, yang masih bernyanyi begitu merdu hanya Riko Amanai seorang. Gadis itu larut dalam penghayatan.

 

Setelah mengambil biolanya, Satoru diberi sorakan oleh para gadis termasuk Riko. Anehnya, kejadian itu berulang hingga tiga kali tanpa Satoru sadari.

 

Ada satu lagi pesona seorang Riko Amanai yang sangat Satoru cintai. Pada malam bulan purnama, Satoru melihat Riko ‘menari’ di ruang dojo. Satoru tahu gadis itu sedang berlatih bela diri, tetapi baginya, gerakan Riko begitu indah. Tak ada bedanya dengan tarian Kagura.

 

Dua sisi dalam satu jiwa. Gojo Satoru tidak pernah bisa mengalihkan pandangan dari Riko. Dia telah jatuh cinta.

 

Yuuta memberanikan diri mengangkat tangan. “Sensei, apa pemuda ini ... kisahnya ... berakhir bahagia?”

 

Senyum jatuh dari bibir Satoru. Yuuta tercekat begitu melihat ekspresi dan diamnya sang dosen. Meski kedua mata tak bisa dilihat, Yuuta tahu dari gerak tubuhnya. Jawabannya pasti menyakitkan.

 

“Sayangnya, ini adalah kisah nyata, bukan dongeng, Yuuta-kun. Ada Antagonis yang hadir merusak kebahagiaan si pemuda sebagai Protagonis. Entah dari mana, entah siapa yang menyuruhnya, entah apa motifnya, orang itu tega mem--”

 

Begitu saja, Satoru terdiam muram membuat semua mahasiswa penasaran. Saat Megumi ingin mengangkat tangan bertanya, bel berbunyi nyaring tanda kelas musik berakhir.

 

Satoru bertepuk tangan ceria. “Ha'i! Kelas kita sudah selesai! Maaf bila sangat singkat dan kita belum bisa praktek memainkan alat musik yang tersedia! Minggu depan, Sensei janji kalian akan mulai prakteknya! Oke?”

 

“Oke ...,” jawab semua orang lirih dan lesu.

 

”Sampai jumpa di kelas musik Minggu depan, Minna!” seru Satoru, lalu melangkah cepat membawa biolanya pergi dari gazebo. Dia akan menyuruh staff bagian penyimpanan alat musik untuk menaruh semua alat musik dan proyektor ke dalam ruang penyimpanan.

 

Megumi berlari mengejar sang ayah angkat, tetapi sosoknya menghilang. Seolah Satoru enggan ditanyai kelanjutan dari cerita tadi. Megumi frustasi, dia sangat ingin tahu siapa yang telah menghancurkan ikatan persahabatan Satoru dan Suguru. Dia juga ingin tahu siapa gadis yang dicintai Satoru, yang sering disebut kekasihnya.

 

***

 

“Asyik!”

 

“Akhirnya!”

 

Megumi mendengkus, tidak paham mengapa kedua teman sekamarnya bersorak gembira. Jelas-jelas mereka lelah habis menghadiri kelas sana-sini, belum lagi mengerjakan tugas dari dosen.

 

“Fushiguro! Besok mau ikut aku?” ajak Yuuji.

 

Megumi menaikkan sebelah alis. “Ke mana?”

 

“Ke pasar malem, lah!”

 

“Bukankah besok masih kuliah?”

 

Yuuji menepuk jidat. Dia menunjuk ke arah kalender dinding. “Noh, lihat! Besok hari libur kita bertiga, Fushiguro!”

 

Megumi menyipitkan mata demi melihat kebenaran. Dia mengangguk sambil bilang, “Oh, benar.”

 

Yuuji mengacak-acak rambut, gemas pada tingkah Megumi. “Tanggapan macam apa itu?! Mana semangat mudanya, Fushiguro!”

 

Megumi menatap skeptis. “Pasar malam hanya untuk bocah, Itadori.”

 

Yuuji menampar punggung malang Megumi. “Bro! Pasar malem untuk kalangan umum! Di sana bahkan banyak orang pacaran, ciuman, sampe ada yang ‘ninuninu’ di bianglala! Aku ingin ke sana! Kau harus ikut pokoknya!”

 

Megumi menggeleng, memilih pergi ke lemari pakaian mengambil baju ganti. “Tidak. Aku tahu betul kau ke sana cuma untuk cari cewek yang bodinya kayak Jennifer Lawrence.”

 

Yuuji tercekat, lalu terkekeh sambil garuk tengkuk. “Itu tahu ....”

 

“Kau pergi sendiri saja.”

 

“Aku ingin double date!”

 

“Aku tidak tertarik pada kencan semu.”

 

“Ayo~ Fushiguro-kyun~”

 

Megumi membentak. “Diam! Kau ini semakin menyebalkan seperti ayah angkatku saja! Kenapa tidak kau ajak Okkotsu-kun saja!”

 

Yuuta, yang sedang mandi, membuka separuh pintu kamar mandi. Kepala terjulur keluar. Dia berseru keras. “Aku ada janji sama teman lama!” Pintu kamar mandi kembali ditutup rapat.

 

“Dengar, kan? Ayolah, Fushiguro!” rengek Yuuji.

 

“Iya, iya! Bawel banget, dah! Tapi kita naik apa dari sini?” tanya Megumi.

 

Yuuta keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. “Pinjem aja motor punya Ijichi-san.”

 

Yuuji menelengkan kepala. “Emang Ijichi-san punya motor?”

 

Yuuta menyeringai. “Ada dua malahan. Jadi, satu bisa untukku, dan satu lagi untuk kalian berdua.”

 

Megumi mencibir, “Ini bukan prank, kan?”

 

Yuuta bertelak pinggang. “Bukan, dong! Aku yang bertanya pada Ijichi-san kemarin!”

 

Yuuji merangkul leher Yuuta seraya tertawa. “Top markotop kau, Okkotsu-kun! Biasa melempem, eh ... sekarang semangat banget! Pake inisiatif pinjem motor sama Ijichi-san, pula!”

 

Megumi menyampirkan handuk ke pundak, siap mandi. “Pasti Okkotsu-kun mau kencan juga besok malam.”

 

Pipi Yuuta memerah. “E-nggak, kok! Aku kan sudah bilang, aku mau ketemu teman lama!”

 

“Teman lama atau pacar~” goda Yuuji.

 

Megumi mengembuskan napas lelah melihat tingkah Yuuji. Ketika dia ingin masuk ke dalam kamar mandi, tubuhnya didorong Yuuji. Pemuda berambut undercut pink melesat masuk mengunci pintu.

 

“Oi, lah! Aku mau mandi!”

 

“Aku boker dulu, Fushiguro! Udah di ujung, nih!”

 

“Dasar!”

 

Yuuta hanya bisa tertawa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

•Tbc•

Chapter 4: Tiga Gerbang Cinta Terbuka

Summary:

Halo 🤗

Mohon maaf karena aku terlalu lama update cerita ini.

Bukan karena tidak ada ide atau writer block, tetapi memang lagi menenangkan diri.

Kondisi kejiwaan dan perekonomian membuatku tidak stabil.

Thank you so much for kudos and comment ❤

Chapter Text

Motor digembreng keras. Ijichi, sebagai pengemudi resmi Akademi Kaisen, menjerit tertahan. Dia berbisik mendekati si pelaku.

 

“Yu-Yuuji-kun ... tolong ... jangan keras-keras nge-gas motorku ....”

 

Yuuji mendongak dari posisi membungkuk di samping kiri motor Ninja hitam. Remasan di stang kiri terlepas. “Emang kenapa?”

 

Megumi datang menjitak ubun-ubunnya. “Baka. Tentu saja karena peraturan Akademi Kaisen. Kau amnesia?”

 

Yuuji tersentak kaget, lalu menyeringai polos. “Gomene, Ijichi-san. Aku ... lupa ... hehe!”

 

Megumi menggerutu sambil menyantolkan kresek putih logo minimarket Seven 3 di motor.

 

“Itu apaan, Fushiguro?” tanya Yuuji.

 

“Cemilan punyaku biar gak bosen nungguin kau di sana,” jawab Megumi datar.

 

Yuuji mencibir, “Dikira piknik apa! Di pasar malem padahal banyak cemilan!”

 

“Bawel! Udah, ayo kita berangkat biar gak telat pulangnya! Ingat aturannya, Itadori!” omel Megumi.

 

Yuuji segera menaiki motor Ninja hitam milik Ijichi. Sebenarnya, motor tersebut adalah milik seseorang yang tidak terpakai lagi. Motor tersebut ada dua. Yang dipakai Yuuji dan Megumi, warna hitam. Yang dipakai Yuuta, warna putih.

 

Ijichi tersenyum lembut melambaikan tangan ke arah Yuuji dan Megumi yang keluar dari garasi menuju gerbang belakang kampus. Dia ... teringat pada masa lalu. Bukan miliknya, melainkan seseorang yang kini menjadi bos besar. Lalu, seseorang lagi ... yang baru saja datang menjabat sebagai dosen.

 

Di lampu merah, Yuuji mengobrol menanyakan tentang Yuuta pada Megumi di boncengan. “Yuuta tujuannya ke mana, Fushiguro? Dia kok gak bareng kita jalannya?”

 

Cafe Panda.”

 

“Tuh, kan! Aku benar! Yuuta emang mau nge-date! Alasan aja bilangnya mau ketemu temen lama!”

 

“Tapi itu yang dia katakan padaku dengan raut wajah serius. Okkotsu-kun memang tidak memberitahuku siapa teman lamanya, tapi dia bilang, teman lamanya bekerja di Cafe itu bersama sepupunya.”

 

“Jadi ..., Yuuta beneran gak nge-date? Sayang sekali~”

 

“Tidak semua pemuda hanya memikirkan soal asmara sepertimu, Itadori.”

 

“Apa salahnya! Cih!”

 

***

 

Konbawa, ada yang bisa saya-- YUUTA! SEJAK KAPAN?!”

 

Yuuta masih mengulas senyum cerah kepada seorang gadis berkuncir kuda berkacamata, yang berdiri di meja kasir. Gadis itu ... tampak masih sama seperti dulu. Ya ..., gadis ini adalah teman semasa kecil Yuuta hingga sekarang, bukan sekadar teman lama.

 

Setelah si gadis berkacamata izin pada managernya untuk berbicara dengan Yuuta, dia pun menariknya pergi keluar Cafe Panda menuju ke ayunan di bawah pohon. Mereka duduk dan berbincang di sana.

 

“Yuuta! Aku tidak percaya kau ada di Okinawa! Bukannya ... kau tinggal di Kyoto?”

 

“A-ku ... berhasil ... masuk ke ... Akademi Kaisen, Maki.”

 

Gadis bernama Maki bersorak gembira untuk sahabatnya. Dia bahkan mendekat merangkul leher Yuuta. Membuat pemuda itu tergagap panik. Jantungnya berdebar, wajah terasa panas saat Maki merangkulnya. Seumur hidup selama bersama Maki, baru kali ini Yuuta merasa salah tingkah dan canggung.

 

“Ada apa, Yuuta?” Maki menaikkan sebelah alis, heran melihat tingkah sang sahabat.

 

Yuuta menggeleng demi menghilangkan warna merah di pipi dan detak jantung yang tak normal. “Aku baik-baik saja, kok! Hanya ... uhh ... kau ... terlalu dekat ....”

 

Maki cemberut, menjaga jarak, masih duduk di ayunan yang sama dengan Yuuta. “Kau ini! Apa salahnya kalau aku terlalu dekat! Kita kan sahabat, Yuuta!”

 

“A-ku tahu! Tapi ... uhh ... itu ....” Yuuta berkeringat dingin, mata melihat sekeliling panik.

 

Maki memutar mata, lalu mendengkus. Dia duduk sambil menyilangkan kaki. Gadis itu memanglah tomboy. Tidak pernah bisa bersikap feminim seperti gadis-gadis kebanyakan. “Kau memang masih cemen, ya, Yuuta. Omong-omong, kau tidak bertanya tentang Toge?”

 

Seakan tersiram air dingin, Yuuta tercekat kaget. Dia ingat apa yang lebih penting yang menjadi tujuannya kemari. “Inumaki! Bagaimana keadaannya?! Aku tidak melihatnya--”

 

“Dia sedang sibuk cuci piring di dapur,” potong Maki sambil menunjuk ke arah cafe.

 

Yuuta mengernyit bingung. “Bukankah Inumaki bekerja sebagai Waiter?”

 

Maki berdecak. “Kami di sini dituntut harus serba bisa, Yuuta. Kami baik-baik saja selama mendapatkan gaji sesuai kesepakatan.”

 

“Apa ... tidak ada staff Steward?”

 

“Staff Steward resign minggu kemarin dan belum ada gantinya. Yang mencuci piring bukan hanya Toge saja, tapi waiter dan waitrees lain juga.”

 

Yuuta menunduk sedih, melihat kedua kaki yang berayun. “Begitu ....”

 

“Sudah, jangan terlalu kau pikirkan. Sepupumu itu baik-baik saja selama ada aku di sisinya,” ujar Maki seraya tersenyum bangga.

 

Yuuta ikut tersenyum, meski lirih. “Seandainya saja ... kedua orang tuaku mau mengizinkan Inumaki tinggal di Kyoto, pasti dia tidak akan merepotkanmu di sini.”

 

Maki menyentil telinga kiri Yuuta. “Toge gak ngerepotin, Yuuta. Aku malah senang dia tinggal bersamaku. Kau tahu? Terkadang ... aku merindukan mendiang adikku ... Mai.”

 

Yuuta menatap penuh penyesalan pada Maki. “Gomene, Maki. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih--”

 

Maki menggeleng, lalu tersenyum manis. “Kau tidak bersalah, Yuuta. Kesedihanku sudah hilang karena ada kau dan Toge di sisiku. Belum lagi, kau adalah satu-satunya pahlawanku yang menyelamatkanku dari keterpurukan. Tanpamu, aku pasti sudah menjadi gelandangan. Arigatou, Yuuta.”

 

Hati Yuuta menghangat mendengar ucapan Maki. Lama memandang, ada ilusi yang melintas. Yuuta ternganga melihat penampilan Maki berubah. Dari yang memakai kemeja pendek putih dan rok sepan sepaha hitam, menjadi memakai gaun putih panjang berkilau khas pernikahan.

 

“Menikah--”

 

“MAKI! WAKTUMU SUDAH HABIS! KEMBALI KE SINI!”

 

Maki membalas ketus pada managernya. Dia berlari masuk ke dalam cafe. Meninggalkan Yuuta termangu, duduk sendirian di ayunan di bawah pohon. Yuuta masih ternganga, pemandangan Maki yang berlari dengan gaun pengantin membuatnya semakin cantik.

 

Lagi, kata-kata yang sempat terpotong digumamnkan.

 

“Menikahlah denganku ..., Maki.”

 

Di balik pohon, sosok gadis mungil yang memakai dress satin putih selutut dan bandana putih terkikik.

 

***

 

“Wuih! Ini lebih besar dari pasar malem di kampungku!” Yuuji bersorak heboh. Mata berbinar melihat sekeliling pasar malam.

 

Megumi berdecih. “Norak.”

 

“Diam saja, Anak Kota! Sekarang, ayo kita--”

 

“Kita? Kau saja yang berkeliling. Aku lebih suka menyendiri di parkiran sambil nyemil.”

 

“Cih! Dasar Kaum Introvert!”

 

Megumi tak peduli. Dia langsung balik lagi ke parkiran setelah mengantar Yuuji sampai ke depan pintu gerbang pasar malam.

 

Sementara itu, Yuuji memulai petualangan kecilnya dari jajan Ringo Ame sampai Takoyaki. Dia pun lanjut bermain ke stand Tembak Berhadiah.

 

Yuuji sudah pede akan memenangkan semua hadiah. Namun, tak disangka dia punya saingan. Peluru karet senapannya bahkan sering berbenturan dengan peluru karet milik orang ini.

 

Sh*t! Ada masalah apa kau sebenarnya denganku, Kentang!”

 

Amarah Yuuji tersulut karena panggilan itu. Dia menoleh ke samping kanan tempat seorang gadis berdiri. Gadis berambut cokelat kemerahan sebahu menggeram ke arahnya. Yuuji berkedip, lalu tertawa melihat pakaian yang dipakai gadis tersebut ke Pasar Malam.

 

“Apa yang kau tertawakan, Kentang!”

 

“Sejak kapan ke Pasar Malem pakai dress kondangan?! Mana pakai sepatu hak, lagi! Hahaha!”

 

“Kau tidak tahu fashion, hah?! Tidak heran, sih! Selera fashion-mu saja seperti bocah. Ke Pasar Malam pakai hoodie, celana pendek, sama sendal gunung!”

 

Yuuji berseru protes. “Ini gaya lelaki maskulin abad ini, tahu! Dasar Cewek Kudet!”

 

Gadis itu emosi hingga sebuah palu dia keluarkan dari dalam tas LV hitam. “Mau kubuat hancur mulutmu, hah, Kentang?!”

 

Yuuji tak takut pada ancaman tersebut. Dia malah tertawa melihat palu sang gadis. “Aku tahu! Ini adalah fashion terbaru seorang kuli bangunan! Kau mau memalu apa di sini, Gadis Palu?! Hahaha!”

 

Tepat sebelum palu melayang ke kepala Yuuji, datang dua gadis lain yang mencekal dua lengan gadis tersebut.

 

“Nobara! Jangan buat masalah di tempat umum!” seru gadis berambut hitam sepundak yang memakai setelan jumsuit navy.

 

“Nobara-chan, ingat pesan Ibu Asrama! Kau tidak ingin kita semua mendapat masalah, bukan?” sahut gadis berkepang dua yang memakai jaket kulit putih dan celana jeans hitam.

 

Yuuji tersenyum ke arah dua gadis yang baru datang. Dia menyapa sok akrab. “Halo~ kalian berdua ingin main bersamaku?”

 

Kedua gadis tersebut mengernyit saling pandang bingung. “Kau siapa?”

 

Yuuji berdeham sok cool hendak memperkenalkan diri, tetapi si Gadis Palu menyela kejam.

 

“Memangnya kami peduli! Ayo, Fumi! Saori!”

 

“Tunggu, Nobara!”

 

Yuuji ditinggalkan begitu saja oleh para gadis. Dia tidak mood untuk mengejar hadiah lagi. Untuk itu, Yuuji berpindah ke stand Tangkap Ikan Cupang. Akan tetapi, kesialan datang padanya lagi. Yuuji bertemu lagi dengan gadis yang dipanggil Nobara.

 

“Kau lagi?! Pergi sana! Dasar Kentang Penguntit!” usir Nobara dengan jaring pancing kecil.

 

“Bukankah kau yang menguntitku hingga kemari, Gadis Palu?! Cukup di stand Tembak Berhadiah saja kau menggangguku! Tidak di sini!” Yuuji menangkis pukulan Nobara dengan ember kecil miliknya.

 

Adu bacot sambil saling pukul pakai jaring pancing dan ember kecil pun tak terhindarkan. Mereka praktis menjadi tontonan para bocil. Sampai akhirnya, kejadian memalukan membuat keduanya berhenti bertengkar.

 

Semua bocil, bahkan abang-abang penjaga stand tertawa terbahak-bahak melihat Yuuji dan Nobara jatuh ke kolam renang plastik berukuran sedang. Pakaian mereka basah kuyup. Tak jarang, ada ikan cupang yang tersangkut di rambut mereka.

 

“Bang, bantuin ngapa!” keluh Yuuji.

 

“Iya, nih! Orang jatuh malah diketawain!” seru Nobara, berusaha berdiri dan keluar dari kolam ikan.

 

Abang penjaga stand memelototi Yuuji dan Nobara. “Masih untung aku ketawain! Kalian mau ganti rugi, hah?! Lihat! Ada lima ikan cupangku yang mati kegencet badan kalian!”

 

Yuuji dan Nobara kompak terkekeh polos. Sebelum akhirnya melarikan diri dari stand Tangkap Ikan Cupang. Mereka memutuskan berhenti kala sampai di lapangan kosong penuh rerumputan dan pohon rindang. Tempat yang jauh dari pasar malam, tetapi lebih dekat menuju parkiran motor/mobil.

 

“Oi, di mana dua temanmu?” tanya Yuuji.

 

Nobara membuka ponsel, langsung menge-chat Saori. Tak lama, ada balasan. Nobara menjawab dengan suara sedikit gemetar. “Mereka lagi OTW ke sini.”

 

Yuuji menyadari hal itu. Belum lagi, dia melihat tangan Nobara yang memegang ponsel gemetar. Yuuji mendengkus, mulai melepas hoodie yang tidak terlalu basah.

 

Nobara terbelalak, melihat sekeliling yang sepi, lalu mundur beberapa langkah dari Yuuji. “Jangan macam-macam padaku, Kent--”

 

Nobara terdiam, kini memandangi seonggok hoodie warna kuning yang Yuuji sodorkan.

 

“Pakai ini. Aku tahu kau kedinginan.” Meski ketus, ada sedikit rasa khawatir dan perhatian dari suara Yuuji.

 

Nobara ingin menolak mentah-mentah, tetapi Yuuji dengan cepat menyampirkan hoodienya ke bahu gadis itu. Segera, bola mata madu bertemu dengan cokelat. Selama beberapa detik, jantung Yuuji berdetak kencang. Ada perasaan yang sulit dijelaskan menimpa hatinya. Cepat-cepat, Yuuji berlari setelah mendengar panggilan dari teman-teman Nobara.

 

Saat Yuuji melewati sebuah danau, dia mengumpat dan mengutuk entah untuk apa. Di sana, di bangku panjang pinggir danau, duduk seorang gadis yang memakai dress putih satin dan berbandana putih. Gadis itu tersenyum sambil memangku wajah di kedua telapak tangan.

 

***

 

Megumi berulang kali menguap, lalu memandangi jam tangan.

 

Makan cemilan dan minum kopi kaleng nyatanya tidak membantu menghilangkan kebosanan juga rasa kantuk. Sempat terlintas di pikiran, Megumi ingin bergabung dengan Yuuji di Pasar Malam. Namun, Megumi bukanlah pria yang menjilat ludahnya sendiri.

 

“Anjir, lah! Lama banget dia mainnya! Apa jangan-jangan ... Itadori lagi ‘ninuninu’ di Bianglala?”

 

Karena letak pasar malam yang dekat rel kereta api, Megumi pun memilih menikmati pemandangan kereta yang lalu-lalang.

 

Saat kereta terakhir jam sembilan malam tiba, Megumi melihat sosok wanita berpakaian Shiromuku, kimono serba putih khas pakaian pengantin. Wanita berambut babby blue yang disanggul itu mengenakan jepit rambut bentuk bunga sakura putih. Wanita tersebut berdiri di stasiun kecil seberang, melihat seksama kereta api kecil yang berhenti di depannya.

 

Rasa penasaran sekaligus terpesona akan kecantikan wanita asing itu hadir di hati Megumi.

 

Tatapan mata Megumi dan wanita asing yang cantik jelita bertemu. Akan tetapi, wanita itu segera melengos. Melangkah pergi dari stasiun, menaiki puluhan anak tangga dan menghilang dalam kegelapan di puncaknya.

 

“... gumi?”

 

“OI!”

 

“BULU BABI!”

 

Megumi berkedip. Dia tersadar dari hipnotis. Belum menyadari keberadaan Yuuji, pemuda itu melihat sekeliling. Dia bahkan maju lebih dekat ke arah rel kereta api demi menyipitkan mata ke puncak anak tangga di bukit belakang stasiun kecil. Sayang, dia hanya melihat kegelapan.

 

“Rahmat! Kau ini bolot atau--"

 

Megumi memotong kasar dan cemberut. “Jangan panggil aku Rahmat, Kentang!”

 

Megumi merasa aneh kala Yuuji malah merengek.

 

“Cukup dia saja yang memanggilku ‘Kentang’! Bukan kau juga, Fushiguro!”

 

“Dia siapa?”

 

Yuuji mendengkus, melipat tangan di dada. Pose ini bukan sedang kesal, melainkan dia kedinginan setelah bertelanjang dada.

 

Megumi mengerutkan hidung, menjauh sedikit dari Yuuji. Dia mencium bau aneh. “Aku benar. Kau habis ‘ninuninu’ sama gebetanmu. Apa kau pakai kondom?”

 

Pipi Yuuji merah padam. “Aku tidak ‘ninuninu’ dengan siapapun! Kukira kau anak polos, Fushiguro!”

 

Megumi mengangkat bahu. “Memangnya Anak Kota ada yang polos?”

 

Yuuji tercengang. Dia menuding. “K-Kau ... sudah tidak perjaka?!”

 

Megumi membentak marah. “Tentu saja aku masih perjaka! Aku bukan Anak Kota Nakal, Itadori! Bisa habis aku dipukuli Gojo-san kalau melakukan itu sebelum waktunya!”

 

“Waktunya ... apa?” Yuuji meneleng penasaran.

 

Megumi berdecak. Tahu betul temannya ini juga masih perjaka dari reaksinya. “Lupakan itu! Yang terpenting, kenapa kau topless?”

 

“Aku ... uhh ... kecebur kolam pancing ikan cupang,” aku Yuuji malu-malu.

 

Tawa lepas Megumi membuat Yuuji kaget sekaligus kesal. Tidak pernah Yuuji sangka Megumi bisa tertawa seperti ini.

 

“Udah, yuk, kita pulang.”

 

“Dingin, nih, Fushiguro!”

 

“Apa?”

 

“Pinjam jaketmu, lah! Dasar gak peka!”

 

“Ogah! Noh! Pakai spanduk saja!”

 

“Ya Lord! Tega banget!”

 

Megumi menyalakan mesin motor. Dia tertawa lagi kala Yuuji melakukan apa yang dia sarankan. Spanduk pemilu seukuran handuk yang terpasang di pagar pembatas parkiran Yuuji ambil dan lilitkan ke tubuh bagian atasnya. Mereka pun pulang dengan perasaan gembira.

 

Lagi, sosok gadis yang memakai dress satin putih selutut dan berbandana putih muncul acak. Di gerbang keluar parkiran, dia terkekeh memandangi punggung dua pemuda yang menaiki motor Ninja hitam.

 

***

 

“Sial!”

 

“Sial!”

 

“Kumohon jangan ketahuan ....”

 

Dari umpatan keras, kini berubah jadi doa berbisik. Okkotsu Yuuta tahu dia sudah melanggar satu aturan Akademi Kaisen. Aturan Nomor Satu; “Setiap Mahasiswa Harus Berada Di Asrama Tepat Jam Sepuluh Malam.”

 

Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Yuuta telat setengah jam dari peraturan. Semua karena ada masalah dadakan yang menimpa sepupunya, Inumaki Toge. Tenggorokannya tiba-tiba sakit lagi.

 

Sebagai info, Inumaki Toge terkena tumor di tenggorokan sudah sejak setahun lalu. Dia tidak punya biaya untuk operasi pengangkatan. Untuk itulah, Yuuta ingin menjadi dokter agar bisa mengoperasi sepupunya.

 

Maki, sebagai sahabat dari kecil ikut membantu mengumpulkan uang operasi meski dia juga susah. Maki membantu karena dia teringat pada saudari kembarnya—Mai—yang meninggal karena gagal jantung.

 

Lampu lorong asrama pria yang mati, mendadak menyala satu persatu hingga berakhir di depan pintu asrama nomor 257. Asrama paling ujung di Akademi Kaisen.

 

Yuuta membeku, mati kutu tak berkutik. Dia tak bisa lagi berlari dan memberi alasan logis. Di depan sana, tepat di depan pintu kamar asramanya, berdiri tegak Kepala Sekolah Akademi Kaisen, Getou Suguru.

 

“Okkotsu Yuuta, Mahasiswa Tingkat Awal Jurusan Kedokteran, kau tahu sekarang jam berapa?”

 

Suara berat yang menggema itu membuat sekujur tubuh Yuuta menggigil. Serangan panik menjangkiti.

 

“Jawab pertanyaan saya, Okkotsu Yuuta!” bentak Suguru.

 

Yuuta mencicit. “J-j-jam ... setengah--”

 

Jantung Yuuta hampir copot kala mendengar panggilan ceria seseorang yang menepuk punggungnya keras dari belakang.

 

“Yuuta-kun! Di mana kue stroberiku~”

 

Yuuta berkedip. “Kue ... stroberi?”

 

Gojo Satoru mengedipkan sebelah mata untuk kode. “Pesananku, Yuuta-kun.”

 

Yuuta akhirnya tahu untuk apa dosen musiknya di sini. Tak lain untuk membantunya keluar dari masalah. Dia tentu saja mau ikut bermain. “Pe-sananmu habis, Gojo Sensei. Sumimasen.”

 

Satoru cemberut bersedih. Sedang Suguru menggeram murka.

 

“Apa maksud ini semua, Tuan Gojo?” tanyanya.

 

Satoru menatap Suguru dari balik kacamata hitam bulat. “Yuuta-kun tidak bersalah. Saya menyuruhnya membeli kue stroberi. Yah ... Anda tahu sendiri cemilan malam saya Sugu--”

 

“Jangan panggil nama belakang saya, Tuan Gojo. Jika Anda ingin omong kosong cemilan itu, Anda bisa membelinya sendiri. Anda tidak perlu membebani seorang mahasiswa yang punya jadwal padat.”

 

“Tuan Getou, saya pun juga punya jadwal padat. Saya menyuruh Yuuta-kun di sini karena dia sedang libur kuliah. Saya akui, toko kue yang saya inginkan jauh dari kampus ini. Butuh waktu--”

 

Tetap saja.” Suguru menatap tajam ke Yuuta. “Okkotsu Yuuta harus diberi sanksi. Bagaimanapun alasannya, dia tetap melanggar aturan Akademi ini.”

 

Yuuta tak habis pikir. Dia kini yakin, ayah angkat Megumi tidak waras. Satoru malah tertawa di situasi tegang.

 

Suguru cukup takut melihat tatapan mata itu. Kacamata bulat hitam yang sedikit turun memperlihatkan dua bola mata aquamarine bercahaya terang. Jelas, Suguru tahu Satoru sedang marah.

 

“Apa lagi yang harus saya jelaskan pada Anda agar Anda percaya, Tuan Getou? Anda ... seolah punya dendam kesumat dengan siswa saya. Jelas-jelas yang salah di sini adalah saya. Mengapa Anda bersikeras ingin menghukum Yuuta-kun daripada saya?”

 

Diamnya Suguru adalah jawaban.

 

“Yuuta-kun, masuk ke kamarmu sekarang,” suruh Satoru.

 

“T-tapi ....” Yuuta khawatir dan cemas, melihat antara wajah Dosen dan Kepala Sekolahnya.

 

Senyuman lembut dan usakan rambut adalah jawaban Satoru. Yuuta membungkuk di hadapan Satoru dan Suguru tanpa berkata. Lalu, dia berjalan masuk ke dalam kamar asrama. Pintu dikunci rapat.

 

Hening ini tidak bagus sama sekali. Suguru memutuskan melangkah lebih dekat hingga saling berhadapan dengan Satoru. Tatapan dingin masih ditujukan pada sang dosen musik.

 

“Hukuman Anda adalah tidak boleh mengajar Minggu depan. Jika setelah ini Anda membuat masalah lagi, dengan sangat menyesal, saya akan memecat Anda ..., Tuan Gojo. Konbawa.”

 

Satoru tersenyum kecil melihat punggung Suguru kian menjauh. Saat itulah, gadis yang hobi muncul secara acak menarik tangannya. Mengajak Satoru berlari dan mereka pun berhenti di Gazebo.

 

“Amanai! Jangan tiba-tiba menyeretku berlari!” protes Satoru sambil terengah-engah.

 

Gadis itu, sang kekasih Satoru tertawa terbahak. “Dasar Jompo! Baru kuajak berlari saja sudah capek! Bagaimana kalau kuajak menikah!”

 

Mata aquamarine menggelap dipenuhi bara api keinginan. Dia mendekat, memojokkan Amanai ke salah satu pilar gazebo.

 

“Kau ingin menikah denganku, Riko Amanai?”

 

Amanai berjinjit demi mengikis jarak hingga ujung hidungnya menyentuh ujung hidung Satoru. Mata sebiru lautan terdalam menatap intens. “Aku sudah lama ingin menikah denganmu. Tapi ....”

 

Satoru mendekat, deru napasnya menerpa bibir pink Amanai. “Tapi ...?”

 

Amanai tersenyum. Dia menutup kedua mata Satoru dengan telapak tangan. Ketika Satoru membuka mata, Amanai menghilang tanpa jejak. Lalu, dia mendengar lagu akapela yang nostalgia. Lagu yang bukan berbau agamais, tetapi berbau romantis.

 

Ada pesan tersembunyi yang kekasihnya sampaikan lewat lagu tersebut. Satoru menyeringai puas merasa gembira.

 

Tiga Gerbang Cinta Terbuka.

 

Tiga Mahasiswa Akademi Kaisen Sedang Jatuh Cinta.

 

 

 

 

 

 

•Tbc•

Chapter 5: Keberanian

Summary:

Yuuji menggoda Nobara.

Megumi masih penasaran pada apa itu Cinta.

Yuuta takut jatuh cinta pada Maki.

Chapter Text

Tiga mahasiswa masih berdiri tegak di hadapan Kepala Sekolah atau Rektor Akademi Kaisen. Masih menunggu jawaban dari pria bernama lengkap Geto Suguru. Mereka menatap, terlalu lekat, tetapi tak pernah bisa mencuri secuil perhatian Suguru. Mata pria itu terfokus sepenuhnya pada layar komputer.

 

Pemuda yang semalam menjadi sumber masalah memilih menyikut teman bulu babinya agar membantu. Sayang, dia salah orang. Teman bulu babinya alias Megumi malah ikut menyikut pinggang pemuda berambut pink undercut.

 

“Aduh! Ngapa sih nyikut-nyikut!”

 

Seruan keras Yuuji nyatanya ampuh menyita perhatian Suguru. Dengkusan sang Kepala Sekolah membuat tegang Yuuji, Megumi, dan Yuuta. Suguru mengangkat mata, memandang tajam ketiganya.

 

“Kenapa kalian masih di sini? Ini masih jam belajar.”

 

Yuuji tanpa takut mencibir, “Tentu saja menunggu jawaban darimu, Sensei. Lama banget, sih, nyadarnya.”

 

Megumi memberi delikan tak setuju atas cibiran Yuuji.

 

Yuuta, meski takut dan khawatir masalah semakin meruncing karena Yuuji, tetapi dia memberanikan diri menatap lekat mata Suguru. “Pak, tolong bebaskan Gojo Sensei dari sanksi itu. Semalam adalah murni kesalahan saya. Gojo Sensei tidak ada hubungannya dengan ini.”

 

Suguru mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangan saling mengepal bertumpu di atas meja. Iris violet gelap menyempit. “Jadi, sekarang kau mau mengakui kesalahanmu, Okkotsu Yuuta? Sungguh mahasiswa teladan. Apakah kau siap menerima sanksi?”

 

Tubuh Yuuta membungkuk kalah dan pasrah. “Aku--”

 

Megumi memotong dengan berani. Mengejutkan Yuuji dan Yuuta. “Selama alasannya logis dan dapat dibuktikan kebenarannya, kenapa harus diberikan sanksi? Tidak adakah keringanan untuk kami, para mahasiswa Akademi Kaisen? Libur satu hari bukanlah jatah libur paling masuk akal untuk seorang mahasiswa. Apakah kami pekerja swasta? Apakah kami dibayar?”

 

Suguru sempat ternganga sebentar mendengar barisan keluhan pemuda tersebut. Ditambah, ada getaran menakutkan yang dipancarkan pemuda ini. Anehnya, Suguru merasa familiar dengan wajah Megumi.

 

Sambil mendengkus dan menopang dahi dengan jemari tangan, Suguru menjawab, “Baiklah. Kau dibebaskan dari hukuman. Sekarang, kembali ke kelas kalian masing-masing.”

 

“Tapi bagaimana dengan Gojo--”

 

Yuuji merangkul Yuuta, memaksanya membungkuk hormat dan pergi dari Ruang Kepala Sekolah. Megumi menyusul kemudian. Setelah cukup jauh dari Ruang Kepala Sekolah, Yuuji menjitak kepala mahasiswa jurusan Kedokteran tersebut.

 

“Ittai! Mengapa kau menjitakku, Yuuji!”

 

“Karena kau bodoh! Sudah tahu Geto Sensei tidak suka dengan Gojo Sensei! Kau malah ingin membantunya bebas dari sanksi!”

 

“Tapi kan Gojo Sensei tidak bersalah! Aku ... tidak ingin mahasiswa lain kecewa karena Selasa nanti kelas musik libur ....”

 

“Pasti Gojo Sensei sudah mempersiapkan segalanya, Yuuta. Mereka pasti mengerti.”

 

Megumi ikut menyahut. “Kita juga harus tutup mulut. Jangan sampai mereka tahu Gojo Sensei kena sanksi mengajar karena Yuuta. Terutama kau, Yuuji.”

 

Yuuji memprotes keras. “Aku bisa tutup mulut, Megumi! Enak saja!”

 

“Terserah. Awas saja Selasa nanti kau lupa,” ancamnya dengan nada datar.

 

“Enggak, lah! Ya udah, aku mau ke kelas! Jaa~” Yuuji berbelok ke lorong sebelah kiri dan masuk ke dalam kelas Tata Boga, pintu kelima.

 

Megumi dan Yuuta lanjut naik lift menuju ruang kelas mereka di lantai 4 dan 6.

 

***

 

“Jangan lesu begitu, Yuuta. Makan makananmu.”

 

“Iya, Yuuta. Jangan sampai kau sakit. Kan malu! Masa mahasiswa Kedokteran sakit, sih!”

 

“Ck! Yuuji, dia masih manusia! Tentu saja bisa sakit terlepas dari apa jurusannya!”

 

Yuuji masa bodoh. Dia sibuk mengunyah yakisouba. Megumi mendengkus, lanjut memakan ramen miliknya. Sampai Yuuta akhirnya berbicara pelan.

 

“Aku merasa bersalah pada Gojo Sensei. Aku ... ingin meminta maaf padanya. Tapi ... apa dia mau memaafkanku, Megumi?” Yuuta memandang nanar onigiri salmon dan susu kotak cokelat di hadapannya.

 

Di tengah menyeruput mie, Megumi membalas. “Tenang saja, Yuuta. Gojo Sensei itu pemaaf, kok. Kau pasti dimaafkan. Lagian, itu juga kemauannya yang ikut campur dalam urusanmu dan Pak Suguru semalam.”

 

Yuuta akhirnya tersenyum, lega sedikit. “Arigatou, Megumi.” Dia menyantap onigiri salmon dan meminum susu kotak cokelat yang dibeli di kantin Akademi Kaisen.

 

“Omong-omong, Yuuta? Apa kau tahu apa obat untuk penderita penyakit jantung?” tanya Yuuji tiba-tiba. Ada rasa cemas di dalam suaranya.

 

Yuuta menaikkan sebelah alis memandang aneh Yuuji yang duduk di samping kirinya. “Tahu. Memang obatnya untuk siapa?”

 

Sambil memegangi dada kiri, Yuuji berkata, “Untukku.”

 

Megumi menyemburkan kuah ramen yang sedang diseruput ke kursi seberang. Tepat di wajah mahasiswa lain yang sedang makan. Dia panik, meraih tisu di atas meja, mulai mengelap wajah sang korban.

 

Go-menasai!”

 

Untung saja pemuda di depannya orang yang sabar dan baik hati hingga memaafkan Megumi. Pemuda itu memilih pergi ke toilet untuk mencuci muka. Megumi menawarkan diri mengganti makanan yang terkena semburan, lalu diterima dengan baik.

 

Yuuta tergagap panik, masih syok mendengar pernyataan Yuuji.

 

Megumi langsung sigap berdiri di belakang Yuuji. Dia memutar kursi menatapnya sendu.

“Yuuji, apakah itu benar?”

 

Yuuji mengangguk polos. Dia menggaruk kepala salah tingkah melihat banyaknya perhatian dari Megumi dan Yuuta. “Apakah ... seburuk itu?”

 

“Tentu saja itu buruk! Mengapa kau tidak bilang dari awal pada kami berdua tentang penyakitmu! Sudah berapa lama?! Stadium berapa?!” Yuuta mencecarnya membabi-buta. Suara pemuda itu cukup keras untuk didengar dua meja panjang kantin berisi kurang-lebih dua puluh mahasiswa.

 

Pipi Yuuji bersemu merah, dia melihat sekeliling dengan malu berbisik. “Yuuta, pelankan suaramu. Aku ... tidak ingin semua orang mendengar dan menatap kita.”

 

Yuuta berdeham, memberi tatapan tajam pada semua orang yang menatap mereka. Setelah semua orang mengabaikan mereka, dia kembali diam menunggu jawaban dari Yuuji.

 

“Sebenarnya ..., penyakitku ada sejak semalam. Aku tidak tahu apa penyebabnya,” jelas Yuuji lirih.

 

“Kau harus memeriksanya ke UKS. Nanti jika dokter di sana menyuruhmu untuk pergi ke rumah sakit terdekat, langsung pergi. Penyakit jantung itu penyakit serius, Yuuji,” ujar Yuuta tegas.

 

Megumi merasa penasaran. “Kau ada keturunan penyakit jantung? Ayah atau ibumu? Saudaramu?”

 

Yuuji menggeleng kuat. “Semua anggota keluargaku sehat, kok, Megumi. Ada apa?”

 

“Biasanya penyakit jantung itu faktor keturunan, macam diabetes. Kok, aneh saja gitu kau bisa kena penyakit jantung. Setahuku, gaya hidupmu sehat-sehat saja, tuh,” tutur Megumi.

 

Yuuta baru saja memikirkan. “Benar juga. Ini sedikit aneh. Nah, bisa kau ceritakan pada kami seperti apa gejala penyakitmu, Yuuji?”

 

Pandangan Yuuji menjauh, menggali kembali ingatan malam itu. Dia memegangi dada kiri. “Malam itu, jantungku berdetak sangat cepat. Padahal aku sedang melarikan diri dari seorang gadis unik yang menjadi penyebabnya. Kukira, dengan berlari, jantungku akan normal lagi. Tapi ternyata tidak.”

 

Cotto matte! Jadi, jantungmu berdetak cepat karena seorang gadis?” tanya Megumi.

 

Anggukan adalah jawaban Yuuji.

 

Dengan itu, pemuda bulu babi menggeplak kepala belakang Yuuji, kemudian kembali duduk di kursinya. Wajah ditekuk, bibir cemberut.

 

“Untuk apa itu, Megumi! Temanmu sedang sakit malah digeplak! Jahat!”

 

Yuuta mengelus dada bersyukur karena Yuuji tidak benar-benar terkena penyakit jantung. Akan tetapi, dia jadi terkenang pada cerita Yuuji. Jantung berdetak cepat juga dia alami saat melihat Maki. Dia memegangi dada kiri. “Sepertinya ..., jantungku juga sama sepertimu, Yuuji.”

 

Yuuji menangis heboh. “Uwaa! Tidak! Maaf, Yuuta! Aku tidak bermaksud menularimu!”

 

“Ini aneh. Penyakit jantung seharusnya tidak menular, Yuuji,” ujar Yuuta, sedikit takut akan kesehatannya sendiri.

 

Tiba-tiba, Megumi berbicara seolah membacakan sebuah wacana. “Jantung berdetak cepat adalah tanda seseorang sedang jatuh cinta.”

 

Yuuji berkedip, masih loading.

 

Yuuta terkesiap, menggelengkan kepala. “Itu mustahil! Maki adalah sahabatku! Masa aku jatuh cinta padanya, sih!”

 

No! Jennifer Lawrence seorang yang kucintai! Gadis Palu menyebalkan seperti Nobara bukan tipeku!” teriak Yuuji.

 

Perempatan imaginer tercipta di dahi Megumi. Dia berseru menyuruh kedua temannya tenang. Dia pun memilih pergi duluan meninggalkan kantin. Di tengah perjalanan menuju perpustakaan, Megumi merenungkan pernyataannya sendiri. Sejujurnya, dia juga merasakan apa yang dirasakan oleh Yuuji dan Yuuta.

 

“Tidak mungkin. Itu pasti ilusi.”

 

Pada akhirnya, rasa penasaran membuat Megumi mengajak Yuuta dan Yuuji untuk menemui sang ayah angkat. Megumi juga ingin tahu apa artinya Cinta. Sayang, dosen musik tidak ada di mana pun.

 

“Aku heran, mengapa jadi kau yang ngotot ingin tahu apa artinya Cinta? Kan kami berdua yang merasakan ‘Jantung Berdetak Cepat’?” pikir Yuuji.

 

Megumi mendesis marah ke Yuuji. “Urusei! Biar aku sendiri yang mencarinya!”

 

“Megumi, tunggu! Yah ..., dia ngambek.”

 

Yuuta menepuk pundak Yuuji memberi senyuman lembut. “Ya sudah, aku juga ada praktek bedah hari ini. Duluan, ya, Yuuji.”

 

“Oke!” Yuuji melambai pada Yuuta yang menghilang di ujung lorong dekat taman belakang kampus.

 

Karena tidak ada kelas lagi, Yuuji memutuskan untuk jogging di siang hari. Sementara itu dengan Megumi, dia malah memikirkan wanita aneh yang berdiri di stasiun kecil dekat pasar malam. Alhasil, setelah berhasil menemukan arti kata Cinta di Internet, dia lanjut mencari tahu tentang wanita tersebut.

 

***

 

Yuuji tak menyangka gadis menyebalkan yang membuat jantungnya berdetak cepat ada di depannya. Agak jauh, di tikungan dekat danau belakang area Akademi Kaisen. Mengamati dari kejauhan, gadis itu tampak sedang berlari sendirian di sini.

 

Ada yang menarik hingga menggugah Yuuji menyeringai. Saat mereka berpapasan, Yuuji sengaja menarik tudung hoodie hitam yang dia kenakan. Menyembunyikan wajahnya dari gadis yang dipanggil Nobara.

 

Kejanggalan. Saat jogging hari ini, Nobara merasa merinding. Seolah ada seseorang yang mengamati dari kejauhan.

 

Belum lagi, entah mengapa tracking yang dia lalui sangat sepi tidak seramai biasa. Saat dia berbelok ingin kembali ke tracking asramanya, Nobara bertabrakan dengan seseorang berhoodie hitam. Nobara mengutuk, pipi berdebu merah kala tak sengaja jatuh di atas tubuh orang itu.

 

Ketika dia hendak berdiri, pinggangnya ditahan dicengkeram erat oleh orang di bawahnya. Terang saja, Nobara menjerit ketakutan meronta-ronta.

 

Sungguh lucu adegan ini bagi Yuuji. Belum lagi, ada sesuatu yang menggerogoti perutnya sekarang selain jantung berdetak cepat. Yuuji pikir, penampilan Nobara tak kalah seksi dan menarik dari Jennifer Lawrence.

 

Celana pendek putih dan bra sport putih, serta jersey putih. Mata Yuuji tertuju pada jersey putih yang Nobara pakai. Di dada kiri, ada simbol Akademi Kaisen, tetapi berwarna merah. Yuuji tahu kalau simbol tersebut untuk Mahasiswi, yang berarti, Nobara bersekolah di Akademi Kaisen Khusus Perempuan. Dia sudah melihat petanya di perpustakaan, sekolah tersebut tak jauh dari danau.

 

“Tolong! Lepaskan aku!”

 

Ah, sial! Jika dia terus menggeliat di selangkanganku, aku akan ... ugh!

 

“Tolong!”

 

Yuuji memutuskan membungkam mulut Nobara. Akhirnya, mata mereka saling bertemu dalam diam dan terengah-engah. Yuuji menyengir polos.

 

“Hai~ Nobara~”

 

Detik itu juga, Nobara menonjok perut Yuuji dengan sangat keras hingga terbatuk. Cengkeraman di pinggang Nobara pun terlepas. Gadis itu berdiri tegak, sikap kuda-kuda siap menyerang.

 

“Meski aku tidak bawa palu hari ini, tapi aku akan melawanmu, Penguntit Mesum!”

 

Yuuji berdiri tertatih memegangi perut. “Mengapa sekarang julukanku jadi tambah buruk, Nobara-chan?”

 

“Menjijikan! Jangan panggil aku begitu! Ayo mengaku! Sejak kapan kau menguntitku!”

 

Yuuji cemberut menatap calon gebetan. “Aku tidak menguntitmu! Aku sedang jogging! Kau kali yang menguntitku!”

 

“Cih! Memangnya kau tampan dan kaya hingga aku harus menguntitmu, Kentang?!”

 

Nobara menggeram emosi kala Yuuji tersenyum lembut.

 

“Akhirnya aku dipanggil ‘Kentang’ lagi.”

 

“Apa maumu! Katakan sebelum aku berteriak memanggil keamanan!”

 

“Kau lupa? Ini tentang hoodie-ku.”

 

Pertahanan Nobara kendur. Gadis itu mengernyit berpikir. “Hoodie?”

 

Yuuji dengan licik melesat memeluknya. “Yang seperti ini! Kau merasakannya? Kau mengingatnya sekarang, Nobara-chan?”

 

“Ah! Bajingan Penipu! Lepaskan aku!”

 

“Tidak sebelum kau bilang mengingatnya.”

 

“Oke! Aku ingat hoodie bodohmu, Kentang! Tapi aku tidak membawanya!”

 

Pelukan sengaja Yuuji lepas. Namun, Yuuji kembali mencekal lengan kanan Nobara yang hendak melarikan diri. Seringai jahil tersungging di bibir.

 

“Kalau begitu, aku akan mengambilnya sendiri darimu.”

 

Nobara menggeram, “Kayak kau tahu di mana aku tinggal!”

 

Yuuji terkekeh geli. “Itu mudah, Nobara-chan~ Kau tinggal menjawab satu pertanyaannya~”

 

“Hueek! Nada suaramu membuatku muntah!”

 

“Jawab saja~”

 

“Tidak!”

 

“Kalau begitu, aku tidak akan melepaskan tanganmu~”

 

“Bajing-- Oke!”

 

“Pertanyaannya adalah ... siapa nama lengkapmu?”

 

Ada keheningan yang cukup lama menerjang. Sampai kemudian, gadis berambut cokelat kemerahan seleher menjawab dengan desisan.

 

“Kugisaki Nobara.”

 

Bola mata Yuuji melebar disertai terbitnya senyuman puas. Cengkeraman di tangan Nobara dilepaskan. Dia mencondongka tubuh hingga bibir berbisik di telinga Nobara.

 

Matanee ..., Kugisaki Nobara. Aku akan mengambil hoodie-ku dan ... hatimu.”

 

Nobara mematung di tempat. Dia syok dan merasakan hal itu. Langkah kaki Yuuji yang berlari entah mengapa seirama dengan detak jantung Nobara. Dia terus memegangi dada kiri. Ada sesuatu yang terjadi pada jantungnya.

 

Cekikikan, suara tersebut membuyarkan Gojo Satoru dari kegiatan gabutnya. Memandangi sebuah kuil yang tertutup rapat. Mau tak mau, Satoru menoleh ke belakang tempatnya berdiri. Dari jarak semeter, dia melihat murid favoritnya sedang berlari kecil sambil cekikikan.

 

Satoru melambai memanggil. “Yuuji-kun!”

 

“Gojo Sensei!” Yuuji cepat-cepat berlari menghampiri sang Sensei Favorit. Mata berbinar cerah.

 

“Eh?”

 

Sensei! Tak tahukah kau, sedari tadi kami mencarimu?”

 

“Kami?”

 

“Ya! Aku, Yuuta, dan Megumi mencarimu di sekeliling kampus, tetapi tidak ada! Eh ..., kau malah ada di sini! Aku tidak pernah menyangkanya!”

 

“Ada perlu apa kalian bertiga mencariku?”

 

Mulut Yuuji menganga, kagum melihat kuil kecil yang begitu mewah. “Woah! Aku baru tahu di kampus ini ada kuilnya juga! Omong-omong, kami mencarimu untuk menanyakan sesuatu, Sensei.”

 

Satoru tertarik. “Apa itu?”

 

Yuuji melihat sekeliling wawas. Dia menggaruk tengkuk, kurang pede bertanya. Diam selama beberapa detik membuat Satoru terkekeh gemas. Dia pun merangkul pundak Yuuji.

 

“Ayo, jangan malu-malu, Yuuji-kun~”

 

“Uggh ... tapi ... janji, ya? Sensei jangan membocorkan ini pada murid-murid lain. Bisa ngamuk nanti Megumi. Lagian, yang paling ngotot ingin tahu jawabannya juga Megumi. Aku sama Yuuta sih santai.”

 

“Ayo katakan, Yuuji-kun~ Aku jadi tambah penasaran!”

 

Pelan, tetapi dapat ditangkap oleh indera pendengaran Satoru. Yuuji bertanya, “Sensei, apa itu Cinta?”

 

Kata tersebut membuat Satoru tertawa keras hingga berkaca-kaca. Yuuji semakin bingung melihat tingkat dosennya. Usai tertawa, Satoru memandang teduh Yuuji. Senyum tipis nan hangat tertuju pada kuil kecil mewah di depan mereka.

 

“Cinta itu sesuatu yang dapat dirasakan, tapi tidak bisa diungkapkan. Semua tergantung jati diri pribadi masing-masing yang merasakannya. Cinta ... adalah perasaan suka lebih dari kita menyukai apa yang ada di dunia ini.”

 

Yuuji oleng, otaknya yang terbatas tak memahami. “Sial! Bisakah kau memberi satu contoh agar aku mengerti, Sensei! Aku ... idiot!”

 

Satoru terkikik mengusak sayang rambut Yuuji. “Baik! Baik! Dengar, Sensei ingin bertanya padamu. Apa saat ini yang sangat kau kagumi?”

 

“Seperti ... artis?”

 

“Boleh.”

 

“Umm ... aku suka Jennifer Lawrence.”

 

Satoru mengangguk. “Jadi ..., adakah seseorang yang membuatmu kagum selain pada Jennifer Lawrence? Yang membuatmu lupa pada Jennifer Lawrence?”

 

Yuuji mengangguk malu-malu. “Ada. Dia ... gadis itu ... Kugisaki Nobara. Dia membuat jantungku berdetak cepat dan ... ada hal aneh menggerogoti perutku. Aku juga akhir-akhir ini lupa menonton film Jennifer Lawrence setelah mengenal Nobara. Aku ... selalu dibuat penasaran padanya.”

 

Bibir sewarna salmon menyeringai. “Itulah Cinta, Yuuji-kun. Kau sedang jatuh cinta pada Kugisaki Nobara.”

 

Seolah pendapat pencerahan dari Boddhi Satva, Yuuji menganga lebar. Dia menangis sesegukan memeluk dosennya.

 

Arigatou sudah membantuku mengetahui jawabannya, Gojo Sensei! Aku pasti akan mengejar cinta Nobara!”

 

“Oh, Kami! Kau pemuda bersemangat, bukan? Aku suka itu! Aku akan membantumu menjadi Mak Comblang!”

 

Hontou ni?! Arigatou, Sensei!”

 

“Doumo!”

 

Mereka saling berpelukan dan melompat-lompat kecil menyalurkan kebahagiaan. Itu berhenti saat Yuuji mengingat sesuatu.

 

Sensei! Akademi Kaisen yang khusus mahasiswi, adakah cara untukku masuk ke sana?”

 

Satoru mengerutkan kening. Kacamata bulat hitam yang longgar dinaikkan ke hidung. “Maksudmu ... Akademi Kaisen 2? Tempat para mahasiswi belajar?”

 

“Ya, itu!”

 

Satoru akhirnya mengetahui sesuatu. Dia menyeringai. “Kau sungguh cari mati, ya, Yuuji-kun. Dengar, Kugisaki Nobara, gadis yang kau cintai ini mahasiswi Akademi Kaisen 2. Akses menuju ke sana hanya ada satu jalan kalau dari belakang. Seratus meter dari danau kampus ini, itu pintu masuknya. Aku tidak menjamin kau tidak akan ketahuan masuk. Yang boleh masuk ke sana hanya perempuan.”

 

“Sial! Terus gimana, dong, Sensei?!”

 

“Tapi tenang, Yuuji-kun! Akulah Yang Terkuat di Akademi Kaisen! Aku tentu punya cara ampuh!”

 

Yuuji diam-diam menggerutu. “Tapi nyatanya Pak Suguru-lah Yang Terkuat di Akademi Kaisen.”

 

“Yuuji-kun meragukanku! Jahat!”

 

“Ti-tidak, kok, Sensei! Sensei memang Yang Terkuat di Akademi Kaisen! Nah, gimana?”

 

Satoru bertelak pinggang besar kepala setelah dipuji murid favorit. “Aku akan mengurus pertemuanmu dan Kugisaki Nobara. Daijoubu, aku punya dua orang kenalan lama di sana, Yuuji-kun. Aku akan mengabarimu tentang harinya. Jadi, kau bisa bersiap tampil dengan memakai pakaian terbaikmu!”

 

Youkatta! Arigatou, Sensei!”

 

Setelah perbincangan yang menguras emosi dan tawa berakhir, Satoru ditinggal sendiri lagi. Yuuji sudah pergi ke kelas. Kali ini, Satoru mencoba naik anak tangga menuju pintu masuk kuil. Dia penasaran apakah pintu kuil terkunci atau tidak.

 

“Apa yang Anda lakukan di sini, Pak Gojo?”

 

Satoru menoleh ke belakang seraya tersenyum ceria. “Pak Geto! Konniciwa!”

 

Suguru menggeram marah. “Turun dari sana sekarang! Jangan Anda kotori tangga suci itu, Pak Gojo!”

 

Satoru mendengkus. Dia menuruti perintah mantan sahabatnya. Kini, mereka saling berhadap-hadapan.

 

“Anda tahu? Tempat ini adalah tempat umum yang memperbolehkan--”

 

Pergi. Kuil ini adalah kuil pribadi milik saya. Ini bukan tempat umum.”

 

Bukannya pergi, Satoru malah terkikik geli. Lalu, dia membuka kacamata hitamnya. Tatapan mata berwarna aquamarine yang lebih gelap dan intens membuat Suguru terpaku.

 

“Aku sungguh sangat tahu apa isi kuil ini, Suguru. Karena ... aku pernah ... hampir menginjakkan kaki di dalamnya. Aku hampir saja bisa berlutut dan memeluk batu nisan dari kekasihku tercinta. Sayang, ayah tirimu yang gila harta dan jabatan mengusirku.”

 

Tangan kanan Suguru terkepal, siap memukul Satoru kapan saja. Satoru melihatnya dan tersenyum kecil.

 

“Apa, Suguru? Ingin memukulku?”

 

Satoru sedikit kecewa karena Suguru meluruhkan emosinya. Namun, tatapan tajam masih belum hilang. “Dia ... Riko Amanai bukanlah kekasihmu, Gojo. Kau tidak pantas untuknya, untuk adikku!”

 

“Tapi itulah kenyataan pahit yang harus kau terima, Suguru. Bagaimana pun keadaannya sekarang atau dulu, Riko tetaplah kekasihku.”

 

“KAU--”

 

“Kau tahu, Suguru? Sebanyak apapun kau membunuh cinta, itu tidak membuat cinta sepenuhnya mati.”

 

Pembunuh sepertimu membual soal cinta? Hah!”

 

“Suguru, gerbang cinta sudah terbuka. Aku yakin, tidak lama lagi gerbang kuilmu juga terbuka untukku. Akan kubuat kau percaya lagi pada dua hal. Pada Cinta dan Teman.”

 

 

 

 

 

•Tbc•

 

Chapter 6: Mak Comblang Yuuji x Nobara

Summary:

Gojo Satoru bukan Dosen Musik biasa.

Dia juga bisa jadi Mak Comblang.

Karena...

Di Seluruh Dunia Dialah Yang Serba Bisa~

 

N.B: Nanami dan Utahime Muncul 😍

Chapter Text

“Na-na-min~”

 

Sh*t!

 

“Nanamin ....”

 

Nanami Kento, Staff Tata Usaha Akademi Kaisen 2, tidak menduganya. Hari ini adalah hari tersial karena kehadiran Gojo Satoru. Dia kira, itu semua ilusi sampai pria albino memanggilnya dan merengek.

 

“Bisakah kau diam, Gojo-san?!” teriak Nanami, lanjut mengetik laporan.

 

“Nanamin, apa kau tidak merindukan Senpai Kerenmu?” tanya Satoru memberi mata anjing.

 

“Tidak,” jawab Nanami kasar.

 

“Omong-omong, di mana pacarmu yang tukang bully itu?”

 

Pertanyaan Satoru membuat Nanami lengah. Dia berhenti mengetik, lalu mendongak menatap Satoru. “Pacarku? Maaf, aku tidak punya--”

 

“Jangan pura-pura bodoh, Nanamin! Rahasiamu sudah tersebar luas hingga padaku! Aku tahu kau dan Utahime itu pacaran! Sudah lima tahun, tapi gak kawin-kawin!”

 

Takut didengar mengingat suara Satoru yang cetar bin cempreng, Nanami pun membungkamnya. Mata melotot mengancam. “Diam atau aku akan menggorokmu!”

 

Satoru mengangguk dan menggerutu. “Kau ternyata masih sama seperti dulu. Tukang ancam. Jangan bilang padaku kau masih membawa-bawa pisau daging berkarat itu ke mana-mana.”

 

“Mau kutunjukkan ‘Pisau Daging Berkarat’ milikku, Gojo Satoru?”

 

Ancaman tak membuat Satoru takut. Dia justru tertawa. “Aku tidak menyangka orang monoton dan tukang ancam sepertimu bisa mendapatkan Utahime. Tapi ... tetap saja ... akulah Yang Terjones.”

 

Nanami biasanya akan tertawa, sama seperti dulu saat mereka menjadi mahasiswa. Lelucon Satoru sekarang nyatanya membuat dia ingin menangis.

 

“Jangan menangisiku, Nanamin! Ini adalah hari bahagia!”

 

“Tapi ..., Gojo-san. Aku ... tidak mengerti apa masalahmu dengan Geto-san hingga dia sangat membencimu. Mengapa dia melarangmu untuk datang ke pemakaman kekasihmu sendiri ....”

 

“Sudah! Sudah! Ini adalah masalahku dan Suguru! Baik kau, Utahime, Haibara, ataupun Shoko dilarang mengetahuinya! Aku Yang Terkuat meski Yang Terjones! Aku bisa mengatasi masalah ini!”

 

Tiba-tiba, Nanami tersentil. Dia kini tahu siapa yang sudah membocorkan rahasia tentang dia dan Utahime berpacaran. “Haibara dan mulut besarnya.”

 

Kohai Polosku tidak bersalah, Nanamin! Aku sendiri yang memaksanya jujur. Lagipula, kabar baik kenapa harus dirahasiakan? Kenapa? Takut Suguru tahu dan memecat kalian berdua?”

 

Nanami memijat pelipis frustasi. “Ya.”

 

“Ya ampun~”

 

“Ini bukan masalah jabatan dan uang, Gojo-san. Biarpun aku dan Utahime dipecat dari kampus ini, kami masih bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Kami juga sudah punya toko roti jika kami memilih untuk berdagang.”

 

“Terus?”

 

Nanami menatap lurus ke mata Satoru meski terhalang kacamata. “Kami di sini untuk Geto-san. Utahime bilang, harus ada yang mengawasi Geto-san agar dia tidak tersesat ke dalam kegelapan.

 

Satoru mencibir. “Dia sudah tersesat ke dalam kegelapan, Nanamin. Kalian terlambat. Tapi! Aku sudah datang, bukan? Kalian tidak perlu khawatir lagi!”

 

Nanami mengernyit heran. “Kau orang luar, Gojo-san.”

 

Satoru merengek berguling di lantai ruang TU. Beruntung ruangan sepi dari karyawan lain dan mahasiswi yang biasanya ingin membayar uang administrasi tertentu padanya.

 

“Hentikan itu! Aku tidak mau menanggung malu karena sikap kekanakanmu, Gojo-san!”

 

Satoru duduk di lantai, bersila. “Serius? Kau tidak tahu aku siapa? Apa tidak ada gosip hot terbaru tentangku yang menyebar ke sini? Bukankah guru-guru di sini biangnya tukang gosip dan haus akan pria tampan?”

 

“Dari mana kau tahu sifat guru-guru di sini dan kegiatan mereka? Apa Utahime memberitahumu?”

 

Satoru menggeleng sambil menyeringai. “No! Salah satu guru kalian menghampiriku di danau belakang dan mengajakku berkencan. Sayang dia bukan tipeku!”

 

“Tu-tunggu! Maksudmu ... kau adalah--”

 

“Aku Dosen Musik di Akademi Kaisen!”

 

“Apa?”

 

“Kau tidak salah dengar, Nanamin~”

 

Nanami memijit pelipis. “Kupikir kau melamar menjadi supir bus Akademi Kaisen.”

 

“Hey! Keahlianku bukan hanya mengemudi, Nanamin! Kau lupa siapa juara pertama lomba bermain biola se-Asia!”

 

“Ya, ya, aku tidak lupa dengan senyum sombongmu di sampul majalah dan televisi.”

 

“Aahh~ Nanamin diam-diam mencintaiku~”

 

“Apa maumu kemari? Aku tidak mau kedatanganmu menjadi gosip dan didengar oleh Suguru.”

 

“Aku kemari ingin bertemu Utahime!”

 

Nanami menggeleng. “Kuyakin dia tidak ingin bertemu denganmu. Sibuk atau tidak.”

 

Bibir sewarna salmon mencebik. Dia berdiri tegak. “Ini permintaan murid favoritku yang sedang jatuh cinta, Nanamin! Kau harus membantuku!”

 

“Tentang apa ini?”

 

“Muridku ingin bertemu dengan mahasiswi bernama Kugisaki Nobara.”

 

Nanami mengerang frustasi setelah mendengar nama tersebut. “Dia? Dari semua orang? Oh, Kamisama ....”

 

“Ada apa?”

 

“Gojo-san, Kugisaki Nobara adalah mahasiswi bermasalah. Sebenarnya, bermasalah di jalur yang benar. Dia ... suka memukuli geng pembully dengan palu. Utahime sering kuwalahan dan selalu mengadakan pertemuan dengan keluarganya dan keluarga korban demi membuat jalan damai.”

 

Satoru terkekeh mengusap dagu. “Terdengar cocok dengan Yuuji-kun.”

 

“Yuuji-kun?”

 

“Ah! Itu muridku, Itadori Yuuji. Mahasiswa Jurusan Tata Boga yang body-nya lebih cocok jadi polisi atau tentara. Sayangnya, dia lemah di dalam pelajaran yang terlalu banyak berpikir. Dia sesekali terlibat perkelahian dengan para pembully di kampus. Untungnya, tidak sampai menghadirkan kedua keluarga yang terlibat.”

 

Dia terdengar sepertimu. Pantas saja kau menyukainya.”

 

“Hey! Aku bukan idiot!”

 

“Kau yang mengatai muridmu sendiri, Gojo-san.”

 

Shut up! Jadi, bagaimana?”

 

“Sebentar dan tunggu di sini. Aku akan menjemput Utahime.”

 

Satoru menunggu kurang-lebih sepuluh menit di Ruang TU. Saat pintu terbuka, wajah wanita berambut hitam yang memakai setelan ala miko cemberut.

 

“Utahime~ Kostummu jelek banget~”

 

“Bacot! Ini seragam Kepala Asrama, Satoru!”

 

Satoru pun tertawa terbahak-bahak. “Ini adalah lelucon terparah yang Suguru buat ... hahaha!”

 

“Geto sialan itu! Apa sebenarnya yang ada di dalam otaknya! Ini bukan zaman Feodal demi Tuhan!” umpat Utahime.

 

“Tidak salah, sih, mengingat dia sendiri pakai gojo-kesa. Kau saja yang tidak bisa protes. Lihat! Guru-guru dan para staff kampus di sini dan di sana juga pakai seragam formal modern.”

 

“Tidak masalah bagiku kau memakai pakaian apapun. Kau terlihat cantik, Utahime,” hibur Nanami.

 

Utahime tersenyum malu-malu.

 

“Kemesraan ini membuatku ingin muntah ... huek!”

 

Sepatu pantofel melayang ke kepala Satoru.

 

“Aduh! Utahime kejam!”

 

“Biarin!”

 

Mereka bertiga pun berbicara tentang Nobara. Utahime mengatur pertemuan Nobara dan Yuuji pada esok sore mengingat pagi dan siang hari biasanya Nobara ada kelas dan latihan voli.

 

Nobara diminta Utahime membawa hoodie warna kuning untuk menemui keluarga mahasiswi pembully yang dia pukuli kemarin. Dia merasa aneh karena kasus itu sudah selesai.

 

Saat dia tiba di ruang mirip ruang interogasi, Yuuji ada di sana menyamar dengan rambut wig putih dicepol, alis putih dan make up keriput. Dia juga memakai baju nenek-nenek. Di sampingnya, ada seorang pria tinggi berambut hitam (wig) memakai setelan tuxedo ala kantoran. Dia memakai kacamata hitam bulat.

 

“Kugisaki Nobara.”

 

“Ya? Kalian siapanya Yura?”

 

Satoru berbicara. “Saya supir keluarga Yura-sama. Ini neneknya, Yuki-sama. Dia ingin berbicara padamu sekaligus meminta maaf atas kesalahan cucunya.”

 

Yuuji berakting batuk-batuk, bersuara rendah. “Benar, Nak. Bisakah kita berbicara empat mata?”

 

Satoru bangkit dari kursi, lalu keluar ruangan yang memiliki CCTV. Peraturan Akademi Kaisen 2 memang sangat ketat. Utahime memberitahunya kalau hanya pihak perwakilan keluarga berjenis perempuan yang bisa datang jika putri mereka bermasalah. Jadi, Satoru terpaksa mendandani Yuuji jadi seorang nenek-nenek dan dia menyamar menjadi supir.

 

Obaa-san, anu ... aku seharusnya yang minta maaf--”

 

Yuuji meraih dan menggenggam tangan Nobara. Mendekat, dia berbisik rendah. “Ini aku Itadori Yuuji, Nobara-chan.”

 

“KENTANG!”

 

Yuuji menginjak kaki Nobara ketika ada seorang OG masuk ke dalam ruang pertemuan. Tanda itu agar Nobara berakting.

 

“Oh, ya! Harga kentang akhir-akhir ini naik, ya!--Nobara-chan, aku sudah menepati janjiku. Jadi?”

 

Nobara dengan kesal menyerahkan hoodie Yuuji.

 

“Wangi~ baik sekali kau mencucinya, Nak.”

 

Nobara tersenyum manis palsu. “Tentu saja, Obaa-san. Ini adalah hoodie Anda yang dipinjam cucumu Yura dan aku kotori dengan tanah liat. Sepatutnya aku mencuci dan mengembalikannya padamu.”

 

Nobara hampir mengumpat kala ditarik Yuuji ke dalam pelukan erat. Belum lagi, Yuuji juga mencium kedua pipinya sambil tersenyum gembira. Nobara merasa malu sekaligus benci.

 

Arigatou, Nak! Semoga Kamisama membalas perbuatan baikmu! Kalau begitu, Obaa-san pamit dulu. Sayonara~”

 

Sambil menaruh hoodie di pundak kiri, Yuuji membungkuk berjalan perlahan dengan tongkatnya keluar dari ruang tersebut. Satoru membantunya dan menyapa Utahime. Utahime mengantar mereka ke pintu gerbang yang dibukakan security. Di sana, sudah ada mobil mercy hitam yang menunggu.

 

Satoru mengemudi setelah mengantar Yuuji ke kursi penumpang. Dia bertegur sapa pada security. Saat mobil sudah jauh dari kampus, Satoru berhenti. Dia membuka wig dan jas hitam serta dasi. Yuuji membuka semua pakaian dan menggantinya dengan pakaiannya. Hoodie kuning dia kantongi di ransel.

 

“Ayo keluar, Yuuji-kun."

 

“Mobil dan baju-bajunya?”

 

“Nanti ada yang mengurusnya.”

 

Sensei memang Terkeren! Arigatou, Sensei!”

 

Murid dan Dosen tertawa sepanjang perjalanan mereka jalan kaki menuju pintu belakang kampus Akademi Kaisen. Meski Yuuji dan Nobara belum berpacaran, tetapi Satoru tahu cepat atau lambat mereka akan.

 

Misi sukses.

 

 

 

 

 

•Tbc•

 

 

 

Chapter 7: Mak Comblang Yuuta x Maki

Summary:

Lah? Kenapa double update twin 🙈

 

Maaf Atas Kesalahan Chapter Yang Kemarin 😅

 

Yang Ini Baru Chapter Terbaru!

 

Selamag Membaca~

Chapter Text

“Aku tidak butuh Mak Comblang, Gojo Sensei.”

 

“Bohong! Yuuji bilang, kau sulit menyatakan cinta pada sahabatmu yang bernama Maki!”

 

Sialan kau, Yuuji!

 

“A-ku tidak kenal sama Ma--”

 

“Jadi, di mana Maki bekerja?”

 

“Gojo Sensei! Kau tidak perlu--”

 

“Okkotsu Yuuta, aku harus membantumu karena kau adalah keluargaku juga.”

 

Yuuta mengernyit bingung. “Maksudnya?”

 

“Aku sepupumu, Yuuta-kun.”

 

“Ja-jangan mengada-ada, Gojo Sensei! Aku cuma orang biasa, bukan anggota keluarga klan terhormat dan terkaya di Jepang.”

 

“Tapi itulah kenyataannya. Kau adalah sepupuku. Identitas ibumu sebenarnya adalah masih punya darah klan Gojo. Sayangnya, ibumu hanya anak haram. Kakekku dulu punya istri simpanan di luar sana.”

 

Yuuta langsung mati berdiri mengetahui fakta tentang keluarganya. Saat dia selesai menerima kenyataan, Yuuta pun mau menerima usulan Satoru.

 

Misi Mak Comblang kali ini berat bagi Satoru. Dia selalu kehilangan fokus dan membeku kala ditatap oleh Maki. Maki entah bagaimana terlihat familiar.

 

Saat Yuuta pergi ke cafe meninggalkan Maki dan Satoru untuk melihat Toge, Satoru bertanya.

 

“Maki-kun, apakah kau masih berhubungan dengan ... klan Zenin?”

 

Maki membeku, kemudian menatap nyalang penuh perhitungan. “Siapa kau sampai tahu dari klan mana aku berasal?”

 

Satoru tersenyum miris. “Aku anggap itu sebagai ya. Aku Gojo Satoru.”

 

Maki berdecih mengejek. “Rupanya klan tersohor kaya raya. Kau siapanya Yuuta?”

 

“Aku dosen musik di kampusnya. Sejujurnya juga ... sepupunya.”

 

“Yuuta bukan bagian dari klan Gojo! Jangan berani membohongi--”

 

“Tiri. Yuuta Sepupu tiriku, Maki-kun. Aku tahu sebab wajahnya mirip dengan adik tiri ibuku yang entah ada di mana. Belum lagi, aku sudah mencari informasi soal keberadaannya yang ternyata sudah berganti marga menjadi Okkotsu.”

 

“Jadi ..., Yuuta selama ini membohongiku dan Toge ...”

 

“Tidak. Dia juga baru tahu dariku. Jika kau resah dia memilih kembali ke klan Gojo dan melupakanmu, maka kau salah. Dia tidak menginginkan harta dan kekuasaan klan Gojo meski aku bisa mengaturnya. Dia ... hanya ingin menjadi seorang dokter. Dia ... ingin mengoperasi Inumaki Toge, sahabat karibnya. Dan dia ... ingin terus bersamamu, seseorang yang lebih dari sahabat baginya.”

 

Jantung Maki berdetak cepat mendengar perkataan Satoru. Ada terlintas satu kata yang selama ini dia abaikan dan menyangka itu tak bisa dicapai.

 

“Maksudmu ... pacar?”

 

Satoru hanya tersenyum, lalu pergi ke dalam cafe meninggalkan Maki duduk seorang diri di taman di atas ayunan.

 

“Maki! Maaf aku lama! Toge tadi kesulitan membersihkan meja dan aku membantunya--”

 

“Yuuta, dosenmu atau ... sepupu tirimu sudah menceritakan padaku semuanya.”

 

Yuuta tergagap panik. Wajah pucat pasi, kaki gemetar siap melarikan diri.

 

Maki lebih cepat darinya. Dia langsung memeluknya erat. “Yuuta, apakah itu benar? Bahwa kau mencintaiku?”

 

“B-bagaimana kau-- umm ... ya? Apa itu ... buruk?”

 

“Tidak. Tapi ... aku ragu terhadap perasaanku sendiri. Kau tahu? Tidak baik merebut tunangan orang lain--”

 

“Maksudmu Rika? Dia ... kami ... hanya bertunangan main-main saat kecil, Maki. Rika ... pasti setuju jika orang yang menggantikannya adalah kamu. Rika ... pasti bahagia di alam sana.”

 

Arigatou sudah memilihku, Yuuta ....”

 

“Aku juga demikian, Maki ....”

 

Keduanya berpelukan, menangis dengan perasaan lega dan bahagia. Yuuta dan Maki resmi jadian. Misi sukses.

 

 

 

 

 

•Tbc•

Chapter 8: Mak Comblang Megumi x Miwa

Summary:

Megumi x Miwa adalah Rareships 😍

Ada kejutan di sini yang tidak bisa kalian tebak!

Happy Reading 😘

Chapter Text

Sungguh susah misi Satoru kali ini. Gebetan putranya bak lelembut. Antara ada dan tiada. Megumi yakin wanita ini ada, tetapi Satoru tidak yakin. Informasi yang dibutuhkan nihil. Dia tidak bisa melacak keberadaan wanita misterius ini.

 

Jadi, Satoru menyarankan Megumi mencari jejak gebetannya sendiri. Kalau berani langsung mengejar dan bertanya saat dia muncul.

 

Megumi memulai dengan bertanya pada penduduk sekitar stasiun. Akan tetapi, mereka tidak tahu tentang siapa gadis tersebut.

 

Keberuntungan akhirnya berpihak pada Megumi. Di Pasar Ikan Okinawa, dia sedang membeli ikan pesanan Yuuji untuk dibuat bakso. Di sana, dia bertemu wanita albino berambut bob dengan gradasi merah di tengah-tengah rambut. Wanita tersebut membeli banyak makanan laut mulai dari ikan sampai sotong.

 

Paman penjual bertanya, “Uraume-san, tumben sendirian. Biasanya sama menantunya.”

 

“Iya, nih, Ube-san. Menantu saya sedang sibuk.”

 

“Oh, begitu. Ini ada sedikit udang buat menantu Uraume-san.”

 

Arigatou, Ube-san.”

 

Saat Uraume pergi, Megumi asal berceletuk karena kasihan melihat Uraume membawa banyak barang belanjaan sendirian.

 

“Harusnya ada yang membantunya berbelanja. Kalau tidak, tinggal pesan online.”

 

Tak disangka, Ube, penjual ikan menjawabnya. “Keluarga Ryomen sangat tradisional. Dari yang kudengar, mereka tidak menggunakan barang-barang elektronik modern. Lihat saja! Bahkan pakaian Uraume-san selalu tradisional jika kemari. Aku dengar juga dari kasir minimarket seberang kalau Uraume-san tidak pernah membeli jajanan ringan dan makanan kaleng. Dia biasanya cuma membeli minyak goreng, gula, garam, sayuran, dan buah.”

 

“Apakah dia orang kuil?” tebak Megumi.

 

“Sepertinya, sih. Ah! Tapi aneh karena anak sematawayang mereka malah jadi tentara!”

 

“Kok bisa?” Megumi semakin penasaran, memilih mengobrol sejenak daripada pulang.

 

“Iya. Namanya kalau tidak salah ... umm ... Muta. Ya! Ryomen Muta! Para kakek dan nenek di sini sering memanggilnya Mechamaru mengingat pemuda itu sewaktu kecil menyukai robot Mechamaru. Dia adalah tentara bintang tiga, hampir saja jadi Jenderal. Sayang ....”

 

“Sayang?”

 

“Sayang sekali dia gugur di medan perang dua tahun lalu di Palestine.”

 

“Bukannya dia tentara Jepang? Kenapa bisa berada di Palestine?” Megumi sungguh jenius dalam berlogika.

 

“Itu ... umm ... kau tahu sendiri hubungan negara ini dengan Amerika. Jadi ..., begitulah, Anak Muda. Sungguh kasihan istrinya menjadi janda.”

 

“Eh? Dia sudah beristri?”

 

“Ya. Aku tidak tahu siapa nama istrinya. Yang pasti, mereka menikah di usia tujuh belas tahun. Sekarang, istrinya mungkin berusia sembilan belas tahun. Istrinya belum punya anak. Dia ... tampak kesepian. Andai saja aku masih bujang, pasti akan kulamar dia.”

 

Megumi pun terkekeh geli. “Ojisan bisa aja. Ingat umur, dong.”

 

Ube tertawa. “Iya, ya ... hahaha! Mungkin dia lebih cocok jadi istrimu, Anak Muda!”

 

Wajah Megumi bersemu merah malu. “Mana bisa begitu!”

 

“Tapi kayaknya mustahil mengingat dia sering menunggu kedatangan mendiang suaminya di stasiun. Dia sudah cinta mati sampai-sampai belum menerima kepergian suaminya.”

 

Mata Megumi terbelalak mendengar itu. Dia buru-buru mengutarakan apa yang dia lihat demi mengkonfirmasi. “Wanita itu memakai shikumo putih khas pengantin. Rambut digelung pakai tusuk konde. Rambutnya warna babby blue.”

 

“Eh? Kok tahu! Ya! Dia memang sering memakai pakaian itu dan selalu berdiri di depan stasiun pada malam minggu kedua.”

 

“Akhirnya! Ojisan, punya alamatnya?! Berikan padaku!”

 

Ube tampak bingung. Namun, dia pun memberi petunjuk tempat tinggal janda tersebut pada Megumi meski tidak terlalu jelas. Sikap Megumi yang antusias membuatnya curiga kalau Megumi seorang penguntit.

 

Dengan gugup, Megumi berhasil menyelinap masuk ke dalam kompleks bangunan kuil. Bersembunyi di balik pohon suci yang dipagari, dia mengintip ke arah dua orang wanita yang sedang bermeditasi. Satu orang wanita dia kenal bernama Uraume. Yang lainnya inilah yang dia incar. Gadis misterius berambut babby blue.

 

Megumi terkejut melihat seorang bocah lelaki berambut silver yang sebelas-dua belas mirip Gojo Satoru. Namun, bocah itu jelas bukan albino mengingat warna matanya masih hitam dan kulitnya tidak seputih susu. Bocah itu menaiki punggung Uraume, tetapi wanita itu tetap fokus tak bereaksi. Bocah itu pun pergi ke wanita berambut babby blue yang digulung tusuk konde.

 

Suara tawa mempesona membuat telinga Megumi disucikan. Wanita yang membuatnya jatuh cinta gagal bermeditasi. Megumi tahu, kelemahan wanita ini adalah bocah lelaki itu. Mereka pun berkejaran mengelilingi tubuh Uraume.

 

“Betapa lucunya. Seandainya saja ... aku tahu siapa namanya ....”

 

Megumi merasa cukup puas mengintip. Dia akan kembali lagi besok karena sekarang dia harus kembali ke kampus. Bisa gawat kalau Megumi ketahuan oleh Suguru. Pengorbanan (kebohongan) ayah angkatnya akan sia-sia setelah mengizinkannya tidak masuk kelas Akutansi karena sakit.

 

Begitu badan berbalik, Megumi membeku. Seorang pria berambut undercut pink bersedekap memelototinya. Tato yang terlihat di seluruh wajah dan pergelangan tangan semakin membuat pria itu menakutkan.

 

Pria menyeramkan yang memakai kimono putih dan syal hitam melipat tangan di dada. Mata mengancam pembunuhan terhadap pemuda asing berambut bulu babi. “Siapa kau, Bocah? Apa yang kau inginkan dari keluargaku tercinta?”

 

Mulut Megumi terbuka, tetapi suara enggan keluar.

 

“Jawab, Bocah!"

 

Akhirnya, Megumi menjawab memekik. “AKU INGIN TAHU SIAPA NAMA PUTRIMU!”

 

Hening. Pria bertato masih melakukan pose yang sama. Kali ini, tatapannya datar.

 

“Apa aku terlihat setua itu?”

 

“Jadi, dia bukan putrimu? Lalu, siapa?”

 

Pria bertato mengumpat pelan meraup wajahnya. Dia sudah keceplosan mengenai identitas anggota keluarganya, menantunya. “Menurutmu apa yang kau lakukan di sini, Bocah? Masuk kuilku tanpa izin?! Pergi!”

 

“Tapi aku ingin tahu--”

 

“Ingin tahu apa?! Di sini adanya tempe! Pergi!”

 

“Bisakah aku tahu siapa namamu, Tuan?”

 

“Tidak! Pergi sekarang juga sebelum aku--”

 

Uraume datang menghampiri mereka. “Ada apa ini, Sukuna-sama? Kau kenal siapa pemuda ini?”

 

Dengan ketus, Sukuna menjawab, “Tidak! Aku baru saja ingin mengusirnya!”

 

Uraume melihat lagi wajah Megumi. Kemudian, otaknya tersentil mengingat sesuatu. “Kau! Kau yang beli ikan di kios Ube-san, kan?! Apa kau menguntitku?!”

 

Megumi menggeleng kuat. “Tidak, kok! Aku hanya mengikuti petunjuk jalan dan--”

 

“PERGI DARI SINI! KAU TIDAK DIIZINKAN MASUK!”

 

Sukuna menyeretnya dan membuangnya ke tangga menurun menuju stasiun kecil kereta api. Megumi hampir jatuh berguling di sana. Dia mendesis marah pada Sukuna. Pria bertato itu menyeringai mengejek, lalu pergi meninggalkan gerbang tori merah dekat tangga.

 

***

 

“Begitu ceritanya.”

 

Tawa pertama muncul di Satoru. Membuat jengkel Megumi. Lalu, tawa kedua datang pada Yuuji. Pemuda berambut undercut pink tersedak bakso buatannya. Tawa terakhir adalah dari Yuuta. Megumi tidak yakin pemuda yang baru jadian sama sahabat masa kecilnya itu menertawainya atau menertawai Yuuji.

 

Yuuta tersenyum prihatin menepuk punggung Megumi. “Yang sabar, ya, Megumi.”

 

Megumi mendengkus, kembali tidur telentang di atas ranjang kamarnya. Ada kain kompres di samping kiri dan termometer palsu di samping kanannya.

 

Yuuji berhenti tertawa. Dia mengguncang tubuh teman sekamarnya. “Bangun, dong, Megumi! Baksomu belum dihabisin, tuh! Jangan sampai kau jadi sakit beneran!”

 

“Bodo amat! Biarin!” sungut Megumi merajuk.

 

Yuuta meletakkan mangkuk baksonya yang kosong ke wastafel di seberang ranjang Megumi. Dia kembali duduk di samping kanan ranjang Megumi. Senyuman tulus tercipta. “Kami akan membantumu, Megumi. Jangan merajuk begitu.”

 

Satoru yang duduk memantati Megumi bersenandung. “Tugasku sudah selesai~ Aku tidak akan membantumu lagi, Gumi~”

 

Kesal, si Rahmat pun menendang bokong Satoru. “Siapa juga yang butuh dirimu!”

 

“Aaaah~ Gumi-ku jangan marah~ Aku cuma bercyandaaa~” rengek Satoru.

 

Megumi terdiam sambil menatap lekat Yuuji.

 

“Oi! Kenapa lihat-lihat aku? Aku ganteng, ya, Megumi~” goda Yuuji, menyeringai.

 

Megumi meringis jijik. “Gantengan juga bapakku.”

 

Satoru menangis haru memeluk erat kedua kaki Megumi. “Arigatou!”

 

“Lepas! Memang kau ini bapakku, hah?! Yang kumaksud itu bapak kandungku, Gojo-san!”

 

Bibir sewarna salmon melengkung ke bawah. “Di mana letak kegantengan Kingkong itu! Cih!”

 

“Yuuji, apa kau ... punya saudara kembar?” tanya Megumi serius.

 

Yuuji mengerjap, lalu merenung. “Kalau aku, sih, tidak ada. Aku punya seorang abang. Wajah kami tidak mirip sama sekali. Ah! Aku baru ingat!”

 

Satoru dan Yuuta ikut penasaran. “Ingat apa, Yuuji?”

 

Yuuji menyengir. “Ayahku punya saudara kembar! Dia keren abis meski galaknya minta ampun!”

 

Megumi menodongnya, “Siapa namanya?”

 

“Itadori Sukuna.”

 

Yuuji terdiam, lalu menatap nanar mangkuk bakso Megumi yang setengah dimakan di atas meja lipat di ranjang Megumi. “Tapi ... Paman Kuna kabur dari rumah. Sudah lama sekali. Aku dan kakekku tidak tahu di mana dia sekarang. Setelah ayahku meninggal, kami berhenti mencarinya meski kakekku sudah berdamai dengan Paman Kuna.”

 

“Memangnya, apa yang dilakukan pamanmu, Yuuji?” tanya Satoru.

 

“Dia ... mengambil uang tabungan kakek untuk berjudi dan memasang tato aneh di sekujur tubuh,” jawab Yuuji lirih.

 

“Pamanmu brengsek,” komentar Satoru pedas.

 

Megumi menunduk sedih. Dia juga mengalami hal serupa. Ayah kandungnya juga mengambil uang tabungannya dan kakaknya untuk berjudi.

 

Yuuta menghiburnya. “Sabar, Yuuji. Aku yakin, pamanmu pasti akan bertobat cepat atau lambat.”

 

Yuuji mengangguk lemah, kemudian kembali bertanya pada Megumi. “Kenapa kau bertanya tentang Paman Kuna, Megumi?”

 

Megumi tersentak, kembali serius. “Yuuji, aku kira, aku menemukan pamanmu yang telah lama pergi. Dia ada di Okinawa.”

 

“Benar-benar?! Ini bukan salah satu leluconmu, kan?!”

 

“Kau bilang aku tidak punya selera humor.”

 

“Benar! Di mana dia tinggal? Aku ingin mengunjunginya!”

 

Megumi mengerang frustasi. “Itulah masalahnya! Dia juga tinggal bersama gadis yang kucintai! Dia sangat membenciku karena masuk tanpa izin ke kuilnya!”

 

“Kuil?!” Baik Yuuji, Yuuta, dan Satoru memekik terkejut.

 

Yuuji menangis haru. “Kau sudah kembali ke jalan yang benar, Paman Kuna ... hiks!”

 

“Ini hoaks! Hoaks!” tuding Satoru tak percaya.

 

Yuuta bertanya ingin tahu pada Megumi. “Apakah ... itu berarti kau ditikung pamannya Yuuji, Megumi?!”

 

“Sial! Paman Kuna masih biadab!” umpat Yuuji kecewa.

 

Satoru tersenyum simpul. “Kubilang juga apa!”

 

Megumi berdecak. “Tidak! Pamannya Yuuji menyangkal kalau dia putrinya! Dan dari cerita orang-orang sekitar kuil, pamannya Yuuji sudah menikah dengan wanita bernama Uraume. Aku tahu siapa Uraume. Aku bertemu dengannya di pasar tradisional dan kuilnya."

 

“Maksudmu?”

 

“Kemungkinan dia adalah menantu pamannya Yuuji. Pasti pamannya Yuuji diangkat anak oleh orang tua Ryomen Muta. Makanya dia berganti marga jadi Ryomen Sukuna.”

 

Yuuji menyeringai menggoda. “Ciee~ kepincut janda~”

 

Yuuta bertanya panik. “Megumi, apa kau siap menjadi ayah bagi anaknya? Kau masih muda dan harus mengurus bocah?! Apa kau yakin?!”

 

Megumi menatap semua orang penuh tekad. “Apapun itu akan kulakukan demi mendapatkan gadis itu.”

 

Satoru menangis keras sambil memeluknya erat. “Aku bangga padamu, Megumi-chan!”

 

Yuuji berdiri dari ranjang Megumi. Dia tersenyum sombong dan bertelak pinggang. “Daijoubu, Megumi! Aku akan membantumu lebih dekat dengan Janda Kembang itu! Aku yang akan menghadapi Paman Kuna! Karena apa? Karena aku Yang Terkuat!”

 

Satoru membantah, “Tidak! Yang Terkuat cuma aku, Yuuji-kun!”

 

“Halah! Pinjem sebentar doang gelarnya, Sensei!” balas Yuuji cemberut.

 

Megumi menatap skeptis memilih menghabiskan baksonya.

 

Yuuta sudah pergi ke kamar mandi. Mendadak mules karena makan sambal kebanyakan.

 

Sejak saat itu, dimulailah misi Mak Comblang Megumi Jilid Dua yang perannya diganti Itadori Yuuji, bukan Gojo Satoru.

 

 

 

 

 

•Tbc•

 

Chapter 9: Akhirnya Berkenalan

Summary:

Megumi dan Miwa pasangan langka!

Tapi juga di sini mereka sama-sama keras kepala 😭🙏🏻

Chapter Text

“G-G-Gojo-san!”

 

Ijichi dibuat jantungan di Malam Minggu yang hening. Sang supir bus Akademi Kaisen tidak menyangka alumni sekolah ini muncul tiba-tiba di garasi. Belum lagi, dia membawa serta dua pemuda yang Ijichi kenal.

 

“Yo~ Ijichi! Lama tak jumpa! Malam ini, aku butuh bantuanmu!” sorak Satoru ceria.

 

Pemuda bulu babi dan pemuda berambut pink tersengir. “Konbawa, Ijichi-san.”

 

“Bantuan apa, Gojo-san? Dan lagi,” Ijichi menatap dua mahasiswa Akademi Kaisen tersebut. “Ini sudah jam tidur. Besok pagi akan ada seminar yang diadakan oleh Kepala Sekolah. Semua Mahasiswa dilarang keluar asrama malam ini.”

 

Satoru mengerucutkan bibir. Bergerak mendekat merangkul leher Ijichi. “Kaku sekali! Ini Malam Minggu, Ijichi! Murid-muridku di sini punya janji dengan seseorang yang sangat penting bagi masa depan mereka!"

 

“Tapi Kepala Sekolah akan--"

 

“Suguru tidak akan tahu asal kau tutup mulut. Dan~ Berikan mereka kunci motormu~”

 

Ijichi menggeliat dalam rangkulan Dosen Musik. Dia menggeleng kuat. “Tidak! A-ku tidak mau terkena sanksi!”

 

“Meski aku menyuapmu?”

 

“Ini bukan tentang uang, Gojo-san!”

 

Satoru memeluknya erat, merengek. “Onegaiiiii~ Ini adalah ... penyelewengan terakhir mereka, Ijichi! Apa kau tega membiarkan masa muda mereka direnggut oleh peraturan yang tak ada habisnya itu? Bukankah kau merasa kasihan?”

 

Satoru mengedipkan sebelah mata ke arah Yuuji. Yuuji langsung memasang wajah nelangsa. Megumi masih menunggu dan menonton dalam diam.

 

Ijichi cukup lama merenung sambil memandangi wajah Megumi dan Yuuji. Dia cukup lama menatap di Megumi. Merasa kasihan karena ekspresinya sangat datar dan jauh dari kata ‘Mahasiswa Bahagia’. Dari itu, dia pun memutuskan menyetujui permintaan Satoru.

 

“Berapa motor yang ingin dipinjam?” tanya Ijichi sambil mendesah lelah.

 

Satoru dan Yuuji bersorak memeluk erat Megumi di tengah-tengah mereka. Pemuda bulu babi jelas risih.

 

“Satu motor cukup, Ijichi-san!" seru Yuuji sambil tersenyum lebar.

 

Ijichi mengangguk menyerahkan kunci motor yang waktu itu dipakai Yuuji dan Megumi ke Pasar Malam. “Ini. Ingat, jangan sampai pulang terlalu larut. Kepala Sekolah bisa saja melihat kalian.”

 

“Siap, Ijichi-san!" Yuuji memberi sikap hormat. Dia langsung memanaskan motor dengan terburu, menyuruh Megumi duduk di jok belakang.

 

Megumi menjerit saat Yuuji tiba-tiba menggas pol motor. Motor Ninja hitam yang mereka tumpangi melesat keluar pintu belakang kampus. Satoru terkikik menyoraki dari kejauhan. Saat murid-murid favoritnya pergi, Satoru mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans.

 

“Sekarang~ Ayo mabar, Ijichi-san!”

 

“Ah ... aku terjebak.”

 

***

 

Kedua pemuda berjalan linglung menatap sekitar. Jalan setapak seberang kebon kosong dilalui, mereka merasa merinding. Semua karena jalan setapak tidak ada penerangan sama sekali.

 

“Meg, ini gak salah jalan ke Stasiun kecil itu?” tanya Yuuji ragu. Tangan masih mencengkeram ujung jaket hitam Megumi.

 

Megumi mengumpat sambil menepis tangan Yuuji dari jaketnya. “Lepas, Sialan! Katanya pemberani! Lewat jalan gelap aja takut!”

 

Bibir Yuuji mencibir. “Ini hawanya beda sama jalan setapak gelap di desaku, tahu.”

 

“Alasan! Tuh, kita dah sampe stasiunnya!” tunjuk Megumi ke depan, ke arah peron yang warna garis kuningnya usang.

 

Seketika, Yuuji semakin merinding kala melihat lampu stasiun yang berkedip. Megumi memilih mengabaikan temannya. Dia fokus menyenteri jalan sepanjang peron yang terhubung dengan tangga kuil.

 

Lima menit kemudian, Megumi tersenyum lega telah menemukan tangga menuju kuil itu.

 

“Meg, tangga yang ini? Kok mirip tangga menuju neraka? Serem, ih!”

 

“Berarti pamanmu iblis, dong. Parah banget ngatain paman sendiri iblis.”

 

“Oi, gak gitu juga kali! Tapi ... emang, sih, kelakuan paman Suku emang kayak iblis.”

 

“Yok, naik!”

 

Yuuji menarik kerah belakang jaket Megumi. “Entar dulu, Megumi!”

 

“Apa lagi, sih?! Ingat, Yuuji! Waktu kita terbatas! Aku tidak mau Ijichi-san dan Gojo-san terkena masalah!”

 

“Aku juga tahu itu! Tapi bukankah lebih baik tunggu cewek ghoibmu yang turun kemari daripada kita samperin? Kau mau kita ketahuan sama semua orang kuil? Sama Paman Suku?”

 

Tubuh Megumi segera layu. Perkataan Yuuji ada benarnya. Megumi terlalu takut bertatap muka lagi dengan Ryomen Sukuna. Dia dan Yuuji akhirnya memilih menunggu, duduk jongkok di tepi semak-semak samping kiri tangga.

 

Sudah lebih dari setengah jam mereka menunggu. Berulang kali menepuk nyamuk yang menggerubungi menggigit. Megumi mendengkus kala melirik Yuuji. Temannya malah tidur meringkuk dan ngorok.

 

Bunyi lonceng terdengar dari arah tangga kuil. Megumi langsung berdiri tegak menatap lekat anak tangga terakhir dari samping. Jantungnya berdebar-debar menunggu hadirnya sosok pujaan hati.

 

Sandal genta kayu dan sepasang kaki jenjang terlihat menapaki anak tangga terakhir. Mata Megumi menatap intens kulit putih yang terlihat di sepanjang betis. Tak hanya menunjukkan keindahan kaki, kimono yang tersingkap juga menunjukkan gelang kaki berlonceng merah berbentuk hati.

 

Shikumo putih khas pengantin tersuguh sepenuhnya di depan mata. Wanita yang memakainya masih fokus memandangi rel kereta api di bawah peron tempatnya berdiri. Dia belum menyadari kehadiran Megumi di samping kirinya.

 

Ketika Megumi berjalan perlahan mendekatinya, dia diganggu oleh teriakan Yuuji. Pemuda berambut undercut pink langsung berlari menerjang punggungnya hingga mereka terjatuh di depan kaki wanita tersebut.

 

“Eh?!”

 

Megumi dan Yuuji tersenyum kecil melambai ke arah wanita berambut babby blue yang disanggul. “Hey.”

 

Takut, wanita tersebut terbelalak melesat melarikan diri menaiki tangga. Sebelum dia bisa pergi, Megumi menyuruh Yuuji menghadang jalannya. Megumi sendiri menghadang di belakang wanita yang sangat ingin dia kenal.

 

“M-mau apa kalian! Jika macam-macam denganku atau aku akan teriak!” bentak wanita itu.

 

“Kami bukan orang jahat, Nona! Kami ... kurang lebih ... mengenal mertuamu,” sahut Megumi hati-hati.

 

“Betul, tuh! Apa kau tidak familiar melihat wajahku?” Yuuji menunjuk wajahnya sendiri.

 

Wanita itu terkesiap kaget melihat wajah Yuuji. “K-kau mirip Sukuna-sama!”

 

Yuuji menyeringai bertelak pinggang di depannya. “Jelas! Aku adalah keponakannya! Omong-omong, cowok di belakangmu ingin berkenalan denganmu, tuh!”

 

Wanita itu menoleh ke belakang. Dia bingung melihat tingkah pemuda bulu babi yang malah membuang muka.

 

“Siapa dia?”

 

“Dia namanya Fushiguro Megumi. Oi, Meg! Jangan malu-malu gitu! Katanya mau kenalan sama pujaan hatimu!"

 

Megumi membentak, mau tak mau menoleh. Pipi memerah karena kesal sekaligus malu. Semua itu sialnya terlihat jelas karena bulan purnama bersinar tepat di atas mereka bertiga.

 

Tawa lembut terlontar. Yuuji mengangkat sebelah alis heran melihat perilaku tantenya. Sedangkan Megumi terpukau, terpesona akan keanggunan tawa yang dimiliki wanita ini.

 

“Kalian berdua lucu. Aku belum pernah bertemu pemuda senekat kalian.”

 

Megumi tersadar dari perangkap pesona. Dia bertanya ingin tahu. “Apakah kau pernah bertemu pemuda lain selain kami?”

 

Mata wanita cantik itu tertuju lurus ke depan, memandang hampa. “Tidak. Tidak akan pernah terjadi meski Sukuna-sama tidak melarangku. Karena aku ... masih mencintai suamiku, satu-satunya pemuda yang berhasil merebut hati dan jiwaku.”

 

Yuuji menatap iba pada Megumi. Janda yang dicintai sahabatnya terbukti masih mencintai suaminya.

 

“Bahkan saat pemuda itu sudah meninggal?” tanya Megumi.

 

Seketika, raut wajah wanita itu berubah menjadi penuh emosi. Kedua alis tipis ditekuk, bibir mengeluarkan geraman ke arah Megumi.

 

Suamiku belum meninggal! Dia pasti akan pulang! Kalian ternyata sama saja seperti yang lain! Tidak percaya padaku!”

 

Megumi membalas keras. “Tapi itulah kenyataannya! Tidak ada yang percaya--”

 

“Sukuna-sama percaya akan hal itu! Dia juga menunggu kepulangan suamiku!” potongnya.

 

Yuuji menangkup wajah frustasi. Dia tidak tahu pamannya kini sudah gila.

 

“Oke! Jika menurutmu suamimu akan pulang, kenapa sampai detik ini pun dia tak pulang?! Apa dia memberi kalian kabar? Surat? Telepon? Oh! Aku baru ingat! Keluarga kalian hidup di zaman batu! Tidak memakai teknologi modern!”

 

“KAU SIAPA SEBENARNYA! JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN KELUARGAKU!”

 

“Aku Fushiguro Megumi! Aku hanya ingin menyadarkanmu! Yang kalian tunggu tidak akan pernah datang! Suamimu sudah lama meninggal di medan perang!”

 

Yuuji sekarang mulai khawatir. Situasi ini bukan seperti yang dia bayangkan. Jangankan perkenalan romantis nan manis, yang terjadi malah adu argumen sambil saling membentak. Megumi dan tante Yuuji memang berjodoh, sama-sama keras kepala.

 

“Meg, bukankah kau kemari ingin tahu siapa nama tanteku?" bujuk Yuuji.

 

Wanita berambut babby blue melirik sejenak Yuuji, lalu mendesis ke arah Megumi. “Kau ingin tahu siapa namaku, Fushiguro Megumi? Oke! Aku akan menjawabnya dan setelah itu, aku tidak ingin kau menunjukkan wajahmu lagi di hadapanku.”

 

Napas Megumi tercekat. “Tidak! A-ku ingin ... kita terus bertemu dan--”

 

“Miwa. Ryomen Miwa. Aku menantu terhormat dari Ryomen Sukuna. Istri yang selalu mencintai suaminya, Ryomen Muta. Permisi.”

 

Baik Yuuji maupun Megumi tak bisa lagi menahan kepergian Miwa kembali ke kuil, rumahnya. Megumi tidak yakin harus bersedih atau bahagia sekarang. Dia merasa kesal pada diri sendiri yang tidak bisa menempatkan sikap keras kepalanya pada tempatnya.

 

“Megumi, kau mengacau.”

 

“Aku tahu ....”

 

Yuuji merangkul pundaknya mencoba menghibur. “Yuk, pulang.”

 

Megumi hanya mengangguk diam. Raut wajah sedih terpampang jelas.

 

***

 

Hal pertama yang diserukan Gojo Satoru ketika melihat wajah sang anak angkat adalah ini.

 

“Megumi! K-kau terlihat habis kehilangan Mahoraga lagi! Ada apa ini?!”

 

Yuuji meneleng bingung. “Eh? Siapa Mahoraga?”

 

Satoru merengek sedih seraya memeluk erat tubuh Megumi. “Bunglon albino peliharaan Megumi waktu kecil ... hiks!”

 

Yuuji bersiul. “Aku tidak menyangka Megumi adalah pecinta binatang.”

 

“Kau seharusnya tahu mengingat rambutnya, Yuuji-kun~”

 

Masih berwajah kecewa, Megumi menyentil pelan bibir sang ayah angkat.

 

Ittai, Megumi-chan!”

 

Urusei. Cepat antarkan kami ke asrama.”

 

Satoru mengangguk patuh tanpa ejekan dan godaan. Dia akan menagih cerita mereka esok hari mengenai misi Mak Comblang malam ini.

 

Megumi benar. Dia sedari awal punya firasat buruk. Tak hanya gagal mendapat kesan positif dari Miwa, kini dia juga hampir berpapasan dengan Kepala Sekolah, Geto Suguru.

 

“Sembunyi,” perintah Satoru dengan suara rendah dan tenang pada kedua muridnya.

 

Yuuji menarik Megumi untuk berjongkok di belakang tanaman merambat berbentuk huruf A setinggi lima meter. Megumi benci harus berakhir terjebak menjadi santapan nyamuk lagi.

 

Dari arah lorong asrama Mawar, Suguru muncul berpapasan dengan Satoru. Pria yang tak pernah meninggalkan gojo-kesa tersebut mendengkus kesal.

 

“Tuan Gojo, Anda tahu ini jam berapa?"

 

Satoru mengulas senyum kecil. “Yo~ Suguru! Malam yang indah, bukan? Bulan purnama bersinar terang, ini saatnya kita keluar mencari pasangan di bar--”

 

Diam! Jangan bersikap tidak sopan di depan atasan Anda, Tuan Gojo. Anda mungkin bukan Mahasiswa, tapi bukan berarti Anda bebas berkeliaran tanpa alasan pada larut malam. Saya tidak ingin perilaku tidak terpuji Anda menjadi bahan contoh untuk para dosen lain.”

 

Satoru menghela napas. “Dengar, Pak Kepala Sekolah Yang Terhormat. Aku punya pekerjaan yang mendesak.”

 

Suguru mengejek tanpa sadar. “Seperti mencari kuemu.”

 

Bola mata aquamarine berbinar cerah di balik kacamata hitam bulat. “Suguru~ kau akhirnya mengingatku!”

 

Suguru buru-buru membentak menepis. “Tidak! Aku tidak mengingat apapun!”

 

Satoru kira, dia berhasil menyembunyikan Megumi dan Yuuji dari pandangan Suguru. Akan tetapi, insting Suguru berkata lain. Suguru beralih mengamati sekitar tanaman merambat berbentuk huruf A raksasa di samping kirinya. Dia merasa sedang diawasi.

 

Nani?"

 

“Apa ... ada yang Anda sembunyikan dari saya, Tuan Gojo?”

 

Satoru tetap tersenyum tenang. “Seperti ... kueku?”

 

Suguru tersenyum masam, memilih melangkah mendekati tanaman tersebut.

 

Di belakang tanaman, Megumi dan Yuuji kompak menahan napas. Jantung berdetak kencang penuh rasa takut.

 

Satoru sudah cemas hampir tak bisa menyelamatkan dua murid yang bersembunyi. Namun, dia akhirnya menemukan ide konyol yang terbukti ampuh mengalihkan perhatian Suguru. Satoru mengambil dan membawa lari ikat rambut Suguru.

 

“Kembalikan, Gojo!”

 

“Ambil kalau bisa! Ueeek!”

 

Suguru menggeram emosi kala dihadiahi juluran lidah Satoru. Dia memutuskan mengejar ke mana Satoru pergi.

 

Buru-buru, Yuuji berlari secepat kilat keluar dari belakang tanaman merambat. Dia menggenggam erat pergelangan tangan kanan Megumi untuk mengikutinya. Mereka bernapas lega setelah berhasil sampai ke dalam kamar asrama.

 

“Anj* kaget! Kalian habis dikejar setan, apa? Masuk kok gak pakai salam!”

 

Yuuji mengangguk lemah. “Setan paling berbahaya yang bisa men-DO kita, Yuuta!”

 

Yuuta langsung berkeringat dingin meremas selimut. “Kalian ... untung saja selamat darinya.”

 

“Gojo-san menolong kita,” celetuk Megumi tak bersemangat. Dia langsung naik ke atas ranjangnya usai menaruh jaket di cantelan samping meja belajar. Sekujur tubuh ditutupi selimut.

 

“Megumi kenapa, Yuuji?” tanya Yuuta heran melihat tingkah Megumi.

 

Yuuji meneguk sebotol air mineral bertuliskan ‘Dari Nobara’ yang ada di atas meja dapur, lalu menjawab, “Patah hati.”

 

“Dia ditolak?!”

 

“Boro-boro! Baru berkenalan aja mereka sudah emosi! Udahlah, besok kuceritakan padamu, Yuuta! Aku mau cuci muka terus tidur!”

 

“Ya sudah.”

 

***

 

Miwa, aku mencintaimu. Untuk itu, relakan kepergianku ....

 

“Tidak.”

 

Miwa, aku ingin kau mencari kebahagiaanmu sendiri ....

 

“JANGAN BERKATA SEPERTI ITU, MECHAMARU!”

 

Miwa sadar, dia tidak bermimpi. Suaminya sedang berbicara dengannya di sini, di atas balkon kamar. Kehadiran yang transparan seharusnya membuat wanita itu paham. Bahwasanya sosok suaminya sekarang adalah hantu. Suaminya ... memang sudah meninggal.

 

Pintu kamar Miwa diketuk pelan.

 

“Miwa, aku mendengarmu berteriak. Bolehkah aku masuk?”

 

Menghapus jejak air mata di pipi, Miwa berdeham mengembalikan suaranya menjadi normal. “Masuklah, Sukuna-sama.”

 

Sukuna masuk ke dalam kamar dengan balutan kimono putih berobi hitam. Dia juga memakai syal rajut hitam di leher. Sesampainya di samping kanan Miwa, pria bertato melirik tanpa ekspresi.

 

“Apa lagi yang hantu palsu itu katakan padamu sekarang?” tanya Sukuna.

 

“Aku pikir kau sudah bisa menebaknya, Sukuna-sama,” jawab Miwa tersenyum getir.

 

Sukuna mengembuskan napas mengamati bulan purnama yang tertutup awan. “Ya. Jangan pernah terpedaya olehnya, Miwa. Kita berdua sangat yakin kalau Muta-ku pasti akan pulang. Dia tidak mungkin melupakan istrinya, ayahnya, ibunya, dan keponakannya.”

 

“Omong-omong tentang keponakan. Sukuna-sama, keponakanmu mendatangiku tadi.”

 

Sukuna terbatuk, tak menyangka mendengar kabar ini. “Ke-ponakanku?! Jangan percaya! Mana mungkin aku punya keponakan! Aku kan anak tunggal!”

 

Miwa tersenyum tipis. “Tenang saja. Aku sangat yakin mereka berbohong padaku. Mereka cuma pemuda iseng yang berharap bisa mendekatiku.”

 

“Mereka?! Ada dua?!”

 

“Ya. Nama salah satunya adalah Fushiguro Megumi.”

 

Sukuna mencengkeram erat kedua pundak menantunya. Dia menatap intens kedua mata Miwa. “Jangan pernah jatuh cinta pada keduanya, Miwa. Di dunia ini, hanya Mechamaru, hanya Putraku lah yang mencintaimu dengan tulus. Semua yang berkata mencintaimu adalah pembohong. Camkan itu.”

 

Miwa mengangguk mantap. “Akan aku ingat selalu nasihatmu, Sukuna-sama.”

 

“Sudah malam. Sebaiknya kau tidur. Besok kau dan Uraume harus bersiap. Akan ada kunjungan dari Biksu kuil seberang ke kuil kita.”

 

Wakarimashita, Sukuna-sama. Oyasuminasai.”

 

Langkah Sukuna terhenti di depan lukisan seorang pria berpakaian tentara Jepang. Dia mengamati intens, sampai sebuah suara memanggilnya dari belakang.

 

Anata, mengapa kau masih mendoktrin Miwa agar sejalan denganmu?”

 

Sukuna berbalik badan menghadapi sang istri, Uraume. “Tidak ada yang mendoktrinnya, Uraume. Muta-ku pasti akan pulang.”

 

Uraume menatap nanar sang suami. “Bukankah bukti potongan ibu jari miliknya sudah cukup untuk--”

 

“Untuk apa?! Muta-ku masih hidup, Uraume! Dia pemuda yang kuat dan tangguh! Bajingan Amerika itu pasti memalsukan kematiannya! Sedari awal, seharusnya aku melarangnya berangkat ke Palestina. Perang adalah malapetaka. Perang akan menghancurkanmu.” Sukuna mengepalkan tangan hingga buku-buku jari memutih.

 

Uraume mendekat, hanya bisa memberi pelukan tanpa bisa mendebat apalagi menyangkal. Dia tahu persis kondisi kejiwaan sang suami masih belum stabil.

 

Pada kenyataannya, Ryomen Sukuna bukanlah nama aslinya. Sukuna ..., hanya seorang mantan Jenderal yang melarikan diri usai kehilangan seluruh pasukannya dalam suatu misi rahasia negara. Sukuna ..., hidup berkamuflase di atas kebohongan dan mengajarkan kebohongan pada Miwa.

 

Muta-ku adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki, Uraume. Dia ... tidak akan pernah meninggalkanku seperti yang lainnya.”

 

 

 

 

 

•Tbc•

 

Chapter 10: Pesta Ulang Tahun Gojo Satoru (Bagian Satu)

Summary:

Gojo Berulah 😂

 

Apakah ini petaka untuk seluruh mahasiswa Akademi Kaisen?

 

Temukan jawabannya di bawah ini!

 

😘

Chapter Text

“Nanamin~”

 

“Tidak lagi ....”

 

“Nanamin! Jangan menghiraukan Senpai-mu Yang Tamvan ini!”

 

Nanami berdiri dari kursinya di Ruang TU. Komputer ditinggalkan begitu saja. Dia pergi ke luar sekat untuk mendatangi tamu tak diundang.

 

“Ada apa lagi kali ini, Gojo-san?”

 

Gojo Satoru yang memakai sweater putih dan celana bahan hitam menyeringai. Kacamata bulat hitam dilepas. Dari dalam totebag biru muda bergambar digimon, sebuah amplop ungu dikeluarkan dan disodorkan ke Nanami.

 

“Ini untukmu~ Jangan lupa datang bersama Utahime, Nanamin~ Atau aku akan menghantuimu 24/7 sebagai hukuman kalau tidak datang~”

 

Nanami langsung tercekik begitu membaca isi amplop tersebut. “Gojo-san?! Dengan serius?! Kau ingin bunuh diri atau apa?!”

 

“Apa? Mengapa aku ingin bunuh diri di hari ulang tahunku?”

 

“Kau tahu persis apa yang kumaksud.”

 

Satoru cemberut, memasukkan kedua tangan ke dalam saku. “Itu menjadi urusanku. Yang perlu kau lakukan adalah datang di Pesta Ulang Tahunku, Nanamin. Jaa.”

 

Setelah Satoru keluar dari Ruang TU, Nanami mendengar keributan di luar sana bersama dengan suara sang kekasih yang mengumpat. Pintu Ruang TU terbuka, Utahime masuk ke dalam dengan wajah merah pekat dan bersungut-sungut.

 

“Utahime, apa yang Gojo-san lakukan?” tanya Nanami.

 

“Dia bilang aku punya uban! Kento, apa kau percaya itu?” tanya Utahime balik sambil memasang wajah memelas.

 

Nanami menaikkan kacamatanya. “Tentu saja tidak. Jelas-jelas rambutmu masih sehitam dan seindah biasanya, Utahime.”

 

Utahime menyeringai menahan malu karena pujian sang kekasih. “Kento ... kau ini sangat puitis dan berlebihan. Omong-omong, untuk apa Idiot itu kemari?”

 

Nanami menyerahkan amplop ungu pada Utahime. Utahime menerima dan membacanya. Seketika, wanita itu langsung pusing.

 

“Gojo Sialan! Dia kali ini menantang malaikat maut, Kento! Geto pasti akan marah besar jika tahu tentang ini!”

 

“Aku pikir juga demikian. Jadi, mungkin Gojo-san mengundang kita agar menjadi pengawas pesta? Untuk menjaga situasi aman tanpa diketahui Geto-san?”

 

“Kau serius ingin datang, Kento?”

 

“Lebih baik datang daripada dihantui Gojo-san sepanjang hidupmu.”

 

“Sial! Aku juga ikut kalau begitu!”

 

***

 

Satoru bersenandung mengemudikan mobil sedan silvernya ke suatu tempat. Sebuah klinik umum 24 jam di kawasan perkantoran Okinawa.

 

“Selamat Datang Di Klinik Dokter Ieri-- Eh?! Gojo-san?! Apa kabarmu?!”

 

Satoru melambai dan tersenyum ceria ke arah resepsinos. Seorang pemuda tinggi kekar berwajah imut dengan potongan rambut mangkuk. “Hey, Haibara! Hisashiburi! Aku sangat baik hari ini!”

 

Haibara bertanya menggebu. “Apa kau kemari untuk mengunjungi Geto-san dan berbaikan?”

 

Seketika, senyum cerah Satoru menghilang. Dia terkekeh hampa. “Kuharap bisa melakukannya semudah itu, Haibara. Aku kemari untuk memberimu undangan pesta ulang tahunku.”

 

“Keren! Kau ingin mengadakan pesta ulang tahun di gedung hotel mana, Gojo-san?” tanya Haibara antusias ketika menerima amplop ungu dari Satoru.

 

Satoru menyeringai. Dari awal, keberadaannya di Okinawa hanya diketahui oleh Nanami dan Utahime. “Baca saja, Haibara. Di sana ada denah lokasi pesta, kok.”

 

Pemuda mangkuk terbelalak ternganga syok membacanya. Dia tergagap. “I-ini ... serius, Gojo-san?!”

 

“Ya~ Jadi, tolong tarik Shoko ke sini untuk melihatnya juga~” goda Satoru.

 

Secepat kilat, Haibara berlari meninggalkan meja resepsionis. Dia kembali menarik seorang wanita yang lebih pendek darinya. Wanita berambut karamel sepunggung mengerang kesal. Kantung mata di kedua mata terlihat jelas. Bau nikotin samar tercium dari mulutnya.

 

“Shoko! Ohayou!”

 

Shoko berdecih sebal. “Ada urusan apa kau kemari jauh-jauh dari Tokyo, Gojo.”

 

Dengan dramatis, Satoru mengeluarkan amplop ungu memberikannya pada sang sahabat semasa kuliah. “Tadaaa~ Aku mengundangmu ke Pesta Ulang Tahunku Yang Spektakuler!”

 

Shoko menyambar kasar undangan dan membaca. Dia langsung terkena serangan jantung. Bola mata memelototi Satoru. “Apa. Itu. Persetan. Gojo.”

 

Masih dengan senyum ceria, Satoru menjawab polos. “Pesta Ulang Tahunku? Kenapa?”

 

“Lokasinya tidak masuk akal! Tidak mungkin Geto membiarkanmu masuk begitu saja ke kampus yang sangat dia banggakan itu!” berang Shoko.

 

Satoru bertelak pinggang menyeringai sombong. “Itulah kehebatan seorang Gojo Satoru, Shoko. Malang nian nasibmu karena ketinggalan berita fenomenal~”

 

Alis Shoko bertaut. “Berita fenomenal apa?”

 

“Iya, nih, Gojo-san. Aku juga tidak tahu berita apa yang kau maksud?” sahut Haibara sama bingungnya.

 

“Karena ... aku adalah Dosen Musik di Akademi Kaisen~ Yeay! Bukankah aku hebat?!”

 

Shoko secara naluri menendang betis Satoru.

 

“Aduh! Ittai, Shoko!”

 

“Kau Idiot, Gojo! Bukan itu maksudku agar kau dan Geto berbaikan!”

 

“Cara ini lebih efektif daripada saling bertemu di restoran atau tempat lain, berbincang, dan akhirnya tak ada kepastian. Kau tahu sendiri Suguru bukan orang yang seperti itu. Dia sungguh keras kepala dan teguh pada pendirian.”

 

“Ya. Macam dirimu, Gojo.”

 

Satoru mendengkus. “Jadi, tolong datang, ya, Shoko, Haibara.”

 

Shoko mengantungi amplop ungu sambil menghela napas. “Ya, aku akan datang. Siapa lagi yang kau undang, Gojo?”

 

“Tentu saja Staff TU dan Kepala Asrama Wanita Akademi Kaisen 2! Nanamin dan Utahime!” pekik Satoru ceria.

 

Shoko mengumpat kasar, sedang Haibara menjerit heboh karena kegembiraan dapat bertemu sahabatnya, Nanami. Shoko tahu, dua malam lagi akan ada bencana di Akademi Kaisen. Dia sungguh tidak ingin terlibat sejujurnya.

 

Begitu saja, Satoru pergi melanjutkan petualangan menyebar amplop undangan pesta ulang tahun ke berbagai tempat. Namun, dia menyesal karena tidak bisa mengundang satu orang lagi yang amat berarti bagi putra angkatnya.

 

***

 

Yuuji, Yuuta, dan Megumi seumur hidup belum pernah memakai setelan tuxedo. Apalagi yang bermerk mahal seperti yang diberikan Dosen Musiknya. Mereka ... merasa sangat canggung saat menatap cermin di dalam kamar asrama mereka.

 

“Entah mengapa aku merasa mirip Chris Evan,” ujar Yuuji, masih mematut diri di cermin.

 

Megumi mencibir, “Kau lebih mirip pamanmu dalam mode Mafia, Itadori.”

 

Yuuji menyahut sinis. “Daripada kau, lebih mirip bulu babi berbaju yang ingin pergi ke pesta di Bikini Bottom.”

 

“APA KAU BILANG?!”

 

Yuuta memisahkan keduanya sebelum bertengkar. “Minna, jangan berkelahi. Kalian berdua bagus, kok, pakai tuxedo.”

 

Yuuji menyeringai, beralih mengejek Yuuta. “Yut, kok penampilanmu kayak bartender Klub Tokyo~”

 

Yuuta tersenyum begitu cerah sambil menarik lepas pedang samurai yang entah dia dapatkan dari mana.

 

Yuuji mundur cepat, keringat dingin menetes. Dia terkekeh panik. “Aku tadi cuma bercanda, Yut. Kau paling keren dari kita berdua! Maki pasti akan terpesona olehmu!”

 

Yuuta membuang muka tak bisa menyembunyikan rona merah di pipi. “Tau ah!”

 

Megumi mendengkus, “Aku curiga. Apa sebenarnya yang direncanakan oleh Idiot itu?"

 

Yuuta menyahut, “Iya, loh! Aku bertanya pada teman sekelas kita yang juga ikut Kelas Musik. Katanya, dia juga dapat paket setelan tuxedo warna hitam. Yah ... pas kulihat tuxedo-nya cuma merk lokal, sih.”

 

“Pertanyaannya, apa kita semua ini akan menghadiri sebuah pesta? Maksudku, tuxedo adalah code dress pesta tertentu, bukan?” tanya Yuuji.

 

Megumi menyentil jidat Yuuji. “Benar juga. Tumben kau pintar, Itadori.”

 

“Oi! Aku memang pintar, kok!”

 

Megumi bangkit sambil meraih ponsel. Jam menunjukkan pukul delapan malam. “Ayo, Minna! Kita harus segera hadir di Aula sebelum Idiot itu menyeret kita!”

 

Yuuta dan Yuuji mengangguk kuat. Ketiga pemuda melangkah keluar asrama. Dari semua lorong yang mereka lewati, semua tampak sunyi. Hanya ada mahasiswa yang keluar satu per satu dari dalam kamar asrama. Mereka juga memakai pakaian yang sama. Tidak ada dosen atau staff yang berlalu-lalang.

 

Saat Yuuji, Yuuta, dan Megumi serta dua puluh mahasiswa lain di belakang mereka sampai di Aula, mereka terkejut melihat dekorasi yang ada. Balon biru dan merah ada di setiap sudut Aula sebesar lapangan sepak bola tersebut. Ada balon berbentuk huruf abjad bertuliskan, “HAPPY BIRTDAY 28TH”.

 

“Selamat datang di pestaku, Minna!”

 

Megumi bersedekap memandang skeptis. “Gojo-san, sungguh, ini tidak lucu sama sekali. Kau mengerjai semua muridmu, bukan aku seorang!"

 

Bibir sewarna salmon melengkung ke bawah. Satoru berdeham, senyum lebar nan ceria masih tersungging. Dia melangkah, lalu berhenti di ambang dua daun pintu raksasa aula yang terbuka lebar. Dalam balutan setelan tuxedo putih, kacamata hitam favorit, dan pantofel hitam, dia menyuruh seluruh mahasiswa untuk melihatnya. Biola di tangan dimainkan.

 

Sungguh mengejutkan semua orang karena muncul satu per satu gadis-gadis cantik berpakaian ala gala dari belakang Satoru. Yuuji ternganga tak bisa menutup rahang melihat Nobara memakai top crop maroon dan hot pants warna serupa. Reaksi mahasiswi Akademi Kaisen 2 terhadap Yuuji adalah berdecih sebal. Nobara sejujurnya tidak punya pakaian lain yang layak untuk ke pesta selain ini. Dia tidak mengerti ke mana semua gaunnya yang cantik menghilang dari lemarinya di asrama.

 

Yuuta menyikut tulang rusuk Yuuji. “Itadori, kau mengences.”

 

Yuuji tergagap, langsung mengelap terburu air liur yang menetes di sudut bibir dengan telapak tangan.

 

Megumi menghela napas merutuki keidiotan temannya.

 

Para mahasiswa saling berbisik membicarakan hal yang sama. Satoru sudah cukup mendengarnya. Dia pun menjelaskan secara gamblang.

 

Minna! Kalian benar sekali! Mereka ini adalah para mahasiswi Akademi Kaisen 2. Kalian mungkin merasa panik dan takut melihat keberadaan mereka di sini, di kampus yang khusus laki-laki. Tapi ... malam ini ... adalah pengecualian! Karena apa?”

 

Tak ada yang menyahuti Satoru, kecuali jangkrik.

 

Punggung Satoru pundung. “Kalian jahat sekali tak menjawab Dosen Kalian Yang Tamvan! Tapi tak apa! Aku memaafkan kalian karena ini adalah hari ulang tahunku!”

 

Yuuta berbisik pada Megumi. “Kenapa kau tidak bilang pada kami, Fushiguro?”

 

“Ho euh! Jangan bilang kau juga ikut-ikutan ayah angkatmu untuk menyiapkan ini?” bisik Yuuji.

 

Cemberut di bibir Megumi semakin dalam. “Urusei. Mana sudi aku membantu Idiot itu.”

 

Wajah Satoru perlahan berekspresi lembut. Bola mata aquamarine yang tersembunyi di balik kacamata hitam menerawang ke masa lalu. Dia mulai bernostalgia menceritakan sebuah kisah.

 

“Dahulu, ruangan ini begitu ramai dan hangat. Ruangan ini selalu dibuka untuk sebuah pesta antara pemuda-pemudi.”

 

Satoru berjalan pelan membelah kerumunan murid-muridnya. Dia menaiki tangga menuju panggung kecil dengan background jendela aklirik bergambar Dewa Amaterasu. Dia membentangkan kedua tangan ke samping.

 

“Di sinilah tercipta dua hal. Teman dan Cinta.”

 

Satoru tersenyum, kedua mata terpejam.

 

“Orang pertama yang datang dalam kehidupanku dan mengajarkanku pelajaran tentang tata krama adalah ... Temanku.”

 

Satoru teringat akan Suguru saat itu. Lalu, kemudian tentu saja disusul Shoko, Utahime, Nanami, dan Haibara.

 

Semua orang terkesiap terkejut mendengar pengakuan jujur Gojo Satoru.

 

“Tapi ... ada satu orang ... yang berhasil melampaui arti pertemanan ....”

 

Sosok Riko Amanai terkikik di belakang satu set alat musik, samping kiri Satoru.

 

“Dia ... yang membuatku terpana. Tak hanya dengan parasnya, tapi juga tingkah lakunya ....”

 

Amanai menyelinap dari belakang. Berjalan pelan-pelan menghampiri Satoru. Kedua tangan ada di belakang punggung menyembunyikan sesuatu.

 

“Semakin aku mendekat, dia semakin menjauh. Namun, aku tetap semangat mengejarnya. Aku ingin dia ... menjadi milikku ....”

 

Amanai tersenyum lembut, kini sudah berdiri tegak di samping kanan Satoru. Gadis itu tampak sangat cantik dalam balutan long dress putih satin dan bando kupu-kupu putih bertabur berlian aquamarine.

 

“Memang terdengar sangat egois. Faktanya, itulah hal berikutnya yang aku rasakan waktu itu. Cinta ... aku merasakan indahnya jatuh cinta. Dan ... di hari ulang tahunku ini, aku juga ingin membagikan rasa itu pada kalian semua. Pilih salah satu yang ingin kalian rasakan dan alami. Punya Teman atau ... Jatuh Cinta.”

 

Setelah mengakhiri cerita, Satoru menutup telinga kanan. Dia cemberut memandangi Amanai yang habis meniupkan terompet kecil ala ulang tahun ke telinganya. Ada tawa keras yang menggema, hanya bisa didengar oleh Satoru. Amanai pun berhenti tertawa dan berbisik.

 

“Otanjibu Omedeto, Satoru ....”

 

Satoru menyeringai puas mendapatkan ucapan dari sang kekasih. Dia bertepuk tangan sekali demi mengambil atensi semua orang. “Oke! Minna! Pesta dimulai!”

 

Beberapa pemuda langsung berlari naik ke atas panggung dan memainkan berbagai alat musik. Dari mulai piano sampai saksofon. Seorang gadis berjaket kulit hitam dan memakai celana jeans robek di lutut juga ikut serta memainkan musik DJ. Baik para mahasiswa dan para mahasiswi, keduanya berbaur menjadi satu di aula. Mereka bergoyang dan berdansa sesuka hati.

 

“Jadi, apa yang kau bisa selain menggombaliku, Kentang?” ejek Nobara menyambangi Yuuji yang sedang bersama Yuuta. Megumi memilih pergi, tak suka musik yang terlalu keras.

 

Yuuji menyeringai. Kerah tuxedo dinaikkan, dia berusaha tampil keren. Kancing tuxedo dibuka, Yuuji memulai aksinya. Menunjukkan hobi lamanya kala di SMA pada Nobara. Dia melakukan break dance.

 

Yuuta menyoraki penuh kekaguman pada teman seasrama. Sorakan keras itu menimbulkan kerumunan yang mengepung menonton mereka bertiga.

 

“Nah, lihat, kan, Nobara-chan~ Aku bisa melakukan hal keren~ Apa kau juga bisa?” goda Yuuji. Dengan berani mendekat menangkup dagu Nobara.

 

Nobara menepis tangan Yuuji dari dagunya. Dia mendesis marah. “Tentu aku juga bisa!”

 

Aksi Nobara yang terkenal sebagai gadis bar bar dan galak membuat semua orang terkagum. Terlebih kedua teman Nobara, Fumi dan Saori. Nobara menampilkan bukan sembarang tari. Dia menampilkan ballet.

 

Yuuji bersiul sehabis terperangah melihat penampilan Nobara. Dia mendekat, tangan kanan terulur ke depan Nobara. “Kau ternyata mengagumkan, Nobara-chan. Jadi, akan kutunjukkan satu hal lagi padamu agar kau mengenalku dengan sepenuhnya.”

 

“Untuk apa?” tanya Nobara ketus. Memandang aneh antara tangan Yuuji dan wajahnya.

 

Masih tersenyum lembut, Yuuji dengan paksa meraih tangan kiri Nobara dan menggenggamnya erat. Lengan kirinya memeluk erat pinggang. Yuuji berbisik sensual.

 

“Untuk membuatmu mengerti dan memahami. Bahwa aku ... tidak pernah membohongimu. Aku ... jatuh cinta padamu, Kugisaki Nobara.“

 

Satoru terkikik geli melihat tingkah agresif murid favoritnya. Dia memutuskan mengarahkan murid-murid yang bermain musik dan DJ agar menggantinya dengan musik waltz.

 

Yuuji pun memaksa Nobara berdansa, walau keduanya jelas tidak bisa dansa ala-ala kerajaan. Meski begitu, tidak ada satu pun orang yang menertawai mereka. Justru aksi Yuuji dan Nobara mengilhami semua orang untuk ikut berdansa bersama pasangan masing-masing.

 

Yuuta tersenyum bahagia melihat Yuuji dan Nobara akhirnya dipersatukan dalam pesta ini. Dia kini menatap sendu ke arah lantai aula. Dia ... merasa sendiri dan tersesat. Yuuta ... juga ingin Maki ada di sini.

 

Megumi yang tadi menghilang ke toilet, akhirnya muncul. Dia menyambangi Yuuta. Menariknya menuju meja prasmanan. Mereka mengambil segelas sirup rasa stroberi dan minum di pojok kanan aula di belakang pilar dekat jendela.

 

Sementara itu, Satoru ikut merasa kasihan pada nasib sepupunya. Dia juga tidak yakin Maki bisa datang meski sudah diberi undangan. Gadis tomboy itu sangat sibuk bekerja. Namun, kekhawatiran Satoru hilang begitu dua daun pintu raksasa dibuka lebar oleh dua mahasiswa yang menjaga pintu. Di sana, berdiri Maki dalam tampilan yang berbanding terbalik dengan aslinya.

 

Akan tetapi, ada satu orang tamu tak diundang yang Satoru kenali. Seorang pemuda dari Klan Zenin. Calon Pewaris tahta klan, Zenin Naoya.

 

Maki tidak suka berada di sini bersama Naoya. Semua karena tiba-tiba saja pemuda itu memaksa ikut ketika dia dan Inumaki hendak pulang dari cafe. Naoya mengejek penampilannya dan Inumaki, lalu memerintahkan dua bodyguard-nya agar mereka masuk ke dalam limousin. Maki, Inumaki, dan Naoya pun berhenti di sebuah butik juga salon. Naoya menyuruh para staff untuk mendandani Maki dan Inumaki. Hasilnya, di sinilah mereka.

 

Maki sebal. Punggungnya gatal karena bahan mini dress yang dia pakai. Belum lagi, warna pink tidak cocok sama sekali untuknya. Pandangan Maki juga terasa sedikit kabur karena tidak boleh pakai kacamata oleh Naoya.

 

Inumaki di samping kirinya bergerak canggung dan terus menunduk menatap lantai. Semua orang menatap tanda cacat bekas kecelakaan dia sewaktu bayi, tepat di area luar mulut. Naoya begitu kejam tidak memperbolehkan pemuda penderita tumor tenggorokan untuk memakai maskernya.

 

Pemuda berambut gradasi pirang-hitam menyeringai. Tangan mesum terus mengelus paha Maki. Dia berbisik rendah. “Jika aku tahu kau bisa tampil seseksi ini, aku tidak akan menolak tawaranmu untuk menggadaikan diri agar saudara kembarmu bisa dioperasi, Maki.”

 

Maki mencengkeram erat tangan mesum Naoya. Dia memelototinya. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu, Bajingan. Aku bersyukur kau menolak tawaran idiotku waktu itu. Mai pasti tidak ingin hidup jika hal itu terjadi.”

 

Naoya mendengkus menarik tangannya yang memar. Dia melirik Inumaki, lalu menyeringai licik. “Kau tahu? Aku masih bisa memberikanmu pinjaman uang untuk mengoperasi temanmu itu, Maki. Tapi ... sebagai ganti, kau harus jadi istri sirihku. Yah ... kau tahu sendiri Pak Tua Naobito sudah menunangkanku dengan putri pengusaha dari Amerika.”

 

Aku. Tidak. Sudi.”

 

Naoya tertawa kelam. Dia menarik kembali tangan Maki agar tidak kabur. “Yakin? Apa kau tidak takut menjadi jones?”

 

“Tidak sepertimu, aku sudah punya pacar, Naoya,” desis Maki.

 

“Siapa?” tanyanya dengan nada mengejek.

 

“Aku!”

 

 

 

****Bersambung Ke Bagian Dua****

Chapter 11: Pesta Ulang Tahun Gojo Satoru (Bagian Dua)

Chapter Text

Baik Maki dan Inumaki kompak menoleh ke belakang. Di sana, Yuuta berdiri tegak menatap nyalang Naoya. Mereka tersenyum menyapa.

 

Inumaki hanya bisa melambaikan tangan.

 

“Yuuta! Kau ... tampak keren!” puji Maki.

 

Yuuta tetap tersenyum lembut sampai kedua mata menyipit. Dia berjalan menghampiri Naoya, lalu meremas tangan yang menggenggam erat tangan kekasihnya.

 

“Bisakah kau melepaskan tangan pacarku, Naoya-sama?"

 

Nada penuh kebencian dari Yuuta berhasil menaikkan darah Naoya. “Dan jika aku tidak mau, kau mau apa, Okkotsu Yuuta? Perlu kau tahu, pemuda miskin sepertimu tidak akan pernah bisa sukses dan mengalahkanku. Apalagi mendapatkan Maki.”

 

Yuuta menelengkan kepala menatap lekat dan membara ke mata Naoya. “Apa kau menantangku?”

 

Sebelum terjadi adu jotos antara Yuuta dan Naoya, Satoru hadir menyelinap di belakang punggung Naoya. Dia bersorak ceria mendinginkan suasana. “Selamat datang, Minna! Oh, tidak! Aku kedatangan tamu agung! CEO Zenin Corp. Zenin Naoya! Mari kuantarkan dirimu ke ruang khusus~”

 

Naoya tergagap panik. Dia melihat Satoru bak hantu. Begitu takut, tetapi akhirnya bisa menolak. “Tidak! Apa yang kau lakukan di sini, Gojo! Kau seharusnya ada di kantormu--”

 

“Ya~ ya~ Kau pasti haus! Aku akan memberikan air minum terbaik yang kupunya! Ayo, Naoya-sama!” Satoru merangkul Naoya paksa menuju keluar aula.

 

Pada akhirnya, interaksi Satoru dan Naoya membuat bingung Yuuta, Inumaki, dan Maki.

 

“Eh? Etto ... umm ... Maki, kau ... ingin ... ganti baju? Kupikir ... aku bisa minta tolong Nobara meminjamkanmu pakaian yang--”

 

“Tidak perlu. Hanya ... berikan jasmu.”

 

Yuuta meneleng bingung.

 

Inumaki menghela napas membuat gerakan menyelimuti tubuh bagian atas dengan sesuatu mirip jas. Seketika, Yuuta langsung mengerti.

 

“Ah, benar! Ini, Maki!” Yuuta membuka jas hitamnya dan menyampirkan di pundak Maki yang terekspose.

 

Maki mendengkus. “Arigatou. Omong-omong, bukan aku yang menginginkan memakai pakaian seperti ini, Yuuta. Kau tidak marah, bukan?”

 

Yuuta buru-buru menyanggah. “Aku tidak punya pikiran seperti itu, sumpah! Untuk apa juga aku marah karena kau itu cantik, Maki! Dalam pakaian apapun, kau tetap menjadi Maki-ku Yang Tercantik!”

 

Suara pengakuan Yuuta terlalu keras untuk didengar semua orang. Musik DJ dan band bahkan ikut berhenti. Semua mata tertuju pada Yuuta dan Maki. Yuuji menyeringai jahil bersama Nobara. Mereka mendekat menyoraki.

 

“Cie~ cie~ ternyata kau juga bisa ngegombal, Yut?”

 

“Kentang, pasti kau belajar dari dia, kan? Lumayan~”

 

Yuuta memencak, jelas merasa mortifikasi. “Urusei! Urus saja urusan kalian masing-masing!”

 

Maki memilih menutup wajah dengan telapak tangan. Dia menyeret Inumaki ke meja prasmanan. Inumaki mengikuti sambil terkikik geli.

 

Satoru kembali usai mengurung Naoya di dalam ruang kebersihan yang gelap gulita dan kotor. Dia mengikatnya ke kursi kayu, tetapi tidak menyimpan mulut atau melakban mulutnya. Toh, ruang kebersihan juga tidak pernah ada orang yang ke sana di malam hari.

 

Pria albino berdecih melihat putra angkatnya malah ada di pojok kiri panggung. Tempat tersepi, hanya ditemani pot tanaman janda bolong. Di sana, Megumi melamun sambil memeluk erat pot.

 

“Oi!”

 

Itte! Sakit, tahu!”

 

Megumi kira, rambut bulu babinya bisa menjadi tameng dari jitakan Satoru. Ternyata, dia salah besar. Satoru masih bisa menjitak kepalanya.

 

“Megumi, kalau kangen sama si janda, jangan kau berkhayal janda bolong ini adalah dia.”

 

Urusei! Kau berisik!”

 

“Ayo, Megumi~ Ada banyak makanan enak yang bisa kau cicipi di sana~”

 

“Aku bukan kau yang hobi jajan dan makan. Tinggalkan aku sendiri!”

 

“Ya sudah!”

 

Satoru memilih menyapa kerumunan mahasiswi yang sedang bergosip. Dia meminta hadiah tanpa basa-basi. Setelah itu, Satoru mengambil aneka kue di atas meja prasmanan dan menumpuknya hingga menjadi menara. Megumi sungguh muak melihat tingkah ayah angkatnya yang seperti bocah.

 

Sambil bersandar di pot, Megumi menutup mata. Kala itu, dia mendengar suara bisikan. Suara yang sangat familiar untuknya.

 

“Megumi-kun, jangan menyerah dan tetaplah mencintaiku ....”

 

Saat mata terbuka, hanya kekosongan yang ada di sekitar Megumi. Sosok Miwa tidak terlihat. Megumi lantas tersenyum lembut menatap langit-langit aula. Dia kini yakin, Miwa benar-benar wanita yang dia cintai. Dia akan berjuang untuk mendapatkannya apapun rintangannya.

 

•Tbc•

Chapter 12: Pesta Yang Hancur

Summary:

“Apakah cinta lebih berharga bagimu daripada nyawa kekasihmu? Atau nyawa kekasihmu lebih berharga daripada cinta?”

“Suguru, aku tidak mengerti maksudmu!”

“Kau harus memilih, Satoru! Sekarang, yang kau lakukan itu salah! Kau mengorbankan nyawa kekasihmu! Nyawa adik kandungku! Apakah cinta yang kau inginkan akan tetap ada jika orang yang memiliknya mati?!”

“Aku bersumpah demi apapun! Aku tidak membunuh Amanai, Suguru!”

“Benar ... cintamu cinta buta, Satoru. Persetan dengan cinta. Persetan dengan teman. Kau ... bukanlah temanku lagi mulai detik ini. Sayonara.”

 

*Nah, mereka berpisah di Rumah Sakit Okinawa 🤧*

Chapter Text

Mobil sedan hitam berplat kuning berhenti tepat di halaman klinik. Di halaman tersebut, sudah berdiri sedari setengah jam sepasang kekasih. Kaca mobil pengemudi diturunkan, pengemudi bergender pria yang memakai tuxedo abu-abu dan dasi kuning polkadot melongok ke luar.

 

“Masuk, Shoko-san, Haibara-kun.”

 

Haibara dalam setelan jas hitam bertabur gliter memekik gembira. “Yeay! Arigatou, Nanami!”

 

Shoko, wanita berdress hitam selutut mendengkus. Mematikan puntung rokok di aspal. “Lama banget, kau, Nanami?”

 

Nanami menghela napas. “Gomenasai, Shoko-san. Utahime harus berurusan dengan beberapa guru dan staff untuk menghadiri pesta si Idiot. Belum lagi, dia harus memberi alasan tentang semua mahasiswi yang tidur lebih awal tiba-tiba.”

 

“Sekarang, dia di dalam mobilmu?” tanya Shoko.

 

“Tidak. Dia menunggu kita di pintu belakang Akademi Kaisen bersama Ijichi-san,” jawab Nanami.

 

Shoko dan Haibara masuk ke dalam mobil. Dokter wanita berdecih usai duduk di kursi belakang. “Bahkan Ijichi yang malang juga dipaksa melakukan ini olehnya!”

 

“Shoko ada benarnya. Sebenarnya, apa yang diinginkan Gojo-san dari pesta ini, sih?” gerutu Haibara sambil memakai sealt belt. Dia duduk di kursi depan samping kiri Nanami.

 

“Entahlah. Ayo kita cepat-cepat selesaikan ini. Aku sudah lelah,” erang Nanami. Mobil melaju cepat meninggalkan klinik milik Shoko menuju Akademi Kaisen.

 

Sementara itu, Utahime dan Ijichi masih berpatroli di sekitar pintu gerbang belakang Akademi Kaisen. Mereka takut kalau-kalau masih ada staff yang belum pulang ke rumah atau belum masuk ke asrama staff untuk beristirahat. Dari pengakuan Ijichi yang sudah tiga kali mengelilingi seluruh bangunan Akademi Kaisen, tidak ada satu pun staff dan guru di sana. Yang terpenting, Suguru juga tidak ada.

 

Kamisama ..., semoga pesta ini tidak membawa petaka,” do’a Utahime.

 

Ijichi mengamini.

 

Menit berikutnya, mobil yang dikemudikan Nanami tiba. Ijichi segera membuka pintu gerbang dan garasi tempat dia menaruh motor.

 

“Shoko! Aku merindukanmu!” Utahime langsung memeluknya erat dengan pekikan gembira. Melupakan sang kekasih.

 

Shoko membalas pelukan dan tersenyum lembut. “Utahime, aku juga merindukanmu. Salahmu sendiri yang menerima tawaran Suguru menjadi karyawannya.”

 

Utahime melepas pelukan. Dia berganti melesat memeluk sang kekasih. “Setidaknya, aku terjebak di sini bersama kekasihku~ Ya, kan, Kento?”

 

Nanami menoleh ke samping dan mengangguk. Rona merah di pipi tak bisa disembunyikan. Dia merasa malu kala bertingkah mesra di depan umum seperti ini.

 

Shoko dan Haibara terkikik bersamaan melihat tingkah sepasang kekasih itu.

 

“Ayo, Minna! Kita kacaukan pesta ulang tahun Idiot itu!" seru Utahime berapi-api.

 

“Yo!" sahut Haibara dengan semangat yang sama.

 

Haibara dan Utahime berjalan lebih dulu di depan meninggalkan Shoko bersama Nanami di belakang. Saat mereka melewati ruang kebersihan yang tak berlampu dan terkunci, mereka kaget mendengar suara orang minta tolong juga suara tangis. Kompak, keempatnya takut memilih berlari untuk sampai ke tujuan.

 

Musik DJ berhenti kala empat orang dewasa membobol pintu masuk aula. Menyebabkan dua mahasiswa penjaga pintu jatuh terjungkal. Satoru melesat panik menyambangi empat temannya.

 

“Ada apa, Nanamin? Shoko? Utahime? Haibara?!”

 

Utahime meneguk saliva menarik napas. Dia menunjuk gemetar ke belakang pintu dengan mata melotot horor. “I-tu ... di ruang kebersihan ... ada ... hantu ..., Gojo!”

 

Haibara merengek. “Shoko~ kita pulang aja, yuk!”

 

Satoru malah tertawa terbahak-bahak hingga tersedak. Para mahasiswa dan mahasiswi memilih melanjutkan dugem karena muak mendengar tawa Satoru.

 

“Idiot, mengapa kau tertawa?” tanya Nanami geram.

 

Satoru menyeringai menggoda Nanami. “Kau juga takut hantu, Na-na-min~”

 

“Tidak.”

 

“Ya~”

 

“Gojo-san, diamlah atau aku akan pulang.”

 

Bibir sewarna salmon mencebik. “Kalian mau tahu? Oke! Aku akan memberitahu dua orang saja!”

 

Satoru mulai berbisik di telinga Nanami dan Shoko. Senyum ceria mengembang kala melihat ekspresi pucat pasi keduanya.

 

Nanami menjitak kepala Satoru penuh emosi. “Dasar Idiot! Kau ingin dia mati ketakutan di sana, huh?!”

 

Satoru mengelus kepalanya yang cenat-cenut. “Lebay amat sampai bisa mati! Anak nakal itu tidak mungkin mati semudah itu, Nanamin!”

 

Shoko memijit pelipis. “Aku tidak mau menguburkan jasadnya. Tidak ada lahan kosong di klinikku, Satoru.”

 

“Shoko! Mengapa?!”

 

Utahime dan Haibara mendengkus meski tak tahu. Akan tetapi, mereka tahu apa yang dilakukan Gojo Satoru selalu tidak bermoral. 

 

“Jadi? Mana kuenya?” tanya Utahime datar.

 

“Ya! Bukankah kau ulang tahun hari ini, Gojo-san?” sambung Haibara.

 

Satoru terkekeh merasa bersalah. Dia mengalihkan pandangan ke samping kiri, tak mau menatap keempat temannya. “Etto ... kuenya ... sudah habis kumakan ... tepat tengah malam kemarin. Kalian tahu? Malam ini sebenarnya hanya ada pesta dansa. Tapi! Aku tetap akan menagih kadonya!”

 

Utahime menunjukkan jari tengah ke arah Satoru, lalu menggaet sang kekasih untuk pergi ke meja prasmanan. Mereka haus, ingin minum.

 

Haibara memekik panik mengguncang-guncang tubuh sang kekasih. “Shoko! Bagaimana ini?! Kita lupa beli hadiah ulang tahun untuk Gojo-san!”

 

“Tenanglah, Yuu. Satoru sudah kaya. Dia tidak butuh amat hadiah,” celetuk Shoko.

 

“Shoko! Aku butuh hadiahmu! Sebagai teman dekatku kau harusnya--”

 

Shoko memberikan sebatang rokok di tangan Satoru. Dia pun menarik paksa Haibara ikut dugem di antara muda-mudi. Meninggalkan Satoru yang merengek guling-guling di lantai.

 

Megumi jijik dan malu melihat tingkat sang ayah angkat. Namun, di sisi lain, dia juga kasihan melihatnya tidak mendapatkan hadiah di hari ulang tahunnya. Meski benar apa kata Shoko tadi, Megumi tetap mempersiapkan sebuah kado untuknya. Karena Gojo Satoru, Megumi tidak mungkin bisa hidup berkecukupan bersama kakak perempuannya. Mereka tidak mungkin bisa melanjutkan pendidikan hingga sekarang.

 

“Gojo-san, bangun. Aku punya hadiah ulang tahun untukmu.”

 

Binar gembira mulut di kedua mata. Tangisan dan rengekan dramatis Satoru keluar hingga menggema di aula. Megumi merasa malu karena sang ayah angkat kini memeluknya erat.

 

“Megumi-chan memang yag terbaik! Mana hadiahku?! Mana!” Satoru bertepuk tangan dan bersorak gembira.

 

Megumi menghela napas mengeluarkan sebuah kotak persegi panjang mungil warna hitam dengan pita putih. “Ini hadiahmu. Otanjibu Omedetou, Gojo-san.”

 

Satoru mengambil, segera membuka hadiahnya. Dia terperangah kala melihat benda itu. Benda yang paling dia inginkan, tetapi selalu ketinggalan dan kehabisan. “PULPEN DIGIMON! AWWW~ MEGUMI-CHAN PALING TAHU APA YANG KUINGINKAN!”

 

Sebelum Megumi tenggelam dalam genangan air mata dan ingus Satoru, dia melesat melarikan diri. Mencari tempat persembunyian yang aman dari kejaran Satoru.

 

Sudah pukul sebelas malam, Utahime dan Nanami sibuk berkeliling menyuruh para mahasiswi untuk kembali ke asrama. Namun, kebanyakan dari mereka menolak masih ingin berpesta.

 

“Nobara, ayo kita pulang,” ajak Fumi.

 

Nobara mendesis ke arah temannya. “Nanti dulu, Fumi-chan! Aku harus mengalahkan Kentang itu dalam adu panco! Jika tidak, aku harus menjadi pacarnya!”

 

“Nanti aja pulangnya, Fumi! Aku juga sedang punya urusan sama Inumaki!” teriak Saori dari seberang. Masih asyik duduk di samping kiri Inumaki. Dia sedang mencatat resep onigiri yang kata Inumaki paling enak.

 

Nobara menyeringai penuh kemenangan. “Lihat?”

 

Fumi cemberut. “Kau hanya mencari alasan saja, Nobara! Kau sebenarnya ingin jadi pacarnya Itadori-kun, bukan? Hayo ngaku!”

 

Wajah Nobara merah pekat. Dia melempar palu ke arah Fumi yang melarikan diri sambil terkikik.

 

“Nobara-chan~ apa itu benar? Kau ..mau jadi pacarku?" bisik Yuuji dari belakang Nobara.

 

Saat Nobara ingin pergi, tangannya ditarik hingga dia jatuh ke pelukan Yuuji. Pemuda bersurai undercut pink tersenyum menggoda. Nobara tersentak kaget melihat wajah Yuuji condong ke wajahnya. Napas hangat mereka bercampur jadi satu.

 

“Nobara ... apa jawabanmu ....”

 

“Aku ... ingin jadi ... pacarmu ... Itadori ....”

 

Belum sempat Yuuji dan Nobara berciuman,

 

Di saat Maki dan Yuuta berdansa mesra, juga hampir berciuman,

 

Ketika Megumi berhasil diseret keluar dari kolong meja prasmanan oleh Satoru,

 

Pintu aula terjeblak terbuka lebar.

 

Di ambang pintu, berdiri tegak seorang pria berpakaian gojo-kesa hitam. Rambutnya tergerai, dicepol sebagian. Iris violet menyipit tajam memandangi semua orang di depannya, lalu terfokus pada Satoru.

 

“Tuan Gojo Satoru, ada apa ini? Mengapa mahasiswa dan mahasiswi saling bercampur? Bahkan Saya lihat ada yang hampir berbuat mesum di aula suci kampus ini?”

 

Satoru melepas jinjingannya pada kerah kemeja Megumi. Dia terkekeh, tanpa takut melangkah menghadap sang Kepala Sekolah. “Suguru, malam ini, aku mengadakan pesta ulang tahunku di aula ini. Sama seperti dulu, ketika kita berpesta untuk merayakan hari jadi kampus dan kelulusan--”

 

Apa yang membuat semua orang yang hadir di pesta tersebut tercengang ialah Suguru Geto menampar keras pipi Gojo Satoru. Kacamata bulat hitam yang Dosen Musik itu pakai sampai terhempas ke lantai.

 

Satoru diam, masih menutup mata. Dia berbalik badan dan membungkuk untuk mengambil kacamata miliknya di lantai. Ada aura keseriusan dan seram kala Satoru membuka kedua matanya. Kacamata hitam tersebut dia kantongi di saku celana.

 

Lautan di Musim Panas. Warna mata sang Dosen Musik yang sangat indah lagi memukau membuat semua mahasiswa dan mahasiswi terkesiap. Megumi, Nanami, Utahime, Shoko, dan Haibara bersikap biasa saja. Mereka sudah melihat mata Satoru sebelumnya.

 

Satoru berbalik menatap nyalang Suguru membuat pria itu tergagap. Suguru merasakan berbagai macam nostalgia. Semua kenangan indah dan buruk menyerbu otaknya. Mata Satoru bagaikan sebuah kutukan yang menyeretnya ke dasar jurang kegelapan.

 

“Ada apa, Suguru? Apa lagi yang ingin kau lakukan padaku selain menamparku?”

 

Suguru menggeram marah. “Jangan panggil Saya Suguru! Kita tidak sedekat itu!”

 

“Lalu ...,” Satoru menunjukkan sebuah video di galeri ponselnya ke Suguru. Di sana terlihat Suguru menyelinap diam-diam ke ruangannya, lalu meletakkan seloyang besar kue black forest bertuliskan Happy Birthday Satoru di atas meja. Suguru langsung pergi dari sana.

 

“Apa itu, Suguru?” lanjut Satoru.

 

Wajah Suguru tampak tenang meski rahasianya terbongkar. “Masalah malam ini tidak ada hubungannya dengan video palsu itu, Tuan Gojo. Saya bertanya pada Anda. Siapa yang mengizinkan Anda membuat pesta ulang tahun di aula kampus?”

 

Satoru mendesah kembali mengantongi ponsel. “Apa aku perlu izin? Aku karyawanmu juga, bukan? Aula kampus ini adalah tempat umum yang bisa digunakan siapa saja--”

 

Suguru tertawa. “Anda salah, Tuan Gojo. Aula kampus ini bukan lagi tempat umum. Anda melupakan peraturan nomor sepuluh, huh? KEGIATAN PESTA ATAU PERAYAAN DILARANG DIADAKAN DI DALAM AREA KAMPUS.”

 

Satoru terkekeh, sedikit panik. “Ayolah, Pak Kepala Sekolah! Hanya sekali saja masa tidak boleh? Lagipun, para mahasiswa dan mahasiswi di sini butuh hiburan untuk melepas penat.”

 

Suguru menaikkan sebelah alis bersikap tak acuh. “Apa saya terlihat peduli? Mereka itu sudah dewasa, Tuan Gojo. Mereka bukan anak kecil. Masih banyak hal lain yang bisa dijadikan sebagai hiburan. Apa kurang selama ini pihak kampus membebaskan mereka bermain game di komputer? Mengikuti eskul? Bahkan mengikuti kelas musik Anda? Semua itu juga termasuk hiburan mereka.”

 

“Tapi ini berbeda, Pak Geto!”

 

“Apa yang berbeda? Kehadiran Kepala Asrama Wanita? Kehadiran Staff Tata Usaha Akademi Kaisen 2? Ada gadis asing berpakaian mirip pelacur? Ada pemuda penuh luka aneh di mulut? Atau ... sepasang pekerja klinik?" Suguru menyipitkan mata ke arah Shoko dan Haibara.

 

Satoru dan semua orang terdiam. Suguru mendesah memanggil seseorang untuk berdiri di sampingnya.

 

“Naoya-sama, silakan ceritakan apa yang terjadi pada Anda.”

 

Naoya, yang sekujur tubuh penuh bentol bekas digigit nyamuk, menyeringai sadis menatap semua orang, terutama Satoru. Dia menunjuk ke arah Satoru. “Saya di sini hanya untuk menemani pacar saya yang diundang ke pesta ulang tahun. Tapi dia! Gojo Satoru malah memisahkan saya darinya! Dia mengurung saya di Ruang Kebersihan sampai saya digigit nyamuk!”

 

“Nah, bagaimana dengan ini, Tuan Gojo? Apa mengurung tamu Anda yang sialnya merupakan donatur terbesar kampus ini adalah bagian dari hiburan semua orang?” tanya Suguru dingin.

 

Para mahasiswa dan mahasiswi saling berbisik membicarakan Zenin Naoya. Mereka tidak tahu donatur terbesar kampus hadir di pesta Satoru. Mereka mulai meragukan sikap dan perilaku sang Dosen Musik. Mereka ragu untuk berpihak padanya, kecuali Yuuji, Yuuta, dan Megumi.

 

“Pak Geto, masalah yang satu itu adalah masalah pribadiku dengan Naoya. Jadi, aku tidak akan mau meminta maaf atas itu,” ujar Satoru santai.

 

“GOJO SIALAN! LIHAT SAJA! AKU AKAN MENYURUH GETO UNTUK MEMECATMU!” teriak Naoya emosi.

 

Suguru langsung melirik sinis ke arah Naoya. “Siapa Anda berani memerintah saya? Jangan kira karena Anda adalah donatur terbesar kampus ini, Anda seenaknya memerintah saya yang berstatus Kepala Sekolah di sini. Masalah ini akan saya selesaikan secara empat mata dengan Tuan Gojo. Ini adalah masalah kampus Akademi Kaisen, Naoya-sama.”

 

“Cih! Terserahlah!” Naoya menggeram ke arah Maki yang disembunyikan di balik punggung Yuuta. Dia memutuskan pulang ke rumah.

 

Tatapan dingin nan kelam Suguru beralih ke arah Utahime dan Nanami. “Nona Utahime, Tuan Nanami, apa kalian juga diundang oleh Tuan Gojo?”

 

Utahime dan Nanami kompak menjawab pelan sembari menunduk takut. “Ya, Geto-sama.”

 

Suguru berdecak. “Apa kebersamaan kalian kurang hingga harus melanggar peraturan? Jika saya orang yang jahat, saya tidak akan pernah menerima kalian kerja di sini, apalagi satu kampus.”

 

Sumimas--”

 

Suguru memotong ucapan maaf Utahime. “Cukup! Simpan permintaan maaf itu untuk sidang besok, Nona Utahime. Sekarang, untuk orang-orang luar kampus yang ada di sini, saya persilakan untuk keluar dari sini.”

 

Meski berat melepaskan Maki dan Inumaki, Yuuta akhirnya membiarkan mereka pergi melewati Suguru yang masih berdiri di ambang pintu aula.

 

Shoko menarik paksa Haibara untuk pergi juga dari aula. Namun, saat mereka berpapasan, Shoko berhenti dan mengatakan hal berani pada Suguru.

 

“Malam ini, aku akhirnya percaya. Bahwa apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh Satoru sia-sia. Kau ... bukanlah Geto Suguru yang kami kenal lagi. Nikmatilah jalanmu sendiri. Sayonara.”

 

Suguru mengeratkan rahang, tangan kanan terkepal erat. Ada sesuatu yang membuat ulu hati Suguru berdenyut sakit kala mendengar ucapan Shoko. Meski begitu, Suguru tetap pada pendirian. Dia harus menjadi Kepala Sekolah yang tegas dan disiplin.

 

“Apa yang kalian lihat? Bubar! Ini adalah waktunya kalian semua tidur!” teriak Suguru mengusir semua orang dari aula.

 

Satu per satu mahasiswa pergi melewati Suguru dan Satoru yang masih saling berhadapan. Adegan tersebut membawa mereka kembali ke tahun itu. Di mana mereka berada di rumah sakit usai mengantarkan Amanai yang bersimbah darah.

 

Satoru ingat, Suguru membentak dan mengutuknya hari itu. Menyalahkan reuni yang terselenggara di Pantai Okinawa atas gagasan Satoru. Menuding Satoru telah membunuh Amanai karena cinta mereka tidak direstui Gakuganji.

 

“Apakah cinta lebih berharga bagimu daripada nyawa kekasihmu? Atau nyawa kekasihmu lebih berharga daripada cinta?”

 

“Suguru, aku tidak mengerti maksudmu!”

 

“Kau harus memilih, Satoru! Sekarang, yang kau lakukan itu salah! Kau mengorbankan nyawa kekasihmu! Nyawa adik kandungku! Apakah cinta yang kau inginkan akan tetap ada jika orang yang memiliknya mati?!”

 

“Aku bersumpah demi apapun! Aku tidak membunuh Amanai, Suguru!”

 

“Benar ... cintamu cinta buta, Satoru. Persetan dengan cinta. Persetan dengan teman. Kau ... bukanlah temanku lagi mulai detik ini. Sayonara.”

 

Satoru termenung, masih berada dalam ingatan buruknya. Dia tidak menyahut saat dipanggil oleh Megumi, Yuuji, dan Yuuta. Ketiga mahasiswa memilih pergi tanpanya. Nanami dan Utahime juga gagal mengajaknya kembali ke asrama dosen dan staff.

 

Satoru masih terpaku ke bumi.

 

Satoru masih menatap lekat Suguru.

 

Kesunyian mengambil alih. Suguru masih membalas tatapan Satoru dengan penuh kebencian. Dia akhirnya bersuara, menimbulkan efek gema yang menusuk hati Satoru karena aula sudah kosong.

 

“Aku tidak peduli dengan video itu. Asal kau tahu, Gojo. Aku melakukan itu karena terpaksa. Aku hanya ingin menjalankan amanah terakhir dari adikku. Karena ... kita semua tahu bahwa kau ... adalah anak manja menyedihkan yang membutuhkan belas kasih dari semua orang. Jangan lupa datang ke ruanganku pukul delapan pagi, Gojo.”

 

Satoru jatuh berlutut menundukkan kepala menyembunyikan tangisan. Suguru berbalik, melangkah keluar dari aula. Tanpa dia bisa terlihat, Amanai ikut berlutut di samping kanan Satoru dan memeluknya erat. Kedua mata sang hantu tertuju pada punggung Suguru yang kian menjauh.

 

“Aku tidak bisa lagi ... aku tidak mampu ..., Amanai ....”

 

Riko Amanai tersenyum getir mengelus rambut putih sang kekasih. “Kau bisa, Satoru. Kau adalah ... Yang Terkuat. Hati onii-san sebentar lagi akan luluh dan akhirnya ... dia memafkanmu. Juga ... merestui ... hubungan kita.”

 

Satoru mendongak, lalu memeluk erat gadis yang sangat dia cintai. Satoru menangis dalam diam.

 

 

 

 

 

 

 

•Tbc•

Chapter 13: Ui Ui dan Mei Mei (Bagian Satu)

Summary:

Yuuji memutuskan menghibur Sensei dan kedua temannya dengan mengunjungi Paman Sukuna.

 

Identitas sebenarnya bocah yang dekat dengan Jiwa terungkap.

Belum lagi, silsilah keluarga Uraume.

Chapter Text

Murung dan Lesu. Kini, kawan bahkan sang Dosen favorit mengalami hal mengerikan ini. Yuuji tak percaya, di Malam Minggu ini yang berbahagia cuma dia seorang.

 

Yuuta sedang menatap lesu ponsel.

 

Megumi merenungkan nasib.

 

Dan Gojo Satoru sibuk memeluk bantal sambil terisak menyebut nama Amanai.

 

“Ini tidak bisa dibiarkan! Ayolah! Ini Malam Minggu, Minna! Berbahagialah!” seru Yuuji berapi-api.

 

Yuuta mendesah lelah, berbaring tengkurap di atas ranjang. “Hanya nasib cintamu yang bahagia, Itadori. Aku tidak. Karena Maki tak pernah lagi membalas pesanku sejak malam itu.”

 

“Ya sudah! Kita ke rumahnya saja! Beres, kan?” sungut Yuuji.

 

Megumi berdecak sebal. “Tak semudah itu, Itadori. Kita harus mencari cara mengelabui Pak Kepsek agar bisa menyelinap keluar dari sini.”

 

Yuuji menjentikkan jari sambil terkekeh. “Itu, mah, kecil! Kita kan punya Gojo Sensei! Ya, kan-- EH?! SENSEI?!”

 

Satoru kayang, separuh badan bagian atas hampir jatuh dari ranjang Yuuji. Tatapan mata aquamarine kosong. Dia bergumam pelan.

 

Gomen, Amanai .... Aku tidak bisa menyelamatkan Suguru. Mungkin, sudah menjadi takdir cinta kita tak pernah bersatu. Temanku Satu-satunya Yang Berharga ... tak bisa lagi kuperbaiki ....”

 

Meski sedang murung, Megumi harus bertindak. Dia sangat risih melihat tingkah laku ayah angkatnya yang absurd. Sebab itu, dia menendang pinggul bagian kiri Satoru hingga pria albino jatuh tersungkur di lantai. Alhasil, Satoru merengek dan memencak ke arah pemuda bulu babi.

 

“Megumi-chan! Sakit, tahu!”

 

“Biar tahu rasa! Gak guna banget kau di sini, Gojo-san! Tidak adakah pekerjaan lain yang bisa kau lakukan? Mengapa sore-sore begini malah di sini?! Ini basecamp anak muda! Tidak boleh ada kakek-kakek di sini!”

 

“Megumi-chan kejam!”

 

Berakhirlah Satoru tantrum di lantai. Berguling kiri-kanan demi mendapat perhatian. Di tengah kekalutan, Yuuji mendapatkan ide cemerlang. Dia meneriaki semua orang untuk diam, khususnya Satoru.

 

“Ehehehe! Aku dapat ide bagus agar kita semua bahagia malam ini!”

 

“Apa itu?” tanya Megumi, sudah punya firasat buruk.

 

Yuuji mengangkat kepalan tangan ke udara menyorakkan idenya. “Ayo kita berlima silaturahmi ke rumah Pamanku! Nanti, pulangnya kita ngopi di Cafe Maki! Setuju?”

 

Yuuta langsung turun dari ranjang menghampiri Yuuji. “Cotto matte, Itadori! A-ku belum siap!”

 

Yuuji mengibaskan tangannya tanda tak peduli. “Hilih! Mau sampai kapan kau gantungin Maki, huh, Yut?”

 

Yuuta terdiam merenung.

 

“Bisakah kita mampir ke tempat kerja temanku juga?!” Satoru berlutut di hadapan Yuuji sambil mengeluarkan jurus puppy eyes.

 

Yuuji mendengkus. “Ya. Lagian, kita butuh mobilmu, Sensei. Masa naik motor? Nanti image-ku jatuh, dong, di depan Bebebku!”

 

Satoru berdiri menyenggol Yuuji seraya menyengir. “Acieee~ yang baru jadian~ Oke! Sensei Yang Tamvan dan Terkuat ini akan mengabulkan keinginan Murid Favoritnya! Kalau begitu, Sensei akan menelepon Ijichi untuk mengeluarkan mobil kedua Sensei dari garasi sekolah!”

 

Yuuji melongo takjub. “Keren! Aku baru tahu Sensei punya dua mobil di garasi sekolah!”

 

Satoru tertawa sombong. “Gojo Satoru gitu loh!”

 

Megumi berceletuk menghancurkan senyum Satoru dan Yuuji. “Aku tidak mau ikut. Aku mau tidur.”

 

Yuuji menjambak rambutnya frustasi sambil berlutut di lantai. “Mengapa?! Mengapa, Fushiguro!”

 

Megumi menjawab dengan tampang datar. “Besok aku ada ujian.”

 

Yuuji melesat menggoyangkan tubuh Megumi. “Sadarlah, Fushiguro! Ujianmu bisa diremedial! Tapi kalau cinta, tidak bisa diremedial, tahu! Lamarlah Miwa-chan sebelum dia dilamar orang lain!”

 

Megumi menepis tangan Yuuji dan memencak. “Aku belum ada niat bertindak sejauh itu, Idiot! Kalau kau mau pergi ke sana, pergi saja berempat!”

 

Satoru datang menerjang Megumi dengan pelukan erat. Dia merengek. “Ayolah, Megumi-chan! Aku ... aku juga ingin bertemu calon besan dan calon menantuku~ Ayahmu sangat ingin melihat kau bahagia, hidup berumah tangga~ Jangan jadi jomblo ditinggal mati macam Ayahmu ini~”

 

Yuuta mendekat perlahan berusaha membujuk Megumi. “Fushiguro-kun, anu ... bisakah kau ikut saja? Nanti ... aku traktir kopi favoritmu, deh. Ya?”

 

Lama terdiam dan menatap semua orang, Megumi akhirnya menyerah. Dia mengangguk setuju membuat semua orang menerjangnya dengan pelukan. Dia harus mengusir semua orang dari tubuhnya, lalu pemuda bulu babi memilih mandi.

 

Setelah tiga mahasiswa Akademi Kaisen selesai bersiap-siap, Satoru menjemput ketiganya. Mereka berjalan pelan dan waspada pada sekitar. Takut-takut Suguru melintas. Beruntung, mereka sampai dengan selamat di garasi Akademi Kaisen di area pintu belakang kampus.

 

Yuuji pamit, berlari secepat kilat menjemput Nobara yang menunggu di pintu belakang asrama Akademi Kaisen 2. Sementara itu, Satoru memanaskan mobil kedua yang lebih bagus dari mobil pertama, Mercy hitam. Ijichi masih menangis dalam kecemasan. Pria malang tersebut sangat takut Suguru mengetahui pelanggaran yang dilakukannya.

 

“Santai, Ijichi~”

 

“T-tapi, Gojo-san, mahasiswa dilarang keluar kampus di malam hari--”

 

“Cup, cup, cup~ Aku tahu itu, Ijichi. Apa salahnya bersikap tenang? Suguru tidak akan tahu ... mungkin. Eh? Tapi! Kalaupun dia tahu, beritahu saja aku mengajak mereka study tour. Beres!”

 

“Tapi--”

 

Protesan Ijichi dipotong sapaan Yuuji dan Nobara. Gadis Akademi Kaisen 2 tampak gelisah. Bukan karena penampilannya, melainkan tujuan mereka bepergian malam ini. Yuuji yang perhatian pun memeluk pinggangnya mencoba menenangkan.

 

“Sudah siap, Minna!” pekik Satoru heboh.

 

Yuuji dan Nobara yang paling heboh menjawab. “Siap, Sensei!”

 

Yuuta menggelengkan kepala sambil tersenyum mahfum. Dia juga sangat syok dan exicited melihat mobil kedua milik sepupunya. Tesla keluaran terbaru sewarna mata Satoru.

 

Megumi tak peduli pada semua orang. Dia memilih duduk pertama kali di depan di samping kanan Satoru.

 

Yuuji awalnya protes ingin minta tukar tempat dengan Megumi, tetapi Yuuta melerai. Mereka bertiga pun duduk di kursi belakang. Yuuta merasa sungkan menjadi nyamuk di antara kemesraan Yuuji dan Nobara.

 

Mobil Tesla berderam pergi meninggalkan Akademi Kaisen menuju satu tempat. Kuil Ryomen Sukuna.

 

***

 

F*ck! Jika aku tahu kita harus menaiki tangga curam sebanyak ini, aku tidak akan memakai gaun! Ini semua salahmu, Kentang!”

 

“Beb, maafin aku .... Aku lupa memberitahumu tentang jalan menuju rumah paman Kuna ....”

 

“Tiada maaf bagimu, kecuali belikan aku tas brandit!”

 

Yuuji sempoyongan, tubuhnya terasa setipis kertas. Untung saja Yuuta mau menangkapnya. Megumi berjalan di belakang mereka dan bersikap acuh tak acuh. Satoru paling depan karena kaki jerapahnya memungkinkan dia sampai di puncak lebih dulu.

 

Begitu besar perjuangan yang mereka lalui malam ini. Namun, baru saja sampai di halaman kuil, seorang wanita berambut silver potongan bob dengan tanda merah aneh di sebagian rambut menyambut sinis. Jangan lupakan dia menggenggam erat sebuah bambu runcing.

 

“Pergi dari kuil ini, Para Penyusup!”

 

Satoru tertawa kelam. Tanpa takut, dia maju ke depan wanita tersebut. Kacamata bulat hitam dibuka dikantongi di saku jaket kulit. Cahaya di kedua mata aquamarine memancarkan keangkuhan. “Berani kau mengusir kami, huh? Kau pikir, kami takut dengan sebatang bambu runcing?”

 

Sebelum jatuh korban yang merugikan kedua belah pihak, Yuuji maju melerai. Dia tersenyum kikuk di hadapan tantenya. Dia membungkuk meminta maaf.

 

Sumimasen, Obasan! Aku datang tanpa pemberitahuan bersama teman-temanku dan guruku! Kami cuma ingin bersilaturahmi!”

 

Obasan?! Jangan pura-pura mengenalku, Bocah!”

 

“Tapi aku--”

 

Nobara memencak memotong ucapan Yuuji. “Kentang Sialan! Ini keluargamu atau bukan, sih?! Kenapa kita tidak disambut dengan baik?!”

 

“Beb, percayalah! Ini keluargaku! Ini adalah Obasan-ku! Biar kupanggil Paman Kuna keluar!—PAMAN KUNA! KELUAR! YUUJI DATANG, NIH! AYOLAH! AKU INGIN MAKAN! LAPER!”

 

Wanita itu, Uraume langsung naik darah. Dia hendak melemparkan bambu runcing ke arah kepala Yuuji, tetapi bambu tersebut malah patah terbelah menjadi dua dengan misterius.

 

Aura yang kuat nan berbahaya menguar di udara. Semua orang waspada, bahkan kaki mereka terpaku di bumi. Namun demikian, Satoru tetap berdiri paling depan menutupi para muridnya.

 

Pisau bumerang seukuran pisau lipat kembali ke tangan pemiliknya. Seorang pria tinggi tegap yang memakai kimono putih berobi hitam masih berdiri tegak di teras kuil. Mata merah delima memicing tajam memandangi satu per satu orang asing di bawah tangga kuil.

 

“Tahan, Uraume. Biar aku yang mengurus Para Penyusup ini.”

 

Uraume bersujud menimbulkan pekikan heran tertahan semua orang, kecuali Satoru. Pria albino bersedekap mencibir.

 

Sumimasen, Sukuna-sama! Kau tidak perlu turun tangan menangani penyusup ini! Aku masih bisa--”

 

“Uraume, siapa mereka? Dan ... mengapa Anak Bulu Babi muncul lagi di sini?”

 

Uraume tersentak, dia menoleh ke belakang mencari anak yang dimaksud sang suami. Dia menggeram rendah ke arah Megumi yang tampak tak acuh.

 

“Aku tidak menyadari pemuda yang berani menggoda menantu kita ada di sini lagi, Sukuna-sama. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi ... pemuda yang mirip denganmu bilang aku ini Obasan-nya,” terang Uraume.

 

Saat mata Sukuna tertuju pada Yuuji, pria bertato langsung mencebik. Yuuji sendiri tanpa rasa bersalah malah tersenyum dan melambai ke arahnya.

 

“Paman Kuna! Kau kenal aku, bukan? Aku Itadori Yuuji!”

 

“Tidak! Aku tidak kenal bocah mirip pokemon sepertimu!”

 

“Hey! Paman Kuna kok jahat banget sama keponakan sendiri! Kusumpahin jadi Pou!”

 

Urusei, Gaki! Pergi dari kuil suciku!”

 

Uraume terdiam. Tatapan penuh kebencian berubah menjadi kesedihan. Setelah mendengar nama lengkap pemuda mirip sang suami, dia pun langsung tahu kebenarannya. Sejak dulu, Sukuna hanya menyebutkan nama marga aslinya dan nama keponakannya selama mereka berpacaran. Hanya Uraume yang mengetahui silsilah Sukuna, tidak dengan keluarga angkatnya bahkan Miwa dan Muta.

 

Nobara terkekeh menatap remeh Sukuna. “Jadi, ini dia pamanmu, huh, Yuuji? Arogan dan angkuh sekali! Di mana sopan santunmu pada pacar keponakanmu ini!”

 

Satoru bertelak pinggang mengomel. “Benar, tuh! Tamu seharusnya diperlakukan dengan baik! Bukankah kalian orang kuil? Harusnya kalian lebih ramah pada pengunjung seperti kami! Terlebih, aku bisa mengusir kalian dan membeli kuil ini jika aku mau!”

 

Sukuna emosi. Dia menuruni tangga kuil hingga berhadapan dengan Satoru. “Kuil ini tidak dijual. Jika kau sangat ingin bertamu bersama orang-orangmu, maka dengan senang hati aku menyambut kalian semua.”

 

Satoru terkekeh, menepuk pundak Sukuna. Aura kebencian terpancar dari kedua belah pihak. “Terima kasih atas sambutan yang spektakuler ini, Ryomen Sukuna.”

 

Satoru memanggil para muridnya untuk masuk ke dalam kuil. Uraume baru akan melarang mereka, tetapi Sukuna menyuruh melanjutkan aktivitasnya.

 

Bibir Sukuna berkedut kala menemukan dirinya dipeluk erat Yuuji.

 

“Paman Kuna, aku merindukanmu.”

 

Gaki, apa aku terlihat seperti pamanmu? Tidak!”

 

“Paman Kuna kenapa, sih?! Apa ... Paman marah pada kami ... karena ... kakek mengusirmu--”

 

“Aku tidak mengerti dan tidak peduli pada urusan keluargamu.”

 

Sukuna pergi menjauh membuat semua tamu tak diundang duduk di tatami ruang tamu. Di rumah keluarga Ryomen yang terletak di samping kanan kuil.

 

“Mengapa sikap Paman Kuna seperti itu padaku ....”

 

Kesedihan Yuuji mendapat empati dari semua orang.

 

“Sabar, Itadori. Sepertinya, pamanmu ini punya sifat Tsundere. Dia mungkin ... merasa bersalah karena sudah meninggalkanmu dan keluargamu,” tutur Yuuta menepuk pundaknya.

 

Satoru mengangguk tersenyum lembut. “Yuuta benar, Yuuji-kun. Kita lihat saja nanti apakah pamanmu akan goyah pada sifatnya atau tidak.”

 

Nobara terus menepuk kepala sang kekasih mencoba menghiburnya. Sementara itu, dia meminum air dari teko tanah liat di atas meja kayu tanpa permisi. Dia sangat haus sehabis menaiki tangga demi tangga.

 

Megumi celingak-celinguk memandangi sekeliling. Dia sibuk mencari keberadaan sang pujaan hati.

 

Uraume datang membawa baki berisi lima gelas bambu teh ocha dan semangkuk besar mochi handmade aneka rasa. Kebencian Satoru sirna pada Uraume dan Sukuna ketika melihat makanan manis tersebut. Tanpa malu, dia merebut semua mochi. Memeluknya erat di dada sambil melahap satu demi satu.

 

“Oi! Itu mochi untuk semua orang, bukan untukmu saja!” tegur Uraume keras.

 

Masih dengan mulut menggembung, Satoru melihat ke arah para muridnya. “Apa kalian keberatan aku menghabiskan mochinya?"

 

Mereka sweetdrop, lalu kompak menggeleng. Mereka sebenarnya lapar, tetapi demi menjaga mood donatur terbesar, apapun akan dilakukan.

 

“Dengar, bukan? Mereka tidak ingin mochi-nya. Daripada mubazir, mendingan aku habisin. Bukankah aku menghormati suguhan Tuan Rumah?”

 

“Cih! Terserahmu! Tunggu saja di sini sampai Sukuna-sama kembali!”

 

Sebelum Uraume pergi, Megumi bertanya padanya. “Anu ... umm ... Miwa di mana?”

 

Uraume menunjuk penuh permusuhan pada Megumi. “Oh! Kau! Kau rupanya yang merencanakan ini semua hanya untuk menggoda menantuku?! Dasar Bulu Babi! Aku tidak akan membiarkanmu mendekati menantuku!”

 

“Maaf saja, Uraume-san. Namaku Megumi, bukan Bulu Babi. Dan ... aku akan terus datang untuk mendekati Miwa. Biar bagaimanapun, dia pantas mendapatkan kebahagiannya sendiri! Dia boleh mencintai seseorang lagi dan membuka lembar baru!”

 

Satoru terkesima mendengar ucapan lantang anak angkatnya. Dia merasa bangga. Megumi tak perlu lagi dibimbing untuk menggapai cintanya sendiri.

 

Uraume mendesis marah. “Siapa kau terus membicarakan kehidupan pribadi menantuku! Seharusnya, kau tidak berharap terlalu tinggi! Menantuku orang yang setia! Cintanya hanya untuk Muta!”

 

Yuuta menengahi. “Sudah, sudah. Tidak baik terus bertengkar seperti ini. Megumi, tolong tahan emosimu. Mohon maafkan teman saya, Uraume-san.”

 

Uraume mendengkus, kembali ke belakang.

 

Tak lama, mereka mendengar suara tawa anak kecil dan seorang wanita dari lantai dua. Di anak tangga, muncul seorang bocah lelaki bersurai silver bermata hitam. Dia memakai setelan kemeja putih lengan pendek dan celana pendek bahan hitam. Tak seperti Sukuna dan Uraume, pakaian bocah ini terlihat lebih modern.

 

Bocah tersebut menghentikan langkahnya di depan Satoru. Mereka saling mengamati dalam diam. Sampai akhirnya, Satoru bersuara mengejutkan semua muridnya.

 

“Ui Ui? Kenapa kau ada di sini?”

 

 

 

 

•Bersambung Ke Bagian Dua•

Chapter 14: Ui Ui dan Mei Mei (Bagian Dua)

Summary:

Yuuji memutuskan menghibur Sensei dan kedua temannya dengan mengunjungi Paman Sukuna.

 

Identitas sebenarnya bocah yang dekat dengan Jiwa terungkap.

Belum lagi, silsilah keluarga Uraume.

Chapter Text

Seringai nakal bocah bernama Ui Ui tersungging di bibir. Dia menerjang Satoru dengan pelukan erat.

 

“Satoru! Ke mana saja kau selama ini?! Nee-san mencarimu sampai harus mengunjungi perkebunan Klan Gojo, tahu!” Ui Ui semakin mengeratkan pelukan di leher Satoru.

 

“Hentikan! Jangan cekik leherku, Ui Ui! Mei Mei-san mencariku? Untuk apa?” tanya Satoru heran.

 

Ui Ui melepas pelukan. Dia mengangkat bahu. “Entah. Dia tidak memberitahuku waktu itu. Katanya, ini adalah informasi penting untukmu. Bleh! Dasar orang dewasa!”

 

“Lalu? Kenapa kau di sini? Di mana kakakmu?”

 

Belum sempat Ui Ui menjawab, dia sudah ditangkap dan dipeluk erat dari belakang oleh seorang wanita berkimono pink motif sakura. Kehadirannya langsung membuat Megumi sigap berdiri.

 

“Kena kau, Ui Ui!”

 

“Tidak! Kau curang, Miwa Nee-chan! Lepaskan aku!”

 

“Miwa!”

 

Miwa berhenti tertawa, melepas pelukannya pada Ui Ui. Bocah itu menjulurkan lidah, lalu melarikan diri entah ke mana. Seketika, janda kembang itu menatap sinis ke arah Megumi dan semua orang yang hadir.

 

“Untuk apa kau kemari? Masih belum menyerah?”

 

“Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan cintamu, Miwa.”

 

Satoru bersiul. Segera, dia mendapatkan delikan dari Megumi dan Miwa. Akan tetapi, detik berikutnya, Miwa tergagap panik menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

 

Megumi menggeram tak suka atas reaksi Miwa pada Satoru. “Ada apa dengan reaksimu melihat ayah angkatku?”

 

Miwa tergagap panik. Dia terkekeh malu-malu. “Umm ... dia ... ayah angkatmu? Gojo ... Satoru? Pemain Biola Nomor Satu Di Dunia?”

 

“Ya!” Megumi menjawab kasar.

 

Satoru tersenyum menggoda calon menantu. “Miwa-chan~ aku sungguh terharu kau mengetahui prestasi membanggakan milikku dari yang lainnya~”

 

A-arigatou gozaimasu, Gojo-san! Uh ... bolehkah ... aku minta fotomu?”

 

“Boleh~ boleh~”

 

Cotto matte!”

 

Satoru mengira Miwa akan membawa ponsel, tetapi wanita itu malah membawa kamera kuno. Mau tak mau, Miwa meminta tolong pada Megumi untuk memfoto dirinya dan Satoru. Megumi menolak awalnya. Namun, berkat Yuuta yang turun tangan, Megumi mau memfoto mereka diawasi oleh Yuuta.

 

Yuuji masih berada di dunia kesedihannya sendiri. Sedang Nobara berbaring di lantai kayu, dia ketiduran.

 

“Wah! Hasilnya bagus sekali! Kau berbakat, Megumi!” puji Miwa tanpa sadar.

 

Amarah pemuda bulu babi luntur seketika kala dipuji sang pujaan hati. Dia tersenyum, membuat Yuuji terkena serangan jantung. Yuuta melongo dan Satoru terkikik geli.

 

Arigatou, Miwa.”

 

Miwa tersentak tersadar pada ucapannya tadi. Wajah dingin kembali muncul. “Itu hanya pujian biasa. Jangan harap aku menerimamu di sini.”

 

Megumi menunduk layu.

 

“Miwa, mengapa kau ada di sini?”

 

Kehadiran Sukuna membuat Miwa pucat pasi ketakutan. Dia membungkuk di depan Sukuna yang baru datang. “Sumimasen, Sukuna-sama! Aku ... sedang bermain kejar-kejaran dengan Ui Ui dan tidak sengaja ... ada di sini! Aku akan mencari Ui Ui!”

 

Miwa berlari, Megumi hendak mengikuti. Akan tetapi, Sukuna mencekal lengannya dan memelototi ganas.

 

“Apa yang ingin kau lakukan, Fushiguro Megumi?”

 

Megumi balas menatap tajam Sukuna. “Lepaskan aku! Aku ingin berbicara dengan Miwa!”

 

Belum sempat Sukuna menjawab, dia sudah disergap pelukan erat dan tangisan dari Yuuji. Megumi memanfaatkan situasi untuk kabur darinya.

 

“Tunggu! Persetan! Jangan peluk aku, Gaki!”

 

“Paman Kuna ... aku ... minta maaf ... karena ... tidak mencarimu dan mengajakmu pulang ke rumah ....”

 

“Sudah kubilang aku bukan--”

 

“Mau sampai kapan kau menolak hubungan darah di antara kita, Paman Kuna! Lagipula ... meski kau ... suka judi online ... tapi sekarang kau berubah! Kau membuktikan padaku bahwa kau sudah bertobat ke jalan yang benar! Tolong ... kembalilah pada kami ..., Paman Kuna.”

 

Hening, lalu Sukuna menyuruh Yuuji duduk kembali. Dia pun mengambil duduk di samping kiri Yuuta, menjauh dari Satoru. Pria bertato mendesah lelah, mulai berbicara.

 

“Kuakui, aku menyangkalmu dan seluruh keluargamu, Yuuji. Meskipun kita berhubungan darah, tapi sudah lama aku memutuskan tali tersebut. Di sini, aku merasa dihargai. Aku tidak bisa kembali karena di sinilah tempatku seharusnya berada. Aku sudah bahagia dengan keluargaku yang baru.”

 

Yuuji menunduk sedih. Nobara berjingkat bangun dari tidur kala mata kirinya disentil Sukuna. Gadis itu pun terkekeh tengsin.

 

“Sa-salam kenal, Sukuna-san. Aku Kugisaki Nobara, pacarnya keponakanmu,” sapa Nobara.

 

Sukuna berdecih. “Cih! Bahkan jodohmu pun mirip sifat kakekmu, Gaki!”

 

Yuuji tersenyum lembut. “Bukankah kau juga? Maksudku ... Uraume-san memang galak, sih, tapi tidak segalak kau.”

 

“Setidaknya dia mengerti sopan santun,” celetuk Sukuna.

 

Nobara berkoar marah merasa tersinggung. “Permisi?! Kurang sopan apa aku ini di matamu, Wahai Sukuna Yang Agung?! Jika aku tidak sopan, maka aku akan memakai bikini ke rumahmu!”

 

“Lihat?”

 

“SIALA--”

 

“Beb, udahlah. Kau tak akan menang melawan Paman Kuna.”

 

Satoru memutuskan menimbrung. “Nah, I'd win.”

 

Tatapan menusuk tertuju pada Satoru. “Jangan sombong, kau, Albino.”

 

Satoru memprotes. “Namaku Gojo Satoru! Camkan itu!”

 

Sukuna sempat lengah terperangah mendengar nama Satoru. Tak lama, dia berdecih.

 

Yuuji lanjut bicara. “Baiklah jika memang itu yang Paman Kuna inginkan. Tapi ... bisakah aku menyampaikan berita bahwa Paman Kuna masih hidup dan sehat walafiat? Juga ..., kau tahu? Kakek sudah lama meninggal sejak aku SMP.”

 

“Oh.”

 

“Hanya itu responmu?”

 

Sukuna mendesah. “Lalu, apa yang kau inginkan dariku, Gaki?”

 

“Kau ... tidak menyimpan dendam pada kakek, kan?” tanya Yuuji cemas.

 

“Untuk apa menyimpan dendam pada orang yang sudah tiada. Biarlah Kamisama yang mengurus semua dosa-dosanya,” jawab Sukuna.

 

Yuuji menangis haru mendengarkan perkataan agamais dari pamannya. Dia kini sangat yakin pamannya sudah berubah dan bertobat.

 

Arigatou, Paman Kuna.”

 

Sukuna mengangguk kuat. “Kau juga. Jadilah anak yang berbakti pada orang tua. Jangan contoh pamanmu ini, paham? Kalau pacaran juga sewajarnya. Utamakan pendidikan kalian dulu.”

 

Nobara dan Yuuji saling tatap dan tersenyum riang. “Siap, Paman Kuna!”

 

Satoru berdeham mencari atensi. “Omong-omong, Sukuna? Ada hubungan apa kau dengan Mei Mei?”

 

Mendengar nama tersebut, wajah Sukuna langsung suram.

 

“Sukuna?”

 

“Apa pedulimu, Gojo Satoru? Kau jelas bukan keluarganya.”

 

Satoru mencibir. “Aku masih keluarganya, meski dia saudara jauh yang tak dianggap.”

 

Yuuta menunjuk diri sendiri. “Macam aku?”

 

Satoru menyengir, lalu menggeleng. “Gak, lah! Kau masih ada kemungkinan dicari oleh Klan Gojo jika terjadi sesuatu pada diriku. Mei Mei ... dia ... hanya anak angkat dari paman jauhku. Untuk itulah, dia dan Ui Ui tak dianggap keluarga oleh Klan Gojo. Tapi aku berbeda, kok!”

 

Semua orang syok, tetapi Sukuna malah tertawa.

 

“Dari dulu, aku sudah membenci Klan Gojo. Mereka memperlakukan orang lain bak sampah.”

 

“Apa maksudnya itu, Sukuna!”

 

Sukuna menyeringai sinis ke arah Satoru yang marah. “Kau tidak tahu? Uraume, Istriku, adalah adik kandung Mei Mei.”

 

Satoru langsung diam.

 

“Uraume memilih pergi dari Klan Gojo karena muak menjadi pesuruh mereka. Bahkan kedua orang tuanya tidak menganggap dia ada. Apalagi ... hari itu ... lahir seorang pewaris tahta terkuat mereka yaitu ... KAU.”

 

Satoru tampak tak berdaya. “Jadi ..., di mana Mei Mei? Mengapa di sini hanya ada Ui Ui?”

 

Sukuna mengernyitkan dahi. “Kau bertemu dengannya? Apa yang bocah itu katakan padamu tentang kakaknya?”

 

Satoru menggeleng lemah. “Aku belum menanyakan itu padanya. Sukuna, apa yang terjadi padanya?”

 

“Kau tidak perlu tahu, Gojo Satoru.”

 

“Sukuna!”

 

“Apa tujuanmu kemari, huh? Bukankah tujuanmu sama dengan keponakanku? Untuk menemuiku saja? Maka sudah selesai. Kalian harus pulang dan seret teman Bulu Babi kalian juga.”

 

Yuuta memilih berinisiatif mencari Megumi. Yuuji dan Nobara berpamitan pada Sukuna. Satoru masih berdiri tak bergerak sejengkal pun dari samping Sukuna. Bahkan saat Megumi datang dengan wajah lungai bersama Yuuta pun Satoru tetap di sana.

 

Yuuji menepuk bahu dosen musiknya. “Sensei, ayo kita pulang. Kasihan Ijichi menunggu. Nobara juga harus kembali ke asrama sebelum Utahime-Sensei marah.”

 

“Yuuji, suruh Megumi yang bawa mobilku. Aku masih ingin di sini. Urusanku dengan Sukuna belum selesai,” ujarnya.

 

Megumi berkedip bingung meminta penjelasan pada kedua teman seasrama. Namun, Yuuta mengode akan menceritakannya di asrama.

 

Sensei--”

 

Ucapan Yuuta dipotong tajam Satoru. “Bisakah kalian menurut saja padaku? Ini masalah keluargaku. Yuuta, maaf, tapi kau belum bisa ikut campur di sini.”

 

“Hah! Keluar sudah sifat asli Klan Gojo! Egois sekali dirimu, Gojo Satoru. Aku di sini adalah Tuan Rumah. Jika aku berkata padamu untuk pulang, maka lakukanlah! Pulang sana!”

 

“Kau belum menjawab satu pertanyaanku, Sukuna.”

 

“Jika Ui Ui tidak menjawabmu--”

 

Bocah yang menjadi sumber masalah pun datang. Dia berada dalam gendongan Miwa. Dia terlihat mengantuk. “Jawab apa, sih, Paman Suku?”

 

Satoru langsung to the point. “Ui Ui, di mana--”

 

“Miwa, naik ke atas! Cepat!”

 

Miwa mengangguk cepat. Dia berlari menaiki tangga terburu menuju lantai dua kamar Ui Ui dan dirinya.

 

“KAU TIDAK ADIL, SUKUNA! AKU HANYA INGIN JAWABAN DARINYA! MENGAPA KAU MALAH MENGHALANGIKU!”

 

“KAU INGIN TAHU DI MANA MEI MEI?! BAIK! AKAN KUJAWAB DENGAN SENANG HATI! WANITA ITU, KELUARGAMU, SUDAH TERKUBUR DI TANAH! DIA SUDAH MATI DAN ITU KARENAMU, GOJO SATORU! ENYAHLAH DARI RUMAHKU!”

 

Dengan cepat, Yuuji menarik paksa Satoru keluar rumah pamannya yang sedang marah besar. Dia sendiri tidak paham masalahnya apa. Pada akhirnya, Malam Minggu ini kacau. Yuuji tak bisa menjelaskan apakah dia bahagia atau tidak. Yuuta juga mengalah, tidak jadi pergi menemui Maki di cafe. Dari pengamatannya terhadap Megumi, Yuuji pun mengelus dada lega. Pemuda bulu babi seorang diri yang tersenyum kecil penuh kebahagiaan. Sepertinya, dia berhasil bergaul lebih dekat dengan Miwa.

 

 

 

•Tbc•

Chapter 15: He Knows

Summary:

Poor Satoru 😭

 

(Maaf Bila Terbaca Seperti Rangkuman Karena Author Malas Ngembangin Lagi)

Chapter Text

Satoru tidak mengajar kelas musik di Hari Selasa. Membuat banyak mahasiswanya protes pada Kepala Sekolah. Suguru geram, Satoru seenaknya meliburkan diri tanpa izin darinya. Dia bertanya pada tiga murid favorit Satoru, tetapi mereka juga tidak tahu di mana Satoru berada. Satoru pergi tanpa memakai motor atau mobilnya.

 

Ijichi pun diinterogasi. Ijichi juga tak tahu, tetapi ... dia pun membeberkan sebuah rahasia di Malam Minggu.

 

Ijichi bilang kemungkinan Satoru ada di rumah seorang biksu bernama Ryomen Sukuna.

 

Karena orang suruhannya tidak dapat melacak informasi Ryomen Sukuna, Suguru beralih menculik sumbernya, Yuuji. Dia menginterogasi bocah tersebut sambil mengancam akan mengeluarkannya dari kampus.

 

Yuuji terpaksa mengaku bahwa malam itu dia, Megumi, dan Yuuta pergi ke rumah pamannya. Yuuji tidak menyebut Nobara.

 

Dengan itu, Suguru pergi bersama Yuuji dengan motor biar cepat menuju rumah Sukuna.

 

Sesampainya di sana, Sukuna dan Satoru sedang adu mulut di halaman kuil.

 

“Karena tugas sialan darimu, Mei Mei mati! Seharusnya, dia tidak mementingkan uang dibanding nyawanya sendiri! Mencari buronan pembunuh kekasihmu bukan kewajibannya!”

 

“Maafkan aku, oke! Aku mana tahu Mei Mei ... berakhir tabrakan dengan mobil lain! Dan asal kau tahu, itu adalah kecelakaan!”

 

Tubuh Suguru gemetar hebat kala mendengar fakta tersebut. Dia berasumsi, baik Satoru ataupun paman Yuuji tidak tahu bahwa mobil lain yang menjadi korban tabrakan adalah mobil (curian) yang ditumpangi Toji. Suguru mengetahui itu dari mata-mata kepercayaannya.

 

“Enyahlah dari kuilku yang suci, Gojo Satoru! Kau tidak bisa mengambil Ui Ui dari tanganku! Dia lebih bahagia bersama kami di sini daripada di Klanmu!”

 

“Tapi ....”

 

Yuuji memanggil lembut. “Gojo Sensei ....”

 

Baik Satoru maupun Sukuna menoleh ke arah yang sama tempat Yuuji dan Suguru berdiri.

 

Bola mata aquamarine melotot syok melihat keberadaan Suguru. “Su-guru! A-ku ... kau--”

 

Suguru anehnya bersikap empati. Raut wajahnya tampak sedih. “Jadi, Mei Mei menjadi korban dari masalah ini, ya ... sungguh ... kasihan.”

 

“Dan siapa kau?” Sukuna memelototi tajam Suguru.

 

Sambil tersenyum kecil, pria berpakaian gojo-kesa menjawab, “Suguru Geto, Kepala Sekolah Akademi Kaisen. Anda pasti pamannya Itadori Yuuji. Itadori-kun bilang, Anda tinggal di sini. Sumimasen sudah masuk tanpa izin. Tapi ... Saya bermaksud menjemput karyawan saya yang membolos mengajar.”

 

“Keh! Setidaknya, Penyusup Baru yang kau bawa ini punya sopan santun terhadapku, Gaki,” celetuk Sukuna pada Yuuji.

 

Gomen, Paman Kuna ....” Yuuji menundukkan kepala merasa bersalah.

 

Sukuna mengangguk ke arah Suguru. “Baguslah! Aku juga muak melihat Albino ini di sini!”

 

Suguru bertanya apa hubungan Mei Mei dengan Sukuna pada Yuuji meski Satoru siap menjawab. Yuuji menjawab canggung sekaligus takut dihukum. Namun, Suguru tidak menghukum Yuuji karena pergi di jam malam. Dia hanya memberi Surat Peringatan 1 pada Satoru.

 

Satoru tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh Suguru. Dia nekat bertanya tentang itu sesampainya mereka di Akademi Kaisen. Hanya mereka berdua, Yuuji sudah masuk ke kelas.

 

Suguru bersikeras mengusir, tetapi kalah pada kekeraskepalaan Satoru. Dia pun mengatakan sejujurnya tentang kecelakaan yang dialami Mei Mei.

 

“Apa kau bilang ....”

 

“Ya! Itulah yang terjadi! Mei Mei mati karena Toji! Bajingan Sialan yang kau bayar untuk membunuh adikku tercinta! Tapi ... aku cukup puas dia juga mati karena tabrakan itu. Setidaknya, itulah karma yang dia dapat atas segala dosanya. Dan ... KAU, GOJO SATORU! AKU HARAP KAU JUGA MENDAPATKAN KARMA YANG SETIMPAL ATAS PERBUATANMU!"

 

Satoru ditinggalkan seorang diri di lorong yang sunyi. Saat terpuruk, muncullah Hantu Amanai. Gadis itu berlutut di depan Satoru dan memeluknya erat seraya menangis. Satoru balas menangis memeluknya erat.

 

Gomen, Amanai. Aku ... seharusnya lebih cepat bertindak menangkap pembunuhmu. Dia ... sudah mati. Dan ... aku begitu bodoh hingga harus ... mengadopsi putra dan putrinya.

 

“Kau tidak salah, Satoru. Megumi dan Tsumiki tidak seperti Toji. Mereka adalah anak-anak yang baik dan manis.”

 

“Tapi tetap saja! Megumi dan Tsumiki punya darah seorang pembunuh bayaran! Mereka anak Toji! Mereka anak orang yang membunuh kekasihku! Aku--”

 

Tiga buku tebal terjatuh ke lantai. Suara tersebut berasal dari lorong pertigaan di belakang Satoru. Saat menoleh, Satoru menemukan Megumi membeku dengan mata terbelalak. Lantas, Satoru sigap berdiri berniat menyambangi. Namun, Megumi malah mundur selangkah demi selangkah. Napasnya terengah-engah.

 

“Apa ... itu benar ..., Gojo-san?”

 

“Megumi-chan, dengarkan aku--”

 

“Kau berbohong padaku selama ini, bukan? Tentang ... masa lalumu?”

 

Satoru megumpat pelan. “Megumi-chan, aku ... aku dulu memang punya kekasih dan dia--"

 

Megumi memotong dengan nada getir. “Dibunuh oleh ayah kandungku. Kau kira ..., aku tidak ingat siapa nama ayah kandungku, huh? Tentu saja aku ingat! Dan ... mengapa ....”

 

Tangan Satoru yang terulur hendak menyentuh kepala Megumi ditepis kuat. Tatapan dingin menusuk disertai bulir air mata menetes membasahi pipi pemuda berambut bulu babi.

 

“Mengapa kau mengadopsi ... anak-anak dari pembunuh kekasihmu, Gojo-san? Mengapa ... KAU TIDAK PERNAH BILANG PADAKU TENTANG SIAPA AYAHKU DAN DI MANA DIA?!”

 

“Maafkan aku, Megumi! Tolong ... aku pikir ... aku tidak tega mengatakan padamu tentang ... ayahmu yang sudah ... meninggal ....”

 

“AKU TIDAK PEDULI MAU DIA MATI ATAU HIDUP! DARI AWAL, DIA TIDAK PERNAH MENAFKAHIKU DAN TSUMIKI! AKU HANYA KECEWA PADA DIRIKU SENDIRI!”

 

“Megumi, kau tidak perlu--”

 

“Aku tidak pantas mendapatkan semua ini darimu, Gojo-san. Begitupula dengan Tsumiki. Aku merasa sangat jahat padamu.”

 

“Aku melakukan ini karena aku mau! Aku tidak peduli dari mana asal kalian berdua!”

 

Megumi membungkuk hormat, lalu memungut buku-bukunya dari lantai secepat mungkin. Dia pun berbalik pergi meninggalkan Satoru sendiri.

 

•Tbc•

Chapter 16: Saksi Mata atau Mata-mata?

Summary:

Kemunculan orang baru yang menjadi kunci peristiwa kematian Riko, Toji, dan Mei Mei.

 

Siapa dia?

 

Segera baca 😘

Chapter Text

“Hoi!”

 

“Apa!”

 

Megumi kecil bergidik jijik melihat ekspresi pria jangkung berambut putih berkacamata bulat hitam. Ekspresi tersebut terhapus diganti decihan.

 

“Kau ... Fushiguro Megumi?” tanyanya.

 

Megumi kecil menjawab ketus. “Ya! Kau mau apa? Menculikku, Om?”

 

Pria asing tersedak. “Apa yang kau panggil aku?! Cih! Andai saja aku tidak berbelas kasih!”

 

“Apa maksudmu?” tanya Megumi kecil heran.

 

Pria tersebut berjongkok di depannya. Megumi kecil melotot waspada. “Dengar, Bocah! Aku tidak ingin mengatakannya dua kali!”

 

Megumi kecil mendengarkan seksama.

 

“Ayahmu sebenarnya anggota Klan Zenin. Dia bilang, kau akan dijemput oleh Klanmu untuk tinggal di sana--”

 

“Bagaimana dengan Tsumiki?"

 

Pria itu mengernyit bingung. “Siapa Tsumiki?”

 

Megumi kecil menunduk melihat kedua sepatunya yang buluk. “Dia ... kakak tiriku. Jika ... aku tinggal di sana dan dapat hidup lebih baik, apakah ... Tsumiki juga bisa?”

 

“Hmmm ... dari yang kutahu, Klan Zenin tidak akan membiarkan orang luar yang biasa saja memasuki rumahnya. Jadi ..., pastinya tidak. Kenapa?”

 

Megumi mendongak menatap serius. “Kalau begitu, aku juga tidak mau pergi ke Klan Zenin! Aku hanya ingin hidup dengan Tsumiki!"

 

Pria itu mendengkus menepuk jidat. “Oke, oke! Biarkan aku memikirkan solusi lain ... hmm ... kalian ... punya rumah?”

 

Megumi kecil menunjuk rumah sempit, kotor, yang cat rumahnya sudah mengelupas. Pria itu meringis jijik.

 

“Itu?! Kamisama ... itu tak lebih dari kandang babi.”

 

“Maaf saja! Hanya itu yang mampu kita sewa, Om Kaya!”

 

Pria itu mencibir. “Tidak adakah orang tua yang tinggal bersama kalian?”

 

Megumi kecil menunduk murung. “Dulu ada. Ibu Tsumiki pernah tinggal bersama kami. Tapi ... beberapa hari setelah Ayah pergi, Ibu Tsumiki juga pergi meninggalkan kami.”

 

“Dia tidak meninggalkan uang untuk kalian?"

 

“Boro-boro. Uang sewa rumah saja belum dia bayar. Untuk makan sehari-hari, Tsumiki pergi membantu di kedai ramen tetangga kami.”

 

“Dia ... tidak sekolah?”

 

“Dia sekolah! Tsumiki bekerja setelah pulang sekolah sampai kedai tutup!”

 

Ada senyum sedih yang tercetak di bibir pria asing tersebut. Megumi berdecih, sungguh tak ingin dikasihani.

 

“Apa kau ingin tinggal bersamaku?” tawarnya yang semakin membuat Megumi curiga.

 

“Aku tidak punya uang atau apapun yang bisa kuserahkan padamu. Aku juga tidak akan membiarkannmu melecehkan kami, Om Kaya.”

 

“Hey! Sudah kubilang jangan panggil aku Om apalagi ditambah Kaya! Namaku Gojo Satoru, Bocah!”

 

Mereka terdiam saling memandang sinis. Sampai akhirnya, datang seorang gadis kecil sekitar usia SMP.

 

“Megumi, kenapa kau di sini? Siapa Paman ini?”

 

“Oh, Tsumiki! Kau tidak boleh ke sini! Di sini berbahaya! Ada Om Kaya Pedofil yang ingin-- ADUH!”

 

Megumi kecil ingin membalas menjitak kepala Satoru, tetapi pria albino sudah berdiri tegak. Seringai mengejek tersungging di bibir.

 

“Eh~ Gak kena~”

 

Saat Megumi hendak menendang selangkangannya, Tsumiki menariknya mundur.

 

“Megumi! Jangan kasar pada Paman ini! Paman ini terlihat seperti orang baik! Tidak mungkin dia akan menyakiti kita!”

 

“Tsumiki! Kau terlalu polos!”

 

Satoru terkekeh geli melihat tingkah duo Fushiguro kecil. Dia membuka kacamata, hanya untuk menatap berbinar pada mereka. Megumi dan Tsumiki langsung terpikat pada keindahan mata Satoru.

 

“Megumi-chan, Tsumiki-kun, tawaranku masih berlaku. Aku bukan orang jahat asal kalian tahu. Kalian bisa mendapatkan tempat tinggal layak dan juga pendidikan yang terjamin. Ini kartu namaku. Kau bisa meneleponku agar aku bisa menjemput kalian, Tsumiki-kun.”

 

Tsumiki menerima sambil mengangguk. Dia masih terperangah karena mata Satoru.

 

Satoru mengusak surai bulu babi Megumi, membuat bocah tersebut tersadar. Dia menepis tangan Satoru sambil berusaha menginjak sepatunya.

 

“Ehehehe~ masih dendam rupanyaaa~ Sampai ketemu lagi, Megumi-chan~”

 

•••

 

Megumi mendesah, dia kembali memandangi bingkai foto dia, Tsumiki, dan Satoru. Foto semasa mereka kecil yang kembali membuka memori masa lalu. Tentang bagaimana semuanya berawal.

 

Berkah. Dia sangat diberkahi, sampai-sampai anak pembunuh macam dia bisa tinggal berkecukupan bersama sang kakak tiri. Seharusnya, Satoru menelantarkan mereka. Kalau perlu, balas dendam pada mereka atas kematian kekasihnya.

 

Namun ..., mengapa Gojo Satoru begitu bermurah hati pada mereka?

 

Megumi masih ingat hari itu. Hari di mana setelah mereka memutuskan menerima tawaran Satoru, pria itu membawa mereka ke suatu tempat. Di sana, Megumi tidak menangis seperti Tsumiki. Dia hanya kecewa karena sosok ayah yang menelantarkan mereka sudah mati. Tanpa ada kata-kata maaf maupun surat terakhir darinya, dari Fushiguro Toji. Megumi justru merasa malu. Sebab, seluruh biaya pemakaman ayahnya ditanggung oleh Satoru.

 

Mengapa Gojo Satoru memperlakukan pembunuh kekasihnya seperti manusia?

 

Megumi sungguh tidak mengerti hingga sekarang. Akan tetapi, dia mengingat kembali masa-masa indah bersama Satoru. Satoru ... sudah seperti sosok ayah yang sebenarnya baginya. Meski sering mereka bertengkar karena perilaku kekanakan Satoru.

 

“Cinta .... Dia ... sungguh mencintai kami layaknya cinta pada keluarga sedarahnya? Aku ... tidak percaya ....”

 

Pintu kamar asrama terbuka, Yuuji masuk dengan canggung. Megumi hanya melirik, dia lanjut memasukkan bingkai foto ke dalam koper. Seluruh pakaian di dalam lemari dan barang-barang miliknya telah selesai dikemas, menyisakan satu setel seragam Akademi Kaisen di atas ranjang.

 

“Fushiguro, aku ... sudah mendengarnya dari Yuuta. Uhh ... kau ... yakin ingin pergi? Maksudku, sayang sekali karena kau baru saja masuk kuliah. Semester satu pun belum tamat. Bukankah ... lebih baik menunggu sampai kau lulus kuliah?” bujuk Yuuji.

 

Megumi mengangkat koper dari atas ranjang ke lantai. “Apa kau masih belum mengerti, Itadori? Uang Gojo-san tidak seharusnya terbuang sia-sia untukku dan Tsumiki. Cukup sampai di sini saja dia membantuku dan kakak tiriku. Aku harus keluar dari Akademi Kaisen. Aku akan menjemput Tsumiki dan menyuruhnya menyerahkan butik itu pada Gojo-san.”

 

“Tapi Gojo Sensei melakukannya dengan ikhlas! Dia tidak memandangmu sebagai anak dari pembunuh kekasihnya!” geram Yuuji.

 

Megumi bersikap tak acuh, memilih menggeret koper melewati Yuuji. Sebelum dia membuka pintu, Yuuta sudah lebih dulu membukanya. Di antara napas terengah, sepupu tiri Satoru memelas.

 

“Fushiguro, kumohon ... jangan pergi ....”

 

Yuuta, minggir.”

 

“Fushiguro! Bukankah kita adalah Teman?! Ada yang kurang jika tidak ada kau di sini! Siapa yang akan membangunkan kami tepat waktu?!”

 

Megumi menjawab datar. “Alarm ponselmu.”

 

Yuuta menggaruk tengkuk dan terkekeh. “Eh? Iya, sih. Tapi! Umm ... aku tidak bisa mencari kodok sendirian tanpamu! Bukankah kau pawang kodokku satu-satunya?!”

 

Megumi hampir terkena serangan jantung kala kaki kanannya dipeluk erat Yuuji yang menangis histeris.

 

“Fushiguro! Tanpamu, aku dan Nobara tidak akan bisa jadian! Kau adalah pahlawanku! Pahlawan Bulu Babiku! Tolong ..., jangan pergi! Aku janji tidak akan memakai pome-mu lagi!”

 

Perempatan imaginer tercetak di dahi Megumi. “Oh. Jadi, kaulah penyebab pome-ku cepat habis, Itadori. Tenang saja, aku akan mengirimimu selusin pome agar rambutmu mengkilap dan Nobara semakin mencintaimu.”

 

“Benarkah?” Mata emas berbinar cerah.

 

Yuuta berdecah menjitak kepala Yuuji. “Baka! Jangan termakan rayuannya! Fokus, Itadori!”

 

Yuuji mengeratkan pelukan di kaki kanan Megumi. “A-ku sangat berterima kasih untuk itu. Tapi! Kehadiranmu di sini lebih penting, Fushiguro! Siapa lagi yang akan mencoba menu baru ciptaaanku selain kau?! Yuuta terlalu banyak punya alergi!”

 

“Kasih saja ke Nobara,” erang Megumi frustasi.

 

“Bebebku lagi diet, Fushiguro!” pekik Yuuji seraya menangis.

 

Megumi kesal. Kini, mereka bertiga jadi tontonan seluruh mahasiswa. Untung saja tidak ada guru yang--

 

“Megumi-chan! Aku tidak bisa hidup tanpamu! Kaulah hewan pelihara--maksudku, murid favoritku! Siapa lagi yang harus kuganggu jika kau pergi?!”

 

Satoru berlutut di lantai, satu meter dari arah kiri lorong. Pria albino sudah memakai pakai serba hitam khas orang melayat. Biolanya pun juga dicat hitam. Kacamata tak ada lagi. Dia menangis sesegukan, mendramatisir dengan jorok. Membuang ingus di dua pack tisu. Dia juga melempar tisu bekas ke sembarang arah hingga mengenai beberapa penonton.

 

Di balik kerisihan, ada rasa bersalah dan sedih di hati Megumi saat melihat Satoru. Untuk itu, dia menghampiri Satoru meninggalkan kopernya di pelukan Yuuji.

 

Megumi berlutut, menepuk pundak kanan sang ayah angkat.

 

“Megumi-chan! Kau tidak pergi, ‘kan?!”

 

“Gojo-san, aku harus pergi dari sini. Aku tidak pantas ada di sini. Karena orang sialan itu, kau kehilangan satu-satunya cintamu dan ... satu-satunya Temanmu.”

 

Satoru menggenggam kedua tangan Megumi seraya menggeleng kuat. “Tidak! Kau pantas ada di sini! Tsumiki juga pantas mendapatkan keinginannya! Kalian berbeda darinya! Aku tahu itu, Megumi-chan!”

 

Megumi menunduk menyembunyikan air mata yang terancam jatuh. “Tapi ... mengapa ... kau begitu baik pada kami ... bahkan pada ... Pembunuh itu ....”

 

Satoru tersenyum lembut menarik Megumi ke pelukan. “Mengapa? Tentu karena aku sangat ingin merasakan apa itu sebuah keluarga bahagia. Kau tahu, Megumi-chan? Meski aku bergelimang harta, aku sama sekali tidak bahagia. Tidak ada Cinta di dalam keluargaku. Tidak ada Teman dari mulai aku bisa berjalan sampai hari di mana aku bersekolah di sini. Jadi, tetaplah di sini bersamaku ... bersama Teman-temanmu, Megumi-chan.”

 

Megumi balas memeluk erat Satoru. Pria albino dapat merasakan punggungnya basah. Dia terkekeh, mengelus punggung sang anak angkat penuh kasih sayang. Dia sudah tahu jawabannya.

 

Seluruh mahasiswa yang menonton ikut terharu. Yuuta dan Yuuji tersenyum lega, tahu masalah Megumi dan Satoru telah berakhir.

 

Sementara itu, di balik dinding di sebuah lorong dekat asrama, seorang pria tengah menguping dari tadi. Pria bermantel hitam menyandarkan punggung di dinding, mata menatap ke atas tanpa ekspresi. Sebatang rokok mentol di sudut bibir ditarik keluar, lalu rokok dikantongi kembali. Dia gagal merokok malam ini.

 

“Selalu saja berpusat pada Gojo Satoru. Ck!”

 

Ponselnya bergetar, ada panggilan masuk dari bos besarnya. Dia segera menjawab.

 

“Iya, Gakuganji-sama. Ada yang bisa saya bantu?”

 

[ Apa kau sedang bersama Putraku? ]

 

“Tidak, Gakuganji-sama. Suguru-sama masih ada di ruangannya. Dia sibuk bekerja.”

 

[ Kuharap kau tidak berbohong padaku, Kusakabe. Dan aku perlu tahu informasi terbaru tentang Gojo Satoru. ]

 

Kusakabe benci harus jujur. Dia sungguh muak dengan pekerjaannya sebagai Mata-mata keluarga Gakuganji. Dia juga ... sangat kasihan pada Geto Suguru yang ditipu oleh kakek tua itu. Untuk itu, Kusakabe hanya memberikan informasi setengah-setengah pada bos besarnya.

 

“Dia masih mengajar di Akademi Kaisen. Suguru-sama belum memecatnya setelah mereka bertengkar tadi siang.”

 

[ Bertengkar? Karena apa? ]

 

Kusakabe teringat kembali pertengkaran Suguru dan Satoru. Tentang Pembunuh Riko Amanai yang sudah mati karena tabrakan dengan mobil Mei Mei.

 

“Suguru-sama sudah tahu kalau Fushiguro Toji sudah meninggal. Juga ... ternyata, seseorang bernama Mei Mei menjadi penyebabnya. Mereka berdua meninggal di tempat kejadian karena tabrakan.”

 

Seketika, Kusakabe mendengar suara tawa keras dari speaker ponselnya. Dia meringis jijik.

 

[ Aku tidak menyangka anggota Klan Gojo lainnya juga mati dalam kecelakaan itu! Tanpamu, tidak mungkin Toji bisa kecelakaan, Kusakabe! Aku sangat memuji aktingmu! Berpura-pura pasrah saat mobil itu dia curi karena sedang dikejar polisi! ]

 

Masih terlintas di benak Kusakabe. Kejadian enam tahun yang lalu di Shibuya. Dia melihat api dan darah. Dia mendengar bunyi benturan dari dua mobil dan suara ledakan. Ada perasaan bersalah di hati Kusakabe. Namun, inilah pekerjaannya. Mobil itu ... memang miliknya. Akan tetapi, kabel rem sudah dia potong sesuai instruksi Gakuganji.

 

Kusakabe adalah seorang pembunuh, bukan korban begal saat itu.

 

“Ya ..., aku tidak percaya.”

 

[ Sekarang, Kusakabe, pastikan Putraku tidak tahu tentang kebenaran di balik kecelakaan Toji dan Mei Mei. Dan ... paling penting adalah ... jangan sampai dia tahu dalang di balik kematian anak haram itu. Mengerti? ]

 

Wakarimashita, Gakuganji-sama.”

 

Panggilan diakhiri oleh Gakuganji. Kusakabe mengantongi ponsel, sedikit mengintip ke area asrama. Dia melihat Satoru sedang tertawa bersama ketiga muridnya. Kusakabe memutuskan kembali mengecek kondisi bos keduanya, Geto Suguru.

 

“Suguru-sama, waktunya makan malam.”

 

Suguru hanya melirik, kembali mengetik di komputernya.

 

“Suguru-sama--”

 

Keyboard ditinju kuat hingga meja bergetar. Tatapan dingin menusuk tertuju pada Kusakabe. “Kau tidak lihat aku sedang sibuk, huh, Kusakabe? Apa ini suruhan dari Ayahku?”

 

Kusakabe mendengkus. “Bukan.”

 

“Kalau begitu, kau tidak perlu--”

 

Sumimasen, Suguru-sama. Saya hanya tidak ingin melihat Anda sakit. Seperti ... pesan mendiang adik Anda.”

 

Suguru terdiam sebelum menghela napas. Dia bangkit dari kursi melirik Kusakabe. “Ayo kita makan malam di luar, Kusakabe.”

 

Senyum lembut terukir di bibir sang Mata-mata. Dia membungkuk hormat berjalan lebih dulu membukakan pintu untuk Suguru. Dia juga membuka pintu belakang mobil untuk Kepala Sekolah Akademi Kaisen. Stir digenggam, mesin dinyalakan. Mobil sedan hitam meluncur pergi.

 

Mereka melihat sebuah restoran cepat saji seratus meter di depan.

 

“Kita makan di sana, Suguru-sama?” tunjuk Kusakabe.

 

Suguru mendelik murka. “Tidak. Di. KFC.”

 

Kusakabe menyipitkan mata, baru membaca plang restoran itu. Dia salah sasaran. Setelah melewati dua restoran, Suguru memilih makan di Cafe Panda. Dia tidak suka keramaian dan cafe tersebut pas untuknya.

 

“Lumayan,” ujar Kusakabe usai melihat-lihat bagian dalam cafe.

 

Suguru mendengkus, duduk di kursi seberang Kusakabe. Mereka memilih duduk di luar cafe samping kiri dekat taman. Di sini lebih sunyi dan terasa sejuk. Seorang Waitress mendatangi keduanya.

 

Konbawa, mau pesan apa, Tuan-tuan?”

 

Pandangan mata Suguru teralihkan dari buku menu ke sang Waitress. Seketika, dua alisnya menyatu, mata menyipit tajam ke arah seorang gadis berkacamata berkuncir kuda.

 

“Kau lagi rupanya.”

 

Maki balas mendesis. “Ya. Mengapa? Cepatlah pesan makananmu, Tuan Geto Suguru.

 

Kusakabe melirik antara Maki dan Suguru, lalu dia akhirnya memesan menu. “Tumis udang asam manis satu, semangkuk nasi, dan kopi hitam satu. Suguru-sama?”

 

Suguru mendesis, mata tak lepas dari melototi Maki. “Nasi Goreng Seafood. Soda.

 

Maki mencatat dengan gerakan kasar. “Oke! Mohon ditunggu!”

 

Usai Maki pergi, Kusakabe bertanya pada Suguru.

 

“Siapa gadis itu, Suguru-sama?"

 

“Aku juga tidak tahu, tapi dia hadir di Pesta Sialan Gojo. Dia datang bersama Naoya.”

 

Kusakabe terbelalak kala mendengar nama itu. “Naoya?! Seperti ... Calon Kepala Klan Zenin?! Donatur Utama Akademi Kaisen?!”

 

Suguru menampar punggung bawahannya. “Diamlah! Jangan terlalu terkejut! Aku menduga satu hal, tapi aku harus menanyakannya sendiri pada gadis itu.”

 

Kusakabe bergumam, “Jika gadis itu dari Klan Zenin, itu artinya ... dia ... ada hubungannya dengan ... Toji.”

 

“Apa yang kau gumamkan, Kusakabe?”

 

“Eh? Tidak, Suguru-sama. Saya hanya ... tak percaya.”

 

Suguru bersedekap, dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Kusakabe. Dia pasti akan menyelidiki ini sendiri.

 

“Pesananmu, Tuan!”

 

Setelah lima belas menit, Maki kembali membawakan pesanan Suguru dan Kusakabe. Meski dia kesal, tetapi Maki tetap professional dalam bekerja. Nada bicaranya sedikit diperhalus.

 

Kusakabe tersenyum mengucapkan terima kasih. Lain hal dengan Suguru. Pria berpakaian gojo-kesa hitam tidak membiarkan Maki pergi.

 

“Apa yang Anda butuhkan lagi, Tuan?"

 

“Siapa namamu?"

 

Mau tak mau, Maki menjawabnya. “Maki.”

 

Ketika Maki hendak pergi, Suguru mencengkeram erat tangannya. Tatapan dingin mengancam ditujukan padanya.

 

Nama aslimu, Bocah.”

 

“Bukankah aku sudah menjawabmu?! Namaku Maki!”

 

“Kau jelas berbohong. Kau mengenal Naoya, yang artinya--”

 

Aku. Bukan. Anggota. Zenin. Puas?”

 

Kusakabe memutuskan melerai mereka. “Suguru-sama, sebaiknya Anda makan makanannya sebelum--”

 

“Aku tahu.”

 

Baik Maki maupun Kusakabe tercengang. Maki mengira usaha kebohongannya tidak akan berhasil, tetapi di sinilah buktinya. Sedangkan Kusakabe terus mempertanyakan kecerdasan otak Suguru. Sudah jelas sekali Maki ini punya ciri khas seorang anggota Klan Zenin.

 

“Yang ingin kutanyakan padamu adalah ... apa kau punya hubungan ... dengan ... Fushiguro Toji?"

 

Kusakabe bingung harus bertepuk tangan atau mengumpat. Insting Suguru memang benar. Maki memang mirip dengan Toji, dari sikap serampangannya. Namun, sekali lagi, Suguru tidak tahu bahwa Toji dulu juga merupakan anggota Klan Zenin.

 

“Siapa dia! Aku tidak mengenalnya! Bukankah kau lebih baik bertanya pada Megumi? Dasar Orang Aneh!” umpat Maki.

 

Suguru mengerjap. “Megumi? Apa dia ... salah satu mahasiswa Akademi Kaisen?”

 

Maki mengejek, “Betapa Tol*nya, Anda, Tuan Geto. Kau tidak kenal mahasiswamu sendiri?”

 

Sebelum Suguru bertanya lagi, Kusakabe memotongnya. Tangan kanan bergerak sengaja menyenggol segelas soda hingga menyiram gojo-kesa Suguru.

 

“Sial! Apa yang kau lakukan, Kusakabe?!”

 

Sumimasen, Suguru-sama! Saya tidak sengaja! Biarkan saya membersihkan--”

 

“Tidak perlu!” Suguru menggeram ke arah Maki. Dia menunjuknya. “Aku akan berurusan denganmu lagi lain kali, Maki. Ayo kita pulang, Kusakabe!”

 

Ha'i, Suguru-sama! I-ni uang untuk makanan-makanan itu, Nona Maki. Sumimasen!” Kusakabe memberikan beberapa lembar yen kepada Maki. Dia berlari mengejar Suguru yang sudah memasuki mobil.

 

Maki mengawasi dari kejauhan sampai mobil sedan hitam pergi dari halaman cafe.

 

“Fushiguro ... Toji? Apa hubungannya dia dengan Megumi? Mengapa pula Kepala Sekolah Akademi Kaisen terlihat marah pada sebuah nama? Mungkin sebaiknya aku bertanya pada Yuuta.”

 

 

 

 

 

•Tbc•

 

 

Chapter 17: D.O atau ....

Summary:

Suguru mencari tahu tentang silsilah Fushiguro Megumi.

Akhirnya, dia tahu!

Berimbas pada Megumi bahkan Satoru.

Chapter Text

Fushiguro Toji

 

Fushiguro ....

 

Fushiguro ....

 

Megumi--

 

Tak percuma Suguru begadang semalam suntuk ditemani seteko kopi hitam dan semangkuk roti kering hanya untuk menemukan nama itu.

 

Rupanya, Fushiguro Megumi adalah mahasiswa tahun pertama yang baru masuk ke Akademi Kaisen. Suguru berdecak kala berhasil menemukan data diri pribadi sang Mahasiswa Jurusan Akuntansi. Sebuah foto ukuran 4 x 6 berhasil memicu kemarahan.

 

“Bajingan! Mengapa bisa Anak Pembunuh ini bersekolah di Kampusku Yang Suci?! Aku sangat lalai!” umpatnya.

 

Ada satu nama lagi yang membuat Suguru murka. Pada baris Keluarga, Adik Tiri, yakni, Fushiguro Tsumiki.

 

“Fushiguro Tsumiki ... ya ... hmm ....”

 

Jemari tangan sigap beralih tab menuju mesin pencarian. Dia mengetikkan nama Fushiguro Megumi terlebih dulu. Suguru pun menemukan akun medsos nya, tetapi tidak ada postingan foto apapun tentang Fushiguro Tsumiki. Belum lagi, identitas Ibu ataupun keluarga mereka lainnya dikosongkan.

 

Suguru pantang menyerah. Dia bergegas mencari medsos Fushiguro Tsumiki. Akhirnya, dia menemukan foto-foto gadis tersebut bersama Megumi.

 

Di salah satu foto, Suguru dibuat tertawa. Sebuah fakta mencengangkan telah tersuguh lewat foto dan tag.

 

<picture>

Miki_807 Bersama Ayah @Satoru_Gojo di Acara Kelulusanku dan adikku @R4hmat807 😘

 

“Satoru, kau terus menggonggong padaku kau bukan seorang pembunuh. Kau mengaku padaku tidak kenal Fushiguro Toji. Tapi ... di sinilah kau berada. Dasar Munafik! Pembohong Besar! Penghianat! Kalian ... Monyet!”

 

***

 

“Fushiguro?”

 

“... Megumi!"

 

Megumi mendongak melihat kursi seberang. “Ada apa, Itadori?”

 

“Apa kau baik-baik saja? Kau ... belum menyentuh makan siangmu,” tanya Yuuji cemas.

 

“Oh. Maaf. Aku akan memakannya.” Megumi langsung menyantap cepat odennya yang sedikit dingin.

 

Yuuta, yang sudah keluar kantin dari sepuluh menit lalu, mendadak berlari mendatangi mereka. Raut wajahnya pucat pasi ketakutan.

 

“Loh? Yut, kok kau balik lagi? Masih laper?” tanya Yuuji, menyedot mie soba terakhir.

 

“Ada sesuatu yang buruk, bukan? Pantas saja aku merasa tidak enak dari tadi,” duga Megumi.

 

Yuuta mengangguk cepat. “Guys! Ini gawat banget! Tadi, aku melihat Gojo Sensei dan Geto Sensei masuk ke Ruang Kepala Sekolah! Wajah mereka sangat kaku! Tapi! Aku tahu betul ekspresi Gojo Sensei! Dia terlihat takut!”

 

Yuuji menggebrak meja. “Ini tidak bisa dibiarkan! Jika Gojo Sensei dipecat, aku akan meminta semua mahasiswa Akademi Kaisen berdemo!”

 

Malu akan tingkah Yuuji, Megumi pun melempar sumpitnya ke kepala pemuda berambut undercut pink.

 

“Aduh! Fushiguro! Mengapa?!”

 

Urusei! Jangan buat malu kita berdua, Itadori. Toh, belum jelas apa masalahnya hingga Gojo-san dipanggil Geto Sensei.”

 

Yuuji menunduk kalah. “Umm ... benar juga.”

 

“Ayo kita nguping.”

 

Megumi dan Yuuji terbelalak syok mendengar ajakan Yuuta. Selama mereka berteman, tidak pernah Yuuta mengajak untuk berbuat nakal.

 

“Yuuta, kau ... tidak kesurupan hantu Rika, kan?” 

 

“Yut, tolong jangan kutuk kami!”

 

Yuuta memberang, “Apaan, sih, kalian berdua! Aku serius, ini! Mau ikut atau tidak?!”

 

Megumi mengelus dada. “Syukurlah kau tidak kesurupan hantu Rika.”

 

“Gile, Yut! Kau sadar apa yang kau minta pada kami?! Biasanya, kau mengajak kami ke Perpustakaan atau main game! Ini ... Nguping?!” pekik Yuuji tak percaya.

 

Yuuta menggeplak kepala belakang Yuuji memakai LKS. “Bacot! Ayo ikut aja!”

 

Sebelum mereka beranjak pergi, speaker di Kantin memperdengarkan sebuah pengumuman.

 

[ Kepada Fushiguro Megumi, Harap Datang Ke Ruang Kepala Sekolah. Terima Kasih. ]

 

“Anjir, lah!”

 

“Mampus, Mat! Kenapa bisa kau dipanggil Geto Sensei juga!”

 

Megumi diam, meremas kuat jantungnya yang berdegup kencang. Segala macam keputusan buruk telah terukir di otak. Dia ... sudah mengerti apa permasalahannya.

 

Saat mereka berada di depan pintu Ruang Kepala Sekolah yang tertutup rapat, Yuuji dan Yuuta berpesan satu hal pada Megumi.

 

“Fushiguro, semangat!” seru Yuuta sambil tersenyum.

 

“Mat, jangan tutup rapat pintunya, ya!” celetuk Yuuji.

 

Meski Megumi dan Yuuta bingung, mereka tetap mengangguk setuju. Usai masuk ke dalam Ruang Kepala Sekolah, Megumi melihat Satoru sudah duduk di hadapan Suguru.

 

Senyuman Suguru yang lembut jelas dipaksakan.

 

“Silakan duduk, Fushiguro ... Megumi!”

 

Megumi membungkuk hormat, lalu menempati kursi kosong di samping kiri Satoru. Dia membuka mulut bertanya hati-hati pada Suguru.

 

“Jadi, mengapa saya dipanggil kemari, Geto Sensei?”

 

Senyuman Suguru luntur seketika. Tatapan menusuk dilayangkan pada Megumi. “Fushiguro Megumi, tahukah kau ... siapa nama Ayah Kandungmu?”

 

Keheningan datang sesaat. Megumi sudah selesai berpikir. Dia akan membuat keputusan. Namun, belum sempat bibir terbuka menjawab, Satoru memotongnya.

 

“Sudah kukatakan padamu berulang kali, Suguru! Megumi tidak ada hubungannya dengan masalah kita!”

 

Iris violet menyipit. “Diam! Aku tidak percaya pada ucapan seorang Pembohong sepertimu!”

 

Satoru mendesis, bola mata aquamarine menatap nyalang. Megumi baru sadar ayah angkatnya melepas kacamata. “Haruskah aku bersumpah di depan makam Amanai untuk membuktikan kejujuran ucapanku?”

 

Jangan. Sebut. Nama. Adikku. Lagi, Gojo Satoru.

 

Megumi memutuskan bersuara. “Ayah Kandungku telah lama mati untukku. Aku hanya mengenal satu sosok ayah, yakni ... Gojo Satoru.”

 

Satoru terbelalak mendengar Megumi mengakuinya sebagai ayah.

 

Suguru mengejek, “Apa kau berusaha memanipulasiku? Aku bertanya nama, bukan kondisi ayahmu ..., Monyet.”

 

“Suguru!”

 

Megumi mengernyit bingung. “Mengapa ... Anda memanggil saya ... Monyet?”

 

Aura mencekam keluar bersama suara Suguru. “Karena kau adalah Anak Yang Membunuh Adikku. Dia Monyet. Kau Monyet. Adik Tirimu juga Monyet. Dan ....”

 

Dia lanjut menatap tajam Satoru. “Kau juga Monyet.”

 

Satoru terhenyak. Rasa sakit menusuk hatinya saat ini. Disamakan dengan binatang? Satoru tak pernah menyangka Suguru akan sebengis ini. Dia tidak sadar tengah menangis.

 

“Anda tidak tahu apa-apa tentang kami, Geto Sensei! Kami bukan Monyet! Di mana sopan santun Anda!” Megumi berdiri, membentak kasar.

 

Satoru meraih lengannya dengan sesegukan. “Megumi, tolong ... duduklah.”

 

“Dengarkan Ayah Pembunuhmu itu, Monyet,” ujar Suguru.

 

Meski emosi, Megumi tetap menurut.

 

“Dengar, Kalian Para Monyet. Aku sudah tahu kebohongan busuk kalian. Aku tidak percaya begitu lalai dan terlalu bermurah hati menerima kehadiran kalian di Kampusku Yang Suci ini. Untuk itu, sekarang, pergi dan kemasi barang-barang kotor kalian.”

 

Satoru mendongak menatap penuh permohonan pada Suguru. “Tolong, Suguru. Jangan ... usir Megumi. Jika kau ... ingin mengusirku, aku akan pergi. Tapi ... jangan Megumi.”

 

“Mengapa? Hah! Aku tahu! Kau sudah melatihnya juga, bukan? Apa kali ini kau menyuruhnya untuk membunuhku? Kau marah padaku juga, Satoru?”

 

“Cukup, Suguru! Megumi bukan seorang Pembunuh! Dia hanya ingin belajar di sini! Dia hanya ingin mendapatkan Teman, sama sepertiku dulu!”

 

Dengan mengepalkan tangan, Megumi menatap langsung ke dalam mata Suguru. “Aku akan pergi dari Akademi Kaisen. Jika perlu, aku akan bertanggung jawab atas perbuatan keji ayah kandungku, Fushiguro Toji.”

 

Suguru tertawa keras sambil bertepuk tangan. “Bagus sekali! Kau sudah sadar diri, Monyet.”

 

“Tapi ....” Megumi menoleh menatap lekat Satoru. “Gojo Satoru masih diperlukan kehadirannya di Akademi Kaisen. Kau tidak bisa begitu saja memecatnya.”

 

Suguru geram. “Apa kau berani menentangku--”

 

Yuuji dan Yuuta membuka pintu lebar-lebar membuat ketiganya syok. Belum lagi, bukan hanya Yuuji dan Yuuta yang berdiri di ambang pintu Ruang Kepala Sekolah, tetapi juga para mahasiswa lain berdiri di belakang mereka. Tatapan penuh penolakan ditujukan pada Suguru.

 

“Kami berani. Sangat berani menentang kebijakan egois yang Anda lontarkan ini, Tuan Geto Suguru,” ujar Yuuji.

 

Yuuta mengangguk. “Baik Megumi maupun Gojo Sensei tidak melanggar satu pun peraturan Akademi Kaisen saat ini. Jika ini adalah masalah pribadi, bukankah sebaiknya tidak dicampuradukkan? Apa Anda adalah orang dewasa yang professional, Tuan Geto Suguru?”

 

Segera, para mahasiswa menyahut.

 

“Ya! Anda tidak professional jika seperti ini!”

 

“Jangan pecat Gojo Sensei karena masalah pribadimu!”

 

“Jangan jadikan Megumi kambing hitam!”

 

“Tidak ada yang boleh mengeluarkan Megumi dari kampus ini!”

 

”Betul!”

 

Yuuji menyeringai. “Anda lihat, bukan, Tuan Geto?”

 

Anehnya, Suguru malah tertawa terbahak-bahak. Semakin membuat para mahasiswa bingung. Megumi dan Satoru kini mencemaskan nasib para pendukung mereka.

 

Suguru menatap tajam ke semua mahasiswa. “Apa kalian tidak takut aku keluarkan juga karena membela mereka?”

 

Setengah mahasiswa terdiam, ragu. Hal itu membuat Yuuta geram.

 

“Jika kau mengeluarkan semua orang di sini, siapa yang akan bersekolah! Apa kau mau bangunan ini mati seperti hatimu?!” teriak Yuuta.

 

Ada sesuatu yang menyulut api kemarahan Suguru dari ucapan Yuuta. Dia beranjak dari kursi, hanya untuk berdiri di depan Yuuta.

 

“Siapa yang kau bilang ‘mati hati’?”

 

Aku, Okkotsu Yuuta, Sepupu Tiri Gojo Satoru. Mengapa?”

 

Satoru ikut berdiri hingga kursi jatuh terbalik di lantai. “Yuuta! Jangan ikut campur!”

 

Yuuta tidak pernah seberani ini sebelumnya. Dia hanya ingin membantu kesusahan Satoru. “Gomen, Gojo Sensei. Aku harus ikut campur karena ini soal harga dirimu. Kau adalah Yang Terkuat, seorang manusia yang menyerupai Kamisama. Jika dia menyebutmu Monyet, maka dia pasti orang gila.”

 

Tangan Suguru terangkat ingin menampar Yuuta, tetapi Yuuji mencekalnya kuat. Suguru meringis kesakitan karena cengkeramannya.

 

“Apa Anda tidak malu? Ingin menampar mahasiswamu? Satu dari beribu orang yang membiayai kehidupanmu? Tanpa kita, kau bukan siapa-siapa, Tuan Geto,” desis Yuuji.

 

“Lepaskan tanganku, Bocah!” perintah Suguru, tetapi tak digubris.

 

Yuuji mengambil kesempatan ini untuk saling bertukar. “Aku akan melepaskan tanganmu setelah kau melepaskan Megumi dan Gojo Sensei. Bersumpahlah di depan kami semua bahwa kau tidak akan pernah mengeluarkan mereka dari Akademi Kaisen.”

 

“BERANINYA BOCAH INGUSAN SEPERTIMU--”

 

Kusakabe menjatuhkan paket sushi, makan siang untuk Suguru. Baru ditinggal beberapa menit, Suguru sudah berada dalam situasi buruk. Kusakabe sungguh ingin pensiun.

 

“Menyingkir, Semuanya! Apa-apaan kalian ini?! Para Pelajar tidak boleh tawuran--”

 

Suguru meneriaki memotong seruanya. “Diamlah, Kusakabe!”

 

Kusakabe memilih diam dan mengamati apa yang akan Suguru lakukan.

 

Suguru menghela napas. “Oke. Aku akan membuat sumpah denganmu, Bocah Ingusan.”

 

Yuuji dan semua mahasiswa tersenyum puas. “Lakukan kalau begitu, Tuan Geto!”

 

Suguru menoleh ke belakang sambil memandang sinis Satoru dan Megumi, lalu kembali menatap Yuuji lekat. “Aku bersumpah tidak akan mengeluarkan Fushiguro Megumi dan Gojo Satoru dari Akademi Kaisen jika mereka tidak melanggar peraturan kampus sebanyak yang bisa kutolerir.”

 

Yuuta dan Yuuji ingin protes, tetapi Satoru memperingati mereka.

 

“Yuuji-kun, Yuuta-kun, biarkan dia bersumpah.”

 

Ha’i, Gojo Sensei ....”

 

Suguru melirik sengit ke arah Satoru yang malah tersenyum. “Ya, aku bersumpah. Apakah cukup bagi kalian semua?”

 

Arigatou, Tuan Geto!” pekik Yuuji riang seraya melepaskan tangan Suguru. Bocah itu langsung menarik Megumi ke dalam pelukan. Yuuta juga ikut bergabung.

 

Megumi diarak keliling kampus dengan diangkat beramai-ramai. Pemuda bulu babi jelas meronta, kesal dan jengkel. Yuuta dan Yuuji tertawa melihat kesusahan temannya.

 

Satoru menyentuh tangan kanan Suguru yang memar dengan lembut. “Apa masih sakit, Suguru?”

 

Suguru langsung menepisnya. “Apa kau puas? Kau sudah menang dariku, Satoru. Seluruh mahasiswa di kampus ini berpihak padamu. Sekarang, aku tidak punya cara lagi untuk mengeluarkanmu dari sini.”

 

Satoru mendesah lelah. “Arigatou, Suguru. Tapi ... aku belum menang. Kau masih belum mempercayaiku. Aku yakin, perlahan, tapi pasti ... kau akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus ini. Permisi.”

 

Kusakabe hanya bisa diam mematung menunggu Satoru pergi. Menunggu Suguru memberi perintah. Juga menunggu ... hari pembalasan datang padanya.

 

 

 

 

 

•Tbc•

 

Chapter 18: Malam Mingguan Di Cafe Panda

Summary:

Maki memberi tahu Yuuta soal Fushiguro Toji.

 

Ini hanya Malam Minggu untuk ketiga Mahasiswa Akademi Kaisen.

 

😊❤

Chapter Text

“Maki!”

 

“Yuuta! Mengapa lama sekali tidak kemari?!”

 

Yuuta memeluk erat sang kekasih. “Gomen, ada banyak masalah di kampus, Maki.”

 

“Apa ini tentang ... Megumi?” duga Maki sambil melepas pelukan.

 

Yuuta terkejut. “Kau ... tahu?!”

 

Maki menyuruhnya duduk di teras samping, lalu menyelesaikan pergantian shift karena dia masuk pagi. Inumaki keluar sebentar untuk menyapa, sebelum kembali bekerja melayani pelanggan yang datang.

 

“Aku tahu dari Geto Suguru. Kepala Sekolahmu datang tempo hari ke sini bersama anak buahnya. Dia terus melihatku seolah aku ini pembunuh. Lalu, dia bertanya apa aku punya hubungan dengan Fushiguro Toji. Bah! Aku bahkan tidak mengenal siapa orang itu!”

 

Yuuta ternganga syok mendengar cerita dari sang kekasih. Mengeluarkan suara gagap, Yuuta membalas, “K-kau ... tidak tahu? Megumi itu ... anaknya ... Fushiguro Toji.”

 

Maki ikut tergagap tak percaya pada Yuuta. “Se-serius?! Terus kenapa pula dia menatapku dengan jijik-- tunggu ... Ahh ... jadi ... begitu ....”

 

“Ada apa, Maki? Kau tidak diapa-apakan Geto Sensei, kan?” cecar Yuuta cemas.

 

Maki menggeleng kuat. “Tidak. Aku sepertinya tahu dari mana asal tatapan penuh kebencian itu. Kau tahu sendiri, ciri-ciri khas Klan Zenin itu ... wajahnya yang ... agak datar atau ketus. Mungkin ... wajahku mengingatkan Geto Suguru pada wajah Toji.”

 

Yuuta meremas kuat kedua pundak sang kekasih. Dia menatap intens. “Apapun yang terjadi, aku akan selalu memastikan kau aman terlindungi darinya. Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan kehidupanmu, Maki.”

 

Seringai tersungging di bibir gadis mantan Klan Zenin. Dia memencet ujung hidung Yuuta dengan gemas. “Isshhh! Kau sungguh menggemaskan, Yuuta! Aku jadi tak perlu khawatir kau akan berpaling dariku suatu hari nanti.”

 

Yuuta menggerutu sebal. “Siapa yang akan berpaling darimu! Aku tidak sebodoh itu untuk melepasmu, apalagi pada Naoya! Kau terlalu berharga bagiku, Maki!”

 

Tanpa terasa, air mata jatuh perlahan. Maki tak pernah menyangka dia akan menangis karena ucapan Yuuta. Terakhir kali dia menangis adalah saat Mai meninggal.

 

“Ma-ki?! Kau--”

 

“Urusei! Minum tehmu! Bukankah kau kemari bilang mau malam mingguan denganku?!”

 

“Ha’i!”

 

Malam Minggu itu, Yuuta dan Maki habiskan di Cafe Panda. Dinner lebih tepatnya.

 

Sementara itu, Nobara dan Yuuji juga sedang malam mingguan. Bedanya, kali ini Yuuji tersiksa lahir dan batin. Nobara memintanya untuk menemani ke Mall Okinawa. Gadis yang suka bawa palu terus memaksa Yuuji berkeliling mengikutinya dari satu toko pakaian ke toko pakaian lain. Belum habis penderitaan Yuuji, kali ini yang membayar adalah dia seorang, bukan Nobara.

 

“Bebeb~ udah, dong, belanjanya ....”

 

“Hah?! Ini baru lima setel pakaian! Belum tas, sepatu, dan perhiasan, Kentang!”

 

“WTF?! BEBEB! AKU INI BUKAN BILLIONER, LOH?!”

 

Palu keramat ditarik keluar dari slingbag brandit. Diayunkan kuat ke pipi kanan sang kekasih. Yuuji langsung terjatuh di lantai bersama lima paper bag yang dia jinjing. Raut wajah murka serupa iblis tercetak jelas pada Nobara.

 

“Kau pikir aku tidak tahu, huh, Kentang?! Kau habis dikasih blackcard sama Dosen Musikmu sebagai hadiah karena membantunya dan Fushiguro agar tidak diusir kemarin!”

 

Yuuji cemberut, mengalihkan pandangan sambil bersiul.

 

“Angkat bokong malasmu dan ikuti aku! Kita ke toko tas dan sepatu! Lalu terakhir ke toko perhiasan!”

 

“Iya, Bebeb ....”

 

Yuuji tak kuasa menangis mengikuti ke mana sang kekasih pergi. Dia tidak peduli semua orang di Mall menatap dan membicarakannya. Yuuji baru tahu, cinta tak selamanya indah.

 

Menjauh dari penderitaan Yuuji, ada Megumi yang sedang berkendara menuju rumah sang gebetan. Dia merasa dag-dig-dug begitu tujuan semakin dekat. Bukan karena takut diusir Sukuna, melainkan takut Miwa kecewa pada penampilannya yang terlalu modis. Salahkan Satoru yang ikut campur urusan mode malam Mingguan dia dan Miwa. Dia dipaksa memakai pakaian, ikat pinggang, sepatu, bahkan jam tangan brandit. Belum lagi, dia merasa malu Satoru menata rambutnya sedemikian rupa hingga mirip mendiang suami Miwa.

 

Masih terngiang saran menyebalkan dari sang ayah angkat.

 

“Megumi-chan, kau tidak mau pakai pakaian tentara?”

 

“Hah? Untuk apa?”

 

“Tentu untuk memikat hati Sukuna selain Miwa~ Aku sepertinya tahu dia sangat suka pria yang berpakaian tentara.”

 

“Aku adalah aku, Gojo-san! Aku bisa memikat hati calon mertuaku tanpa embel-embel tentara!”

 

“Oh yaa~ Wakatta! Ganbare~ Ganbare~”

 

Mesin motor dimatikan, lalu motor Megumi parkirkan di halaman depan kuil. Dia beruntung kuil tampak sepi dan akses jalan untuk motor tersedia. Kaki melangkah menaiki satu per satu anak tangga hingga dia berada tepat di depan pintu mahoni rumah Miwa. Dia mengetuk.

 

Uraume menjatuhkan vas berisi dupa yang ingin dia letakkan di dalam kuil. Semua karena kehadiran Megumi di ambang pintu rumahnya. Ada perasaan sedih hingga membuatnya menjatuhkan air mata saat melihat tata rambut Megumi.

 

Menggelengkan kepala, Uraume berhasil mengusir fatamorgana dalam otak. Dia menyipitkan mata ke arah pemuda bulu babi yang rambutnya dikuncir dan agak kilimis.

 

“Mau apa kau kemari, Fushiguro Megumi?Untuk apa kau meniru penampilan putraku? Kau pikir, Miwa akan terpedaya dan jatuh cinta padamu? Cih! Tentu saja tidak!”

 

Megumi mendengkus. “Gomenasai, Uraume-san. Tapi ... aku tidak berniat berpenampilan seperti ini. Ayah angkatku memaksaku. Dan aku tidak percaya pendapat Miwa akan sama denganmu.”

 

“Bocah sial--”

 

Miwa hadir di belakang punggung Uraume. Dia terkesiap. Bola mata tak pernah lepas menatap wajah Megumi membuat pemuda itu merona malu.

 

“Mengapa ... kau ....”

 

Megumi sudah frustasi. “Miwa, aku tidak bermaksud meniru mendiang suami--”

 

Miwa menatap penuh binar bahagia. Sungguh mengejutkan Megumi apalagi Uraume. “Keren! Aku tidak percaya model rambut ini cocok untukmu, Megumi!”

 

“K-kau ... mengenaliku?” tunjuk Megumi pada diri sendiri.

 

Miwa terkikik geli. “Tentu saja! Wajah murungmu sangat khas, tahu.”

 

Megumi hanya mampu menggaruk tengkuk salah tingkah. Lama terdiam, dia pun sadar akan niatnya kemari. Tangan kanan terulur ke depan Miwa. Senyum lembut terukir di bibir pemuda bulu babi.

 

“Miwa, maukah kau berkencan denganku?”

 

Sebelum Uraume menepis tangan Megumi, Miwa buru-buru menggenggam erat tangannya. Dia menyeringai nakal menarik Megumi berlari menuruni tangga. Uraume meneriaki dengan murka dan mengejar.

 

“Ayo cepat, Megumi!”

 

“Pegang erat-erat pinggangku, Miwa! Kita akan ngebut!”

 

Kedua sejoli tertawa lepas kala motor melaju cepat menuruni tangga curam. Akses satu-satunya masuk dan keluar kuil.

 

“Sialan!”

 

Sukuna berlari keluar dari dalam kuil. Raut wajah tampak cemas dan ketakutan. Dia menyambangi Uraume yang berdiri di tengah-tengah gerbang torii merah. “Apa yang terjadi, Uraume?!”

 

Uraume langsung bersujud memohon maaf di depan Sukuna. “Sumimasen, Sukuna-sama! Hamba gagal mencegah Fushiguro Megumi menculik Miwa!”

 

Sukuna mengernyit heran. “Untuk apa dia menculik Miwa? Aku ... tidak percaya Miwa tidak melawan sedikitpun.”

 

Uraume menggeram kesal. “Kencan. Sialan! Beraninya pemuda itu mengajak Miwa berkencan.”

 

Sukuna malah terdiam mendongak menatap langit malam berbintang. “Jadi ... sudah tiba waktunya, ya ....”

 

“Sukuna-sama?”

 

Sukuna balik badan kembali ke kuil. Uraume mengejar meminta penjelasan tentang sikap Sukuna.

 

“Sukuna-sama, tunggu!”

 

Sukuna tak menggubris.

 

“Anata!”

 

Akhirnya, Sukuna berhenti melangkahkan kaki tepat di puncak anak tangga. Dia menoleh ke arah sang istri.

 

“Uraume, aku masih belum merestui pemuda itu. Tapi ... aku hanya ingin membiarkan Miwa bahagia malam ini saja. Kencan ... bukankah itu kosakata yang asing bagi kita, Uraume?”

 

“Kencan adalah kosakata anak-anak zaman sekarang. Kita tidak perlu mengikuti mereka.”

 

“Benar ....” Sukuna tersenyum lembut, mengejutkan Uraume. “Hanya anak-anak muda saja yang bisa mengikuti Kencan. Sudahlah, Uraume. Biarkan Miwa tahu apa artinya Kencan.”

 

“Tapi! Bagaimana jika Fushiguro Megumi mengambil kesempatan untuk berbuat--”

 

Sukuna tertawa keras. “Percayalah, seorang Gojo Satoru tidak akan pernah membiarkan anaknya menjadi seorang bajingan.”

 

Uraume mengutuk dalam hati pada keputusan sang suami. Dia sangat heran mengapa kali ini tidak ada penolakan keras dan larangan untuk Miwa bergaul dengan Megumi. Uraume pikir, sejak kedatangan Itadori Yuuji, teman-temannya, dan Gojo Satoru, sikap Sukuna mulai berubah.

 

Di lampu merah pertigaan, Megumi dan Miwa masih belum berhenti tertawa.

 

“Ini mendebarkan, Megumi!”

 

“Ya! Sangat mendebarkan! Btw, kau ingin kita kencan di mana?”

 

Miwa mengangkat bahu, menyandarkan pipi ke punggung Megumi. “Aku tidak tahu. Aku belum pernah berkencan sebelumnya, Megumi.”

 

“Bahkan ... dengan ... Muta?” tanya Megumi hati-hati.

 

Miwa menggeleng kuat. “Dia itu bukan tipe pria yang mengulur waktu untuk berpacaran. Dia langsung menikahiku ketika aku bilang juga mencintainya.”

 

“Aku ... sebenarnya juga ingin seperti itu, Miwa. Tapi ... aku masih seorang mahasiswa, belum lulus. Aku ... punya cita-cita yang ingin kucapai selain menikahimu.”

 

Miwa memeluknya erat. “Begitu, ya? Sebenarnya, aku juga punya cita-cita yang telah lama kukubur.”

 

“Apa itu?” Megumi menoleh penasaran.

 

Miwa berbisik di telinga Megumi. Pemuda bulu babi lengah sesaat. Dia tersadar ketika kendaraan di belakangnya membunyikan klakson. Lampu sudah berganti warna menjadi hijau.

 

Megumi memilin stang, menggas motor ninja putihnya. Ada seringai gila di bibir kala mengetahui cita-cita liar seorang Miwa Katsumi. Calon istrinya itu bercita-cita ingin menjadi Samurai.

 

Pada akhirnya, kencan pertama bagi Miwa dan Megumi berakhir di Pasar Malam. Tempat di mana Megumi dan Miwa bertemu pertama kali.

 

 

•Tbc•

Chapter 19: Restu

Summary:

Halo, Minna 😘

Aku kembali update cerita ini karena cerita sebelah sudah tamat!

Siap-siap menemukan kejutan yaa~

Chapter Text

“Suguru.”

 

Suguru mengumpat dalam hati, menutup berkas yang hendak ditandatangani. Tatapan menusuk tertuju pada karyawannya, Dosen Musik, Gojo Satoru.

 

“Apa lagi kali ini yang kau mau, Tuan Gojo?”

 

Satoru tersenyum kikuk menggaruk tengkuk. Dalam hati, dia sebenarnya tidak enak harus meminta bantuan Suguru lagi. Padahal Malam Minggu kemarin dia sudah meminta bantuan Suguru untuk mengizinkan tiga murid favoritnya berkencan.

 

“Anuu ... itu ... aku ... ingin izin tidak mengajar--”

 

“Kau pikir aku sebaik itu hingga bisa mengizinkanmu lagi? Tidak! Sekarang, keluarlah dari--”

 

“Suguru! Please~”

 

Suguru terbelalak mendapati Satoru memeluk erat kakinya. Iris aquamarine berbinar penuh pengharapan dan nelangsa.

 

“Lepaskan kakiku!”

 

“Ini penting, Suguru! Aku harus menjenguk satu-satunya keluargaku yang tersisa!”

 

“Heh! Siapa? Gadis Monyetmu?”

 

Satoru menggeleng meski hati mengutuk mulut kotor Suguru yang mengatai Tsumiki. “Ini Ui Ui! Aku dapat kabar dari menantunya Paman Yuuji kalau Ui Ui sedang sakit! Dia ... dia mogok makan dan ngotot ingin aku datang ke sana!”

 

Suguru sempat terdiam berpikir. Jauh di lubuk hati, dia merasa kasihan pada Ui Ui. Biar bagaimanapun, bocah itu sekarang sebatang kara. Hanya Satoru lah keluarganya meski bukan sedarah.

 

Sambil memijat pelipis, Suguru berdecak, “Baik! Tapi sebagai ganti, kau harus membantu Nanami mengerjakan beberapa berkas.”

 

Senyum simpul terukir di bibir salmon. “Dengan senang hati!”

 

“Sana cepat pergi!”

 

“Ah ... omong-omong, aku ... ingin mengajak putraku--”

 

“Tidak! Kau ini dikasih hati minta jantung!”

 

Satoru merengek. “Tapi aku ingin naik motor! Dibonceng Megumi-chan!”

 

“Kau bisa naik motor sendiri, Gojo!”

 

“Kau lupa? Sudah berapa kali motorku itu diservis, Suguru? Jika aku mati karena kecelakaan, bukan tidak mungkin kau yang akan disalahkan.”

 

Alis Suguru berkedut. “Kau mengancamku, huh?”

 

Satoru terkekeh merangkul pundak Suguru dengan berani. “Ehehe ... tidak~ Aku hanya mengatakan kebenaran, Suguru~ Bukankah semua mahasiswamu mencintai keberadaanku? Lagipula, apa kau lupa? Aku tidak bisa naik motor.”

 

Mau tak mau, Suguru teringat kecelakaan bodoh waktu mereka kuliah. Mereka kompak membeli motor ninja hitam dan putih. Hanya Suguru yang bisa mengendarai dengan sempurna. Satoru tertinggal, bahkan kena tilang usai menabrak mobil patroli polisi. Di hari berikutnya, Satoru dan motornya terjun bebas ke laut. Benar, Gojo Satoru tidak selamanya menjadi Yang Terkuat. Dia tidak bisa mengendarai motor.

 

“Persetan! Terserahmu saja!”

 

“Yeay! Arigatou, Suguru!”

 

“Jangan panggil aku Suguru! Enyahlah dari kantorku!”

 

Ha'i, ha'i, ha’i, Sensei.”

 

***

 

Megumi menatap ketus Satoru. Ucapan nyelekit keluar menyamai ucapan Suguru.

 

“Dikasih jantung, minta daging. Kau sungguh memalukan, Gojo-san.”

 

Satoru merengek pura-pura tersakiti. “Megumi-chan jahattt!”

 

“Mengapa pula harus kuantar segala sedang kau bisa saja memesan ojol! Dasar Idiot!”

 

Seketika, Satoru menutup mulut. Dia tersenyum malu-malu. Sejujurnya, dia melupakan opsi tersebut. Untung saja Suguru juga melupakan hal itu.

 

Hora~ hora~ yang terpenting, kau bisa sekalian ketemu sama Miwa-chan. Bukankah ini seperti sambil menyelam nyari ikan?”

 

“Yang benar itu, Sambil Menyelam Minum Air.”

 

“Sudahlah! Jangan pikirkan pepatah tak berguna itu! Sekarang, ayo kita berangkat, Megumi-chan!”

 

“Pegangan!”

 

Satoru duduk di jok belakang sambil memeluk leher Megumi.

 

“Oi! Peluk pinggangku, Gojo-san! Kau ini seperti belum pernah dibonceng saja!”

 

Satoru membetulkan posisinya. Dia mencibir. “Emang iya!”

 

Sambil menggembreng memanaskan motor, Megumi bertanya, “Lah, Geto Sensei dulu enggak pernah boncengin kau?”

 

Bibir sewarna salmon melengkung ke bawah. “Suguru pelit! Dia lebih suka boncengin Amanai atau Shoko! Uaahhh~ Amanai~ huhuhu~ kenapa sekarang kau jarang muncul~”

 

“Urusei!” Megumi langsung melajukan motor dengan kecepatan tinggi.

 

Satoru terus menjerit dan berteriak sepanjang jalan. Dia tidak menyangka akan trauma seumur hidup oleh motor.

 

Sesampainya di rumah keluarga Ryomen Sukuna, Satoru ternganga. Tubuh pucat pasi seolah nyawanya telah hilang. Megumi mencoba untuk tidak menertawai kesusahan sang ayah angkat.

 

“Gojo-san, kita sudah sampai.”

 

“Huh? Apa ini ... neraka? Kupikir aku ... masuk surga ....”

 

Sosok Sukuna muncul di belakang Satoru yang masih telentang di jok motor. Pria bertato memelototi Yang Terkuat.

 

“Berani sekali kau menyebut kuil suciku sebagai neraka, Gojo.”

 

Satoru berkedip, lalu bangkit cepat berlari bersembunyi di balik punggung Megumi. “Megumi! Selamatkan aku dari iblis neraka!”

 

“Gojo Sialan! Aku akan memutilasimu karena berani menyebutku--”

 

Miwa datang menginterupsi. “Megumi! Gojo-san! Akhirnya kalian datang juga!”

 

Megumi tersenyum lembut ke arah Miwa. “Apa kami terlambat? Miwa, kau cantik memakai jepit rambut itu.”

 

Pujian itu membuat wajah Miwa memerah malu. Dia balas tersenyum. “Tentu saja ... karena ... jepit rambut ini adalah ... pilihanmu, Megumi.”

 

“Awww~ so sweeet~” sorak Satoru.

 

Sukuna meringis jijik. “Kalian ingin masuk atau apa, hah?! Cepat temui Ui Ui! Beri dia makan!”

 

Satoru bertelak pinggang memelototi Sukuna. “Kau tidak memberinya makan?! Yang benar saja!”

 

“Bocah itu yang tidak mau makan sebelum kau datang menemuinya! Sana pergi, Gojo!” Sukuna beralih memerintah Miwa. “Antar dia ke kamar Ui Ui, Miwa!”

 

Miwa membungkuk hormat. “Wakarimashita, Sukuna-sama!”

 

***

 

“Ayo makan dulu, Ui Ui. Aku yakin, Gojo Satoru sedang dalam perjalanan kemari.”

 

“Tidak! Aku ingin menunggunya!”

 

“Tapi--”

 

“Ui Ui-chan~”

 

Ui Ui menyeringai licik di tengah bersin. Dia memaksakan diri berjalan sempoyongan ke arah Satoru yang melambaikan tangan ke arahnya.

 

Belum sempat Satoru memeluknya, pria albino sudah lebih dulu ditendang tepat di kemaluannya. Dengan kejam, bocah berambut silver malah tertawa sambil terbatuk. Dia kembali duduk bersila di atas futon. Menyantap sup ayam yang disediakan Uraume.

 

Uraume bernapas lega usai melihat adik bungsunya makan dengan lahap.

 

“Ui Ui-chan kenapa menendang aset masa depanku~ Setelah aku bersusah payah datang bersama paman bulu babimu~”

 

Megumi tersinggung. “Oi! Sejak kapan aku jadi pamannya! Dan jangan panggil aku bulu babi!”

 

“Bawa apa?” tanya Ui Ui.

 

Satoru dan Megumi mati kutu. Jujur, mereka lupa mampir ke toko buah untuk beli parsel buat Ui Ui.

 

Miwa tertawa keras, sedang Ui Ui cemberut. Uraume seorang yang merasa kesal.

 

“Kalian sangat pantas menjadi ayah-anak. Sama-sama tidak peka,” komentar Uraume.

 

Satoru memprotes, “Aku lupa, bukan tidak peka! Apa sekarang yang kau mau, Ui Ui-chan? Bilang padaku! Aku akan menyuruh Ijichi--”

 

“Ojol, Gojo-san! Ojol!” potong Megumi meneriaki.

 

“Oke! Maksudku, biar abang Ojol yang antarkan kemari pesananmu!” lanjut Satoru.

 

Ui Ui menatap Satoru berbinar. “Benarkah?! Kalau begitu, aku ingin Robot Transformer, figure Sukuna, PS5, sekotak mochi aneka rasa, es krim, dango, soba dingin,--”

 

Satoru tak bisa mendengar sisanya. Dia sudah pingsan di tempat.

 

“Wah ..., dia K.O.” komentar Megumi datar. Tidak berempati maupun khawatir.

 

“Bukankah dia kaya? Mengapa hal sebanyak yang disebutkan Ui Ui membuatnya pingsan?” pikir Uraume tak percaya.

 

Miwa bertanya cemas. “Megumi, jika permintaan Ui Ui sangat berat bagi kondisi keuangan Gojo-san, kalian tidak perlu mengabulkan semuanya. Aku akan menyuruhnya memilih satu saja.”

 

“Tidak mau! Aku mau semua itu, Nee-san!” tolak Ui Ui.

 

“Ui Ui! Jangan nakal!” seru Miwa marah.

 

Megumi terkekeh. “Tidak masalah, Miwa. Mungkin Gojo-san masih trauma oleh ....” Dia menggantung kalimat, sengaja melirik Ui Ui.

 

Uraume dan Miwa tahu Megumi ingin menyinggung Mei Mei. Untuk itu, Uraume terpaksa memerintahkan Miwa berbicara empat mata dengan Megumi. Dia akan menjaga Ui Ui dan menunggu Satoru bangun.

 

Usai mereka berada di lantai dasar, tepatnya bagian belakang rumah, Megumi menceritakan apa yang dia ketahui tentang hubungan Mei Mei dengan Satoru.

 

“Jadi, Mei Mei ... wanita matrealistis, ya. Aku ... sungguh tidak percaya,” ujar Miwa sedih.

 

“Semoga saja sifat buruknya tidak menurun pada Ui Ui,” balas Megumi.

 

“Tentu saja tidak akan! Aku dan Uraume-san yang telah mendidiknya! Aku yakin, dia akan tumbuh menjadi lelaki yang berwibawa, tegas, dan bertanggung jawab!”

 

“Macam Sukuna, bukan?” goda Megumi.

 

Miwa mengangguk malu-malu. “Sukuna-sama adalah contoh terbaik di keluarga ini.”

 

Megumi tiba-tiba mendorong tubuh Miwa ke tembok. Kedua lengan memenjarakannya agar tidak melarikan diri. Suara bisikan sensual menyuruh Miwa mendongak.

 

Jantung Miwa berdetak cepat kala melihat tatapan intens bola mata biru obsidian milik Megumi.

 

“Aku bisa menjadi contoh terbaik di keluarga ini, Miwa. Aku tahu kau merasakannya dariku. Aku tahu kau juga mencintaiku. Maka ... untuk apa mengelak? Katakan padaku, Miwa. Katakanlah ... bahwa kau ... mencintaiku juga.”

 

Hening sejenak, lalu tiba-tiba badai datang dalam bentuk Ryomen Sukuna. Pria bertato melempar pisau boomerangnya ke arah Megumi. Sayang, Megumi berhasil merunduk menghindar. Sukuna berdecih sebal kembali mengantongi pisaunya. Dia melangkah menyambangi mereka bersama seekor hewan langka.

 

Baik Sukuna maupun Miwa merasa aneh melihat Megumi gemetar dan menggigit bibir. Seolah menahan sesuatu.

 

Sukuna mengernyit sambil mengelus reptil jinak berlidah panjang yang menempel di pundaknya. “Ke mana keberanianmu tadi, Fushiguro Megumi?”

 

Miwa buru-buru melerai sebelum mereka bertengkar lagi. “Sukuna-sama, tadi Megumi cuma bercanda, kok! Ya, kan, Megumi?”

 

Megumi mendekat, fokus pada hewan di pundak Sukuna. Saat dia hendak menyentuhnya, Sukuna menepis tangan Megumi.

 

“Mau apa kau dengan Mahoraga?”

 

Mulut pemuda bulu babi melongo. Dia tergagap. “Ma-Mahoraga? Bunglon ... albino ... ini ... Mahoraga?!”

 

Bibir Sukuna berkedut jengkel. “Ya! Kenapa? Apa aku tidak boleh menamai hewan kesayanganku dengan nama Jendral Ilahi Terkenal Dari Sejarah Jujutsu?!”

 

Megumi menggeleng kuat, lalu tersenyum sumringah. Hal itu sangat mengejutkan bagi Sukuna. “Aku dulu juga punya bunglon albino! Namanya juga Mahoraga! Aku juga pernah memelihara dua ekor anjing yang kuberi nama Shiro dan Kuro! Waktu SMP, aku pernah menyelamatkan anak gajah yang terluka di hutan dan aku beri nama dia Bansho! Terus, waktu SMA di pendakian, ada seekor burung elang yang mengikutiku sampai rumah! Aku beri nama dia Nue!”

 

Sukuna tergagap, tak siap mendengar informasi yang Megumi ungkapkan. “K-kau ... tahu ... tentang ... Ten Shadows Jujutsu?!”

 

Megumi mengangguk kuat. “Aku suka binatang-binatang dari sejarah Jujutsu, terutama Ten Shadows!”

 

Miwa terkena serangan jantung melihat interaksi sang mertua dengan Megumi.

 

Sukuna menyeringai gembira. “Sekarang, di mana binatang-binatang yang kau beri nama itu, Fushiguro Megumi? Aku ingin melihatnya!”

 

Segera, Megumi langsung murung. “Mahoraga milikku ... mati karena ... Gojo-san memberinya makan es krim.”

 

Sukuna mengumpat kasar. “Beraninya keparat itu!”

 

“Aku tidak tahu saat itu karena masih di sekolah. Lalu, saat aku mengadopsi sepasang anjing, Shiro dan Kuro, mereka ... diculik oleh penadah anjing. Gojo-san tidak mau membantuku mencari mereka!”

 

Lagi, Sukuna menyumpahi Satoru.

 

“Kalo Bansho, dia ada di kebun binatang Sendai. Kau tahu sendiri, gajah adalah hewan yang dilindungi. Aku ingin menjenguknya ke sana suatu hari nanti.”

 

Sukuna terdiam sejenak, ikut merasakan kesedihan yang dialami Megumi sebagai sesama pecinta bintang Ten Shadows. “Lalu, Nue?”

 

Senyum kecil terukir di bibir Megumi. “Nue masih ada. Dia kadang datang ke butik Tsumiki untuk minta makan. Dia lebih sering berburu di alam liar.”

 

Megumi sangat terkejut mendapati dirinya dirangkul oleh Sukuna. Pertanyaan yang dilontarkan Sukuna selanjutnya membuat Megumi menangis haru.

 

“Kehilangan hewan yang kau urus dan cintai itu berat. Aku beruntung belum pernah kehilangan salah satu koleksi hewan milikku. Apa kau ingin memegang Mahoraga milikku? Anggap saja dia adalah Mahoraga-mu.”

 

Megumi mengangguk, langsung mengusap sayang bunglon albino. Sang bunglon milik Sukuna seolah mengerti. Dia pun berjalan perlahan naik ke atas lengan kanan Megumi, lalu berakhir hinggap di pundaknya. Karena warna pakaian seragam Megumi merah maroon, bunglon tersebut pun menirunya. Kulitnya berubah warna menjadi merah maroon. Dia berkamuflase serupa almamater seragam Megumi.

 

Sukuna dan Megumi sama-sama tertawa riang. Mereka mengelus bersamaan Mahoraga. Miwa yang menyaksikan perubahan tersebut ikut merasa senang. Senyuman tak pernah hilang dari bibirnya. Sekarang, dia semakin yakin untuk membalas cinta Megumi.

 

Di satu sisi, Megumi merasa menang. Hobinya yang aneh menurut Satoru dan sang kakak tiri akhirnya bermanfaat. Dia sangat yakin seratus persen mulai sekarang, kesempatan menjadi pacar Miwa telah diraih. Restu Sukuna sudah Megumi kantongi.

 

Di kamar Ui Ui, suasananya berbanding terbalik. Uraume menangis, sedang Ui Ui tanpa henti menendang tubuh Satoru. Pria albino hanya mampu menerima apa yang pantas untuknya.

 

“Aku benci kau, Satoru! Mengapa kakak tersayangku bisa mati! Mengapa!”

 

“Jika waktu bisa kuputar ulang, aku pasti tidak akan menyuruhnya melakukan tugas itu, Ui Ui. Gomen ....”

 

Satoru tidak jujur sepenuhnya pada Uraume dan Ui Ui. Tentang kecelakaan Mei Mei yang ditabrak mobil lain. Dia tidak ingin usaha Megumi gagal karena satu fakta. Bahwasanya penabrak mobil Mei Mei adalah mobil yang ditumpangi ayah kandung Megumi, Fushiguro Toji.

 

 

 

•Tbc•

Chapter 20: Libur Telah Tiba

Summary:

Libur telah tiba!

Horayyy~

🎉

Chapter Text

[ Libur Semester Telah Tiba. Para Mahasiswa Bisa Memilih Ingin Pulang Ke Rumah Atau Tinggal Di Asrama. Para Mahasiswa Diminta Kembali Ke Akademi Kaisen Pada Tanggal 5 Januari. Terima Kasih. ]

 

Sepucuk surat yang mereka baca, kompak dilempar ke udara. Tiga pemuda penghuni asrama nomor 257 bersuka cita mendapatkan surat edaran pemberitahuan tentang liburan semester. Mereka sudah punya rencana masing-masing yang sama-sama menuju rumah.

 

“Sudah lama aku tidak bertemu Tsumiki ...,” ucap Megumi lirih, terkenang akan sang adik.

 

Yuuji terus tersenyum lebar, sedang membayangkan bagaimana ekspresi Sukuna saat diajak ke makam kakek dan kedua orang tuanya di Sendai.

 

Yuuta masih terisak memeluk pigura foto semasa SD. Di mana terlihat Rika, Maki, Inumaki, dan dirinya sedang berfoto di pintu masuk kebun binatang. Yuuta sudah lama tidak berziarah ke makam Rika.

 

Selagi mereka beberes memasukkan pakaian ke dalam koper, pintu asrama terbuka menampilkan Gojo Satoru. Pria albino memakai jaket bulu domba khas musim dingin, kacamata bulat hitam, sepatu boot berbulu, dan snowboard. Senyum seringai tercetak di bibir sewarna salmon.

 

Pelipis Megumi berkedut, lalu melirik tajam antara Yuuji dan Yuuta. “Siapa di antara kalian berdua yang memberikan kunci cadangan pada Idiot itu?”

 

Yuuta menghapus air mata, menggeleng kuat.

 

Yuuji terkekeh panik, tak mau menatap mata Megumi yang kian menggelap.

 

Sebelum Megumi melempar panci ke kepala Yuuji, Satoru bersorak, “Hey, para murid favoritku! Libur telah tiba! Ayo kita berselancar!”

 

“Tidak!”

 

“Ayo!”

 

“A-ku tidak tahu caranya!”

 

Bibir Satoru melengkung ke bawah. “Mengapa kalian tidak bisa kompak untukku?! Kalau soal cewek baru kalian kompak! Ck!”

 

Megumi membanting koper kosong ke lantai, membuat Satoru berjingkat kaget. Dia memandang sinis. “Aku tidak suka salju! Harus berapa kali aku mengatakannya padamu, Gojo-san! Aku mau bersama Tsumiki!”

 

Satoru bertelak pinggang percaya diri. “Tsumiki sudah setuju ikut denganku, Megumi-chan~”

 

Megumi mengerang memijit pelipis.

 

Yuuji menghampiri dengan mata berbinar. “Bolehkah aku ajak Paman Kuna, Sensei?”

 

Satoru menurunkan sedikit kacamata demi melirik Yuuji. Senyumnya berubah tipis. “Yuuji-kun, aku ... tidak yakin dia mau ikut. Kau tahu sendiri tentang ... masalah itu ....”

 

Yuuji murung, tetapi kembali bersemangat. “Meski begitu, aku tetap akan mencoba mengajaknya! Kematian Bibi Mei Mei bukan salahmu, Sensei!”

 

Satoru menjentikkan jari, dia punya saran lain. “Bagaimana kalau kau ajak Nobara-chan?”

 

Yuuji bersorak. “Woah! Ide bagus, Sensei! Bisa sambil kencan ... hehe!”

 

Satoru duduk di ranjang di samping kiri Yuuta. Dia merangkul pundak sepupunya. “Yuuta ikut juga, ya? Kau boleh bawa siapapun yang kau inginkan, kok.”

 

Yuuta terdiam bimbang sambil sesekali melirik pigura. Sampai kemudian, dia mengambil keputusan. “Jika tidak lama, aku akan ikut, Gojo-san.”

 

Satoru terkekeh seraya mencubit gemas pipi Yuuta. “Niceee! Tenang saja, Yuuta! Kita tidak lama di sana, cuma tiga hari. Liburannya kan dari tanggal 22 Desember sampai 5 Januari.”

 

Megumi ikut menimbrung obrolan. “Jadi, tanggal 24 Desember sudah pulang dari sana?”

 

Satoru menatap sang putra angkat dengan mata berbinar penuh harap. “Benar, Megumi! Kita akan merayakan malam natal di Shinjuku! Kau, aku, dan Tsumiki! Ikut, ya? Ya!”

 

Megumi mendesah kalah. “Oke, aku ikut. Ini demi Tsumiki. Aku tahu dia belum pernah main salju.”

 

Yuuji menyela, “Tunggu! Tunggu! Kita sebenarnya mau berselancar di mana, Sensei?”

 

“Mungkin ... Gunung Fuji?” tebak Yuuta.

 

Satoru meringis jijik, melambai, “Di sana jelek! Yang kumaksud, aku akan membawa kalian semua ke Hokkaido!”

 

Yuuji secepat kilat melihat isi dompet dan buku tabungan. Dia menangis. “Sensei ..., sepertinya ... aku tidak jadi ikut. Mengapa harus Hokkaido?! Sial! Itu sangat jauh dan memakan banyak biaya transportasi! Belum lagi biaya penginapan, makan, sewa papan ski, terus--”

 

“Aduh, Sayang~ Jika Sensei Yang Tamvan dan Kaya ini mengajakmu, berarti seluruh biaya ditanggung olehku~ Kau hanya duduk dan nikmati saja, Yuuji-kun~”

 

Yuuji menangis lagi, di pelukan Satoru. “Arigatou, Sensei!”

 

Satoru balas memeluk Yuuji, lalu melepasnya kala teringat sesuatu yang penting. “Kalian bersiaplah! Nanti malam kita akan berangkat! Aku melupakan sesuatu!”

 

Saat Satoru hendak pergi meninggalkan kopernya, Megumi meneriaki bertanya.

 

“Siapa yang kau ajak, Gojo-san!”

 

“Tentu saja Suguru!”

 

Megumi, Yuuji, dan Yuuta saling pandang dalam diam usai Satoru pergi. Mereka merasakan firasat buruk.

 

***

 

“Enyah.”

 

“Tapi Suguru! Kau sangat butuh liburan agar tidak stress!”

 

Suguru memukul meja kerjanya seraya memelototi Satoru. “Menurut Anda, saya ini siapa, huh, Tuan Gojo? Apa pantas mendesak atasan Anda seperti ini?”

 

Saat itu, mata Suguru teralihkan ke pintu yang terbuka lebar. Dia terbelalak melihat kepala Amanai melongok mengintip seraya terkikik. Menghiraukan Satoru yang terus mendesak, dia berlari ke ambang pintu. Namun, di luar sana hanya ada kekosongan.

 

Satoru menepuk pundak Suguru dengan raut wajah cemas. “Suguru? Daijoubu?”

 

Suguru berkedip tak menjawab. Dia masih melamunkan tentang apa yang baru dilihat.

 

“Suguru! Ada apa, sih! Jangan buatku cemas!”

 

Suguru menoleh ke Satoru, bertanya ragu. “Apa kau ... melihat Riko-chan ... mengintip tadi?”

 

Bola mata aquamarine membulat, irisnya semakin lekat memancarkan keterkejutan. Satoru langsung ikut melirik kiri-kanan lorong yang kosong. Dia pun kembali menatap lekat Suguru.

 

“Suguru ..., kau ... bisa melihat ... Amanai?”

 

Suguru mengernyit bingung. “Apa kau gila? Riko-chan sudah meninggal, Satoru.”

 

“Terus kenapa kau bisa melihatnya! Aku juga melihatnya, Suguru! Sangat lama, tapi sekarang dia seolah menghilang tak ingin menemuiku lagi! Mengapa hanya kau yang bisa melihatnya sekarang! Ini tidak adil!” berang Satoru sedih.

 

Suguru memijat pelipis, mengumpat, “Persetan, Satoru! Aku mungkin berhalusinasi! Jangan buat ini semakin gila! Semua ini salahmu!”

 

Satoru mencengkeram erat kedua pundak Satoru, menatapnya serius. “Suguru, apa yang kau lihat adalah Riko Amanai. Kau harus percaya padaku. Adikmu ... pasti merindukanmu jika dia menampakkan diri padamu.”

 

Suguru menepis tangan Satoru dari pundaknya. “Sungguh tahayul.”

 

“Aku serius, Suguru! Mungkin ... Amanai ingin membicarakan hal yang penting padamu. Jadi, tolong ... biarkan dia muncul dan berbicara denganmu. Dan ... ayo ikut kami ke Hokkaido!”

 

Suguru tersenyum lebar hingga mata menyipit. “Selamat libur semester, Tuan Gojo.”

 

Satoru kecewa, Suguru kini menjeblak pintu ruangannya di depan muka Satoru. Satoru gagal mengajaknya pergi liburan.

 

Bandara Okinawa, 10:00 P.M

 

“Jika ini lelucon, aku akan menggeprek buwungmu, Kentang!” ancam Nobara. Gadis itu masih duduk di bangku tunggu bandara sambil mencengkeram erat kopet merahnya.

 

Inumaki baru saja dari toilet bersama Megumi.

 

Maki dan Yuuta masih pergi membeli cemilan untuk semua orang.

 

Yuuji meringis, mencoba meyakinkan sang kekasih seraya tertawa. “Sensei tidak mungkin bohong, Sayang. Iya, ‘kan, Fushiguro?”

 

Pemuda bulu babi mengumpati layar ponsel, tak menanggapi ocehan Yuuji.

 

Tsumiki seorang yang tetap tersenyum santai. “Gojo-san tidak pernah bohong, Itadori-kun. Tenang saja. Mungkin, Gojo-san sedang dalam perjalanan mengingat dia hobi terlambat.”

 

“Dengar, itu, Sayang!”

 

“Urusei!”

 

Maki dan Yuuta akhirnya datang membagikan sekaleng kopi dan keripik kentang pada semua orang.

 

“Gojo-san belum datang juga?” Yuuta celingak-celinguk menatap sekitar ruang tunggu.

 

Maki meremukkan kaleng kopi penuh emosi. “Awas saja kalau Idiot itu telat!”

 

Terdengar panggilan boarding. [ Kepada Penumpang Pesawat GG2412 Tujuan Hokkaido, Harap Segera Memasuki Pesawat. Pesawat Akan Take Off Dalam Lima Menit. ]

 

Yuuji berlari ketakutan dari kejaran Nobara yang melayangkan palu keramatnya. Yuuta dan Maki berusaha melerai. Wajah Megumi semakin menggelap kala panggilannya tak dijawab Satoru. Inumaki duduk bersama Tsumiki, mereka berbagi onigiri.

 

Gomen, Minna! Aku punya kejutan untuk kalian semua!” Satoru berlari sambil mendorong lori berisi kotak besi besar alumunium dan sebuah koper putih.

 

Semua orang tak jadi marah, malah melirik penasaran pada isi kotak yang dibawa Satoru. Pria albino segera membuka tutup kotak tersebut sambil menarik keluar tubuh seseorang yang diikat dengan mulut tersumpal kain dalam posisi berjongkok.

 

Surprise~ Sambut tamu undangan kita! Kepala Sekolah Akademi Kaisen!” seru Satoru ceria.

 

Suguru memelototi semua orang seolah membunuhnya.

 

Yuuji, Megumi, Yuuta, Maki, Nobara, dan Inumaki membeku pucat pasi melihat Suguru. Sedang Tsumiki linglung, gadis itu berani melepaskan kain yang menyumpal mulut Suguru.

 

“Bajingan! Aku akan membunuhmu, Satoru!” Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Suguru.

 

Bukannya takut, Satoru malah terkekeh sambil menepuk-tepuk punggung Suguru. “Kau tidak berani membunuhku, Suguru. Baiklah! Ayo kita naik pesawat, Minna!”

 

Megumi yang pertama tersadar. Dia memprotes, “Gojo-san! Ini bukan ide bagus--”

 

Ha'i, ha'i, cepat jalan, Megumi-chan!” Satoru memotong, mendorongnya pergi bersama Yuuji, Nobara, Maki, Yuuta, dan Inumaki.

 

Tsumiki hendak menyentuh tali tambang yang mengikat kedua tangan Suguru, tetapi pria itu menyipitkan mata tajam.

 

“Jangan sentuh aku, Monyet.”

 

“Huh? Monyet?”

 

Satoru menampol tengkuk Suguru. “Ara~ ara~ tolong dijaga mulutmu, Suguru. Bukankah kita di sini ingin bersenang-senang? Dan ingatlah, kau sepakat dengan tawaranku--”

 

Suguru memotong keras. “Siapa yang setuju dengan ide gilamu, Satoru! Riko-chan tidak mungkin menjadi hantu! Apalagi gentayangan!”

 

Tsumiki langsung tersadar kala nama Riko disebutkan. Dia memekik senang. “Kau pasti Geto-san! Aku Tsumiki, anak angkat Gojo-san! Gojo-san selalu menceritakan tentangmu dan mendiang Riko-san padaku dan Megumi. Gomen, aku dan Megumi tidak bisa hadir dalam pemakaman adikmu ....” Dia menyendu di akhir.

 

Suguru menggeram, “Apakah aku terlihat peduli?”

 

Tsumiki tertegun melihat tanggapan buruk Suguru.

 

“Ya! Kau sangat peduli, Suguru! Aku terharu~”

 

“Tidak! Aku tidak! Lepaskan aku, Satoru!”

 

Ha'i, ha'i! Aku akan melepaskan ikatanmu saat di Hokkaido! Jadilah anak baik, Suguru!—Ayo, Tsumiki!”

 

”Uh-iya, Gojo-san.”

 

Setelah melalui berbagai drama dari mulai cekcok dengan petugas keamanan bandara hingga pramugari dan pilot, akhirnya Satoru diizinkan membawa Suguru naik pesawat sambil diikat. Alasan yang tak logis dari Satoru anehnya dipahami semua orang. Bahwasanya Suguru takut naik pesawat dan akan mencekik diri sendiri jika tangannya tidak diikat. Suguru bersumpah akan membunuh Satoru untuk ini.

 

Hal pertama yang Suguru lihat setelah tak sengaja tertidur lelap dalam perjalanan adalah hamparan salju dan pepohonan pinus yang berderet tegak lurus. Ada beberapa rumah tradisional jepang yang merupakan penginapan. Suguru menggigil, mengutuk Satoru yang tidak memberinya jaket bulu.

 

“Ini untukmu, Geto-san. Kebetulan, aku bawa dua jaket bulu.”

 

Suguru hendak menolak jaket bulu yang disampirkan tanpa permisi di pundaknya, tetapi Satoru datang mengacau. Dia mengacungkan jempol memuji Tsumiki, lanjut mendorong Suguru berjalan memasuki penginapan paling besar dan mewah yang di-booking Satoru.

 

Megumi tahu, dia telah lama memerhatikan interaksi antara Suguru dan kakak tirinya. Dia sungguh bingung harus dari mana menjelaskan tentang konflik ini pada Tsumiki.

 

Sesampainya mereka di dalam kamar masing-masing, Satoru segera membuka ikatan Suguru. Mereka sekarang satu kamar, lantai dua sebelah kanan. Yuuji, Yuuta, Megumi, dan Inumaki sekamar, ada di lantai dasar. Tsumiki, Nobara, dan Maki ada di lantai dua sebelah kiri.

 

Satoru siap sedia menjadi samsak Suguru di tengah malam. Sampai Suguru lelah memukul, mereka pun berbicara serius.

 

“Tidak jadi membunuhku, Suguru?”

 

“Aku ingin membunuhmu besok! Mendorongmu ke jurang!”

 

Satoru menyeringai mengejek. “Bisakah kau? Kau tidak punya nyali, Suguru. Aku masih melihat binar cinta di matamu untukku~”

 

Suguru meludahi sepatu Satoru. “Cih! Menjijikan!” Dia melangkah hendak keluar kamar, tetapi pintunya terkunci.

 

“Sebaiknya kau tidur, Suguru. Ini sudah larut malam.”

 

“Berikan aku kuncinya sekarang! Aku ingin pulang!”

 

Satoru membuang jaket bulu, melirik sinis Suguru. “Tidak. Kau mau pulang? Di tengah malam menjelang subuh? Suguru, tidak ada kendaraan di sekitar sini di jam segini! Bisakah kau menyerah saja?! Jika kau tidak ingin berada di sini bersamaku, setidaknya lakukan itu untuk Amanai!”

 

Suguru tersentak, melengos mengalihkan pandangan. Dia menuju ranjang yang tersisa di kamar ini, tepat di samping kiri ranjang Satoru. Suara ritsleting koper yang dibuka menjadi pengisi suasana hening.

 

“Kau tidak memberiku kesempatan beberes pakaian,” celetuk Suguru cemberut.

 

Satoru yang sedang mengobrak-abrik kopernya mendesah. Dia mengambil tiga setel pakaian musim dingin, lalu meletakkan di pangkuan Suguru. Pemuda bermata violet ternganga tak percaya.

 

“Kok bisa--”

 

“Bisa, lah! Kau lupa? Aku pernah meminjam beberapa pakaian musim dingin waktu kita se-asrama. Hanya ini yang masih muat dan bisa kukembalikan.”

 

Ada senyum kecil di bibir Suguru, sebelum menghilang. Tanpa disadari, Satoru melihatnya. Dia kini sangat yakin Suguru perlahan mulai memaafkannya. Malam itu, Satoru dan Suguru tidur sambil tersenyum. Mereka sama-sama memimpikan satu orang yang paling berharga dalam hidup mereka.

 

Riko Amanai, tertawa sambil memeluk keduanya.

 

 

•Tbc•

Chapter 21: Hokkaido

Summary:

Happy Valentine Days 😘 💕

Chapter Text

Sudah tiga kali Yuuji terjatuh dari snowboard-nya. Dia sungguh tak berdaya, ditertawai oleh sang kekasih.

 

Yuuta juga sama, tetapi dia tidak se-sial Yuuji. Dia memang tidak cocok di snowboarding, tetapi mahir di ice skating. Maki memuji, menunjukkan kebolehan yang sama dengan Yuuta. Mereka berakhir berdansa di atas es tipis sebuah danau. Membuat jutaan pasang mata pengunjung terpana.

 

Megumi jelas tipe adaptasi. Dia mampu menaklukkan snowboard. Meskipun tidak berani melewati tanjakan terjal dan turunan berkelok sempit.

 

Inumaki bukan pemuda aktif. Dia memilih membuat boneka salju bersama Tsumiki.

 

Di sisi lain, adu kecepatan dilakukan oleh dua orang gila. Suguru dan Satoru. Mereka berseluncur tanpa melihat sana-sini, hampir menabrak beberapa peseluncur pemula. Kegilaan mereka tak jarang dicaci, tetapi lebih banyak disoraki dan di-video-kan.

 

“Yang menang ditaktir apapun sepuasnya!” pekik Satoru, nun jauh di depan Suguru.

 

Suguru mendesis marah. “Baik! Aku akan menang dan kau harus membayarkan tiket penerbangan ke Okinawa plus souvernir!”

 

“Deal! Tapi ... AKU AKAN MENANG, SUGURU!” Tawa Satoru menggema kala dia memacu kecepatan di atas salju.

 

Tepat jam makan siang, rombongan asal Okinawa berkumpul di sebuah restoran. Semua orang menatap datar Suguru dan Satoru yang berwajah merah pekat hampir membiru. Mereka sama-sama memakai dua lapis jaket bulu dan topi rajut. Termometer terselip di bibir, kedua kaki tercelup ke dalam bak berisi air hangat. Dalam tubuh menggigil, mereka masih tetap tersenyum lebar.

 

“A-ku menang ... hehe ....”

 

“Aku yang ... menang ... Satoru ....”

 

Maki menggeleng kuat. “Tidak ada yang menang di antara kalian berdua. Tsumiki-san, tunjukkan video-mu pada mereka!”

 

Tsumiki mengangguk terkikik geli. Dia segera memutar video terakhir kala Suguru dan Satoru hampir mendekati garis finish. Suguru dan Satoru akhirnya mengingatnya. Mereka malah salah jalan, berbelok ke area pepohonan pinus. Mereka pun menabrak pohon-pohon tersebut hingga tertimbun salju. Mereka hampir mati terkena hipotermia karena terkubur selama dua jam sebelum petugas berhasil mengangkat mereka dari sana.

 

Maki benar, tidak ada yang menang di pertandingan papan seluncur tersebut.

 

“Jika soal menang, kami lah pemenangnya, Sensei-Sensei Sekalian!” pekik Yuuji bangga. Dia berdiri bertelak pinggang memamerkan medali emas yang dikalungi di leher.

 

“Benar, tuh! Kami akan meminta hadiah!” sahut Nobara, yang ikut berdiri di samping kanan Yuuji. Medali emas yang sama juga dia dapatkan. Di sana, tertulis, ‘Juara Pertama Lomba Memahat Es Berpasangan’.

 

Satoru bersiul kala menggigil. “Siapa sangka kalian punya bakat memahat. Desain apa yang kalian buat?”

 

Nobara dan Yuuji kompak menjawab bangga. “Patung Ryomen Sukuna.”

 

Satoru bersin sambil tertawa.

 

Suguru mendengkus.

 

Semua orang di meja itu hampir ikut serta tertawa geli, tetapi dihentikan oleh kemunculan seseorang.

 

“Hah? Apa yang kalian lakukan, Bocah-bocah? Patung apa?”

 

Yuuji dan Nobara langsung pucat pasi mundur teratur. Mereka tak menyangka Sukuna muncul di belakang mereka.

 

“Eh? Pa-paman Kuna kok ada di sini?”

 

“Ha-lo, Kakak Ipar!”

 

Megumi tiba-tiba tersenyum begitu cerah sehingga ruangan terasa sangat silau. Dia berlari ke arah satu sosok di dalam rombongan yang mendatangi meja mereka.

 

“Miwa! Inikah alasanmu menolak ajakanku?” Megumi langsung menggenggam erat kedua tangan Miwa, memandang penuh cinta.

 

Miwa terkekeh takut-takut, tahu Sukuna sedang meliriknya tajam. “Anu ... etto ... kebetulan, kami sekeluarga dikasih voucher paket liburan ke Hokkaido dari donatur kuil. Aku ... benar-benar tidak bisa ikut denganmu, Megumi.”

 

Uraume maju, menampar punggung tangan Megumi hingga terlepas dari Miwa. Sorot mata penuh kebencian tertuju pada Megumi, lalu Satoru. “Jangan berani kau sentuh Miwa, Anak Pembunuh!”

 

Megumi terdiam, menunduk menatap lantai.

 

Sukuna menyeringai puas melihat perlakuan sang istri pada Megumi. “Awalnya, aku mungkin merestuimu, Fushiguro Megumi. Tapi ... tidak setelah aku tahu siapa kau.”

 

Suguru tertawa terbahak hingga semua orang meliriknya aneh. Lalu, dia menoleh ke Satoru seraya menyeringai. “Sekarang, sudah jelas, bukan, Satoru? Orang Yang Kau Suruh bahkan membunuh Satu Orang Lagi. Siapa itu, Sa-to-ru~”

 

Sosok anak kecil yang dari tadi diam, kini maju ke depan Suguru. Dia menamparnya.

 

“KAU--”

 

“Meskipun Satoru itu Idiot, tapi dia masih punya hati! Aku tahu bukan dia yang membunuh Nee-san!”

 

Satoru terkesiap, kagum akan pembelaan saudara tirinya, Ui Ui.

 

Tsumiki berdiri, berteriak meminta atensi. “Cukup! Apa ... yang sebenarnya terjadi di sini! Mengapa kalian memperlakukan Megumi seperti itu! Apa salah dia!”

 

Suguru melirik Tsumiki, diam.

 

Satoru menundukkan wajah, sama diamnya.

 

Megumi hanya bisa mengeratkan kepalan tangan.

 

Suara tepuk tangan dari Sukuna mengambil alih kesunyian. Tsumiki kini memelototinya.

 

“Luar biasa! Bagaimana bisa orang yang katanya adalah anaknya sendiri, tidak tahu semua ini? Bukankah kau sangat jahat ..., Gojo Satoru?” sindir Sukuna.

 

Mata Tsumiki beralih ke Satoru. Dia memandang nanar. “Gojo-san ..., tolong ... jelaskan padaku semuanya ....”

 

Satoru masih diam.

 

Tsumiki beralih ke Megumi. “Megumi, kau tahu, bukan?”

 

Megumi juga diam saja.

 

Sampai akhirnya, Ui Ui berbicara, “Mungkin ini berat untukmu, Fushiguro Tsumiki. Tapi ... awal mula semua ini dari kasus penembakan Riko Amanai. Suguru Geto mengira Satoru yang melakukannya dengan menyuruh pembunuh bayaran. Nah, kebetulan, orang itu adalah Fushiguro Toji ..., ayahmu.”

 

Napas Tsumiki tercekat. “A-pa ....”

 

Ui Ui melanjutkan tanpa beban. “Mendiang Kakakku, Mei Mei, disuruh Satoru untuk menyelidiki siapa ayahmu dan apa motif dia membunuh Riko Amanai. Belum sempat berhasil, kakakku kecelakaan. Ada sebuah mobil yang menabrak mobilnya. Mobil tersebut, tak disangka adalah mobil curian yang dikendarai oleh Fushiguro Toji. Mereka berdua ... tewas di tempat.”

 

Tsumiki menolak percaya. “Itu tidak benar! Kau ... kau bohong!”

 

Ui Ui membentak, “Itu benar! Idiot itu tidak akan mungkin sanggup mengakuinya padamu! Dia terlalu menganggap kau rapuh, sama sepertiku! Cih!”

 

Tsumiki berdiri di hadapan Satoru kembali menatapnya dengan berurai air mata. “Gojo-san, benar kah itu?”

 

Satoru berdiri tegak hingga dua jaket bulu di pundak terjatuh ke lantai. Wajah masih tertunduk menyembunyikan segala macam emosi. Dengan cepat, dia menyambar pergelangan tangan Tsumiki, lalu memaksanya berjalan keluar restoran meninggalkan semua orang. Tak lama, Megumi pun menyusul.

 

Kesunyian kembali, sampai Yuuta berdiri berjalan menyambangi Ui Ui. Uraume melesat cepat berdiri di antara mereka. Wanita itu takut Yuuta melakukan sesuatu buruk pada sang adik bungsu. Namun, Yuuta malah tersenyum lembut mengusak surai putih si bocah.

 

Arigatou atas bantuannya, Ui Ui-chan. Tanpamu, mungkin rahasia ini akan lama terbongkar. Aku juga tahu betapa Idiotnya sepupuku itu. Dia ... terlalu menyayangi Tsumiki,” ujar Yuuta.

 

Ui Ui balas mengangguk menatap lekat Yuuta.

 

Yuuta, Maki, Inumaki, dan Nobara pun pergi, menyisakan Yuuji, Miwa, Sukuna, Uraume, Ui Ui, dan Suguru. Mereka kehilangan nafsu makan. Sebelum Yuuji pergi menyusul yang lain, dia berani menonjok wajah Sukuna. Ada kemarahan di mata emas itu.

 

“Selamat, Paman Kuna. Mulutmu berhasil merusak liburan kami yang berharga. Lakukan itu lagi dan aku tidak akan pernah sudi menganggapmu sebagai keluarga.”

 

Darah Sukuna mendidih mendengar ancaman tersebut. Dia tidak peduli, tetapi dalam hati merasa takut. Sukuna takut kehilangan keluarga untuk kedua kali.

 

“Sukuna-sama! Hidungmu berdarah!” Uraume panik, bergegas menyambangi sang suami. Dia menyentuh hidung yang agak bengkok tersebut hati-hati.

 

Sukuna menepis tangan sang istri. Tanpa memandangnya, dia memerintah, “Mari kita pulang. Hokkaido terlalu panas untukku.”

 

Uraume hanya mengangguk, lalu menarik paksa tangan Ui Ui untuk mengikutinya. Miwa mengikuti dengan langkah lesu di belakang. Meninggalkan Suguru seorang diri yang masih terjebak dalam renungan.

 

“Ada yang salah di sini,” gumamnya.

 

Tiba-tiba, sebuah suara familiar menyahut dari depan. “Memang. Baru sadar, Aniki?”

 

Suguru terjengkang jatuh dari kursi. Dia tergagap, mata melotot tak percaya dengan apa yang dilihat. “Riko ... chan?! A-p-tapi-mengapa--”

 

Riko duduk bersedekap menatap serius sang kakak. “Bukan Satoru yang membunuhku, Aniki.”

 

Suguru memijit pelipis, menjatuhkan semua piring, gelas, dan mangkuk di atas meja. Dia mendesis murka. “Itu Fushiguro Toji Sialan! Aku tahu, tapi dia lah yang menyuruhnya, Riko-chan! Apa kau tidak mengerti?! Dia tipe yang harus bisa mendapatkan apa yang dia inginkan! Dia pasti gila ketika kau menolak cintanya waktu itu!”

 

Riko tersenyum kecil, mengotak-atik sumpit di atas mangkuk berisi ramen. “Kata siapa aku menolak cinta Satoru, Aniki?”

 

Suguru jatuh terduduk lemas. “Jadi ..., kau ... memang mencintai Satoru ....”

 

Riko mengangguk, masih tersenyum. Kini, dilengkapi semu di pipi. “Selalu dan selamanya.”

 

Suguru tahu ada yang tidak beres. Akan tetapi, di mana letaknya Suguru pun tak tahu. Di sini, di tengah perbincangan, Suguru hanya mampu menangis.

 

“Aniki, Satoru tidak akan mungkin tega membunuhku. Memang benar kalau Fushiguro Toji membunuhku. Memang benar Fushiguro Toji mengambil nyawa Mei Mei. Namun, terlepas dari itu, apa kau tidak pernah penasaran apa motifnya? Apa kau pernah sekalipun menyelidiki tentangnya?”

 

Suguru menggeleng kuat. Dia bersuara serak. “Gomen, Riko-chan. Selama ini ..., aku hanya terfokus pada Satoru. Jika menurutmu apa yang kulakukan itu salah, lalu ... apa yang benar?”

 

Riko berjalan menyambangi Suguru. Dia memeluknya penuh kasih. “Jangan dengarkan orang lain dan percaya pada kata hatimu. Itulah yang benar, Aniki.”

 

Suguru terisak kemudian sampai membuat pegawai restoran yang datang menagih bill kebingungan.

 

 

 

•Tbc•

Chapter 22: Salju Pertama Di Shinjuku

Summary:

Shinjuku adalah kabar buruk bagi semua orang 😔

Chapter Text

Tsumiki tidak pernah merasa sesakit ini.

 

Penjelasan dari sang ayah angkat seolah candaan. Namun, inilah kenyataannya.

 

Fushiguro Toji, ayah tiri yang hanya pernah menatap tanpa menyapa saat pertama kali dia diperkenalkan oleh sang ibu , adalah seorang pembunuh bayaran.

 

Fushiguro Toji ...telah membunuh kekasih ayah angkatnya.

 

Foshiguro Toji menyebabkan banyak masalah bagi keluarga kecil mereka.

 

Sadar diri, Tsumiki jatuh berlutut di depan Satoru. Kepala ditundukkan sedalam-dalamnya, air mata jatuh deras membasahi lantai area balkon restoran tempat mereka berbincang.

 

“Tsumiki! Jangan--”

 

“Tolong maafkan ayah tiriku, Tuan Gojo!”

 

Satoru berdecak, jengkel. “Bangun, Tsumiki! Kau tidak perlu merasa bersalah karena ini bukan salahmu! Ini semua salah Toji!”

 

Tsumiki menggeleng tanpa mendongak. “Tidak! Walaupun... dia tidak pernah menafkahi aku, ibu, dan Megumi, dia tetaplah anggota keluarga kami! Dia adalah ayah tiriku! Kesalahannya juga menjadi kesalahanku! Untuk itulah aku--”

 

Satoru membungkuk sedikit, meremas kedua pundak Tsumiki, menatap sendu. “Tsumiki, sudahlah… aku… aku telah lama memaafkannya.”

 

Tsumiki kali ini memberanikan diri mendongak menatap mata Satoru. Ada emosi di matanya. “Kau tidak perlu khawatir, Tuan Gojo. Aku tahu..., sebenci apa kau itu. Aku sangat tahu hatimu terluka parah karena kehilangan orang yang paling kau cintai.”

 

Seketika, air mata jatuh ke pipi Satoru. Dia anehnya tersenyum. “Dasar gadis nakal! Kau ini selalu tahu isi hatiku dibanding diriku sendiri, Tsumiki- chan . Tapi... aku serius. Kita tidak perlu mengungkitnya lagi. Aku… hanya ingin kita semua bahagia.”

 

Tsumiki berdiri dibantu Satoru. Meski begitu, dia belum selesai. Satu permintaan yang dilontarkan Tsumiki. Bersamaan dengan itu, Megumi datang.

 

“Kalau begitu, aku ingin mengembalikan kembali apa yang telah kau berikan padaku. Butik itu, mobil, dan ... aku akan menyicil mengganti biaya sekolahku dan Megumi.”

 

Megumi menyyahut, “Aku bersedia membayar uang sekolahku sendiri mulai hari ini. Tsumiki, biar aku yang mengganti biaya sekolahku sendiri dari SD sampai SMA.”

 

Tsumiki tersenyum lembut ke arah sang adik tiri. “Arigatou sudah membantuku, Megumi.”

 

Satoru bertelak pinggang, iris aquamarine memperkuat kedua anak angkatnya. “Oi, oi! Apa-apaan ini, Tsumiki- chan , Megumi- chan ! Aku tidak serendah itu!”

 

Baik Tsumiki maupun Megumi saling memahami lirik. Tidak memahami maksud Satoru.

 

Bibir sewarna salmon yang melengkung ke bawah. “Aku menolak! Semua yang sudah kuberikan pada kalian adalah milik kalian! Aku tidak matre! Uangku banyak! Beraninya kalian menegaskan martabat Yang Terkuat !”

 

Satoru berjingkat kaget melihat mata Megumi dan Tsumiki berair. Sampai kemudian, kakak-beradik merengek menangis memeluk Satoru terlalu erat. Satoru rileks, tersenyum sambil mengusap sayang kedua punggung anak-anak angkatnya.

 

Napas berembus mengeluarkan asap sebab suhu dingin. Satoru memandang jauh ke langit berawan. “Ano ne ... kalian harus tahu ... aku sangat menyayangi kalian lebih dari keluargaku sendiri. Karena kalian, aku mampu bangkit dari kesedihan dan keterpurukan kehilangan Amanai. Kalian ... memberikanku kebahagiaan yang telah lama kucari. Jika kalian tidak ada, aku ... mungkin tidak akan bertahan di dunia ini.”

 

Tinju Megumi terayun ke perut Satoru, membuat pria albino mengaduh.

 

“Aku tidak akan membiarkanmu mati, kecuali di tanganku sendiri, Idiot!”

 

“Awww~ Megumi-chan~ apa itu sebuah janji?”

 

Megumi mendengkus, berjalan pergi meninggalkan mereka. Tsumiki tertawa bahagia, menarik paksa Satoru yang merengek sedih karena perilaku jahat Megumi. Mereka kembali ke rombongan Yuuji dan yang lainnya.

 

***

 

Suguru diam, menghindar dari semua orang. Tiga hari liburan di Hokkaido terasa hambar baginya. Dia tahu masalah Satoru dan keluarganya sudah beres, terlihat dari canda tawa mereka bersama yang lainnya. Suguru tidak masalah sikap semua orang terhadapnya menjadi dingin, bahkan tidak menganggap dia ada. Nah, kecuali Satoru. Namun, Suguru tetap teguh menghindar dari Satoru.

 

Dari mulai check out, sampai tiba di Bandara Tokyo, mereka berpencar pulang ke rumah masing-masing.

 

Yuuji naik bus ke Sendai sama Nobara.

 

Yuuta, Maki, dan Inumaki ke Saitama karena rumah Yuuta ada di sana.

 

Megumi, Tsumiki, dan Satoru pergi ke Shinjuku.

 

Di malam natal, 24 Desember, Suguru bingung harus kembali ke Okinawa atau tinggal sementara di Tokyo. Namun, pilihannya ke Tokyo dihapus Satoru. Satoru dengan senyuman hangat menawarkan dia menginap di rumahnya di Shinjuku.

 

Tepat pukul sepuluh malam di mana Tsumiki dan Megumi tertidur lelap, Satoru mengajak Suguru keluar rumah. Suguru dengan enggan mengikuti. Mereka berjalan melewati banyak pertokoan yang tutup lebih awal.

 

Udara dingin tak membuat percakapan mereka menghangat. Satoru dan Suguru hanya saling balas dengan nada datar. Sampai kemudian, Satoru berhenti melangkah, dia menangis sesegukan menatap lekat Suguru.

 

“Aku hanya ingin satu hal darimu, Suguru! Bisakah kau mengabulkannya di malam natal ini?!”

 

Suguru tetap bergeming mengamati.

 

“Aku ... ingin ... kita menjadi sahabat lagi, Suguru. Tak peduli apa kau percaya padaku atau tidak. Tak mengapa bila kau masih membenciku. Tanpamu ... aku--”

 

Suguru tidak bisa mendengar lagi apa kata-kata selanjutnya yang dilontarkan Satoru. Saat dia berkedip, dia melihat warna merah di aspal jalan raya. Satoru ada di sana, terbaring telungkup. Tak jauh darinya, sebuah mobil sedan tampak terlalap kobaran api.

 

Saat itu, Suguru merasakan sesuatu yang bergemuruh di hatinya. Salju pertama turun dari atas langit, jatuh menimpa pipinya yang dialiri air mata sederas sungai.

 

“Sa... toru ....”

 

 

 

• Akan Ditanyakan•

Chapter 23: Terungkap

Summary:

❗WARNING❗

LEBIH BANYAK RANGKUMAN DARIPADA DIKSI DAN DIALOG.

Btw, mohon maaf karena jarang update. Aku sedang writerblocks. Belum lagi banyak kerjaan di rumah di momen Ramadhan ini. Parahnya, sekali dapat ide, yang keluar malah Fanfic Tokyo Revengers.

*Uppss...spoileruntukanda*

Chapter Text

Gakuganji mengetahui kebohongan Kusakabe.

 

Dia melihat sendiri dari mata-mata yang dia sewa khusus untuk membuntuti Suguru. Dia benci melihat Suguru dan Satoru bersama dan tersenyum lagi. Dia telah gagal memisahkan Suguru dari Satoru.

 

Sejak dulu, Gakuganji punya dendam pribadi dengan klan Gojo karena membuat perusahaannya bangkrut. Untuk itulah, dia menghasut putra kandungnya agar membenci Satoru dan menjauhinya.

 

Riko Amanai bukanlah saudara sedarah Suguru. Gakuganji rela menukar informasi tersebut untuk mendorong Suguru lebih berusaha menjalankan bisnisnya yang baru, sekolah. Dia bercerita saat Suguru kelas 1 SD bahwa ibunya berselingkuh dan dia adalah anak tiri, anak haram. Sedangkan Riko anak kandungnya. Kenyataannya, Riko adalah anak tiri dari selingkuhan Gakuganji. Ibu Riko dibunuh untuk menutupinya. Ibu Suguru juga terpaksa dia bunuh agar tidak memberitahukan kebenarannya.

 

Untuk itulah, ketika dia tahu Suguru akan pergi ke Shinjuku bersama Satoru, dia menyuruh seseorang untuk menabrak Satoru di malam natal. Jika Satoru mati, maka perusahaan klan Gojo akan bangkrut. Dia tahu tidak ada lagi orang sekompeten Gojo Satoru di klan tersebut. Jika Satoru mati, Suguru akan lebih fokus mengurus sekolah daripada urusan berlarut Riko dan Satoru.

 

Namun, Gakuganji membuat kesalahan fatal.

 

Suguru menemukan bukti kuat yang mengarah padanya dari hasil olah TKP seorang detektif yang dia sewa.

 

Untungnya, Satoru berhasil selamat meski koma. Shoko datang ikut membantu operasi. Yuuta juga mengajukan diri membantu operasi sebagai magang dokter.

 

Suguru pergi ke Okinawa bersama sang detektif. Dia menunjukkan semua bukti dari mulai terbunuhnya Amanai, kecelakaan Satoru, bahkan yang mengejutkan adalah kasus bunuh diri Ibu Riko dan kasus perampokan yang membuat Ibu Suguru mati. Suguru akhirnya tahu bahwa itu semua ulah sang ayah kandung.

 

“Kau bahkan lebih buruk daripada seorang ayah tiri! Selama ini, aku membencimu, dan sekarang ... aku teramat membencimu, Gakuganji!”

 

“Ini semua demi kebaikanmu, Suguru.”

 

“Diam! Jangan panggil aku Suguru! Kita tidak sedarah! Ini Geto untukmu!”

 

“Kau masihlah berdarah Klan Yoshinobu, Suguru! Suka atau tidak!”

 

Sayonara.” Suguru tak peduli, melengos pergi dari real estate milik Gakuganji.

 

“Jika kau pergi dari sini, aku akan mencabut semua fasilitas yang kuberikan padamu!” ancam Gakuganji.

 

Suguru langsung saja melemparkan ponsel, dompet, dan kunci mobilnya ke wajah Gakuganji. Dia pun berbalik pergi, sang detektif mengikuti.

 

Di teras, Kusakabe menunduk menyambangi. Dia segera menahan Suguru, bersimpuh di kakinya dan meminta maaf.

 

“Tuan Muda! Saya minta maaf! Saya bersalah karena menyuruh pembunuh bayaran itu menembak Nona Muda! Saya ... tidak berani menentang kehendak Tuan Besar! Tolong ... hukum saya, Tuan Muda!”

 

Jawaban Suguru adalah menendang Kusakabe hingga terpental. Dia terus berjalan pergi tanpa berbicara apalagi menatap Kusakabe.

 

“Oi, Baka! Mengapa kau terus membuntutiku!” umpat Suguru menyadari si Detektif, Takaba, masih mengikutinya.

 

Takaba terkekeh polos. “Anu ... bolehkah aku ... menawarkan tumpangan?”

 

“Kau tidak punya mobil, Baka,” desah Suguru pusing.

 

“Mak-maksudku adalah aku akan membayar ongkos bus untukmu, Geto-san!”

 

Suguru bersedekap menatap angkuh. “Mampukah kau juga membayar tiket pesawat untukku kembali ke Tokyo? Juga tiket kereta ke Rumah Sakit Shinjuku?”

 

Takaba langsung mengacungkan jempol seraya menyeringai.

 

“Bagus.”

 

***

 

Satoru mengedipkan mata beberapa kali sampai dia yakin pada apa yang dilihat. Sedangkan makhluk yang lebih dari seminggu lalu dia temui membusungkan dada bertelak pinggang.

 

Satoru menunjuk wajah pasien yang terlindungi perfirator, berbaring di atas ranjang sebuah kamar VVIP Rumah Sakit Shinjuku. “Itu ... beneran ... aku?!”

 

Makhluk halus bergender perempuan yang dikenal dengan nama Riko Amanai mengangguk kuat. “Sekarang, kau percaya, bukan? Kau itu tidak sedang bermimpi, tapi memang kondisimu ada di antara hidup dan mati.”

 

Bukannya sedih atau marah, Satoru kini malah bersorak gembira mengajak Riko berputar-putar. “Yeeaayy! Kita akhirnya bisa bersatu, Amanai-chan!”

 

Riko menampar pipi sang kekasih sambil bersungut, “Baka! Kau belum mati!”

 

Satoru masih memandang dengan binar bahagia. “Tapi saat waktunya tiba, aku akan memilih mati agar kita bisa bersama selamanya!”

 

Senyum lembut terukir di bibir Riko. “Arigatou, Satoru. Aku sangat menghargai keinginanmu yang tulus itu. Tapi ....”

 

Satoru menelengkan kepala. “Tapi?”

 

Kehadiran dua sosok manusia di dalam kamar mengalihkan perhatian kedua makhluk tak kaaat mata tersebut. Riko pun menunjuk ke arah pria berambut hitam dicepol dengan poni khas yang membawa sekotak Kikufuku.

 

“Lihat, siapa yang datang lagi menjengukmu.”

 

Satoru tersentak, dia tidak pernah menyangka orang yang sangat ingin dia mati ada di sini. “Su ... guru?!”

 

Riko duduk di pinggir ranjang saat Suguru menarik kursi dan duduk di sisi yang sama. Senyuman masih belum luntur. “Ya. Kau tahu? Abangku setiap hari menjengukmu, selalu siap siaga mengalahkan para suster dan dokter di sini. Dia ... selalu membawa makanan manis dalam jumlah besar yang berbeda jenis tiap harinya untukmu.”

 

Satoru kini menatap sendu Suguru. “Aku tidak percaya Suguru sudah memaafkanku.”

 

Riko terkikik mengingat hari itu. “Kau tidak tahu saja! Waktu kau dibawa ke UGD, Abangku tidak mau meninggalkanmu dan mempercayakanmu pada para suster juga dokter. Dia menangis lebih banyak dibanding dirimu sambil terus mengucapkan kata ‘Aku memaafkanmu, Satoru! Jadi, bangunlah!’ ”

 

Kekehan khas terdengar dari mulut pria albino. “Ehehe~ kuyakin dia takut ditinggal sendirian di dunia ini~”

 

Riko ikut terkekeh. “Benar sekali, Sayang~”

 

Satoru beralih menggenggam kedua tangan Riko, memaksanya memandangnya. “Tapi, aku tetap memilihmu, Amanai.”

 

Riko menggeleng kuat melepas genggeman tangan sang kekasih. “Aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu, Satoru. Kau ... tidak bisa meninggalkan abangku di saat dia perlu dukunganmu.”

 

Satoru membentak, “Dukungan apa lagi, Amanai! Dia bisa bertahan hidup sendiri tanpa aku! Tanpa kita! Dia harus bisa menerima kenyataan yang ada!”

 

“Apa bedanya kita dengan orang tua itu?!” berang Riko.

 

“Orang itu? Siapa maksudmu, Amanai?” tanya Satoru bingung.

 

Sebelum Riko menjawab hal yang dia ketahui tentang kematiannya, Suguru sudah mewakilinya. Satoru refleks menoleh, fokus pada apa yang Suguru ungkapkan.

 

“Satoru, seharusnya aku tidak menyalahkanmu atas kematian Riko-chan. Seharusnya ... aku lebih cerdas dan menyelidiki lebih lanjut. Sekarang, aku sudah tahu dalang di balik tragedi yang menghancurkan persahabatan kita.” Raut wajah Suguru berubah gelap.

 

“Aku berjanji akan memenjarakan Gakuganji Sialan itu seumur hidup,” sumpahnya.

 

Satoru sekali lagi tersentak. “Ga-kuganji?! Jadi, selama ini dia yang--”

 

“Ya, Satoru. Bahkan ... jauh sebelum aku mati, dia sudah ... membunuh Ibuku dan ... Ibu Abangku,” potong Riko seraya menatap nanar Suguru.

 

“Eh?! Ibu kalian ... beda?! Bu-bukannya ibu kalian berdua sama?! Cuma Suguru punya ayah lain?!” Satoru memekik tak percaya.

 

Riko menggeleng. “Tidak. Itu cerita palsu yang Gakuganji ceritakan padaku dan abang saat kami masih kecil. Aku mengetahui kebenarannya sewaktu aku SMP. Aku tidak sengaja mendengar percakapan Gakuganji dengan Kusakabe-kun. Kami ... punya satu ayah yang sama, yakni Gakuganji. Dan sebenarnya ... akulah yang anak haram Gakuganji.”

 

Satoru tak bisa lagi mengendalikan ekspresi wajahnya mendengar kebenaran ini.

 

“Apa sekarang kau mengerti, Satoru? Aku ini bukan siapa-siapa dan ... aku sangat ingin membalas jasa abangku yang selama ini selalu dianggap rendah oleh semua orang. Aku ingin ... dia hidup bahagia. Dan ... kebahagiaan itu ... ada padamu.”

 

Satoru sekarang bimbang, tetapi api cinta di hati tidaklah padam. “Dari mana pun asalmu, aku tetap mencintaimu, Amanai.”

 

Riko mendengkus menyentil dahi sang kekasih. “Tanpa kau beritahu aku juga tahu! Aku serius kali ini, Satoru! Bukankah kau ingin aku bahagia!”

 

Satoru tersenyum kikuk menggaruk tengkuk. “Iya, sih ... tapi--”

 

“Tapi tapi mulu! Jawab saja setuju!”

 

“Uhuhuh~ jangan marah, dong, Sayang. Iya, deh, aku setuju! Aku akan tetap hidup demi kebahagiaan Suguru dan dirimu!”

 

Riko segera memeluk erat Satoru sambil mengucapkan terima kasih. Satoru membalas, memberikan ciuman suci di bibir wanita yang dia cintai sebagai hadiah perpisahan. Karena baik Riko maupun Satoru tahu, mereka tidak akan lagi bisa bertemu setelah Satoru siuman.

 

 

 

•Tbc•

Chapter 24: Membersihkan Nama Gojo Satoru

Summary:

Ini adalah chapter menuju penyelesaian.

 

Maaf bila kurang bagus 🤗

Chapter Text

Suguru datang ke kuil Sukuna dan menjelaskan kesalahpahaman antara Satoru dan keluarganya. Bahwasanya Satoru tidak bersalah. Toji dikirim oleh ayah Suguru untuk membunuh adiknya dan mobil Mei Mei kecelakaan karena sabotase ayahnya. Jadi, baik Satoru maupun Megumi tidak bersalah.

 

Respon Sukuna adalah meninju wajah Suguru sampai babak belur. Suguru diam saja karena dia pantas mendapatkannya. Setelah amarah Sukuna mereda, Suguru bersumpah akan memenjarakan sang ayah, membawa kasus ini ke meja hijau. Namun, Sukuna menolak. Dia malah ingin pergi membunuh Gakuganji dengan tombak kesayangannya, Hiten. Tombak yang dia buat semasa menjalankan misi rahasia militer.

 

Uraume tak bergeming seolah tutup mata.

 

Ui Ui pun sama.

 

Hingga akhirnya Miwa bersujud di hadapan Sukuna, menghalangi jalannya. Dia menangis, berkata niat itu sangatlah buruk. Tidak mencerminkan seorang kepala hoshi keluarga Ryomen.

 

Lalu, Sukuna pun membongkar identitas dan masa lalunya di hadapan semua orang. Bahwa dia bukan orang suci, dia sudah pernah membunuh banyak orang sebelumnya. Miwa ternganga syok tak percaya. Ui Ui memilih bersembunyi di balik Miwa, tubuh gemetar ketakutan. Sadar bahwa Sukuna melakukan kesalahan menakuti keponakan kecil dan menantunya, Sukuna mendesah, melempar Hiten ke luar jendela samping kiri. Hiten jatuh menimpa tanaman lily spider merah hingga hancur.

 

“Pergi dari rumahku, Suguru Geto.”

 

Suguru masih ingin bertanya soal persidangan, dan dijawab bentakan oleh Sukuna.

 

“Lakukan sesukamu, Sialan! Aku tidak ingin jatuh ke lubang hitam untuk kedua kali! Aku hanya ingin melindungi keluargaku dan memberi mereka kebahagiaan! Sekarang, enyahlah!”

 

Suguru membungkuk hormat, tak bisa menyembunyikan pancaran kebahagiaan di wajahnya. Dia harus mengatur persidangan secepatnya sebelum orang tua sialan itu kabur.

 

***

 

Rapat dimulai Suguru di klinik Shoko. Di sana, tak hanya ada Shoko dan Haibara. Ada juga Nanami, Utahime, Ijichi, Yuuji, Yuuta, Nobara, Maki, Inumaki, Megumi, dan Tsumiki.

 

Detektif Takaba menyerahkan berita acara persidangan dan agendanya, berikut surat gugatan dari pihak pengacara Gakuganji. Suguru menggeram murka karena sang ayah masih menyangkal dan menurut mata dari kesalahan. Setelah melihat jajaran pengacara, saksi palsu, sampai jaksa yang mereka suap, Suguru putus asa. Dia tidak mungkin bisa menang.

 

Saat itulah, mereka dikejutkan oleh kemunculan orang yang paling berkuasa di bidang bisnis bahkan hukum.

 

Satoru muncul setelah kabur dari rumah sakit usai siuman. Dia melepas paksa infus dan perfirator, menaiki taksi menuju berbagai tempat dari mulai Akademi Kaisen 1 dan 2 sampai akhirnya tiba di klinik Shoko. Satoru sedang mencari Suguru untuk menjawab ungkapan maafnya.

 

Dipapah oleh sang supir taksi, Satoru melambai tersenyum lemah ke semua orang.

 

Konniciwa, Minna! Yang Terkuat sudah kembali!”

 

Semua orang sontak memekik terkejut berdiri serempak dari tempat duduk. Senyum ceria Satoru luntur kala perlahan menutup mata. Dia pingsan.

 

Setelah sadar, Satoru kini berbaring di ranjang lori ruang rawat klinik. Infus kembali tertancap di nadinya. Satoru merengut, ingin melepas infus lagi, lalu Shoko menampar tangannya.

 

“Idiot! Jangan dilepas infusnya! Nanti kau pingsan lagi!” omel Shoko.

 

Satoru terkekeh, baru sadar dia tidak sendirian. Shoko, Nanami, Utahime, dan Suguru memelototinya. Meski begitu, ada aliran air mata di pipi mereka. “Kalian semua sangat jelek saat menangis sambil melotot. Terutama Utahimeee~”

 

Utahime segera menijitak ubun-ubun Satoru. “Aku tahu kau itu Idiot! Tapi sayangilah nyawamu!”

 

Suguru maju menjewer kedua telinga Satoru sampai empunya menjerit kesakitan.

 

“Suguruuuu~ sakit!”

 

“Itulah akibatnya jika kabur dari rumah sakit! Apa kau gila, Satoru! Setelah Kamisama memberimu kesempatan untuk hidup, kau malah menyia-nyiakannya!”

 

Sambil mengusap kedua telinga berikut ubun-ubun, Satoru mencibir, “Habisnya ..., aku punya sesuatu yang penting untuk kujawab. Kau tahu? Aku melihat dan mendengar semuanya, loh, Suguru. Saat kau berkunjung dan bercerita.”

 

Suguru terbelalak. “Ba-bagaimana ....”

 

Satoru bertelak pinggang menyombongkan diri. “Karena akulah Yang Terkuat meski sedang koma.”

 

Suguru sudah siap meninju wajahnya, tetapi Satoru langsung menyerah, membeberkan kebenaran.

 

“Tu-tunggu, Suguru! A-ku sebenarnya, ada di sana dalam wujud roh! Itu sebabnya aku bisa melihat dan mendengarmu, tapi sialnya tidak bisa menyentuhmu seperti di film-film!”

 

Nanami bersedekap, tampak stress. “Sebaiknya ini bukan cerita lelucon, Gojo-san.”

 

Satoru mengeluarkan jari sumpah. “Aku bersumpah, Nanamin! Saat aku membuka mata, aku juga tidak mempercayainya. Aku melihat tubuhku sendiri berbaring di ranjang itu. Terus ... aku akhirnya bertemu Amanai!”

 

Ada tatapan resah di mata semua orang.

 

“Apakah ... Riko-chan ... mengajakmu pergi bersamanya, Satoru?” tanya Suguru cemas.

 

Satoru mendengkus melipat tangan di dada. “Terbalik, Suguru! Dan aku tidak percaya aku ditolak!”

 

Suguru terkesiap. “Me-ngapa bisa?”

 

Satoru memberinya senyuman lembut. “Karena kami ingin kau menulis ulang kehidupanmu. Kami ingin kau hidup bahagia, Suguru. Kata Amanai, jika aku mati, nanti tidak ada yang akan mem-bullymu, merecoki kehidupan sehari-harimu, dan mengajarimu cara mencepol rambut.”

 

Suguru tertawa, mengusap air mata dari sudut. Dia memeluk erat sang sahabat. “Dasar pembohong! Tapi ... arigatou sudah mengikuti kemauan Riko-chan, Satoru. Kau benar ..., hidupku tidak bahagia jika kau mati.”

 

Satoru menepuk-tepuk punggung Suguru. “Omong-omong, aku juga memaafkanmu, Suguru.”

 

Suguru melepas pelukan, hanya untuk tersenyum lega.

 

Seketika, Satoru teringat sesuatu. “Jadi ..., apa kalian sudah membayar taksinya?”

 

Perubahan terjadi pada suhu ruang rawat klinik. Satoru menggigil meringkuk takut meski terkekeh. Wajah semua orang menggelap. Sampai akhirnya, pintu terbanting terbuka memunculkan para murid favoritnya dan pacar mereka.

 

Megumi, Yuuta, Maki, dan Nobara kompak memukuli pria albino yang baru sadar dari koma selama dua minggu.

 

Yuuji mati-matian menamengi Satoru menyuruh mereka mengikhlaskan uang mereka yang habis di tanggal tua karena ikut patungan membayar taksi.

 

Taksi yang dinaiki Satoru mencapai argo tak masuk akal sebab pria albino juga mampir dulu ke toko kue beberapa menit dan meminjam uang sang supir untuk beli aneka mochi dan milk shake. Alhasil, tak hanya mantan teman kampus Satoru yang patungan membayar, mereka pun juga. Tsumiki dan Inumaki juga patungan.

 

Kata-kata terakhir yang Satoru ucapkan sebelum pingsan lagi karena babak belur adalah...

 

“Aku akan ganti uang kalian!”

 

Begitulah. Ketika Haibara, Inumaki, dan Tsumiki kembali dari restoran cepat saji sambil menenteng tumpukan kotak makan siang semua orang, mereka panik melihat Satoru pingsan dengan wajah tak berbentuk.

 

 

•Tbc•

Chapter 25: Sidang

Summary:

❗WARNING❗

TYPO BERTEBARAN!

TIDAK SESUAI KENYATAAN DI PERSIDANGAN KARENA AUTHOR TIDAK RISET!

Gomenasai 🙇🏻

Chapter Text

Pria setelan hitam bersedekap. Menatap lelah semua orang yang ada di hadapannya. Lagi ..., kali ini dia kembali dipaksa menjadi pengacara oleh orang itu. Orang yang masih merangkul pundaknya sambil tersenyum lebar.

 

“Minna! Inilah Pahlawan Suguru dan aku hari ini! Beri tepuk tangan buat Higuruma-chan!”

 

Sambil mendengkus, Higuruma menampar lengan pria albino yang merangkulnya. Dia membungkuk hormat di depan client-nya. “Salam kenal, Tuan Geto. Saya Higuruma Hiromi siap membantu memenangkan sidang ini.”

 

Suguru, yang memakai sweater hitam dan celana baggy hitam tersenyum lembut ikut membungkuk. “Arigatou atas bantuannya, Tuan Higuruma.”

 

Shoko mengembuskan asap dari rokok yang diisap. Dia mengingat siapa Higuruma. “Satoru, bukankah pengacara ini yang waktu itu kau sewa juga di kasus sengketa warisan klanmu?”

 

Satoru mengangguk. “Benar. Aku tidak menyangka kau masih mengingatnya, Shoko.”

 

“Bagaimana bisa aku melupakannya? Sidang itu sangat seru karena mendiang Mei Mei membawa banyak saksi untuk memenangkan hakmu. Aku ingat betapa dia sangat bahagia setelah persidangan berakhir. Menenteng sekoper uang sambil tertawa riang,” celetuk Shoko.

 

Suguru bertanya karena waktu kejadian itu dia tidak dekat dengan Satoru. “Mei Mei ... membayar saksi palsu?”

 

Satoru melambai. “Tidak semuanya, Suguru. Cuma beberapa, sisanya memang saksi asli dan jujur. Jika tidak begitu, aku akan kalah dari kakakku.”

 

Suguru menggerutu sebal begitu mengingat kakak Satoru yang angkuh dan tamak. “Dia berulah lagi? Sungguh sial hidupmu, Satoru.”

 

Satoru mencebik. “Meski begitu, aku bersyukur tanah warisan kakekku jatuh ke tanganku. Bajingan itu berniat mengubah tanah itu jadi resort! Tentu aku sangat marah! Jelas-jelas kakek mewakafkan untuk dijadikan lapangan umum untuk warga sekitar! Agar anak-anak di sana bisa bermain bola!”

 

Haibara tersentak. “Eh?! Jangan bilang itu lapangan yang sebesar stadion Tokyo di pinggiran Kanto!”

 

Satoru bertelak pinggang bangga. “Tepat sekali, Haibara!”

 

Yuuji merengek, “Sensei! Kenapa kau tidak pernah bilang! Aku juga ingin main bola di sana bareng Megumi, Yuuta, dan Inumaki!”

 

“Bagaimana kalau besok? Aku akan jadi kipernya! Suguru wasitnya!” seru Satoru.

 

“Aku sibuk, Satoru!” tolak Suguru.

 

“Aku juga!” sahut Megumi.

 

Yuuta dan Inumaki hanya bisa terkekeh. Mereka sebenarnya juga punya kesibukan besok. Akan tetapi, mereka kasihan, tidak ingin Yuuji kecewa.

 

Satoru mengomel, “Kau pengangguran, Suguru! Dari mana sibuknya! Dan Megumi-chan! Kampus masih libur dan tidak akan tahu kapan dibuka mengingat kasus ini belum tuntas! Kalian harus ikut besok! Titik!”

 

Nanami siap balik badan padahal baru saja sampai di depan pintu ruang sidang. Akan tetapi, Satoru langsung memeluk pinggangnya erat dari belakang. Pria albino menangis mendramatisir.

 

“Kau datang untuk mendukungku, Nanamin! Sungguh sahabat sejatiku! Mari kita berjuang--”

 

Nanami memotong keras. “Aku di sini mendukung Geto! Bukan kau!”

 

Nobara berdecak tak sabar. “Kita masuk aja! Capek di sini berdiri terus!”

 

Maki, Shoko, Tsumiki, Megumi, Yuuta, dan Inumaki mengikuti Nobara masuk ke ruang sidang. Haibara dan Suguru kompak membantu Nanami melepaskan diri dari pelukan Satoru. Higuruma mendesah, dia merasakan firasat buruk di persidangan kali ini.

 

Setelah Nanami masuk ditemani Haibara, Suguru hendak menyeret masuk Satoru, tetapi terhenti kala melihat dua pendatang baru. Suguru dan Satoru tidak menyangka Uraume dan Ui Ui akan datang mengingat keluarga Ryomen masa bodoh tentang kasus ini.

 

Satoru tersenyum lembut ke Ui Ui. “Ui Ui-chan, arigatou sudah mau datang ke persidangan. Kehadiranmu pasti akan membantu kami.”

 

 “Aku hanya ingin melihat wajah pembunuh kakakku!” cibir Ui Ui, lalu melangkah masuk acuh tak acuh ke dalam ruang sidang.

 

Uraume diam, tidak menyapa apalagi melirik mereka. Dia hanya mengikuti ke mana adik bungsunya pergi.

 

Pemandangan pertama saat Suguru dan Satoru masuk adalah banyaknya penonton di ruang sidang di kursi sisi kiri, tempat pihak Gakuganji. Suguru mengenali beberapa wajah di sana. Ada paman, bibi, sepupu, hingga banyak bodyguard termasuk Kusakabe. Lalu, di kursi paling depan berjejer Gakuganji ditemani lima pengacara di sisinya.

 

Suguru menggeram kala pria tua berani menyeringai mengejeknya. Suguru duduk di kursi depan sisi kanan dengan Satoru dan Higuruma di samping kirinya. Uraume dan Ui Ui duduk di belakang Suguru di samping kanan Yuuji.

 

Petugas keamanan datang bersama Detektif Takaba, membawa beberapa berkas persidangan yang ditaruh di atas meja hakim dan jaksa. Sang detektif melambai ke arah Suguru sambil tersenyum. Dia lanjut duduk di kursi kosong samping kanannya yang sengaja Suguru kosongkan untuk Takaba.

 

Satoru tertarik pada detektif yang dibayar Suguru ini. Baginya, dia orang yang sulit ditebak dan jenaka. Takaba menjabat tangan Higuruma, saling memperkenalkan diri.

 

Begitu jaksa dan hakim tiba, sidang pun dimulai.

 

“Selamat pagi, Kepada Para Hadirin yang datang pada sidang hari ini, 11 Januari 2018, di Pengadilan Tinggi Tokyo, dalam kasus Pembunuhan Berencana Riko Amanai.”

 

Jeda sebentar, sang hakim pun memanggil terdakwa duduk di kursi tengah di hadapan hakim. Dengan langkah pelan, Gakuganji berjalan membungkuk menggunakan tongkatnya menuju ke tempat tersebut. Suguru menyipitkan mata curiga padanya. Tidak ada ekspresi ketakutan di wajah Gakuganji seolah tahu dia akan menang.

 

Satoru juga merasakan firasat buruk yang sama. Dia pun melirik Higuruma, tanda agar si pengacara bekerja lebih serius kali ini.

 

“Saudara Gakuganji, bisa kita mulai sekarang? Saya akan memberikan pertanyaan pada Anda.”

 

Gakuganji mengangguk mantap menatap ke mata sang hakim agung. “Saya siap, Pak Hakim Agung Yang Terhormat.”

 

“Saudara Gakuganji, apa benar Riko Amanai adalah anak dari Saudari Yuko Amanai?”

 

“Benar, Pak.”

 

Seketika, ruang sidang menjadi hening. Pertanyaan berikutnya dari hakim agung membuat sakit hati Suguru.

 

“Dan apa benar Saudari Yuko Amanai adalah istri simpanan Anda? Di mana dia sekarang?”

 

Gakuganji menjawab tanpa menunda. “Itu benar. Saudari Yuko Amanai sudah lama meninggalkan saya seorang diri bersama kedua anak saya. Saya tidak tahu ke mana atau di mana dia berada.”

 

Satoru menggeram ingin berkomentar, tetapi dihalangi Higuruma. Bisa tambah kacau sidang jika Satoru berulah. Sidang kali ini tidak boleh diinterupsi seperti sidang klan Gojo. Higuruma sudah menyelidiki Gakuganji. Orang tua ini punya kuasa yang mutlak meski kalah kaya dari klan Gojo. Ada banyak pengacara terkenal yang berpihak padanya.

 

Hakim agung dan dua hakim di samping kiri-kanan saling berbisik membicarakan ketidaksamaan dari pengakuan Gakuganji dan data berkas yang diberikan pihak penggugat, Suguru Geto. Untuk itu, hakim agung pun memanggil Suguru agar maju memasuki tempat saksi.

 

“Saudara Suguru Geto, menurut pengakuan Saudara Gakuganji, dia tidak tahu di mana keberadaan Saudari Yuko Amanai yang adalah ibu kandung dari Riko Amanai. Di berkas yang Anda berikan, tertulis bahwa Saudara Yuko Amanai sudah meninggal dunia. Namun, bisakah Anda memberikan buktinya?”

 

Suguru melirik sengit Gakuganji yang bergeming, lalu melirik tajam Takaba. Dengan dengkusan kalah, Suguru menjawab, “Saya belum menemukan buktinya, Pak Hakim Agung Yang Terhormat.”

 

“Baiklah.”

 

Namun, Suguru belum sepenuhnya mengalah. “Tapi, saya sudah menemukan bukti bahwa ibu kandung saya, Saudari Suzuka Geto, menjadi korban pembunuhan yang pelakunya adalah ayah kandung saya sendiri, Saudara Gakuganji.”

 

“Di mana berkasnya?”

 

“Ada di sini, Tuan Hakim Agung.”

 

Higuruma berdiri, melangkah ke hadapan hakim agung demi memberikan berkas tersebut. Sang hakim agung serta dua hakim lainnya segera membaca hikmat, sesekali berembug. Higuruma memberi kode lirikan ke arah Suguru menyuruhnya tetap tenang.

 

Hakim agung berbicara lagi. “Jadi, menurut berkas yang diberikan pihak Anda, ibu kandung Anda, Saudari Suzuka Geto dimakamkan di Pemakaman Elite Okinawa. Ada sejumlah informasi di sini yang mengatakan ... ibu Anda meninggal secara tidak wajar. Dari kesaksian seorang dokter di rumah sakit, Saudari Suzuka Geto keracunan makanan saat dilarikan ke Rumah Sakit Okinawa.”

 

“Interupsi, Pak Hakim Agung Yang Terhormat!” Pengacara utama Gakuganji berdiri menyela. “Jika demikian adanya, maka dokter tersebut wajib dihadirkan dan memberi kesaksian. Tidak dianggap kebenaran jika tidak ada kesaksian.”

 

Suguru dan Satoru mengumpat dalam hati.

 

Detektif Takaba langsung layu. Teringat sesuatu yang membuatnya pupus. Dokter yang dahulu mengurus ibu Suguru sudah lama meninggal. Pun juga suster yang sudah tidak bekerja di sana dan tidak tahu di mana keberadaannya. Ditambah lagi, Takaba menduga adanya sabotase pada berkas rumah sakit ibu Suguru karena berkas tersebut tidak ditemukan.

 

“Bagaimana tanggapan Anda, Saudara Suguru Geto?” tanya hakim agung.

 

Suguru menundukkan kepala menjawab pelan. “Saat kami mencari bukti di rumah sakit tempat ibu kandung saya dirawat, bukti tersebut seolah dihilangkan oleh seseorang dan suster juga dokternya tidak bekerja lagi di sana--”

 

Gakuganji kali ini memotong ucapan Suguru. “Apa kau menudingku yang menghilangkan berkas tersebut, Suguru? Tega sekali kau tidak mempercayai ayah kandungmu sendiri.”

 

Suguru terpancing emosi. “Aku tahu kau pembunuhnya! Kau iblis tua sialan! Aku tidak sudi menjadi anakmu!”

 

Para penonton mulai ricuh, terutama paman dan bibi Suguru yang meneriaki kelancangannya pada Gakuganji. Hakim agung langsung merespon dengan mengetuk palu agar semua orang diam. Setelahnya, dia mengambil keputusan pertama.

 

“Dikarenakan tuntutan Anda tidak terbukti, maka kasus tambahan tentang pembunuhan Saudari Yuko Amanai dan Saudari Suzuka Geto dinyatakan selesai. Jadi, kita akan memasuki sidang kasus utama tentang pembunuhan berencana Riko Amanai.”

 

Palu diketuk tiga kali. Penonton pihak Suguru mulai memberang marah. Mengomentari ketidakadilan sang hakim agung. Namun, sang hakim agung tak peduli. Dia lanjut memanggil Satoru sebagai saksi kasus ini.

 

“Saudara Satoru Gojo, saat Saudari Riko Amanai terbunuh di depan Anda, apakah Anda melihat siapa yang membunuhnya?”

 

Satoru menjawab mulus. “Saya melihatnya. Seorang pria bernama Fushiguro Toji. Setelah saya selidiki, pria tersebut adalah pembunuh bayaran yang disuruh oleh Saudara Gakuganji.”

 

“Interupsi, Pak Hakim Yang Terhormat!” Satu lagi pengacara Gakuganji berulah. “Jika pembunuh yang Saudara Satoru Gojo lihat adalah Fushiguro Toji, itu berarti pembunuh Saudari Riko Amanai sudah jelas. Yakni, Fushiguro Toji. Apa yang membuat Anda menuduh Client saya yang membunuh Saudari Riko Amanai?”

 

Higuruma maju lagi sambil membawa sebuah ponsel berisi rekaman percakapan Satoru dengan mendiang Mei Mei. Dia menyerahkan pada sang hakim agung.

 

“Itu adalah rekaman percakapan Client saya dengan orang yang bertugas menyelidiki siapa Fushiguro Toji, Pak Hakim Agung Yang Terhormat,” jawab Higuruma.

 

Ketika rekaman diputar, Gakuganji mulai terlihat pucat dan tidak tenang. Suguru melirik, menyeringai puas melihatnya.

 

[ Apa yang kau temukan, Mei Mei? ]

 

[ Yang menembak Riko-chan bernama Fushiguro Toji. Dia orang buangan klan Zenin. Dia memakai marga keluarga mendiang istrinya. Saat ini, dia terlilit banyak hutang karena judi. Dia memulai pekerjaan sebagai pembunuh bayaran sejak usia 19 tahun, dua bulan setelah menikah. ]

 

[ Siapa yang menuyuruhnya membunuh Riko? ]

 

[ Aku akan mengatakannya. Ini ... sangat mengejutkan juga bagiku, Satoru. Orang yang menyuruh Toji adalah ... Gakuganji, ayah sahabatmu sendiri, ayah Riko-chan sendiri. ]

 

Rekaman berakhir dengan keheningan.

 

“Bukti percakapan ini dibenarkan. Jadi, ada yang keberatan?” tanya sang hakim agung.

 

Jaksa pembela mengangkat tangan. “Kami keberatan, Pak Hakim Agung! Mengingat teknologi sudah berkembang pesat, bukan tidak mungkin rekaman itu palsu. Agar kita semua bisa mempercayai bukti dari pihak Saudara Suguru Geto, maka Fushiguro Toji atau Mei Mei wajib dihadirkan.”

 

Takaba sudah pingsan di kursinya.

 

Maki kesal, meninju punggung kursi di depannya hingga hancur. Dia baru tahu ternyata Toji itu pamannya dan Megumi adalah sepupunya karena ayah Maki abang Toji. Kebetulan, yang duduk di depannya adalah Megumi. Pria bulu babi masih tak bergeming. Sedangkan Tsumiki di sisi kirinya menangis terisak mengetahui kebenaran untuk kedua kalinya.

 

Higuruma diam.

 

Satoru juga.

 

Suguru ingin membalas, tetapi suara teriakan Ui Ui menggema membuat semua orang menatapnya penasaran.

 

“Kakakku! Mei Mei! Dia sudah ... meninggal sepuluh tahun lalu! Dia ... mengalami kecelakaan mobil!”

 

“Dan siapa Anda, Nak?” tanya sang hakim agung.

 

Ui Ui menatap serius ke arah semua orang. “Saya Ui Ui, adik kandung Mei Mei. Saya harap, saya bisa ikut menjadi saksi mengenai kecelakaan mobil yang dialami mendiang kakak saya, Hakim Agung Yang Terhormat.”

 

Satoru menutup mulut berusaha menahan tawa melihat akting Ui Ui yang lucu. Seumur hidup, Satoru belum pernah melihat bocah itu bersikap dewasa.

 

Sehabis berembug dengan dua hakim lain, hakim agung mengizinkan Ui Ui maju bersaksi. Apa yang Ui Ui ketahui, semua telah dibeberkan di depan semua orang. Namun, tampaknya hal tersebut masih belum memberatkan Gakuganji. Pria tua belum ditetapkan sebagai tersangka.

 

Ui Ui dianggap kurang bukti setelah menuding Gakuganji menyuruh Kusakabe menyabotase mobil curian Toji agar hilang kendali, hingga bertabrakan dengan mobil sang kakak.

 

Bukti mobil yang dicuri Toji diserahkan oleh pengacara ketiga Gakuganji ke Hakim Agung. Ternyata, STNK dan BPKB mobil tidak ada. Mobil tersebut bukan mobil Kusakabe.

 

Suguru mengambil mikropon, melemparnya ke kepala Gakuganji. Dia memencak. “Keparat! Sejauh apa kau menjadi iblis, hah?! Tidak cukupkah kau menyakiti perasaan semua anggota keluargamu?! Di mana rasa bersalahmu! Kau harusnya mati saja, Gakuganji!”

 

Satoru hendak menonjok Gakuganji, tetapi dicekal Higuruma dengan susah payah.

 

“Lepaskan aku, Higuruma! Jika dia kebal hukum, biar aku yang menghukumnya dengan caraku sendiri!” desis Satoru murka.

 

Higuruma membentak, “Sadar, Satoru! Kau ini pewaris klan Gojo! Kau punya tanggung jawab yang masih kau pegang! Jika kau dipenjara karena bertindak sendiri, kasihan teman-teman dan murid-muridmu! Kasihan mendiang kekasihmu yang bersedih di alam sana!”

 

Kericuhan terkendali saat petugas polisi datang mengamankan pergerakan Suguru. Seorang petugas polisi juga menahan Satoru agar tidak menyerang Gakuganji. Dengan itu, sang hakim agung mengetuk palu meminta atensi.

 

“Tenang, Minna! Kami akan mengumumkan keputusan sekarang juga mengingat kasus ini tidak ada terlalu banyak bukti konkrit!”

 

Tak peduli pada teriakan protes pihak pendukung Suguru dan Satoru, sang hakim agung melanjutkan putusan.

 

“Sidang kasus pembunuhan berencana Saudari Riko Amanai, dengan ini kami putuskan ... TUNTAS. Gugatan terhadap Saudara Gakuganji Yoshinobu tidak terbukti. Demikian, sidang berakhir.”

 

Pada ketukan palu ketiga, terdengar suara tembakan. Ketika semua orang yang saling cekcok melihat ke arah Gakuganji, pria tua sudah tergeletak di lantai. Darah keluar dari lubang di jidatnya, menenggelamkan tubuh yang tak bergerak itu. Di depan mayat Gakuganji, berdiri tegak sosok wanita berpakaian maid yang menggenggam erat pistol. Air mata menetes deras, tetapi tatapannya kosong seolah tak berjiwa.

 

Dengan sigap, dua petugas polisi menangkapnya, mengambil pistol dari tangan wanita asing tersebut.

 

Suguru dan Satoru mengernyit bingung. Mereka tidak kenal siapa wanita asing yang menembak mati Gakuganji.

 

Sampai akhirnya, roh Amanai datang melesat memeluk wanita tersebut sambil menangis.

 

“Mengapa ... kau ... membunuhnya ... Misato-san?”

 

Wanita itu, Misato, merasakan perasaan dingin melingkupi tubuhnya. Meski dia tidak bisa melihat dan mendengar Amanai, tetapi dia yakin Amanai sedang memeluknya. Senyum lembut terukir di bibir.

 

“Sebagai mantan pengasuhmu, tidak akan pernah kubiarkan siapapun menyakitimu, Riko-chan. Aku ... sudah muak tutup mulut dan bersembunyi seperti seorang pengecut. Aku menyaksikan sendiri apa yang telah dilakukan ayahmu yang busuk itu. Inilah yang mampu kubalaskan untukmu dan ... untuk Nyonya Yuko. Aku ... sama sekali tidak menyesalinya.”

 

Riko melepas pelukan. Dia tersenyum pedih, masih terisak. “Arigatou, Misato-chan. Aku tidak pernah menyangka ... kau masih peduli padaku.”

 

Misato digiring ke kantor polisi dan dihadiahi makian dari seluruh keluarga besar Yoshinobu. Namun, dia malah tertawa terbahak merasa bahagia. Dia tahu resiko membunuh orang adalah hukuman mati.

 

***

 

“Satoru, kau ... melihatnya?”

 

“A-ku ... ya ... tapi ... bukankah dia sudah ... pergi ....”

 

Baik Suguru maupun Satoru tak mampu berkata. Kemunculan tiba-tiba orang yang mereka cintai adalah sebuah kemustahilan. Atau ... Kamisama memang belum menjemput Amanai ke alamnya. Namun, saat mereka berkedip, Amanai kembali hilang tanpa jejak.

 

Sebuah pelukan diberikan oleh Nanami dan Haibara pada Suguru. Shoko juga ikut menepuk pundaknya memberi kata penghiburan atas kematian ayahnya. Bagi Suguru, itu tidaklah penting.

 

“Apakah aku harus tertawa atau menangis sekarang?” desah Suguru bingung.

 

Satoru berdecak. “Yang terpenting, kita harus bisa menangkap Amanai, Suguru!”

 

Megumi datang menggeplak kepala belakang sang ayah angkat. “Diamlah! Jangan menggila lagi, Gojo-san! Kasusnya sudah selesai!”

 

Satoru merengek sedih memeluk Megumi. “Ini belum berakhir, Megumi-chan! Amanai sepertinya mengeprank diriku! Dia belum pergi! Tadi dia ada di sini! Memeluk wanita gila yang menembak Gakuganji!”

 

Tatapan Megumi bertemu dengan Tsumiki, lalu mereka melirik Shoko.

 

“Satoru, benarkah itu? Atau kepalamu bermasalah? Mungkin kau harus dironsen,” celetuk Shoko.

 

“Tidak! Aku berkata jujur dan tidak main-main! Tanya saja Suguru! Dia tadi juga melihatnya!” tunjuk Satoru ke sang sahabat.

 

Yuuji, Yuuta, Inumaki, Nobara, dan Maki melihat sekitar. Ada hawa merinding kala Satoru membicarakan sosok yang tak kasat mata.

 

Nanami menaikkan kacamata, menatap penasaran ke Suguru. “Benarkah, Geto-san?”

 

“Ya ...,” jawab Suguru lirih.

 

Haibara cemberut melipat tangan di dada. “Kenapa Riko-san sangat pilih kasih! Aku kan juga ingin melihatnya!”

 

Suguru terkekeh geli, mengusak rambut mantan juniornya sewaktu kuliah. “Haibara, Riko-chan ada dan terlihat atas seizin Kamisama. Kita tak bisa menyalahkan karena hanya bisa dilihat oleh aku dan Satoru.”

 

Haibara mengangguk mengerti meski masih kecewa.

 

Ui Ui dan Uraume maju menghampiri Suguru. Ada senyum di bibir mereka. Mereka segera membungkuk ke arah Suguru. Berterima kasih karena sudah mengundang mereka ke persidangan. Mereka mengaku puas dengan hasil akhir tak terduga untuk Gskuganji.

 

Sebelum Uraume dan Ui Ui pergi, Megumi memanggil Uraume, bertanya tentang sesuatu.

 

“Uraume-san! Aku ... Miwa ... apakah bisa--”

 

Uraume menatap mata Megumi. Tak ada ekspresi di wajahnya. “Datang dan temukan jawabannya, Fushiguro Megumi. Aku mengizinkanmu masuk ke dalam kediaman Ryomen.”

 

Dengan itu, semua orang bersorak ikut gembira karena lampu hijau yang diberikan Uraume untuk Megumi.

 

 

 

 

 

 

•Tbc•

Chapter 26: Sayonara....

Summary:

❗WARNING❗

*INI BERISI RINGKASAN, BUKAN DIKSI YANG INDAH UNTUK DIBACA*

*MOHON MAAF KALAU ADA SALAH TANDA BACA DAN TYPO*

*ARIGATOU SUDAH MEMBACA CERITA INI SAMPAI AKHIR*

😭

😍

😚

 

Author mau mudik dulu, Minna~

Minal Aidin Walfaidzin...

Mohon Maaf Lahir dan Batin 🙏🏻

Chapter Text

RANGKUMAN

 

 

Sukuna merestui Megumi dan Miwa. Merasa ada kemiripan antara Megumi dan Muta.

 

Sukuna masih berkata pedas pada Yuuji dan mengejek, tetapi di belakangnya dia tersenyum merasa bahagia.

 

Uraume menggodanya. Sukuna, meski egois, tak berperasaan, dan mudah emosi, mirip ayahnya Wasuke, tapi dia masih berhati selembut mendiang ibunya.

 

Sukuna bilang Yuuji mirip Jin karena sangat polos dan baik hati, minus otaknya yang bodoh. Sukuna merasa heran dari mana gen Yuuji itu berasal. Padahal dia dan Jin termasuk cerdas.

 

Terakhir, di kuil makam Amanai, Satoru dan Suguru berziarah. Setelah mereka memejamkan mata berdoa untuk Amanai, Amanai muncul merangkul pundak mereka sambil tertawa bahagia.

 

“Jadi, ini pertemuan kita yang terakhir atau kau berbohong lagi?” cibir Satoru masih kesal pada sang kekasih hantu.

 

Tawa lenyap, Amanai mengembuskan napas keras. Ada sedikit kekecewaan di raut wajahnya. “Ini benar-benar terakhir kali aku bisa berjumpa dengan kalian. Misiku sudah ... selesai di dunia ini. Sekarang, aku bisa pergi dengan tenang.”

 

Suguru melesat memeluk sang adik tiri begitu erat. Amanai terkesiap, lalu tersenyum hangat saat merasakan pundaknya basah karena air mata Suguru.

 

“Riko-chan ... aku minta maaf karena ... gagal memberikan hukuman setimpal untuk Bajingan Tua itu ....”

 

Amanai terkekeh. “Aku justru sangat berterima kasih karena Onii-chan berani maju demi keadilan. Lagipula, yang punya dendam pada ayah kita bukan cuma kita.”

 

Satoru teringat lagi oleh wanita asing kemarin di persidangan. “Amanai, wanita berpakaian maid itu ... siapa?”

 

Amanai melepas pelukan, menyeringai menatap keduanya. “Dia kartu As yang kukira sudah hilang. Dia mantan pengasuhku dulu, Misato. Dia yang paling tahu bagaimana perlakuan ayahku terhadapku dan ibuku. Dia dipecat tak lama sebelum ibu Onii-chan masuk ke rumah sakit. Kami ... terpaksa melakukan itu untuk menyelamatkan Misato darinya. Setelah itu, ibu hendak membawaku pergi ke luar negeri, tapi kami ditangkap lagi dan dibawa ke rumahnya. Itulah awal aku dan kau bertemu, Onii-chan.”

 

Suguru menunduk murung. “Sekarang, aku merasa bersalah pada pengasuhmu. Harusnya ... akulah yang ... membunuh dia ....”

 

Amanai mencubit paha Suguru. “Apa kau gila?! Bosan hidup, Onii-chan! Apa bedanya kau dengan dia! Itu tindakan tidak pantas karena biar bagaimanapun jahatnya dia, dia tetaplah ayah kandung kita!”

 

Satoru memegangi jantungnya mendramatisir. “Ohh~ aku merasa tersentuh mendengar kebaikan hati seorang anak tiri yang berbakti pada ayah brengseknyaa~”

 

Dengan wajah memerah malu, Amanai menendang betis Satoru membuat pria albino melompat kesakitan. “Diam! Kau juga harus menghormati orang tuamu sebejat apapun mereka, Satoru!”

 

Satoru menggerutu, sedang Suguru menertawai kemalangannya.

 

Amanai melangkah maju, berhenti di ambang pintu keluar kuil menuju tangga. Dia tersenyum begitu lebar dan hangat pada Suguru serta Satoru. Lalu, eksistensi tubuhnya memudar perlahan.

 

Sebuah kalimat terakhir terucap dari bibirnya.

 

“Aku harap kalian bahagia. Aku mencintai kalian ..., Onii-chan ..., Satoru ....”

 

Akhirnya, kehidupan Satoru dan Suguru kembali normal. Mereka sudah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga lewat Amanai. Bahwa ... Cinta dan Teman adalah harta paling berharga di setiap kehidupan.

 

 

 

 

 

 

•End•

Notes:

Thank you for kudos and comment~

 

For donation:
https://teer.id/nk_only

Or

https://karyakarsa.com/Kira_Khasunny