Chapter 1: Beyond the Hills, There's You.
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Terdengar suara ketukan halus di pintu kamar berbahan kayu jati yang kokoh, mengisi keheningan kamar yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu. Bagas, yang tengah berdiri di walking closet tepat di depan cermin besarnya, hanya menoleh sekilas.
Tatapannya bertemu dengan bayangannya sendiri—kemeja hitam dari brand ternama yang membalut tubuhnya dengan nyaman, dipadukan dengan celana bahan hitam dan pantofel kulit asli berwarna hitam yang membuatnya terlihat rapi meskipun sederhana. Ia menarik napas panjang, memastikan dirinya telah siap sebelum akhirnya melangkah menuju pintu.
Begitu ia membuka pintunya, seorang pria muncul dari baliknya, wajahnya membawa ekspresi penuh keraguan, seakan ada sesuatu yang ingin ia tanyakan namun ragu untuk mengungkapkannya.
“Mas Bagas, Mas pesan taksi, ya? Itu… ada taksi yang datang untuk menjemput Mas.”
Bagas tersenyum tipis, “Oh, sudah datang? Kalau begitu, tolong masukkan barang-barang saya ke bagasi, ya. Bilang tunggu dulu ke supirnya, saya mau pamitan sebentar.” ucapnya sambil menunjuk ke arah dua koper besar di depan walking closet-nya yang telah ia persiapkan.
Mas Yunus, yang selama ini menjadi supir pribadi keluarga Mahendra, mengangguk dan bergerak mengambil koper-koper berat itu. Namun, saat tangannya menyentuh gagang koper, dia mendadak bingung. “Baik, Mas... Barangnya banyak banget, Mas? Mau liburan, ya? Padahal saya bisa antar, loh.”
Bagas tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan yang terasa, meski hatinya penuh dengan keraguan dan ketegasan yang sudah terambil. “Hahaha, bukan... Saya mau kabur.” jawabnya sambil bercanda, tangannya mengambil ransel di ruang kerjanya yang menyatu dengan area kamar, memastikan semua keperluannya untuk perjalanan jauh nanti sudah tersedia di sana semua.
Mas Yunus, yang mengenal Bagas dengan baik, menatapnya sejenak, merasa seakan mendapat perasaan yang berbeda dari biasanya. “Ah, bisa aja bercandanya, nih. Kalau begitu, saya turun duluan, ya, Mas…”
“Oke, Mas… Terima kasih, ya.” jawab Bagas dengan senyum kecil, meskipun di dalam dirinya ada perasaan yang sulit dijelaskan. Keputusan ini membuatnya merasa lega sekaligus penuh gugup. Namun, ia sudah terlalu jauh untuk mundur.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Bagas kembali melihat ke sekeliling kamarnya yang besar dan mewah. Lampu gantung kristal dan LED light yang memancarkan cahaya keemasan, menerangi setiap sudut kamarnya yang tertata sempurna. Tempat tidur king-size di tengah ruangan tampak begitu rapi—selalu seperti itu, karena asisten rumah tangga akan segera merapikannya begitu ia bangun. Di pojok kamar, ada lorong kecil menuju walking closet yang didominasi oleh pakaian berwarna netral, dan kamar mandi luas dengan marmer dingin dan bathub yang besar.
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Bagas berdiri diam, memperhatikan setiap detail yang seharusnya akrab, tetapi justru terasa jauh. Di kamar inilah ia tumbuh dan dibesarkan, tetapi entah kenapa, ia tidak pernah benar-benar merasa memiliki tempatnya sendiri.
Namun, tak lama lagi, ia akan meninggalkan semua kemewahan yang selama ini membelenggunya. Pergi ke tempat yang jauh, di mana ia bisa menentukan jalannya sendiri, tanpa ada yang mengatur dan menghakimi. Untuk pertama kalinya, ia akan benar-benar bebas—atau setidaknya, itulah yang ia harapkan.
Bagas menarik napas dalam-dalam, merasakan beban yang menggantung di dadanya. Tangannya meremas tali ransel yang kini terasa lebih berat dari seharusnya. Lalu, tanpa ragu lagi, Bagas membuka pintu dan melangkah keluar. Meninggalkan kamar yang selama ini menjadi sangkar emasnya.
Kakinya terus menyusuri koridor rumahnya, bahkan telinganya dapat mulai mendengar namanya ramai disebut di tengah keramaian yang berasal dari ruang tamu yang terletak di lantai utama karena kedatangan tamu sejak pagi tadi. Bagas dengan cepat menuruni anak tangga besar yang bertemu dengan kedua orang tuanya, bersama tamu-tamu dari keluarga Aryasatya menyambut kedatangannya.
Begitu Bagas menginjakkan kaki di lantai utama, percakapan yang semula riuh perlahan mereda. Beberapa tamu masih tersenyum ramah kepadanya, mengira ia baru saja turun untuk bergabung dalam acara. Namun, ekspresi kedua orang tuanya berbeda—sang ibu menatapnya dengan cemas, sementara sang ayah mulai menyipitkan mata, seolah membaca niat di balik kehadiran putranya yang turun dengan membawa ransel.
“Eh, Bagas baru turun. Itu… Ada Nadine udah nunggu dari tadi, loh!!”
Mendengar itu, Bagas hanya memberikan senyumannya—ia tidak ingin membuang waktu. Dengan satu tarikan napas, ia berdiri tegap di tengah ruangan.
“Halo, semua. Maaf mengganggu acaranya, tapi saya mau pamit.” ucapnya, suaranya jelas dan mantap.
Keheningan langsung menyelimuti ruang tamu. Tatapan heran dan terkejut langsung mengarah padanya, mencoba memahami apa maksud dari salam perpisahan yang ia bicarakan.
“Pamit?” Suara pria paruh baya dengan bingung, ia melirik ke arah pria yang tak lain adalah Ayah dari Bagas.
“Bagas, apa maksudnya?” ucap sang ayah dengan penuh tekanan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang tumbuh dalam didikan keras seorang Arsana Mahendra—ayah Bagas.
Bagas mengangguk, menatap ayahnya lurus-lurus. “Saya akan pergi menjalani program sukarelawan selama setahun. Dan dengan ini, saya menolak perjodohan ini.” Bagas melirik ke arah Nadine—calon tunangannya, yang turut menatapnya dengan sinis, lalu melanjutkan, “Saya sudah bicarakan ini dengan Nadine, meskipun jawabannya tidak sama dengan saya. Intinya, perjodohan ini dibatalkan.”
Ruangan seketika menjadi lebih sunyi dari sebelumnya. Tidak ada tawa, tidak ada suara piring beradu, tidak ada yang berani berbicara lebih dulu. Hanya ada Bagas, berdiri tegak di tengah-tengah lingkaran keluarganya, bersiap-siap menerima reaksi yang sudah ia duga sejak awal.
“Program sukarelawan apa maksudnya? Kenapa kamu nggak pernah bilang-”
“Aku sudah bilang sejak hari pertama, kalau kalian terus memaksaku, aku akan pergi.” Bagas memotong perkataan ayahnya dengan tenang. Ia melirik ke arah ibunya yang tampak menahan rasa malu, wajahnya memerah. “Dan bukannya semalam, aku bilang kalau aku nolak pernikahan ini, Ma?” tanya Bagas dengan nada yang tajam.
Bagas melirik ke arah orang tua Nadine—termasuk Nadine, yang kini terlihat masam, wajah mereka menunjukkan perasaan tersinggung, seolah merasa direndahkan.
Bagas tidak ingin memperpanjang ketegangan, maka dengan sikap yang tetap tenang, ia sedikit menundukkan kepala untuk menunjukkan rasa hormat. “Maaf, saya sudah berkali-kali menyatakan belum siap untuk menikah, jadi ini bukan urusan saya lagi…” ucapnya, nadanya kini lebih datar, lebih lelah. Seperti seseorang yang telah mencapai batas kesabarannya.
“Dan juga, maaf kalau sikap saya tidak sopan, tapi tolong cari orang lain.”
Sebelum membalikkan tubuhnya untuk pergi, Bagas menatap orang tuanya sekali lagi. Di wajah mereka, ia melihat sesuatu—kekecewaan. Tapi kali ini, Bagas tidak lagi merasa bersalah, ia berhak menolak.
Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya berkata, “Saya tidak bisa lama-lama. Barang-barang saya sudah di taksi, saya harus pergi sekarang.” Ia melirik ke arah kedua orang tuanya, sorot mata ibunya mengisyaratkan ribuan kata yang tidak bisa diucapkan, sementara sang ayah hanya berdiri dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan.
“Aku pamit dulu, Pa… Ma...”
Tidak ada jawaban. Tidak ada satu pun suara yang menghentikannya. Jadi, tanpa ragu lagi, ia membalikkan badan dan melangkah pergi—meninggalkan tamu-tamu yang masih terdiam karena keputusannya.
Di luar, Bagas berdiri di samping taksi yang mesinnya sudah menyala, koper-koper besar telah dimasukkan ke bagasi, sementara ranselnya masih ia gendong erat. Bagas berpamitan dengan Mas Yunus yang menatapnya dengan raut wajah campur aduk—antara keterkejutan dan ketidakpercayaan tergambar jelas di wajah pria itu. Sejak pertama kali mendengar Bagas bercanda tentang ‘kabur’, ia tak benar-benar menganggapnya serius. Tapi kini, melihat Bagas berdiri di depannya dengan raut wajah tenang namun penuh tekad, ia hanya bisa menggeleng pelan.
“Mas, ternyata beneran kabur, nih? Hati-hati di jalan, ya, Mas.”
“Hahaha… Iya, Mas. Saya titip orang tua saya, ya.”
Pak Yunus mengangguk dan tersenyum kecil, ia hanya tidak menyangka akan membuat gebrakan baru untuk melawan orang tuanya. “Jaga diri baik-baik, ya, Mas.”
Bagas hanya tersenyum mendengarnya, lalu berjalan menuju taksi yang sudah menunggu di dekatnya. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu, ia merasakan tangannya ditarik dengan lembut oleh seseorang yang membuatnya menoleh ke belakang. Ibunya berdiri di sana, tatapannya berat, namun penuh kasih sayang. Tangannya yang hangat menggenggam erat tangan anak semata wayangnya, seakan tak ingin melepaskannya.
“Bagas… kamu benar-benar mau pergi, Nak?” Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha tetap tegar. Di belakangnya, ayahnya menghampiri mereka dengan langkah lambat, napasnya yang berat terdengar jelas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia berhenti di samping ibu Bagas, matanya tertutup sejenak sebelum membuka lagi, fokus penuh pada anaknya. “Kamu kenapa bisa kepikiran ikut volunter, sih? Kalau kamu kenapa-kenapa di sana, bagaimana?”
Bagas menatap ayahnya, matanya tegap dan penuh keyakinan. “Sudah tiga bulan.” jawabnya dengan suara tegas, berusaha memberi penegasan bahwa ini bukan keputusan yang dibuat tiba-tiba.
Ibunya terkejut mendengarnya, “Tiga bulan?”
Bagas mengangguk, matanya berkilat dengan tekad di dalam dirinya. “Iya, aku mempersiapkan semuanya selama tiga bulan setelah perjodohan ini dibicarakan. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk keluar dari sangkar yang kalian buat untukku.” Kata-katanya yang terdengar sederhana, seolah benar-benar ingin menandakan bahwa ini adalah akhir dari segalanya.
Ibunya akhirnya bersuara lagi, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar. Ada ketegangan yang nyata di matanya, seolah masih berharap bisa mengubah keputusan putranya.
“Tapi, Bagas…” Ia menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kamu dan Nadine bisa mencoba dulu, kan? Nggak harus buru-buru, kok. Mama yakin, kalau kalian diberi waktu, kalian bisa saling menyukai.”
Bagas menatap ibunya, kali ini dengan sorot yang sedikit lebih lembut, meskipun keteguhan hatinya tetap tidak tergoyahkan.
“Yang akan menikah siapa, Ma?” tanyanya pelan. “Aku atau kalian?”
Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya sedikit bergetar meskipun tetap tegas. “Dan… aku masih menyukai Laras. Kalian tahu itu.”
Ibunya terdiam, wajahnya berubah. Seakan diingatkan kembali pada sesuatu yang selama ini sengaja ia abaikan. Sementara, Ayah Bagas hanya mengepalkan tangannya, rahangnya mengatup erat menahan sesuatu yang sulit ia ungkapkan.
“Bagas, dengar—” Suaranya terdengar tersendat, ada sesuatu di sana—bukan hanya kemarahan, tetapi juga rasa kehilangan yang begitu dalam.
Namun, Bagas memotongnya sebelum sang ayah sempat melanjutkan.
“Aku sudah hidup seperti yang kalian mau.” ucapnya mantap, seakan tidak ada keraguan dalam hatinya. “Menjadi anak yang pintar, tidak pernah rewel, selalu patuh, menjadi dokter seperti yang kalian inginkan… Aku sudah melakukan semuanya.”
Ia menghela napas panjang, membiarkan kata-katanya menggantung sejenak sebelum kembali menatap kedua orang tuanya. “Tapi menikah?” Ia menggeleng pelan. “Aku tidak bisa.”
Hening.
Bagas menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, namun tetap penuh ketegasan.
“Karena ini keputusanku. Ini hidupku… dan aku akan pergi.”
Ia menatap kedua orang tuanya dalam-dalam, ingin mengingat wajah mereka untuk terakhir kalinya sebelum ia benar-benar melangkah keluar dari kehidupan yang selama ini membelenggunya.
“Usiaku sudah 35 tahun…” katanya, kali ini lebih tenang, lebih dalam. “Dan aku tidak ingin hidupku diatur oleh orang lain lagi.”
Ayahnya hanya terdiam, matanya penuh kecemasan, sementara ibu Bagas menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Bagas lebih erat, mencoba menyimpan setiap detik bersama anaknya.
“Aku pergi dulu, jaga diri kalian.” Bagas beralih memeluk ibunya dengan lembut, merasakan kehangatan yang hampir hilang, sementara sang ibu menelan kekecewaan yang mendalam karena gagal melihat anaknya menikah dengan sosok menantu yang ia idam-idamkan.
Bagas melepaskan pelukannya, lalu melirik ke arah taksi yang masih menunggu di luar. Waktunya sudah hampir habis.
“Ma, Pa…” suaranya sedikit lebih lirih sekarang. “Aku pamit.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Langkahnya mantap, meskipun ada beban berat yang menggantung di hatinya. Ia tahu, setelah malam ini, ia mungkin tidak akan pernah bisa kembali ke rumah ini dengan cara yang sama lagi.
Sekar—Ibu Bagas masih terisak pelan, kedua tangannya bergerak memeluk suaminya, seakan itu bisa menahan perasaan yang meluap-luap dalam dadanya. Matanya yang basah menatap kosong ke arah jalanan di mana taksi yang membawa Bagas pergi sudah menghilang di kejauhan.
Ibu Bagas masih menunggu… masih berharap anaknya akan berubah pikiran, meskipun ia tahu bahwa Bagas bukan seseorang yang akan menarik kembali kata-katanya.
Yang ia inginkan selama ini hanyalah melihat Bagas melupakan cinta pertamanya, melupakan masa lalu yang sudah terlewatkan, dan mulai menjalani hidup dengan seseorang yang pantas—seseorang yang sesuai dengan harapan keluarga mereka. Bukankah itu yang terbaik? Bukankah itu seharusnya membuat hidup Bagas lebih mudah?
Tapi ia salah.
Ia tidak pernah benar-benar berpikir bahwa Bagas akan memilih pergi sejauh ini. Ia pikir semua ancaman itu hanya gertakan. Ia pikir, pada akhirnya, Bagas akan tetap patuh seperti biasanya. Namun kini, semuanya sudah terlambat.
“Dia benar-benar pergi…” bisiknya lirih, seolah masih tidak percaya bahwa anak satu-satunya kini telah memilih jalannya sendiri—tanpa mereka.
“Laras lagi… Sudah belasan tahun berlalu, hatinya belum berubah hikss-”
Ayah Bagas menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di pundak istrinya, menepuknya dengan lembut. “Anak kita sudah besar, Ma…” ucapnya dengan suara yang dalam dan berat. “Bagas benar, kita tidak bisa mengaturnya selamanya.”
Sang istri menoleh dengan sorot mata terluka. “Tapi, bagaimana kalau dia tidak kembali?” Suaranya bergetar. “Bagaimana kalau dia benar-benar membuang kita dari hidupnya?”
“Tidak perlu berpikir seperti itu, Bagas hanya pergi setahun untuk menjalankan tugas baktinya… Ini rumahnya, dia pasti akan kembali.”
Ayah Bagas berusaha menenangkan istrinya. Namun dalam lubuk hatinya, ia juga takut—takut bahwa ketegasan anaknya pagi ini bukan hanya bentuk perlawanan. Sebagai seorang ayah, ia juga tahu tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu luka di hati sang anak sembuh.
“Kalau dia tidak kembali…” ucapnya pelan, “maka kita harus percaya… bahwa dia baik-baik saja di luar sana.”
:::::
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan dari Jakarta melalui jalur udara, Bagas akhirnya tiba di salah satu bandara besar di Yogyakarta. Bagas mengecek ponselnya sekali lagi. Setelah memberitahu rincian ciri-cirinya di sebuah whatsapp group yang berisikan dokter sukarelawan dan perwakilan desa, ia tinggal menunggu kendaraan yang dijanjikan akan menjemputnya dan membawanya ke desa.
Berbeda dengan dokter relawan lainnya, Bagas datang tiga hari lebih lambat. Ia tidak bisa meninggalkan pasiennya yang sudah ia rawat sejak awal dirinya mendapatkan gelar spesialis—sebuah hubungan profesional yang telah melampaui sekedar kewajiban praktik medisnya. Ia tahu betul betapa pentingnya janji temu itu bagi pasiennya, dan ia memilih untuk tetap memberikan pemeriksaan dan perawatan terakhirnya sebelum ia pergi. Sebagai gantinya, biaya perjalanan Bagas akan dialokasikan untuk desa, sedangkan ia akan membayar biaya perjalanannya sendiri dan meminta dijemput hingga ke desa.
Tanpa sadar, ada sesuatu yang membuatnya gelisah, padahal segala sesuatunya terlihat biasa saja dan dirinya sudah sepenuhnya siap untuk melaksanakan tugas baktinya.
Bagas telah mengabdikan dirinya sebagai dokter spesialis kedokteran keluarga selama sekitar 5 tahun, dia sering berhadapan dengan pasien yang memiliki berbagai masalah kesehatan jangka panjang dari berbagai usia, dan tentu sudah menjadi tugasnya untuk memberikan pelayanan medis dan perawatan secara menyeluruh.
Pilihannya untuk menekuni spesialisasi ini ditentang oleh kedua orang tuanya—ayahnya adalah guru besar sekaligus dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, sementara ibunya adalah profesor dan dokter spesialis penyakit dalam. Tentu, ia memiliki alasan sendiri mengapa memilih spesialis yang lebih sering dianggap enteng oleh kebanyakan orang, termasuk oleh kedua orang tuanya sendiri.
Itulah mengapa perjodohan itu terjadi. Nadine, seorang dokter spesialis bedah plastik estetika, terlahir dalam keluarga terpandang di dunia kedokteran—sebuah keluarga yang tidak berbeda jauh dengan keluarga Bagas. Keduanya telah saling mengenal sejak lama karena memang hubungan keluarga mereka yang cukup dekat. Keluarganya berpikir, setidaknya memiliki menantu yang berasal dari latar belakang yang sama, seseorang yang dianggap ‘layak’ untuk mendampingi anak semata wayang mereka. Namun, kepribadian Nadine dengan kehidupan berkelasnya dan sifat kasarnya, justru membuat Bagas merasa tidak ada kecocokan sama sekali.
Sekitar tiga bulan yang lalu, ketika rasa muaknya terhadap kendali orang tuanya mencapai puncaknya, Bagas menemukan sesuatu yang terasa seperti mimpi di siang bolong—sebuah tawaran untuk menjadi sukarelawan.
Ia tidak butuh waktu lama untuk memutuskan, tak peduli akan ke mana dirinya ditugaskan. Tanpa sepengetahuan keluarganya, Bagas segera mendaftar. Di antara jadwal praktiknya yang padat dan tuntutan keluarganya yang semakin berat, ia meluangkan waktu untuk mengisi formulir, mengirimkan dokumen, dan menjalani proses seleksi tanpa memberi tahu siapa pun.
Dan ketika akhirnya pemberitahuan diterima masuk ke dalam pesan masuk e-mail-nya, Bagas hanya menatap layar ponselnya untuk beberapa saat, meresapi perasaan yang sulit dijelaskan. Karena untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa memiliki kendali penuh atas keputusannya sendiri.
“Permisi, Mas Bagas Mahendra, ya?” Tiba-tiba, seseorang menghampiri Bagas dengan langkah cepat, berbicara dengan logat Jawa yang kental. “Perkenalkan, nama saya Damar. Saya spesialis bedah umum, nanti bersama Mas menjalani sukarelawan di desa Tegalrejo. Kebetulan saya ada urusan ke kota, jadi sekalian ikut jemput Mas.”
“Oh… Halo, iya… saya Bagas.” Bagas sedikit terkejut mendengar sambutan yang ramah dengan logat jawa yang khas. Seorang pria memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. "Terima kasih sudah menjemput saya…" lanjutnya, berusaha tersenyum meskipun sedikit canggung.
Damar tersenyum, matanya berbinar. “Tidak masalah, Mas. Senang bisa membantu. Ayo, saya antar ke mobil.” Dengan langkah santai, Damar mulai memimpin jalan menuju di mana sebuah minibus terparkir di tepi dengan seorang supir yang berdiri di samping melambaikan tangannya, sementara Bagas mengikuti di belakang sambil menarik dua koper besarnya.
“Halo, Mas Bagas. Nama saya Bagus, nama kita mirip, loh… Bagas dan Bagus, hahaha. Maaf, saya hanya bercanda. Saya warga desa Tegalrejo yang biasa mengantar warga desa ke kota kalau ada keperluan.” ucap sang supir—Bagus namanya, mengajak Bagas untuk berjabat tangan.
Bagas tertawa, meskipun hanya sedikit mengerti, ia paham maksud dari candaan itu. “Halo, Pak Bagus. Saya Bagas, mohon bantuannya.”
“Ah… tidak perlu pakai Pak, panggil Mas saja, saya masih muda, hahaha.”
“Begitu, ya? Baik, Mas Bagus.”
Bagus tertawa lepas, tangannya menjabat Bagas dengan erat. “Nah, gitu dong, biar nggak terasa terlalu kaku. Di desa nanti juga nggak usah sungkan, kita semua di sana kayak keluarga, kok.”
Bagas mengangguk kecil, sedikit lega dengan suasana yang lebih santai dari yang ia bayangkan. “Baik, Mas. Terima kasih sudah mau repot-repot jemput saya.”
“Ah, nggak repot, Mas. Saya malah senang ada dokter-dokter dari jauh yang mau datang ke desa, apalagi aduh… seganteng Mas Bagas, gadis-gadis desa pasti banyak yang suka.” ucap Mas Bagus dengan sumringah sambil mengangkat koper Bagas dan memasukkannya ke dalam bagasi minibus dengan cepat.
Bagas hanya bisa mengangguk kecil. Namun, telinganya menangkap sesuatu dalam ucapan Mas Bagus yang membuat dahinya berkerut samar. Bahasa Jawa yang digunakan pria itu tidak sepenuhnya ia bisa pahami artinya. Bagas pun melirik Damar yang berdiri di sampingnya, berharap pria itu bisa membantunya memahami maksud perkataan Mas Bagus.
Damar, yang menyadari kebingungan di wajah Bagas, tertawa kecil sebelum akhirnya menjelaskan, “Loh, nggak ngerti, ya, Mas? Kata Mas Bagus, dia malah senang kalau ada dokter yang mau datang ke desa, apalagi kalau ganteng kayak Mas Bagas, pasti banyak gadis desa yang suka.”
Bagas mengangguk paham, lalu tersenyum kecil. Ia tak terbiasa menerima pujian langsung seperti itu, apalagi dari orang yang baru dikenalnya.
Sementara itu, Damar sudah lebih dulu masuk ke dalam minibus dan duduk di bangku tengah dengan posisi santai. Ia melemaskan bahunya dan melirik ke arah pintu, memastikan Bagas tidak berlama-lama berdiri di luar. “Ayo, Mas Bagas, kalau kelamaan nanti keburu kabutnya turun dan pemandangannya jadi nggak keliatan.”
Bagas menghela napas, lalu memastikan koper-kopernya telah masuk ke bagasi dengan bantuan Mas Bagus sebelum akhirnya masuk dan duduk di depan Damar. Ia menyandarkan punggungnya, menyadari bahwa perjalanan panjangnya baru saja dimulai.
Mas Bagus menyalakan mesin minibus, sementara Damar sudah terlihat nyaman di kursinya, memandang ke luar jendela dengan santai.
“Perjalanannya bakal makan waktu sekitar tiga jam, Mas Bagas. Kalau ngantuk, tidur saja dulu” ujar Mas Bagus sambil memutar setirnya. “Oh iya, Desa Tegalrejo itu ada di wilayah perbukitan atas, Mas. Jadi nanti sepanjang perjalanan jalannya naik turun, banyak belokan juga. Kalau mual, bilang saja, ya.”
Bagas mengerutkan kening. “Mual?”
“Iya, toh.” Mas Bagus tertawa kecil. Damar menjelaskan, “Kata Mas Bagus, Desa Tegalrejo itu ada di wilayah perbukitan atas, Mas. Nah, kan Mas Bagas ini terbiasa di Jakarta yang jalannya selalu mulus. Takutnya nggak biasa sama jalanan yang berkelok-kelok dan naik turun, jadinya mabuk perjalanan.”
Bagas mendengarkan Damar dengan seksama dan seketika mengangguk paham, lalu tertawa kecil. “Ohh… saya paham. Oke, nanti saya kabari kalau mulai mabuk.”
Damar menengok Bagas sekilas dan tersenyum tipis. “Tenang aja, Mas. Kalau mabuk, kita bisa berhenti sebentar. Di atas nanti hawanya sejuk banget, bisa buat nyegerin kepala.”
Bagas hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya pada pemandangan dari balik jendela.
Dalam perjalanannya, Bagas menjumpai banyak hal yang jarang ia temui di kota kelahirannya. Ia melihat begitu banyak aktivitas warga yang mengundang perhatiannya. Di sepanjang jalan desa, ia melihat warung-warung kecil dan toko kelontong dengan bangku kayu sederhana, seorang ibu duduk di depan rumah yang sederhana sambil mengayun-ayunkan bayinya, sementara anak-anak berlarian tanpa alas kaki—tertawa riang di antara perkarangan luas yang ditanami berbagai macam sayur.
Matanya bertemu dengan pemandangan yang indah dan beragam, jalanan berkelok naik turun, menyusuri bukit-bukit hijau yang seakan tak berujung. Seperti anak kecil, ia melihat dengan penuh antusias.
Pandangannya bertemu dengan dua gunung yang menjulang megah di kejauhan, sebagian puncaknya tertutup kabut tipis yang lembut. “Itu gunung apa?” tanya Bagas sambil menunjuk ke arah luar jendela, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Damar, yang duduk di sebelahnya, mengikuti arah telunjuk Bagas dan tersenyum. “Ohh… itu dekat dengan kampung saya, Mas. Yang kiri itu namanya Gunung Sumbing, dan kanannya itu Gunung Sindoro.”
Bagas mengangguk pelan, mencoba menghafalkan nama kedua gunung yang tampak begitu kokoh. “Berarti kamu orang sini?”
“Hahaha, iya… saya orang Parakan. Rumah saya nggak terlalu jauh dari kaki Gunung Sumbing.” jawab Damar dengan nada santai, matanya berbinar sedikit saat berbicara tentang kampung halamannya.
“Wah, pasti seneng banget ya setiap pagi bisa lihat gunung. Rasanya adem gitu…” komentar Bagas, matanya masih terpaku pada pemandangan di luar. “Kalau saya, cuma bisa lihat Gunung Salak dari kejauhan, itu pun kalau lagi nggak ketutupan polusi Jakarta.”
Damar tertawa kecil. “Ah… nggak juga, Mas. Malah kebalikannya, saya sudah bosan tiap hari lihat gunung. Dari kecil sampai sekarang, yang saya lihat ya itu-itu aja. Saya malah pengen lihat Monas atau gedung-gedung tinggi di Jakarta, rasanya lebih keren.”
Bagas menggeleng sambil tersenyum. “Lah, saya juga bosan kalau itu. Hampir setiap pagi saya lihat Monas setiap saya berangkat dan pulang kerja. Monas itu bagus kalau dilihat sesekali, tapi kalau setiap hari? Ya… nggak terlalu menarik juga.”
Damar tertawa lebih lepas kali ini. “Hahaha, bener juga sih. Mungkin kita emang suka yang kita nggak punya, ya?”
Bagas terdiam sejenak. Kata-kata itu terasa begitu familiar, seakan menariknya kembali ke potongan kenangan yang tersimpan rapi di sudut pikirannya.
“Bagas, kamu emangnya nggak bosen, ya? Jalan-jalannya ke mal terus... Ujung-ujungnya kamu cuma buang uang untuk hal yang nggak berguna.” ucap seorang perempuan dengan nada heran, lalu menoleh sekilas pada pria yang sibuk dengan karet rambut di pergelangan tangannya.
Laras, yang tampak cantik hari ini dengan rambut ikal panjangnya yang selalu menggoda tangan Bagas untuk memainkannya. Jemari mungilnya tampak sibuk mengaduk gudeg di hadapannya, sementara Bagas seperti biasa menaruh perhatiannya pada rambut Laras.
Tanpa perlu diminta, seakan seperti menjadi kebiasaan, Bagas dengan cekatan mengambil karet rambut dari pergelangan tangannya, lalu mulai menguncir rambut Laras agar rambut panjangnya tidak mengganggunya saat makan.
Si pemuda hanya mengangkat bahunya santai, “Loh, Ras? Emang di Jakarta kita bisa ke mana lagi?” Ia menghembuskan napasnya kasar. “Bahkan karena kamu, aku jadi tahu ternyata makanan pinggir jalan enak kayak gini. Aku nggak pernah makan makanan pinggir jalan di Jakarta, katanya nggak higienis.”
Selesai dengan urusannya, Bagas menepuk lembut kepala Laras. “Nah, udah rapi rambutnya. Makan yang banyak, ya, Laras.”
Laras terkekeh pelan, seolah bangga berhasil membawa Bagas keluar dari zona nyamannya. “Makasih, ya...” ucapnya. “Ya... jangan diam di Jakarta aja, dong?” lanjut Laras setelah menyuapkan sesuap gudeg ke mulutnya. “Pergi ke sekitar Jakarta aja, Bogor misalnya? Jangan-jangan kamu cuma tahu Jakarta doang?”
Bagas tertawa kecil, menyesap es teh manisnya sebelum menjawab. “Iya, aku lahir di Jakarta, terus kuliah di Yogyakarta. Kalau kuliahnya di Bogor, baru deh bisa jalan-jalan di Bogor.” katanya bercanda. “Aku jarang pergi ke luar kota karena orang tua aku sama-sama sibuk, mau pergi sendiri juga bingung mau ke mana.”
Laras menatapnya sebentar, lalu tersenyum penuh maklum. “Yaudah… Kalau gitu, mulai besok aku ajak dan temenin kamu jalan-jalan. Kalau kamu punya tempat yang mau kamu kunjungin, bilang ke aku aja, ya, Gas.”
Bagas menaruh sumpitnya, lalu menatap Laras dengan senyum miring. “Oke. Hmm… Aku penasaran sama Hutan Pinus itu, deh.”
“Oh… Mangunan, ya?”
“Iya, kamu tahu?”
Perempuan itu mengangguk antusias. “Iya, aku pernah diajakin sama Kak Yoga, pergi ke sananya juga rame-rame sama teman. Bagus, kok. Nanti kita ke sana, ya.”
Bagas mendecakkan lidah, pura-pura cemberut. “Sebut Yoga aja, kating caper kayak gitu nggak perlu dipanggil pakai ‘Kak’.”
Laras tertawa kecil, menutup mulutnya agar tidak menyembur makanannya. Bagas menatapnya jengkel, lalu menambahkan, “Emang, ya? Manusia emang secara alami lebih suka sesuatu yang kita nggak punya.”
Laras mengangkat alisnya, ekspresinya terlihat pura-pura bingung. “Maksudnya?”
Mendengar jawaban itu, Bagas langsung mencondongkan tubuhnya mendekat. “Si Yoga itu ngedeketin kamu terus, tapi aku nggak bisa apa-apa. Soalnya, kamu punya aku, tapi aku nggak punya kamu. Aku mau marah, juga nggak bisa…”
Laras melanjutkan makannya, pura-pura tidak mendengar apa yang elukan Bagas. Ia sudah terbiasa mendengar rengekannya itu, namun kali ini terdengar lucu sekali.
“Pacaran sama aku yuk, Ras.” lanjut Bagas, kali ini dengan nada menggoda. “Emangnya kamu ga liat giginya? somplak gitu… Jelek. Mending sama aku, iya, kan?”
“Ishh… Nggak boleh ngomong gitu!! Pacarannya kapan-kapan aja, kita kan baru kenal.”
Bagas terdiam sesaat, sebelum tertawa geli. “Udah seminggu kamu kenal aku, masih belum suka juga?”
“Ssstt~ Udah habisin dulu makanannya, Bagas!!” seru Laras dengan salah tingkah, pipinya terasa menghangat ketika mendengar pertanyaan seperti itu.
“Aduh, diomelin cewek manis.” sahutnya sambil terkekeh, lalu meraih sendoknya lagi. “Oke! Aku habisin gudegnya, biar kamu bisa cepetan suka sama aku.”
Laras hanya tertawa, lesung pipinya yang tampak merona terlihat jelas di bawah cahaya lampu. Bagas memandangnya dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan, merasakan hangatnya setiap tawa yang keluar dari bibir Laras.
Bagas hanya terdiam, matanya kembali menatap ke luar jendela di mana Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro yang masih terlihat dikelilingi embun tipis. Gelak tawa Laras yang lembut dan terdengar manis di telinganya, pipinya yang terkadang memerah jika ia terus menggodanya, kini hanya ada dalam ingatan Bagas.
Mungkin benar, manusia memang selalu menginginkan sesuatu yang tidak bisa mereka miliki.
Bagas tidak tahu kenapa, hatinya terasa diremas kencang. Jawa Tengah—provinsi yang telah menjadi saksi dalam perjalanannya terasa mulai menjelma menjadi ikatan simpul yang terikat kuat menekan dadanya. Satu-satunya hal yang paling membekas dari tempat ini bukanlah bangunan bersejarah, bukan pula aroma khas dari kuliner yang menggoda. Tapi seseorang.
Seseorang yang tanpa sadar telah mengubahnya.
Seseorang yang membawanya ke dunia baru, yang tak pernah disangka akan menyanjung hatinya.
Dan kini, meskipun waktu telah berjalan, meskipun dirinya telah berusaha menghapus jejak itu… sosoknya tetap hinggap di hatinya, menetap bersama jiwanya.
Tak tergantikan.
Tak tergoyahkan.
Ia tidak tahu di kota mana Laras berada sekarang. Apakah masih di tempat yang sama atau sudah berpindah ke tempat lain, tidak mengubah fakta bahwa dunia Bagas telah terhenti di satu tempat bersama bayangan Laras selalu menghantuinya.
Dalam tatapan kosong dari balik jendela, di antara desiran angin yang membawa aroma tanah basah—Laras kembali hadir.
Bodoh, pikirnya. Mereka sudah berpisah selama bertahun-tahun. Harusnya, semua ini sudah berlalu. Harusnya, perasaan itu sudah mati bersama waktu yang terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Namun, tidak bagi hatinya.
Tidak bagi Bagas.
Rasa cinta yang tak pernah hilang, kerinduan yang tak pernah surut, dan penyesalan yang selalu membayanginya melebur menjadi satu—mengubahnya menjadi sosok seperti sekarang. Seseorang yang terlihat tenang dari luar, tapi diam-diam menyimpan badai di dalam dadanya.
Namun, inilah hukumannya.
Bagas tahu, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali dirinya sendiri. Ia yang menghancurkan segalanya. Ia yang mengkhianati seseorang yang mencintainya tanpa syarat. Dirinya yang… entah karena kebodohan atau keserakahan, membiarkan dirinya terseret terlalu jauh, jatuh ke dalam dosa yang membuatnya kehilangan segalanya—seseorang yang paling ia cintai pergi tanpa menoleh, meninggalkan luka yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.
Keheningan di dalam minibus mendadak hilang ketika nada dering nyaring dari ponsel Damar. Damar merogoh saku jaketnya, melihat nama yang tertera di layar, lalu segera mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamualaikum, Mbak. Ada apa?”
Suara perempuan di seberang terdengar samar, tapi Bagas bisa menangkap nada sedikit tergesa. Damar mendengarkan dengan saksama, lalu menjawab, “Tadi saya titip ke Pakde Yanto, Mbak. Udah ditanya ke sana belum? Ini saya lagi jalan balik habis dari kota, sekalian jemput dokter relawan satu lagi.”
Bagas tidak terlalu memperhatikan pada awalnya. Ia masih sibuk mengamati jalanan sempit yang menanjak, sesekali melihat pepohonan yang menjulang di kiri dan kanan, tapi ada sesuatu dalam cara Damar turut menyinggungnya membuat telinganya lebih awas.
“Iya, ini Mas Bagus yang nyetir, Mbak… Kenapa?”
“Ohh… oke, Mbak. Sama-sama, Mbak! Wa’alaikumussalam.”
Damar menutup panggilannya dan menyimpan ponselnya kembali ke saku jaketnya.
Dari kursi kemudi, Mas Bagus meliriknya sekilas lewat kaca spion. “Siapa, Mas?” tanyany dengan santai.
“Mbak Laras yang telepon, Mas. Dia nanyain kunci klinik, terus nanyain Mas Bagus juga.”
DEG—
Bagas merasa dunia seolah berhenti berputar. Tangannya yang bertumpu di paha mencengkeram celana bahannya tanpa sadar.
Ia bahkan lupa bernapas untuk beberapa detik. Nama itu...
Laras.
Matanya perlahan bergerak menatap Damar yang masih berbicara dengan Mas Bagus tanpa menyadari nama yang ia sebutkan berhasil membuat sesuatu dalam diri Bagas seperti meledak.
“L… la- Laras?”
Tiba-tiba, Mas Bagus menepuk jidatnya sendiri. “Astagfirullahh! Aku lupa…” gumamnya. “Si Laras minta dianterin ke desa sebelah…”
“Gapapa, Mas. Katanya dia nanti bakal diantar Mas Awan aja.” ucap Damar. Sementara itu, Bagas masih berusaha mengendalikan napasnya yang terasa semakin berat.
“Damar.” Suaranya serak, hampir berbisik. “Laras… dia siapa?”
Damar menoleh ke arahnya, sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. “Ohh… Mbak Laras yang anaknya Pak Kades. Dia yang bakal bantu kita di desa buat komunikasi sama pihak rumah sakit terdekat, terus urusan obat-obatan dan lainnya.”
Damar berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Oh iya, Mbak Laras itu dokter hewan, Mas.”
Bagas membeku di tempat. Napasnya tercekat, seolah udara di dalam minibus tiba-tiba menjadi lebih tipis. Ia menelan ludah dengan susah payah.
“D- dokter hewan, ya…” katanya pelan dengan sedikir gemetar. Matanya perlahan beralih menatap Damar yang masih tidak menyadari keterkejutan di wajahnya. “Namanya… Laras Ayu?”
Damar mengangguk cepat. “Iya, Mas… Loh? Mas kenal, ya? Dia alumni Universitas Gadjah Mada angkatan 2008… seingat saya. Kalau seangkatan, bisa aja kalian udah kenal.”
Bagas tidak menjawab. Ia membuang muka, memalingkan pandangannya ke luar jendela, berusaha meredam kekacauan yang kini meledak di dadanya. Di luar, kebun-kebun sayur yang ditanam secara terasering terbentang luas di bawah langit yang perlahan mulai berubah warna. Angin pegunungan berhembus, membawa hawa sejuk yang menusuk kulit, tapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak dalam dirinya.
Laras.
Jadi selama ini, dia berada di sini?
Matanya mulai terasa panas, lalu ia menunduk sedikit, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Ia tidak tahu harus bersyukur atau merasa takut.
Apa yang harus ia lakukan ketika bertemu dengan Laras nanti?
Apakah dia benar-benar Laras yang selalu ia cintai?
Dan bagaimana… bagaimana kalau Laras masih membencinya?
Beribu-ribu pertanyaan berputar di kepalanya. Rasa lega bercampur dengan rasa bersalah yang selama ini tidak pernah benar-benar hilang.
Aku akhirnya menemukanmu, Laras. Tapi, aku harus apa, Ras?
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Chapter 2: The Sound of The Wind
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Setelah melewati perjalanan panjang, minibus yang membawa Bagas akhirnya memasuki kawasan desa. Kendaraan itu terus melaju menyusuri jalanan berbukit, melewati kebun-kebun hijau yang terhampar luas dan pekarangan yang dipenuhi tanaman sayuran.
Langit mulai beranjak senja, sinar keemasan menerpa sawah dan ladang, menciptakan bayangan panjang di tanah. Dari balik jendela, Bagas memperhatikan para petani yang tengah membereskan alat-alat mereka, menyelesaikan pekerjaan sebelum kembali ke rumah masing-masing. Beberapa di antara mereka tampak berbincang ringan sambil tertawa, membawa beberapa peralatan di pundak atau gerobak kecil.
Namun, Bagas hanya menatapnya kosong, pikirannya jauh melayang ke satu nama yang kembali memenuhi kepalanya.
Laras.
Ia masih sulit mempercayainya—bahwa setelah bertahun-tahun, ia akhirnya tahu di mana Laras berada.
Dan kini, Bagas mencengkeram ransel di pangkuannya dengan kuat. Yang bisa ia lakukan hanyalah bersiap… bersiap jika Laras menatapnya dengan kebencian, bersiap jika wanita itu memakinya tanpa ragu—bahkan jika sebuah tamparan mendarat tepat di wajahnya di hadapan banyak orang.
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ketika mereka bertemu lagi. Apakah perempuan itu akan mengabaikannya seakan ia tak pernah ada? Atau yang lebih buruk—apakah Laras bahkan sudah lupa siapa dirinya? dan… bagaimana jika Laras telah menikah?
Karena sekalipun ia mengucapkan maaf seribu kali, ia tahu itu tak akan pernah cukup untuk menebus dosanya.
Ya… Bahkan… kata maaf pun tak cukup.
Dan Bagas tidak siap. Bagaimana bisa ia berharap dimaafkan, jika bahkan dirinya sendiri tidak bisa memaafkan perbuatannya?
“Mas Bagas, jangan bengong, nanti kesambet, soalnya udah mau magrib. Kita udah sampai, nih. Yuk, turun…” suara Damar mengembalikan Bagas dari lamunannya.
Sebuah tepukan di pundak menyadarkannya. Dengan kaku, Bagas mengangguk dan perlahan melangkah turun dari minibus, merasakan tanah lembap di bawah kakinya. Udara desa terasa sejuk, sedikit berembun, membawa aroma tanah basah yang khas setelah sore hari.
Begitu matanya menyesuaikan diri, pandangannya langsung tertuju pada pekarangan luas membentang di depan mata, dipenuhi deretan sayuran hijau yang tumbuh di tanah, terlihat tumbuh dengan subur dan terawat. Di kejauhan, terdengar suara ayam berkokok, berpadu dengan lenguhan sapi dari kandang yang berdiri kokoh di sisi lain halaman.
Rumah besar yang berdiri di tengah area itu tampak kokoh namun tetap bersahaja. Dindingnya terbuat dari perpaduan kayu jati dan bebatuan alam, memberi kesan kuat sekaligus hangat. Bahkan, kabut yang mulai mengelilinginya bersama dengan kepulan asap keluar dari cerobong perapian yang berada teras depan semakin menambah kesan hangat.
Mas Bagus sudah lebih dulu turun dan mulai mengeluarkan koper-koper dari bagasi, Bagas segera mendekatinya. “Biar saya aja, Mas.”
Mas Bagus menoleh dengan senyuman lebar. “Ah, gapapa… Ini kopermu, Mas Bagas.” Ia menyerahkan kedua koper besar itu dengan santai, sementara Bagas menerimanya dengan kedua tangannya, masih menyerap suasana sekelilingnya.
Namun, sesuatu membuatnya ragu. Ia mengernyit dan menghela napas. “Maaf… tapi kita di mana?” tanyanya dengan nada canggung.
Mas Bagus tertawa kecil sebelum menjawab. “Ini rumahnya Pak Wiryo, kepala desa kita. Untuk sementara, dokter relawan akan tinggal di sini karena bangunan yang biasanya dipakai sudah reyot dan butuh perbaikan.”
Bagas membeku. Mampus… Jadi, aku harus tinggal di rumah Laras? batinnya, ia menggigit pipi dalamnya, mencoba menahan reaksi spontan yang ingin keluar.
Mas Bagus melanjutkan dengan nada ramah, “Warga desa kan butuh bantuan kalian karena banyak lansia di sini. Jadi, mana mungkin Pak Kades kasih tempat tidur yang nggak nyaman? Apalagi kalau bangunannya sudah jelek gitu.”
Bagas hanya bisa mengangguk. “Ohh… Baik, Mas. Terima kasih banyak, ya, sudah jemput saya.”
Mas Bagus mengibaskan tangannya santai. “Sama-sama. Saya memang sering ditugaskan sama Laras buat pergi ke kota, entah itu ambil obat atau urusan lainnya. Jadi, kalau Mas butuh bantuan buat nyupir ke mana-mana, bilang aja. Saya hampir setiap hari ke sini, soalnya juga bantu ngurus kebunnya Pak Kades.”
Bagas menegang mendengar nama Laras disebut lagi, tapi ia hanya berdeham kecil, pura-pura sibuk merapikan kopernya.
Damar yang sejak tadi menunggu Bagas mendapatkan kopernya akhirnya menghampiri. “Mas, masuk yuk? Itu, Pak Kades udah nungguin kita…” Ia menganggukkan kepala ke arah seorang pria paruh baya yang berdiri di teras, mengenakan baju koko putih dan sarun tenun sederhana dengan wajah penuh wibawa.
Bagas menarik napas dalam, mencoba menenangkan dadanya yang entah mengapa terasa lebih berat dari biasanya. Ia tidak bisa kabur ke mana pun sekarang. Dengan gerakan yang lebih mantap, ia melangkah menyusuri jalan setapak menuju rumah itu, sementara senja mulai menipis di langit desa.
Setibanya di teras, Bagas memaksakan senyum sopan, lalu mengulurkan tangannya. “Assalamualaikum, Pak Wiryo.”
Pak Wiryo menyambutnya dengan tawa kecil, menjabat tangannya erat. “Wa’alaikumusalam, hahaha… Selamat datang di Desa Tegalrejo, Dokter Bagas.”
Bagas menundukkan kepala sedikit. “Terima kasih, Pak. Maaf sudah merepotkan dengan jemputannya.”
Pak Wiryo menggeleng ringan, masih tersenyum ramah. “Ah, tidak masalah. Sudah seharusnya dokter lebih mementingkan pasiennya terlebih dahulu. Ayo, masuklah, kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang.”
Saat Bagas melangkah ke dalam dan kepalanya hampir membentur pintu masuk, Pak Wiryo menambahkan dengan tawa ringan, “Maaf kalau rumahnya sedikit pendek, tapi setidaknya di sini lebih nyaman dibandingkan terus di luar.”
Bagas mengulas senyum kecil—kali ini lebih tulus daripada sebelumnya. Kehangatan dalam sambutan Pak Wiryo yang ramah terasa begitu nyata, perlahan melunturkan kegugupan yang terasa sesak di dadanya. Ada ketulusan dalam cara Pak Wiryo berbicara, dalam cara pria itu menerima kehadirannya tanpa prasangka.
Bagas bertanya-tanya dalam hati, apakah ini juga yang membuat Laras begitu hangat? Apakah sikap lembut dan penuh penerimaan yang selalu ia rindukan dari Laras adalah warisan dari sosok ayahnya?
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa harus berhenti lari dari kesalahannya. Kesalahannya di masa lalu tidak akan pernah hilang, tapi mungkin di tempat inilah ia bisa mencoba untuk menghadapi semuanya—menebus dosanya kepada Laras.
Pak Wiryo tersenyum ramah, menepuk bahu Bagas dengan ringan sebelum memberi arahan lebih lanjut. “Dokter Bagas, sebentar lagi kita akan makan malam, jadi taruh dulu barang-barangmu di kamar, ya. Kalau mau mandi dulu juga boleh, biar segar sebelum makan bersama.”
Bagas mengangguk memahami, sementara Pak Wiryo melanjutkan, sambil menunjuk ke arah lorong di dalam rumah.
“Kamar kalian ada di ujung sana, dipisah ya antara laki-laki dan perempuan. Dekat dengan ruang keluarga, jadi kalau sedang tidak bertugas, kalian bisa bersantai di sana bersama kami.” Pak Wiryo menambahkan dengan nada hangat. “Sepertinya Dokter Cantika, Dokter Laila, dan Dokter Baskara juga sudah pulang dan sedang beristirahat di ruang keluarga.”
“Baik, Pak Wiryo. Terima kasih untuk arahannya. Kalau begitu, saya masuk dulu.” ucap Bagas sopan. Ia sedikit membungkuk sebelum beranjak, kemudian mengangkat kedua kopernya agar rodanya tidak menimbulkan suara berisik di lantai kayu rumah itu.
Damar mengikuti Bagas dari belakang, mengarahkannya ke kamar. Saat berjalan melewati ruang keluarga, Bagas melirik sekilas ke sekeliling ruangan. Lemari kayu rotan di sisi ruangan tampak dipenuhi foto-foto keluarga, beberapa di antaranya terlihat cukup lawas dengan warna yang mulai pudar. Di antaranya, terdapat foto seorang perempuan berambut pendek yang tersenyum manis menatap ke kamera—entah kenapa, ada sesuatu dalam gambar itu yang membuat dadanya bergetar sesaat.
Ia menepis pikirannya dan kembali fokus ke langkahnya. Begitu sampai di ruang yang dimaksud, ia melihat dua orang relawan lain tengah bersantai di meja bundar yang berada di tengah ruangan. Mereka tampaknya baru saja selesai makan camilan, terlihat dari gelas teh hangat dan piring kecil berisi sisa kue di atas meja.
Begitu menyadari kehadiran Bagas, keduanya segera bangkit dan menyambutnya dengan ramah.
“Halo…” sapa mereka hampir bersamaan.
Bagas tersenyum dan mengulurkan tangannya lebih dulu. “Halo, saya Bagas, spesialis kedokteran keluarga. Senang bertemu kalian, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, ya!”
Pria di hadapannya—yang tampak lebih muda darinya—tersenyum lebar dan segera menyambut jabat tangan Bagas dengan erat. “Halo, saya Baskara, dan ini Laila, kami dokter hewan yang bertugas sebagai relawan di sini. Kalau ini Dokter Cantika, dia dokter obgyn.”
“Halo, Dokter Bagas…” ucap Laila sambil menjabat tangannya dengan tersenyum manis.
Cantika, seorang perempuan dengan rambut digerai panjang, juga turut menjabat tangan Bagas dengan ramah. “Selamat datang, Dokter Bagas! Akhirnya tim kita lengkap deh, ada tiga spesialis manusia, ada dua spesialis hewan, hahaha...” canda Cantika dalam salamnya yang mengundang gelak tawa ringan di antara mereka. “Kalau nggak salah, Dokter Bagas nih dari Jakarta, ya? Asik banget. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, Dokter Bagas!” lanjutnya antusias.
“Senang bertemu dengan kalian…” ujar Bagas, melepaskan genggaman tangannya. “Bagaimana keadaan di sini sejauh ini? Apakah ada sesuatu yang perlu saya tahu?”
Baskara menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi berpikir sejenak sebelum menjawab, “Sejauh ini, semuanya berjalan cukup lancar, meskipun ada beberapa kasus penyakit kulit pada ternak yang butuh perhatian lebih. Tapi untuk pasien manusia, mungkin Dokter Cantika dan Dokter Damar bisa kasih info lebih jelas nanti.”
Cantika mengangguk, lalu menambahkan, “Iya, dan kalau Mas Bagas butuh adaptasi dulu, santai saja. Biasanya warga di sini suka ngobrol lama sebelum diperiksa, jadi harus sabar.” Ia terkekeh ringan, seolah sudah terbiasa dengan kebiasaan warga desa.
Bagas tersenyum tipis. “Terima kasih untuk informasinya. Benar juga… saya rasa saya harus membiasakan diri di sini, dan juga saya kurang bisa bahasa Jawa, jadi mungkin perlu sedikit bantuan nanti.”
Damar menepuk pundaknya pelan. “Santai aja, Mas. Saya, Cantika sama Baskara orang jawa tulen, Mas, hahaha… Setelah makan malam, kita bisa ngobrol lebih banyak. Sekarang mending taruh barang dulu, biar nggak berat.”
Bagas mengangguk kecil. “Kalau begitu, saya ke kamar dulu.” ucapnya sebelum membawa barang-barangnya ke lantai atas di mana kamar khusus laki-laki berada.
Kamar itu cukup luas meskipun sederhana. Di dalamnya terdapat meja dan kursi kayu di pojok, serta empat ranjang tingkat yang tersusun rapi di sepanjang dinding. Bantal dan selimut sudah tertata di setiap tempat tidur, menunjukkan bahwa tempat ini memang dipersiapkan dengan baik untuk para relawan. Udara pegunungan yang sejuk merayap masuk melalui jendela yang setengah terbuka, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang khas.
Damar berjalan di belakangnya dan menyandarkan tubuh ke salah satu ranjang. “Mas pilih aja mau di kasur bawah atau atas. Saya di atas biar lebih adem, hahaha. Kalau Baskara sih anaknya tim kasur bawah, males naik katanya.”
Bagas memperhatikan ranjang-ranjang itu sebentar sebelum memutuskan. “Hmm… di kasur bawah aja, deh.”
Damar terkekeh. “Meskipun kelihatannya sempit, setidaknya jadi bikin inget pas jaman residensi, nggak sih, Mas? Hahaha.”
Bagas tertawa kecil. “Hahaha, ranjang tingkatnya, ya? Tapi, ini lebih bagus kayaknya.”
“Iya, katanya sih beli baru semua, Mas, soalnya ranjang lama udah kayunya udah lapuk.” tambah Damar sambil duduk di tepi ranjangnya.
Bagas mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum mulai membongkar kopernya di atas kasurnya sendiri. Ia membuka resleting koper dengan gerakan tenang, mengeluarkan beberapa pakaian yang akan ia pakai dalam beberapa hari ke depan, lalu menggantung jas dokternya di sudut ranjang.
Setelah merapikan barang-barangnya sebisanya, ia mengambil perlengkapan mandi dari dalam koper. “Oke, saya bersih-bersih dulu sebelum makan malam.”
Damar mengangkat tangan dalam gestur santai. “Santai aja, Mas. Makan malam di sini nggak bakal buru-buru, tapi yang ada kita ditungguin kalau kelamaan, hahaha.”
Bagas hanya tersenyum kecil sebelum beranjak ke kamar mandi. Ia berdiri sejenak di depan cermin, membiarkan air dingin dari wastafel membasahi wajahnya. Saat melihat bayangannya di cermin kecil di atas wastafel, ia mendesah pelan. “Laras ga ada, ya…” gumamnya kepada diri sendiri.
Usai membersihkan diri, ia mengenakan sweater tangan panjang polos berwarna abu-abu dan celana panjang santai, lalu kembali ke kamar. Damar dan Baskara sudah bersantai di meja tengah, berbincang pelan sambil sesekali tertawa kecil. Bagas meraih buku catatan yang telah usang—namun menjadi pegangannya selama terus mencoba bertahan hidup tanpa Laras, membolak-balik halamannya sejenak, sebelum akhirnya meletakkannya kembali di sebelah bantalnya.
Tiba-tiba, Baskara membuka pintu dan berseru, “Mas, ayo makan dulu. Udah dipanggil Mbak Sari buat makan bareng.”
Bagas tersenyum tipis, mengangguk, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Setelah perjalanan panjang dan tubuhnya yang masih terasa lelah, ajakan untuk makan bersama terdengar seperti ide yang bagus. Ia merapikan sedikit kausnya, lalu berjalan menyusuri lorong, mengikuti Baskara yang sudah lebih dulu keluar. Rumah sederhana itu terasa hangat, dengan aroma masakan yang menguar dari dapur, mengingatkannya pada suasana rumah di masa kecilnya.
Di ruang makan, Pak Wiryo—tuan rumah mereka, menyambut dengan ramah, mengarahkan mereka untuk segera duduk. “Ayo, Mas-mas. Duduk dulu… Kita makan bersama-sama. Kasian Mas Bagas pasti laper habis perjalanan jauh,” ucapnya dengan nada hangat, sambil mempersilakan Bagas untuk duduk.
Bagas tersenyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa, Pak Wiryo. Terima kasih banyak untuk jamuannya.”
Para dokter relawan yang lain sudah mulai mengambil posisi di sekitar meja, tampak akrab dengan keluarga Pak Wiryo meskipun mereka baru beberapa hari tinggal di sana. Suasana penuh kehangatan, suara sendok dan piring beradu pelan bercampur dengan obrolan ringan yang mengalir santai.
“Assalamualaikum…” Suara seorang pria terdengar dari pintu belakang rumah, langkahnya mantap saat ia masuk.
“Wa'alaikumussalam.” jawab Pak Wiryo. Wajahnya berbinar melihat pria itu. “Nah, kebetulan… Mas Bagas, perkenalkan, ini Surya, anak laki-laki saya. Dia pengurus koperasi di desa ini, juga mengurus perkebunan milik keluarga kami.”
Bagas, yang baru saja ingin menarik kursinya, spontan mengalihkan perhatian pada pria yang baru datang. Surya memiliki perawakan tegap, kulitnya kecokelatan terbakar matahari, dan sorot matanya tajam namun bersahabat. Tanpa berpikir panjang, Bagas maju beberapa langkah dan mengulurkan tangan.
“Halo, Mas. Saya Bagas, saya dokter spesialis kedokteran keluarga. Mohon bantuannya.”
Surya membalas jabatan tangannya dengan erat, seulas senyum terukir di wajahnya. “Oh?? Yang dari Jakarta, ya? Halo, saya Surya, dan… oh… itu istri saya, namanya Sari.” Ia menoleh ke arah seorang perempuan yang tengah sibuk menyusun piring di meja. “Kalau kamu membutuhkan sesuatu, bisa bilang kepada kami. Meskipun kami tidak tinggal di sini, tapi kami selalu kemari setiap hari untuk menemani Bapak.”
Sari, seorang perempuan dengan senyum lembut, menoleh dan mengangguk ramah ke arah Bagas. “Selamat datang, Mas Bagas. Semoga betah di sini.”
Bagas tersenyum, merasakan kehangatan yang begitu alami dari keluarga ini. “Terima kasih banyak… Saya akan berusaha menyesuaikan diri dengan cepat di sini.”
Begitu Bagas menggenggam tangan Surya, ia bisa merasakan genggaman yang kuat dan mantap—seperti seseorang yang terbiasa bekerja keras. Sementara itu, Sari tersenyum lembut. Dari cara ia berdiri dan sibuk berkutat dengan urusannya di dapur untuk menjamu keluarganya, terlihat jelas bahwa ia adalah seseorang yang sigap mengurus rumah dan keluarganya dengan penuh perhatian.
“Silakan duduk, Mas Bagas.” ucap Sari dengan suara lembut. Surya menepuk pundak Bagas dan menuntunnya agar Bagas duduk di bangku dekat ayahnya, sedangkan ia duduk di sebelah istrinya. “Mas Bagas harus makan juga.” lanjutnya.
Bagas menuruti arahannya, lalu ikut duduk. Saat ia mulai mengambil nasi dari bakul, ia merasa untuk pertama kalinya sejak perjalanan panjangnya dimulai, ia benar-benar diterima di tempat ini.
Pak Wiryo tertawa kecil sebelum menyahut, “Tenang saja, nanti kalau Mas Bagas sudah keliling desa dan ketemu warga sini, pasti bakal betah! Warga di sini ramah-ramah dan suka gotong royong, apalagi aduh… gadis-gadisnya juga cantik sekali.”
Bagas hanya tersenyum mendengarnya, lalu melirik ke sekeliling meja makan. Makanan yang tersaji begitu menggugah selera—nasi hangat yang mengepul, sayur lodeh dengan kuah kental berwarna keemasan, tempe dan tahu bacem yang digoreng, serta ayam goreng yang aromanya menggoda. Di tengah meja, ada sambal terasi dan lalapan segar. Suasana terasa begitu akrab, seperti makan malam keluarga yang hangat. Menu yang sederhana… namun ini pertama kalinya bagi Bagas bisa makan bersama-sama dengan canda tawa seperti ini setelah sekian lama.
Baskara yang duduk di sebelahnya menyikut lengannya pelan. “Mas, coba deh sambalnya, enak banget! Tapi hati-hati, pedesnya bisa bikin kepikiran mantan, hahaha.”
Bagas terkekeh kecil, lalu menjawab, “Saya malah udah kepikiran sebelum makan, nih.”
Sontak Damar dan Baskara tertawa, sementara Pak Wiryo menimpali, “Wah, kalau gitu butuh banyak makan, biar hatinya nggak ikut kepedesan.”
Bagas hanya tersenyum, meski dalam hatinya ia tahu bahwa pertemuannya kembali dengan Laras mungkin akan jauh lebih ‘pedas’ daripada sambal terasi yang tersaji di hadapannya.
Bagas bergerak mengambil sepotong ayam dan menyuapnya bersamaan dengan nasi hangat dan kuah sayur lodeh, lalu mengambil sedikit sambal untuk mencobanya. Begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, ia bisa merasakan perpaduan rasa manis, pedas dan gurih yang membuatnya mengangguk setuju. “Enak banget!”
Surya terkekeh kecil. “Mbak Sari ini koki kebanggaan saya. Dia yang paling jago masak di rumah ini, iya, kan, istriku?”
Sari tertawa pelan. “Ah… Mas Surya ini bisa aja. Yang penting, semuanya bisa makan dengan lahap.”
Saat ini, semua orang sibuk dengan makanan dan percakapannya masing-masing. Ia melirik sekilas ke arah yang lain, melihat Sari dan Cantika mengobrol sendiri, Laila hanya mendengarkan percakapan mereka satu per satu sambil memakan makanannya, sementara Damar dan Pak Wiryo terlihat berbincang dengan Surya tentang kondisi kebun, sedangkan Baskara sibuk menikmati makanannya.
Ketika Bagas tengah meminum air di gelasnya setelah menghabiskan makanannya dengan cepat, suara langkah kaki terdengar dari pintu belakang. Suara seseorang yang baru saja datang, samar tapi cukup jelas. “Assalamualaikum…”
Bagas membeku.
Suaranya… ia mengingat suara ini.
Ia menoleh dan refleks berdiri, dan saat matanya menangkap sosok itu, napasnya tertahan di tenggorokan.
Laras.
Bagas tidak siap. Sama sekali tidak siap.
Bagas masih terpaku, napasnya terasa berat saat melihat sosok Laras berdiri di ambang pintu. Laras tidak bereaksi seperti yang ia bayangkan—tidak ada amarah yang meledak, tidak ada tatapan terkejut atau seruan spontan. Yang ada hanya diam.
Matanya menyipit, bibirnya mengerucut sedikit, seolah sedang menilai sesuatu. Seolah ia sekadar melihat seorang kenalan lama yang kemudian terlupakan—bukan seseorang yang berarti dalam hidupnya.
Bagas hampir berharap Laras akan memaki dirinya atau setidaknya bertanya—tapi tidak ada. Tidak ada sapaan, tidak ada pertanyaan. Hanya tatapan dingin yang menyelimutinya dalam kebisuan.
Dia… benar-benar tidak ingin melihatku lagi, ya?
Bagas menelan ludah, menyadari betapa dalamnya jurang yang terbentang di antara mereka. Namun, meski dirinya diperlakukan seperti orang asing, matanya tetap melekat pada Laras, menangkap setiap perubahan kecil pada perempuan itu.
Laras yang dulu ia kenal memiliki rambut ikal panjang yang selalu diikat olehnya, kini rambutnya lebih pendek—lurus, sebahu. Wajahnya tetap sama, tapi ada sesuatu yang berbeda. Lebih tegas dan lebih dewasa. Seolah waktu telah membentuknya menjadi seseorang yang lebih kuat… atau mungkin lebih tegar.
“Nah… sudah pulang, ndok (Nak)? Mas Bagas, ini Laras… anak kedua saya.” suara Pak Wiryo memecah keheningan. “Dia yang bakal bantu mengurus keperluan dan kepentingan kalian selama di desa. Oh… dia juga dokter hewan.”
Bagas menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang, meskipun hatinya bergejolak.
Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Laras sudah melangkah melewatinya begitu saja, tanpa sedikit pun menoleh.
Pak Wiryo mengerutkan kening, bingung melihat tingkah putrinya. “eh- Loh, Ras? Kok main lewat gitu aja?” tanyanya, setengah tertawa, setengah heran.
Bagas hanya bisa diam. Laras tidak hanya menolak berbicara dengannya, bahkan tidak mau mengakui keberadaannya.
Dan itu jauh lebih menyakitkan daripada umpatan atau tamparan sekalipun.
“Aku mau mandi dulu, Pak. Badanku kotor dan bau.” ucap Laras dingin.
Laras tidak berhenti, bahkan tidak menoleh sedikit pun ke arah ayahnya. Ia hanya berjalan melewati ruang makan dengan langkah cepat dan membawa aroma khas tanah serta rerumputan dan bau tak sedap yang menempel di pakaiannya. Bagas masih terpaku di tempatnya, menatap punggung Laras yang menjauh, seolah-olah kehadirannya tidak lebih dari angin lalu.
Damar menggaruk kepalanya dengan canggung. “Wah, kayaknya Mbak Laras lagi capek banget, Pak. Tadi habis dari desa sebelah, kan?”
Pak Wiryo terkekeh kecil, meski alisnya sedikit berkerut. “Iya, biasanya nggak begitu… Ya sudahlah, nanti saya tanya. Ayo Mas Bagas, ditambah makanannya.”
Sementara percakapan di meja makan berlanjut, hanya satu hal yang ada di kepala Bagas.
Laras benar-benar mengabaikannya.
Bahkan tak ada tatapan penuh amarah seperti yang ia perkirakan. Tidak ada cibiran, tidak ada sindiran.
Hanya… dingin.
:::::
Laras keluar dari kamarnya dengan langkah sedikit gontai, tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya. Seharian tadi ia begitu sibuk hingga tak sempat makan, dan sekarang efeknya mulai terasa—kepalanya sedikit pening, perutnya kosong, dan badannya terasa kurang enak.
Aroma bunga dari sabun yang ia gunakan saat mandi masih samar menguar di lorong rumahnya. Udara malam yang masuk dari pintu ruang tamu terasa sejuk, sedikit membuatnya lebih segar, tapi tidak cukup untuk menghilangkan lelahnya.
Laras melangkah ke meja makan, matanya sekilas melirik ke ruang tamu, di mana ayahnya sedang berbincang akrab dengan Surya dan para dokter relawan. Pandangannya tertumbuk pada sosok yang sejak tadi ia hindari.
Bagas.
Seketika dadanya terasa sesak. Ada emosi yang berdesakan di sana—amarah, kecewa, kebencian, dan mungkin… sesuatu yang lain. Tapi Laras memilih mengabaikannya, berpura-pura tidak melihatnya.
Begitu sampai di dapur, ia melihat Sari tengah duduk di dekat meja, serius mencatat sesuatu di buku kecil. Laras mengenal kebiasaan itu—Sari pasti sedang membuat daftar belanjaan untuk ke pasar subuh nanti.
“Ras, mau makan nggak?” suara Sari menyadarkannya.
Laras mengangguk lemas. “Mau, Mbak. Aku laper banget…” ucapnya sambil membuka tudung saji dan mengambil makanan yang tersisa. Perutnya berbunyi pelan, mengingatkannya bahwa ia benar-benar belum makan sejak pagi.
Sari menutup bukunya dan memperhatikannya dengan pandangan khawatir. “Mbak pulang kapan? Aku mau minta tolong dulu…” kata Laras sambil menuang air putih ke gelasnya, sedangkan makanan di piringnya telah siap untuk disantap. “Kayaknya badanku juga kurang enak, nanti balurin minyak, ya, Mbak?”
Sari mengernyit. “Loh, masuk angin? Mau dikerokin aja nggak? Biar cepet enakan.”
Laras menggeleng cepat. “Ahh, nggak usah, kapan-kapan aja kalau nggak membaik.”
Sari masih menatapnya, kali ini dengan ekspresi penasaran. “Ras… Mbak heran, tadi kamu kenapa? Dateng-dateng kok bete gitu…”
Laras berhenti sejenak, tangannya menggenggam sendok erat. Ia menarik napas sebelum akhirnya menjawab, “Nggak, kok… Aku cape aja.”
Sari mengerutkan keningnya, tapi tidak langsung menekan adik iparnya untuk berbicara lebih lanjut. Ia tahu betul bagaimana Laras—kalau tidak mau bicara, maka sekeras apa pun didesak, jawabannya akan tetap sama. Sementara itu, Laras mulai menyantap makanannya setelah duduk di meja makan sambil memunggungi ruang tamu.
“Ya udah, makan yang banyak, nanti aku balurin minyak biar enakan.” Ia kembali mencatat daftar belanjaannya, sementara Laras mulai menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lahap.
Harum nasi bercampur dengan aroma lauk yang tersisa di meja masih sangat menggoda, tetapi bagi Laras, semuanya terasa hambar. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengganjal—bukan karena masuk angin, bukan karena kelelahan, tapi karena seseorang.
Seseorang yang kini duduk di ruang tamu, berbincang akrab dengan ayah dan kakaknya, seolah tidak ada beban apa pun.
Laras mencengkram sendoknya lebih erat tanpa sadar. Ia tidak bisa menyingkirkan perasaan sesak yang tiba-tiba muncul di dadanya. Bahkan tanpa melihat pun, ia bisa merasakan kehadiran pria itu.
“Ras?” suara lembut Sari menyadarkannya. “Loh, kok malah bengong?”
Laras menghela napas pendek, mencoba tersenyum kecil. “Nggak, Mbak… lagi mikirin besok aja.”
Sari menatapnya, jelas tidak sepenuhnya percaya, tetapi memilih tidak memperpanjang obrolan. “Makan dulu yang bener. Nanti kalau butuh istirahat, libur dulu aja… jangan maksa kerja terus, pekerjaan kamu tuh berat loh.”
Laras mengangguk tanpa banyak bicara, tapi pikirannya masih berputar, berusaha menata ulang perasaan yang terus berontak dalam diam.
“Ras…” suara Pak Wiryo memecah lamunannya.
Laras menoleh dengan malas, masih mengunyah suapan terakhirnya. “Iya, Pak? Aku lagi makan, nih.”
Pak Wiryo melirik sekilas ke ruang tamu sebelum kembali menatap putrinya. “Anu… Ini Mas Bagas, kan dia nanti yang jaga di klinik. Dia perlu diarahkan harus gimana… gitu, Ras.”
Laras meletakkan sendoknya. Jari-jarinya mengusap bagian tepi piring tanpa sadar, sebelum akhirnya menjawab dengan nada datar, “Besok siang aja, Pak… Biar istirahat dulu. Soalnya besok yang lain ada penyuluhan di aula, kan.”
Pak Wiryo mengangguk paham. “Oh… iya juga, ya…”
Laras lalu beranjak dari bangkunya untuk mencuci piringnya . Laras berusaha tampak biasa saja, meskipun hatinya masih terasa berat. Berpura-pura Bagas tidak ada di rumah ini mungkin akan lebih sulit dari yang ia kira.
Laras menoleh sebentar ke arah Sari sebelum menghela napas pelan. “Ayo, Mbak… nanti ke kamar aku aja, ya…” ucapnya dengan suara sedikit lelah, lalu melangkah menuju kamarnya tanpa menunggu jawaban.
Sari tersenyum kecil melihat adik iparnya yang jelas-jelas sedang tidak ingin diganggu. “Iya, iya… Duluan aja, aku nyusul nanti.” sahutnya, tetap melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Namun, langkah Laras terhenti ketika suara Pak Wiryo terdengar dari ruang tamu. “Loh, Ras… Kok langsung ke kamar lagi?”
Laras menoleh sekilas ke arah ayahnya yang masih duduk di ruang tamu bersama yang lain. Wajahnya tetap datar, tetapi suaranya terdengar lebih lembut saat menjawab, “Aku mau tidur duluan, Pak. Bapak jangan tidur terlalu malam, ya. Nanti kalau kurang istirahat, pusingnya bisa balik lagi…”
Laras kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar, menutup pintu dengan gerakan pelan. Begitu pintu tertutup, ia bersandar pada kayunya yang dingin, memejamkan mata sejenak sambil menarik napas dalam. Matanya melirik ke arah di mana foto-foto terpajang di dinding kamar Laras, ada satu foto di sana yang ia tatap dengan lekat.
Berada dalam satu rumah dengan Bagas… Itu bukan hal yang pernah ia bayangkan akan terjadi. Dan kini, meski ia mencoba bersikap biasa saja, dadanya terasa sesak, seolah beban yang sudah bertahun-tahun ia kubur kini muncul kembali ke permukaan.
Laras mengusap wajahnya, mencoba menghalau pikirannya sendiri. Ia merebahkan dirinya di atas ksurnya yang empuk dengan kasar, lalu menutup dirinya dengan selimut hangat dan memejamkan matanya.
Laras membalikkan badan, menghela napas panjang. Rasanya lelah, bukan hanya fisik, tapi juga batinnya. Ia ingin membenci pria itu sepenuh hati, ingin mengusirnya dari pikirannya.
Angin malam berembus pelan dari celah jendela, membawa aroma tanah basah dan sisa-sisa embun yang mulai turun. Laras menarik selimutnya lebih erat, mencoba mencari kehangatan di tengah dinginnya perasaan yang mulai merayapi hatinya.
Jangan goyah, Laras… Jangan.
:::::
Bagas mengerjapkan matanya, napasnya masih terasa berat setelah tertidur beberapa menit di sela-sela buku dan jurnal yang berserakan di atas meja. Laras duduk di sebelahnya, wajahnya sedikit mengerucut dengan ekspresi tak sabar, sementara jemarinya terus menggoda tangan Bagas—menekan, mencubit kecil, lalu menggoyangkannya pelan.
“Bagas… bangun…” suaranya lembut, namun tetap terdengar tegas.
Bagas hanya menggumam, kepalanya tetap tertunduk di atas lengannya yang terlipat di meja. “Eunggg~ Aku ngantuk, Ras…” ujarnya malas, matanya bahkan masih terpejam.
Laras mendesah kecil, menatap pria di sampingnya dengan penuh keluhan. “Terus ujiannya gimana?” tanyanya, suaranya dipelankan agar tidak mengganggu mahasiswa lain di perpustakaan.
“Nanti malem aja aku belajarnya…” Bagas bergumam serak, suaranya terdengar seperti seseorang yang masih setengah tertidur. “Serius, Ras… aku ngantuk banget…”
Laras menggeleng kecil, lalu menggoyangkan tangannya lebih keras. “Bangun duluuu, belajar sebentar temenin aku…” bujuknya, kali ini dengan nada lebih manja.
Bagas hanya mendengus pelan, tapi matanya tetap tertutup.
Laras mengerucutkan bibirnya, lalu mendekatkan wajahnya sedikit, seolah ingin berbisik di telinganya. “Bagaaas…” panggilnya dengan suara lebih pelan, lebih lembut, menggoda kesabaran pria itu.
Bagas akhirnya mendesah panjang dan membuka matanya setengah hati, menatap Laras dengan mata yang masih berat. “Hmm?”
Laras tersenyum kecil melihat akhirnya Bagas membuka mata, lalu tanpa aba-aba, ia mencubit pelan pipinya. “Bangun. Sekarang.”
Bagas menghela napas, lalu akhirnya meraih bukunya dengan enggan, sementara Laras kembali fokus pada jurnal-jurnal di hadapannya. Di bawah meja, jemari mereka masih bersentuhan tanpa sadar, seperti kebiasaan lama yang tidak pernah benar-benar hilang. Bahkan, ketika Bagas hampir tertidur lagi, Laras hanya tersenyum dan terus membangunkannya.
“Bagas…”
“Bagassss…”
Bagas seketika membuka matanya, dadanya naik turun saat ia mencoba menenangkan napasnya yang sedikit tersengal. Mimpi tadi terasa begitu nyata—seolah-olah Laras benar-benar ada di hadapannya, membangunkannya dengan suara lembut dan sentuhan yang dulu selalu menghangatkannya.
Dengan gelisah, ia bangkit dari tempat tidur, kedua tangannya sedikit gemetar. Rasa rindu yang menyesakkan mengendap di dadanya, seperti beban yang tak bisa ia lepaskan. Ia meremas jemarinya sendiri sebelum menghela napas panjang dan melangkah keluar dari kamar.
Dingin malam menyambutnya saat ia berjalan ke arah dapur untuk mencari air. Ketika membuka kulkas kecil di area peristirahatan relawan, ia tidak menemukan apa pun. Tanpa banyak berpikir, ia memutuskan untuk menuju dapur utama di rumah Pak Wiryo, berharap ada teko air atau gelas yang bisa ia gunakan.
Langkahnya pelan, hampir tak bersuara saat ia menyusuri lorong rumah yang temaram. Begitu sampai di ambang pintu dapur, gerakannya tiba-tiba terhenti.
Di sana, di bawah cahaya lampu kuning redup, Laras bersandar pada meja dapur dengan sebuah gelas di tangannya. Rambut pendeknya berantakan, matanya kosong menatap ke depan, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya terlihat pucat, lelah, seperti seseorang yang terlalu banyak memikul beban.
Bagas nyaris tidak berani bernapas. Seketika, Laras tampak menyadari kehadirannya. Matanya terangkat, dan untuk pertama kalinya malam ini… pandangan mereka bertemu.
Hening.
Tak ada kata yang terucap, hanya kesunyian yang menggantung di antara mereka, begitu tenang hingga Bagas bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Laras terdiam sejenak, ekspresinya sulit ditebak, lalu dengan cepat ia mengalihkan pandangannya dan bergegas pergi, seolah tak ingin berada di ruangan yang sama dengannya lebih lama lagi.
Namun saat ia hendak melewati Bagas, pria itu secara refleks menahan pergelangan tangan Laras sebelum ia benar-benar pergi.
“Laras…” suara Bagas nyaris berbisik, sarat dengan keraguan, harapan, dan sesuatu yang telah lama terkubur di dalam hatinya.
Laras membeku seketika. Jemari Bagas melingkari pergelangan tangannya, tak erat, tapi cukup untuk membuatnya berhenti melangkah. Ia menoleh, menatap Bagas dengan ekspresi datar, sementara di mata pria itu ada sesuatu—keraguan, ketakutan, dan… kerinduan.
Bagas sendiri tidak tahu apa yang membuatnya bertindak seberani ini. Mungkin karena ia takut Laras akan menghilang lagi dengan begitu saja, ia takut… akan kehilangan lagi. Jemarinya mengerat menggenggam tangan Laras dengan lembut, seakan mencari kekuatan di tangan mungil itu untuk sekedar mengucapkan satu kata.
“Laras…” suara Bagas terdengar serak, hampir seperti bisikan.
Laras tidak langsung merespons. Matanya hanya menatap pergelangan tangannya yang masih dalam genggaman Bagas, sebelum ia mengangkat pandangannya kembali. Tidak ada emosi di wajahnya, tidak ada kemarahan, tidak ada kejutan—hanya kehampaan yang membuat Bagas merasa lebih buruk.
“Lepas.” suara Laras datar, nyaris tanpa intonasi.
Bagas tidak langsung menurut. Ia menelan ludah, menguatkan hatinya. “Bolehkah… kita bicara?” tanyanya, pelan.
Laras diam sejenak, ia menatap pria itu dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—seolah ada ribuan kata yang ingin ia ucapkan, tapi semuanya tertahan di ujung lidahnya.
“Kita tidak punya hubungan apapun lagi… tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Kata-kata itu menghantam Bagas lebih keras dari yang ia kira.
Ia menatap wajah Laras dalam-dalam, mencari sesuatu apapun itu… yang bisa ia genggam dari masa lalu mereka. Namun, yang ia temukan hanyalah tembok tinggi yang Laras bangun di antara mereka.
Lalu, tanpa berpikir, kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Kata-kata yang menjadi janjinya dulu untuk Laras.
“Kamu cantik, Ras…”
Laras mengerjap, matanya membelalak sepersekian detik sebelum akhirnya meredup. Helaan napas pelan lolos dari bibirnya, dan tanpa sepatah kata pun lagi, ia menarik tangannya dari genggaman Bagas.
Laras melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Bagas berdiri terpaku, menatap kaki Laras yang berjalan semakin jauh dan menghilang di ujung lorong, seolah ia benar-benar tak lagi bisa meraihnya. Bagas menghela napas, menundukkan kepalanya. Laras benar… hubungan mereka memang sudah berakhir.
Tapi, mengapa dadanya terasa sesak seperti ini?
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Chapter 3: Her Footsteps
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Bagas masih termenung dengan gelas yang berada dalam genggamannya. Ia terduduk di meja makan, sendirian dalam gelap yang hanya diterangi cahaya temaram dari lampu dapur.
Suara Laras masih terngiang di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang seharusnya.
“Kita tidak punya hubungan apa pun lagi… tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Ia mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengusir penyesalan yang kini menekan dadanya. Seharusnya ia tidak mendekati Laras seperti itu, seharusnya ia tidak berkata apa-apa. Tapi, sikap dingin Laras—tatapan tanpa emosi itu dan kerinduan yang selama ini ia pendam, membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Bagas menghela napas panjang, tangannya meremas gelas kosong yang tadi sempat ia minum, lalu pandangannya mengarah ke lorong rumah. Matanya tertuju pada sebuah dinding yang dipenuhi foto-foto. Beberapa tampak tua dengan warna yang sedikit memudar, namun di antaranya ada satu foto yang baru—Laras yang tersenyum yang begitu cerah. Senyum yang dulu ia kenal, tapi kini terasa begitu asing.
Ada sesuatu yang membuatnya terdiam lebih lama.
Rambutnya. Senyumannya.
Laras yang dulu memiliki rambut ikal panjang kini telah berubah. Rambut pendek sebahu itu tampak lurus dan tertata rapi, tetapi di mata Bagas, perubahan itu terasa seperti bukti bahwa gadis yang dulu ia kenal telah tiada. Bagas tak tahu sejak kapan perubahan itu terjadi. Entah sejak kapan Laras mulai berubah sedemikian rupa, hingga ia hampir tak bisa mengenalinya lagi.
Lalu, senyuman itu…
Bagas menatapnya lebih lama, membiarkan kenangan-kenangan lama kembali bermunculan. Senyum yang dulu selalu membuat harinya terasa lebih ringan, lebih hangat. Kini, senyum itu hanya terpampang di foto—beku, tak tersentuh oleh dirinya.
Akankah ada waktu di mana senyuman itu kembali merekah padanya? tanyanya dalam hati.
Di tengah lamunannya, suara langkah pelan terdengar dari lorong—Pak Wiryo telah bangun, mengenakan sarung dan peci tengah bersiap untuk pergi ke masjid. Pria paruh baya itu tampak sedikit terkejut saat melihat Bagas duduk sendirian di meja makan.
“Mas Bagas, sudah bangun?” tanyanya, memecah keheningan.
Bagas tersadar dari lamunannya, mengalihkan pandangan dari foto di dinding dan berusaha tersenyum.
“Eh… Pak, sudah, Pak.”
Pak Wiryo melirik jam dinding. “Masih pagi sekali. Kenapa? Tempat tidurnya kurang nyaman, ya?”
Bagas menggeleng pelan. “Tidak, Pak… Tadi saya mimpi sesuatu, jadi kebangun, deh…”
Pak Wiryo mengangguk kecil, lalu tersenyum hangat. “Kalau begitu, ikut saya ke masjid, yuk. Mas Bagas muslim, kan?”
Bagas terdiam sejenak, ragu. “Hmm… Muslim, Pak.”
“Nah, kalau begitu, ayo. Sebentar lagi azan subuh.”
Bagas menelan ludah, tangannya yang masih menggenggam gelas kini sedikit berkeringat. “Tapi…”
Pak Wiryo mengangkat alisnya. “Kenapa?”
Bagas menarik napas dalam, suaranya hampir tidak terdengar saat akhirnya ia mengakui, “Saya udah lupa caranya sholat, Pak…”
Pak Wiryo terdiam sejenak. Namun, bukannya terkejut atau menunjukkan ekspresi kecewa, lelaki tua itu justru tersenyum—senyum yang tulus, lembut, penuh pengertian.
“Kalau begitu, saya ingatin lagi caranya nanti, saya pinjamkan sarungnya… bagaimana?”
Bagas menatapnya dengan mata sedikit membesar. Ada sesuatu dalam diri Pak Wiryo yang terasa begitu asing baginya—perhatian yang tulus, tanpa syarat, tanpa penghakiman.
Ayahnya sendiri bahkan tidak pernah peduli apakah ia sholat atau tidak.
Tiba-tiba, hatinya terasa sesak. Ia menunduk sedikit, lalu mengangguk pelan.
“Baik, Pak…”
Pak Wiryo menepuk pundaknya ringan, lalu berjalan lebih dulu ke luar rumah setelah memberikan sarung miliknya yang bersih kepada Bagas. Bagas menatap punggung Pak Wiryo sejenak sebelum akhirnya bangkit dari kursinya dan mengikuti langkah pria itu menuju fajar yang perlahan mulai merekah di langit.
Bagas menarik napas dalam, membiarkan udara subuh yang segar memenuhi paru-parunya. Jalan setapak yang mereka lalui masih sedikit basah oleh embun, bau tanah yang khas menyatu dengan aroma dedaunan yang mulai mengering. Sesekali terdengar suara gesekan sandal Pak Wiryo menyentuh jalan berbatu, berpadu dengan langkah ragu-ragu Bagas yang mengikuti dari belakang.
Masjid kecil yang menjadi tujuan mereka terlihat sederhana, dindingnya bercat putih dengan jendela kayu yang terbuka sedikit, membiarkan cahaya lampu di dalamnya mengintip keluar. Beberapa orang sudah mulai berdatangan, berjalan beriringan sambil berbincang pelan.
Bagas merasakan air wudhu yang dingin menyentuh kulitnya, mengalir di antara jemari dan meresap hingga ke dalam pikirannya yang penuh kegelisahan. Setiap gerakan yang ia lakukan terasa canggung, seolah-olah tangannya sendiri lupa bagaimana caranya berdoa. Namun, Pak Wiryo tetap sabar menuntunnya, tanpa banyak bicara, hanya memberi isyarat lembut dan senyuman yang menenangkan.
Saat selesai, mereka berjalan ke dalam masjid. Ia memilih duduk tepat di sebelah Pak Wiryo, menunggu waktu sholat. Suara lantunan ayat suci dari pengeras suara terdengar merdu, menggema di dalam ruang sederhana itu, membawa ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. Bagas masih diam, pikirannya dipenuhi rasa malu yang sulit ia jelaskan. Di usia 35 tahun, ia adalah seorang dokter—seseorang yang seharusnya dipandang cerdas dan berpendidikan. Tetapi di hadapan pria tua di sebelahnya, ia merasa seperti anak kecil yang baru belajar tentang dunia.
“Kenapa diam aja, Mas? Mikirin apa?” suara Pak Wiryo membuyarkan lamunannya.
Bagas mengangkat kepala, lalu tersenyum kecil. “Nggak, Pak. Saya cuma… kagum aja sama Bapak. Nggak kaget, ya, Pak, kalau saya bilang saya lupa caranya sholat?”
Pak Wiryo terkekeh pelan. “Hmm… Semua orang punya kisahnya sendiri, Mas. Saya ini udah tua, udah ketemu banyak orang dengan jalan hidup yang berbeda-beda. Baik Mas Bagas atau saya, kita masing-masing punya jalan sendiri untuk memiliki kesempatan mendekat ke Sang Pencipta.”
Bagas menelan ludah, matanya kembali memandang ke depan dan menganggukkan kepalanya.
“Jadi, saya nggak mau ngehakimin Mas. Justru kalau Mas mau belajar lagi, saya malah seneng… Bisa aja, hidayah Mas lewat saya.”
Angin subuh berhembus lembut beserta alunan ayat-ayat suci membawa serta sesuatu yang hangat ke dalam hati Bagas. Kata-kata itu sederhana, tapi memiliki bobot yang begitu dalam. Tidak ada cemoohan, tidak ada tatapan menghakimi—hanya ketulusan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.
Saat gema adzan berkumandang, suara muadzin memenuhi setiap sudut masjid kecil itu, merayapi dinding-dinding putih yang sederhana. Bagas mengangkat kepalanya, mendengarkan dengan saksama. Tak lama, Pak Wiryo menepuk pundaknya pelan, memberi isyarat agar ia bersiap. Dengan sedikit ragu, Bagas berdiri mengikuti saf, berdampingan dengan pria yang bahkan belum lama ia kenal, tapi terasa lebih seperti sosok ayah dibandingkan ayah kandungnya sendiri.
Ketika takbir pertama dikumandangkan, Bagas mengangkat kedua tangannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia berdiri dalam sholat berjamaah, mengikuti setiap gerakan dengan hati-hati, mencermati setiap bacaan yang terdengar di sekelilingnya.
Saat rukuk, saat sujud, tubuhnya bergerak dalam harmoni bersama mereka yang lain. Ada rasa canggung, tapi juga rasa damai yang perlahan menyelinap di dalam dadanya.
Dalam sujud terakhir, Bagas memejamkan mata lebih lama dari seharusnya. Di dalam keheningan itu, ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun—sebuah ketenangan yang tak bisa ia jelaskan.
Mungkin… ini bukan sekadar tentang sholat.
Mungkin… ini adalah caranya menemukan kembali sesuatu yang hilang dalam dirinya.
:::::
Langkah kaki Pak Wiryo dan Bagas terdengar pelan di atas tanah yang masih sedikit lembap oleh embun pagi. Beberapa jamaah berjalan beriringan bersama mereka, dan Pak Wiryo dengan ramah mengenalkan Bagas sebagai dokter sukarelawan yang baru tiba di desa.
Bagas melangkah perlahan di samping Pak Wiryo, namun pikirannya jauh melayang. Sepanjang perjalanan kembali ke rumah, ia hampir tidak mendengar apa pun selain suara langkah kaki mereka. Udara dingin khas pegunungan Wonosobo menyelimuti desa, tapi ada sesuatu yang membuat dadanya terasa lebih sesak dibanding udara dingin yang menusuk.
Pak Wiryo sesekali melirik ke arahnya, menyadari perubahan sikap pria muda itu. Namun, Pak Wiryo telah menyadari perubahan itu sejak Bagas bertemu Laras semalam, pria jangkung itu mendadak lebih banyak diam.
“Mas Bagas, maafin sikap Laras semalam, ya…” ujar Pak Wiryo tiba-tiba, memecah keheningan.
Bagas sontak menoleh, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Saya belum pernah melihat Laras seketus itu, kecuali kepada orang-orang yang hendak melamarnya…” lanjut Pak Wiryo dengan tawa kecil yang terdengar ringan, seolah itu bukan sesuatu yang penting. “Hahaha, saya juga nggak tahu kenapa dia seperti itu…”
Namun, tawa Pak Wiryo seakan tak masuk ke telinga Bagas.
Melamar? Laras pernah dilamar?
Pertanyaan itu menghantam pikirannya dengan keras. Dadanya tiba-tiba terasa lebih sempit.
Berapa banyak pria yang datang melamarnya? Siapa saja mereka? Apakah Laras menyukai salah satu dari mereka? Apakah dia pernah hampir menerima seseorang?
Bagas menelan ludah, lalu dengan suara sedikit ragu ia bertanya, “Tidak apa-apa, Pak… Laras… pernah dilamar, Pak?”
Pak Wiryo tertawa lagi, kali ini lebih lepas. “Hahaha, iya… Sejujurnya, sudah banyak pria yang datang ke rumah untuk melamarnya, tapi tidak ada satu pun yang ia terima.”
Bagas mengerutkan kening, jantungnya berdegup lebih kencang. “Alasannya, Pak?”
Pak Wiryo menghela napas dan mengangkat bahu. “Kami juga tidak tahu, Mas. Laras selalu menolak tanpa alasan yang jelas. Kadang ia bilang belum siap, kadang hanya diam saja. Haduh… abangnya suka pusing kalau mikirin Laras yang belum mau menikah, padahal perempuan seusianya di desa ini sudah menikah dan punya anak.”
Bagas menunduk, mencoba mencerna kata-kata itu.
Satu sisi dalam hatinya merasa lega—Laras belum menikah, belum pernah menerima lamaran siapa pun. Tapi di sisi lain, ia bertanya-tanya. Kenapa? Apa yang membuat Laras menolak semua lamaran itu? Apakah ada seseorang di hatinya?
Saat mereka tiba di pekarangan rumah, mata Bagas langsung tertuju pada sosok yang tengah berdiri di dekat kandang ayam.
Laras—ia mengenakan jaket tipis berwarna krem, rambut pendeknya sedikit berantakan tertiup angin pagi. Di tangannya ada segenggam biji jagung yang ia taburkan ke tanah, membuat ayam-ayam yang masih mengantuk perlahan berkerumun di sekelilingnya.
Ia tampak begitu tenang, begitu akrab dengan suasana pagi yang masih sepi. Namun, saat Laras menoleh dan menyadari kehadiran mereka, ketenangan itu langsung pudar. Tatapannya berubah, terutama kepada Bagas.
“Ndok (Nak), udah bangun?”
“Udah, Pak. Habis sholat?” ucap Laras sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah ayahnya dan mencium tangannya—memberi salam kepada ayah tercintanya, namun masih menghiraukan Bagas.
Bagas berhenti di tempatnya, menatapnya dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi bahkan kata ‘selamat pagi’ terasa sulit untuk diucapkan. Bagas hanya bisa diam, menyaksikan bagaimana Laras berusaha seolah-olah ia tak pernah ada di sana. Sikapnya begitu tenang, tetapi justru itulah yang membuat dada Bagas terasa semakin sesak.
Pak Wiryo mengangguk kecil, tersenyum lembut pada putrinya. “Iya, baru pulang dari masjid bareng Mas Bagas.” jawabnya santai.
Laras mengangguk singkat, tidak sedikit pun melirik pria yang berdiri tak jauh dari mereka. Ia hanya kembali menaburkan butiran pakan ke tanah, memperhatikan ayam-ayamnya yang sibuk mematuk makanan dengan lahap.
Bagas menelan ludah, merasa canggung sekaligus terpukul dengan perlakuan Laras. Dulu, gadis itu selalu menyambutnya dengan senyuman, kini hanya ada dinding tinggi yang entah bagaimana bisa ia runtuhkan.
“Awan belum dateng, Ras?” tanya Pak Wiryo dengan santai.
Laras menggeleng kecil, masih menaburkan pakan di tanah. “Belum, Pak… Katanya dia mau dateng agak siangan.”
“Ya udah kalau begitu…” Pak Wiryo melirik Bagas sekilas, menyadari suasana yang kian dingin. Ia lantas menepuk bahu Laras dengan lembut. “Ras, nanti kalau ada waktu, ajak Mas Bagas lihat-lihat desa, ya. Biar dia nggak bingung pas mulai kerja. Apalagi, klinik kan cukup deket sama sawah-sawah, takutnya kesasar.”
Laras terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Iya, Pak.”
Bagas menatap Laras lekat, memperhatikan pujaan hatinya dalam diam. Namun, Laras tetap tidak menoleh ke arahnya, hanya melanjutkan pekerjaannya seolah tak pernah ada Bagas yang berdiri di sana.
Bagas menghela napas, menyadari bahwa tidak ada gunanya berdiri lebih lama di sana. Ia menundukkan kepala sedikit ke arah Pak Wiryo sebagai tanda hormat.
“Pak Wiryo, kalau begitu... saya masuk duluan, ya, Pak.” ucapnya sopan, suaranya terdengar lelah.
Pak Wiryo mengangguk ramah. “Oh, iya... Mas Bagas istirahat dulu aja. Semalam habis nggak bisa tidur, soalnya. Nanti sekitar jam tujuh, kita sarapan bareng, ya.”
Bagas tersenyum tipis, meskipun terasa dipaksakan. “Baik, Pak... Saya permisi.”
Dengan langkah pelan, Bagas berjalan menuju rumah, meninggalkan ayah dan anak itu di pekarangan. Laras masih berpura-pura sibuk dengan ayam-ayamnya, tapi begitu Bagas menghilang di balik pintu, tanpa sadar ia sedikit menengok ke arah kepergian pria itu. Hanya sebentar, hanya sekilas. Namun, momen itu tak luput dari perhatian Pak Wiryo.
Pria paruh baya itu menghela napas, lalu melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap putrinya dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kamu tuh kenapa sih, Ras?” suaranya terdengar lebih lembut daripada nada menegur, tapi cukup tegas untuk membuat Laras berhenti sejenak.
Laras mengangkat alis, berpura-pura tak mengerti. “Aku… kenapa, Pak?” tanyanya, pura-pura sibuk menaburkan sisa pakan di tangannya, seolah ayam-ayam di sekitarnya jauh lebih menarik daripada pembicaraan ini.
Pak Wiryo mendengus pelan, tahu betul bahwa anaknya sedang mengelak. Ia menyandarkan satu tangan di pinggang, menatap Laras yang masih enggan menoleh ke arahnya.
“Loh, itu… semalam Mas Bagas kamu gituin sampe nggak bisa tidur. Kalau ada orang yang mau berkenalan lagi sama kamu, disapa, disambut, minimal dibalas, Ras. Jangan didiemin gitu, kamu kan bukan anak kecil lagi.” tegurnya, suaranya terdengar lembut tapi tegas.
Laras tetap diam. Jemarinya mencengkeram wadah pakan lebih erat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak tahu harus merasa bagaimana.
Pak Wiryo menatap putrinya dengan sorot yang sulit diterjemahkan. “Dia mau bantu di sini, mau jadi dokter buat warga desa. Masa nggak bisa disikapi dengan baik?”
Laras akhirnya berhenti menaburkan pakan. Ia menghela napas pelan, masih tidak menoleh ke ayahnya, tapi suaranya terdengar lebih pelan ketika akhirnya ia menjawab, “Aku tahu, Pak…”
Pak Wiryo menghela napas lebih panjang kali ini. Ia menepuk bahu Laras dengan lembut, memberi sedikit kehangatan yang mungkin bisa menembus kebekuan di hati putrinya. “Ya sudah, kalau begitu Bapak masuk dulu, ya…”
“Iya, Pak…”
Laras memperhatikan kepergian ayahnya sebelum akhirnya mengalihkan perhatian ke pekerjaannya yang lain. Setelah memastikan ayam-ayamnya sudah kenyang, ia berjalan ke samping rumah, menuju kebun kecil milik keluarganya. Sepasang sepatu boot yang ia kenakan sedikit tenggelam di tanah yang masih lembab oleh embun pagi.
Matahari mulai muncul dari balik bukit, cahayanya menembus sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak pelan di tanah. Laras meraih selang panjang dengan semprotan di ujungnya yang tergantung di tiang kecil dekat rumah kebun—tempat di mana tanaman seperti buah beri, brokoli, dan kol tumbuh subur, terlindung dari paparan sinar matahari yang terlalu terik. Dengan gerakan hati-hati, ia mulai menyiram tanaman-tanaman itu, memastikan setiap akar mendapat cukup air. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi dedaunan yang segar membuat suasana paginya semakin tenang.
Meskipun keluarganya memiliki lahan perkebunan yang lebih luas dan para pekerja yang bertugas untuk merawatnya, kebun kecil ini selalu menjadi tanggung jawab Laras atau anggota keluarga lainnya. Berbagai sayur-mayur yang tumbuh di sini, dari kangkung, bayam, cabai, tomat, serta beberapa rempah seperti jahe dan kunyit—semuanya ditanam untuk konsumsi sendiri. Begitu pun dengan ayam dan sapi yang mereka pelihara di perkarangan rumah; telur, daging dan susunya bukan untuk dijual, melainkan untuk kebutuhan keluarga.
Di kejauhan, samar-samar terdengar suara sapi melenguh, embikan kambing dan ayam yang mulai berkokok dari kandang-kandang milik warga lain. Begitulah kehidupan di desa Tegalrejo—suara alam dan hewan ternak seolah menjadi nyanyian latar setiap hari.
Mayoritas warga desa ini memang bekerja sebagai petani dan peternak. Berada di dataran tinggi wilayah Wonosobo, tanah di sini subur dan udara sejuk sepanjang tahun, bahkan sayur-mayur yang ditanam di desa ini terkenal akan kualitasnya. Tanah yang subur dan udara yang sejuk membuat hasil panennya melimpah, membuat hasil panen sering kali dijual ke kota-kota besar dengan harga yang cukup tinggi. Beberapa pedagang dari luar daerah bahkan rutin datang setiap musim panen untuk membeli hasil pertanian langsung dari petani. Tidak hanya sayuran, buah-buahan seperti jeruk, alpukat, ciraca dan stroberi juga tumbuh subur di sekitar desa, menambah keberagaman hasil tani yang mereka hasilkan.
Meskipun Tegalrejo bukan desa yang besar, kehidupan di sini begitu erat dengan nilai kebersamaan. Warga selalu bekerja sama dan bergotong royong demi kenyamanan dan kesejahteraan bersama. Jika ada rumah yang perlu diperbaiki, para tetangga akan datang membantu. Jika ada panen besar, mereka akan saling membantu memetik hasil bumi dan mengadakan sedekah bumi untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan.
Kemandirian juga menjadi salah satu kebanggaan mereka. Dengan hasil pertanian dan peternakan yang terus berjalan dan berkembang, warga desa berhasil mencukupi kebutuhan mereka sendiri tanpa terlalu bergantung pada bantuan luar. Beberapa dari mereka bahkan mulai mengembangkan usaha kecil seperti produksi susu sapi murni, olahan keripik, manisan buah atau madu alami dari peternakan lebah—semua itu menjadikan desa Tegalrejo menjadi desa yang mandiri dan terus bertumbuh tanpa kehilangan akar tradisinya.
Keluarga Laras merupakan salah satu keluarga yang paling dihormati di desa Tegalrejo. Bukan hanya karena mereka berasal dari keturunan kepala desa, tetapi juga karena pengaruh besar yang leluhur mereka berikan dalam membangun kesejahteraan desa. Konon, kejayaan Tegalrejo dalam bidang pertanian dan peternakan tidak terlepas dari kegigihan dan kerja keras leluhur keluarga ini, yang dahulu mengajak serta membimbing warga untuk mulai bertani dan beternak. Dari awal yang sederhana—hanya mengandalkan hasil bumi dan ternak dalam jumlah kecil—perlahan desa ini tumbuh menjadi daerah yang makmur dan mandiri. Oleh karena itu, tak heran jika kepala keluarga dari garis keturunan ini sering kali dipercaya untuk menjadi pemimpin desa.
Saat ini, kehormatan itu diteruskan oleh Pak Wiryo, kepala desa yang tengah menjabat. Sosoknya dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana, selalu siap membantu warga yang mengalami kesulitan. Ia tidak hanya sekadar menjalankan tugas administratif, tetapi juga turun langsung ke lapangan, memastikan setiap warga mendapat haknya. Salah satu kebiasaannya yang paling dihormati adalah mengajak masyarakat untuk berbagi hasil panen dengan warga yang kurang mampu. Baginya, keberkahan sebuah desa terletak pada kesejahteraan seluruh penghuninya, bukan hanya segelintir orang.
Sementara itu, mendiang istrinya, Ibu Ayu, dikenang sebagai bidan yang penuh dedikasi. Meskipun berasal dari keluarga miskin dan hanya bersekolah di akademi kebidanan umum, tetapi pengabdiannya pada desa tidak pernah terbatas oleh keterbatasan itu. Dengan ketulusan dan kasih sayang, ia membantu para ibu hamil, memastikan mereka mendapatkan perawatan yang baik, serta mendampingi tumbuh kembang anak-anak di desa. Baginya, setiap nyawa yang lahir adalah harapan baru bagi Tegalrejo. Sosoknya selama mengabdi tidak pernah meminta bayaran untuk jasanya, membuat warga sangat menghormatinya dan selalu mengenang pengorbanannya.
Nilai-nilai kebaikan yang mereka tanamkan juga diwariskan kepada kedua anaknya, Surya dan Laras. Sejak kecil, mereka diajarkan untuk selalu bersikap adil dan membantu sesama. Surya, sebagai anak sulung, memahami betul pentingnya keadilan dalam ekonomi desa. Ia bekerja keras membangun dan mengelola koperasi desa agar para petani dan peternak dapat menjual hasil mereka dengan harga yang layak. Dengan adanya koperasi, warga tidak perlu lagi takut dirugikan oleh tengkulak atau oknum yang ingin mengambil keuntungan sepihak. Koperasi ini menjadi jantung ekonomi desa, menghubungkan mereka langsung dengan pembeli besar tanpa melalui perantara yang merugikan.
Sementara itu, Laras—gadis yang dikenal akan kecantikan dan kecerdasannya, memilih jalan berbeda dari kakak laki-lakinya. Ia mengabdikan dirinya sebagai dokter hewan setelah lulus dari perguruan tinggi, membantu peternak yang kesulitan merawat dan mengobati hewan ternak mereka. Hingga kini, dokter hewan yang mau terjun langsung ke desa-desa masih sangat minim. Banyak yang lebih memilih bekerja di kota atau klinik hewan peliharaan, karena pekerjaan merawat ternak sering dianggap kurang bergengsi dan berpenghasilan rendah. Namun, Laras tidak peduli. Baginya, membantu peternak dan memastikan hewan-hewan mereka tetap sehat adalah kebahagiaan untuknya.
Laras yang begitu menyayangi mendiang ibunya, membuatnya mengikuti langkah ibunya. Laras tidak mempermasalahkan soal uang, bahkan ia sering tidak menerima bayaran dalam bentuk uang dan tidak mempermasalahkan itu, namun warga desa tetap berusaha membalas jasanya. Mereka kerap membayar dengan hasil panen—susu sapi segar, telur ayam, atau bahkan daging ternak. Berkat dedikasinya, ia tidak hanya dikenal di Tegalrejo, tetapi juga di desa-desa sekitarnya. Banyak peternak dari desa lain datang atau memanggilnya untuk memeriksa hewan ternak mereka. Dalam setiap langkahnya, Laras merasa bahagia karena ia tahu bahwa pekerjaannya memiliki arti besar bagi kehidupan banyak orang.
Keluarga ini bukan hanya simbol kehormatan bagi desa, tetapi juga bukti bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa tinggi pendidikannya atau seberapa banyak kekayaannya, yang lebih penting adalah seberapa besar mereka mau berjuang dan berbagi demi kesejahteraan bersama.
Selama menyiram, Laras sesekali mengangkat satu dua daun untuk memastikan tidak ada hama yang bersembunyi di sana. Laras tersenyum manis sambil menatap deretan tanaman hijau yang tumbuh subur di hadapannya, ia selalu merasa tenang saat menghabiskan waktu di kebun ini. Namun, di balik ketenangan itu, pikirannya tak bisa lepas dari sosok yang terus mengganggu pikirannya—Bagas.
Ya, Bagas. Sudah seminggu lamanya—sejak ia melihat nama di balik kertas berkas-berkas sukarelawan yang akan datang ke desanya, nama itu terus terngiang di kepalanya.
Laras menghela napas, menggenggam erat pegangan selangnya. Hatinya masih terlalu keras untuk menerima keberadaan pria itu kembali, tapi di sudut hatinya yang lain… ada sesuatu yang masih tertinggal. Sosok yang selama ini ia coba lupakan, tetapi pelariannya malah mengantarkan sosok itu kembali padanya.
“Setelah sekian lama… kenapa harus bertemu lagi?” gumamnya dengan pelan. Tatapannya kosong, tertuju pada tanah di bawahnya, namun pikirannya berkelana jauh.
Ada rindu yang merayap dalam setiap hembusan napasnya, tetapi ada luka yang lebih besar dan mengakar di dalam dirinya. Tangannya bergerak kasar, menyibak anak-anak rambut yang menempel di pelipisnya. Aku tidak boleh seperti ini, pikirnya.
Laras akhirnya memilih untuk tidak terus larut dalam masa lalunya dan kembali ke rumah untuk sarapan dan bersiap-siap pergi bekerja. Dengan cepat, Laras merapikan pekerjaannya, merapikan selang yang menjuntai di tanah. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat melihat sosok itu—Bagas—berdiri tak jauh darinya.
Laras menelan ludah. Tubuhnya menegang. Pria itu menatapnya, seperti ingin mendekat, tapi menahan diri. Tak seperti yang ia kenal sebelumnya, Bagas tampak ragu. Ada sesuatu di sorot matanya yang sulit Laras artikan. Laras membalas tatapannya dengan dingin, meski di dalam hatinya, pertahanan yang ia bangun terasa rapuh.
Dengan langkah pelan, Laras mulai berjalan ke arahnya. Semakin dekat, semakin ia merasakan sesak yang menekan dadanya. Bagas masih menatap Laras, seolah mencoba mencari sesuatu di matanya. Sesuatu yang dulu pernah ada di antara mereka.
“Kenapa? Ada yang aneh?” suaranya keluar lebih tajam dari yang ia harapkan.
Bagas tampak terkejut. Seketika, ia mengerjapkan mata, seperti tak menyangka Laras akhirnya membuka suara padanya.
“Nggak, Ras… Mbak Sari nyuruh aku manggil kamu buat sarapan…” jawabnya, sedikit canggung.
Laras diam sejenak. Tidak ada reaksi, tidak ada senyuman, tidak ada kemarahan yang jelas. Hanya tatapan kosong yang ia tujukan kepada pria di hadapannya. Kemudian, tanpa berkata apa pun dan berjalan pergi.
Namun sebelum ia benar-benar menjauh, suara Bagas kembali terdengar.
“Maafin aku soal tadi pagi, Ras… Aku nggak bermaksud ganggu kamu.”
Langkah Laras sempat terhenti. Hanya sesaat, hanya sedetik. Namun cukup bagi Bagas untuk menyadarinya.
Laras menoleh sedikit, memberikan tatapan yang tajam namun penuh pertanyaan. Seakan menunggu Bagas mengatakan sesuatu yang lebih, seakan menunggu alasan mengapa pria itu tiba-tiba muncul kembali dalam hidupnya.
Namun Bagas hanya diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Laras mendesah pelan, lalu tanpa kata, ia kembali melangkah. Dan Bagas, tetap berdiri di tempatnya, menatap kepergian Laras dengan perasaan yang masih berat tertahan di dadanya.
:::::
Sambil menunggu kesempatan untuk berpamitan, Laras sempat memperhatikan jalannya penyuluhan dari kejauhan. Sejumlah ibu muda duduk bersila di atas tikar yang digelar di halaman balai desa, sebagian besar dengan bayi atau balita di pangkuan mereka, sementara beberapa anak yang lebih besar berlarian di sekitar, sesekali mendekati ibu mereka sebelum kembali bermain sarana bermain dengan teman-temannya.
Tak jauh dari tempatnya, Bagas berdiri di antara para tenaga medis yang datang dari poliklinik setempat untuk mempersiapkan pemberian imunisasi anak. Laras mencoba mengabaikan keberadaan Bagas, tetapi perhatiannya terus saja tertarik ke sudut ruangan, tempat pria itu berdiri. Terlihat berbeda jauh dari ingatannya tentang Bagas yang dulu—tidak ada lagi sosok pemuda yang sembrono dan sering bercanda tanpa beban. Yang Laras lihat sekarang adalah seorang dokter yang sibuk memeriksa berkas, berdiskusi dengan staf poliklinik, dan sesekali tersenyum kecil menebarkan pesonanya di hari pertamanya bertugas.
Laras menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan aneh yang muncul di hatinya. Dulu, Bagas yang ia tahu tidak pernah menaruh minat di bidang kedokteran, tetapi kini ia benar-benar melihatnya berdiri di sini… di desanya dengan mengenakan jas putih yang membalut tubuhnya tampak begitu cocok, menjalani profesinya dengan begitu serius.
Sebuah tawa kecil dari Cantika membuyarkan lamunannya. Laras cepat-cepat mengalihkan perhatian, memaksa dirinya untuk fokus pada penyuluhan.
Di depan para ibu, Cantika—dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang menjadi relawan di Tegalrejo sengaja diundang untuk memberikan edukasi—tengah menjelaskan pentingnya ASI eksklusif dan imunisasi. Cara bicaranya tenang namun tegas, dan ia dengan sabar menjawab setiap pertanyaan yang diajukan.
“Jadi, kalau bayinya terus menangis saat menyusu, bukan berarti ASI-nya kurang atau bahkan tidak ada. Bisa jadi posisi menyusui yang tidak tepat, atau ada masalah lain seperti tongue-tie... di mana ada jaringan tipis yang menjadi penghubung lidah ke dasar mulut itu terlalu pendek, jadi gerakan lidah terbatas.” ujar Cantika menggunakan jawa kentalnya seraya memperagakan posisi menyusui yang benar menggunakan boneka bayi.
Tatapannya kembali tertuju pada Cantika, yang masih sibuk menjawab pertanyaan warga dengan sabar. Penyuluhan seperti ini memang penting menurutnya, dan kehadiran dokter seperti Cantika menjadi harapan besar bagi desa. Laras menarik napas dalam, seketika pikirannya melayang pada sosok ibunya.
Almarhumah Ibu Ayu semasa hidupnya begitu peduli terhadap kesehatan ibu dan anak di desa ini. Laras sering melihat ibunya bekerja tanpa kenal lelah—bangun di tengah malam untuk membantu persalinan, berjalan jauh ke rumah warga untuk memeriksa ibu-ibu yang tak bisa datang ke klinik, dan dengan sabar menjelaskan pentingnya ASI serta imunisasi kepada para ibu muda yang masih ragu-ragu.
Kini, Laras merasa harus meneruskan perjuangan ibunya dengan caranya sendiri, tepat setelah Ibu Laras meninggal dunia karena kanker payudara. Meskipun bidangnya berbeda, ia tetap ingin memastikan bahwa kesehatan warga desa tetap terjaga. Maka dari itu, ia kerap mengajukan permohonan kepada dinas kesehatan setempat maupun lembaga sosial agar mengirimkan relawan dokter spesialis obstetri dan ginekologi ke desanya. Ia ingin para ibu di sini memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk merawat dan membesarkan anak mereka dengan baik, tanpa harus terus-menerus bergantung pada warisan mitos atau kebiasaan lama yang belum tentu benar dan tepat.
Ia tahu bahwa ibunya pasti akan bangga melihat bagaimana desa ini terus berkembang dan semakin peduli terhadap kesehatan ibu dan anak. Namun, ia juga sadar bahwa ada tanggung jawab lain yang menunggunya. Hari ini, ia harus memeriksa beberapa ternak yang sakit di desa sebelah, dan waktu tidak berpihak padanya.
Maka, dengan langkah ringan, Laras mendekati ayahnya yang tengah berbincang dengan salah satu anggota DPRD setempat. “Pak, Laras pamit dulu, ya. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan…” ujarnya dengan sopan.
Pak Wiryo menoleh, menatap putrinya sejenak sebelum mengangguk. “Oh, iya, Ras. Hati-hati di jalan, ya. Kalau butuh bantuan, suruh Awan atau siapa saja nemenin.”
Laras tersenyum tipis. “Iya, Pak. Nggak apa-apa, kok. Laras bawa sepeda.”
Ia juga menyempatkan diri berpamitan pada panitia penyelenggara dan Cantika, yang sempat menoleh dan tersenyum sebelum kembali fokus pada penjelasannya.
Begitu urusan selesai, Laras melangkah meninggalkan balai desa. Meski pikirannya sempat terbagi antara penyuluhan yang berlangsung dan tugasnya sebagai dokter hewan, langkahnya tetap tegap. Ia tahu di mana hatinya berada—di antara ladang, peternakan, dan tanggung jawab yang telah ia pilih sejak lama.
Laras mengayuh sepedanya dengan damai, membiarkan angin pagi membelai wajahnya saat ia menyusuri jalan setapak menuju desa. Jalanan aspal yang cukup halus di depannya adalah hasil upaya pemerintah daerah yang akhirnya memperhatikan akses infrastruktur desa mereka. Beberapa tahun lalu, jalan ini penuh dengan lubang dan bebatuan yang menyulitkan kendaraan lewat, tetapi kini jauh lebih baik dan memudahkan mobilitas warga.
Sepanjang perjalanan, Laras tersenyum menyapa beberapa warga yang ia temui. Beberapa dari mereka sudah siap dengan cangkul dan keranjang besar, bersiap menuju ladang atau kebun mereka. Wajah-wajah ramah itu membalas sapaannya dengan hangat, ada yang bertanya singkat tentang kesehatannya, ada yang mengingatkan agar ia tidak bekerja terlalu keras. Laras hanya tertawa kecil, menyadari betapa masyarakat desa selalu saling peduli satu sama lain.
Di tengah kesibukannya sebagai dokter hewan, hari ini terasa sedikit lebih ringan bagi Laras berkat kehadiran dua rekan barunya, Baskara dan Laila. Sejak mereka datang membantu, beban pekerjaan Laras berkurang cukup signifikan. Baskara saat ini sedang bertugas memantau rumah jagal hewan seharian, memastikan setiap proses pemotongan hewan dilakukan dengan benar—bukan hanya dari segi kesehatan hewan, tetapi juga sesuai dengan syariat Islam. Ia bertanggung jawab untuk menjamin bahwa daging yang beredar di pasaran tetap berkualitas baik dan aman dikonsumsi oleh siapapun.
Sementara itu, Laila kini berada di klinik kecil mereka dan berjaga di sana, sekarang ia tengah melakukan sterilisasi pada tiga kucing liar yang mereka temui di sekitar kebun warga. Kucing-kucing liar di desa ini memang sering berkembang biak dengan cepat, dan sterilisasi adalah salah satu upaya yang rutin Laras lakukan untuk mengendalikan populasi mereka dan menghindari adanya konflik dengan warga yang terganggu oleh hewan liar, sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidup kucing-kucing tersebut.
Hari ini, Laras akan mengunjungi tiga peternakan dengan kasus yang berbeda-beda. Di satu peternakan, ada dua ekor kambing yang mengalami scabies, penyakit kulit yang cukup umum namun bisa sangat mengganggu jika tidak segera ditangani. Di peternakan lain, seekor sapi mengalami gangguan pencernaan, sesuatu yang kerap terjadi akibat perubahan pola makan mendadak. Dan yang terakhir, di sebuah peternakan kecil milik keluarga muda, ada anak kambing yang mengalami diare berdarah—kasus yang cukup serius dan membutuhkan penanganan segera.
Setelah beberapa lama mengayuh sepedanya, Laras tiba di kandang setelah beberapa hari memberikan instruksi kepada pemilik kambing. Ia segera mengeluarkan peralatannya di keranjang sepeda dan memasuki kandang kambing yang sakit bersama peternak yang memilikinya. Laras tersenyum melihat kondisi kulit kedua kambing yang sebelumnya penuh luka dan gatal-gatal masih sering menggosokkan tubuhnya ke dinding kandang, kini kulitnya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan—luka mengering dan tidak terlalu banyak kerak dan bersisik dibandingkan sebelumnya.
Laras mengenakan sarung tangan sebelum mendekati kambing tersebut. Dengan lembut, ia memeriksa bagian tubuh yang terkena scabies, terutama di sekitar telinga, pangkal kaki, dan perut. Ia lalu berbicara kepada pemiliknya, memastikan bahwa masing-masing kambing sudah dimandikan dengan larutan antiparasit seperti yang ia sarankan.
“Saya akan memberikan obatnya lagi, ya, Pak.” ujar Laras sambil membuka wadah kecil berisi salep berbasis sulfur dan antiparasit. Dengan hati-hati dan perlahan, ia mengoleskan salep ke bagian kulit yang masih tampak terinfeksi, terutama di area yang masih ada bekas luka dan kerak.
Setelah selesai mengoleskan salep ke bagian kulit kambing yang masih terinfeksi, Laras menutup wadahnya dan menghela napas pelan. Ia menatap pemilik kambing dengan sedikit rasa bersalah. “Maaf, Pak. Saya belum bisa meninggalkan salep untuk Bapak karena stoknya terbatas. Saya juga belum tahu kapan bisa ke kota lagi untuk meracik yang baru…” ujarnya dengan nada menyesal.
Peternak itu mengangguk memahami. “Gapapa, Ras. Yang penting kambing saya sudah diobati. Saya bakal tetap mandiin pakai sabun obat yang kemarin Dokter Laras kasih.”
Selain obat luar, Laras juga menyiapkan suntikan cairan—obat antiparasit yang bekerja dari dalam untuk membasmi tungau penyebab scabies. Ia membersihkan area di sekitar leher kambing dengan alkohol, lalu menyuntikkan obat dengan tenang.
“Suntikan ini membantu membunuh tungau yang masih ada di dalam tubuhnya. Nanti, satu minggu lagi kita bisa berikan dosis lanjutan kalau diperlukan.” katanya sambil menenangkan kambing yang sempat menggeliat.
Setelah selesai, ia berkeliling kandang, memastikan kebersihannya. Ia memperingatkan pemiliknya untuk terus mengganti alas kandang, juga mengganti pakan dan minum secara rutin agar tungau tidak kembali.
“Kalau sudah begini, tinggal dipantau saja. Jangan lupa, kalau ada kambing lain yang menunjukkan tanda-tanda gatal atau luka seperti ini, segera pisahkan supaya tidak menular.” kata Laras sambil merapikan peralatannya.
Ia menyentuh kepala kambing dengan lembut sebelum beranjak pergi. “Kalau ada apa-apa, misalnya lukanya makin parah atau kambingnya jadi makin lemas, langsung hubungi saya ya, Pak. Jangan tunggu sampai kondisinya memburuk… nanti saya yang panik. Kalau tidak ada kendala, dalam dua minggu lagi harusnya dia sudah jauh lebih baik.” katanya dengan senyum kecil.
“Siap, Dokter Laras. Saya langsung saya kabari…” jawab peternak itu mantap. “Kamu mau makan dulu nggak? Si ibu masak soto babat.”
“Hmm… sepertinya Laras mau langsung jalan aja, Pak… kasian sapinya Pak Sandi lagi mogok makan, jadi saya mau langsung ke sana, hehehe. Terima kasih banyak, ya, Pak Agung…” ucap Laras dengan perasaan yang tidak enak karena menolak tawaran tersebut, namun ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya.
:::::
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, namun Laras masih harus mengayuh sepedanya ke peternakan terakhir—mengabaikan rasa lelahnya yang mulai terasa.
Laras berjongkok di depan kandang, matanya menelisik anak kambing yang terbaring lemas di sudut kandang. Tubuhnya sedikit gemetar, bulunya tampak kusam, dan di sekitar ekornya terdapat noda darah bercampur feses.
Ia menarik napas dalam, lalu menoleh ke pemiliknya. “Sejak kapan diare berdarah ini mulai, Pak?”
“Dua hari lalu, Dok. Awalnya cuma diare biasa, tapi tadi pagi kok ada darahnya, saya jadi panik…” jawab peternak itu, wajahnya penuh kekhawatiran.
Laras mengangguk. Pemilik peternakan ini memang belum lama menjalani usaha ini, wajar jika ada sesuatu yang aneh pada hewan ternak membuat mereka panik. Ia sudah menduga ini bisa jadi koksidiosis, apalagi anak kambing ini baru saja menerima vaksinasi pertamanya. Stres akibat vaksinasi, perubahan cuaca dan lingkungan, atau kandang yang lembap bisa memicu infeksi parasit di saluran pencernaan.
Ia meraih kotak obatnya dan mengeluarkan suntikan berisi larutan sulfa untuk mengatasi infeksi protozoa. Setelah memastikan dosisnya sesuai, ia menyuntikkan obat tersebut ke otot paha belakang anak kambing.
“Saya kasih obat ini dulu, untuk mengatasi infeksi di ususnya. Tapi Bapak juga harus segera membersihkan kandang ini sesering mungkin, terutama area yang lembap dan kotor, supaya tidak menyebar ke yang lain.”
Pemilik kambing mengangguk cepat. “Siap, Dok. Jadi ini bisa menular ya?”
"Bisa banget, Pak. Makanya, jangan sampai ada kambing lain yang menjilat kotorannya atau minum dari tempat air yang tercemar."
Laras kemudian mengambil larutan elektrolit dari kotaknya. “Ini... Saya juga kasih larutan elektrolit supaya anak kambingnya tidak dehidrasi. Tolong diminumkan pakai botol dot atau spuit setiap beberapa jam, ya, Pak.”
Pemilik kambing menerima botol itu dengan hati-hati.
Sebelum beranjak pergi, Laras kembali mengingatkan, “Kalau dalam sehari tidak ada perubahan atau malah makin parah, segera kabari saya. Kita lihat nanti apakah perlu tindakan lanjutan, semoga tidak, ya…”
Peternak itu mengangguk penuh harap. “Terima kasih, Dok. Mudah-mudahan dia cepat sembuh.”
Laras hendak beranjak, tetapi suara ragu-ragu menahannya. “Hmmm… tapi, Dok… untuk pembayarannya bagaimana, ya? Sebetulnya, kami belum mendapatkan hasil apa-apa dari peternakan ini, hanya mengandalkan menjual sayur-sayuran di pasar.”
Laras tersenyum menenangkan, sambil membawa peralatannya untuk menyimpannya kembali ke keranjang sepedanya, ia berkata, “Nanti saja, ya, Pak. Saya hanya ingin dibayar setelah hewan-hewan yang saya rawat sembuh, dan Bapak bisa membayar saya dengan apapun, bahkan dengan satu buah tauge pun saya terima.”
Peternak itu tertawa kecil, wajahnya sedikit lebih lega. "Terima kasih banyak, Dok. Saya tidak akan lupa kebaikan ini."
Laras hanya mengangguk, lalu melangkah pergi, menyimpan peralatannya di keranjang sepeda. Dengan gerakan ringan, ia mengayuh pedal, meninggalkan peternakan kecil itu. Angin sepoi-sepoi menyambutnya di jalanan desa yang berbukit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mengering di tepi jalan.
Jalanan tanah yang ia lalui berliku-liku, menanjak dan menurun di antara ladang-ladang yang terbentang luas. Desanya berada di wilayah Dieng, yang terkenal dengan julukan desa di atas awan, pemandangan di sekitarnya sangatlah indah. Hamparan sawah hijau berundak-undak membentang sejauh mata memandang, seolah tangga-tangga alami yang membawa pandangan menuju langit. Di beberapa sudut, pohon-pohon buah carica milik warga Tegalrejo yang tumbuh subur dan wangi.
Laras menghentikan sepedanya di depan mushola kecil yang teduh di pinggir jalan. Bangunannya sederhana, berdinding kayu dan beratap seng yang sedikit berkarat, tapi bersih dan terawat. Ia turun dari sepeda, menuntunnya ke sisi bangunan, lalu mencuci tangan dan kakinya dengan air dari gentong besar di samping mushola. Air dingin yang berasal dari gunung terasa sangat menyegarkan, membuat rasa lelahnya sedikit luruh. Laras melangkah masuk, menghamparkan sajadah dan memakai mukena yang selalu ia bawa, lalu mulai beribadah dengan tenang.
Setelah selesai, ia duduk bersandar di salah satu pilar kayu mushola, membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak sambil menunggu waktu sholat berikutnya. Dari celah dinding yang terbuka, ia bisa melihat hamparan sawah yang berundak-undak, diterangi sinar matahari sore yang mulai meredup. Angin sepoi-sepoi berembus lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan basah, berpadu dengan suara cicitan burung yang kembali ke sarangnya.
Lamunannya membawanya pada Bagas.
Apakah pria itu baik-baik saja? Bagas yang dulu dikenalnya tumbuh di keluarga kaya raya, terbiasa dengan segala sesuatu yang sudah tersedia tanpa perlu bersusah payah. Namun, saat bersamanya, Bagas belajar mandiri, rela berhenti melakukan hal-hal yang merugikan dirinya—merokok, mabuk-mabukkan, dugem dan seks bebas untuk mendapatkan hati Laras yang menurutnya begitu suci—Bagas benar-benar belajar bagaimana cara menjadi pribadi yang lebih baik supaya Laras mau menerimanya.
Bersama Bagas, mereka pernah melewati hari-hari yang penuh canda dan tawa dan perdebatan kecil selama hampir 1 tahun. Rasanya… tak ada kenangan yang tak berharga ketika mereka bersama. Namun, setelah kejadian itu… kejadian yang ia tidak ingin lagi mengingatnya, Laras memilih untuk pergi. Ia menutup semua pintu yang bisa membawa Bagas kembali ke dalam hidupnya.
Laras tidak ingin lagi tahu kabarnya, tidak ingin mendengar cerita tentangnya.
Tapi tetap saja, di momen-momen seperti ini, ketika angin sore membelai lembut dan kesunyian memberikan ruang bagi kenangan terindah bagi dirinya untuk menyelinap masuk, ia tidak bisa menghindari pertanyaan yang terus terucap oleh hatinya itu.
Apa Bagas benar-benar tidak tahu alasan mengapa ia melakukan semua ini? Apa pria itu juga terluka seperti dirinya? Apa Bagas pernah mengingatnya—meskipun hanya sekejap, di antara kesibukan dan langkah-langkah hidupnya yang terus bergerak maju?
Karena… Laras terus mengingat sosoknya. Di setiap langkah yang ia ambil, di setiap sudut desa yang ia lewati, di setiap hembusan angin yang menyentuh kulitnya—Laras terus mengingat Bagas.
“Aku mau kita putus.”
Bagas terdiam. Laras menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca, terlalu datar untuk seseorang yang baru saja mengatakan sesuatu yang begitu menghancurkan.
“Aku mau fokus sama kuliahku. Aku punya banyak tanggung jawab di sini, jadi aku tidak bisa terus bersamamu.” Suaranya terdengar mantap, seolah keputusan itu sudah lama bulat dalam hatinya.
Bagas mengerutkan kening, hatinya mulai dipenuhi kegelisahan. “Sebentar…” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Kenapa tiba-tiba putus? Ada apa?”
Ia pikir Laras mengajaknya bertemu karena rindu. Karena mungkin, setelah seminggu penuh Laras menghindarinya, gadis itu akhirnya ingin berbicara baik-baik, ingin kembali seperti biasa. Bagas sudah sangat menunggu saat ini—berharap Laras akan tersenyum lagi padanya seperti dulu. Tapi kenyataannya malah sebaliknya.
“Nggak, Bagas… Aku nggak kenapa-kenapa.” Laras tersenyum tipis, tapi Bagas bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda di baliknya. “Kenapa kamu nggak tanya ke diri kamu sendiri aja? Kamu baik-baik saja sama hubungan kita?”
Bagas semakin tidak mengerti. “Ras… Aku nggak paham maksud kamu. Aku nggak mau putus sebelum kamu jelasin ke aku ada apa…”
Laras menatapnya sesaat, lalu menghela napas panjang. Angin sore menyapu rambut ikalnya yang sedikit berantakan. “Kenapa? Lagipula, aku yakin kamu akan baik-baik saja setelah kita berpisah. Kamu tahu… kamu memiliki segalanya dan bisa melakukan apapun yang kamu mau, aku tidak ingin melarangmu lagi. Kita sudah dewasa, Bagas… mungkin 10 tahun lagi, aku sibuk dengan hewan ternak yang bau dan kotor, sedangkan kamu akan terlibat dengan manusia yang memerlukan pengobatanmu. Kita tetap bisa hidup tanpa satu sama lain, iya, kan?”
Bagas menelan ludah. Kata-kata itu menusuknya dengan cara yang aneh. Seolah Laras sedang mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum ia ungkapkan.
Laras harus ke lab, itu yang ia katakan. Ia tidak memberi ruang bagi Bagas untuk bertanya lebih jauh, untuk memohon penjelasan, untuk mencari celah agar bisa memperbaiki segalanya.
Bagas ingin menahan Laras, ingin memaksanya tetap di sana sampai ia benar-benar mengerti apa yang terjadi. Namun, Laras hanya menatapnya sebentar, lalu berbalik pergi.
Bagas berdiri terpaku di tempatnya. Perasaan kosong mulai merayapi dadanya, sesuatu yang lebih dari sekadar kehilangan—tapi juga kebingungan, penyesalan, dan ketakutan.
Dan Laras tidak menoleh ke belakang.
Yang tidak Bagas ketahui, Laras sudah lebih dulu hancur bahkan sebelum ia mengucapkan kata-kata perpisahan itu.
Ia menghilang selama seminggu bukan tanpa alasan.
Laras menyaksikan semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Malam itu, saat ia datang membawa hadiah untuk Bagas yang tertinggal ke kost elit di mana Bagas tinggal, disana… Bagas bersama teman-temannya yang sedang merayakan ulang tahun Bagas dengan pesta minuman keras, ia melihat bagaimana sosok Bagas di bawah pengaruh alkohol melakukan sesuatu yang membuatnya nyaris kehilangan napas.
Bagas.
Dengan seorang perempuan.
Bibir mereka saling bersilat lidah dengan penuh nafsu dalam remang cahaya, sementara tawa puas dari teman-temannya menggema di ruangan itu. Laras tidak langsung pergi. Ia masih berdiri di sana, tubuhnya membeku, sampai akhirnya ia mendengar sesuatu yang lebih menyakitkan.
“Gadis desa bau kambing? Siapa sih, Laras? Dia tuh cantik tau, jadi biasa aja kali. Gue bukannya sombong… tapi hmm… Dia baik, tapi… hahaha, pacaran sama dia kayak pacaran sama ibu kos. Banyak larangannya, ngebosenin. Mana kadang sepatunya suka ada lumpur bekas kandang pas habis praktek… Kadang juga bau banget.”
Gelak tawa seusai kalimat yang terucap itu masih terngiang di telinganya hingga saat ini. Di sana, Laras masih terpaku.
Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana sebelum akhirnya kakinya melangkah pergi. Tidak ada yang melihatnya. Tidak ada yang menyadari keberadaannya. Laras pergi tanpa suara, membawa seluruh kepedihannya dalam diam.
Ia tidak menangis. Tidak di sana.
Tapi selama seminggu setelahnya, ia tidak bisa tidur. Tidak bisa makan dengan benar. Tidak bisa fokus pada kuliahnya.
Setelah berpikir cukup lama, Laras mulai menyadari apa yang diinginkan Bagas. Dirinya bukan siapa-siapa selain seorang gadis desa yang berusaha sekuat tenaga untuk menggapai impiannya—bukan demi kemewahan, bukan demi pengakuan, tetapi agar dirinya bisa bermanfaat. Bagi desanya, bagi keluarganya, bagi orang-orang yang telah menaruh harapan padanya.
Laras mengakui takdirnya, setidaknya ia harus tahu diri.
Dan…
Laras memutuskan untuk pergi, meninggalkan Bagas bersama seluruh cinta dan kenangan yang telah diberikan tanpa tersisa kepada pria itu.
Dan…
Bagas tidak akan pernah tahu, bahwa Laras melihat dan mendengar semuanya.
Tidak, ia tidak perlu tahu.
Karena kini, Bagas sudah mendapatkan kebebasannya.
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Chapter 4: Where Her Footsteps Fade
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Laras menghela napas panjang, tubuhnya menuntut istirahat setelah seharian penuh bekerja. Ia menatap langit yang mulai berubah menjadi jingga, semburat senja perlahan tertutup kabut tipis—pertanda malam akan segera tiba.
Dengan langkah perlahan, Laras berjalan menuju rumah, meninggalkan sepeda yang sudah terkunci di pagar parkiran rumahnya. Sekilas, matanya melirik ke arah perkarangan, memastikan ternak-ternaknya telah masuk ke kandang dengan aman. Perkarangan yang penuh dengan tanaman subur di sudut halaman tampak segar setelah disiram sore tadi, sementara dedaunan hijau tampak berkilauan diterpa sisa cahaya matahari yang semakin redup.
Seperti biasa, Pak Wiryo menikmati sore harinya dengan membersihkan halaman rumah. Dengan telaten, ia akan menyapu sisa makanan ayam dan jerami bekas dari kandang sapi yang berserakan di tanah, tak lupa ia juga dengan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon-pohon yang tumbuh di pekarangannya yang luas. Semua itu ia kumpulkan, lalu memasukkannya ke dalam wadah besar bertutup rapat yang sudah ia siapkan di sudut kebun rumah mereka.
Meskipun tampak kotor dan menjijikkan, limbah organik dan kotoran ternak yang dikumpulkan akan dicampurkan dengan tanah untuk menghasilkan pupuk alami tanpa menggunakan bahan kimia. Dengan cara ini, keluarga Laras tak hanya mengurangi limbah rumah tangga, tetapi juga menciptakan pupuk alami yang kaya nutrisi bagi tanaman. Sayur-sayuran dan buah-buahan di kebun rumah mereka tumbuh lebih subur.
Sejak kepergian Ibu Ayu—sang istri, sekitar delapan tahun lalu, ayahnya seolah mencari pelarian dari kesedihannya ke dalam kesibukan. Pak Wiryo sering menghabiskan waktunya di ladang, atau turun langsung mengurus peternakan sapi dan perkebunan kentang miliknya, seakan tak ingin ada waktu luang yang terbuang sia-sia.
Namun, seiring bertambahnya usia dan kesehatannya yang mulai menurun akibat terlalu banyak bekerja, keluarga pun sepakat merekrut lebih banyak pekerja. Kini, Surya yang mengambil alih sebagian besar tanggung jawab ayahnya, sementara Pak Wiryo lebih banyak berfokus pada urusan desa dan lebih menikmati waktunya di rumah, meski sesekali tetap turun tangan untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik.
Sejak Ibu Laras mulai sering sakit sebelum akhirnya didiagnosis menderita kanker payudara, rumah Laras telah direnovasi besar-besaran. Surya dan Laras ingin memastikan orang tuanya bisa beristirahat dengan nyaman tanpa harus bersusah payah memasak di dapur tradisional, tak lagi tersandung karena lantai semen dingin yang sudah banyak lubangnya, atau menimba air dari sumur tua yang membutuhkan tenaga ekstra.
Selain meningkatkan kenyamanan keluarganya, renovasi ini juga dilakukan untuk menambah ruang tambahan bagi para pekerja Pak Wiryo yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Dengan begitu, rumah menjadi lebih ramai, sekaligus memberikan ketenangan bagi keluarga karena ada lebih banyak orang yang bisa membantu jika terjadi sesuatu—yang kini, ruangan itu digunakan oleh tamu atau relawan untuk ditempati sementara selama berada di desa ini.
Selain itu, dapur baru kini lebih luas dan nyaman digunakan, memudahkan aktivitas memasak sehari-hari tanpa harus berdesakan seperti dulu. Mereka juga menambahkan ruangan khusus untuk mencuci, lengkap dengan dua mesin cuci otomatis yang lebih efisien, serta meja setrika yang memudahkan Laras untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Sementara itu, dapur lama dirombak menjadi pintu utama yang kini lebih lapang, dengan tambahan perapian di sudut ruangan. Perapian ini menjadi tempat berkumpul saat udara desa mencapai titik terdinginnya—entah untuk menerima tamu di luar, menikmati kehangatan bersama keluarga, atau sekadar bersantai sambil menyeruput teh atau wedang jahe hangat.
Kini, rumah ini bukan sekadar tempat berlindung. Rumah ini telah berkembang menjadi pusat kehidupan, tempat di mana keluarga dan orang-orang yang mereka anggap keluarga selalu merasa diterima dan disayangi.
Setelah menggabungkan sampah yang sudah ia kumpulkan ke dalam wadah berisi limbah organik, Pak Wiryo menepuk-nepuk celananya yang terkena tanah, lalu menghela napas puas. Ia meluruskan punggungnya, merasakan sedikit pegal setelah beberapa lama membungkuk.
Tak sengaja, perhatiannya teralihkan kepada putrinya. Laras tampak lelah, tapi masih sempat menoleh ke sekitar, seolah memastikan segala sesuatunya tetap tertata rapi. Pak Wiryo tersenyum kecil—kebiasaan Laras tak berubah sejak dulu.
“Bapaaakk~!!” seru Laras riang saat melangkah mendekati ayahnya. Ia langsung meraih tangan Pak Wiryo dan menciumnya dengan lembut, kebiasaan santun yang tak pernah ia lupakan.
Pak Wiryo menoleh dengan senyum hangat, meski alisnya sedikit terangkat. “Eh, loh… Kirain Bapak, kamu udah pulang daritadi.”
Laras terkekeh, merasa senang mengetahui ayahnya selalu memperhatikannya dari kejauhan.
“Ya udah, bersih-bersih dulu sana. Pasti capek banget, ya…” lanjut Pak Wiryo sambil menepuk pelan bahu putrinya. “Bapak tadi udah siram tanaman, terus anak-anak kamu juga udah pada makan.”
Laras mendengus geli mendengar ledekan itu. ‘Anak-anak’ yang dimaksud tentu bukan siapa-siapa selain ternak kesayangannya di pekarangan rumah.
“Hahaha, oke, Pak… Makasih ya, udah bantuin Laras! Laras masuk dulu, yaa~” ucapnya ceria sebelum melangkah ke dalam rumah. Pak Wiryo hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, melihat putrinya yang meski sudah dewasa tetap saja penuh energi seperti dulu.
Langkahnya begitu tegap dan kokoh, seakan tidak ada apa pun yang bisa menghentikannya untuk terus membuktikan bahwa dirinya tangguh.
Sepanjang Pak Wiryo dan sang istri membesarkan anaknya, ia tidak pernah mendengar Laras mengeluh atas apa pun, tidak pernah menunjukkan kelelahannya meskipun tubuhnya jelas menanggung beban kerja yang berat. Ia memberikan waktu dan tenaganya tanpa pernah berpikir dua kali, entah untuk merawat hewan yang sakit, membantu warga desa yang membutuhkan atau sekadar mendengar keluh kesah mereka tentang ternak mereka.
Pak Wiryo sering kali mengamati putrinya itu dari kejauhan. Dalam hati, ia mengagumi keteguhan hati Laras, tetapi juga merasa sedikit khawatir. Ia tahu, anaknya memiliki banyak pilihan dalam hidupnya.
Laras bisa saja memilih tinggal di kota, bekerja di klinik modern dengan fasilitas lengkap, menjalani hidup yang lebih nyaman tanpa harus berkutat dengan jalanan berlumpur atau hewan-hewan yang kadang sulit ditangani sendiri dan butuh banyak pertolongan. Jika Laras memilih jalan itu, ia pasti akan memakluminya—bukankah itu yang diharapkan kebanyakan orang tua agar anak perempuannya memiliki kehidupan yang lebih baik darinya?
Namun, Laras memilih sebaliknya. Ia tetap di sini, di tanah kelahirannya—memilih menyingsingkan lengan baju dan turun langsung ke lapangan, memasuki semua kandang hewan tanpa ragu dan menghadapi segala tantangan dengan kepala tegak.
Tak peduli seberapa berat pekerjaannya, tak peduli berapa banyak orang yang meremehkan pilihannya, Laras tetap melangkah maju. Baginya, ini bukan hanya pekerjaan. Ini adalah panggilan hatinya.
Pak Wiryo menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya di kursi kayu di sisi belakang rumah. Matanya mengikuti Laras yang baru saja memasuki rumah, bayangan putrinya yang perlahan menghilang di balik pintu membuatnya tersenyum tipis. Laras mungkin tak menyadarinya, tapi setiap langkahnya adalah bukti keteguhan yang tak tergoyahkan. Dan bagi Pak Wiryo, itu lebih dari cukup untuk membuatnya bangga.
Sementara itu, Laras melangkah masuk ke rumah melalui pintu belakang, menghirup dalam-dalam aroma masakan yang menguar dari dapur, membuat perutnya yang sudah lapar langsung bereaksi. Dari kejauhan, ia melihat kakak laki-lakinya, Surya tengah duduk bersantai di ruang keluarga bersama Baskara yang tengah menonton TV sambil bercengkerama.
Kehangatan rumah ini selalu menghadirkan ketenangan di hatinya. Tak peduli seberapa jauh langkahnya membawanya pergi, di sinilah tempatnya berpulang.
Ia melangkah mendekat ke dapur, menemukan Cantika yang tengah mengaduk sayur asem di atas kompor, sementara Sari, tengah mencampurkan tepung bumbu untuk tempe goreng dengan wajah serius. Sedangkan Damar duduk di meja dapur, sibuk membenarkan panci dengan gagang yang patah.
“Hmmm~ wanginya enak banget.” ucap Laras dengan nada menggoda. “Mau aku bantuin masak nggak?”
Cantika menoleh sekilas, lalu tersenyum cantik seperti namanya. “Nggak perlu, Mbak. Ini sayur asemnya juga udah mau mateng, habis itu tinggal goreng tempe aja.” Ia kembali fokus ke masakannya, mengaduk pelan kuah yang mulai menggelegak. “Kamu istirahat aja dulu, pasti capek, kan?”
Sari yang sedari tadi sibuk dengan tepung bumbunya ikut menimpali, matanya berbinar jenaka. “Iya, Ras. Katanya hari ini sibuk banget, udah duduk dulu aja. Lagian, kalo kamu bantuin, nanti malah lebih lama matengnya.”
Laras mengangkat sebelah alisnya, berpura-pura tersinggung. “Ishh, dikira aku nggak bisa masak, ya? Aku bisa masak, tahu… cuman, hmm… butuh banyak latihan aja.”
Sari terkikik, melirik sekilas ke arah Damar yang tampak menahan tawa—mana mungkin ia berani menertawakan Laras secara langsung setelah baru beberapa hari bertemu. “Bukannya nggak bisa, tapi suka kebanyakan eksperimen, iya kan, mbak?” celetuk pria itu.
Sari kembali angkat suara, menimpali dengan nada menggoda, “Benar juga, sih. Dulu, pas belajar bikin sambel, tiba-tiba isinya ada sereh, daun jeruk, sama stroberi. Padahal harusnya sambal biasa…”
Laras mendengus pelan, melipat kedua tangannya di dada. “Huftt… nggak dihargai banget usaha kreatifku, kan waktu itu asem jawanya abis, jadi… aku pikir pake stroberi aja biar ada asem-asemnya.”
Cantika tertawa kecil, sementara Sari hanya mengangkat bahu, tetap sibuk dengan gorengannya.
“Hmm, oke, kalo gitu… Malas bantuin ah, aku diledekin terus.” Laras akhirnya menyerah, “Aku mandi dulu, deh. Terus kayaknya nyuci baju sekalian.”
Laras hanya melambaikan tangannya malas-malasan sebelum menghilang dari dapurnya, ia berjalan sambil meregangkan tubuh sejenak sebelum bergerak menuju ke kamarnya.
“Mas Surya~” sapa Laras dengan nada sedikit manja. Ia menyempatkan diri mencubit pipi kakak laki-lakinya dari belakang sebelum berlalu menuju kamarnya.
“Huh… apa?” Surya melirik sekilas, masih fokus pada saluran TV-nya.
“Nggak, manggil aja. Aku ke kamar dulu, ya.” ucap Laras seraya membuka pintu kamar dan ingin masuk ke dalamnya.
Surya menengok ke belakang, mengikuti arah Laras. “Ya udah, istirahat sana. Nanti malem nggak pergi kan, Ras? Mas mau ngobrol sama kamu.”
“Ngobrolin apa?” tanya Laras dengan bingung.
“Biasa…”
Laras terdiam, ia tahu apa maksudnya. Sambil menghela napas dengan malas, Laras menjawab kakak laki-lakinya. “Nggak mau, ah… Bilang aja, aku nolak.”
“Ih, kamu tuh. Pokoknya nanti kita obrolin dulu.” Surya menahan tangan Laras sejenak dari sofa, namun Laras dengan pelan menariknya kembali.
“Terserah mas aja, lah…” jawabnya malas sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.
Begitu berada di dalam kamar, Laras mengembuskan napas panjang, merasa lega akhirnya ada waktu untuknya sendiri. Kamarnya rapi seperti biasa, setiap barang ada di tempatnya, tidak ada yang berantakan. Namun, pikirannya yang malah berantakan.
Ia tidak pernah tertarik dengan perjodohan. Bukan karena ada trauma atau luka, mungkin bukan juga karena hatinya masih terikat pada seseorang—ia hanya tidak merasa perlu. Setiap kali perjodohan itu dibahas, ia selalu menolak tanpa pikir panjang.
Menyadari pikirannya mulai berkelana, Laras menggeleng kecil, mencoba mengabaikannya. Badannya terasa lengket, aroma kandang masih melekat di pakaian dan rambutnya, membuatnya ingin segera membersihkan diri.
Ia melangkah menuju meja belajar, merapatkan sedikit jendela yang terbuka, lalu menarik tirai tipis untuk meredam cahaya matahari sore yang mulai condong menyinari kamarnya dengan terlalu terang. Sementara itu, tirai tebal berwarna senada dengan warna yang mendominasi kamar Laras dibiarkan tetap terbuka, membiarkan sisa cahaya masuk secukupnya. Setelah itu, ia menyalakan kipas angin di sudut kamar, membiarkan angin sejuk berembus pelan, mengusir hawa pengap yang masih tersisa.
Begitu semuanya terasa lebih nyaman, Laras segera melangkah menuju kamar mandi, tak ingin membiarkan rasa lengket itu bertahan lebih lama di tubuhnya.
Laras melepaskan pakaiannya satu per satu, udara sore yang menusuk kulit membuatnya sedikit kedinginan sebelum akhirnya ia melangkah ke dalam kamar mandi. Begitu air menyentuh tubuhnya, rasa dinginnya langsung merasuk ke tulang namun terasa sangat sejuk, khas pegunungan Dieng saat senja mulai turun. Ia menggosok lengannya pelan, mencoba menghangatkan diri, tapi yang terasa justru semakin hampa.
Sementara itu, Bagas berdiri di depan rumah, menatap cakrawala yang berpendar jingga di antara pegunungan, tetapi matanya tidak benar-benar melihat keindahan itu. Jemarinya mengapit sebatang rokok dan bergerak menyelipkannya di antara bibirnya—menyulutnya dan menghisapnya dalam-dalam, lalu melepaskan asapnya ke udara dingin yang mulai turun bersama kabut.
Asap itu membaur bersama napasnya, hilang dalam semilir angin yang mengacak rambutnya yang sudah berantakan sejak tadi siang. Tapi bagi Bagas, angin itu lebih baik dibandingkan dengan dinginnya perasaan yang sudah lama menyelimutinya.
Dalam kenikmatan itu, tanpa sadar ia sudah menghabiskan satu batang. Abu terakhir jatuh sebelum ia menginjaknya dengan ujung sandalnya, lalu membuang puntungnya ke tempat sampah setelah benar-benar mati.
Tangannya kembali merogoh saku celana, menarik sebungkus Marlboro Merah yang mulai sedikit penyok. Inilah salah satu kebiasaan Bagas, sesuatu yang selalu ia lakukan setiap kali malam hampjr tiba—ketika tak ada lagi pasien yang bisa ia periksa, tak ada lagi laporan yang harus ia isi, tak ada lagi alasan untuk tetap sibuk.
Lima batang sehari. Seringnya setelah bekerja, setelah semua rutinitasnya usai. Lalu, seperti biasa, ia akan pergi mandi. Membilas tubuhnya, menghilangkan jejak tembakau yang menempel di kulitnya.
Bukan hanya karena ia ingin, tapi karena... dulu ada seseorang yang selalu memintanya begitu.
Seperti biasa, ia menepuk-nepuk bungkusnya untuk mendorong satu batang keluar, lalu kembali menyelipkannya di bibir. Dengan satu klik pemantik, bara merah kembali menyala.
Sementara Laras, ia telah menyelesaikan kegiatan mandinya. Tubuhnya terasa segar dan harum, bahkan wangi lotion yang melekat di kulitnya semakin mengharumkan tubuhnya. Tak lupa, ia berjalan ke pojok ruangannya, memakai beberapa produk kecantikan seadanya untuk sedikit menghilangkan jejak lelah di raut wajahnya.
Setelahnya, ia memilih baju terusan putih selutut bercorak mawar biru yang ia kenakan malam ini, membiarkan bagian roknya melambai sedikit terkena hembusan kipas angin. Laras kemudian duduk di kursi gantung rotan di pojok kamarnya, sambil menikmati semilir angin yang masuk dari jendela. Tangannya bergerak otomatis mengeringkan rambutnya yang masih basah, tetapi tiba-tiba terhenti.
Laras mencium sesuatu…
Hidungnya bergerak mencari aroma tak menyedapkan itu, namun berakhir membuatnya terpaku.
Laras terpaku pada satu pemandangan di luar sana.
Bagas.
Pria itu sesekali menengok ke sekelilingnya, memastikan tak ada siapa pun yang memperhatikannya—seakan tidak ingin ada satu pun orang yang menghentikannya.
Tapi Laras memperhatikannya, dalam diam.
Dari celah jendelanya, ia memperhatikan bagaimana pria itu menyelipkan rokok di antara bibirnya, bagaimana matanya kembali menatap kosong ke langit senja, seolah menunggu sesuatu yang tak akan ada di sana.
Laras diam sejenak, namun berujung menghela napas panjang melihat kelakuan pria itu. Menyembunyikan kekecewaan di hatinya.
Dia nggak pernah berubah…
Dulu, Laras yang akan merebut rokok itu dari jemarinya, menatapnya dengan kesal sambil mengomel panjang lebar.
Dulu, Laras akan menceramahinya habis-habisan. Kadang kala ia mengingatkan dengan lembut, mengalihkannya ke hal yang lain, atau terkadang ia marah dan kesal.
Dulu, ia yang akan memastikan pria itu makan dengan benar, tidur cukup, berhenti melakukan apa pun yang membuat tubuhnya rusak perlahan, mencari teman yang baik, dan hidup dengan mandiri.
Dulu, ada Laras yang selalu memedulikan Bagas.
Sekarang, semua itu bukan lagi haknya.
Laras menggenggam erat handuk basah di tangannya, matanya—dengan khawatir—memperhatikan Bagas yang terus menghembuskan asap rokoknya dengan nikmat. Lelaki itu menarik napas panjang, seolah berharap nikotin yang ia hisap bisa menutupi sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupnya.
Bagas tidak pernah berubah. Ia akan selalu menjadi pria yang tetap keras kepala, tetap sembarangan, dan… tetap menyedihkan.
Sayangnya, Laras salah.
Hanya laras yang tidak tahu… bahwa Bagas sudah berubah.
Ia hanya tidak bisa melihatnya, karena itu bukan seperti yang ia harapkan.
Karena Bagas telah berubah… menjadi lebih menyedihkan.
“Kayaknya kalau nggak ada kamu, aku pasti bakalan mati muda, Ras.”
Laras memejamkan mata sejenak. Suara Bagas menggema dalam ingatannya, membuat dadanya terasa berat. Ia menggigit bibir bawahnya, perasaan tak nyaman mengendap dalam dirinya.
Entah sudah berapa lama, bahkan rambut Laras kini sudah benar-benar mengering.
Tapi… matanya masih terpaku pada Bagas.
“Udah, Gas…” suaranya lirih.
Laras menghela napas tanpa suara, lega ketika kepulan asap terakhir dari rokok sebelumnya akhirnya memudar di udara malam. Namun, itu hanya sesaat. Begitu Bagas mengeluarkan batang baru, jantungnya kembali mencelos.
Gerakan itu begitu alami, seakan begitu lekat dengan Bagas—seolah rokok adalah bagian dari dirinya yang tak terpisahkan. Jemarinya tampak enggan dibiarkan kosong, seakan takut menghadapi kehampaan yang terasa sangat nyata.
Laras menundukkan kepala, membiarkan helaian rambutnya jatuh menutupi matanya. Ada sesuatu yang berat di dadanya, sesuatu yang ia enggan akui.
Kekecewaan.
Ah… Siapa dia? Tak seharusnya ia peduli pada Bagas.
Api kembali menyala, membakar ujung rokok yang baru. Bagas menatapnya sesaat sebelum menarik napas panjang, membiarkan asap memenuhi dadanya. Lalu, perlahan, ia menghembuskannya ke udara—bersama sesuatu yang mungkin sudah terlalu lama ia pendam.
Ia berjalan pelan, menjauh dari tempatnya tadi. Satu tangannya terselip di saku celana, sementara jemarinya yang lain tetap menyelipkan batang rokok di antara bibirnya. Matanya sesekali melirik ke sekeliling, memastikan tak ada yang terganggu oleh asapnya.
Namun, Cantika tiba-tiba muncul dari belakangnya dengan piring kecil di tangannya, aroma tempe goreng tepung yang masih panas langsung bercampur dengan dinginnya kabut khas Wonosobo.
“Mas Bagas, mau gorengan nggak? Buat nemenin ngerokok.”
Bagas refleks mundur selangkah, mengibaskan tangannya untuk mengusir asap rokok agar tidak mengenai Cantika. “Makasih Can, tapi nanti aja biar makan bareng sama yang lain.”
Cantika langsung mendelik, jelas tidak terima penolakannya. “Ihh, udah dibawain susah-susah, masa nolak? Cobain satu dulu ajaa…”
Bagas menghela napas, menyerah. Ia menyimpan rokoknya di belakang punggungnya, lalu mengambil sepotong tempe goreng dan menggigitnya perlahan.
Renyah. Gurih. Hangat. Bagas menikmati bagaimana tempe goreng itu terasa lezat di lidahnya. Akhirnya, ia mengangguk. “Enak banget.”
Cantika tersenyum puas. “Tuh kan! Aku taruh di meja teras aja, ya...” ucapnya. Namun, belum sempat ia bergerak, langkahnya terhenti. Matanya menangkap sesuatu di balik punggung Bagas.
Sementara itu, Bagas bersiap untuk menjauh, mengisap rokoknya yang hampir habis. Ia sedikit memiringkan tubuh, mencoba memastikan bahwa asapnya tidak terbawa angin ke arah Cantika. Namun, sebelum ia sempat melangkah, suara Cantika tiba-tiba meninggi mengejutkannya.
“Lohh? Mbak Laras!!”
DEG—
Bagas langsung mematung, terdiam di tempatnya.
Ia tidak berani berbalik. Tidak sekarang.
Cantika, yang tampak tidak menyadari ketegangan di udara, melambaikan tangan dengan riang ke arah jendela kamar yang terbuka sedikit. “Mbak, tempenya udah jadi, nih. Mau coba nggak?”
Dari balik jendela, Laras tampak kaget. Ia menegang, seolah baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Dengan ekspresi kikuk, ia mengangguk cepat sebelum menjawab, ia berseru dengan suaranya yang terdengar gemetar, “Nanti aja, Can… Aku mau ngeringin rambut dulu.”
Ia mendengar suaranya. Bagas mendengar suara Laras.
Dan saat itu juga, Bagas akhirnya membalikkan tubuhnya dengan perlahan.
Matanya menangkap sosok itu.
Laras.
Seketika, wanita itu menunduk menyembunyikan wajahnya, tapi Bagas sudah melihatnya. Dari sela tirai renda yang tembus cahaya, wajahnya begitu cantik. Gadisnya... masih cantik seperti dulu.
Namun, saat Laras mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu. Dan pada detik itu, Bagas ingin menghentikan waktu.
Bagas menatapnya dalam diam, menyadari satu hal yang baru saja menghantam kesadarannya.
Ia merokok tepat di depan jendela kamar Laras.
Dan Laras telah melihatnya.
Bagas terkulai lemas di ranjang rumah sakit—wajahnya masih terlihat pucat, tetapi senyum kecil tetap menghiasi bibirnya. Selang oksigen terpasang di hidungnya, membantu pernapasannya yang sempat tersengal tadi. Laras berdiri di sisi ranjang dengan tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam, campuran antara kesal dan khawatir.
“Gimana mau jadi dokter kalau kamunya malah jadi pasien kayak gini?” suaranya sedikit bergetar, menahan emosi. “Kamu tuh suka begadang nggak jelas, ngerokok kenceng, terus masih suka minum alkohol. Sekarang lagi tahun baru, malah dapet penyakit baru. Bronkitis, loh?”
Bagas menghela napas, suaranya lebih serak dari biasanya. “Jangan marahin aku dulu…”
“Iya!” Laras membalas cepat. “Aku tuh cuma mau ngingetin kamu aja, Gas. Kalo ada orang yang ngerokok, hindarin, ngejauh dulu aja.”
Bagas menatapnya dengan mata sayu, lalu menoleh ke arah jendela kamar rumah sakit yang menampilkan langit malam yang terang dengan kembang api yang masih sesekali berpendar. “Mereka kan temen aku, Ras…”
Laras mendesah frustasi, lalu duduk di kursi di samping ranjang. "Kalau emang kalian temenan, pasti kalian sama-sama jaga kesehatan biar pertemanan kalian tuh lama. Kalau udah kayak gini, gimana?” Matanya menatap alat bantu pernapasan di hidung Bagas, lalu kembali ke wajah pria itu dengan tatapan menuntut. “Untung kamu masih muda, masih bisa diobatin, bisa diterapi. Kalau pas tua nanti kamu jadi kakek-kakek bengek, aku nggak mau liat kamu lagi.”
Bagas menoleh padanya dengan mata berbinar usil. “Jadi, kamu serius mau nemenin aku sampe tua, Ras?”
Laras membelalakkan matanya, lalu tanpa ragu memukul perut Bagas—tidak keras, tapi cukup untuk membuatnya sedikit meringis. “IH! Sempet-sempetnya bercanda, ya kamu?!”
“Maaf, maaf…” Bagas mengangkat tangannya menyerah, tetapi wajahnya masih menyimpan tawa kecil. Kemudian, dengan lembut, ia mengulurkan tangan dan mengusap pipi Laras dengan punggung jarinya. “Aku bercanda biar kamu nggak marah-marah lagi. Maaf ya, Ras? Udah bikin kamu khawatir, sampe nangis gitu tadi.”
Laras menunduk sedikit, menyadari bahwa matanya memang masih terasa panas dan lembap. “Ya aku panik, tahu nggak?” suaranya lebih pelan sekarang. “Tiba-tiba kamu bilang nggak bisa napas, aku udah mikir macem-macem.”
Bagas menatapnya dalam, lalu mengangguk kecil. “Iya, maaf ya.”
Laras menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar, mencoba meredakan emosinya sendiri. Ia menggenggam tangan Bagas, merasakan kehangatan yang ada di sana. “Janji jangan ngerokok lagi, oke? Jangan deket-deket sama orang yang lagi ngerokok. Jangan begadang terus, jangan minum—”
Bagas tersenyum samar, jari-jarinya perlahan meremas jemari Laras dengan lembut. “Iya, aku janji. Demi kamu, aku turutin.”
Laras mengerutkan kening. “Demi kamu, Gas… Bukan aku, tapi kamu.”
Bagas tertawa kecil. “Iya, demi aku.” Ia menatap Laras dengan penuh kelembutan. “Aku sehat, biar bisa sama kamu sampe jadi kakek-kakek.”
Laras menatapnya lama, lalu akhirnya, tanpa bisa ditahan, sudut bibirnya terangkat. Senyum itu akhirnya muncul, menghangatkan hati Bagas lebih dari selimut yang membalut tubuhnya.
Bagas menahan napas, kemudian tersenyum miris. Janjinya kepada Laras hari itu, kini kembali terngiang—terdengar hanya di telinganya.
Tanpa sadar, Bagas menarik rokok dari mulutnya, seperti naluri lama yang masih tertanam dalam dirinya.
Ia tak ingin Laras melihatnya seperti ini.
Tapi sudah terlambat, Laras telah melihatnya—melihat sesuatu yang selalu ia tidak sukai.
Bagas sengaja menjauh dari area rumah agar Laras tak melihatnya, namun ia malah melakukan itu jelas-jelas di hadapannya. Ia benar-benar tidak tahu.
Laras menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, namun Bagas perlahan bisa memahaminya.
Hanya tatapan itu...
Tatapan yang lebih menyakitkan dari apapun.
Belas kasihan.
“Aku duluan, ya…” seru Laras kepada Cantika—atau mungkin kepada siapa pun yang mendengar. Suaranya datar—nyaris hampa, seakan ia hanya ingin pergi tanpa harus menjelaskan apa pun.
Bagas tidak menghentikannya. Ia hanya diam di tempatnya, membiarkan Laras melangkah pergi dengan cepat, seolah angin sore mendorong punggungnya untuk segera menjauh.
Bagas tetap berdiri di sana, menatap punggung Laras yang kini menghilang. Rokok di tangannya terasa lebih berat dari sebelumnya. Asapnya tak lagi menenangkan, hanya menyisakan jejak pahit di tenggorokan.
Ia tahu, Laras pasti berpikir betapa munafiknya Bagas sekarang
“Aku juga masuk duluan, ya Can…” ujar Bagas lirih, suaranya hampir tenggelam dalam kabut yang mulai turun menyelimuti perkarangan rumah Laras.
Cantika, yang masih berdiri dengan piring kecil di tangannya, menatap Laras dan Bagas bergantian dengan bingung. Namun, ia tidak menahan. “Oh… iya, Mas.”
Sementara Bagas, jemarinya meremas batang rokok yang ia nyalakan, membiarkan tembakaunya hancur di genggamannya. Dengan satu tarikan napas panjang, ia memilih untuk membuangnya.
Di balik jendela kamarnya, Bagas tahu Laras tetap diam. Tidak memanggilnya. Tidak memarahinya. Tidak mengatakan apa pun.
Hanya membiarkannya pergi.
Dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada semua amarah yang pernah Laras tunjukkan padanya.
Sementara itu…
Laras menyembunyikan dirinya—duduk di tepi ranjangnya dengan lututnya terlipat, tangan menutupi wajahnya dengan bergetar hebat—berusaha meredam isakan yang nyaris pecah. Ia membenci bagaimana dadanya terasa sesak, bagaimana air matanya jatuh meski ia mencoba menahannya.
Bayangan itu menyeruak kembali dalam kepala Laras.
Bagaimana tubuh mungilnya bersusah payah menopang Bagas yang terhuyung, napasnya berat dan tersengal, seakan paru-parunya menolak bekerja. Bagaimana ia berlari secepat mungkin membawa Bagas menuju IGD, jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan.
Ia masih mengingat jelas bagaimana tubuhnya bergetar, ketakutan merayapi setiap inci dirinya.
Takut kehilangan.
Takut sesuatu terjadi pada pria itu.
Tapi…
Tatapan itu…
Tatapan yang dulu begitu hangat, begitu jenaka, kini tampak redup. Tapi tetap saja, Laras mengenalinya. Ia mengenali sorot mata yang membuatnya merasa dicintai, merasa dimiliki.
Seperti semalam. Seperti saat mereka pertama kali kembali bertemu setelah sekian lama. Tatapan itu masih tetap sama, dipenuhi dengan kerinduan dan kebahagiaan yang terpendam.
Yang Laras bisa lakukan hanya membalasnya dengan kebencian.
Tatapan dingin yang ia tujukan pada Bagas bukanlah hukuman, bukan pula penghakiman. Itu adalah satu-satunya cara yang ia punya—satu-satunya cara untuk memberi tahu Bagas bahwa ini salah.
Dan kini, saat ia berusaha menyembunyikan dirinya, sorot mata itu masih menemukannya, masih mengikutinya.
Menatapnya dengan begitu memohon. Dengan begitu mengasihinya.
Laras membenci ini.
Ia membenci bagaimana hatinya masih bereaksi hanya karena melihat Bagas. Ia membenci bagaimana dadanya terasa sesak, bagaimana air matanya jatuh meski ia mencoba menahannya.
Bagas yang dulu… yang pernah ia kenal, yang ia cintai… masih ada di sana.
Masih ada di balik mata lelah itu. Masih ada di balik senyum miris yang tadi ia lihat.
Dan itu membuatnya takut.
Takut… karena ia sepenuhnya sadar, Bagas masih menjadi bagian dari dunianya.
:::::
Percakapan mengalir ringan di sepanjang meja makan, diselingi tawa kecil dan suara sendok beradu dengan piring. Suasana terasa hangat—hampir seperti malam-malam biasa di rumah keluarga Laras.
Hampir.
Bagas dan Laras duduk di ujung yang berlawanan, seolah ada garis tak kasatmata yang memisahkan mereka. Sesekali, Bagas menunduk, menyibukkan diri dengan makanannya. Laras pun sama, meski pandangannya sesekali melayang ke arahnya, hanya untuk buru-buru dialihkan kembali.
Semua orang di meja itu bisa merasakan ketegangan tipis yang menggantung di udara. Keluarga Laras dan para dokter relawan mencoba berbincang seperti biasa, tapi tak ada yang bisa mengabaikan fakta bahwa di antara mereka ada dua orang yang seharusnya saling bicara—saling bertukar sapa seperti dulu—namun kini hanya terdiam, terpisah oleh jarak yang lebih besar dari sekadar panjang meja makan.
Hingga tiba-tiba, suara Surya, kakak laki-laki Laras, terdengar dengan nada bercanda.
"Kalian semua belum punya pacar, kan? Kalau ada yang naksir sama adik saya, bilang aja ya. Biar saya bisa nilai dulu, cocok apa nggak."
Baskara menyahut lebih dulu, "Saya sudah punya, Mas. Nah, yang lainnya nih...”
Beberapa dokter relawan tertawa kecil, ada yang menggeleng, ada pula yang pura-pura sibuk dengan makanannya—termasuk Bagas.
Surya melanjutkan dengan nada menggoda, “Sisa dua lagi nih, Damar? Nah... Bagas?”
"UHUKKK UHUKK—"
Laras terbatuk keras, nyaris tersedak makanannya.
Pak Wiryo, yang duduk di sebelahnya, buru-buru menepuk punggung putrinya. "Ndok... pelan-pelan makannya."
Laras meraih gelasnya, meneguk air dengan cepat sebelum mendelik ke arah kakaknya. "Mas, apaan sih?"
Sementara itu, di ujung meja, Bagas masih menatap Laras—bukan karena godaan Surya, tetapi karena refleks khawatirnya begitu kuat. Ia sama sekali tidak memedulikan obrolan tadi, hanya fokus pada Laras yang sempat tersedak.
Surya hanya terkekeh, tak sadar bahwa candaannya menyinggung sesuatu yang lebih dalam di antara dua orang yang duduk berjauhan di meja itu.
Pak Wiryo menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Sudahlah, Surya. Jangan bikin adikmu kesal."
Namun, bagi Bagas dan Laras, satu kalimat sederhana dari Surya sudah cukup untuk membuat malam itu menjadi lebih sulit untuk dihadapi.
Bagas memainkan sendoknya, berusaha menyembunyikan senyum yang nyaris muncul. Laras, di sisi lain, memilih fokus pada makanannya, meski dalam hati ia mengumpat kakaknya.
Hingga tiba-tiba…
“Saya sempat bertunangan, Mas."
Ucapan Bagas, yang terdengar tenang dan santai, langsung menarik perhatian semua orang di meja makan. Hanya Laras yang membeku di tempatnya.
“Pertunangan itu direncanakan tanpa sepengetahuan saya. Namun karena saya masih mencintai seseorang dari masa lalu, pertunangan itu saya batalkan.”
Sejenak, suasana menjadi hening.
Dokter-dokter relawan saling bertukar pandang. Beberapa memilih menyimak, sementara yang lain melanjutkan makan dalam diam. Hanya Cantika dan Laila yang diam-diam menatap Bagas lebih lama dari biasanya.
Bagas menatap piringnya, jari-jarinya menggenggam sendok dengan ringan, tapi ada kecanggungan yang sulit diabaikan. Ia tidak melihat ke arah siapa pun, tetapi ucapannya menggantung di udara, seakan menuntut untuk dipahami—hanya untuk seseorang di sana.
Sementara itu Pak Wiryo mengangkat alisnya. Ia bukan tipe orang yang penasaran dalam urusan pribadi seseorang, tapi dari cara Bagas berbicara, ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata itu.
Sementara Laras, ia tetap membeku di tempatnya. Tangannya yang memegang sendok terasa dingin, dan dadanya berdegup tak karuan. Ia tidak berani menoleh ke arah Bagas, tapi setiap kata yang keluar dari mulut pria itu terasa begitu dekat, seakan ditujukan hanya padanya.
Surya, yang biasanya cepat menanggapi dengan candaan lain, justru terdiam sejenak sebelum akhirnya berdeham pelan. “Oh… begitu, ya? Hmm, Damar?”
Percakapan kemudian kembali mengalir dengan bantuannya, sehingga orang-orang melupakan betapa canggungnya suasana tadi.
Laras akhirnya meletakkan sendoknya dan dalam diam mengalihkan pandangannya ke arah Bagas. Entah bagaikan takdir atau tidak, Bagas turut mengangkat kepalanya perlahan, dan akhirnya, matanya bertemu dengan Laras.
Dan saat itu juga, Laras tahu.
Ia tahu siapa yang Bagas maksud.
Ia tahu siapa yang masih Bagas cintai.
Namun, ia tidak ingin mengetahuinya.
Jadi, sebelum sesuatu di dalam dirinya runtuh, Laras berdiri. “Pak, udah selesai makannya? Aku bawain piringnya ke belakang, ya...” katanya singkat, sebelum melangkah pergi, meninggalkan meja makan dalam diam.
Di dalam dapur, Laras segera mencuci piringnya dan piring sang ayah. Dadanya naik turun, berusaha mengatur napas yang terasa lebih berat dari biasanya. Namun, Laras tak bisa menyembunyikan tangannya yang gemetar.
Bodoh, pikirnya.
Kenapa hatinya harus bergetar hanya karena pengakuan itu?
Kenapa setelah bertahun-tahun, Bagas masih bisa membuatnya merasa seperti ini?
Suara tawa samar dari ruang makan terdengar dari kejauhan, tetapi Laras tidak bisa fokus pada apa pun selain suara detak jantungnya sendiri.
Begas masih mencintai seseorang dari masa lalunya.
Ia tidak harus bertanya siapa orang itu.
Ia sudah tahu jawabannya.
Malam di mana udara Yogyakarta terasa hangat, sedikit lembap setelah hujan turun tipis di sore hari. Sementara itu, pinggir jalan ramai oleh lalu lalang kendaraan, suara klakson sesekali terdengar, bercampur dengan dentingan wajan yang dipukul oleh penjual nasi goreng langganan Laras.
Aroma bawang putih dan kecap manis menguar di udara, membungkus percakapan mereka dalam keakraban yang tak terucapkan.
Bagas duduk di seberang Laras—teman belajar sekaligus gadis cantik yang ia kagumi, masih mengenakan kaus putih bersama kemeja biru kotak-kotaknya dengan kancing yang dibuka sepenuhnya sedikit kusut setelah seharian dikenakan. Mereka baru saja selesai belajar bersama di perpustakaan kampus—Bagas dengan materi patofisiologi manusia, sementara Laras tenggelam dalam buku bedah hewan. Kini, mereka duduk berhadapan, menunggu pesanan mereka sambil membiarkan kelelahan mereka larut dalam suasana jalanan.
“Ras, misalnya nanti aku nggak bakal lihat kamu lagi, gimana?” tanya Bagas tiba-tiba.
Laras, yang sedang menuangkan teh botol ke dalam gelas berisi es, hanya mengangkat bahu santai. “Ya mungkin aja gitu... Kan asal kota kita beda, Gas. Kamu orang Jakarta, aku Wonosobo. Suatu saat kita pasti bakal pisah lah...”
Jawabannya begitu ringan, seolah itu sesuatu yang pasti terjadi dan tak perlu dipikirkan terlalu jauh.
“Emangnya kamu nggak takut kangen sama aku?” Bagas menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak—setengah bercanda, setengah serius.
Laras tertawa kecil, sudah terbiasa dengan cara Bagas melontarkan kalimat-kalimat seperti itu. “Kan ada telepon, aku bisa telepon kamu dan kamu bisa telepon aku. Lagipula, pasti kamu cepat dapet pacar di sana. Nanti bakal lupa juga sama aku...”
Bagas mendengus, pura-pura tersinggung. “Mana ada? Di Jakarta nanti, aku pasti cuma mikirin kamu."
Laras hanya terkekeh kecil. Ia menggelengkan kepalanya, terbiasa mendengar celotehan gombal yang dilontarkan Bagas. “Yang bener? Kok bisa?”
“Ya... aku kan suka sama kamu.”
Laras menatapnya sebentar, lalu mendengus pelan. “Kamu tuh kenapa sih? Suka banget ngomong kayak gitu?”
Bagas menyandarkan tubuhnya ke kursi plastik, menatap Laras dengan kepala sedikit dimiringkan. “Ya... karena aku serius, suka sama kamu.”
Laras menghela napas, matanya mengarah ke gerobak tukang nasi goreng yang masih sibuk mengaduk wajan. “Kalau serius, jangan diomongin terus kali...” gumamnya.
“Loh, kenapa?”
Sebelum Laras sempat menjawab, abang tukang nasi goreng datang membawa dua piring—nasi goreng untuk Bagas, kwetiau goreng untuk Laras. Kerupuk udang bertengger di pinggir piring, aroma sedap menguar seketika.
“Makasih, Bang.” ucap Bagas sambil menerima piringnya. “Makasih ya, Kang…” tambah Laras sambik tersenyum.
Setelah abang itu kembali ke belakang wajan, Laras akhirnya berbicara lagi, suaranya pelan tapi terdengar jelas di tengah kebisingan jalanan. “Gapapa... Aku cuma takut kata-kata itu jadi enteng buat kamu. Takutnya, kalau kamu ucapin itu ke orang lain, rasanya jadi biasa-biasa aja.”
Bagas terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Kalau gitu, aku akan ucapin itu ribuan kali dalam sehari ke kamu, biar rasanya spesial cuma buat kamu. Soalnya, aku cuma bakal suka sama kamu dari sekarang.”
Laras tersenyum, tapi buru-buru menunduk, menyendok kwetiau gorengnya. Pipinya terasa hangat meskipun angin malam berembus pelan.
“Udah ah, jangan gombal. Makan dulu, yuk?”
Tak menerima penolakan dari Laras, Bagas hanya tersenyum puas, lalu mengambil sendoknya. Di antara kepulan asap nasi goreng dan suara kendaraan yang berlalu-lalang, mereka makan dalam kehangatan yang tak butuh banyak kata-kata lagi.
“Ras, kok bengong? Airnya kebuang banyak itu…” suara Sari mengejutkan Laras dari lamunannya. Perempuan itu tiba-tiba muncul di sebelahnya, membawa beberapa piring kotor untuk dicuci.
Laras tersentak, buru-buru mematikan keran. Namun, tangannya yang masih memegang piring bersabun terasa licin. Sebuah suara nyaring terdengar ketika piring itu terlepas, jatuh ke bak cuci, dan mencipratkan air sabun ke bajunya.
Sari hanya menggelengkan kepala, meletakkan piring yang dibawanya sebelum menatap Laras dengan napas panjang. “Kalau capek, taruh aja. Biar aku yang kerjain. Daripada bengong kayak gitu, untung cuma sabun. Kalau piringnya jatuh terus pecah, ngenain kamu, gimana? Nggak bisa kerja nanti.” Ucapannya terdengar seperti omelan lembut, khas seorang kakak ipar yang lebih bijak meskipun usianya lebih muda.
Laras mengembuskan napas, kedua pipinya menggembung dengan kesal. “Maaf, Mbak. Aku… cuma lagi banyak pikiran aja.”
“Soal Mas Danang?”
Laras sontak menoleh, matanya menyipit bingung. “Kok tiba-tiba nyebut dia?”
Laras melirik ke sekelilingnya, memastikan sang suami tak ada di sekitarnya. “Daripada kamu kebanyakan bengong di sini, mending ngumpet di rumah pohon. Mas Surya mau ngomongin soal Mas Danang ke kamu nanti.”
“HAH?!” Laras hampir tersedak udara. Ia buru-buru menegakkan tubuh, ekspresinya berubah gusar. “Mau ngomongin apa lagi, sih?”
“Aku juga nggak tahu. Tapi mumpung dia lagi bantuin Bapak di depan, cepetan sana kabur lewat pintu belakang. Mbak nggak bisa nolong kalau Mas Surya sampai nyegat kamu.”
Laras mengerang pelan, wajahnya berubah masam. “Aduh, padahal aku mau tidur cepet...” Lalu, tiba-tiba senyumnya merekah kecil. “Makasih banyak buat infonya, ya, Mbak. Oh iya, makan malamnya enak banget, hehehe.”
Sari hanya menghela napas melihat adik iparnya yang terlalu santai untuk seseorang yang sedang dalam bahaya.
Laras segera mencuci tangannya, menyerahkan sisa cucian piring ke Sari, lalu berlari kecil menuju kamarnya untuk mengambil ponsel dan memakai jaket tebalnya. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera berlari keluar kamarnya.
Langkahnya nyaris tak bersuara saat mengintip ke ruang tamu. Surya tampak duduk di sana bersama Pak Wiryo, serius melihat sebuah dokumen.
Laras menelan ludah. Aman... untuk sekarang.
Namun, ketika ia tengah berusaha kabur menuju pintu belakang, tubuhnya hampir menabrak sesuatu.
Lebih tepatnya, seseorang.
Bagas.
Ia berdiri di hadapan Laras dengan ekspresi bingung, jelas bertanya-tanya kenapa Laras terlihat seperti pencuri yang takut ketahuan.
Laras membeku sesaat. Tapi ia tidak punya waktu untuk ini.
“Laras!!” Suara Surya menggema dari ruang tamu memanggil namanya untuk menghampirinya, menetapi perkataannya sore tadi.
Laras tertegun. Opsi melarikan diri semakin tipis, sementara Bagas masih berdiri di hadapannya, menatapnya dengan ekspresi penuh tanya.
Dalam situasi mendesak, ia menyingkirkan rasa gengsi yang membelenggunya. Tanpa ragu, Laras meraih kedua sisi pinggang Bagas, menariknya lebih dekat hingga tubuh pria itu sepenuhnya menutupi dirinya yang lebih kecil.
“Tolong tutupin aku.” bisiknya cepat, nyaris tak bersuara. Namun tentu saja, Bagas bisa mendengarnya.
"Larass!!” Surya kembali memanggil, namun suara langkahnya mulai terdengar. “Aduh, gimana sih dia. Pak, Surya samperin Laras dulu ya, udah masuk kamar kayaknya…”
Bagas terdiam sesaat, tidak mengira bahwa situasi akan menjadi seperti ini. Namun, ia segera mengikuti arahan Laras, membiarkan dirinya menjadi perisai bagi wanita itu.
Dengan penuh kehati-hatian, ia mengatur posisinya agar tubuh Laras tertutupi sepenuhnya. Beruntung dirinya juga mengenakan kaus putih dan celana panjang berwarna abu-abu, setidaknya pakaian Laras bisa disamarkan olehnya.
Ada sesuatu yang menghangat di dadanya—perasaan yang tidak seharusnya muncul dalam kondisi seperti ini, tetapi tetap saja sulit ditekan. Laras tampak begitu serius, matanya penuh kehati-hatian, tetapi justru itulah yang membuatnya semakin menarik di mata Bagas.
Gerakan mereka tetap lambat dan penuh hati-hati, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tak satu pun penghuni rumah yang masih berada di dapur atau pun ruang makan menyadari bahwa Laras kini tengah bersembunyi di balik tubuh Bagas, mengikuti langkahnya menuju pintu belakang dengan begitu hati-hati.
“Saya mau merokok di luar sebentar.” ujar Bagas santai, memastikan suaranya terdengar wajar, tanpa sedikit pun nada mencurigakan.
Laras yang masih bersembunyi di baliknya langsung melirik tajam ke atas. “Ngerokok?!” cicitnya, nyaris frustrasi.
“Sstt!” desis Bagas pelan, suaranya hanya sampai di telinga Laras.
Belum sempat Laras membalas, sesuatu yang lain membuatnya terdiam. Dalam sekejap, ia merasakan lengan Bagas melingkar lembut di tubuhnya, seolah memastikan bahwa ia tetap tersembunyi dengan baik. Tubuhnya mengikuti gerakan Bagas secara alami, napasnya tertahan.
Tidak ada ruang untuk protes. Tidak ada pilihan lain selain pasrah pada ritme langkah pria itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam perlindungan yang terasa begitu nyata.
“Injak kaki aku.” Suaranya nyaris tidak terdengar, hanya dimaksudkan untuk Laras seorang.
Laras menatapnya sekilas dengan ekspresi ragu, tetapi ia segera menurut. Ia meletakkan kakinya di atas kaki Bagas, membiarkan pria itu membimbingnya keluar tanpa meninggalkan celah sedikit pun untuk dicurigai.
Bahkan ketika keduanya telah berada di luar, Bagas tetap mempertahankan posisinya, enggan melepaskan perlindungan yang telah ia berikan. Laras, yang mulai merasa situasi sudah cukup aman, perlahan mendorong dadanya.
“Sampai sini aja…” ucapnya pelan. Namun, Bagas tak bergeming.
“Bahaya kalau keliatan. Aku anterin sampe tempat yang beneran aman.”
“Tapi—”
“RASS!!”
Teriakan Surya menggema, membuat Laras sontak menegang dalam pelukan Bagas dan semakin merapatkan dirinya hingga ia bisa merasakan bagaimana dinginnya tubuh Bagas yang memeluknya. Bagas hanya menatapnya, seolah menegaskan bahwa ia benar.
“Tuh, aman menurut kamu?” tanyanya, menahan senyum.
Laras menghela napas pelan. “Engg... nggak, sih. Tapi aku berat...”
Bagas tersenyum kecil, menggeleng tanpa ragu. “Nggak apa-apa.”
Jika waktu bisa berhenti, Bagas ingin saat ini juga. Atau setidaknya... ia ingin segalanya melambat. Ia masih ingin berada di sini, merasakan Laras begitu dekat, merasakan helaan napasnya yang hangat bagaikan sebuah lantunan, mendengar suara yang selama ini hanya bisa didengar melalui ingatannya.
Sementara Laras, meski ada kehangatan yang menyeruak dalam dirinya, ia tahu perasaan ini seharusnya tidak ada. Ia tak bisa membiarkan dirinya tenggelam lebih jauh.
Namun, di antara semua kegelisahannya, detak jantung Bagas yang melekat di telinganya membuatnya tenang, ia pun tahu—kali ini, ia tak bisa melakukan apa pun selain pasrah.
Hingga tanpa keduanya sadari, mereka telah sampai di ujung jalan yang berkabut, cukup jauh dari pintu gerbang rumah Laras.
Dengan berat hati, Bagas perlahan melepaskan pelukannya, menciptakan jarak di antara mereka. “Udah sampe, Ras. Kayaknya di sini aman.” Ia menunduk, lalu menjatuhkan sandal Laras ke tanah. “Pakai dulu, biar kaki kamu nggak kotor.”
Laras, yang sejak tadi terdiam, tetap mengikuti arahan Bagas dan mengenakan sandalnya dengan cepat. “Eumm… makasih, ya.” Gumamnya, sedikit canggung. Ia bergerak mundur, tak tahu harus berkata apa lagi.
Dengan ragu-ragu dan sedikit melirik canggung, akhirnya Laras berkata, “Makasih banyak, ya… udah nolong aku.”
“Dengan senang hati.” Bagas tersenyum tipis, suaranya sarat dengan ketulusan. Bisa berinteraksi lagi dengan Laras, bisa kembali mendapatkan kepercayaannya, meski hanya sejenak—sudah lebih dari cukup baginya.
Laras menatapnya ragu, sebelum akhirnya berdeham kecil. “Ahem… kalau gitu, kamu masuk lagi sana. Aku mau pergi dulu sebelum Mas Surya nemuin aku.”
Ia membalikkan badan, bersiap melangkah pergi. Namun, langkahnya terasa berat, seolah tubuhnya sendiri menolak untuk segera menjauh.
“Pergi ke mana malam begini? Nggak bahaya?”
Laras berhenti, menoleh sebentar. “Bahaya gimana?”
“Ya… Ini udah malam, kabutnya udah makin tebal. Meskipun jalanannya cukup terang, tapi kamu sendirian.”
Bagas mungkin lupa… meskipun tempat ini asing baginya, bagi Laras, Tegalrejo adalah rumah. Setiap sudut desa ini telah menjadi bagian dari dirinya. Ia tersenyum kecil, perasaan asing menyelusup dalam dadanya—perasaan mengganjal karena mengetahui Bagas masih mengkhawatirkannya.
“Aku hapal setiap seluk-beluk desa ini, Gas. Aku tumbuh dan besar di sini… mau di mana pun aku, aku tetap gadis desa yang lahir di Tegalrejo.”
Nada suaranya datar, tetapi ada sesuatu yang tertinggal di sana—seperti kepedihan yang sengaja disembunyikan.
Bagas masih menatapnya dengan intens, seolah menguliti setiap kata-katanya untuk mencari sesuatu yang tersembunyi. Tatapan yang sama seperti dulu, yang selalu menuntut jawaban lebih.
Laras mendesah pelan, tangannya menyentuh lengan bajunya, meremasnya perlahan. “Aku punya tempat kecil di desa ini… semacam sangkar? Di dekat kebun kentangnya Bapak, aku bakal tidur di sana.”
Matanya melirik langit, mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan, lalu beralih ke Bagas dengan tatapan penuh isyarat. “Kamu masuk sana, udah malam…”
Langkahnya hampir menjauh ketika Bagas akhirnya bersuara.
“Laras.” Namanya dipanggil dengan suara rendah, sedikit bergetar, seakan Bagas menahan sesuatu di baliknya.
Laras menghentikan langkahnya, setengah membalikkan tubuhnya. Ada sesuatu dalam sorot mata Bagas yang… sejenak, hanya sejenak, berhasil menggetarkan hatinya.
Tidak.
Ia tidak boleh seperti ini.
“Kenapa lagi?” tanyanya, berusaha mempertahankan nada suaranya tetap datar, berusaha… tidak peduli.
Bagas menelan ludah. Tangan kirinya mengepal, seakan berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “Bukannya ada yang bisa kamu jelasin ke aku?”
Laras mengernyit. “Maksudnya?”
“Kenapa… kenapa hari itu kamu minta kita putus?” Ia menunduk sedikit, sebelum melanjutkan, “K—kenapa kamu tiba-tiba pergi, ngilang gitu aja…” Matanya yang kelam kini menatap lurus ke arah Laras. “Kenapa—”
“Aku udah bilang, kan?” potong Laras cepat, nada suaranya sedikit naik. “Aku punya banyak tanggung jawab.”
“Selain itu, Ras…”
“Selain itu? Emangnya ada, ya?” tanya Laras balik, kali ini dengan nada sinis yang tajam.
Bagas tidak mundur. “Aku nggak tahu alasanmu pergi, Ras. Bertahun-tahun aku cari tahu, aku cari kamu… aku nggak tahu di mana letak salahku, apa kata-kataku, atau perbuatanku yang buat kamu memilih ninggalin semuanya, ninggalin aku.”
Suara Bagas semakin berat. “Tapi kalau ini tentang kesalahanku… aku yakin, pasti memang salahku.”
Laras tersenyum kecil, tipis, namun penuh kelelahan. “Itu kamu tahu jawabannya… Kenapa masih nanya?”
Bagas menatapnya lama, mencari sesuatu di wajah Laras yang bisa memberinya jawaban. “Terus apa salah aku? Aku beneran nggak tahu, Ras.”
Laras diam. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Sementara Bagas masih menatapnya, berharap ada jawaban pasti setelah sekian lama.
“Karena kamu buat aku terlalu berharap sama kamu.” suaranya terdengar dingin dan sangat menusuk, membuat Bagas menegang. “Karena aku tahu, kalau sama aku, kamu nggak akan bahagia…”
Laras menatapnya penuh kekecewaan—tatapan yang jauh lebih menyakitkan daripada kemarahannya.
Bagas terdiam.
“Kamu, Gas... sejak kapan kamu ngerokok lagi?”
Hening.
“Kamu masih suka minum-minum, oh… mungkin masih sering nongkrong bareng perempuan juga, ya?” Nada suara Laras naik, emosinya mulai tumpah. “Pasti seru… soalnya nggak kayak aku, yang nggak ngerti sama sekali kalau mereka lagi bahas apa aja. Dan, soal pertunangan kamu… meskipun itu gagal, tapi selamat, ya? Pasti kamu seneng banget..."
“Ras…”
“Jadi gimana? Dari kapan kamu mulai ngerokok lagi?”
“Aku…” Bagas menggantungkan kalimatnya.
Laras tersenyum samar, namun bukan senyuman yang menyenangkan. “Kalau kamu bahkan nggak bisa jawab pertanyaan aku, udah ya, Gas? Udah…”
Ia menarik napas dalam, menundukkan kepala, dan menutup matanya sejenak.
“Aku cape,” lanjutnya, suaranya kini lebih lirih. “Tanggung jawab aku banyak di sini, seperti yang kubilang…”
Bagas hanya bisa menatapnya—ingin bicara, tetapi lidahnya kelu.
Laras mendongak, menatapnya sebentar, lalu menghela napas. Kali ini, tatapannya lebih lembut.
“Udah… kamu masuk aja, di luar dingin. Kamu lupa kalau kamu gampang pilek? Ada bronkitis?”
Bagas tertegun. Ia tidak pernah menyangka Laras masih mengingat hal sekecil itu.
Laras menarik jaketnya lebih rapat, lalu membalikkan tubuhnya. “Ahem… Aku pergi dulu.”
Bagas menatap punggung Laras yang semakin menjauh, siluet mungilnya perlahan menghilang dalam kabut malam.
Ia harus pergi, ia harus mendengarkan Laras.
Namun, hatinya berkata lain—ia hanya ingin bersama Laras.
Tanpa sadar, kakinya terangkat, melangkah sekali. Namun, ia berhenti.
Seketika ia merasa ragu.
Ia ingin menyusulnya.
Bagas tetap berdiri di tempatnya, menatap jalan setapak yang kini kosong—seolah menunggu Laras kembali muncul di ujung sana. Udara malam terasa semakin sunyi, menyisakan hanya desir angin yang berbisik di antara pepohonan.
Ia kehilangan arahnya.
Baginya, Laras adalah penunjuk arahnya—satu-satunya yang membimbingnya keluar dari jalan yang gelap.
Dengan senyuman, dengan canda tawa, dengan tangan mungilnya yang selalu menariknya keluar dari kesesatan.
Dengan langkah kaki yang teguh, Laras selalu memimpin jalannya.
Namun kini, Laras telah pergi.
Tanpa Laras, ia tidak tahu ke mana harus melangkah. Tidak tahu di mana dan ke mana tujuannya.
Sejenak, ia menunduk, menghela napas panjang. Kakinya ingin melangkah, tapi tak ada arah yang pasti.
Ia ingin Laras kembali.
Ingin Laras menggenggam tangannya lagi.
Membawanya pergi dari tempat di mana ia tidak bisa menolong dirinya sendiri, seperti dulu.
Seperti dulu… ketika Laras selalu ada untuknya.
Namun kenyataan berkata lain. Laras telah pergi, dan ia hanya bisa berdiri di sini, terperangkap dalam kehampaan yang tidak bisa ia lawan.
Jadi, ia memilih diam.
Berdiri di sana.
Menunggu.
Menunggu Laras kembali padanya.
Menunggu Laras menggenggam tangannya dengan lembut, dan membawanya melangkah menuju tujuannya.
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Chapter 5: In The Wake of Her Footsteps
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Udara malam di desa selalu menusuk lebih tajam dibanding siang, tapi Laras sudah terbiasa. Ia hanya duduk di atas hammock-nya, menekukkan kakinya dan memakai selimutnya, mendekapnya perlahan setelah memastikan tungku kayu multifungsinya telah menyala sempurna. Nyala api membakar kayu di dalamnya, membiarkan kehangatan perlahan memenuhi ruangan dan merayap pelan ke kulitnya yang dingin.
Tak lupa, ia juga memasak air dengan teko, kemudian menunggunya mendidih di atas tungku. Butuh waktu beberapa menit sebelum airnya mendidih, dan selama itu, Laras membiarkan tubuhnya beristirahat. Ia merebahkan dirinya, menatap kerlap-kerlip di langit-langit sangkar kecilnya.
Rumah pohon ini bukan sekadar tempat berteduh dan bersantai bagi Laras—ia adalah saksi bisu dari masa kecilnya yang menggemaskan dan penuh rasa ingin tahu.
Dulu, ketika Laras kecil saat libur sekolah tiba, ia selalu ingin ikut sang ayah bekerja di kebun kentangnya. Namun, bukannya membantu, ia justru membuat ayahnya kesulitan. Laras gemar berlarian ke sana kemari, menghilang begitu saja tanpa memberi tahu, membuat ayahnya harus menghentikan pekerjaannya hanya untuk mencari putrinya yang lincah itu.
Akhirnya, rumah pohon ini dibuat. Sebuah tempat agar Laras bisa bermain dan tetap berada dalam jangkauan ayahnya. Dari atas sana, ia bisa melihat ayahnya bekerja, sesekali berseru riang ketika melihat sesuatu yang menarik di kebun. Ayahnya pun bisa bekerja dengan lebih tenang, sesekali melirik ke atas memastikan Laras masih di tempatnya.
Seiring waktu, rumah pohon ini bukan lagi sekadar tempat bermain. Ia menjadi tempat rahasia Laras, tempatnya belajar, membaca, dan menenangkan diri. Saat remaja hingga ia tumbuh dewasa, rumah pohon ini berubah menjadi ruang pribadi tempatnya merenung, menulis diari, atau sekadar menatap langit sambil berayun di hammock.
Kini, rumah pohon itu tetap berdiri kokoh, menjadi tempat di mana Laras bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Cukup sunyi, hanya suara api yang berderak pelan dan gemerisik angin yang menyelinap lewat celah-celah dinding kayu.
Begitu hening. Inilah hening yang ia pilih.
Hening yang seharusnya menenangkan.
Tapi mengapa pikirannya masih begitu gaduh?
Laras menekan pelipisnya, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang terus menghantui. Namun justru semakin liar, melayang ke masa-masa di mana ia melepas Bagas demi kebebasannya.
Tapi kenapa saat itu langkahnya begitu berat? Kenapa dadanya begitu sesak hingga sekarang?
Kenapa sampai hari ini, di sudut sangkar kecilnya yang sunyi, ia masih mendengar suara Bagas memanggil namanya?
Kenapa ia masih bisa mengingat dengan jelas ekspresi terakhir yang ia lihat dari wajah pria itu?
Kebingungan di matanya—seakan tak percaya dengan apa yang Laras katakan. Seolah Bagas ingin menahannya, ingin meminta Laras menarik ucapannya kembali. Dan saat Laras akhirnya membalikkan tubuh, ia tahu, ia telah menggores luka yang tak bisa ia obati—luka yang juga mengendap di dalam hatinya sendiri.
Ini adalah keputusan yang terbaik untuk mereka berdua, untuknya dan Bagas.
Tapi… jika keputusan ini yang terbaik, mengapa hatinya masih terluka sampai saat ini?
“Aku nggak tahu alasanmu pergi, Ras. Bertahun-tahun aku cari tahu, aku cari kamu… aku nggak tahu di mana letak salahku, apa kata-kataku, atau perbuatanku yang buat kamu memilih ninggalin semuanya, ninggalin aku.”
Saat kalimat itu terucap di mulutnya, rasanya… Laras ingin menamparnya.
Namun juga berlari memeluknya…
Bagas yang tidak tahu, kalau Laras tahu segalanya. Setiap usaha, setiap langkah kaki yang Bagas tempuh untuk mencarinya—semua diceritakan oleh orang-orang yang tanpa sadar menjadi saksi dari keputusasaan seorang pria yang kehilangan cintanya.
Bagas tidak hanya mencari Laras di lingkungan kampus, tetapi juga menyusuri setiap sudut Sleman yang pernah Laras datangi, atau yang pernah mereka kunjungi bersama. Tempat makan langganan mereka, tempat fotokopi dekat kampus, toko buku kecil di sudut jalan yang sering mereka singgahi hanya untuk sekadar membaca tanpa membeli, perpustakaan yang menjadi tempat pertemuan mereka, bahkan gang-gang sempit yang tak pernah terlintas di pikirannya sebelumnya.
Bagas bahkan mencari hingga ke tempat-tempat yang tak pernah Laras bayangkan. Ia menemui dosen pengampunya, menanyakan apakah Laras ada janji bimbingan hari itu. Ia bertanya ke penjual kantin fakultas yang cukup dekat dengan Laras, ke satpam gedung fakultas, ke tukang parkir yang mungkin melihat Laras datang atau pergi. Ia mendatangi kost teman-teman Laras, atau hanya menunggu di luar, berharap Laras akan keluar dari kos-an sederhananya.
“Pacar kamu tuh nyariin kamu terus, Ras."
“Kayaknya dia nanyain soal kamu ke setiap orang yang kenal sama kamu, deh.. bahkan yang cuma kenal sekilas juga ditanya sama dia. Tuh, tanya aja si Manda, dia ngeliat langsung soalnya.”
“Aku juga perhatiin dia duduk di warung Mbok Sri sampai malem banget, terus ke abang nasi goreng kesukaan kamu yang di deket Tugu juga, nungguin kamu muncul. Kayak orang mau gila, Ras.”
“Dari kemarin, aku liat dia selalu di perpustakaan, diam di pojokan aja seharian sambil merhatiin pintu masuk. Setiap orang yang masuk diliatin lama banget, kayaknya dia berharap itu kamu.”
“Kalian lagi kenapa, sih? Berantem? Nggak biasanya kayak gitu, loh… biasanya di mana ada kamu, pasti ada si Bagas anak kedokteran itu, kan?”
“Ya ampun, Ras… Kamu dicariin terus sama pacar sekaya itu kok ngumpet terus? Udah ganteng, keren, segalanya ada, tinggal tunjuk pasti dapet. Itu tuh mimpi semua perempuan! Hahaha. Udah, baikan aja, sih. Rezeki nomplok gitu masa mau dibuang?”
Laras mendengar semua cerita itu dengan hati yang semakin remuk.
Laras tidak menjawab. Hanya tertawa kecil, seolah kata-kata mereka tak lebih dari angin lalu. Padahal di dalam dadanya, semuanya terasa sakit sekali.
Mereka tidak tahu bagaimana hatinya remuk ketika melihat Bagas dalam keadaan yang seharusnya tidak pernah ia lihat. Mereka tidak tahu bagaimana ia berdiri di ambang pintu, menyaksikan sesuatu yang tidak bisa dihapus dari ingatannya. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan kepercayaan dalam sekejap mata, kehilangan sesuatu yang baru saja ia genggam erat dengan segala usaha dan harapan.
Mereka tidak tahu apa-apa.
Dan Laras terlalu lelah untuk menjelaskan.
Di saat yang sama, Laras hanya bisa bersembunyi di kamarnya sambil menggenggam ponsel pemberian Bagas kala itu dengan erat. Ia membiarkan setiap panggilan masuk tak terjawab, membiarkan setiap pesan hanya berakhir dengan tanpa balasan.
Tapi ia tetap memilih untuk diam. Ia diam di tempatnya bersembunyi sambil terus membaca satu per satu pesan itu hingga melekat di ingatannya.
Satu tahun tiga bulan semenjak Bagas dan Laras menyukai satu sama lain, tujuh bulan setelah mereka menjadi sepasang kekasih, dan tepat tiga hari sebelum ulang tahun Laras… hubungan itu berakhir.
Perpisahan yang mungkin tidak semestinya terjadi, tapi tetap saja terjadi. Laras tidak memberikan kesempatan sedikit pun untuk Bagas memohon padanya, tidak ada salam perpisahan, tidak ada kata-kata yang bisa menenangkan luka yang sudah terlanjur dibuat.
Dalam diamnya, Laras menutup kedua matanya dengan lengannya, berusaha menahan isak yang mulai merayapi tenggorokannya. Namun, sia-sia. Setetes air mata lolos dari sudut matanya, menghangat di pipinya sebelum menghilang ke dalam bantal.
Ia mengingat semuanya—hari-hari setelah perpisahan itu, bagaimana ia menghabiskan waktunya dengan memaksa diri sibuk. Ia tenggelam dalam kuliah, menyelesaikan tugas lebih awal, lalu pulang hanya untuk bersembunyi di kamar. Ia tidak makan jika tidak diingatkan, tidak bicara jika tidak ditanya, hingga teman-teman kosnya mulai paham bahwa Laras lebih memilih diam, lebih memilih menutup diri, lebih memilih tenggelam dalam sepi.
Bukan berarti ia tidak ingin bertemu Bagas. Justru sebaliknya.
Ia tahu, jika ia melihat Bagas lagi—walau hanya sekilas—pertahanannya akan runtuh. Ia akan kembali menginginkan pria itu.
Sebab setiap kali ia mengingat bagaimana Bagas pernah menggenggam tangannya dengan lembut, bagaimana Bagas menyesuaikan langkahnya dengan Laras agar selalu seirama saat berjalan pulang bersama menyusuri jalanan kampus di sore hari, menunggunya di depan perpustakaan dengan senyum yang dulu terasa begitu hangat, makan bersama saat mereka lapar dan bercanda gurau untuk menghilangkan lelah—ingatan itu akan kembali menghantuinya, seperti sekarang.
Bagas yang mencumbu bibir perempuan itu dengan begitu dalam, dengan nafsu yang tak perlu dijelaskan lagi, bagaimana tangan kekasihnya itu bergerak memberinya pangkuan mesra, menggenggam pinggang perempuan itu erat dan menariknya lebih dekat, seakan menginginkan lebih dari sekadar ciuman.
Ingatan itu terus berulang, menghantamnya dari segala arah, seolah tak ingin membiarkannya melupakan.
Laras menggigit bibirnya, dadanya terasa begitu sesak.
Bagas mungkin menyesal sekarang. Bagas mungkin berkata ia masih mencintainya. Bagas mungkin masih mencarinya, merindukannya.
Tapi ingatan itu tidak akan pernah berubah, dan itulah yang membuat segalanya terasa lebih menyakitkan.
Ia mengangkat tangannya, merasakan ujung rambutnya yang kini hanya sebahu. Dulu, Bagas menyukai rambutnya yang panjang, sering membelainya dengan lembut, membiarkan jemarinya bermain di antara helaian rambut itu seolah kebiasaan yang tak ingin ia hentikan. Selalu ada kunciran di pergelangan tangannya—bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Laras.
Saat makan, saat angin kencang terus menerpa wajah Laras, saat Laras sibuk menunduk menulis catatan—Bagas akan meraih kunciran itu tanpa diminta, mengumpulkan rambut Laras dengan hati-hati, lalu mengikatnya dengan cekatan. “Biar nggak ganggu kamu.” katanya, meskipun semua orang tahu, itu hanya alasan kecil Bagas agar ia bisa menyentuh rambut pujaan hatinya lebih lama.
Kadang, saat mereka duduk berdua dalam diam, Bagas akan menggulung helai-helainya di jemarinya, lalu melepaskannya lagi, berulang-ulang.
Malioboro di tahun mendadak padat. Baru sehari liburan semester dimulai, namun berhasil membuat jalanan di sekitar Yogyakarta penuh sesak oleh wisatawan. Klakson bersahutan, sementara suara pedagang kaki lima bercampur dengan deru kendaraan yang nyaris tidak bergerak.
Di dalam mobil yang terjebak macet, Bagas mulai merasa bosan meskipun siaran radio tengah menyiarkan lagu kesukaannya, Andai Dia Tahu oleh Kahitna.
Di sebelahnya, Laras tampak sibuk dengan benang dan jarum rajut di tangannya sambil bersenandung kecil. Jemarinya lincah, sesekali alisnya berkerut, bibirnya menggumam pelan saat membaca pola dari buku rajut yang terbuka di pangkuannya.
Bagas mengetuk-ngetukkan jarinya di setir, mendesah pelan sebelum akhirnya menoleh ke arah Laras. Matanya mengamati pacarnya yang begitu fokus dengan rajutannya.
“Kamu serius banget, bikin apa?” Bagas menyandarkan kepalanya ke jok, melirik pacarnya yang tak bergeming.
Laras hanya bergumam kecil, tetap fokus. “Hmm… tadi ukurannya kekecilan, jadi harus diulang dari awal.”
Bagas menatap lebih dekat. “Lagi bikin apa emangnya?”
“Topi, buat kamu. Kalau kamu belum sempet cukur, kamu suka ngeluh rambut kamu berantakan, kan?”
Bagas mengangkat alis, sedikit terkejut. “Buat aku?”
Laras tersenyum manis sejenak sebelum bergumam, “Iya.”
Senyum Bagas melebar. Ia menggeser tubuhnya mendekat, tapi Laras segera menahannya. “Jangan ganggu dulu! Takut gagal lagi, Gas.”
“Nggak apa-apa, Ras. Kalau nanti topinya kekecilan, aku kecilin aja kepala aku, gimana?”
“Hahaha, celetukannya aneh banget…” gelak tawa Laras terdengar geli, membuat Bagas ikut terkekeh.
Bagas mengulurkan tangan, mengambil ujung rambut Laras yang jatuh di bahunya, lalu memilinnya pelan di jarinya.
Satu putaran. Dua putaran. Lepas. Ia ulangi lagi, kali ini dengan helaian lain.
Laras membiarkannya karena sudah terbiasa, akhirnya melirik tanpa mengangkat kepala. “Kamu ngapain, sih?” tanyanya tanpa menghentikan rajutannya.
“Mainin rambut pacar aku.”
Laras menghela napasnya, tapi tidak benar-benar kesal karena itu memang kebiasaannya. “Bosan banget, ya?”
“Banget.” Bagas mengangguk cepat, masih memainkan rambutnya. “Udah setengah jam lebih kita kejebak macet, kayaknya kita bisa tua di sini. Kita nikah sekarang aja kali, ya, Ras?”
Laras terkekeh pelan, lalu kembali fokus pada rajutannya.
Bagas begitu menikmati pemandangannya, ia terus menatap lekat ke arah Laras.
Helaian rambut bergelombang itu jatuh di pundak, harum semerbak vanilla bercampur wangi khas sampo yang selalu dipakai Laras. Jemarinya terus memilin rambut Laras, menggulung lalu melepaskannya lagi, berulang-ulang.
“Kamu manis banget…” katanya tiba-tiba.
Laras hanya tertawa kecil. Ia menoleh sekilas, “Apa sih? Udah ahh…”
Bagas terkekeh, tetap bermain dengan rambutnya. "Kayak gulali. Manis, lembut, terus rasa vanilla."
Laras mendengus kecil, kembali fokus ke rajutannya. “Rasa? Emang kamu pernah makan aku apa gimana?” tanyanya polos.
DEG.
Bagas langsung membatu. Jantungnya berhenti tiga detik, lalu berdetak tiga kali lebih kencang. Sementara itu, tangannya yang sejak tadi santai memainkan rambut pacarnya kini menggantung di udara.
Bagas buru-buru mengatur napas. “M-makan?” suaranya mendadak cempreng.
“Iya, makan.” Laras masih menunduk, tidak sadar kalau pertanyaannya barusan seperti ledakan granat di kepala Bagas. Laras akhirnya menoleh, menatap pacarnya yang kini terlihat tegang bukan main. “Kenapa, sih? Tiba-tiba panik gitu…”
Bagas menelan ludah, lalu mengadu kepada Tuhan dari dalam hatinya.
Bagas buru-buru menegakkan badan. Dia harus mengalihkan fokus. Dengan gerakan cepat, ia menjumput helaian rambut Laras, membawanya lebih dekat ke wajahnya, lalu mengecupnya singkat.
“Aroma… maksudnya,” ucapnya lebih pelan, “aku suka wangi rambut kamu.”
Laras hanya mengangguk kecil, masih sibuk merajut. “Oh.”
Bagas kemudian menatapnya, merasa geli sendiri melihat betapa polosnya Laras. Ia tersenyum kecil, lalu menggulung helaian rambut Laras sekali lagi di jarinya sebelum melepaskannya dengan lembut.
“Jangan dipotong, ya? Jangan dilurusin, jangan diapa-apain… kamu udah cantik banget.” bisiknya.
Laras menghela napas, pura-pura sebal. "Ya nggak akan, lah. Lagipula, ini warisan dari Nenek aku, aku pasti jaga.”
Bagas tersenyum, jemarinya masih bermain dengan rambut Laras. “Makasih, ya, Nek… Cucu kesayangannya jadi manis banget, bikin anak orang diabetes kalo mantengin cucunya lama-lama."
Laras akhirnya tertawa kecil, ia bergerak menyubit pipi Bagas dan kembali fokus pada pekerjaannya. Bagas memperhatikan jemarinya yang lincah bekerja, lalu mendengus pelan. “Kalau aku pakai topi itu nanti, aku bakal keliatan makin keren nggak?”
Laras berpikir sebentar, lalu mengangkat bahu. “Tergantung.”
“Tergantung apa?”
“Tergantung kamu keren dari sananya atau karena topinya.” sahut Laras santai.
Bagas pura-pura mendesah, menekan dada seperti habis ditusuk pisau. “Sakit banget, Ras. Aku kira pacar aku bakal memuji aku, ternyata malah gini.”
Laras hanya tertawa lebih lebar, akhirnya menoleh sekilas ke arah Bagas yang masih asyik memilin rambutnya, namun terhenti ketika tiba-tiba ia merasakan jemari pacarnya yang cantik itu menyentuh pipinya. Sentuhannya lembut, singkat, tapi cukup untuk membuatnya terdiam.
Laras mengusap pipinya sebentar sebelum tersenyum kecil. “Kamu keren, kok… soalnya kamu pacar aku, sayang.”
Bagas membeku. Matanya membesar sedikit, lalu menatap Laras seolah baru pertama kali mendengar kata itu keluar dari mulutnya.
Laras tetap sibuk dengan rajutannya, pura-pura tidak menyadari reaksi Bagas yang kini menatapnya dengan ekspresi tercengang.
“Eh… tadi kamu manggil aku apa?” suara Bagas sedikit meninggi, seperti anak kecil yang baru diberi permen.
Laras berdeham pelan, tetap tidak menoleh. “Manggil apa?”
“Sayang,” Bagas mencondongkan tubuhnya, menatap Laras lebih dekat. “Kamu manggil aku sayang barusan.”
Laras akhirnya meliriknya dengan ekspresi setenang mungkin. “Iya. Terus kenapa?”
Bagas masih menatapnya, berusaha mencari sesuatu di wajah Laras. “Kamu nggak pernah manggil aku kayak gitu…” gumamnya, nyaris seperti protes.
Laras akhirnya tertawa kecil, menutup bukunya dan memasukkan jarum rajut ke dalam gulungan benang. “Ya, makanya aku coba. Biar kamu nggak bosen, kamu suka kalau aku panggil kayak gitu?”
Bagas terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan tersenyum lebar. Ia menyandarkan kepalanya kembali ke jok, lalu menatap Laras dengan ekspresi penuh rasa puas.
“Ih… pake nanya, ya suka dong. Kamu tahu aja apa yang aku butuhin. Manis kayak gini, pacarnya siapa, sih?” Bagas berucap sambil beralih menggelitiki dagu Laras dengan gemas.
Laras terkikik, tubuhnya sedikit mundur menghindari sentuhan jahil Bagas. “Ihh~ gelii!! Hehehe... Abis kamu kayaknya bosan banget, tapi masa sekali dipanggil sayang langsung kayak gitu sih?”
Bagas terkekeh, matanya masih berbinar, berbinar banget sampai Laras merasa dia hampir berpendar sendiri di dalam mobil. “Kejadian langka, sayang… Aduh, aku jadi kebawa sayang juga, kan.”
Laras menahan senyum, lalu pura-pura cemberut. "Hahaha, apa sih..."
Bagas langsung menyenggol bahunya dengan manja. "Ras, sekali lagi, Ras..."
Laras meliriknya, senyum menggoda tersungging di bibirnya. Kekasihnya ini benar-benar besar—secara postur, secara sikap, secara suara. Tapi, saat ini? Bagas lebih mirip anak kecil yang minta dibacakan cerita sebelum tidur.
Dengan sedikit menahan tawa, Laras akhirnya berbisik, "Apa, sayang?"
"YESS!! YA ALLAH… PACAR AKU GEMES BANGETT!" Bagas hampir bersorak, kedua tangannya terkepal di udara sebelum buru-buru turun lagi untuk kembali memainkan helaian rambut Laras. "Nanti aku cerita ke Allah, dia harus tahu makhluk ciptaannya segemes ini."
Laras tertawa, tapi kemudian menatapnya penuh arti. "Tapi kata Allah, nggak boleh pacaran, Gas."
Bagas langsung membeku. Sepersekian detik lalu, dia masih melayang di awan kebahagiaan, tapi sekarang ekspresinya berubah seperti anak kecil yang es krimnya jatuh ke tanah. Bahunya turun sedikit, mulutnya mengerucut. "Iya juga..."
Laras tersenyum jahil, menikmati bagaimana bayi besar ini tiba-tiba kehilangan semangat. Ia menahan tawa saat melihat Bagas bersandar ke jok dengan wajah kecewa seakan seluruh dunia menolak kebahagiaannya. Tapi sebelum ia sempat menggoda lebih jauh, Bagas tiba-tiba tegak kembali, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru dikasih es krim baru.
"Kalau gitu, setiap sujudku nanti, aku mohon pengampunan sama Allah, sekalian nyebut nama kamu terus biar bisa berjodoh." Bagas menyeringai penuh percaya diri.
Laras melongo, lalu mendengus sambil tertawa. "Apa sihh... Lupa kalau ada orang tua kamu yang harus kamu sebut juga?"
Bagas berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Hmm… itu juga, tapi utamanya kamu sama aku dulu. Kalo orang tua aku kan udah berjodoh, buktinya aku udah jadi nih."
Laras hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Di luar, macet masih menjebak mereka, klakson kendaraan bersahutan, tapi setidaknya sekarang mereka punya sesuatu yang bisa membuat waktu berjalan lebih cepat—tawa mereka bersama.
Jika Bagas melanggar janjinya, maka Laras pun begitu.
Setelah semuanya berakhir, Laras pergi ke salon tanpa banyak berpikir. Ia meminta rambutnya dipotong, jauh lebih pendek dari sebelumnya—bukan karena ingin perubahan, juga bukan karena ingin memulai lembaran baru.
Ia hanya ingin menghapus Bagas dari setiap inci dirinya, seakan dengan memotong rambutnya, ia bisa memutus ikatan yang menghubungkan mereka.
Seakan dengan menghilangkan setiap helaian yang pernah disentuh Bagas, ia bisa lupa bahwa pria itu pernah ada. Tapi ia tahu… itu tidak akan pernah cukup.
Saat helai-helai rambut jatuh ke lantai, hatinya ikut terkikis sedikit demi sedikit. Tidak ada air mata, hanya perasaan kosong yang semakin dalam.
Sejak saat itu, Laras mempertahankan rambut pendeknya. Ia tidak lagi membiarkan gelombang alaminya tumbuh melewati bahunya, seperti dulu—seperti yang Bagas sukai.
Ia meluruskannya. Memastikan setiap helaian jatuh rapi ke bawah, tanpa jejak masa lalu.
Karena meskipun ia tidak bisa menghapus Bagas dari hatinya, setidaknya ia bisa menghapus bayangannya dari cermin.
TOK TOK—
Laras tersentak. Suara ketukan terdengar dari bawah, dari pintu kecil yang terhubung ke tangga rumah pohon. Ia buru-buru mengusap pipinya, berusaha menghapus jejak air mata.
Siapa yang datang? Jangan-jangan…
Ia menatap pintu itu dari hammock-nya dengan hati-hati, napasnya masih sedikit tersengal setelah tangis yang tertahan. “Bagas, ya?” tanyanya pelan, setengah berharap, setengah takut.
Tak ada jawaban. Namun, Laras bisa mendengar dengan jelas langkah-langkah di tangga kayu yang sedikit berderit di tengah kesunyian. Derapnya teratur, semakin dekat, hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu rumah pohonnya.
Laras menggigit bibir, perasaannya berkecamuk.
“Isshh... Kenapa sih dia nggak pernah berubah, selalu ngikutin aku? Kenapa sih dia selalu mempertahankan hal-hal buruk? Dia tuh manusia atau anak ayam, sih?” gerutunya pelan, setengah kesal, setengah lagi berusaha menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap. “SEBENTAR!”
Ia menghela napas, berusaha menenangkan dirinya sendiri, lalu bangkit. Dengan langkah sedikit ragu, ia berjalan ke pintu, tangannya terulur untuk membuka tuas pengaman yang menjaga rumah pohon tetap tertutup dari orang luar. Namun, baru saja jari-jarinya memutar logam dingin itu—
BRUK!
“WOY!”
“AAAA—”
Pintu tiba-tiba terdorong dengan kuat dari luar. Guncangannya hampir membuat Laras kehilangan keseimbangan. Ia tersentak mundur, jantungnya berdegup kencang, kepanikan sempat menyergap sebelum ia sempat berpikir lebih jauh.
Seseorang di luar sana tidak sabaran—sosok yang muncul itu bukanlah Bagas.
“Heboh banget? Kamu kira aku setan?!”
Laras mengerjap, lalu mendengus lega begitu melihat siapa yang berdiri di depan pintu dengan wajah kesal. Bukan Bagas, ternyata…
“Awan?”
Awan memiringkan kepala, matanya menatap Laras dengan alis sedikit terangkat, penuh rasa penasaran. "Siapa lagi emangnya?"
Laras menghela napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang semakin tidak karuan. Hatinya berdegup lebih cepat, tapi ia berusaha keras agar tidak terlihat cemas. "Ya... kirain orang lain, ngagetin aja..." gumamnya pelan, suaranya agak sedikit lebih tinggi dari biasanya. “Kamu nggak pulang ke rumah?”
“Nanti, lah.” Awan menjawab santai, seperti biasa. "Aku tadi lagi jalan mau pulang, eh… aku liat kamu jalan sendirian ke sini, jadi aku ikut deh."
Laras menghembuskan napas, berusaha seolah tidak ada yang salah. Kelegaan belum datang sepenuhnya, karena pikirannya terus melayang ke percakapan dengan Bagas tadi. Bagaimana kalau Awan dengar?
“Oh... Eh, tadi udah lewat depan rumah atau belum?” Laras bertanya, berusaha terdengar biasa.
Awan hanya mengangkat bahu, tidak ada yang aneh dalam ekspresinya. “Emang kenapa?”
“Ya nggak, sih... Nanya aja.” Laras tersenyum, meski senyum itu terasa sedikit terpaksa. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Belum, tadi aku baru sampe di depan rumahnya Pak Agus.” Awan menjawab dengan santai, lalu melirik Laras yang tampaknya sedikit lebih tegang dari biasanya.
“Oh…” Laras mengangguk, mencoba terlihat tenang. Rumah Pak Agus… berarti masih cukup jauh dari depan rumah Laras.
Laras memaksakan senyum kecil, walau hati masih sedikit gelisah. Mungkin, semuanya hanya ada dalam kepalanya saja. Sementara itu, Awan masuk tanpa diminta, duduk bersandar di sudut rumah pohon yang sudah familiar baginya sejak kecil.
Laras memperhatikannya sejenak—seolah kedatangan Awan begitu wajar, begitu ringan, seperti malam-malam lain ketika mereka masih anak-anak. Laras memutuskan mengunci tuas itu kembali, lalu menyusul ke dalam dan kembali merebahkan dirinya di hammock.
Awan berjalan mendekati tungku kayu untuk menghangatkan badannya, sementara ujung matanya mengamati Laras diam-diam. “Tumben ke sini malam-malam? Biasanya juga nggak segini larut.”
Laras melipat tangan di dada dan mencoba memejamkan matanya, mencoba terlihat santai. “Cuma butuh tempat buat sendirian aja, nggak ada alasan lain kok.”
“Hmm.” Awan bergumam pendek, lalu mengambil panci kecil dan mengambil sebungkus mie instan yang tersimpan di lemari penyimpanan makanan.
“Mau mie, nggak?”
Laras menggeleng, “Nggak, ah… Aku udah kenyang.” Suaranya terdengar agak datar.
Awan, yang tak terbiasa mendengar penolakan Laras atas tawara untuk makan mie instan bersama, hanya mengangkat alis sedikit.
“Itu airnya kayaknya mau mendidih, pake aja buat rebus mie-nya. Sisain dikit buat aku minum.” lanjut Laras sambil melirik sedikit padanya, lalu mengalihkan pandangannya ke kelap-kelip lampu di atasnya.
“Oke.” Awan duduk dengan santai, meletakkan panci kecil di genggamannya dan mulai menyiapkan mie instan. Sesekali ia melirik Laras, memperhatikan gerak-gerik perempuan itu yang tampak sedikit canggung. Laras, yang sejak tadi berusaha menahan perasaan, merasa ada yang ganjil dalam sikapnya sendiri. Dan tentu saja, Awan cepat menangkap itu.
“Ras, kamu abis nangis?”
Kata-kata itu melayang di udara dan menghantam Laras seperti aliran angin dingin yang tak terduga. Tubuhnya tegang sejenak, namun segera ia coba menahan diri dan menggeleng dengan cepat. “Nggak.”
Awan hanya mengangkat bahu, tidak terlalu memaksa. “Oke.”
Namun, tatapannya masih menempel pada Laras, seperti dia bisa merasakan sesuatu yang belum terungkap. Tidak ada desakan, tidak ada paksaan. Hanya ada tatapan yang penuh perhatian—membuat Laras merasa aneh, tetapi juga agak lega.
Laras memaksakan senyum tipis, berharap bisa menyembunyikan semua ketegangan yang sempat menguasainya. Tapi Awan, seperti biasa, tidak memberi ruang untuk obrolan lebih lanjut yang membuat Laras merasa semakin terjebak dalam pikirannya sendiri.
“Mau nonton bareng?” tanya Awan tanpa menyadari bahwa suaranya bisa menyingkap perasaan lain dalam diri Laras.
Laras menatap langit yang mulai gelap di luar jendela, merasakan angin sejuk yang menerobos lewat celah-celahnya. “Nggak dulu, ah… Aku ngantuk.” jawabnya, pelan dan tidak terlalu jelas, seakan berharap Awan tidak mengorek lebih dalam.
Awan mendengus pelan, tidak terlalu peduli pada ketegangan yang ada. “Tumben? Jangan tidur dulu, temenin makan.”
Dan dengan begitu saja, saat ini mereka duduk berdampingan, dalam keheningan yang nyaman—Awan menikmati semangkuk mie instannya, sementara Laras larut dalam kobaran api kecil di tungkunya. Laras merasa agak aneh, tapi setidaknya ia tenang… karena kini hanya ada kehadiran Awan.
“Gimana dokter baru itu? Aku belum liat dia, deh.”
Pertanyaan itu tiba-tiba membuat Laras menegakkan tubuhnya sedikit, seakan-akan ia perlu menyiapkan jawabannya dengan hati-hati. Perlahan ia membuka mata, memikirkan jawabannya. “Kenapa emangnya?”
Awan mengangkat alis, sedikit terkejut dengan respon Laras yang terlihat agak tertekan. “Loh? Bukannya kamu bilang kamu nggak suka dia? Kamu sendiri yang bilang ke aku pas ke desa sebelah kemarin.”
“Oh…” Laras merengut pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai memuncak. “Biasa aja, kerjanya oke, kok.”
Awan terdiam, memperhatikan Laras sejenak. Ada sesuatu yang tidak biasa dalam sikapnya, sesuatu yang lebih dalam dari sekedar ketidaksukaan terhadap dokter baru itu. Sesuatu yang Awan tahu, meski Laras berusaha menyembunyikan.
Awan tetap diam, lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, tapi matanya tetap tidak lepas dari Laras. Ia tahu, meskipun Laras tampak berusaha santai, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“Mikirin apa, sih?” tanya Awan akhirnya, lebih lembut kali ini, mencoba memancing agar Laras sedikit terbuka, meskipun ia tahu itu tidak mudah.
Laras menatap langit luar jendela, berpikir beberapa saat sebelum menjawab. “Nggak… Nggak mikirin apa-apa, mikirin masa lalu aja.” Laras menarik napas dalam, seakan-akan berusaha menenangkan dirinya. “Kayak… ada yang salah, tapi aku nggak tahu apa yang salah.”
Awan mendengus pelan, tetapi kali ini ada sedikit kesedihan yang menyelip di matanya. “Masa lalu… pasti nggak mudah kan?”
Laras hanya menunduk, ia tidak tahu harus menjawab apa.
Awan bisa merasakan getaran kecil dalam suaranya, dan itu membuatnya merasa semakin terikat dengan apa yang ada di hati Laras. Tapi dia tahu, saat ini bukan waktunya untuk mengungkapkan apapun. Tidak sekarang.
“Laras…” Awan mulai berbicara pelan, hampir seperti bisikan. “Kamu gak perlu ngelihat semuanya dari kaca mata masa lalu. Kadang, yang kita butuhkan itu cuma… lihat apa yang ada di depan kita.”
Laras mengangkat wajahnya, sedikit bingung dengan kata-kata Awan. Tetapi Awan hanya tersenyum, bukan senyum biasa, tapi senyum yang lebih seperti harapan yang tertahan.
“Masih ada banyak yang bisa kamu jalanin sekarang, bisa kamu dapatkan.” lanjut Awan, mencoba memberi dorongan tanpa memaksa. “Pikirin itu aja dulu…”
Laras mengangguk pelan, merasa sedikit lega, meski perasaan aneh masih menggelayuti hatinya.
Awan hanya tersenyum kembali, sedikit berlama-lama menatap Laras. Dalam hatinya, perasaan itu tetap bertahan, seperti benih yang tumbuh di tempat yang tidak bisa ia ungkapkan—meskipun ia tahu, mungkin, ini bukan waktu yang tepat.
:::::
Beberapa hari berlalu, dan Laras semakin menjauh dari Bagas. Ia tak sanggup untuk berlama-lama berdiri di dekatnya, apalagi bertatapan. Setiap kali matanya bertemu dengan mata Bagas, ia merasa benteng pertahanannya semakin rapuh.
Bagas, di sisi lain, perlahan mulai beradaptasi dengan kehidupan desa. Ia belajar untuk menjalani hari-harinya dengan cara yang lebih sederhana, beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sesuai dengan aturan yang berlaku di rumah Laras, setiap orang, tanpa kecuali, harus saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga untuk meringankan tugas Sari. Bagas, bersama dengan Baskara, Cantika, Laila, dan Damar, bergantian melakukan tugas-tugas rumah—menyapu, mengepel, mencuci piring, dan pekerjaan sehari-hari lainnya. Sementara itu, Laras dan Pak Wiryo lebih fokus pada pekarangan rumah, tempat mereka menanam berbagai tanaman dan merawat hewan ternak yang menjadi sumber makanan utama mereka.
Suatu pagi, Bagas terlihat tekun menyapu lantai sebelum mulai bekerja. Dengan hati-hati, ia mengumpulkan debu-debu yang menempel di lantai, memastikan tak ada yang tersisa. Damar, yang sudah siap dengan kain pel, menunggu di sisi lain untuk segera membersihkan sisa-sisa debu yang telah disapu. Bagas tak bisa menahan senyum tipis ketika Cantika memberinya pujian atas kerja kerasnya. “Wah… Mas? Sapuannya bersih banget, ketara banget suka kebersihan, nih.” pujinya. Bagas hanya tersenyum, merasa sedikit bangga meskipun tidak mengungkapkan banyak.
Bagas terkejut mendengar pujian itu, meskipun dalam hati ia tahu bahwa pujian itu tidak datang begitu saja—ada usaha dan waktu yang ia habiskan untuk belajar. Saat itu, ia teringat kembali pada hari-hari pertama Laras datang di kos-annya. Dulu, saat ia masih asing dengan semua ini—membiarkan debu-debu menumpuk di segala sisi, Laras dengan sabar mengajarinya cara-cara dasar merawat rumah.
Laras datang ke kosan Bagas, teman belajarnya untuk menumpang cetak tugas kuliahnya. Begitu melangkah masuk dan duduk di sofa, ia merasa ada yang sedikit aneh dengan suasana kos-an yang luas ini, namun terasa lembab dan pengap. Hanya suara mesin printer yang terdengar berderak pelan dari kamar tidur Bagas.
Bagas duduk di meja belajarnya, terfokus pada laptopnya memastikan tugas Laras tapi Laras bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggunya—lantainya terlihat agak berdebu.
Tanpa banyak bicara, Laras mengambil sapu yang ada di sudut ruangan. “Kayaknya lantainya kotor, nih…” gumamnya pelan. Sambil menyapu, ia mulai memperhatikan debu-debu yang tersebar di sekeliling ruangan. Rambut rontok panjang, robekan kertas dan serbuk-serbuk kecil berserakan di mana-mana, bahkan di bawah meja, kursi dan lemari televisinya.
“Bagas?” panggilnya, sambil menyapu dengan hati-hati. “Kamu nggak pernah bersihin kos-an kamu ya?”
Bagas, yang masih sibuk dengan layar laptopnya, cuma menoleh keluar sejenak. “Bersihin kok, aman, kan?” jawabnya santai, seakan tak ada yang perlu dipermasalahkan.
“Bersihin kok… masih kotor gini?” gumam Laras seraya mengangkat alisnya, matanya menatap lantai yang penuh debu. “Terus kotorannya dibuang ke mana?” tanya Laras, sedikit heran.
“Ya, dipojokin aja sih…” jawab Bagas sambil keluar dari kamarnya dengan wajah polosnya, tidak sadar kalau ia perlu menjelaskan lebih jauh.
Laras terdiam sejenak, merasa agak kesal tapi tetap mencoba sabar. “Jadi, ini hitam-hitam di lantai gini, ini kumpulan debu? Sampai lengket, loh?” tanya Laras, sambil menunjukkan bagian lantai yang lebih kotor dan berkerak.
Pria yang ia baru kenal selama 3 bulan ini ternyata memiliki pesonanya sendiri. Selain wajahnya yang tampan, otaknya yang cerdas, dan keluarganya yang kaya serta terhubung dalam lingkaran sosial yang berkuasa, tak disangka ia juga... jorok.
Bagas menoleh ke lantai dan cuma mengangkat bahu. “Gapapa, kotor di situ aja, area sini nggak kotor kok.”
Laras mendesah pelan, melihat sekeliling kosan Bagas yang penuh debu. “Ihh, tetep aja. Udah pernah dipel, belum?” tanyanya, suaranya mulai terdengar frustrasi.
Bagas menggeleng pelan, dengan sedikit rasa malu. “Nggak pernah, sih… Alatnya aja nggak ada.”
Laras menghela napas pelan, mencoba mencari cara untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya tanpa terkesan menghakimi. “Hmm… tapi pasti ada kain yang nggak kepake, kan?” ujarnya dengan nada yang lebih lembut, sambil tetap fokus pada pekerjaannya.
Bagas hanya mengangguk pelan, sedikit bingung dengan pertanyaan Laras, tapi tetap menurut begitu saja.
Laras tersenyum kecil dan melanjutkan dengan lebih sabar. “Ya udah… kamu awasin dulu tugas aku. Aku bantu bersihin kos-an kamu, habis itu kita makan. Tapi, kamu tahu nggak sih, kalau kos-an kayak gini tuh sayang banget, mahal, tapi nggak dirawat dengan baik? Kalau nggak dijaga, bisa-bisa malah nggak nyaman dipakai, lho. Ya, gimana bisa nyaman kalau lingkungan sekitarnya kotor begini? Nanti bikin kamu gampang sakit juga, Gas.”
Bagas hanya mengangguk, sedikit terkejut dengan respons Laras yang terasa lebih peduli daripada yang dia duga, namun dia tak memberi tanggapan lebih lanjut. Tak pernah ada teman perempuannya yang ke sini dan peduli tentangnya, menbuat Bagas sedikit… tersentuh. Bagas terdiam, hanya mengamati Laras yang telaten menyapu lantai, tak peduli kaus kaki putihnya yang kini mulai menghitam karena debu-debu yang diinjaknya.
Laras berhenti sejenak, ia baru sadar ternyata semakin ia membersihkan, semakin ia menemukan banyak debu yang terabaikan, terutama rambut panjang yang tersebar di lantai. Laras mengambil sekumpulan rambut panjang yang tergeletak begitu saja. “Bagas, itu rambut siapa sih?” tanyanya, nada suaranya sedikit datar tapi penuh curiga.
Bagas yang masih sibuk menatap punggung kecil Laras dari ambang pintu kamarnya segera merespon, wajahnya terlihat cemas. “Itu... udah lama kok, temenku juga numpang ngeprint.” jawabnya tergagap, jelas berusaha menghindar dari pertanyaan.
Laras tersenyum kecil, walaupun dalam hati ia sudah mulai berpikir bahwa Bagas pasti sering mengundang teman-teman perempuannya ke kos-an untuk… itulah. Tanpa menyembunyikan tatapan curiganya, ia melanjutkan menyapu. “Mau rambut rontok panjang atau pendek, keriting atau lurus kayak gini yang nggak kasat mata tetap ganggu, ya. Apalagi kalau sampe numpuk begini.”
Bagas langsung mengerutkan kening, sepertinya salah paham. “Enggak kok, rambut kamu mah nggak ganggu, kok…” jawabnya sambil tersenyum polos, mencoba mengalihkan topik.
Laras berhenti menyapu dan menatap Bagas dengan tatapan tidak percaya. “Hah? Aku lagi ngomongin rambut yang rontok di lantai, bukan soal rambutku.” kata Laras dengan nada datar, meskipun senyum kecil masih bermain di bibirnya.
Bagas hanya bisa tertawa malu. “Eh, maaf. Nggak nyambung, ya…” katanya sambil menggaruk kepala, jelas terlihat bingung.
Laras hanya tersenyum kecil dan melanjutkan pekerjaannya. “Ya udah, fokus sama yang lebih penting dulu deh,” katanya sambil menyapu dengan lebih teliti. “Rambut rontok itu harus dibersihin, nanti jadi sarang debu.”
Sambil terus menyapu, Laras melanjutkan penjelasannya. “Nyapu itu paling penting, Bagas. Kalau misalnya ubinnya masih kotor, terus langsung dipel, ya tetap aja kotor. Debu-debu itu nggak keangkat, malah makin nyangkut di lantai.”
Bagas menatap Laras dengan lebih serius dan berjalan mendekat, akhirnya mulai menyadari betapa pentingnya menjaga kebersihan. “Oke, oke, aku ngerti. Jadi, sapunya harus gimana?” tanyanya, suara serius namun dengan sedikit rasa keingintahuan.
Laras mengangguk pelan, meletakkan sapu sejenak dan memandang Bagas. “kamu sapunya pelan-pelan aja, jangan buru-buru. Kalau terlalu kencang, debunya malah terbang ke mana-mana.” Ia menunjukkan gerakan yang benar, menggoyangkan sapu pelan sambil menyentuh lantai dengan hati-hati, memastikan bahwa setiap gerakan rapat dan terkontrol.
Bagas mengamati setiap gerakan Laras dengan seksama, mencoba menyerap setiap detail. "Oh… pelan-pelan biar debunya nggak terbang lagi kan?" tanyanya, sedikit lebih yakin.
Laras tersenyum kecil, merasa senang karena Bagas mulai menyimak. “Iya, betul. Kalau kamu gerakin terlalu cepat, anginnya bisa bikin debu malah terbang lagi. Sapu pelan-pelan, rapatkan sikunya biar nggak terlalu lebar, terus kalau ada debu yang nyangkut di sapunya, diangin-anginin pelan kayak gini biar lepas sendiri. Kamu mau coba?”
Bagas mengangguk, lalu mencoba menirukan gerakan Laras. Dengan sedikit canggung, ia menggerakkan sapu pelan, berusaha mengatur kecepatannya. Laras memandangnya dengan senyum kecil, tidak berkomentar lebih banyak, hanya memastikan dia melakukan dengan benar. “Nah, gitu. Jangan terburu-buru, kalau terlalu cepat nanti malah ngotorin lagi.”
Laras kemudian berjongkok dan sedikit membungkukkan dirinya. “Bagas, sini sapunya~ yang di bawah sini juga, yaa!”
Bagas yang awalnya terdiam, hanya mengangguk pelan dan menuruti Laras, meski tanpa sadar langkahnya sedikit ragu. Namun, begitu ia mendekat, ia tidak bisa menahan diri untuk terus memandang Laras. Dengan tenang, Laras semakin membungkukkan badannya untuk menyapu bagian bawah lemari yang sedikit tersembunyi.
Namun, Bagas diam-diam mengamati wajah cantiknya dari jarak dekat. Ia menatap rambut ikal panjang Laras yang jatuh bebas, sedikit berantakan, membuatnya ingin meraih dan menyentuhnya. Tanpa disadari, ia bergerak sedikit lebih dekat, tangannya terulur dan perlahan, ia menyentuh rambut Laras, mengarahkannya agar tidak terkena debu lantai.
Laras, sedikit terkejut dengan pergerakan jemari Bagas di rambutnya, tapi entah mengapa… Laras tidak merasa risih sedikit pun. Ia hanya tersenyum kecil, melanjutkan pekerjaannya tanpa mengalihkan pandangannya. “Aku pegangin, biar rambut kamu nggak kotor kena debu…” ujarnya sambil menahan canggung.
Bagas, yang tidak bisa menahan diri, sedikit lebih lama lagi memegang rambut Laras yang terasa halus dan lembut, memastikan ikalnya tidak menghalangi pandangannya dari wajah cantik Laras.
“Gimana? Lebih bersih, kan?” Laras menengok sedikit ke arah Bagas setelah memastikan ia sudah menyapu semua debu di bawah lemari itu, matanya beralih menatap Bagas dengan senyuman manis, tanpa sadar mengabaikan jarak yang terlalu dekat di antara mereka.
Namun, Bagas hanya tersenyum, ia masih terpana dengan kecantikan Laras dari jarak dekat seperti ini. “Ahem… Hm, iya… bersih.” jawabnya, meskipun matanya masih tidak bisa berhenti mencuri pandang pada Laras.
Bagas terdiam sebentar, seolah-olah waktunya berhenti sejenak. Dia hanya bisa menatap Laras yang sibuk membersihkan kosannya, perasaan hangat yang tumbuh semakin kuat dalam dirinya. Begitu banyak yang ingin ia katakan, tapi kata-kata terasa sulit keluar. Ia menarik napas dalam-dalam untuk merasakan getaran halus di dadanya, dan perlahan berjalan keluar untuk membeli bakmi.
Namun, setiap langkahnya menjauh dari kos-an itu, hatinya justru semakin tidak tenang. Rasa ingin kembali ke dekat Laras semakin kuat, semakin menyiksa. Sekali lagi, ia berusaha menenangkan dirinya, tapi ternyata, langkahnya semakin cepat. Tanpa sadar, ia bahkan berlari kencang menuju kos-annya dengan dua bungkus bakmi di tangannya.
Saat akhirnya ia tiba kembali, napasnya terengah-engah, namun hatinya lebih tenang. Dengan bakmi di tangan, ia masuk ke dalam kos-an dan melihat ke arah meja makan di mana Laras sedang mengelap bagian yang berdebu di sana. Laras tampak fokus dengan pekerjaannya, tetapi Bagas tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Dia menyembunyikan rasa canggungnya, meski terus didesak dengan perasaan aneh yang baru saja muncul begitu kuat dalam dirinya. “Aku udah beli bakminya!” katanya, sambil menyodorkan bakmi ke Laras, meskipun matanya tetap menatap sosok Laras dengan cara yang berbeda.
Laras menoleh, melihatnya dengan senyum kecil. “Cepet banget? Untung aku udah selesai ngepelnya, bersih deh sekarang~” seru Laras dengan tersenyum bangga, tanpa tahu betapa Bagas sebenarnya berlari kencang bukan karena bakmi, tapi karena dia sudah mulai merasa rindu dengan kehadiran Laras.
Bagas mengangguk cepat, “Iya... nggak bisa jauh dari kamu, kayaknya.” ucapnya dengan suara agak tersengal-sengal, meski tanpa sadar, ada rasa jujur yang keluar begitu saja. Bagas merasa sedikit bodoh karena mengungkapkannya begitu langsung, tapi entah kenapa, itu terasa seperti hal yang paling benar untuk diucapkan.
Laras sedikit terkejut dengan pengakuan itu, namun ia hanya tersenyum membiarkannya. “Hmm, oke… yuk, makan?”
Bagas hanya mengangguk pelan, senyumnya kembali mengembang di bibir tebalnya. Bagas lalu duduk di salah satu bangku dengan kikuk, sementara Laras mulai menyiapkan meja makan dan menata bakmi dan dua gelas air minum yang ia ambil untuk mereka bedua.
Dalam diam, Bagas merasa hatinya semakin berdebar kencang. Sepertinya ia tidak bisa berhenti mengagumi Laras—tidak hanya tentang kecantikan fisiknya, tetapi juga tentang bagaimana dia bisa begitu perhatian, begitu tulus, dalam hal-hal yang orang lain sering anggap sepele dan berakhir terlupakan.
Ketika Laras tertawa ringan, suaranya mengalun lembut, Bagas hanya bisa tersenyum—senyum yang mengandung lebih banyak dari sekadar kebahagiaan biasa. Ada sesuatu yang semakin tumbuh dalam dirinya, sesuatu yang ia tak ingin akui, tapi sudah begitu nyata. Dan mungkin, itulah yang membuatnya tidak ingin meninggalkan momen ini. Rasanya, ia ingin terus mendengarkan Laras berbicara, bercerita tentang apa pun, belajar lebih banyak darinya, dan mungkin membuatnya menyadari betapa pentingnya hal-hal sederhana yang datang ke kehidupannya.
“Ahem..”
Dehaman kecil itu yang terdengar khas di telinganya membuyarkan lamunan Bagas yang terlalu dalam. Ia berkedip beberapa kali, menyadari dirinya masih berdiri di ambang koridor dengan sapu yang masih berada di tangannya, menatap kosong ke lantai yang baru saja ia bersihkan.
Ketika Bagas bergeser dan membalikkan punggungnya, Laras berdiri dengan alis sedikit terangkat menatapnya heran. Di belakangnya, Baskara dan Pak Wiryo ikut menatap Bagas dengan ekspresi campuran antara bingung dan geli.
“Di belakang… ngantri…” suara Laras terdengar datar, tapi Bagas tidak melewatkan nada gugup yang samar di ujung kalimatnya.
Baskara menyikut lengan Bagas sambil berjalan melewati Bagas dan Laras, mencoba menahan tawanya. “Masih pagi udah bengong aja, Mas… bengongin apaan, sih?” tanyanya, suaranya penuh godaan.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Baskara, Bagas hanya menelan ludah, tangannya secara refleks menggaruk tengkuknya dengan canggung. Pandangannya melirik ke arah sapu di tangannya, lalu tanpa berpikir panjang, ia berujar, “Eh… sapu ini… bagus, ya?”
Hening.
Baskara dan Pak Wiryo saling pandang, seolah mencari kepastian dari satu sama lain apakah mereka baru saja mendengar sesuatu yang benar-benar bodoh. Sementara itu, Laras tidak ikut menatap mereka.
Dia justru menatap Bagas.
Sekilas, ekspresi Laras seperti seseorang yang berusaha keras memahami isi kepala pria itu, namun semakin lama dia menatapnya—dengan raut wajahnya yang bingung sekaligus malu sendiri—Laras justru harus menunduk cepat-cepat, bibirnya sedikit mengerucut menahan tawa. Ujung-ujungnya, ia hanya bisa menggeleng pelan dan memilih untuk berjalan perlahan lebih dulu.
Ya Tuhan… dia benar-benar tidak berubah.
Baskara yang masih keheranan langsung menggeleng, setengah kasihan melihat betapa tidak kompetennya usaha Bagas dalam mengalihkan perhatian. “Ya ampun, Mas… Kalau mau cari alasan, yang lebih pinter dikit dong.”
Pak Wiryo, yang sejak tadi turut memperhatikan Bagas dengan mata jenaka, ikut tertawa. “Hahaha! Udah, nggak apa-apa. Mas Bagas ini mungkin lagi ngebayangin terbang pake sapunya, kayak film apa tuh, Ras? Larry?”
Laras langsung menengok ke arah ayahnya, “H-harry… Pak, Harry Potter. Salah mulu ih…” Wajahnya sedikit berkerut karena ini bukan pertama kalinya ayahnya salah menyebut nama tokoh favoritnya.
Alih-alih merasa bersalah, Pak Wiryo justru tertawa lepas dan merangkul sang anak dengan santai. “Sengaja, Bapak suka aja ngisengin kamu, hahaha.”
“Iya, Pak… Iya… Suruh Bagas siap-siap, Pak.”
Pak Wiryo mengangguk cepat, tapi ada sesuatu dalam senyumnya—sebuah kilasan rasa puas yang tak bisa disembunyikan. Ia sudah terlalu sering melihat Laras bersikap dingin pada Bagas, jadi menyaksikan putrinya kini dengan terang-terangan menyuruh Bagas bersiap membuatnya sedikit terkejut, tapi juga senang.
“Oh, iya… Ayo, Mas Bagas, jangan bengong terus… Kata Laras siap-siap, dia mau ajak kamu jalan-jalan—AARGH—”
Bagas masih diam di tempatnya, napasnya sedikit tertahan. Namun, ia mengerjapkan matanya, merasa asing ketika ada sesuatu dalam dadanya yang menghangat pelan.
“Bapakkkk~” Laras mendesis pelan, wajahnya seketika merona saat menyikut lengan ayahnya dengan gemas. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera berjalan cepat, meninggalkan area koridor begitu saja.
Sudah berhari-hari Laras mendiamkannya, berbicara hanya jika perlu, dan kini... gadis itu menyuruhnya bersiap.
Mau dibawa ke mana? Ia tidak tahu. Tapi entah kenapa, itu tidak penting.
Karena ke mana pun Laras akan membawanya, Bagas akan tetap senang.
Laras mungkin tidak menyadarinya, tapi bagi Bagas, ini berarti segalanya.
Bagas hanya bisa tersenyum, rasa rindu yang membuncah di dalam dadanya terasa begitu kuat, namun ada harapan yang tumbuh bersamaan dengan itu. Langkah Laras kini membawanya ke arah yang sama—dan kali ini, ia tak akan pernah melepaskan kesempatan itu.
:::::
Siang harinya, Laras membawa Bagas untuk memberitahu tugas yang Bagas harus kerjakan selama menjadi relawan. Laras terus melangkah, membawa Bagas melalui gang-gang kampung yang sudah sangat ia kenali. Di sepanjang jalan, ia menjelaskan dengan tenang tentang kondisi lansia yang ada di rumah-rumah itu. Bagas mengikutinya, matanya tidak hanya tertuju pada rumah-rumah itu, namun lebih pada Laras—cara dia berbicara, cara dia menjaga profesionalisme di hadapannya.
Bagas tak bisa menahan kekagumannya. Meskipun profesinya berhubungan dengan hewan, Laras tampak sangat tahu bagaimana cara memperhatikan kebutuhan manusia. Warga seringkali bercerita tentang kesehatan mereka kepada Laras, entah untuk mencari jawaban atau hanya sekadar ingin didengar, mengingat betapa langkanya kunjungan dokter dari rumah sakit besar yang hanya datang sebulan sekali dengan waktu yang singkat.
Laras bukan hanya dokter hewan yang diandalkan, tapi juga menjadi tempat bertanya tentang kesehatan manusia. Karena itu, ia berperan sebagai penghubung antara desa dan rumah sakit, bahkan mengajukan permohonan agar relawan kesehatan dikirim ke desa ini—tanpa menyangka, langkah itu membawanya kembali bertemu dengan Bagas.
Saat Laras berbicara, Bagas tak hanya mendengarkan, tetapi juga merasakan betapa Laras sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan desa ini. Ia bukan hanya dokter atau anak kepala desa, tapi juga penggerak perubahan di kampung ini.
Bagas merasa seolah larut dalam suasana itu—meski ia tidak bisa mengucapkan kata-kata yang tepat, ia bisa merasakan betapa besar komitmen Laras terhadap orang-orang di sekitarnya.
Ada perasaan mendalam yang tak terucapkan di dalam diri Laras, namun ia berusaha menyembunyikannya dan tetap fokus. Hingga akhirnya, Bagas meminta untuk melakukan kunjungan satu per satu, sekaligus ingin memperkenalkan dirinya kepada keluarga pasien dan pasien, untuk mempermudah komunikasi. Namun, ia meminta Laras mendampinginya, karena keterbatasannya dalam berbahasa Jawa.
“Laras, sebentar…” Bagas memulai, suaranya agak ragu yang membuat Laras mengalihkan padangan kepadanya. “Aku… hmm, sebenarnya boleh nggak kalau aku ngunjungin mereka sekarang? Aku pengen lihat langsung kondisi mereka dan kenalan langsung, tapi aku nggak bisa bahasa Jawa. Mungkin kamu bisa temenin aku?”
Laras mengerjapkan matanya dan terdiam sejenak, menatap Bagas dengan sedikit kebingungannya. “Bukannya kamu bisa bahasa Jawa sedikit-sedikit?” tanyanya, nada suaranya penuh tanya, mencoba memastikan apa yang ia dengar.
Bagas hanya menggaruk tengkuknya dengan canggung. “Aku udah lupa sih, cuma tau... ‘Nggeh.’ Artinya ‘bukan,’ kan?” ujarnya dengan ragu, mencoba mengingat-ingat apa yang pernah ia pelajari dulu.
Laras langsung terdiam, bingung. “Bukan… artinya ‘iya’.” jawabnya pelan, meskipun nada suaranya mulai terdengar ragu—meragukan Bagas.
“Iya?” Bagas mengangkat alis, mencoba memastikan, “Maksudmu, ‘Nggeh’ itu artinya ‘iya,’ bukan ‘bukan’?”
Laras tertegun sesaat, memandang Bagas dengan ekspresi yang semakin bingung. “Iya, artinya ‘Nggeh’ tuh iya. Bukannya ‘bukan,’ eh... gimana sih?” Laras akhirnya menghela napas panjang, tersenyum sendiri, merasa kikuk karena kebingungannya sendiri. “Eh, iya betul… artinya ‘bukan’.”
Bagas yang melihat itu hanya bisa menahan senyum. “Tuh kan, aku nggak paham. Temenin aku, ya?”
Ada keraguan yang jelas tergambar di wajah Laras, namun di balik itu, ia bisa merasakan ketulusan dalam permintaan Bagas. Sebagai seorang profesional, Laras selalu mengutamakan tugas, namun entah kenapa, perasaan itu sulit dibendung. Sejujurnya, ia tidak ingin memberi celah apapun untuk hal-hal yang bisa membuat mereka kembali dekat, apalagi setelah semua yang terjadi di masa lalu. Namun, ketika berbicara tentang tugas dan profesionalitas, Laras merasa tak bisa menolaknya begitu saja.
Ia menarik napas panjang, mencerna segala macam perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. Ada sedikit keraguan, tapi dalam hati, Laras tahu jawabannya. Seperti yang selalu ia ajarkan pada dirinya sendiri—profesionalisme harus selalu diutamakan. Dan jika harus menemaninya untuk membantu, kenapa tidak?
“Ya udah…” jawab Laras akhirnya, suaranya terdengar sedikit ragu, tapi lebih karena kebiasaan untuk selalu menjaga jarak dan bersikap profesional. “Ayo, aku temenin. Lagian, aku juga nggak ada jadwal kerja sekarang.”
Bagas tersenyum ringan, rasa terima kasih menyentuh hatinya meskipun ia berusaha menahan ekspresi itu. “Makasih, Laras...” katanya pelan.
Laras hanya mengangguk, lalu membiarkan Bagas berjalan mendahuluinya memasuki rumah kunjungan pertama, sementara ia akan mengikutinya di belakang. Dalam hati, Laras menyadari bahwa momen kecil ini—meskipun hanya untuk menemani Bagas mengunjungi pasien—pasti akan membuka ruang bagi mereka untuk saling berinteraksi kembali. Dan, meskipun dia berusaha menahan diri, ada sedikit rasa penasaran yang perlahan tumbuh tentang siapa Bagas sekarang.
“Nah, kita sudah sampai di rumah terakhir. Di sini, tinggal Pak Mansur dan cucu perempuannya.” Laras memulai, sambil menunjuk sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu yang diharumi oleh aroma melati dari pohon bunga melati yang tertanam di setiap sisinya. “Semenjak jatuh di kamar mandi dua tahun lalu, Pak Mansur menderita stroke, dan setahun yang lalu, dia didiagnosa dengan Alzheimer. Untuk sekarang, dia masih bisa beraktivitas mandiri dan mengenali banyak orang, meskipun ingatannya mulai luntur, termasuk dalam merawat diri sendiri. Itulah kenapa dia harus selalu diawasi cucunya, sementara anak perempuannya yang merupakan anak tunggal dari Pak Mansur merantau ke kota.”
Bagas memperhatikan rumah itu dengan penuh perhatian. Dari luar, rumah itu terlihat sangat sederhana, namun ada kehidupan yang berjalan di dalamnya, kehidupan yang berjuang meskipun dihadapkan pada berbagai kesulitan.
“Cucunya yang merawat?” tanya Bagas, menatap Laras untuk memastikan.
“Iya, awalnya aku nggak setuju dengan keputusan orang tuanya yang memilih pergi ke kota, tapi ya gimana lagi… semuanya butuh uang. Nama cucunya Rina, sebentar lagi dia lulus SMA. Katanya, nanti setelah lulus dan dapat pekerjaan, ibunya bakal pulang dan Rina yang ambil alih peran ibunya untuk mencari nafkah, sementara ayahnya tetap merantau. Cukup berat buat Rina, karena harus ngurusin kakeknya sambil sekolah dan harus merelakan waktu bersenang-senangnya untuk merawat kakeknya. Tapi dia tangguh, pintar, dan meskipun masih muda, dia sangat perhatian sama Pak Mansur.”
“Pasti berat sekali…” Bagas mengangguk pelan, merasakan betapa beratnya beban yang ditanggung oleh Rina, anak muda yang harus lebih cepat dewasa daripada teman-temannya. “Kita boleh masuk, kan?”
Laras mengangguk, lalu melangkah menuju pintu rumah Pak Mansur. Bagas mengikuti, memperhatikan setiap langkah Laras yang tampak familiar dengan lingkungan sekitar. Begitu mereka sampai di depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Rina, cucu Pak Mansur, yang sedang duduk di teras rumahnya sambil menyingkirkan gabah dari nampan beras. Begitu melihat kedatangan mereka, Rina menghentikan kegiatannya dan tersenyum lebar, menyambut mereka masuk.
“Mbak Laras! Apa kabarnya? Sini masuk!” seru Rina ceria, suaranya penuh semangat.
Laras membalas dengan senyum ramah, “Assalamualaikum, Rina. Aku baik, kamu sama kakek gimana kabarnya? Kamu nggak sekolah?”
“Baik, mbak. Kalau lagi semester genap, aku sekolah pas jam siang, mbak. Kakek lagi nonton televisi di dalam, ayo masuk. Tapi… ini siapa, mbak?” tanya Rina, mengamati Bagas dengan penasaran.
Laras sedikit tersenyum dan memandang Bagas sekilas. “Ini dokter Bagas, nanti dia yang akan kasih perawatan dan perhatian lebih untuk kakek kamu. Jadi kalau misalnya kakek kenapa-kenapa atau ada yang mau Rina tanyakan, bisa langsung bicara ke beliau. Dia tinggal di rumah mbak.”
Bagas tersenyum, memperkenalkan diri dengan sikap yang ramah, “Assalamualaikum, Rina. Saya Bagas, spesialis kesehatan keluarga. Fokus saya pada kesehatan yang membutuhkan perhatian jangka panjang. Jangan sungkan untuk bertanya atau meminta pertolongan jika ada yang perlu, ya.”
Rina membalas salam dengan hangat, "Wa'alaikumusalam, mas. Terima kasih banyak... tolong perhatikan kakek saya ya.” Kemudian Rina memberi isyarat untuk masuk. “Yuk, masuk dulu, mas, mbak.”
Dengan begitu, mereka bertiga melangkah masuk ke dalam rumah yang sederhana namun penuh kehangatan.
Di dalam rumah, Pak Mansur sedang duduk di kursi kayu dekat jendela menonton televisi. Begitu mengetahui kedatangan mereka, matanya yang tajam dan penuh semangat menoleh, dan senyum ramah pun terukir di wajahnya. Melihat Laras, anak dari Pak Wiryo dan seorang pria bertubuh tinggi di belakangnya, Pak Mansur langsung menyambut mereka dengan hangat.
Meskipun ada keterbatasan gerak akibat penyakit yang dialaminya, semangat hidup yang tak tergoyahkan tetap memancar di mata Pak Mansur.
Laras menyapa dengan ramah, memperkenalkan Bagas kepada Pak Mansur, lalu membiarkan Bagas memberikan beberapa petunjuk medis kepada Rina. Bagas dengan penuh perhatian memeriksa kondisi Pak Mansur, mengonfirmasi beberapa hal terkait obat-obatan dan rutinitas kesehariannya.
Beruntungnya Rina bisa berbahasa Indonesia, sehingga Bagas bisa berbicara dengannya bahasa Indonesia dengan baik, meskipun sesekali tampak kesulitan dengan beberapa istilah Jawa yang kurang ia pahami. Laras, dengan sabar, membantu menerjemahkan dan memastikan komunikasi tetap berjalan lancar.
Setelah beberapa saat, Laras menyadari bahwa langit tiba-tiba mendung, sehingga mereka memutuskan untuk pamit.
Dalam perjalanan pulang, Bagas dan Laras kembali melewati rumah-rumah yang sudah mereka kunjungi bersama. Ketika mereka hampir sampai di depan rumah Laras, Bagas berhenti sejenak, menyadari betapa besar tanggung jawab yang Laras selama ini bawa di pundaknya.
Laras menoleh ke belakang, melihat Bagas yang terlihat sedikit terdiam. “Bagas, kenapa diam aja? Lumayan berat, ya? Atau terlalu banyak?” tanyanya dengan lembut—tanpa Laras sadari.
Bagas tersadar, dan seketika itu pula ia merasa ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kehangatan yang mengalir dalam hatinya—terhadap pekerjaan Laras, terhadap dedikasi yang Laras tunjukkan, dan terhadap dirinya sendiri yang kini berada di belakangnya, berjalan dalam jejak langkah Laras.
“Nggak apa-apa, Ras…” jawab Bagas, berusaha menyembunyikan perasaan yang membanjiri dirinya. “Aku cuma… ngerasa beruntung bisa ada di sini… bisa ngikutin jejakmu lagi.”
“Jejak?”
“Iya, jejak. Kamu ingat, nggak? Aku pernah bilang kalau dari pertama aku kenal kamu, aku selalu ngikutin ke mana pun kaki kamu melangkah. Entah dari kaki kanan atau kaki kiri kamu, entah jejak kaki kamu masih membekas di tanah atau sudah perlahan menghilang, entah melalui jalan aspal yang halus, tanah yang becek atau jalan bebatuan yang kasar, aku tetap ikuti semuanya dan jadi tahu tentang apa saja yang selama ini aku lewati.”
“Dan setelah dapat kesempatan untuk menginjak jejak kakimu lagi, aku sadar… kamu lebih dari apa yang aku kira. Padahal kamu selalu cerita seberapa kamu ingin terjun langsung dan kasih yang terbaik untuk desamu, tapi baru sekarang aku paham apa maksudmu saat itu.” Bagas bergerak menyimpan tangannya di kantung celana bahannya, matanya menerawang ke depan dan sedikit menunduk, seakan malu untuk sekadar menatap mata indah Laras.
“Jasa kamu untuk desa ini, untuk hewan ternak yang kamu rawat dengan penuh perhatian, untuk keluargamu, juga untukku… semuanya tak ternilai, Ras. Aku bangga sama kamu, Ras. Sungguh… aku bangga sekali sama kamu.”
Laras hanya tersenyum kecil, senyuman hangat namun terkesan hampa, seperti sedang menyembunyikan perasaan yang perlahan muncul dalam dadanya. Dia menatap Bagas sejenak, lalu berkata dengan nada ringan namun jelas.
“Aku ke rumah pohonku ya, takutnya kalau di rumah nanti ketemu Mas Surya. Kamu pulang aja…” kata Laras sambil melangkah perlahan, berusaha mengalihkan perhatian dari keheningan yang menggelayuti mereka.
“L—laras…”
Namun, sebelum Bagas melanjutkan, Laras melihat sedikit genangan di matanya, dan itu membuat hatinya bergetar tanpa bisa disembunyikan. Tanpa sadar, tangannya bergerak—perlahan, dengan gerakan yang begitu alami, seperti kebiasaan lama—untuk mengusap pipi Bagas dengan lembut, lalu mencubitnya sedikit, seakan mengingatkan pria di depannya untuk tidak terlalu tenggelam dalam perasaan.
“Jangan nangis, Gas…” katanya, suara Laras terdengar lebih lembut dari yang ia niatkan, namun tetap tegas. “Kamu udah dewasa, bukan bayi besar dari Jakarta yang kukenal manja dan cengeng lagi.”
“A—aku… aku belum selesai ngomong, Ras…”
Tangannya masih terulur, seakan enggan untuk melepaskan pipi Bagas yang dulu sering ia cubit untuk membuatnya berhenti menangis saat menonton film sedih atau mendengarkan cerita yang menyentuh. Laras hanya tersenyum dan melanjutkan, “Udah mau hujan, masuk sana. Aku pergi, ya…”
Bagas tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan punggung Laras yang semakin menjauh. Langkahnya cepat, nyaris tergesa, seolah ingin segera pergi sebelum ada yang membuatnya ragu.
Bagas menelan napas dalam-dalam, tapi tetap saja ada sesak yang menggumpal di dadanya. Ia tahu Laras masih terluka. Ia tahu dirinya mungkin tak berhak meminta lebih.
Tapi tatapan itu, sentuhan singkat di pipinya… apa artinya?
Apa Laras masih menyimpan hatinya? Bahkan jika hanya seujung kuku, secuil tempat di sudut yang paling tersembunyi—apakah Bagas masih ada di sana?
Bagas menunduk, menatap tanah yang dipijaknya. Udara malam terasa lebih dingin, atau mungkin hanya perasaannya saja. Ia menggenggam ujung kemejanya erat-erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa rapuh di dalam dirinya.
Dan tanpa sadar, suara itu keluar dari bibirnya—pelan, hampir seperti bisikan yang hanya didengar oleh angin yang lewat.
“Aku kangen kamu… Ras…”
Tapi Laras sudah pergi.
Dan Bagas hanya bisa berdiri di sana, ditinggalkan lagi oleh sesuatu yang tidak pernah benar-benar bisa ia genggam.
Alih-alih melangkah masuk ke perkarangan rumah Laras, ia membalikkan badan, membiarkan langkah kakinya membawa pergi entah ke mana. Ia tidak hafal seluk-beluk desa ini, tidak kenal tikungan jalan yang ia temui kecuali jalan menuju klinik dan balai desa, tapi Bagas hanya tahu satu hal… ia butuh menjauh sejenak.
Ia tidak tahu harus ke mana. Ia hanya tahu bahwa dadanya terasa penuh, dan pikirannya seperti tak berhenti berputar—tidak bisa menggenggam Laras, tidak bisa menatap matanya tanpa merasa bersalah.
Bagas berjalan perlahan, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, kepala tertunduk setengah. Beberapa orang yang ia lewati menyapa dengan ramah, dan ia membalas mereka dengan senyum tipis—senyum yang hanya mampir sebentar di bibir, lalu menguap bersama angin.
Tak ada tujuan yang pasti, tak ada tempat yang ia cari, tapi langkahnya terus bergerak. Dan dalam langkah-langkah itu, Bagas tahu… ia belum bisa pulang.
Belum sekarang.
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Chapter 6: Rooted In Her Footsteps
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Seperti biasa, Laras memilih mengasingkan diri di rumah pohonnya.
Angin cukup kencang di luar sana, sementara gemericik air hujan sudah mulai turun, tapi Laras tak bergerak dari tempatnya—di pojok ruangan yang diselimuti bau kayu tua dan udara lembab, kasurnya yang sudah tua namun tetap nyaman itu dikelilingi tumpukan buku dan kotak-kotak penyimpanan berisi masa lalu yang enggan dibuka, dikelilingi kelambu yang memberikan sisi kenyamanan tersendiri.
Laras, mulai bosan dengan tontonan apa yang bisa ia lihat melalui proyektor mininya, memutuskan untuk membungkus dirinya rapat dengan selimut rajut dengan kombinasi benang putih, abu-abu muda dan biru tua bermotif sederhana—selimut yang ia buat sendiri, yang ia selesaikan diam-diam semasa kuliah dulu.
Selimut itu seharusnya milik Bagas.
Dulu, saat cinta itu telah tumbuh dan belum mengenal sakit, Laras menyerahkan segalanya. Ia mencintai Bagas dengan segenap hatinya—bukan karena Bagas sempurna, tapi karena ia percaya, cinta yang tulus bisa memperbaiki apa pun yang retak.
Laras memutuskan untuk membuat hadiah ulang tahun yang istimewa menunjukkan ketulusannya kepada Bagas. Ia tahu dirinya bukan orang yang pandai memilih barang—tak mengerti merek mahal dan selalu merasa asing di tengah etalase toko yang gemerlap.
Laras merencanakan semuanya diam-diam sejak dua bulan sebelum hari ulang tahun Bagas, saat ia tengah kembali ke Jakarta. Saat itu, keluarganya tengah mengadakan pesta besar-besaran untuk merayakan pernikahan seorang sepupunya.
Ia membeli benang warna abu-abu dan biru tua—dua warna dari jaket favorit Bagas yang paling sering ia kenakan saat malam tiba atau saat hujan turun. Laras ingat betul tekstur jaket itu, wangi cologne yang menempel di kainnya, dan cara Bagas menyelipkan tangannya ke dalam saku saat dingin. Sebagai pelengkap, ia memilih benang putih, seolah ingin menambahkan sedikit terang di antara gelapnya warna, seperti harapan kecil yang masih ia simpan diam-diam saat itu.
Laras belajar dari buku-buku otodidak yang ia temukan di toko buku langganannya, mencoba beberapa pola untuk menemukan yang cocok untuk Bagas, terganggu oleh benang yang kusut, lalu membongkar kembali bila polanya berantakan atau ketika benangnya terajut tak sempurna.
Tidak ada yang mudah, tapi Laras tidak menyerah.
Setiap malam, di sela tumpukan buku kuliah dan laporan praktikum, masa ketika Bagas dan Laras mulai jarang bertemu karena keduanya sibuk dengan perkuliahannya—Laras duduk sendiri di atas ranjang sempitnya, memangku buku otodidaknya, sementara jemarinya memegang benang dan jarum sambil menahan kantuk demi menyelesaikan beberapa baris benang lagi.
Tak peduli jika jemarinya lecet dan beberapa tampak menebal, bahkan ketika punggungnya pegal, Laras tetap melanjutkan. Karena ia percaya, rasa sayangnya bisa disulam ke dalam tiap simpul benang itu.
Ia membayangkan Bagas memeluk selimut itu di malam yang dingin, mungkin saat lelah pulang jaga jika sudah memasuki masa koas nanti, atau saat Laras jauh darinya, atau ketika Bagas tak bisa tidur.
Ia hanya ingin di mana pun Bagas berada, Bagas bisa merasakan kehangatan yang memberikan rasa aman, bisa beristirahat dengan nyaman, bisa tidur dengan nyenyak.
Tapi… hadiah itu tak pernah diberikan.
Hubungan mereka pecah. Laras tidak bisa lagi menatap Bagas tanpa mengingat persilatan lidahnya dengan perempuan lain—tanpa mendengar kembali kata-kata munafik yang keluar dari bibir yang pernah ia percaya sepenuhnya.
Pada akhirnya, bukan kemarahan yang membuat Laras menjauh—melainkan kehancuran yang tak sanggup lagi ia tampung. Bukan karena ia ingin pergi, tapi karena tinggal pun tak membuatnya utuh.
Maka ia memilih beranjak diam-diam—memotong rambutnya, menghapus jejak satu per satu, meninggalkan kos yang selama ini dipenuhi bayang-bayang Bagas, fokus pada pendidikannya, dan pulang ke Wonosobo tepat di hari kelulusannya.
Tanpa jabatan tangan, tanpa salam perpisahan.
Dengan kedua koper besar yang sudah usang di tangan, sebuah kotak yang menyimpan berbagai kenangannya bersama Bagas, gelar sarjana kedokteran hewan di nama resminya, dan hati yang patah—membawa pulang sisa-sisa dirinya yang ia selamatkan sebelum sepenuhnya hancur.
Kotak itu kini sudah sangat berdebu, tersimpan di pojok rumah pohon ini, tertutup oleh tumpukan buku-buku lama yang jarang disentuh. Sudah bertahun-tahun lamanya tak ada satu pun tangan yang berani membukanya—bukan karena lupa, tapi karena terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Dan selimut itu—yang bertahun-tahun tersimpan bisu dalam kotak, turut terkubur bersama kenangan lainnya—akhirnya dikeluarkan dari persembunyiannya. Semua itu terjadi tepat setelah Laras membaca nama itu di lembar daftar.
Bagas Mahendra.
Nama yang dulu pernah ia doakan dalam diam, yang pernah ia semogakan diam-diam setiap malam—kini hanya menyisakan getir.
Bagas Mahendra, yang pernah menggenggam hatinya yang tulus, lalu melepaskannya seolah tak punya nilai, dan kini tersisa hanyalah keheningan. Sunyi yang menelan luka itu bulat-bulat, sementara nama Bagas tak lagi pantas disebut—bahkan dalam kenangan.
Namun anehnya, Laras tetap memeluk selimut itu malam ini. Ia menariknya hingga ke kepalanya, erat, seolah mencoba mencari kehangatan dari seseorang yang tak lagi ia harapkan kembali. Tapi yang ia temukan hanyalah dingin, dingin yang menusuk hingga ke tulang.
“Jasa kamu untuk desa ini, untuk hewan ternak yang kamu rawat dengan penuh perhatian, untuk keluargamu, juga untukku… semuanya tak ternilai, Ras. Aku bangga sama kamu, Ras. Sungguh… aku bangga sekali sama kamu.”
Bangga, katanya…
Air mata mulai jatuh, diam-diam seperti biasanya. Penyesalan yang diselimuti kerinduan kembali menguar perlahan, membanjiri hatinya tanpa jeda.
Ia memang selalu menangis dalam diam—kebiasaan yang tertanam sejak kecil. Saat nilainya hancur karena teman kelompoknya tak bertanggung jawab, saat Surya mengganggunya atau saat dunia terasa tak adil, Laras tak pernah membuat suara.
Tangisnya sunyi, tapi dalam.
Dulu, Bagas pernah berkata bahwa tangisan seperti itu adalah yang paling menyakitkan. Karena tak ada yang tahu, tak ada pelukan yang menenangkan, tak ada bahu untuknya bersandar dan tak ada seorang pun yang mengusap jejak air matanya ketika menodai wajahnya.
Bagas berjanji waktu itu, ia akan selalu ada di sisi Laras—setiap kali Laras menangis.
Namun janji tinggal janji. Yang kini menemani Laras hanyalah bayangan masa lalu, dan selimut yang ia rajut sendiri, diharapkan bisa menggantikan kehangatan yang pernah dijanjikan Bagas.
“Kita tidak punya hubungan apa pun lagi… tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Bohong. Kalimat itu bohong.
Laras berbohong.
Setelah belasan tahun tak berjumpa, Laras memilih untuk berbohong dengan suara datar yang nyaris meyakinkan, namun hatinya menggigil hebat di balik kata-kata itu.
Ia merindukan Bagas Mahendra—dengan segala kekanak-kanakannya yang dulu menyebalkan, dengan cara bicaranya yang suka memotong pembicaraan, gelak tawanya yang begitu jenaka, dengan kebiasaan memanggil nama Laras berulang-ulang hanya untuk memastikan ia didengar, juga sisi maskulinnya tak pernah tergantikan, yang selalu membuat jantungnya berdegup kencang.
Sekarang, suara itu lebih berat, sedikit serak seperti seseorang yang jarang bicara panjang. Tubuhnya lebih tinggi dan tegap, lalu matanya… cara ia menatap Laras membuatnya sulit bernapas.
Ia terlihat sangat kurus. Itu satu-satunya hal yang bisa Laras pikirkan—untuk mengalihkan rasa sakit yang mendesak dadanya. Kurus… mungkin karena terlalu sibuk, mungkin karena tak makan dengan baik. Atau mungkin karena dia pun sama remuknya.
Namun itu semua tak bisa dikatakan. Tak bisa ia pertanyakan. Tak boleh. Maka Laras mengucap kebohongan itu—satu-satunya kalimat yang mampu menjaga jarak aman di antara mereka.
Truk bak tua itu berguncang perlahan melewati jalanan aspal yang dikelilingi hamparan sawah hijau, dibasahi hujan semalam. Udara masih lembap, dan aroma tanah basah menyelinap melalui celah jendela mobilnya. Langit berawan, tak terlalu suram, tapi cukup kelabu untuk membuat suasana terasa sendu.
Laras duduk di sisi penumpang, menggenggam besi pengaman dengan satu tangan, sementara rambutnya dibiarkan berantakan karena terus-menerus ditiup angin. Di sebelahnya, Awan menggenggam kemudi, menyetir pelan namun fokus menembus jalanan yang sesekali ada batu dan genangan kecil.
Seharusnya Mas Bagus yang mengantar Laras memeriksa rumah jagal hewan di salah satu desa. Tapi dengan alasan harus menjemput dokter relawan baru, ia menghilang tanpa kabar. Awan yang kebetulan lewat di depan rumah Laras, akhirnya menggantikan.
Tak ada yang bicara cukup lama, hanya deru mesin dan gesekan roda dengan jalanan yang berisik. Lalu, tiba-tiba, Laras bertanya pelan, suaranya seperti bergabung dengan angin.
“Wan... gimana kalau kamu ketemu lagi sama orang yang pernah nyakitin hati kamu? Kamu bakal marah... atau diemin aja?”
Awan melirik singkat, lalu mengangkat bahu. “Aku sih diemin aja, Ras. Males juga emosi… Emang kenapa?”
“Nggak sih,” jawab Laras datar, “nanya aja.”
Awan mengangguk pelan, tapi nadanya jadi lebih hati-hati. “Ada yang nyakitin hati kamu, emangnya?”
Laras tak langsung menjawab. Ia menatap ke depan, ke arah sawah yang mulai terbuka luas, lalu berbisik, “Ada. Dulu. Tapi susah dilupain.”
“Kok bisa?”
“Aku yang salah... karena percaya sama dia.”
“Siapa?”
“Orang... tinggi dan besar. Mulutnya bawel banget. Manja kalau lagi sakit, tapi kalau sehat lebih parah. Norak. Suka makan yang manis-manis. Bandel juga. Tapi baik... suaranya juga bikin aku tenang, dia juga… humoris, selalu bisa aku andelin. Dan kalau lagi serius... makin ganteng.”
Awan tertawa pendek, sedikit canggung. “Hah? Emang ada orang yang kayak gitu selain aku?”
“Cih… Terserah kamu.” Laras menoleh, tertawa sekilas sebelum menarik senyuman kecil yang murung di bibirnya. “Namanya Bagas Mahendra.”
“Hah?!” suara Awan meninggi sedikit tanpa sadar.
“Iya... Bagas… Mahendra.”
Angin kembali berembus, membawa senyap yang tak nyaman. Laras menatap keluar, membiarkan dedaunan yang menari di kejauhan menenangkan pikirannya. Ia berbisik lagi, seolah hanya untuk dirinya sendiri.
“Bertahun-tahun aku coba ikhlasin, Wan... Aku sih yakin... dia juga udah bahagia. Mungkin udah nikah juga.”
Kalimat itu menghantam dada Awan pelan, seperti gumpalan awan gelap di atas mereka, yang perlahan menutup matahari. Ia terdiam, tak tahu harus bilang apa.
“Maksudnya ikhlasin?” tanya Awan dengan heran, namun Laras memilih tidak menjawabnya dan terdiam cukup lama.
Laras memilih menunduk, suaranya kembali pelan. “Kalau aku ketemu dia lagi... aku bingung harus apa. Kecewa, iya. Benci, iya. Tapi males marah, kayak yang kamu bilang.”
“Tapi aku... kangen dia juga. Kayaknya kalau ketemu dia nanti, aku bakal langsung nangis di depan dia.” gumam Laras, sementara ia menggigit pipi dalamnya dalam diam.
Awan menelan ludah. Tangannya mencengkeram setir lebih erat, seolah itu bisa meredam sesuatu yang mulai naik ke tenggorokan. Sementara itu, Laras menatap keluar jendela kecil truk itu menyembunyikan tangisannya dalam diam.
Ia menyeka air mata dengan punggung tangan, lalu berbisik lagi, nyaris tak terdengar.
“Aku harus apa, ya, Wan?”
Sejenak, Laras membiarkan air matanya jatuh lebih deras, membasahi bantal yang sejak tadi menjadi saksi sunyi dari hatinya yang remuk. Rasa sesak menumpuk di dadanya, seperti gelombang yang tak kunjung reda.
“Bu…” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat. “Laras harus gimana, ya?”
Ia mengembuskan napas pelan, seolah berharap jawaban akan datang lewat hembusan angin yang akan membawa suara ibunya.
“Laras nggak bisa, Bu… nggak bisa maafin dia semudah itu. Rasanya… kecewanya keburu masuk ke tulang. Tapi, kenapa juga Laras masih sayang sama dia?”
Jemarinya menggenggam ujung selimut, tubuhnya sedikit gemetar.
Laras menaikkan selimutnya sampai ke kepala, berniat menyembunyikan dirinya di balik selimut, memutuskan untuk mengabaikan apa pun yang terjadi hari ini—tak peduli seberapa bangganya Bagas pada dirinya, tak peduli seberapa penting dirinya di hidup pria itu, tak peduli seberapa kejam takdir yang Tuhan berikan. Ia tidak ingin menelan apa pun, apa pun yang bisa membuatnya goyah.
Kepalanya terasa berat. Napasnya melambat, seiring tubuhnya yang mulai tenggelam dalam kehangatan selimut yang memeluknya erat.
Mungkin, menidurkan dirinya di sore hari seperti ini... bukanlah ide yang buruk.
:::::
Hari itu seharusnya jadi hari yang menyenangkan. Bagas, dengan semangat yang jarang ia tunjukkan, mengajak Laras—gadis yang ditaksirnya selama empat bulan terakhir sejak pertemuan mereka di perpustakaan—untuk mampir ke kosannya. Ia bilang, teman-temannya mau kenalan. Suatu ajakan yang terasa istimewa di antara kesibukan keduanya yang jarang bersinggungan di luar kampus.
Begitu Laras melangkah masuk, ruangan yang semula dipenuhi gelak tawa mendadak melunak. Nada suara menurun, tawa itu berubah menjadi senyuman ramah. Beberapa dari mereka segera berdiri, seolah
Laras adalah tamu kehormatan dalam pesta kecil itu, bukan hanya gadis yang entah kenapa bisa membuat Bagas begitu terpikat. Tak lupa, mereka memuji gelang anyaman di pergelangan tangan Laras dan tas kain yang dipakainya, bahkan ada pula yang memuji kecantikannya dengan antusias.
“Eh, ini pasti Laras, ya?” Salah satu dari mereka—seorang perempuan dengan eyeliner yang terlalu tajam dan senyum yang terlalu lebar—menyambut dengan tangan terbuka, seakan mereka sudah sahabat lama. “Aww, how sweet... No wonder Bagas can’t shut up about you, must be hard competing with that pretty little face of yours~ Hahaha.”
Yang lain tertawa kecil dan ikut menimpali, “Iya, kita tuh udah penasaran banget sama lu, secantik apa sih sampe Bagas kepincut, hahaha… akhirnya ketemu juga!”
Laras membalasnya sambil tertawa canggung, “Nggak, kok. Aku sama Bagas cuma temen aja…”
“Iya, temen ngobrol, temen belajar, temen jajan, temen jalan-jalan, temen karaokean, temen beli obat kalo sakit, temen yang suka dicariin kalo ilang, yang bikin kangen kalo nggak nongol sehari aja… iya, kan? Hehehe.” ledek Bagas, tak sekalipun ia melepaskan pandangannya dari wajah cantik Laras.
“Hahaha, apa sih?! Nggak, ya? Jangan ngada-ngada deh…” balas Laras sambil tertawa menatap Bagas yang meledeknya. Sementara keduanya mengundang raut wajah geli dari teman-teman Bagas, atau mungkin jijik.
Untung Bagas anak orang terpandang, setidaknya itu menjadi salah satu alasan mengapa mereka masih memaksa Bagas untuk bergaul dengan mereka.
Mereka memberi Laras tempat duduk, menuangkan minuman—yang pada akhirnya ditolak oleh Laras—bahkan menawarkan camilan dengan sikap yang manis, terlalu manis. Tatapan mereka bergantian meneliti Laras dari ujung kepala sampai ujung kaki, senyum mereka tak pernah benar-benar mencapai mata.
Ia mengenakan rok jeans biru selutut yang warnanya sudah mulai pudar, dipadankan dengan oversized cardigan warna merah muda yang membungkus tubuhnya yang ramping. Rambut keriting panjangnya dibiarkan tergerai, dihias hanya oleh sebuah bando tipis sederhana. Tak ada riasan berlebihan di wajahnya—hanya bedak tipis dan sedikit lip balm yang sudah memudar sejak sore. Sementara itu, tangannya menggenggam segelas soda lemon yang sudah cukup memberikan efek mabuk dan sakit perut jika ia minum terlalu banyak, yang memang selalu tersedia di kulkas Bagas untuknya, kemudian duduk dengan canggung di ujung sofa.
Kontras dengan perempuan-perempuan di ruangan itu.
Mereka mengenakan pakaian yang lebih terbuka, lebih mengilap. Sementara makeup tebal dengan alis hitam tegas yang ditarik nyaris sejajar bak seorang model cantik di bagian cover majalah, memegang gelas berisi Jack Daniel’s yang dibagi beramai-ramai dengan manik-manik di kukunya yang panjang dan terhias cantik. Percakapan Bagas dan teman-temannya terdengar ringan tapi menusuk—dengan tawa yang melengking, menyela atau berkata kasar dengan bahasa Inggris kasual yang mengalir begitu saja.
Dan di antara semua itu, ada Bagas.
Ia memilih duduk di bawah, dekat dengan Laras. Bukan karena ingin memisahkan diri dari kawan-kawannya, tapi karena ia tahu Laras membutuhkan ruang yang lebih tenang. Sesekali ia menoleh ke arahnya, menyunggingkan senyum kecil—bukan basa-basi, tapi sebuah pertanyaan tanpa suara, ‘kamu gapapa, kan?’
Terkadang, tangannya menyentuh jemari kaki Laras atau sekadar menggoda ringan hingga Laras memalingkan wajah sambil menahan senyum. Kadang ia menyandarkan kepala di sisi kaki Laras, diam-diam menolak kebisingan dengan menjadikan Laras satu-satunya tempat yang ingin ia tinggali malam itu.
Laras berusaha menepis pikiran buruknya. Ia tahu, teman-teman Bagas mungkin akrab dengan pesta, alkohol, bahkan seks bebas—tapi bukan berarti mereka jahat. Ia ingin mencoba menghormati dunia Bagas yang pasti akan sulit dilepaskan, sebagaimana Bagas berusaha menghargai hidupnya di desa. Tapi… tiba-tiba segalanya berubah.
Dinda, salah satu perempuan yang terus memperhatikan mereka sedari tadi—menyadari arah pandang Bagas yang hanya tertuju pada satu orang, Laras.
Ia cemburu, gadis desa itu merenggut semua perhatian Bagas darinya. Dengan gerakan seolah tak sengaja, ia menyenggol meja kecil di dekatnya. Sebotol Jack Daniel’s yang hanya tersisa sedikit terguling, isinya tumpah, membasahi permukaan meja dan menjalar ke lantai.
“Eh, apaan sih?! Sayang kalo kebuang, woi. Bego dah lu, Din.” celetuk seseorang dengan kesal, ia mengambil botol itu dan langsung menenggak sisanya hingga habis.
“Ah… Sorry, nggak sengaja. Aduh, siapa namanya tadi? Mbak aja deh panggilnya. Mbak... bisa tolong lapin meja ini, nggak? Tumpah ke mana-mana, nih.” ucap Dinda santai, sambil meniup kukunya yang baru saja dicat, menoleh pada Laras dengan senyum miring yang menusuk.
“Kerjain sendiri, Din. Siapa yang numpahin?” suara Bagas terdengar tegas.
“Cuma minta tolong, Gas. Biasa aja, sih…” Dinda menjawab ringan, tapi suaranya mengeras di ujung.
Bagas tidak langsung menanggapi. Hanya matanya yang menoleh, menyiratkan ketidaksenangan yang ditahan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, tepukan lembut di bahunya menyiratkan sesuatu yang lain.
“Nggak apa-apa, Gas…” Ia tersenyum tipis, lalu melangkah ke dapur. Tangannya terulur, membawa kain lap. “Iya, aku bantu lapin, ya.”
Namun, Bagas segera meraih kain lap itu dari tangannya. Sentuhannya lembut, tapi tegas. “Ras, aku tadi sempet beliin nasi bakar kesukaan kamu.” ucapnya sambil menatap mata Laras. “Tapi tadi aku simpen di kulkas. Keluarin sana terus dipanasin aja, habis itu kita makan bareng, ya?”
Sekilas, seperti ajakan biasa. Tapi dari caranya berkata, semua yang mendengarnya tahu—Bagas sedang menarik Laras keluar dari teman-temannya yang mulai semena-mena.
“O-oke… di kulkas, ya?”
Dinda kian memanas, tatapannya mulai dipenuhi cemburu. Bisa-bisanya Bagas menunjukkan rasa sukanya terang-terangan dan melindungi Laras di depan matanya? Laras, si gadis kampung yang jelek dengan rambut keriting itu?
“Oh... romantis banget sih kalian~” ledeknya dengan nada manja, “Ras, Ras… ajarin gue dong gimana caranya dimanjain Bagas, kita kan temenan…”
Laras hanya tersenyum tipis, lalu cepat-cepat berjalan menuju dapur, menghindari kontak mata. Ia tak menjawab. Tak perlu.
Sementara Bagas, telah selesai mengelap mejanya, lalu mengalihkan perhatiannya kepada Dinda. Wajahnya datar, bahkan sorot matanya tak ada usaha untuk menyembunyikan rasa kesalnya.
Dinda yang selalu tertawa paling keras saat mencemooh atau menggosip, tapi menangis diam-diam saat Bagas tak membalas pesannya—perempuan yang tak pernah suka kalah, apalagi dari seseorang seperti Laras.
Memang, hanya Dinda yang berani melawan Bagas.
Itu karena Dinda pernah ditiduri oleh Bagas—tiga kali, di masa-masa ketika hidupnya hanya berputar pada pergaulan bebas setelah terbawa arus pertemanannya. Namun itu semua terjadi sebelum Laras—sebelum Bagas mengenal arah dan rasa yang benar-benar menetap.
Setelah menang, kini Dinda merasa terbuang, terutama setelah Bagas selalu menolak godaannya dan mulai jarang datang ke perkumpulan karena selalu menempel dengan Laras.
‘Gue mau jaga perasaan Laras.’ ucap Bagas saat menolak godaan Dinda yang tengah mengusap penisnya dari luar celananya saat itu. Basi sekali… setidaknya bagi Dinda.
Dinda tahu Bagas tengah menyukai seseorang, namun ia tidak peduli selama Bagas tidak lepas darinya—meskipun dia masih terus memaksa Bagas untuk setidaknya membalas pesan-pesan yang dikirimkannya. Tapi setelah melihat Bagas bersikap lembut pada Laras—lewat kalimat sederhana, tatapan penuh kagum dan sikap melindungi—itu membuatnya marah.
“Nggak usah konyol, deh…” Nada Bagas terdengar datar, nyaris tanpa emosi—bukan karena tak peduli, tapi justru karena terlalu menahan.
Teman lainnya menyambar cepat-cepat, “Buset, pasutri berantem mulu. Eh… salah ngomong, sorry sorry…”
Dinda menyeringai. Matanya menelisik gerakan Laras yang terhenti saat membuka kulkas. Ia tahu betul, sekarang Laras pasti bertanya-tanya—tentang siapa Bagas yang sebenarnya, dan siapa dirinya bagi lelaki itu. Ia ingin Laras tahu… Bagas adalah miliknya.
“Eh, Bagas…” suara Dinda menggantung. “Es batu abis, nih. Beliin lagi di warung sana, ya?”
“Oh iya, habis ya?” sahut Akmal—salah satu teman Bagas, seperti mengisi jeda.
“Ah, lu aja sono, Mal. Nih, pake duit gue…” Bagas melempar receh ke meja dengan senyum setengah kesal.
“Ogah, lu aja sana. Kan lu yang tahu tempatnya…”
Bagas menghela napas, mengalah, mengambil uangnya kembali. “Ya udah, sekalian apa? Biar langsung semua. Abis itu, beli sendiri. Gue mau makan.”
Beberapa suara langsung bersahut, dari cemilan sampai rokok. Lalu, Dipta—sang ketua geng yang cabul menyahut, “Kondom sekalian, Gas. Dinda demennya yang stroberi, kan?”
Tawa pun pecah. Riuh, berisik, menusuk diamnya Laras yang masih membelakangi mereka.
Bagas diam. Belum bereaksi, hingga suara lain menyusul, pelan tapi disengaja untuk Laras dengar, “Ya… Siapa tahu ada butuh juga, malem ini keliatannya panjang, ya nggak, Gas?”
Tegang. Seketika. Bagas menatap Dipta tajam—tapi tidak meledak. Hanya kalimat malas yang keluar, pelan tapi cukup jelas, “Bego.”
Ia menghela napas lagi, lebih berat. “Gue nggak tahu. Beli sendiri sana, ngapain nyuruh gue?”
Ia ambil jaket dari sofa, berdiri tanpa menoleh ke siapa pun. Tatapannya hanya mencari Laras.
“Ya udah, gue keluar dulu. Titip Laras, ya.”
“Heh, lu yang bego. Tenang aja…” sahut salah satu, tertawa lagi. “Dia aman, Gas. Nggak bakal kita apa-apain.”
Pelan-pelan, Bagas mendekati dapur menghampiri Laras, lalu membungkuk sedikit agar suaranya hanya terdengar olehnya. “Laras… jangan dengerin mereka, ya? aku keluar bentar mau beli es, kamu mau nitip sesuatu?”
Laras menoleh. Matanya menangkap sorot mata Bagas, juga sisa marah yang ditekan dalam senyap. Ia hanya mengangguk kecil, berusaha tersenyum meskipun kaku. “Iya… Nggak ada, kok. Hati-hati, ya.”
Bagas tersenyum tipis. Tangannya singgah sebentar di punggung Laras, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak sempat diucapkan. Lalu ia berbalik, meninggalkan ruangan yang masih dipenuhi tawa—dan bara yang perlahan menyala di hati perempuan yang tak ingin kalah.
Sementara, ia diam di dapur menunggu Bagas kembali. Kedua nasi bakar itu sudah dihidangkan di atas piring dan siap untuk dimakan, namun Bagas tak kunjung tiba.
Dipta, sengaja disenggol oleh Dinda dengan kakinya dari bawah meja. Kode diberikan dan langsung dipahami, ya… mereka memang sudah lama satu kepala dalam urusan seperti ini. Dan hari ini, sasaran mereka hanya satu—Laras, gadis itu harus diberi pelajaran bahwa kehadirannya menyusahkan mereka dan tak pantas berada di sisi Bagas.
“Ahem, Laras…” panggil Dipta dengan malas.
“I-iya?” jawab Laras, suaranya lembut tapi jelas terguncang.
Dinda menimpali dengan senyum yang terlalu manis untuk disebut tulus, “Laras, sini duduk lagi, dong… Sorry ya, kalau tadi gue nggak sopan.”
“Hahaha… i-iya, nggak apa-apa.” Laras membawa kedua nasi bakar itu, lalu melangkah pelan untuk ke meja makan. Ia duduk di sana, meski tubuhnya terasa salah tempat karena tatapan sinis dari mereka menusuk lebih dalam dari kata-kata.
“Lu jurusan apa, Ras? Sorry, tadi gue nggak dengerin.” tanya Akmal dengan nada enteng, seolah-olah Laras memang tidak penting.
“Aku di Kedokteran Hewan…” jawab Laras pelan, tetap berusaha tersenyum meski ada yang mengganjal di dadanya.
“Dokter hewan?” seru Agung, salah seorang teman Bagas dengan tawa setengah mengejek. “Wah, keren juga ya… bisa ngobatin kucing sama ayam. Udah pernah bantuin bonobo lahiran, belum?”
Tawa pun pecah. “Goblok lu, Gung.”
Laras hanya tersenyum, menggelengkan kepalanya. “Nggak pernah, kan Bonobo nggak ada di Indonesia. Kamu tahu—”
“Wah, unik banget, ya?” potong Revaline—perempuan beralis tajam, menyisipkan racun dalam nada centilnya. “Jadi kalo udah kerja nanti, tiap hari ketemu hewan gitu? oh… di kandang kali, ya? Duh… seru banget, ditemenin sama tai sapi.”
Laras terdiam. Ia merasa tak nyaman dengan pembicaraan ini, namun ia bingung bagaimana menjelaskannya.
“Oh iya, ya… Lu mau balik kampung kan, ya?” timpal yang lain. “Cocok banget, sekalian buka klinik sapi. Promo vaksin gratis, syaratnya bawa telur ayam dua kilo buat sembako!”
Tawa meledak lagi, bahkan Akmal sampai membentur kakinya ke meja. Serius, apakah ada yang lucu di sini?
“Gila, enak banget, ya? Kalo nikah nanti, bisa dapet gratisan dari istri. Tapi jujur, kalo punya bini kerjaan kayak gitu… susah dibawa ke mana-mana. Nyium tangan bisa langsung pingsan… bau tai sapi!” ucap Dipta dengan remeh, lalu tertawa keras.
Dinda langsung menyambar, tawanya paling nyaring. “Pantesan Bagas selalu mandi lama banget tiap abis ketemu lu, Ras. Nyuci mobil, ganti sprei. Eh, baru nyambung sekarang… hahaha!”
Dan akhirnya Dipta mengunci: “Wajar ya, Bagas langsung nurut pas kenal sama lu, Ras. Padahal Bagas ganas nggak, sih, Din?”
“Ssstt… urusan ranjang orang jangan dibongkar, nanti ada yang iri loh…” suara itu meluncur ringan, tapi mengisyaratkan sindiran yang kuat.
Laras mengalihkan pandangannya, kedua tangannya mengepal di atas pangkuannya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespon, hanya ada rasa perih mengalir perlahan dari dada.
Sementara mereka tertawa, membuat Laras semakin kecil dan tak berarti. Seakan-akan, semua yang ia bawa—cita-cita, ketulusan, dan kesederhanaannya—tak cukup baik untuk diterima.
Mereka terus menyinggungnya, terus menggoda Dinda dengan lelucon murahan yang tak lucu. Tentang hubungan mereka. Tentang ranjang. Tentang Bagas.
Ia tidak ingin curiga. Tidak ingin berpikir sejauh itu. Tapi tawa-tawa itu, bisik-bisik penuh makna itu… semua terasa terlalu nyata untuk diabaikan.
Kalau memang ada sesuatu di antara mereka… kenapa Bagas membawanya kemari? Kenapa seolah memberinya harapan? Apa hanya untuk membuatnya dipermalukan?
Laras menunduk, tangannya diam-diam menyeka sudut matanya. Ia akan menelan ini semua dalam diam. Ia akan tetap duduk di sini, meski hatinya perlahan runtuh.
“Kebiasaan banget—”
Laras memotong, “A—aku ke kamar mandi dulu, ya…”
Revaline yang hendak berbicara menjadi tersinggung. “Loh, mau ngapain? Lagi asik ngobrol juga… Nggak seru banget.”
Langkah Laras belum sampai lima ketika suara Dinda kembali menggema di ruangan yang sepi namun terasa penuh. “Mau ditemenin Agung nggak, Ras? Punya dia gede, loh. Mumpung Bagas nggak ada, nih…”
Seketika, tawa pecah di antara mereka. Suara Agung terdengar lantang, tanpa nalar, seperti seseorang yang tidak tahu apa itu batas. “Wah, gila… merem juga gue masih mau tuh. Hahaha!”
Laras berhenti sejenak. Tapi sebelum ia sempat berbalik atau menjawab, celetukan lain menyusul—lebih tajam, lebih ringan, lebih beracun.
“Eh, gila lu. Lu nggak takut diseruduk balik, Gung? Jangan main-main sama dokter hewan, hahahaha!”
Tawa lagi.
“Hahaha, bercanda aja, Ras. Jangan aduin ke Bagas, yaa~” Suara Dinda begitu manja, tapi sangat menyesakkan dada.
Laras tidak menoleh. Ia hanya mempercepat langkah, merapatkan cardigan-nya, seolah ingin melindungi tubuhnya dari pandangan mereka.
Kepalanya tertunduk, tapi matanya terbuka lebar, menahan air yang menggenang. Ia menuju kamar mandi kecil di ujung lorong dengan langkah kaku, hampir tersandung karpet yang terlipat.
Begitu pintu tertutup, ia menyandarkan punggung ke dinding. Tangannya mencengkeram erat sisi wastafel yang kini selalu bersih karena Bagas rajin membersihkannya. Bibirnya terkunci rapat, namun napasnya tercekat.
Air matanya menetes tanpa suara—panas, bercampur dengan rasa malu yang datang mendadak seperti tamparan telak. Ia ingin pulang. Ia ingin menghilang.
Namun di luar, suara-suara itu belum berhenti.
“Laras gayanya kayak perek pasar, dah. Sok polos, aslinya ganas.”
ucap Agung dengan lantang sebelum menenggak minumannya.
Gelak tawa itu terus bersambung.
“Hahahaha, tolol lu, Gung. Awas ntar kedengeran Ba—”
“Emang dia perek… murahan.”
Suara itu memotong. Berat. Hinaan terucap dalam sebuah kalimat—dingin, datar, menghujam.
“Gue emang cuma manfaatin dia, buat mainin perasaan dia. Habis… Dia miskin, nggak tahu diri selalu ngatur gue, banyak maunya, pake segala nolak-nolak gue mulu. Jijik pokoknya, makanya gue selalu mandi dulu kalau habis ketemu dia.”
Laras menggigit bibirnya, ia bisa merasakan suara itu menjadi semakin dekat.
Napasnya tercekat. Bukan hanya terluka—ia hancur.
Tiba-tiba…
BRUK BRUK BRUKK—
Suara dentuman keras mengguncang pintu kamar mandi. Laras tersentak, tangannya otomatis menutup mulut. Wajahnya basah, jantungnya nyaris meledak.
“PEREK! Keluar lu!!”
Tawa mereka makin ramai—seperti auman sekumpulan serigala yang bersorak setelah menciumi aroma mangsanya.
“HAHAHHAAHA, Bagas gila, ya?!”
“Woi, perek!! Dipanggil majikan lu, tuh. Ntar keburu jadi hewan ganas lagi, hahhaha.”
BRUKK BRUKKK—
“Laras!! Lonte, keluar lu!!”
BRUKKK BRUKKK—
Pintu digedor lagi, makin brutal. Tembok kamar mandi bergidik bersama tubuh Laras yang menggigil. Tak ada tempat aman. Tak ada udara tersisa.
BRUKK BRUKK—
Laras merosot di sisi kamar mandi. Kakinya yang telanjang terasa dingin menyentuh lantai, lututnya gemetar, dan tubuhnya tak mampu bergerak.
BRUKK BRUKK—
BRUKKK—
Kali ini, tubuhnya terlonjak. Matanya terbuka seketika. Nafasnya memburu, dadanya naik turun seperti baru ditarik dari dasar air.
Hanya cahaya bulan yang menerangi seisi ruangan—menyelinap dari celah-celah kayu dan jendela yang masih terbuka, sementara hujan terus jatuh dengan derasnya.
BRUKK BRUKK—
“Laras!! Ini Mas... Bukain pintunyaa!! Kamu nggak apa-apa, kan?”
Suara itu nyata. Penuh kepanikan, tapi juga kehangatan.
Ia menoleh—samar, masih setengah terjebak antara mimpi dan nyata. Rumah pohon itu gelap, hanya diterangi lampu kecil redup di sudut langit-langit. Ia menyadari sesuatu… pintu masuk rumah pohonnya memang terkunci.
Tangan Mas Surya terus menghantam kayu dari luar.
“Larasss… Mas Surya ini! Mas di luar! Mas kehujanan inii!”
Laras menggigil. Bukan karena kabut dingin yang telah turun, tapi karena ketakutan dari mimpi yang masih tertinggal di kulitnya.
Dengan langkah gemetar, ia bangkit. Kakinya goyah, matanya berkaca-kaca. Saat tangannya menyentuh tuas pintu, ia sempat ragu. Bagian dari dirinya masih takut… takut jika di balik pintu itu, ternyata yang menunggu bukan Mas Surya—melainkan suara-suara dari mimpinya.
Tangannya gemetar saat memutar tuas, suaranya bahkan nyaris tak terdengar saat besi tua itu berderit terbuka. Dan benar—Surya langsung melesak naik dan berdiri di hadapannya. Basah kuyup dari ujung rambut sampai tumit, jaketnya meneteskan air, tetapi matanya… matanya hanya tertuju pada satu hal—Laras. Wajahnya pucat pasi.
“Kamu kenapa?! Tumben susah diba—”
“Hikss… M-mas…” Laras langsung menghambur ke pelukannya. Ia tak peduli pada dingin yang merayap dari baju lepek Surya, atau hujan yang menyusup di antara rambutnya. Ia hanya tahu satu hal—ia butuh Masnya.
Laras menggigit bibir, menahan tangisannya agar tidak mengeluarkan suara… tapi pecah juga.
“Hikss… Mas… hiks—”
Tangisnya mengguncang tubuhnya sendiri, seperti anak kecil yang baru terbangun dari mimpi buruk dan tak tahu harus berlindung ke mana, selain dada orang yang paling ia percaya.
Surya merapatkan pelukannya, satu tangan menepuk lembut punggung Laras. “Kamu kenapa, sih? Nggak biasanya nangis kayak gini.”
“Tadi… Laras mimpiii burukk—” suaranya pecah, parau, tercekik di sela isak.
“Haduh, Ras…” Surya mengembuskan napas panjang—separuh lega karena Laras baik-baik saja, separuhnya lagi tenggelam dalam kekhawatiran yang tak pernah benar-benar padam. “Makanya kalau magrib tuh jangan tidur, udah tahu kanan kiri sini kebun semua. Emangnya nggak takut diganggu setan? Tuh… kamu mimpi buruk sampai pucat begini.”
Tangannya terulur, mengusap kepala Laras dengan sentuhan yang lembut dan tak berubah sejak mereka masih kecil. Laras masih terisak, tubuhnya bergetar dengan halus, tapi pelukan Surya seolah menyerap sedikit demi sedikit ketakutan itu. Ia mulai tenang.
“Tadi… capek aja… jadi Laras mutusin tidur… hiks…” gumam Laras lirih, pelan-pelan melepaskan diri dari pelukan kakaknya. “Mas ngapain ke sini?”
“Ini Masnya nggak mau ditawarin masuk dulu, gitu?”
“Oh iya… ayo, masuk…”
Langkah mereka masuk ke rumah pohon terasa sunyi. Laras duduk gontai di kursi gantungnya, menggoyang pelan tanpa irama. Surya melepas jaket yang basah dan menghangatkan tubuhnya di dekat tungku kayu, menggosok telapak tangan sambil melirik Laras dari sudut mata.
“Mimpi apa emangnya?” tanyanya, “Tumben kamu sampe nggak denger apa-apa gitu…”
Laras mengusap wajahnya dengan kasar, “Bukan apa-apa, cuma masa lalu… cuma… agak ngaco, jadi takut.”
“Oh…” gumam Surya, pelan. Ada jeda. Lalu, dengan nada yang lebih berat, ia melanjutkan, “Mas mau ngomong sama kamu dari kemarin. Tapi kamu tuh… kabur-kaburan mulu. Mas sampe rela jalan basah kuyup dari rumah cuma buat nemuin kamu, kalo Mbakmu tahu Mas hujan-hujanan, bisa habis kena omel kita.”
Laras menggigit bibir bawahnya, diam.
Sial. Ia tahu ia tak bisa kabur lagi.
Nafasnya mengalir berat, seolah dadanya menolak kenyataan bahwa Surya masih saja datang ke rumah pohon ini—tempat yang dulu disepakati sebagai ‘markas perdamaian’ milik Laras.
Padahal, Surya pernah bersumpah tak akan ke sini lagi.
Namun malam ini, setidaknya Laras sempat berterima kasih—bahwa suara gedoran pintu itu berhasil menembus jerat mimpi buruknya. Tapi… rasa itu segera berubah. Ia menyesal telah membukakan pintu itu, karena kini Masnya duduk di sana—basah kuyup, menggigil, membahas hal yang malas untuk ia bicarakan.
“Danang tuh ngehubungin Mas mulu, Ras.” Suara Surya terdengar serak, sedikit terputus karena udara dingin. “Dia selalu mastiin kamu masih sendiri terus…”
Hening sebentar.
“Kayaknya dia serius mau nikahin kamu.”
Laras menatap lantai, mengerjapkan mata. “Emangnya nggak ada perempuan lain, Mas?” gumamnya pelan, “Laras… Nggak tahu bisa nerima atau nggak.”
“Loh, bukannya kalian pernah saling suka?” Surya bersandar ke kursi kayu, menatap api di tungku yang mulai menghangatkan tubuhnya.
“Kapan?” Laras bertanya balik dengan heran.
“Pas Ibu meninggal… Danang nemenin kamu terus, kan? Toh, kita juga udah main bareng dari jaman masih kecil.”
“Ya… Tapi nemenin nggak harus suka, Mas.”
Surya mengangguk, entah setuju, entah bingung. “Tapi kamu pernah suka, kan?”
Laras terdiam sejenak. Lalu menjawab pelan, seolah mengorek ingatan yang sudah ditimbun. “Pernah… Kayaknya…”
Ia menarik napas, menunduk. “Kagum aja… dia emang baik, kan.”
Surya langsung menyambung, kali ini nadanya sedikit memaksa, seperti sedang meyakinkan bukan hanya adiknya, tapi dirinya sendiri juga. “Dia letkol, Ras… Kepala seksi di Kodam, loh. Masa depan kamu udah pasti terjamin, kamu juga tetap bisa kerja kalau nikah sama dia. Jangan pikirin Bapak, ada Mas sama Sari di sini.”
“Iya… Tahu…” Laras meneguk ludah, suaranya nyaris pecah. “Tapi…”
“Laras emang nggak suka, Mas.”
“Sukanya Laras ya… Suka aja.”
“Dan juga, Laras harus jadi ibu sambung. Laras belum siap…”
Kata-kata itu jatuh perlahan, tapi beratnya bergema di ruangan kecil itu. Surya tak langsung menjawab, karena ia tahu—adiknya mungkin bisa berbohong, tapi tidak kepadanya. Adiknya adalah orang yang selalu jujur akan perasaannya, dan kini, ia sedang terlalu lelah untuk berpura-pura.
Bukan karena manja. Bukan karena ragu. Tapi karena jiwanya tidak ingin dipaksa membuka pintu yang tak ingin ia buka.
“Mau sampai kapan kayak gitu terus, Ras?” suara Surya terdengar rendah, tapi jelas. Ada nada kesal yang disembunyikan di balik helaan napasnya yang panjang.
Laras tak menjawab. Matanya menatap keluar jendela—menikmati hujan yang terus turun, kosong.
“Kamu tuh perempuan, Ras,” ujar Surya, nadanya lembut tapi sarat tekanan. “Kalau kamu kelamaan nikah, kamu nggak takut orang bakal mikir yang macam-macam soal kamu? Mas cuma khawatir. Mas nggak mau kamu jadi bahan omongan ibu-ibu warung itu.”
Ia menarik napas, seperti menimbang kata-kata berikutnya, lalu tetap mengucapkannya.
“Mereka bilang… rahim kamu nanti bisa kering. Katanya kamu nggak bisa ngelayanin laki-laki. Nggak laku, terlalu keras, terlalu mandiri. Semua orang tahu banyak yang pernah datang ke rumah buat lamar kamu, tapi kamu selalu tolak. Dibilangnya kamu sok jual mahal, mentang-mentang sekolah tinggi.”
Laras menunduk. Ucapan itu seperti cambuk—bukan yang mencabik kulit, tapi menghantam di tempat yang sudah lama memar. Diam-diam menyakitkan.
Surya melanjutkan, pelan, “Bapak juga jadi sasaran. Orang-orang kasihan sama beliau, katanya gimana pun dia dihormati, percuma kalau anak gadis satu-satunya yang dia banggain belum juga ada yang mau ngawinin.”
Tangan Laras mengepal di atas pahanya. Ia menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
“Laras yang paling tahu diri Laras sendiri, Mas…” suaranya gemetar. “Mas juga tahu kalau—”
“Nanti kamu juga akan jadi ibu, Ras.” potong Surya cepat. Kalimat itu mungkin terdengar bijak di telinganya, tapi bagi Laras, itu bagaikan vonis yang dijatuhkan atas hidup yang belum rampung ia pilih sendiri.
“Jadi ibu kandung atau ibu sambung, semua sama aja.” Surya mencondongkan tubuhnya, menatap Laras lebih dalam. “Mereka rezeki dari Allah, yang dikasih ke kamu. Harusnya kamu syukuri, loh. Kan bisa… sambil nikah, sambil belajar—”
“Masalahnya…”
“Nah, gitu… Bilang ke Mas, apa masalahnya?” suara Surya terdengar pelan, lebih hati-hati, seolah takut melangkah di atas serpihan kaca.
Laras menarik napas panjang, tapi suaranya pecah juga.
“Hati Laras… masih milik seseorang, Mas. Laras nggak akan bisa mulai yang baru kalau hati Laras aja udah sepenuhnya buat orang lain.”
Surya mengerutkan kening. “Hah? Maksud kamu, Ras?”
“Kayak yang Mas bilang, Laras emang pernah suka sama Mas Danang...” ucap Laras, suaranya makin lirih, “tapi itu sebelum Mas Danang menikah sama orang lain. Itu udah lima tahun yang lalu, Mas…”
Ia menarik napas lagi, bergetar. “Mungkin… kalau Jihan nggak ada, mungkin Laras bisa belajar buat sayang sama Mas Danang. Aku bisa coba terima karena Mas Danang memang selalu baik ke aku… ke Mas, ke keluarga kita. Tapi... Jihan ada, Mas. Masa tega Laras biarin dia punya ibu yang nggak beneran sayang sama ayahnya?”
Ia terdiam sejenak, lalu suaranya pecah di ujung kalimat, “Dan sekarang… Laras ketemu orang itu lagi… Laras nggak bisa, Mas... Aku nggak bisa pura-pura…”
Surya masih mencoba memahami. “Sebentar... Mas belum ngerti maksud kamu…”
Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya jatuh juga, membasahi celana yang ia pakai. Kepalanya tertunduk dalam, dan bahunya mulai berguncang pelan—tak ada isak, tapi luka itu sudah keburu terbuka.
“Dulu… Laras punya pacar semasa kuliah. Laras sayang banget… hiks—Laras cinta banget sama dia, Mas…”
Suaranya pelan—sekuat tenaga agar isakannya tidak terdengar.
“Dia yang bikin hari-hari aku jadi lebih baik… bikin aku semangat… Dia yang selalu bilang aku hebat, yang bikin aku percaya diri… kayak yang Mas sering lihat sekarang.”
Laras mengusap wajahnya, tapi air mata tetap mengalir, menyusul kalimat-kalimat yang terus mengalir dari lubuk hati.
“Dia… terlalu berharga, Mas. Laras bahkan nggak tahu… apakah Laras bisa suka sama orang lain selain dia. Rasanya… kosong. Nggak ada ruang lagi buat siapa-siapa.”
Hening.
Surya terdiam. Bibirnya sedikit terbuka, seperti ingin bicara, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya memandang adiknya—kecil, sangat terluka, sangat lelah.
“Ya Allah, Ras…” bisiknya akhirnya, lirih. Ia tak tahu harus berkata apa. Yang ia bisa lakukan hanya menghela napasnya—ia ikut lemas, ikut hancur.
“L—laras udah… hiks… berusaha, Mas…” Suaranya bergetar, seperti kaca tipis yang retak oleh gemuruh dari dalam.
“Laras udah… hiks… b-berusaha lupain dia… Laras tinggalin semua kebiasaan yang dulu pernah kita lakuin bareng… belajar bareng, makan bareng, jalan-jalan sama dia… ketawa bareng… hiks—atau waktu kita sama-sama nangis…”
“Laras berhenti sentuh barang-barang yang bikin Laras ingat sama dia… pemberian dia… bahkan hadiah terakhir yang Laras simpen bertahun-tahun, yang dulu Laras pengen kasih ke dia… tapi tetap nggak bisa…”
Ia menunjuk pelan ke arah kasurnya yang sedikit berantakan. “Mas liat selimut itu?”
“Itu buatan Laras. Untuk ulang tahun dia, Mas. Belasan tahun nggak Laras sentuh… makanya masih kayak baru…”
Suara Laras makin lirih, lalu pecah di ujung kalimat.
“Belum lama ini, akhirnya Laras keluarin selimut itu… Laras pakai, Laras bilang ke diri sendiri, ini buat Laras… tapi yang muncul malah sakitnya, Mas… malah wajah dia… senyuman itu, lesung pipinya, candaan dia, cengiran dia yang kadang suka bikin kesel… hikss—aku nggak bisa lupain dia, Mas…”
Tangannya gemetar, yang akhirnya beralih melemas kayu kursi gantungnya. Napasnya memburu, tercekat oleh tangis yang memuncak.
“Dan yang… bikin Laras sedihh hikss—dia juga… hiks… nggak bisa, Mas…”
Laras memejamkan mata, air matanya mengalir tak tertahan. “Setiap hari… hiks… Laras lihat dia… s-setiap hariii…”
“Setiap hari?” Surya nyaris kebingungan.
“Sakit, Mas… hiks—Laras ngehindarin dia… Laras takut… hiks… Laras takut lihat mata dia… yang sendu, yang bikin Laras lemah…”
“Laras nggak tahu… Gimana dia tanpa Laras— hiks… selama di Jakarta… Tapi… hiks—Dia kurus banget, Mas… hiks… Dia masih ngerokok, padahal hiks… Laras pernah bopong dia— hikss ke rumah sakit karena sesak napas… hikss— dia tahu… Laras nggak suka dia… hiks… ngerokok…”
Napasnya berkejaran dengan sesak yang menyesakkan dada.
“Tapi… Laras mencobaa untuk… hiks… engga peduli. Laras sinisin dia setiap harii… hikss—Bahkan Laras bilang ke dia… hiks… kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi… hiks… padahal aku masih cinta, Mas… hiks… aku… masih banget…”
“Hiks… D—dia dulu janji, dia akan selalu bilang Laras… cantik… hiks… tiap ketemu Laras, dan setelah bertahun-tahun… dia tetap bilang gitu… padahal Laras—hiks… Laras malah nyakitin dia…”
Ia menangis makin keras, “Laras tahu… dia nggak bisa hidup tanpa Laras… Tapi—hiks… Laras ninggalin dia, Mas. Laras lihat dia… hiks—”
“Mas… kenal orangnya, Ras?”
Pertanyaan itu meluncur lirih dari bibir Surya, pelan… tapi menghantam seperti badai di tengah dada Laras.
Laras terdiam. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang kembali memuncak. Ia hanya bisa mengangguk pelan, nyaris tak terlihat… namun cukup bagi Surya untuk memahami.
“B-Bagas… orangnya?” tanyanya lagi, dengan suara yang kini pun ikut bergetar.
Dan di saat itulah…
Tangis Laras pecah—sepecah-pecahnya.
Tangis yang bukan lagi tangisan sedih biasa, tapi tangis karena menahan rindu yang tak bisa disampaikan, cinta yang tak bisa dimiliki, dan luka yang tak kunjung sembuh.
Tak perlu penjelasan lebih panjang. Surya bergerak memeluk adiknya kembali—lebih erat dari sebelumnya.
Ia tak tahu harus berkata apa. Yang ia tahu, pelukan itu satu-satunya hal yang bisa ia berikan sekarang.
:::::
Pak Wiryo mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja, ritmenya semakin cepat seiring kegelisahan yang tak terbendung. "Coba… coba dihubungi lagi teleponnya…”
“Tapi… ponselnya nggak dibawa, Pak.” jawab Cantika dengan nada cemas, berdiri setengah ragu, seolah masih berharap jawaban itu bisa berubah. “Dan baterainya habis juga, makanya saya charge dulu.”
“Oh iya… iya… ya Allah…” desah Pak Wiryo, menatap kosong ke arah jendela, seakan berharap sosok Bagas akan muncul dari kabut gelap dan hujan yang terus turun tanpa henti.
“Gimana ini… Laras juga nggak ada sinyal kayaknya. Bapak udah teleponin juga, nggak diangkat.”
“Dia lagi sama Mas Surya, Pak… Mungkin… aku coba hubungin Mas terus, ya?”
“Oh, ya udah… ya udah, Sar… tolong dihubungin aja terus, ya…” Suara Pak Wiryo mulai melemah, nyaris seperti ayah yang kelelahan mencari bayang-bayang anaknya sendiri.
Seisi rumah kini seperti diam dalam ketegangan. Hanya derit angin yang menyusup dari sela jendela, dan detak jam dinding yang terasa lebih nyaring dari biasanya.
Setiap menit yang berlalu seakan menggoreskan kekhawatiran di wajah penghuni rumah itu.
Bagas belum pulang juga. Padahal kegiatannya dengan Laras sudah lama selesai… tapi ke mana dia?
Tiba-tiba, pintu belakang terbuka, memecah kepanikan yang sempat membatu. Semua mata serentak menoleh. Namun bukan Bagas yang berdiri di ambang pintu itu—melainkan Laras dan Surya.
“Aduh… kalian ke mana aja?” tanya Pak Wiryo, napasnya setengah lega, setengah bingung.
Surya melipat payungnya perlahan, meletakkannya di sudut pintu, agar air hujan yang masih menetes hanya membasahi satu titik lantai.
“Maaf, Pak. Hujannya gede banget, jadi nunggu agak reda baru kita bisa jalan pulang.” ucap Surya sembari mencium tangan ayahnya, disusul Laras yang juga memberi salam dengan kepala tertunduk. Sementara itu, Sari datang menyambut suaminya yang segera memberinya kecupan di kening.
Namun Laras hanya diam. “Aku langsung masuk kamar, ya, Pak…”
Pak Wiryo menahan langkahnya, “Ras… Bagas belum balik, kamu tahu dia ke mana?”
Begitu nama itu disebut, Surya refleks melirik adiknya. Ia tidak tahu pasti apa yang dipikirkan Laras, namun… pupil matanya bergetar halus.
Laras menelan ludah, menggeleng pelan. “Nggak tahu… Laras udah suruh dia pulang. Laras pamitan sama dia di depan rumah tadi sore, dia… dia nggak pulang?”
“Nah itu, Mbak…” sahut Baskara, khawatir. “Mas Bagas nggak pulang.”
Damar menimpali, “Tadi saya sempet nyari ke klinik, sama beberapa tempat yang biasa dia datengin… tapi nggak ada, Mbak.”
Wajah Laras mengeras. Bibirnya sedikit terbuka, napasnya berat. Bayangan mata Bagas yang sempat menatapnya sebelum mereka berpisah kembali berputar di pikirannya—menyiksa.
“Ras…” suara Pak Wiryo mulai pecah, “Bapak takutnya… dia jalan sendirian, terus nyasar. Ini hujan gede banget, dia juga nggak bawa ponsel. Bapak takut dia masuk ke hutan… ke kebun orang, atau…”
Surya maju satu langkah, “Biar Surya yang cari aja, Pak—”
“Barang-barang Bagas ada di mana?” potong Laras cepat, nada suaranya berubah—tajam, panik.
“Di kamar, Mbak.” jawab Baskara.
“Biar Laras aja yang cari, Mas Surya di rumah. Mbak Sari, Mas Surya habis hujan-hujanan, sebentar lagi juga pasti menggigil.”
Surya tersentak. Laras telah membocorkan rahasia yang tak ingin ia sebutkan. Sari menatap suaminya dengan pandangan tak percaya—lagi-lagi, Surya mencari penyakit dengan tubuhnya sendiri.
Laras tak mengindahkan itu semua. Ia langsung melesat ke kamar tempat barang-barang Bagas disimpan. Tangga ia daki dengan langkah tergesa, napasnya naik turun—di kepalanya hanya ada satu hal. Ia harus mencari Bagas.
“Di mana?” tanyanya cepat.
“Apa, Mbak?”
“Koper… atau tas. Bagas punya bronkitis, harusnya dia bawa inhaler atau… sesuatu buat bantu dia kalau sesak napas. Kamu tahu barangnya di mana?”
Baskara tampak kaget. “Wah… nggak, Mbak. Kok Mbak tahu?”
Laras diam. Matanya bergerak cepat, menyisir tiap sudut. Ia menemukan tas canvas Bagas dan segera membongkarnya. Dan di sana, inhaler itu—masih utuh, belum tersentuh.
Ia membuka koper yang diturunkan oleh Damar dan matanya nyaris berkaca-kaca, sementara kedua pria yang berdiri di belakangnya tampak terkejut. Semua tersusun rapi seperti saat ia membantu Bagas menata barang-barang bawannya—persis seperti bagaimana Bagas menata barang dulu, saat ia telah kembali ke Jakarta.
Cadangan inhaler, mesin uap kecil, beberapa kotak obat-obatan dengan label-label yang ditulis rapi. Semuanya.
Belum sempat ia melangkah turun, Damar meraih lengannya. “Mbak…” suaranya pelan, menahan, “Mbak jangan panik dulu… saya bantu cari, ya? Udah malem dan hujan begini, takutnya malah Mbak kenapa-kenapa juga…”
Laras diam sejenak, menarik napas panjang—mencoba meredakan gemuruh di dadanya yang nyaris mirip dengan suara hujan di luar.
“Aku sendiri aja, Mar…” katanya akhirnya, lembut namun tegas. “Kamu sama Baskara di rumah aja, biar Bapak nggak makin cemas. Kalian juga baru pindah ke sini, kan? Besok kalian praktik juga… takutnya kalau Bagas nggak bisa kerja, setidaknya ada kamu yang bisa gantiin dia.” Laras menahan napas sejenak, lalu melanjutkan, “Cantika pasti bakal sibuk sama ibu-ibu. Kasihan kalau dia sendiri nanti, bisa keteteran.”
Laras tersenyum tipis, “Lagipula, aku udah biasa keluar malam kayak gini. Kalau ada panggilan darurat dari peternakan, anggap aja Bagas… hewan. Ahem… nanti Baskara sama Laila juga bakal ngerasain. Dokter di desa tuh paling sibuk… soalnya pasiennya nggak cuma liat dari kondisinya, tapi juga nggak liat waktu.”
Damar mengangguk pelan, genggamannya pada lengan Laras melunak. “Ya udah, Mbak… hati-hati, ya.” katanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.
Laras menatap Damar dan Baskara bergantian sejenak, “Makasih ya, kalian…”
Laras pun berbalik, langkahnya lekas menuruni tangga, suara hujan memukul pelataran. Tapi sebelum bayangnya benar-benar hilang, Damar sempat menoleh ke arah Baskara, lalu kembali menatap pintu yang terbuka.
“Laras pergi dulu, ya, Pak. Tolong suruh Mas Bagus coba cari juga, kalau perlu… pakai mobil.”
“Ras… Masih hujan… Kamu ini bawaannya banyak banget—” suara Pak Wiryo tak sempat menyentuh ujung kalimatnya, Laras telah berlari.
Jas hujan sudah dikenakan, sementara benda-benda penting dimasukkan ke dalam tasnya. Ia lebih suka jas hujan daripada payung—karena dia harus bebas melangkah. Lebih aman ketika hujan deras seperti ini, tak ada tanah licin atau lumpur yang mengganggu pergerakannya.
Kakinya terus melangkah, menyusuri jalanan basah yang berkilau diterpa cahaya lampu, sambil memanggil nama yang terus menggema di benaknya.
Bagas… Bagas…
Langkah Laras menyusuri pinggiran sawah yang mengabur, menelusuri warung-warung kecil yang sudah tutup, serambi masjid yang hening, hingga balai desa yang sunyi. Bahkan ke klinik desa ia sempat singgahi, berharap akan menjumpai sosok bertubuh tinggi itu di sana. Namun semua nihil.
“Kayaknya kalau nggak ada kamu, aku pasti bakalan mati muda, Ras.”
Kalimat itu terus memburu dalam pikirannya, menggigit-gigit hati seperti dingin yang masuk ke tulang. Laras menahan tangis yang nyaris pecah di tenggorokan.
Ia takut. Takut kehilangan. Takut ia terlalu terlambat.
Langkahnya terus membawanya menjauh dari rumah, menuju arah perkebunan yang letaknya cukup jauh. Angin dingin menusuk, tapi ia tetap berjalan. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat seorang pria tua berjalan kaki dengan memakai jas hujan—Pak Teguh, pemilik kebun Ciraca.
Tanpa ragu, Laras segera menghampirinya.
“Pak Teguh!” serunya sambil menahan napas. “Ini Laras, anaknya Pak Wiryo… Bapak ngeliat cowok tinggi gitu nggak? Sekitaran sini? Tinggi banget pokoknya…”
Pak Teguh menatapnya sejenak, lalu mengangguk, matanya membulat seolah baru mengingat sesuatu yang penting.
“Loh, baru aja saya mau ke rumah Pak Wiryo, Nduk! Orangnya itu sekarang ada di rumah saya, Pak Wiryo dihubungi nomornya tapi tidak aktif. Dia nyasar ke kebun tadi… haduh, untung aja nggak diapa-apain sama yang jaga. Kupikir maling tadi!”
Laras tercekat. Dadanya mencelos, tapi juga lega.
“Ayo ikut saya, ayo. Dia batuk-batuk terus dari tadi, kayaknya masuk angin berat…”
Tanpa pikir panjang, Laras mengikuti Pak Teguh. Mereka melewati jalan setapak berlumpur, melintasi pagar mewah yang membawanya menuju rumah besar yang hangat yang tampak asri dan hangat.
Begitu pintu dibuka, Laras langsung melihat Bagas duduk bersandar di sofa. Tubuhnya gemetar, batuknya berat—parau dan sesak, seperti dada yang menolak udara.
“Bagas…” lirih Laras, air matanya mengalir, suaranya nyaris hilang.
Pria itu perlahan mengangkat wajahnya. Matanya sayu, napasnya pendek-pendek di sela batuk yang tak kunjung reda. Dada itu naik-turun dengan berat, seolah setiap tarikan napas adalah perjuangan. Tapi saat melihat Laras, seulas senyum tipis muncul di wajahnya—lemah, tapi hangat… seolah dunia yang sempat gelap akhirnya kembali menemukan nyalanya.
“Lagi hujan… Ngapain ada—uhukk… uhukk—di sini?” gumamnya, diselingi batuk yang mengguncang seluruh tubuhnya.
“Bawel.” jawab Laras singkat—nadanya tak tegas, nyaris pecah, tapi cukup untuk menyembunyikan kepanikannya.
Ia segera berlutut di hadapannya, tangannya cekatan membuka tas dan mengeluarkan inhaler. Tanpa sepatah kata pun, ia membantu Bagas menggunakannya. Jemarinya sedikit gemetar, bukan karena dingin, tapi karena emosi yang tak mampu lagi ia kendalikan—takut, lega, marah, dan cinta yang menyesakkan dada.
“Kalau kamu mati malam ini… aku nggak bakal maafin kamu.” ucapnya tajam, namun terdengar sangat lirih.
Bagas nyaris tak mampu membalas. Tapi dalam lemasnya, ia masih sempat mengangkat tangannya… dan dengan sisa tenaga yang ada, ia menyentuh wajah Laras. Jarinya mengusap air mata yang jatuh, perlahan, seperti ingin menghapus semua luka yang ia goreskan pada Laras.
Untungnya… Kali ini, Bagas masih diberi waktu. Masih diberi kesempatan untuk menyentuh air mata Laras—sebelum semuanya terlambat.
Setelah inhaler itu bekerja, membuka jalur pernapasannya yang menyempit, Bagas memejamkan mata sejenak. Dingin masih terus meresap dari ujung rambut hingga kakinya, tapi kini, setidaknya, berkat kehadiran Laras… ia bisa bernapas.
Sementara itu, Pak Teguh terus mengawasi kondisi Bagas—barangkali ia membutuhkan pertolongan medis lebih lanjut. Namun pandangannya lembut, ia tak berkata apa-apa, tapi sorot matanya cukup bicara. Mungkin, memang ada sesuatu yang istimewa antara anak gadis Pak Wiryo dan pria asing itu, begitu pikirnya.
“Laras, kalau Mas-nya mau nginep di sini, nggak apa-apa kok,” ucapnya kemudian. “Ada kamar kosong, biasa buat ditempatin cucu saya kalau menginap.”
Laras menoleh, mengangguk pelan. Ia menghargai kebaikan itu, tapi hatinya telah memutuskan. “Terima kasih banyak, Pak, tapi kayaknya kita pulang aja karena di rumah juga lagi panik. Semua orang nyariin dia, dan Bagas ini juga masih awam sama lingkungan desa, jadi… ya, takutnya kenapa-kenapa lagi dan merepotkan Bapak.” Senyumnya tipis. “Maaf ya, Pak… jadi merepotkan.”
Pak Teguh menggeleng ringan. “Nggak usah minta maaf, Nduk. Namanya juga tamu, apalagi beliau ini dokter… jauh-jauh datang buat bantuin kita. Sudah sepantasnya kita jaga baik-baik.”
Laras mengangguk lagi, matanya menatap Bagas—dan hatinya mengucap syukur. Kalau saja bukan Pak Teguh yang menemukannya, siapa yang tahu apa yang mungkin terjadi?
“Gas…” panggil Laras lembut, tangannya mengguncang sedikit lengan Bagas. “Jangan tidur dulu. Napasmu gimana? Udah agak enakan?”
Bagas membuka matanya pelan. “Udah… lumayan…” suaranya serak, nyaris tenggelam dalam hujan yang tak kunjung reda.
“Aku hubungin Mas Bagus buat jemput, ya? Kamu bisa jalan sendiri?” Laras meliriknya, sedikit cemas.
Bagas mengangguk, pelan tapi tegas. Ia berusaha menegakkan tubuhnya, meski tangannya sempat bergetar. “Bisa,” gumamnya lirih. Meskipun tubuhnya nyaris tumbang, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin tetap tampak kuat di hadapan Laras.
Begitu keadaan sedikit tenang, Laras segera mengambil ponselnya. Di sela suara hujan yang masih turun deras dan batuk Bagas yang masih terus terdengar, ia mengetik pesan dengan cepat.
Ia menghubungi Mas Surya terlebih dahulu—memberi kabar bahwa Bagas sudah ditemukan dan sedang ia tangani. Ia tak ingin siapa pun di rumah terlalu khawatir atau bertanya-tanya lebih lama. Setelah itu, ia juga menghubungi Mas Bagus, meminta bantuannya untuk menjemput mereka menggunakan mobil milik keluarganya.
Tak lama setelah Bagas merasa sedikit lebih tenang, Pak Teguh kembali dari dalam rumah dengan nampan berisi dua cangkir teh hangat. Uapnya mengepul, mengirim aroma sereh yang lembut ke udara malam yang lembap.
“Nih, Nduk… minum dulu sebelum pulang, lumayan buat ngangetin badan. Anak saya buatin teh sereh, biar Mas-nya juga nggak masuk angin.”
Laras menerima cangkir itu dengan senyum lelah, tapi tulus. “Terima kasih banyak, Pak…”
“Terima kasih... uhukk—uhukkk... banyak, Pak,” ucap Bagas parau, disertai anggukan pelan.
Tangannya yang hendak meraih cangkir teh tampak bergetar, terlalu lemah untuk menggenggam dengan mantap, Laras sigap menahannya. “Sini… Aku sendokin aja, ya?”
Tanpa menunggu jawaban, ia mengambil sendok kecil dan teh sereh dari Pak Teguh. Laras meniup perlahan uap dari teh hangat itu. Ia menyendokkan sedikit, lalu menyuapkannya ke Bagas yang masih terbatuk pelan. Seruput demi seruput, hangatnya teh mengalir melewati tenggorokannya yang perih, menenangkan dadanya yang sesak. Napasnya mulai teratur, meski tetap berat. Ia menatap Laras, lemah—tapi penuh rasa.
“Makasih, Ras…” ucapnya lirih.
Laras tak menjawab, hanya tersenyum kecil—pahit, tapi juga lega. Senyum seorang perempuan yang pernah kecewa, tapi tak sanggup membiarkan seseorang yang ia cintai tenggelam dalam luka seorang diri.
Mereka duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan Mas Bagus. Laras sesekali masih menyendokkan teh sereh itu pelan-pelan untuk Bagas minum, Ia turut melirik ke arah ponselnya, mengecek pesan dari Mas Bagus hingga akhirnya mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah Pak Teguh dan seorang pria muda dengan jaket hujan berjalan keluar dari mobil.
“Assalamualaikum, Pak Teguh!” ucap Awan tepat ketika ia memasuki area teras, matanya langsung tertuju pada Laras yang tengah sibuk di ruang tamu—menyeka keringat di dahi Bagas, menyuapkan teh, dan merapatkan jaket ke tubuh yang menggigil itu.
Pak Teguh, tentu mengenal baik Arief Wirawan, anak muda di desa Tegalrejo yang memiliki jiwa semangat tinggi untuk menjadi pengusaha sepertinya. “Wa’alaikumusalam! Lah, Awan? Lama saya tidak ketemu sama kamu. Masuk, masuk…”
“Loh, Wan? Kamu yang kemari?” Laras segera berdiri, sedikit terkejut.
“Mas Bagus minta aku gantiin. Lagi ada urusan sama Bapak katanya, jadi nggak bisa cabut. Ayo, aku bantuin…” ucap Awan cepat, langsung menghampiri Bagas dan menawarinya bahu sebagai tumpuan. “Ayo Mas, saya bantu…”
Bagas sempat menggeleng pelan, tapi tubuhnya tak bisa bohong. Bagas akhirnya mengalah dan tubuhnya dibopong oleh Awan.
“Pelan-pelan, ya, Wan…” ucap Laras, matanya terus mengawasi.
Setelah menyempatkan diri untuk berpamitan kepada Pak Teguh, Awan menuntun Bagas ke mobil. Sementara Laras merapikan barang-barang keperluan Bagas lalu menoleh ke Pak Teguh dan menunduk sopan. “Maaf udah ngerepotin, Pak. Makasih banyak… bener-bener nggak tahu harus gimana kalau bukan karena Bapak.”
Pak Teguh hanya tertawa kecil. “Nggak apa-apa, Nduk. Untung kamu lewat sini. Kalau nggak, saya juga bingung mau ngapain sama orang nyasar di kebun tengah malam.”
Laras tertawa kecil, lebih karena lega. Ia kemudian berpamitan dan segera berlari dengan jas hujan yang ia pakai asal-asalan, menyusul ke mobil.
Begitu Awan membuka pintu belakang, Laras masuk dari pintu sisi lain dan duduk di kursi belakang. Bukannya duduk di samping Awan di depan, ia memilih berada di sisi Bagas—memastikan pria itu tetap duduk dengan benar agar paru-parunya bisa bernapas lebih lega. Namun, belum lima menit mobil melaju, kepala Bagas sudah jatuh ke bahu Laras.
“Duduk yang bener, Gas…” ucap Laras pelan, tapi tak menyingkir. Ia tahu tubuh itu sedang butuh sandaran.
“Aku… ngantuk… uhukk uhukk—uhukkkk!” Batuknya keras dan panjang, hingga bahunya turut berguncang.
Tangan Laras terus bergerak, kini turun ke dada Bagas dan mengusapnya perlahan.
“Mau sekalian diuap, nggak? Aku bawa alatnya.”
“Di rumah aja… uhukkk…” desah Bagas pelan.
“Kalau butuh sekarang, langsung bilang ke aku.” bisik Laras lembut.
Bagas mengangguk pelan, dalam diam ia menyunggingkan senyuman samar. Ia merasa tubuhnya terlalu lemah untuk bicara, tapi hatinya—berisik.
Dalam keheningan, Bagas meraih tangan Laras yang kosong di atas pahanya, lalu perlahan menggenggamnya. Tangan itu terasa dingin, namun hangatnya menyentuh hati Laras dengan cara yang sangat berbeda.
Awalnya, Laras ingin menarik tangannya kembali. Namun, Bagas menahan dengan lembut, menggenggamnya lebih erat, membawa tangan itu ke atas pahanya. Jemari Laras sempat menegang, tanda ia meragu. Ia tahu, ia ingin menarik tangannya, tapi ada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat dalam dirinya yang membiarkan Bagas melakukannya.
Meski jemari Bagas tidak mampu lagi menggenggamnya dengan kuat—tangan yang dulu penuh keyakinan kini tampak lemas dan rapuh—Laras tetap menggenggamnya. Genggamannya begitu lembut, namun cukup untuk memberi tahu Bagas bahwa ia ada di sana.
Laras menghela napas, memandang genggaman tangan mereka, dan merasa ketegangan yang mencengkeram dadanya sedikit berkurang. Namun, perasaan itu tetap digantikan oleh rasa khawatir yang semakin membuncah.
“Kamu tuh… tau kamu sakit,” katanya dengan suara bergetar, seolah kata-katanya melawan perasaan yang lebih dalam. “Nggak boleh kecapean, nggak boleh kedinginan… Kenapa tadi nggak pulang aja? Kamu mau ke mana harus jalan sampai sejauh ini, sih?!” Nada suaranya sedikit meninggi, tidak mampu menahan kekesalan yang dipendam. “Kalau kamu masuk ke jurang, nyasar ke hutan atau nyasar di kebun terus digebukin orang, gimana?!”
Senyuman samar muncul di bibir Bagas, meskipun hatinya berbicara dengan keras. Ia merasa tubuhnya terlalu lemah, tapi dalam dirinya—ada rasa syukur yang mengalir dalam diam.
Laras masih di sini. Masih memperhatikannya. Masih tahu titik di dahinya yang bisa menenangkannya.
“Akuu… uhuukkk uhukk… aku cuma mau… uhukk… hapal desa ini aja… kata kamu—”
“Udah diem dulu,” potong Laras cepat. Suaranya tegas, tapi nadanya bukan marah—lebih ke takut. “Semakin kamu ngomong, nanti kamu makin batuk dan napasnya jadi sesek. Diem dulu.”
Tanpa menjawab lagi, ia menyandarkan kepalanya lebih dalam ke bahu Laras—seolah mencari kembali tempat paling hangat di dunia, yang selama ini hanya bisa ia kenang dalam mimpi dan penyesalan. Bahu yang pernah menjadi sandarannya dan senantiasa ia rindu untuk menciumnya, kini terasa nyata lagi.
Bagas menurut. Ia diam, lebih tepatnya… ia menahan diri. Tapi dadanya sesak.
Pertanyaan-pertanyaan lama, kerinduan yang tak pernah sempat disampaikan, dan rasa bersalah yang terus menghimpit dadanya. Semua menumpuk jadi satu, mendesak untuk keluar—karena Bagas tahu, ini mungkin kesempatan terakhir bagi Laras untuk mau mendengarkannya, untuk memberinya sedikit ruang. Ia merasa, jika saat ini ia tak mengungkapkan semua yang telah terpendam, maka kesempatan itu akan hilang begitu saja.
Dengan sedikit tenaga yang tersisa, Bagas berusaha mengenggam tangan Laras lagi. Ia mengusapkan ibu jarinya di punggung tangan Laras dengan lembut, seperti sebuah isyarat yang penuh harapan—bahwa meski segalanya telah berubah, meski mereka terpisah dalam begitu banyak hal, ia tetap ingin Laras tahu satu hal bahwa Bagas masih miliknya, ia ingin memperjuangkan Laras lagi.
Laras tak menggerakkan tangannya, hanya diam, meresapi sentuhan itu—sentuhan yang begitu familiar, namun kini terasa begitu rapuh.
“Ras…” lirih suaranya pecah, nyaris tak terdengar. Bagas tetap memaksa, suaranya terputus di antara batuk. “Aku… uhukk— belum selesai…”
“Kamu tuh kebiasaan,” bisik Laras, separuh kesal, separuh iba. “Udah batuk parah gini, masih maksa ngomong.”
Bagas menggeleng lemah, matanya setengah tertutup. Laras menggigit bibirnya, ia melirik ke wajah pucat itu dan sesekali membenarkan posisi duduk Bagas pelan-pelan, memastikan paru-parunya tak terhimpit.
“Nanti aja, ya… Nanti.”
Sepanjang jalan, Bagas terus terbatuk-batuk. Laras hanya menoleh tiap kali batuk itu terdengar, matanya tak bisa benar-benar tenang. Beda dengan apa yang bisa dilihat dari spion tengah, tangan Laras masih mengusap dada Bagas, dan ikut mengusapkan ibu jarinya di punggung tangan Bagas, menjaga kehangatan yang ia bisa berikan. Ia memperlakukannya seperti seseorang yang sangat berharga—dan Awan tahu, memang begitulah kenyataannya.
Awan diam saja di balik setirnya. Sepanjang jalan yang sepi dan dingin, hanya suara batuk Bagas dan omelan Laras yang memecah keheningan.
Tapi bukan itu yang mengganggu pikirannya.
Matanya sesekali melirik ke spion tengah.
Sakitnya tak bisa dijelaskan. Awan ingin membenci Bagas—pria yang bahkan baru ia lihat jelas malam ini, yang belum lama tinggal di desa, belum lama mengenal mereka. Tapi entah bagaimana, Bagas telah melangkah lebih dekat… lebih dalam ke hati Laras, seakan jarak belasan tahun tak pernah ada.
Ia tak bermaksud menguping, apalagi mencampuri urusan Laras. Malam itu, ia hanya hendak menyambangi rumahnya—membawa beberapa jajanan kesukaan Laras yang ia beli di pasar seusai bekerja, berniat untuk akhirnya ingin mengajak Laras berbicara dari hati ke hati. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Laras di halaman rumah, berdiri di bawah cahaya redup bersama pria itu—dokter relawan yang baru datang.
Awan hanya bisa membeku. Pertengkaran itu terdengar begitu asing, tapi menjawab banyak hal yang selama ini menggantung di pikirannya.
Laras... pernah menjalin sesuatu dengan pria itu?
“Wan... lihat daftar nama ini, deh. Ada yang namanya Bagas Mahendra... namanya sama kayak orang yang aku kenal… yang datang bukan dia, kan ya? Nggak mungkin, sih. Tapi... takut aja.”
“Bagas Mahendra? Kenal di mana? Tapi anak Gadjah Mada, tuh… Kamu kenal mungkin.”
“…”
Bagas Mahendra.
Kenapa hubungannya dengan Laras bisa berakhir dan memberikan luka yang begitu besar padanya?
Apa pria itu menjadi alasan mengapa Laras terus menangis di malam hari saat itu?
Awan menggenggam setir erat-erat. Suara pertengkaran Laras dan pria itu masih terngiang jelas di telinganya—ia memang bermaksud datang untuk berbicara dengan Laras malam itu. Tapi yang tak ia sangka, pria yang disebut-sebut di dalam mobil waktu itu adalah Bagas. Dan kini, pria itu benar-benar datang ke desa ini, seolah takdir sedang mempermainkannya.
Awan bingung. Tangannya masih menggenggam plastik jajanan yang tadi ingin ia berikan pada Laras, tetapi kini, jajanan itu hanya jadi benda tak berarti. Ia melangkah pelan ke depan tong sampah yang tersedia di pinggir jalan, lalu melemparnya ke sana.
Laras… selalu menangisi pria itu dalam diamnya. Dalam rumah pohon kecil tempat ia biasa menyendiri. Namun, bukan amarah atau dendam, yang dipikirkan Laras hanyalah kebahagiaan Bagas—bahkan ketika hatinya sendiri sudah tak tersisa. Bahkan ketika tubuh dan suaranya gemetar karena marah dan kecewa, pikirannya tetap kembali kepada laki-laki itu. Bagas.
“Karena kamu buat aku terlalu berharap sama kamu.”
“Karena aku tahu, kalau sama aku, kamu nggak akan bahagia…”
Awan menunduk, perasaannya seperti diiris perlahan. Rasa sesak di dadanya menumpuk. Ia tak tahu harus marah pada siapa—pada Bagas, karena datang tiba-tiba dan membawa kembali luka lama? Pada Laras, karena menutup pintu terlalu rapat hingga tak seorang pun bisa masuk? Atau pada dirinya sendiri… karena selama ini ia hanya berani berharap dalam diam.
Ia hanya menunggu. Bertahun-tahun. Ia pikir, mungkin suatu hari Laras akan melihatnya—bukan sebagai teman, bukan sebagai tetangga kecilnya dulu, tapi sebagai laki-laki yang mencintainya dengan setia dan tidak akan pernah menyakitinya.
Ternyata hari itu tak pernah datang.
Dan yang datang justru seseorang dari masa lalu Laras—seseorang yang memegang kunci hatinya sejak awal, bahkan sebelum Awan sadar bahwa hatinya telah lama tertawan oleh perempuan itu.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari mencintai seseorang yang hatinya telah diberikan pada orang lain—dan kau tahu, tak peduli seberapa lama kau menunggu, kau bukan rumahnya.
::::
Sudah hampir pukul sebelas malam ketika mobil akhirnya berhenti di area perkarangan rumah. Hujan baru saja reda, menyisakan tanah yang basah dan udara yang menusuk dingin. Di kejauhan, jangkrik mulai terdengar kembali, menyelip di antara sisa gerimis yang masih menetes pelan dari bibir genteng.
Baskara segera berlari ke area parkir, langkahnya tergesa, karena ia tahu butuh lebih dari satu pasang tangan untuk membawa tubuh Bagas yang tinggi dan kini nyaris tanpa daya. Napas Bagas terdengar berat, sesak, dan tubuhnya limbung ketika diangkat pelan dari dalam mobil.
“Bas, Awan...” ujar Laras tegas namun lembut, “bantu bawa ke kamar, ya… kamar aku.”
Awan menoleh, ragu. “Kamar kamu?
“Iya,” sahut Laras singkat. “Biar gampang bawanya… dan ngobatinnya, bantalnya yang tinggi, ya.”
Keduanya tak bertanya lagi. Dengan cekatan, mereka menopang tubuh Bagas yang semakin lemas, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.
Laras lebih dulu membuka pintu masuk depan lebar-lebar. Begitu tubuh Bagas berhasil dibaringkan, ia segera bergegas ke dapur. Tangannya cekatan mengisi ketel dengan air hingga hampir penuh, menyalakan kompor, lalu menyiapkan baskom.
Sementara itu, di ruang keluarga, Pak Wiryo dan yang lainnya menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, namun syukur terlukis jelas dalam sorot matanya. Ia melirik ke arah Surya, anaknya, yang berdiri bersandar di dinding tanpa berkata apa-apa.
“Syukurlah ketemu…” gumam Pak Wiryo pelan. “Bapak harus bilang apa kalau dia sampai kenapa-kenapa…”
Surya tidak menjawab. Pandangannya masih tertuju ke arah kamar Laras yang pintunya sedikit terbuka. Bayangan Awan dan Baskara terlihat samar, bergerak mondar-mandir menyiapkan tempat tidur untuk Bagas yang kini terbaring lemah.
Bajunya telah sedikit dibuka—lembap dan dingin, tubuhnya menggigil hebat.
Saat Baskara keluar, Laras masuk dengan tergesa-gesa. Ia langsung memeriksa kondisi Bagas sekali lagi, dahi berkerut, jemari telaten memeriksa suhu tubuh dan kelembapan kulitnya.
“Kayaknya bantalnya kurang tinggi, ya?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
“Awan… tolong awasin ketelnya, ya,” ucapnya tanpa menoleh. “Kalau udah mendidih, tuang ke baskom. Aku mau bersihin sedikit badannya… takutnya nanti malah demam.”
Awan diam sejenak. Lalu mengangguk. “Iya, aku jagain.”
Di luar kamar, semua orang asik berbincang, sementara Cantika baru saja datang dan langsung bertanya dengan nada khawatir.
“Bronkitis?” ulangnya setelah mendengar penjelasan Baskara. “Harusnya ke rumah sakit, dong. Ini bisa parah, lho.”
Baskara menoleh, nadanya serius namun tenang. “Iya, bronkitis. Kayaknya Mbak Laras udah tahu dari dokumen sukarelawan. Aku juga denger suara napasnya kasar banget, terus batuknya... kamu denger sendiri, kan?”
Ia menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, “Tadi aku sama Damar udah cek, obat-obatannya lengkap banget di koper. Kayaknya emang udah disiapin dari awal, buat jaga-jaga.”
Ia menoleh ke arah pintu di mana area peristirahatan relawan berada. “Aku ambil baju Mas Bagas dulu, ya. Siapa tahu nanti butuh ganti, badannya pasti nggak enak banget kalau tetap pakai baju basah begitu.”
Laras yang baru keluar dari kamar hendak mengambil bantal tambahan dari kamar Bapaknya untuk Bagas, sempat terhenti mendengar komentar Cantika.
“Nggak perlu ke rumah sakit, kok. Obat-obatannya Bagas lengkap, dan dia juga bawa alat uap sendiri. Aku bisa urusnya, kok…”
Cantika memandangnya heran. “Kamu yakin ngerti, Mbak?”
Mata Laras menatap mereka satu per satu. Pandangannya sempat bertemu dengan Surya, yang terlihat muram, namun ia memilih untuk tak menggubris.
“Dulu aku pernah rawat temenku… bronkitis juga, jadi aku tahu harus ngapain.” Suaranya tenang, nyaris datar—tapi tegas, seakan tak mengizinkan siapa pun memberikan sanggahan.
Tak ada yang membantah.
Bagas masih terbatuk-batuk dari dalam kamar, suaranya nyaring dan menyayat.
“Aduh… pasti sakit banget.” gumam Cantika pelan, matanya menyiratkan kekhawatiran.
Laras memilih meninggalkan ruang keluarga dan berlari ke kamar ayahnya. “Pak? Bagi bantal, ya? Kurang…”
“Iya, ambil aja, Nak.”
Sementara yang lain sibuk memperhatikan Bagas, Damar mendekat ke arah Laras yang bergegas menuju kamar Pak Wiryo. Tubuh Laras basah oleh hujan, helaian rambutnya menempel di wajah.
“Mar, maaf aku mau masuk…”
Mendengar itu, Damar cepat tanggap. Ia membuka pintu kamar Pak Wiryo, menyingkir sedikit agar Laras bisa lewat. Matanya tak lepas memperhatikan sosok di depannya.
“Mbak…” ucapnya pelan, suaranya sedikit tertahan. “Jangan lupa ganti baju, ya? Takut masuk angin…”
Laras menoleh. Baru sadar pakaiannya menempel dingin di kulitnya, sementara rambutnya masih menetes dan membuat dahinya terasa dingin.
“Oh, iya…” gumamnya. Ia tersenyum kecil kepada Damar—singkat, tapi tak bisa disangkal ada rasa hangat di sana. “Makasih udah ngingetin aku, ya…”
Laras mengambil bantal, lalu bergegas ke kamarnya sendiri.
Sementara itu, Laila yang berdiri di samping Cantika tak mengucap sepatah kata. Tatapannya terpaku ke pintu kamar Laras yang baru saja tertutup. Pandangannya tajam—bukan curiga, bukan pula marah, tapi ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik ketenangannya.
Ia menarik lengan Cantika perlahan.
“Yuk, kita tidur aja… biar Mas Bagas juga nggak keganggu istirahatnya. Toh, Mbak Laras ngerti cara ngurusinnya…” ujarnya sambil berlalu. Suaranya tenang, tapi ada ketegasan yang samar di sana—seolah ia tahu, tapi belum ingin bicara.
“Oh, iya. Tidur, ya, semuanya… Semoga besok Mas Bagas membaik.” sahut Pak Wiryo, akhirnya mengisyaratkan agar semua orang kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat, sementara Surya memutuskan untuk berjaga menemani Bagas.
Satu per satu mereka berpamitan untuk tidur. Rumah kembali tenang, menyisakan lampu-lampu kecil yang masih menyala di sudut-sudutnya. Tapi malam belum selesai. Dan cerita di balik pintu kamar Laras… baru saja dimulai.
Beberapa saat kemudian, Surya datang membawa air panas yang sudah lebih dulu disiapkan Laras. Sementara itu, Awan hanya berdiri di dapur—diam, tak bergerak. Ia sibuk menyusun ulang isi hatinya yang berantakan setelah menyaksikan gadis yang selama ini ia cintai, kini mencurahkan seluruh cintanya pada seseorang yang pernah—dan barangkali masih—menjadi pusat semestanya.
Meski patah, Awan tetap tinggal. Laras mungkin membutuhkannya, dan kendati Surya telah menyuruhnya pulang, namun ia memilih menetap.
Di dalam kamar, Laras duduk bersimpuh di sisi Bagas. Ia membetulkan bantal Bagas agar lebih tinggi dari sebelumnya, lalu membasahi handuk kecil lalu mengusapkannya perlahan ke wajah Bagas yang mulai berkeringat dingin. Gerakannya cekatan, tapi matanya tak bisa menyembunyikan cemas yang dalam.
Surya sempat menawarkan bantuan, tahu betul adiknya tak pernah benar-benar tenang sejak tadi. Namun, Laras menolak halus dan hanya berbisik, “Mas bantu ganti bajunya aja, ya…”
Keduanya melihat Bagas terus mengeluh dingin, batuknya semakin dalam, dan tubuhnya mulai menggigil, hingga akhirnya Laras mengambil keputusan—ia yang akan mengurusnya sepenuhnya malam ini.
Laras yakin, sekecil apa pun kemungkinan penyebab kondisi Bagas saat ini, dirinya turut ambil bagian. Ia seharusnya mendengar—setidaknya memberi waktu ketika Bagas ingin bicara. Tapi semua sudah terlambat, dan kini Bagas tersiksa… fisik dan batinnya.
Laras tak punya hati membiarkan Bagas merasakan derita ini lagi.
Tidak di hadapannya. Tidak setelah yang pernah mereka lewati dulu.
Setelah menata ulang sandaran Bagas agar menjadi lebih tinggi, Laras mulai meracik obat dan menuangkan larutan itu ke dalam mesin uap. Gerakannya luwes—seolah tubuhnya masih menghafal betul bagaimana ia dulu merawat Bagas, saat bronkitisnya pernah kambuh. Ia terus membaca label-label kecil pada botol di dalam kotak obat, memastikan takaran sudah benar, memastikan resepnya belum berubah. Berjaga dari segala kemungkinan.
Laras membawa kembali alat itu ke sisi tempat tidur. Jemarinya sempat bergetar, namun ia menahannya erat, memaksa dirinya tetap kuat di hadapan pria yang kini tergolek lemah.
“Bagas…” Laras menepuk bahunya pelan, nyaris ragu. Bagas hanya membuka sedikit matanya, lelah, lalu mengangguk perlahan.
“Ras…”
“Iya, aku di sini...” bisiknya. “Batuk kamu makin parah, kita uap dulu, ya?”
Suara mesin mulai berdengung lembut, memenuhi kamar dengan desisan rendah yang samar. Tangannya, yang terbiasa tenang saat memegang hewan yang sakit, kini gemetar saat menyentuh wajah Bagas.
Ia memasangkan masker perlahan, menarik tali silikon ke belakang kepala Bagas, menyelipkan di bawah telinga dengan sangat hati-hati agar Bagas nyaman. Saat jarinya menyentuh kulit Bagas—hangat, namun begitu rapuh yang membuat dadanya sesak.
“Tarik napasnya pelan-pelan…” katanya pelan. Seolah bicara pada dirinya sendiri.
Uap hangat mengepul, mengisi kamar dengan aroma obat dan embun. Bagas mulai bernapas lebih teratur, meski sesekali batuknya masih menyela.
Dan saat Laras hendak berdiri, Bagas meraih jemarinya. Genggaman itu lemah, tapi cukup kuat untuk menahan Laras tetap berada di genggamannya. Bagas menarik tangan Laras ke dadanya, meletakkannya di sana—tepat di atas detak jantungnya.
“Udah mendingan, Ras…” gumamnya, terbatuk pelan. “Kamu bisa ngerasain, kan? Napas aku udah… lebih enak uhukk uhukk— uhukk… Makasih, ya…”
Laras memejamkan mata. Ada air yang menggenang di pelupuk, tapi belum tumpah. Ia mengangguk sekali, tak menjawab dengan kata.
Tapi ia tak bisa menahan air matanya lagi. Tanpa suara, tanpa isakan—air matanya jatuh perlahan.
Satu demi satu, menyusuri pipinya tanpa tergesa.
Ia menunduk—menjatuhkan kepalanya ke sisi kasur, mengatupkan bibir rapat-rapat dan membiarkan airmata jatuh. Jari-jarinya mengencang di dalam genggaman itu, seolah ingin memindahkan seluruh rasa takut, cemas, dan sayangnya melalui sentuhan.
Bagas tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap Laras sebisanya, lalu menutup matanya kembali.
Tapi genggamannya tetap tak lepas. Bagas mengusapkan ibu jarinya di punggung tangan Laras perlahan, berusaha menenangkan perempuan itu dari tangisnya.
Dan Laras, malam ini, membiarkan air matanya kembali jatuh—dalam diam, dalam sentuhan hangat yang dirindukannya, dan dalam hembusan napas Bagas yang mulai teratur… seakan dunia memberinya waktu untuk percaya bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Entah sudah berapa lama waktu terlewat, mesin uap itu telah lama berhenti menghembuskan uapnya. Ruangan jadi sunyi, hanya tersisa detak jam dinding dan hembusan napas dua insan yang terlelap dalam diam masing-masing.
Bagas pun akhirnya tertidur, setelah tak lagi mendengar isakan tertahan dari Laras. Tubuhnya lelah, dan hangatnya uap, juga kehadiran Laras, membuatnya tenang untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Kepalanya miring ke satu sisi, sementara genggaman tangannya pada jemari Laras tak pernah lepas.
Namun pagi belum benar-benar datang saat matanya perlahan terbuka.
Kesadarannya kembali pelan-pelan, bersama denyut lembut di dadanya. Ia menarik napas perlahan—tidak sesak, tidak sakit. Ia merasa… hidup. Lalu matanya menurun, menemukan sosok Laras masih di sana. Tertidur, bersandar di lengannya di sisi ranjang, napasnya teratur tapi wajahnya sembab.
Hati Bagas terasa begitu perih.
Dalam diam, ia melp mengangkat sedikit tangannya kirinya, menyentuh lembut rambut Laras—menyibak helai yang menutupi keningnya. Gerakannya nyaris tak terdengar, takut membangunkannya. Tapi bukan karena takut ditolak… melainkan karena ia ingin Laras tetap tinggal. Sedetik lebih lama pun tak apa.
“Prameswariku…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Bukan untuk membangunkan. Hanya untuk memastikan perempuan itu nyata.
“Maaf aku terlambat nemuin kamu, ya, Ras…”
Ia menunduk sedikit, mencium punggung tangan Laras yang masih digenggamnya dengan lembut.
Dalam hatinya, Bagas tahu… sekalipun dunia tak mengizinkan mereka bersatu, detik ini saja… ia ingin Laras tahu bahwa ia pulang. Bahwa ia kembali. Dan hatinya masih di tempat yang sama—di genggaman perempuan itu.
Air matanya jatuh diam-diam. Ia tak tahu harus bersyukur atau menangis. Tapi tubuhnya memutuskan lebih dulu—air matanya menitik perlahan, jatuh ke jemari Laras yang ia genggam.
Mungkin karena syukur. Karena ini bukan mimpi. Karena Laras ada di sisinya malam ini, nyata dan hangat. Tapi rasa itu bercampur dengan sesak yang dalam—karena perempuan ini, yang ia genggam erat sekarang, adalah perempuan yang pernah ia sakiti hatinya… dan masih memilih tinggal, meski mungkin luka itu belum kering.
“Kamu cantik, Ras…” bisiknya parau, suara yang serak dan basah. “Kamu… selalu cantik.”
Jari-jarinya menyusup perlahan ke helai rambut Laras, menyentuh seperti dulu, saat dunia mereka belum berantakan.
Laras menggeliat pelan. Alisnya mengerut, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyesuaikan pandangannya—dan ketika ia sadar siapa yang ada di hadapannya, napasnya tertahan.
“Bagas?” bisiknya tercekat. Matanya membesar, menyapu wajah laki-laki itu yang kini terjaga dan… menangis.
Bagas menunduk. Bahunya naik turun pelan, napasnya masih berat, dan dari sudut matanya, setetes air jatuh tanpa suara. Ia tak bicara. Ia hanya memandang Laras seolah dunia baru saja memberinya keajaiban yang terlalu rapuh untuk disentuh.
Laras panik. “Bagas… kamu masih sakit?” Jemarinya menyentuh dahi dan leher Bagas. “Napas kamu masih nggak enak? Batuknya gimana? Kamu udah makan? Nanti minum obat, ya? Sebentar, aku ambil—”
Namun jemarinya tak bisa bergerak jauh. Genggaman tangan Bagas justru makin erat, menahannya agar tidak pergi meninggalkannya. Tak ada kekuatan berlebihan, hanya satu hal yang terasa jelas. Bagas tak ingin melepaskan.
Kepalanya bersandar di bahu Laras, yang ia pikir hanya akan bertemu lagi di mimpinya saja. Ia tak berkata apa-apa selama beberapa detik, membiarkan tubuhnya yang lemah menyatu dalam hangat yang dulu pernah ia miliki.
“Jangan pergi dulu…” suaranya parau, rendah nyaris tak terdengar. “Sebentar aja, Ras… di sini aja…”
Laras terdiam.
Bagas menunduk, tak berani menatap langsung. “Aku tahu kamu nggak mau dekat sama aku… aku ngerti. Tapi... aku cuma mau kamu dari sini sebentar. Aku… cuma butuh waktu sebentar untuk genggam tangan kamu lagi…”
“Bagas…” Laras berusaha menarik tangannya, namun isakan pria itu membuatnya diam. Ia menurut, bahkan ketika Bagas membawanya untuk duduk di sisi kasurnya. Hening yang menggantung terasa menyesakkan, seolah waktu ikut membeku.
Bagas mengulas senyum tipis, tapi sorot matanya tak mampu menyembunyikan gejolak di dalam dada—antara kelegaan yang membuncah dan luka yang masih menganga. Ia menggenggam tangan itu perlahan, sangat hati-hati, seakan takut Laras akan menjauh lagi. Ia gunakan kedua tangannya, seolah ingin meyakinkan diri bahwa Laras benar-benar ada di sana.
Jari-jari Laras masih seperti dulu—kasar, kokoh, namun hangat. Jari-jari yang telah lama ia rindukan, yang dulu selalu menggenggamnya saat ia kehilangan arah. Kini akhirnya bisa ia genggam lagi, meski hatinya tak tahu… apakah untuk waktu yang panjang, atau hanya sekejap lalu kembali hilang.
“Terakhir aku genggam tangan kamu itu… tanggal 31 Oktober 2012, Ras…” ucapnya, suaranya nyaris patah, seperti daun kering yang disentuh angin. “Hari terakhir kita ketemu sebagai sepasang kekasih. Waktu itu, kita baru sempat ketemu lagi setelah sibuk kuliah, terus kamu luangin waktu seharian buat rayain ulang tahun aku…”
Ia tertawa kecil, tapi suaranya serak, matanya masih basah. “Aku masih inget banget hari itu, Ras… Aku simpan semua fotonya. Bahkan tiket bioskop, struk makan, stiker dari toserba tempat kita beli minuman… Semua masih ada. Aku bawa jejak kita berdua dari Jakarta, sampai nggak ada satu pun sudut kota itu yang bisa bikin aku lupa kamu.”
“Ulang tahun aku hari itu... jadi satu-satunya ulang tahun yang paling aku syukuri. Kamu nggak bawa kado, iya… tapi aku nggak peduli karena ada kamu. Kamu traktir aku gudeg, kita minum jamu pahit bareng sambil ketawa-ketawa karena rasanya nggak enak tapi kita maksa minum biar sehat…”
Tangisnya pecah pelan, tapi ia tetap bicara. Laras masih diam, matanya menatap jari-jari mereka yang saling bertaut, sementara hatinya berdegup makin tak teratur.
“Aku nemenin kamu beli benang rajut baru, kamu nemenin aku cari jas baru buat cadangan pas praktikum. Kamu ingat, nggak? Kita beli batik kembaran… terus kamu minta kamu pakai kebaya warna gading, rambutmu dikepang ke samping…” Suaranya mulai terputus-putus. “Kamu cantik banget, Ras…”
“Kita nonton film tiga kali berturut-turut, terus kita makan lagi di Malioboro, jajan es dawet pas perjalanan pulang…” Bagas terisak, “Aku masih inget semuanya…”
Laras menggigit bibirnya. Hatinya mulai nyeri, tubuhnya gemetar kecil.
Ia kembali menunduk, lalu suaranya merendah, pelan dan bergetar. “Waktu habis anterin kamu pulang, aku senyum-senyum sendiri sepanjang jalan. Aku ngerasa… aku juga harus bikin kamu bahagia pas giliran ulang tahunmu. Aku janji… janji di dalam hati aku. Aku bakal kasih kamu ulang tahun yang nggak akan pernah kamu lupakan.”
Tapi kemudian ia mengangkat kepala lagi, menatap Laras yang tetap tak menatapnya, hanya menatap kosong, menjauh ke arah meja kerjanya. Tatapan itu membuat napas Bagas tercekat, lalu ia kembali menunduk perlahan—dan menaruh kepalanya di bahu Laras, suara tangisnya akhirnya pecah pelan.
“Tapi tiba-tiba kamu nggak bisa dihubungi selama seminggu, Ras… Di kampus kamu ngehindar, kamu nggak dateng ke perpustakaan, aku samper ke kos-an kamu diem aja, aku tungguin di depan tapi kamu nggak pernah bukain pintu. Aku jemput kamu, kamu nolak…”
Tangisnya semakin dalam, bahunya bergetar hebat. “Aku pikir… aku pikir aku salah apa? Tapi kamu… kamu cuma bilang kamu mau putus, terus menghilang. Ras… aku kayak orang gila… aku cari kamu ke mana-mana. Aku tanya ke temen-temen kamu, tapi mereka bilang kamu pergi. Kamu hilang dalam semalam kayak ditelan bumi, Ras…”
Laras menahan napas. Tubuhnya ikut bergetar melihat Bagas terisak seperti itu. Tangannya gemetar, tak tahu harus memeluk atau menjauh.
“Apa kesalahan aku parah banget, Ras? Sampai kamu milih simpen semuanya sendiri? Apa sedalam itu aku nyakitin kamu sampai aku kamu buang aku kayak gini?” suara Bagas serak, patah.
Ia mengangkat kepalanya sekali lagi, menatap wajah Laras dengan mata basah dan merah. “Aku tahu kamu, Ras… Kamu selalu kesel kalau ada orang yang singgung kamu di depanmu. Kamu nangis kalau kamu nggak bisa ungkapin isi hati kamu. Tapi kamu selalu… selalu pilih diem kalau orang nyakitin kamu. Kamu selalu simpen sendiri.”
Tatapan Laras akhirnya bertemu dengan matanya—namun hanya sebentar. Sekejap kemudian Laras membuang pandangannya, dan itu cukup untuk membuat Bagas terpukul.
“Lebih baik kamu maki aku, Ras…” suaranya nyaris tak terdengar. “Bilang aku brengsek, bajingan, pemabuk, apa pun. Ceritain ke aku apa salahku. Biar aku tahu apa yang harus aku perbaiki…”
“Bagas…”
“Kalau perlu tampar aku… Cubit aku kayak dulu, jewer kuping aku kalau aku bebal… Tapi jangan simpen semuanya sendiri, Ras. Jangan buat aku gila karena diam kamu…”
Tangis Laras pecah tanpa suara. Air matanya jatuh satu per satu, mengalir tenang di pipinya, seperti sungai yang mengalir dalam diam. Ia tak berkata apa pun, hanya diam.
Tangan kirinya terangkat pelan, lalu memukul bahu Bagas—bukan dengan amarah, tapi dengan pilu yang tak terbendung. Sekali. Lalu lagi. Dan lagi. Pukulan kecil yang tak menyakitkan, tapi sarat luka. Seolah lewat gerakan itu, ia ingin menyampaikan betapa sesaknya dada yang selama ini bungkam. Satu-satunya cara untuk bicara tanpa kata. Dalam setiap hentakan tangannya, ada isak yang tertahan dan rindu yang tertumpuk.
“Ras…” ucap Bagas dengan lirih, nyaris seperti desahan pelan, begitu melihat kilau bening jatuh dari ujung mata Laras. “Jangan nangis…”
Tangannya mencoba menyentuh pipi Laras—namun gerak itu terhenti seketika saat mata Laras menatapnya. Penuh luka. Penuh kekecewaan yang tertumpuk.
Tatapan itu membuat napas Bagas tercekat, dadanya menyempit.
Laras masih duduk di sisi ranjang, tubuhnya sedikit menunduk. Ujung bahunya bergetar, dan Bagas bisa merasakan tangan Laras yang digenggamnya sejak tadi ikut bergetar hebat.
“Aku… aku nggak pernah nyangka kamu juga bakal sesakit ini…” gumam Laras akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Parau. Serak seperti menyimpan batu di tenggorokannya.
Ia menyeka air mata dengan kasar, tapi tak ada gunanya. Air itu tetap jatuh, menyusuri pipinya yang pucat.
“Aku kira… cuma aku yang sakit. Aku kira kamu bahagia. Aku kira kamu bebas bisa lakuin apa aja yang kamu mau…” Ia menunduk lebih dalam, menggigit bibirnya agar suara tangisnya tak meledak, “Tapi ternyata kamu malah nyari aku terus... kamu juga sakit...”
Matanya kembali menatap Bagas. Dalam. Basah. Penuh luka yang masih menganga. “Tapi aku bingung… Setelah aku tahu kenyataannya, kamu memandang aku rendah kayak gitu… aku bingung arti aku yang sebenarnya di hidup kamu tuh apa sih, Gas?”
Laras terisak—satu tarikan napas pecah, menggetarkan seluruh tubuhnya. Suaranya terlalu retak dan terasa pedih. “Hikss—Arti aku di hidup kamu tuh apa, Gas...? Aku… Aku ini siapa? Cuma... hiks... gadis kampungan yang kamu buat jadi pegangan kamu aja, terus kamu lepas waktu kamu malu?”
Tangisnya semakin keras, teredam dalam ruang kamar yang sunyi. Getaran tubuh Laras makin terasa di genggaman Bagas yang gemetar.
Bagas mencelos. Seluruh tubuhnya seperti diremukkan. Mulutnya terbuka, ingin bicara, tapi suaranya tercekat oleh tangis yang menggenang diam-diam di ujung matanya.
“Hiks... Kamu ngomong apa sih… Mana mungkin aku ninggalin kamu… Aku malu? Kapan aku malu sama kamu?”
Tapi Laras hanya menggeleng pelan. Gerakan kecil, namun berat, penuh dengan rasa kecewa yang terpendam bertahun-tahun. “Kamu ngomongin aku di belakang, Gas… Kamu bilang kamu suka segalanya tentang aku, cita-cita aku... kamu bilang kamu bangga sama aku, mau dukung aku… Tapi di balik semua itu, kamu malu sama aku. Kamu jadiin aku bahan obrolan yang bisa ditertawakan. Itu kamu, Bagas…”
Bagas tersentak. Ia berusaha mendekati Laras, seperti hendak meraih sesuatu yang tak terlihat. “Itu omongan dari mana sih, Ras? Kamu denger dari siapa? Aku nggak pernah—”
“Kamu.” suara Laras berubah, dingin dan rapuh. “Aku denger langsung dari mulut kamu.”
Bagas membeku.
"Malam itu aku tahu semuanya, Bagas. Pandangan kamu ke aku selama kita pacaran, semua keluh kesah kamu, semua.... hiks... semua yang bikin kamu terkekang selama kenal aku, aku denger semuanya."
Ia mengerutkan kening, bingung. “M-maksud kamu?”
“Kenapa kamu minum-minum sama temen kamu lagi waktu itu?” suaranya datar, tapi matanya memerah karena terlalu lama menahan.
Bagas terdiam. Matanya berpaling ke arah lain, napasnya tercekat. Ia seperti sedang mengais memori yang telah lama dikuburnya.
“Kamu janji sama aku, kamu nggak akan minum lagi, kan? Aku percaya sama kamu, Gas... aku percaya sama kamu. Tapi… apa? Kamu minum-minum, ngejelekin aku di depan temen-temen kamu...”
Bagas menggeleng, pelan, nyaris putus asa.
"Malam itu…” suara Laras pecah, retak. Air matanya mengalir deras. “Aku ada di sana, Gas… aku rencana mau kasih kamu kado kejutan itu. Kamu bilang datang aja karena kamu belum tidur, jadi aku ke sana.”
Ia tertawa getir, di sela-sela tangis yang masih tersedu.
“Mungkin nggak sepenting itu dan nggak semahal itu, tapi aku kerjain itu pakai tanganku sendiri selama dua bulan sampai jari aku sakit. Aku pikir bakal sempurna kalau kamu yang pakai, aku pikir kamu akan suka… tapi… aku salah.”
“Laras… laras maaf… jujur aku nggak tahu—”
“Kamu ciuman sama orang lain, Gas…”
Bagas menahan napasnya. Hancur.
“Aku lihat kamu pangku orang lain, terus kamu cium dia… aku lihat semuanya…”
“Siapa namanya… aku lupa, yang nggak suka sama aku. Dia, kamu ciuman sama dia.”
Bagas perlahan bergerak mundur di atas kasur, seperti ingin melarikan diri dari kenyataan. Air matanya mengalir begitu saja.
“Puas, ya? Sama aku nggak pernah ciuman, kan?Kamu bilang kamu nggak mau ciuman sama aku... itu karena sebetulnya kamu jijik sama aku kan? Jujur aja… nggak apa-apa, kok…” ucap Laras dengan hati yang pedih, sesegukan itu tak bisa dikendalikan.
“Aku nggak kuat lihatnya… jadi aku pergi dari sana…” Suara Laras lirih, tapi gemetar karena amarah yang tertahan. “Barangkali… mungkin kalian juga tidur bareng, kayak dulu… atau apa pun itu… aku nggak peduli…”
Mata Laras memerah setelah berusaha menahan air mata yang sudah tak bisa dibendung. “Dua bulan itu… kamu juga sibuk, kan? Kita juga jarang ketemu…” Ia menarik napas dalam, lalu menggeleng, bibirnya bergetar. “Mungkin kamu juga udah nggak kuat nahan… setelah kamu mungkin ngerasa tuntutan aku itu terlalu banyak… jadi ya, bisa aja kalian lakuin itu di dua bulan itu, kan?”
Kata-katanya mulai meluncur tanpa bisa dibendung, seperti air bah dari bendungan yang jebol.
“Pas kamu bilang kamu ngantuk… pamit mau tidur duluan…” Ia tertawa kecil—pahit. “Pas kamu bilang kamu tidur nyenyak tiap malam…”
“Hiks… pas aku diem-diem begadang, sibuk nyiapin hadiah buat kamu…” Laras menatap langsung ke mata Bagas, tatapan yang memeluk serpihan luka bertahun-tahun. “Mungkin… mungkin sebenarnya ada perempuan lain yang nemenin kamu di ranjang kamu itu, ya?”
Bagas menggeleng keras, nyaris panik. “Nggak, Ras… Demi Allah, aku nggak ngapa-ngapain sama Dinda… aku bahkan nggak inget aku cium—”
“Oh… kamu masih ingat namanya?” Senyuman Laras mengoyak—pahit dan basah. Ia mengangguk pelan, lalu satu anggukan keras menyusul, seiring air matanya yang mengalir tanpa ampun. “Benar, kan… sepenting itu ya, dia? Iya, dia. Dinda. Kamu ciuman sama dia di depan teman-teman kamu.”
“Ras… dengerin aku dulu. Aku beneran nggak tau apa yang terjadi, apa yang kamu lihat.”
Laras menahan napas. Senyum hambarnya hanya bertahan sekejap sebelum suara seraknya pecah pelan.
“Kamu mau jelasin apa sekarang? Jelasin kenapa dia bisa ada di pangkuan kamu?” Suaranya nyaris patah, bergetar menahan luka. “Atau tentang Dinda… yang tiba-tiba berhenti kuliah karena hamil?”
Hening.
“Itu... anak Dinda... hiks... itu anak kamu, kan?” lanjutnya, lirih tapi tajam. “Makanya kamu anterin dia pulang. Makanya dia tiba-tiba menghilang dari kampus, karena Papa kamu nggak mau nama kamu tercoreng, iya kan?”
Bagas tak menjawab. Matanya kosong, sementara napasnya hilang arah.
Laras menjauh, tangannya menutup mulutnya sendiri—seolah mencoba menahan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada kata-kata.
“Ya Allah, Ras… kamu salah paham. Dengerin aku dulu, ya?” suara Bagas bergetar, tangannya cepat meraih jemari Laras yang hendak menarik diri. Ia genggam erat, seolah takut Laras lenyap lagi darinya.
“Pas aku pulang, mereka udah di situ tiba-tiba, udah mulai pesta miras buat rayain ulang tahun aku. Aku juga kaget… udah pada mabuk semua. Aku nggak bisa usir… aku juga kecapekan. Ras, aku… jujur... aku emang ikut minum, tapi cuma sedikit karena aku pikir nggak akan kenapa-kenapa. Percaya sama aku, Ras…”
Laras memalingkan wajah, tapi tak bisa menahan air matanya.
“Dan Dinda… iya, dia juga ada di sana. Tapi aku nggak nyentuh dia, Ras. Sumpah. Kamu tahu hubungan aku sama dia udah selesai bahkan jauh sebelum aku pacaran sama kamu. Aku nggak tidur sama dia, Ras. Aku… aku tidur beneran. Aku capek banget malam itu, aku cuma pengen tidur…”
Bagas semakin mempererat genggamannya. Suaranya pecah.
Laras masih terdiam. Matanya memandang lantai, seperti tengah berbicara dengan dirinya sendiri, bukan Bagas. Lalu perlahan, ia mengangkat pandangannya—sendu, kosong.
“Terus aku harus percaya?” ucapnya nyaris berbisik. “Harus kuanggap semua ini cuma mimpi? Harus aku bilang ke diriku sendiri yang halusinasi, kamu mau bilang kalau aku yang salah?”
“Astaghfirullah, Ras…” suara Bagas mulai tercekat, air matanya mengalir. Ia coba memeluk Laras, tapi Laras menahan dadanya dengan tangan dan sedikit menjauh.
“Kenapa? Jadi maksud kamu, aku yang bohong, kan? Jadi waktu aku pergi ninggalin kamu, itu salahku, kan?”
“Nggak, Ras… bukan gitu. Iya, aku yang salah, tapi aku nggak lakuin apa-apa sama dia. Aku cuma—”
“Cuma tidur, kan…?” Laras memotong, kepalanya menunduk. Jemarinya menghapus air mata dari wajah Bagas—satu gerakan lembut, lirih.
Satu senyuman getir muncul, lalu hilang seketika. Tangan Laras perlahan lepas dari pipi Bagas. Ia bangkit, melepaskan genggaman tangan yang sejak tadi menahan.
Bagas hanya bisa terdiam. Jemarinya menggantung di udara. Tak ada lagi yang bisa ia genggam selain penyesalannya sendiri, Laras sudah terlanjur salah paham.
“Udah, ya? Aku udah ceritain semuanya, kalau kamu mau mengelak, terserah. Apa pun kejadian yang sebenarnya, fakta kamu nggak nyaman selama pacaran sama aku, sampai aku lihat kamu sentuh perempuan lain… itu udah cukup jadi alasan kenapa aku lepas kamu.”
Bagas menatapnya, nanar. Tubuhnya lemas di atas kasur, seperti tak lagi punya daya untuk memeluk atau memohon. Air mata jatuh satu-satu, tanpa suara. Tapi laras menyadarinya.
“Maaf…” bisiknya. “Maaf, Ras… maafin aku…”
Kata itu terus terucap berulang kali, nyaris seperti gumaman yang terus diulang untuk memohon ampunan. “Aku minta maaf… aku… aku beneran minta maaf…” Bagas menjatuhkan kepalanya kembali di bahu Laras.
“Bagas…” Suara Laras pelan, tapi mantap. Ia menatapnya dengan mata lelah, “Dari awal, aku udah maafin kamu, Gas…”
Bagas mengangkat kepalanya perlahan, menatap Laras… Laras tak menghindar. Ia menghadapi luka itu dengan berani.
“Makasih untuk semuanya…” ucap Laras dengan senyum kecil yang lebih perih dari luka. “Kamu selalu buat aku bahagia selama kenal kamu, kamu selalu baik sama aku. Tapi aku nggak mau jadi beban kamu. Sekarang aku jadi tahu diri, aku jadi tahu, aku nggak akan pernah bisa ngubah kamu… kalau itu bukan dari kamu sendiri.”
Bagas menggeleng cepat, keras. Hatinya menolak. Bukan itu maksudnya, bukan begitu yang ia ingin Laras percayai.
“Aku minta maaf, Ras… aku nggak pernah niat sekali pun nyakitin kamu, nggak pernah.” Suaranya serak, putus-putus, seakan kerongkongannya menolak membiarkan penyesalan itu keluar. “Semua pujian, semua kata cinta dari aku buat kamu, niat aku mau berubah jadi lebih baik… itu semua nyata, aku nggak bohong dan nggak mau bodoh-bodohin kamu. Tolong, percaya itu…”
Kedua tangannya semakin menggenggam erat tangan Laras, tubuhnya gemetar menahan gejolak rasa yang telah dikubur terlalu lama. Matanya merah, lembab, tak kuasa menyembunyikan luka yang tak pernah sembuh.
“Aku hidup dengan bayangan kamu bertahun-tahun, Ras. Alasan aku masih ngerokok, masih suka mabuk di Jakarta… alasan aku ngelakuin semua hal yang kamu benci… cuma supaya aku bisa terus ngerasa kamu ada. Supaya aku bisa terus hidup… meski sakit, meski harus ketergantungan obat.” Napasnya terputus-putus. “Aku nggak tahu kalau kamu baca pesan dari aku atau nggak, tapi aku jelasin soal Dinda ke kamu. Setiap malam aku kepikiran sama kamu, Ras... Aku kepikiran apa alasannya sampai kamu ninggalin aku, aku nggak tahu siapa yang mainin ponsel aku terus bales pesan kamu, karena seingetku ponselku habis baterai. Dan soal Dinda... aku sadar pasti banyak yang ngomongin soal aku dan dia. Tapi Ras, Demi Allah... cuma kamu yang selalu aku sayang."
“Ras… aku mohon... hiks... aku cuma mau hidup bareng kamu. Cuma kamu. Apa kamu pernah... hiks... sekali aja... ingat tentang aku? Kamu nggak kangen sama kamu? Kamu pernah sekali aja mikir gimana kondisi aku di Jakarta? Kamu bisa hidup tanpa aku, Ras?”
Laras menatapnya dalam diam yang menggigit, seperti seseorang yang berdiri di ambang jurang antara masa lalu dan harapan yang tak pernah tiba. Ia mendekat, tangannya terangkat pelan, mengusap air mata yang mengalir dari pipi Bagas.
Bagas memejamkan mata, sejenak menahan perih yang mendera jiwanya, tapi ketika usapan itu menyentuh kulitnya, ia tersentak dalam diam. Terlalu lembut. Terlalu familiar.
“Aku nggak pernah sedetik pun lupain kamu, Gas…” ucap Laras dengan suara rendah, “Di setiap langkahku di desa ini, ada kamu. Aku bawa kamu ke mana pun aku pergi. Aku ajak kamu lihat pas padi udah mulai menguning, sapi di kandang aku melenguh, pas matahari tenggelam di balik bukit. Semua yang indah di sini, pernah aku bagi sama bayangan kamu…”
Ia menarik napas dalam, namun nadanya kemudian berubah, sedikit lebih getir.
“Tapi aku udah nggak bisa percaya kamu lagi, Gas… Belajar untuk hidup tanpa aku, ya?”
Hening. Begitu sunyi. Bagas tak menjawab dengan satu kata pun. Ia tak sanggup.
Dan saat Laras menunduk… mencium bahunya perlahan.
Satu hal yang Bagas tahu, seluruh benteng dalam dirinya telah runtuh. Dunia yang ia bangun dari khayalan tentang Laras kini pecah berkeping-keping… dan dalam ciuman itu, cinta lama mereka menemukan bentuk akhirnya.
Matahari belum naik sepenuhnya ketika pasir Pantai Cemara Sewu mulai menghangat oleh cahaya jingga dari matahari yang masih bersembunyi. Laras duduk bersila, sibuk membentuk istana pasir kecil dengan ujung jarinya. Sesekali ia menoleh ke Bagas, yang bukannya membantu, malah berkali-kali menghancurkan menaranya sendiri dengan tawa puas.
Akhirnya Laras menyerah dan membiarkan Bagas dengan dunianya sendiri, sementara ia melanjutkan membangun satu-satunya istana yang masih berdiri kokoh.
Bagas, dengan digicamnya yang tergantung di leher, sibuk memotret Laras dari sudut-sudut yang ia pikir Laras tak sadari. Dalam hati, ia berkhayal… berandai-andai tentang masa depan.
“Ras,” katanya pelan, “kalau nanti kamu nikah… kamu mau nggak rumahnya kayak istana?”
Laras hanya menoleh sambil tertawa. “Istana pasir?”
“Serius, Ras… Kalau aku beliin kamu istana beneran gimana?”
“Tergantung…” Laras menyipitkan mata nakal. “Ada tempat buat kandang ayamnya, nggak?”
“Ada dong,” jawab Bagas cepat. “Tidurnya sekamar sama kamu. Soalnya ayamnya aku—petok petok!!”
Laras langsung tertawa. “Coba mana, tunjukin ke aku jenggernya, Gas! Rambut kamu dijambulin dulu biar kelihatan, hahaha!” Tangan Laras yang masih belepotan pasir bergerak ke arah kepala Bagas.
Namun Bagas buru-buru menangkis dengan gaya dramatis. “Ras, tahan! Jengger ayam tuh bisa bahaya, tahu!”
“Hah? Apaan?” Laras mengerutkan dahi. “Jengger ayam itu fungsinya buat ngatur suhu tubuh! Kalau terlalu panas, dia nyebarin panasnya lewat jengger. Ilmu dasar anatomi unggas, tuh.”
Bagas mengangguk pelan, matanya tak lepas dari wajah Laras. “Bener, itu kalau ayam beneran. Tapi di manusia… jengger ayam tuh istilah untuk kutil kelamin. Penyakit menular seksual, Ras. Biasanya tumbuh di sekitar vagina, anus, kadang juga penis. Tapi paling sering sih, di vagina.”
Laras tertegun sejenak, lalu mengangguk. “Oh… aku baru tahu istilahnya jengger ayam.”
“Iya, karena teksturnya mirip. Makanya, kalau nanti ada program vaksin HPV, kamu harus ikut ya. Di Indonesia masih jarang, tapi kalau udah tersedia, aku kabarin. Pencegahan itu penting banget.”
Tatapan Laras melembut. Ia tahu Bagas tak sedang menggoda, tapi mengingatkan dengan sungguh-sungguh. “Iya... aku mau. Kamu juga, kan?” ucapnya pelan, mencoba membalas perhatian dengan cara khasnya.
Bagas tersenyum kecut. “Iya… aku juga mau. Tapi aku udah lama banget nggak ngapa-ngapain, Ras. Terakhir pun... setahun yang lalu… selalu pakai kondom. Sekarang ya udah… berhenti.” Nada suaranya merendah, jujur dan sedikit getir.
Laras bisa merasakannya—penyesalan itu nyata.
“Syukur, deh…”
“Syukur apanya? Aku malah nyesel. Harusnya dulu nggak usah begitu.”
Laras menghela napas pendek. “Yang paling penting, sekarang kamu mau berubah, Gas.”
Senyap sebentar. Tapi tak lama, Bagas menyengir lagi, mencoba mencairkan suasana. “Tapi kalau nanti aku kawin silang sama kamu, semoga aman dari penyakit, ya?”
Laras memicingkan mata. “Kawin silang?”
“Iya, kamu dokter hewan, aku dokter manusia. Secara teknis kita beda spesies. Tapi cinta… itu penyakit yang langsung nyebar ke jantung.”
Wajah Laras memerah, campuran antara geli, gemas, dan sedikit malu. “Apa sihh… Nggak jelas banget kamu!” katanya sambil memukul pelan lengan Bagas.
Mereka tertawa bersama, tawa yang ringan, tapi dalam. Hingga tiba-tiba, pandangan Bagas teralihkan kepada sesuatu.
Pasangan orang asing—berambut blonde—di pinggir pantai sedang berciuman. Pelan, lembut, dan penuh kasih sayang.
“Ras… Bentar… itu tuh, liat deh. Bule ciuman…” bisiknya, seolah memberitahu rahasia penting.
Mendengar itu, Laras hanya mendelik iseng mengikuti arah pandang Bagas. “Biarin aja, kamu mau ikutan sama mereka?”
Bagas menggeleng cepat. “Nggak mau. Aku cuma mau sama kamu.”
Laras menggelengkan kepalanya. “Tapi kalau kamu pacaran sama aku… aku nggak mau ciuman loh, Gas.”
Bagas menoleh, “Ya… nggak apa-apa. Aku mah maunya lebih.” Senyum yang mengembang di wajah tampannya tampak seperti menyimpan sejuta makna.
Laras langsung menatapnya curiga, “Maksudnya lebih? Mau macem-macem ya kamu?! Mesum!!”
Bagas terpesona, mimik wajah galak Laras terlihat sangat lucu di matanya. “Bukan gitu. Maksud aku… aku nggak mau cuma pacaran.” Ia menatap ke laut, lalu ke mata Laras. “Aku maunya sampe nikah sama kamu. Kalo nikah… ciuman boleh, kan?”
Laras mencibir, mencubit pipi Bagas dengan tangan yang masih berpasir. “Ada-ada aja bayangan kamu, kita aja belum lulus.”
“Tapi aku serius, Ras. Aku bisa nunggu selamanya. Sampe aku jadi dokter spesialis jantung, kamu jadi dokter hewan… baru deh kita nikah, terus kita ciuman tiap hari!”
Laras mendengus geli, tapi tak lama kemudian, satu kata tak terduga mengalir lembut dari mulut Laras.
“Aamiin~”
“Hah?” Bagas mendekat. “Apa kamu bilang?”
“Bilang apa?”
“Aamiin?” Laras hanya menjawab santai seiring kepalanya mengangguk pelan. “Ya… nanti. Kalau kita jodoh.”
Bagas menyengir puas. Untuk Laras, ia memang rela menunggu, bahkan kalau harus selamanya. Rela menjadikan waktu sebagai sahabat, bukan lawan.
Beberapa saat kemudian, Laras menatap cakrawala yang mulai terang. “Tapi… kalau kita pacaran, dan aku yang minta ciuman… kamu mau?”
Bagas terkejut—tumben sekali Laras melontarkan pertanyaan seperti itu. Ia sempat berpikir, lalu pelan menggeleng. “Nggak mau.”
Laras menoleh heran. “Kenapa? Bukannya… pernah kamu terbiasa sama itu?”
“Aku akan turutin semua hal selain itu.” ujar Bagas serius. “Soalnya… aku mau jadi pria yang baik buat kamu. Aku mau jaga kamu, jaga kehormatan kamu. Aku mau belajar tahan ego dan nafsu—buat kamu. Kamu pantas dapet yang lebih baik, Ras. Dan aku mau belajar jadi lebih baik.”
Laras diam sejenak, senyum kecilnya muncul tanpa sadar. Bagas menatap senyum itu seakan dunia mengerucut hanya pada satu titik—Prameswari kesayangannya.
“Tapi kalau kamu maksa…” kata Bagas tiba-tiba, nada bercandanya kembali muncul.
“Ih… pede banget.” Laras nyikut dia pelan. “Emanganya kalau aku maksa, kenapa?”
“Aku bakal cium kamu… dengan cara yang lain.”
“Cara… yang lain?” terdengar nada gugup dari suara Laras, namun Bagas hanya tersenyum membalasnya.
Bagas mendekat, dan tanpa suara, ia menunduk lalu mencium bahu Laras perlahan. Lama. Lembut. Penuh makna.
“Bahu kamu… akan jadi tempat ciumanku, anggap aja sebagai bahasa cinta aku ke kamu.”
Laras membeku. Lalu tanpa sadar, ia tersenyum dan mengangguk kecil—menerima segala bentuk kasih sayang yang Bagas berikan.
Melihat Laras diam menahan senyum malu-malu, Bagas kembali menggodanya dengan berpura-pura panik. “LOH—BERARTI TADI KITA UDAH CIUMAN DONG, RAS?!”
Laras refleks tertawa, menutupi wajahnya yang memerah. Dan Bagas ikut tertawa bersamanya, tawa yang tulus dan ringan seperti angin pantai pagi itu.
Sejak pagi itu di tepi Cemara Sewu, Bagas memilih bahu Laras sebagai tempat yang paling suci untuk meletakkan cintanya. Tak pernah lebih, tak pernah kurang—cukup satu kecupan di sana, setiap kali hatinya terlalu berarti untuk diungkapkan hanya lewat kata-kata.
Dari hari-hari mereka sebagai teman yang saling menggoda, hingga akhirnya saling mengikat hati dalam kepastian, Bagas setia pada satu cara untuk menunjukkan cintanya melalui satu kecupan pelan di pucuk bahu Laras.
Itulah bahasa cintanya—lembut, sederhana, dan sungguh-sungguh.
Dan setiap kali itu terjadi, Laras hanya bisa tersenyum kecil. Bukan senyum biasa, tapi senyum yang muncul seolah ia mengerti bahwa dirinya adalah milik Bagas, seperti Bagas pun adalah miliknya.
Dan kini, setelah dua belas tahun lamanya... Laras yang melakukannya. Untuk pertama kalinya.
Bukan lagi Bagas.
Bukan lagi kecupan hangat dari bibirnya ke bahu Laras, tapi sebaliknya.
Untuk mengucap selamat jalan tanpa suara.
Laras menarik diri perlahan, hingga akhirnya tangannya yang digenggam begitu erat terlepas. Matanya basah, tapi senyumnya tetap lembut—senyum seorang perempuan yang telah menyimpan cinta terlalu lama dalam diam, lalu akhirnya memilih melepaskan dengan penuh hormat.
“Aku coba cek di dapur ada makanan atau nggak. Kalau nggak ada, aku ceplokin telur aja, kayak biasa. Kamu harus minum obat, ya.”
Lalu ia melangkah keluar, menutup pintu perlahan.
Tak ada bunyi keras. Tak ada isakan. Hanya sunyi yang menggema.
Bagas tak bergerak.
Kecupan itu masih membekas di bahunya—hangat, manis, menyakitkan.
Dan berbeda. Karena kali ini, Laras yang memberikannya.
Untuk pertama… dan terakhir kalinya.
Ia menatap pintu kamar yang terbuka sedikit. Dari celahnya, samar-samar aroma minyak panas dan telur mulai tercium. Telur ceplok dengan pinggiran garing, dan kuning telur yang tak pernah pecah—favoritnya.
Bagas memejam. Dadanya sesak.
Tangannya menangkup wajahnya, air matanya jatuh satu-satu, tak bisa ditahan.
Ia ingin mengejar. Tapi tubuhnya tak bergerak. Kakinya berat, hatinya patah.
Jiwanya tertinggal di langkah terakhir Laras meninggalkannya.
Di atas kasurnya, Laras mengucapkan perpisahan tanpa kata.
Dan kini, langkah Laras semakin jauh—bukan karena ia tak cinta, tapi karena ia ingin Bagas belajar hidup tanpanya.
Namun Bagas tahu…
Ia tak akan bisa.
Karena sejak lama, dirinya telah mengakar dalam jejak langkah Laras.
“Laras… aku tahu kamu baca pesan ini. Tolong… angkat teleponku sekali aja. Aku cuma mau ngomong, Ras… aku cuma butuh tahu kamu kenapa.”
***
“Laras… aku sayang kamu. Aku tahu aku nggak pantas bilang ini setelah semuanya, tapi aku nggak bisa bohong. Aku masih sayang kamu. Aku nggak bisa tanpa kamu, Ras.”
***
“Aku kangen kamu, Ras. Gila, aku kangen dengerin kamu cerita, dengerin kamu marah-marah, dengerin kamu bersenandung lagu yang kamu suka. Aku kangen banget sama kamu. Aku jemput kamu, ya?”
***
“Ras, aku tadi ke kos-an kamu. Temen kamu bilang kamu nggak ada, tapi aku tahu kamu di dalam. Aku nggak marah… aku cuma pengen tahu kamu baik-baik aja.”
***
“Laras, aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku udah coba pura-pura baik-baik saja, tapi tetap aja, aku nyari kamu ke tempat-tempat biasa kita dulu. Masih berharap kamu duduk di sana, nunggu aku datang, ngajak kamu makan, ngajak aku pulang bareng.”
***
“Ras… Aku nggak peduli harus nunggu berapa lama. Aku nggak peduli seberapa sakit aku harus nunggu, bahkan kalau harus nunggu selamanya.”
“Aku cuma peduli satu hal, aku masih ingin kamu ada di hidupku. Balikan sama aku, ya?”
***
“Laras, aku tadi ke tempat makan favorit kamu, terus aku pesen nasi bakarnya. Kata Mbak Yani, kamu masih sering ke sini, ya?”
“Aku pesen makanan yang biasa kamu suka… tapi aku makan sendirian, Ras. rasanya dingin, hampa. Mejanya masih sama, tapi tanpa kamu, semua kayak kosong.”
***
“Hari ini ulang tahun kamu, Ras. Aku pernah janji mau temani kamu di hari ulang tahun kamu sama diri aku sendiri, tapi ternyata aku udah ngerusak janji itu.”
“Aku tahu mungkin aku nggak boleh ngucapin, tapi ya Tuhan, Ras... aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku duduk di tempat biasa kita belajar di perpustakaan, berharap kamu datang. Bodoh, ya?
***
“Aku lihat status kamu… perutnya masih sakit, ya? Jangan lupa dikompres air hangat, minum obatnya. Semoga obat yang aku takarin masih ada. Kalau nggak, bilang aja… aku bisa stokin lagi. Aku gantung di pintu ya nanti? Nggak maksain, cuma aku nggak mau kamu kesakitan."
***
“Laras… aku beliin makanan buat kamu, aku gantung di cantelan pintu masuk kos kamu. Aku nggak tahu kamu udah makan atau belum.”
“Ambil ya, Ras… kamu nggak harus ngomong apa-apa atau temuin aku. Aku bakal ngejauh, aku cuma mau kamu sehat.”
***
“Laras, aku takut kamu denger yang nggak-nggak soal aku. Tapi tolong percaya… aku nggak pernah ikut-ikut kasus narkobanya Dipta, kamu tahu itu, kan? Aku selalu bersih dulu, Ras. Tapi aku bantu Dinda karena dia ternyata lagi hamil anaknya Dipta… atau Agung, Ras. Mereka main bertiga, jadi Dinda nggak tahu siapa bapak dari anaknya. Aku bingung aku harus apa, Ras…”
***
“Laras, aku izin mau anter Dinda pulang ke Bandung. Dia minta tolong sama aku dan nggak tahu harus tolak kayak gimana karena aku nggak tega ninggalin dia dalam keadaan hamil kayak gitu, ditambah Dipta sama Agung dipenjara.”
“Aku bilang ini karena hatiku masih milik kamu. Kalau kamu denger soal ini dari siapa pun… tolong, jangan lupa percaya sama aku ya, Ras?"
***
“Laras, aku udah sampai di Yogya lagi. Pas di Bandung, aku jadi ingat candaan kita soal Bandung, ternyata banyak tempat bagus di sini. Tapi aku langsung pulang ke Yogya, yang penting Dinda udah aku anter sampe rumahnya. Semoga suatu saat bisa ke sana sama kamu, ya…”
***
“Laras, ini hari pertama kita koas. Semangat ya, dulu kamu yang selalu nyemangatin aku. Udah enam bulan aku nggak pernah lihat kamu lagi, kamu sehat, kan?”
***
“Aku mimpiin kamu tadi malam. Mimpi kita masih bareng, masih ketawa, masih gandengan tangan, masih disuapin sama kamu, masih disayang sama kamu, masih bisa cium bahu kamu. Terus aku bangun… dan semuanya kosong. Kayak hidupku sekarang. Tanpa kamu.”
***
“Ras, aku nggak tahu ini takdir atau cuma kangen aja. Tapi sejauh aku pergi, bayang kamu selalu ikut. Lihat kamu senyum dari jauh aja udah cukup bikin hati aku tenang."
***
“Hari ini tanggal 3 April, Ras. Dulu aku selalu ga sabar mau rayain satu tahun hubungan kita, aku udah bikin banyak rencana untuk rayain sama kamu.”
“Tapi… ternyata hubungan kita cuma bertahan sekitar tujuh bulan. Laras, di mana pun kamu berada, aku harap kamu lagi bahagia, ya. Aku sayang sama kamu.”
***
“Laras, kamu apa kabar? Udah lama kita nggak ketemu. Tapi aku masih mikir… dimana salahku. Tapi aku tahu, Ras… kalau kamu ninggalin aku, pasti karena aku yang salah. Senyum terus ya, manis.”
“Setiap bangun tidur, setiap makan sendiri di luar, setiap nunggu lampu merah, setiap jajan es dawet kesukaan kamu, setiap lewatin perpustakaan... aku kayak denger suara kamu. Rasanya aku mau diem aja di kos-an karena semua tempat di kota ini bikin aku inget sama kamu, kamu kayak gitu juga, nggak? Atau... cuma aku aja?”
***
“Ras, aku tahu aku jahat sama kamu. Aku tahu aku nyakitin kamu. Aku nggak akan bela diri, nggak akan paksa kamu dengar aku lagi.”
“Tapi satu hal yang masih bisa aku bilang, hatiku, Ras… masih buat kamu. Masih seperti janjiku dulu.”
***
“Ras… aku mimpi kamu nangis. Kamu baik-baik aja, kan? Aku selalu mimpiin kamu terus, saking kangennya mungkin ya?”
“Kalau suatu hari kamu ingat aku, aku cuma berharap itu bukan kenangan yang nyakitin kamu, ya?”
“Lupain yang sedih-sedih, yang bikin kamu nangis sendirian, yang bikin mata kamu bengkak dan hidung kamu merah. Maaf kalau aku jahat sama kamu…”
***
“Ras, tadi aku sempet lihat kamu. Cuma sebentar, cuma punggungmu. Kamu pakai hoodie kuning, kan? Aku tahu itu kamu dari suara ketawa kamu.”
“Aku sempat mau samperin, tapi kamu lagi ketawa sama temen-temen kamu… dan aku takut ketawa itu hilang kalau aku datang. Maaf kalau aku pengecut, ya.”
***
“Aku masih mimpiin kamu, Ras. Kalau suatu saat nanti kita ketemu lagi, boleh aku tanya apa kamu mimpiin aku juga? Kayaknya nggak mungkin, ya?”
“Tapi… kamu senyum di mimpi itu, narik tangan aku dari depan kayak biasa kamu ajak aku pulang. Aku kangen kamu, Ras.”
***
“Laras, aku lihat di Facebook, ada banyak komentar yang jodoh-jodohin kamu sama Ilham. Aku nggak pernah kenal dia, dia orang baik kan, Ras? Cari lelaki yang baik dan bisa jaga kamu, ya.”
***
“Halo, Ras. Apa kabar? Aku akhirnya lulus, Ras. Setiap kali aku capek atau mulai mikir mau berhenti, aku selalu inget kamu. Kamu pernah bilang, kamu pengen aku lulus, jadi dokter yang peduli sama pasiennya. Aku janji, aku bakal jadi dokter yang hebat, Ras.”
“Laras… Aku lihat kamu foto-foto sama teman-teman kamu, lagi-lagi aku nggak berani deketin kamu, takut ganggu aja. Buket bunga yang dikasih sama mas-mas itu, sebenernya dari aku. Selamat ya, Ras, kamu hebat.”
“Laras, tadi aku denger nama kamu disebut di antara lulusan cumlaude, aku bangga banget sama kamu. Lihat kamu di depan sana, senyum manis di wajah kamu, rambut disanggul, pakai kebaya cantik, kelihatan bangga banget. Mungkin kamu nggak liat aku, soalnya rame banget, tapi aku nggak pernah lewatin sedetik pun untuk liat kamu di sana. Kamu cantik banget, Ras.”
***
“Laras, kamu di mana? Udah pulang ke Wonosobo? Aku lagi siap-siap balik ke Jakarta. Rasanya… aku nggak mau pulang, Ras.”
“Aku mau lanjutin spesialisasi di sini, tapi Papaku minta aku pulang. Aku pulang ya, Ras… Meskipun rumahku itu kamu, tapi aku coba ya, Ras.”
“Terima kasih… untuk semua yang pernah kita jalani, untuk semua yang pernah kamu tinggalkan di belakangmu… jejak yang aku ikuti, langkah-langkah kecil kamu yang bawa aku ke tempat yang lebih baik. Aku nggak akan pernah bisa jadi Bagas yang sekarang kalau bukan karena kamu, Laras.”
“Aku sayang sama kamu, baik-baik di Wonosobo, ya. Terima kasih banyak untuk cintamu, Prameswariku. Sampai jumpa lagi, cantik.”
***
“Ras… Kamu hapus akun Facebook-mu, ya? Aku cuma liat kamu di sana, sekarang harus lihat kamu di mana, Ras?”
“Ternyata karena aku, ya… Maaf aku nggak kuat buat nggak like postingan kamu, kamu cantik banget di foto kelulusanmu, senang juga bisa liat ayah dan ibu kamu, pasti mereka bangga sama kamu. Maafin atas segala kesalahanku, ya.”
“Maaf kalau aku udah ganggu kamu terus. Aku janji… ini terakhir kali aku kirim pesan. Aku nggak akan nyari kamu lagi, nggak akan ganggu kamu, kalau itu yang kamu mau.”
“Tapi hatiku tetap milik kamu, Ras. Sampai kapan pun, hati aku akan selalu jadi milik kamu, karena aku beneran rela nunggu selamanya untuk pulang ke kamu.”
“Aku akan terus mengingat kamu ya, Ras. Semua tentang kamu, namamu, indahmu... aku bawa dan simpan semuanya di hati aku, temenin aku terus di Jakarta ya, Ras.”
“Kalau suatu hari nanti kita ketemu lagi… tolong, Ras…. jangan pergi lagi. Biarin aku lihat kamu sekali aja. Biarin aku perjuangin kamu… sekali lagi, kayak dulu.”
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Chapter 7: Amongst Our Footsteps
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
03 April 2012—Kota Yogyakarta.
Meskipun sudah lama Bagas tak lagi terlibat dalam pesta minuman keras, dentum iramanya masih lekat dalam ingatannya, ditemani botol-botol minuman yang tak pernah habis dan tubuh-tubuh yang larut dalam euforia malam seolah tak kenal batas. Namun malam ini, bukan di kos miliknya atau teman yang lainnya, bukan pula di studio sewaan, melainkan berlangsung di rumah mewah milik salah satu mahasiswa universitas—anak pejabat yang memang dikenal karena kerap menggelar perjamuan liar semacam ini. Entah bagaimana, Dipta mengenalnya cukup dekat, dan menyeret teman-temannya untuk turut hadir.
“Laras… Laras… Laras…”
Nama itu terus ia gumamkan, pelan namun tak henti. Sesekali ia menundukkan kepala, mencoba mengendalikan diri—berusaha keras untuk tidak melewati batasnya. Apalagi, setelah melihat banyak perempuan dengan pakaian minim berlalu lalang di sekitarnya—beberapa ia kenal, sisanya asing, namun semuanya dan parfum vanilla yang menyengat membuat pikirannya kacau.
Tangan kanannya tetap tertahan di saku celana, menggenggam ponselnya. Ia masih menunggu getaran itu—tanda pesan masuk dari Laras. Namun hingga kini, belum juga datang.
Bagas tahu benar—Laras belum menjadi kekasihnya. Tak ada status yang melabeli hubungan mereka, selain satu kata yang terlalu sederhana: ‘teman’. Namun tetap saja, datang ke pesta seperti ini tanpa memberi tahu Laras terasa seperti bentuk pengkhianatan yang sunyi. Bukan karena janji yang dilanggar, melainkan karena rasa yang tumbuh begitu dalam, begitu jatuh, pada seorang gadis yang hatinya ingin ia jaga.
“Laras udah tidur kali, ya…” gumamnya pelan, matanya menatap dinding kosong, sementara dirinya terganggu oleh pikirannya tentang gadis itu. Bagas meneguk minumannya, mencoba mengalihkan perhatian dari Laras.
Tiba-tiba, seorang pria mendekat, dengan langkah pelan dan sedikit hati-hati, seolah tahu siapa yang harus didekati. Ekspresinya santai, namun ada kilatan sesuatu yang kurang baik di balik matanya.
“Nama lu Bagas, kan? Ada barang baru di kamar Bima, cuma buat... nyantai bareng, mau nggak?” katanya sambil melirik ke arah tangga yang menuju ke lantai atas, suara rendah agar tak terdengar oleh orang lain.
“Apaan emangnya?” Bagas melirik sekilas ke arah pria itu, masih memegang botolnya.
“Ganja. Udah ikut aja… seger pokoknya.” jawab pria itu dengan nada yang lebih rendah, mencoba menggoda tanpa terburu-buru.
Bagas menatap pria itu sebentar, ekspresinya tetap datar, seolah sudah tahu betul permainan semacam ini. “Nggak usah, lagi nggak kepengen.” jawabnya singkat.
Tawaran seperti itu memang sudah sering terdengar dalam pesta-pesta semacam ini, tetapi biasanya hanya kepada orang-orang yang dianggap cukup mampu untuk membayarnya, seperti Bagas—yang datang dengan status dan uang yang cukup. Pria itu, yang sepertinya hanya bagian dari jaringan bawah tanah pesta ini, tidak bisa memaksanya. Setelah melihat sikap Bagas yang tidak tertarik, ia pun mundur perlahan dan kembali berkeliling.
Bagas masih berdiri di dekat kamar mandi belakang, mencoba menjauh dari kebisingan. Baru satu botol yang masuk ke dalam tubuhnya, dan meskipun dulu dia sudah terbiasa dengan alkohol, kini setelah setahun berhenti minum demi Laras, efeknya langsung terasa begitu masuk ke darahnya. Kepalanya mulai berat, penglihatannya sedikit kabur, dan setiap langkah terasa lebih lambat dari biasanya.
“Bagas~” suara itu datang lembut, memecah keheningan yang sempat dia rasakan.
Dinda, dalam keadaan sedikit oleng karena alkohol, berjalan mendekat. Bagas tidak terlalu peduli, tubuhnya terasa berat dan tubuh Dinda yang tiba-tiba memeluknya dari samping malah membuatnya merasa semakin tumpul. Tak ada respon dari Bagas, hanya diam, lebih memilih memejamkan matanya. Kepalanya sedikit terhuyung, dan meskipun Dinda menempel erat padanya, Bagas tak punya cukup energi untuk menanggapi—baik itu menenangkan atau menolaknya.
“Gue nyariin lu dari tadi… Sialan, gue dikerjain sama si Dipta, katanya lu pulang.” gumamnya, kepala Dinda bersandar di lengan Bagas.
Bagas mengangkat lengannya sedikit, gerakan itu lebih lambat dari biasanya. “Bosen gue… Lu ngapain ke sini, sih?” suaranya terdengar agak serak, hampir seperti keluhan.
Dinda tertawa kecil, menggeliat manja seperti kucing mencari perhatian. Tangan kanannya mulai mengusap ikat pinggang Bagas, sementara yang kiri mengusup masuk ke balik kemeja longgar yang ia pakai dan mengusap pelan punggungnya.
“Bosen? Ngewe aja, yuk? Mumpung sepi…” bisiknya, menggoda.
“Sama orang lain aja.”
Dinda, yang semakin kehilangan kendali, merapatkan tubuhnya penuh hasrat. Pelukannya kini tak lagi sekadar mendekat—ia menempel sepenuhnya, melekat pada tubuh Bagas yang hangat karena mabuk. Jemari perempuan itu naik, menyusuri perut Bagas pelan, menyusup di balik kausnya.
“Gue tau lu butuh disentuh, Gas…” bisik Dinda sambil menggigit bibir bawahnya, gerakannya menggoda, sementara tangan kanannya menyapu dada Bagas. “Jangan sok kuat, deh. Lu lupa gue sering sepongin lu di mobil, lu sampe gemeteran, bilang gue jago banget? Lu juga demen kan col—”
“Jaga mulut lu, Din.” desisnya rendah, nadanya dingin tapi goyah. Suaranya tak lagi tajam seperti biasa—ada sedikit gemetar, efek dari alkohol yang sudah terlalu jauh merasuk. Ia memalingkan wajah, berusaha menjauh, tapi tubuhnya seolah menolak bergerak cepat.
Dinda malah mendekat lebih rapat dan menarik Bagas untuk menunduk mendekatinya, napasnya panas menyentuh pipinya yang mulai memerah karena alkohol. Bagas segera menegakkan tubuhnya, sorot matanya berubah dingin. Dalam satu gerakan cepat dan tegas, ia mendorong Dinda menjauh dengan satu tangan, tidak terlalu kasar, tapi cukup untuk membuat jarak. Wajahnya mengeras, rahangnya menggurat tajam oleh amarah yang ditahan.
“Ihh… sakit!” Dinda memekik manja. “Gue tuh tau, Gas… diem-diem lu juga lagi ngaceng, kan? Siniii~ gue bantu lemesin.” Ia kembali mencoba meraih Bagas, kali ini dari depan.
“Nggak waras…” gumam Bagas, rendah dan tertahan. Tatapannya menusuk tajam, seakan hendak membakar siapa pun yang mencoba menyulutnya lebih jauh.
Dengan langkah cepat, ia mendorong Dinda hingga terpojok ke dinding. Nafasnya berat, dan tubuhnya goyah sedikit—alkohol mulai menunjukkan kuasanya, tapi sorot matanya tetap tajam.
“Kalau lu sange, jangan rendahin diri lu sampai segitunya ke cowok orang. Lu punya otak, lu juga cantik, lu punya segalanya buat dihargain, tapi yang lu sodorin malah yang paling murahan dari diri lu.”
Dinda mencibir, wajahnya dipenuhi seringai sinis saat menatap Bagas. “Cowok orang? Hahaha… Terus lu ngapain ke sini? Yakin nggak kangen gue? Bukannya Laras ngelarang lu datang ke acara kayak gini? Tapi tetap aja lu dateng… munafik banget, sih? Harusnya lu bawa Laras, siapa tahu dia mau ikut main sama kita. Gue ajarin dia gimana caranya puasin lu.”
Bagas menghela napas berat, merasa kesal dan marah. Langkahnya sedikit goyah, jelas terlihat bahwa ia berusaha menahan amarah.
“Bacot. Lu nggak usah ge-er, Dipta yang maksa gue ikut. Ini nggak ada urusan sama lu.”
“Terus aja… terusin gaya suci-sucian lu itu, Gas. Baru juga deket sama Laras, udah sok bener ngerasa dia segalanya, padahal siapa tahu dia lebih rusak dari gue.” Dinda bicara tajam, penuh dendam dan luka yang dibungkus dalam tawa. “Emang lu yakin… memek dia senikmat gue?”
“Din!” Bagas memperingatkan, suaranya bergetar. Tapi tak sepenuhnya karena marah—sebagian karena alkohol, dan sebagian… karena sentuhan Dinda yang kini mulai mengusik.
Dinda semakin berani, jemarinya bergerak tanpa ragu, menyusuri bagian depan celananya. “Kenapa? Masih inget kan rasanya gimana, atau perlu gue ingetin lagi? Badan lu mungkin udah lupa, tapi lihat nih…” Ia menekan pelan, dan saat itu juga, terdengar satu desahan lirih lolos dari mulut Bagas. Suatu suara lemah yang nyaris tak sengaja.
Namun, seperti disengat, Bagas segera memukul tangan Dinda dan mundur setengah langkah. Wajahnya merah, matanya membara. “Gue bilang berhenti, Din.”
“Apa? Lu masih suka, kan? Lihat tuh… kontol lu sendiri aja masih jujur, Gas. Jangan bohong, deh.” Dinda menyeringai penuh dosa.
Dan cukup sudah.
Dengan satu gerakan kasar, Bagas menghantam tubuh Dinda kembali ke dinding. Tidak sebrutal sebelumnya, tapi cukup membuat punggungnya terhempas dan diam di tempat. Kepalan tangannya mengencang di sisi tubuh, rahangnya mengeras.
“ARGH! GILA LU, GAS?! SAKITT TAHUU, AAKHH—”
“Lu yang gila!” bentaknya. Napasnya memburu. “Lu pikir lu masih punya kuasa atas gue?! Lu sentuh gue, lu hina cewek yang gue hormatin… yang bahkan namanya aja nggak layak keluar dari mulut kotor lu.”
Dinda mendengus pelan, masih mencoba menatap tajam. Tapi sorot matanya mulai retak—seperti kaca yang menahan beban terlalu lama.
“Brengsek lu…”
Bagas mengangkat dagunya sedikit, menyeringai dingin. “Iya, gue emang brengsek. Dulu gue bego, bahkan pernah bersyukur kenal sama lu, Din… Dipta sama lu yang ngenalin gue ke dunia yang kalian bilang seru, tapi gue nyesel. Sepenuhnya.”
Ia mendekat selangkah, suaranya menajam, sengaja disusun rapi agar tak satu pun kata meleset dari sasarannya.
“Gue tahu lu maksa banget pengen dianggap spesial cuma karena pernah ngentot sama gue, Din. Tapi meskipun begitu, dulu… gue masih hargain lu. Gue anterin lu pulang tiap kali kita kelar main. Gue temenin lu waktu sakit. Gue tahu lu suka tantrum tiap gue deket sama orang di kampus, di sekret, bahkan yang cuma nyapa doang, tapi gue tahan emosi gue. Gue bela lu. Gue suruh mereka maklumin—sumpah, segitu pedulinya gue dulu sama lu, Din.”
Suara Bagas mulai meninggi, nadanya mengeras, tak memberi ruang untuk belas kasihan.
“Termasuk Laras. Dia bahkan ngertiin lu. Dia nggak pernah nyuruh gue jauhin kalian, dia cuma nyuruh gue berhenti ngerusak diri gue sendiri—meskipun akarnya banyak dari kalian. Tapi apa balasannya?” Ia menyeringai sinis. “Gue nggak bakal lupa omongan lu dan temen-temen lu itu soal dia waktu di kos gue. Rendahan banget. Jorok.”
Napasnya memburu, tapi ucapannya tetap jelas dan terarah.
“Ngaca, Din. Lu pikir lu menang? Yang lu sodorin ke dunia cuma tubuh. Itu doang modal lu. Bahkan harga diri pun lu lempar ke siapa aja, asal ada yang nengok, cuma biar lo kerasa diperhatiin. Gue nggak salah, kan?”
Dinda diam. Bibirnya digigit, tangan mengepal. Tapi tak ada sanggahan yang keluar.
Bagas menatapnya tajam, lalu berkata pelan, tajam, dan dingin.
“Dan lu masih berani nyalahin Laras? Cewek yang jaga dirinya mati-matian, yang bahkan gue butuh waktu setahun buat deketin hatinya. Kalau lu ngerasa kalah… benahin diri lu, jangan malah makin rusak.”
Air mata Dinda menyeruak keluar dari pelupuk matanya, terdiam.
“Nggak usah nangis, gue nggak bakal peduli lagi.”
Bagas mundur satu langkah, menjauhkan dirinya dari Dinda.
Tangis Dinda bukan berasal dari cinta. Ia berasal dari kehancuran. Bukan karena ia ditolak, tapi karena kenyataan bahwa Bagas tak lagi bisa ia genggam—tidak lagi dengan tubuh, tidak lagi dengan air mata, tidak lagi dengan kenangan persetubuhan yang pernah mereka bagi dalam ruang sempit yang berbau alkohol dan keputusasaan.
Ia menyebutnya cinta, meskipun sejak awal ia tahu itu cuma pengakuan. Ia butuh merasa diinginkan. Ia haus dipandang. Dan Bagas… Bagas membuatnya merasa hidup. Ketika tubuhnya ditelanjangi dengan perlahan, tanpa makian, tanpa paksaan, tanpa jijik—ia merasa berharga. Padahal yang mereka punya bukan kasih. Hanya hasrat yang dikira bisa dijadikan sandaran.
Saat Bagas berkata bahwa ia harus ‘benahin diri’, Dinda ingin tertawa, namun tak mampu. Harus dibenah dari mana? Ia bahkan tak tahu caranya jadi perempuan yang layak dicintai selain dengan telanjang. Ia tak kenal bahasa cinta lain selain desahan dan kasur yang dingin.
Bagas adalah satu-satunya lelaki yang tidak memperkosanya dengan tatapan. Ia satu-satunya yang mencium tanpa menyuruhnya diam, yang membelai tanpa menyuruhnya pergi. Maka tentu, kehilangan Bagas bukan kehilangan kekasih—ini kehilangan satu-satunya tempat yang pernah membuatnya merasa… bukan kotor.
“Nggak bakalan bisa gue lepas lu, Gas… Gue bisa gila nanti.”
Obsesi? Ya. Karena ia tidak pernah belajar bagaimana cara mencintai tanpa merusak. Karena selama ini, cinta adalah tentang bertahan cukup lama sampai seseorang butuh pelampiasan. Dan setelahnya, seperti semua orang yang datang dan pergi—ia dibuang.
“Laras gayanya kayak perek pasar, dah. Sok polos, aslinya ganas,” ucap Agung lantang, menenggak minuman seolah kata-katanya pantas dirayakan.
Tawa pecah, kasar dan tak tahu malu.
“Hahahaha, tolol lu, Gung. Awas ntar kedengeran Ba—”
DUG!
Suara keras menghantam kepala Agung—bongkah es batu besar meluncur dari arah pintu dan mendarat tepat di pelipisnya. Gelas di tangannya jatuh, matanya membelalak, tubuhnya terhuyung sambil memegangi sisi kepala.
“Aduh anjing—!”
Beberapa orang langsung berdiri, kaget, sementara Agung meringis, darah tipis mulai mengalir dari luka kecil yang menganga, dibungkus rasa sakit dan rasa malu yang datang bersamaan.
Bagas berdiri di sana, di ambang pintu, tubuh tegap dan sorot mata tajam seperti peluru.
“Ngomong apa lu barusan?” suaranya tenang, namun tiap kata mengandung ledakan yang tertahan.
Ruangan mendadak sunyi.
“Gue ajak dia ke sini bukan buat lu rendahin,” lanjutnya, langkahnya mantap memasuki ruangan. “Gue mau kalian kenal orang sebaik dia, tapi lu malah ngeludah di atas harga dirinya.”
Ia berhenti tepat di depan Agung yang masih mengerang, matanya kini penuh rasa takut. Bagas menunduk sedikit, lalu menatap tajam seolah menguliti batin lelaki itu.
“Tolol.”
Bagas mengalihkan pandangannya—dingin, penuh penilaian—ke arah Dinda dan Revaline.
“Ada perempuan lagi dilecehin depan mata kalian, kalian malah ketawa?” suaranya rendah, tapi menggema bagai tamparan.
Dinda mengangkat alis, lalu menyeringai. “Lagian emang bener, kan? Lonte. Emang lu pikir dia lebih enak dari gue, Gas?”
Bagas menatapnya lama. Dingin. Tanpa belas kasihan.
“Dia bukan makanan, Din. Bukan benda yang bisa gue pakai seenaknya, bukan yang bisa dibeli. Dia nggak ngasih tubuhnya buat dapetin perhatian... kayak lu.”
Sepersekian detik, udara di ruangan mendadak tumpul. Dinda tercekat, ekspresi pongahnya terkoyak, tertelan oleh rasa terhina yang menyesakkan dada.
Dipta angkat suara, berusaha mendominasi. “Gas, lagian lu ngapain sih deketin cewek kayak gitu? Lu nggak sadar cewek kampung kayak dia tuh bisa bikin kita semua ngejauh?”
“Gue nggak suka cewek yang ngerendahin cewek lain.” Bagas membalikkan badan, pandangannya menusuk. “Dan kalau kelakuan kalian kayak gini, gue malah seneng kalau bisa ngejauh.”
Ia mendekat, suaranya lebih pelan tapi penuh amarah. “Laras nggak pernah ngerendahin orang lain, Dip. Bahkan seburuk-buruknya diri kalian, dia selalu mau lihat sisi baik kalian. Sekarang gue harap kalian semua minta maaf sama dia.”
Revaline menyilangkan tangan, sinis. “Ogah. Lu aja lebih belain dia daripada kita, padahal kita yang udah kenal lu dari maba, kita yang selalu ada buat lu dari awal. Ngapain kita yang minta maaf?”
“Oke. Kalau gitu nikmatin aja minum-minumnya, gue yang pergi. Jangan lupa buang sampah, gue bukan babu kalian.” Bagas menatap sekitar. “Mana Laras?”
Dinda tertawa sinis, bibirnya melengkung seperti racun. “Di kamar mandi. Paling juga lagi ngecek memeknya basah atau nggak karena ngebayangin kontolnya Agung.”
Tawa kembali pecah di belakangnya, namun kini penuh kecanggungan. Agung mendesis, kesal. “Weh, anjing. Liat sikon dong, kepala gue pusing begini, lu masih aja fitnah gue... anjing.”
Bagas tak menjawab. Tak melirik. Ia melangkah cepat ke arah kamar mandi, tinjunya mengetuk keras pintu kayu yang tertutup rapat.
“Ras... keluar, Ras. Aku udah di sini.”
Hening. Hanya suara napas dan detak jantung yang terasa.
Lalu bunyi klik terdengar, dan pintu terbuka perlahan. Laras berdiri di ambang pintu, memaksakan senyum tipis. Tapi Bagas tahu. Mata itu... sudah lebih dari cukup menjelaskan semuanya.
Lagi-lagi, ia terlambat menghentikan air mata yang jatuh dalam diam.
“Yuk,” bisik Bagas, lembut namun penuh keputusan. “Kita makan di luar aja, ya?”
Tak menunggu jawaban dari perempuan itu, ia meraih tangan Laras yang masih gemetar, lalu menggenggamnya erat. Satu tangan lain mengambil tas Laras dan kunci mobil dari meja.
Pintu tertutup di belakang Bagas dan Laras. Suasana yang semula riuh itu mendadak diselubungi kesal dan amarah yang tak tahu arah.
Akmal menatap Dinda dengan gusar, rahangnya mengeras. “Apa gue bilang, Din? Nggak pas, bego. Kalo mau gangguin tuh cewek, jangan sekarang!”
Dinda mengangkat bahu dengan malas. “Sorry... gue gregetan, habisnya. Enek banget gue lihat mukanya tuh cewek.”
Revaline mendorong gelasnya yang sudah kosong ke meja dengan kasar. “Kalau aja gue nggak mager, udah gue jambak rambutnya tuh, gue tampar bolak-balik.”
“Jangan brengsek, lu nggak liat apa? Bagas kecintaan banget sama itu cewek. Selama kita masih butuh duitnya Bagas, jangan macem-macem dah.” Akmal menyelutuk sambil nyender di kursi, nada suaranya ringan tapi mengandung perhitungan.
“Akmal, gue tampar ya mulut lu!” Dinda berdiri, matanya merah, suaranya bergetar. “Bagas milik gue! Dia sukanya sama gue!”
Agung menyeringai, meskipun ia masih meringis—kepalanya berdenyut hebat. “Ya elah, Din... cuma karena lu pernah ngentot sama dia, langsung lu anggep Bagas pacar lu? Emang dia hamilin lu? Nggak, kan?”
Dinda tak menjawab. Tapi matanya tak bisa berbohong—ada amarah yang menggumpal dan luka yang menari di balik diam.
“Tau, dah...” Dipta menimpali enteng. “Kayak memek lu belum pernah gue pake aja.”
Tawa pendek terdengar, getir dan penuh penghinaan. Tak ada lagi batas kesopanan di meja itu.
“Anjing lu, Dip…” ujar Akmal sambil meneguk minumannya. “Dinda pernah lu pake?”
“Pernah lah.” sahut Dipta enteng, seolah itu hal sepele. “Awal-awal kenal malah, main rame-rame juga dijabanin semua sama dia pas libur semester kemarin. Kita disepong satu-satu, terus dia sendiri yang makein kondom. Sekarang giliran Bagas balik alim lagi, dia juga pengen sok suci.”
Tawa kecut mengambang di udara. Tak ada rasa hormat yang tersisa.
“Anjir... enak nggak memeknya?” Akmal memancing lagi, separuh serius, separuh menghina.
Dinda mengepal tangannya di bawah meja. Matanya menyala, bibirnya mengatup rapat. “Bacot lu! Emang lu pikir gue barang?!”
“Lah, bukannya lu yang minta pas itu?” sahut Dipta. “Lu yang buka baju duluan, Din. Dipake rame-rame sampe pagi, kita mah nurutin aja, iya nggak, Gung?”
Agung menimpali, suaranya datar. “Gue masih inget lu nangis pas lu nggak kelar-kelar dikerjain sama kita, tapi lu juga yang nggak bolehin kita berhenti. Lu pikir kita bego apa?”
“Dulu! Dulu, ya njing!” seru Dinda, matanya merah. “Gue berubah. Gue cuma mau Bagas sekarang.”
“Karena dia udah nggak pernah sentuh lu, makanya lu jadi gila begini?” Dipta menyipitkan mata, mengejek. “Udah ditolak mentah-mentah aja masih tinggi harapan lu.”
“Dia nggak pernah nolak gue...” suara Dinda pecah, matanya merah, tawa getir menggantung di ujung lidah. “Tiap kali gue ngelus dia, cium dia, minta dia masukin, dia mau. Bagas nggak pernah sekalipun dorong gue kayak kalian suka dorong cewek biar nungging. Dia nggak pernah manggil gue ‘perek’, nggak pernah maksa, nggak pernah jijik walau tahu gue bekas banyak orang.”
Ia menatap mereka, napas memburu. “Bagas cium gue kayak gue ini beneran orang. Dia peluk gue habis main, nutupin badan gue pake selimut atau baju dia, selalu mastiin gue enak atau sakit... Lu pikir gue bego? Lu pikir gue gila karena cuma seks? Bukan. Gue gila karena dia satu-satunya yang bikin gue ngerasa utuh.”
Sejenak hening. Dinda menyeringai kecut. “Sampai akhirnya dia kepincut sama perempuan itu. Sama perempuan yang bukan gue. Dan bangsatnya, dari situ, dia berhenti nyentuh gue. Seakan-akan gue najis. Seakan-akan dia cuma kesambet nafsu dulu, dan sekarang sadar dia pantas dapet yang lebih suci.”
“Nah… itu lu udah tahu jawabannya, kalo gitu kenapa masih heran dia berhenti?” Agung menantang dengan senyum sinis. “Justru karena dia udah punya cewek lain, sekarang lu cuma jadi sisa-sisa. Sama aja kayak kita-kita yang pernah ngentotin lu, sama-sama buat seneng-seneng aja. Lagian siapa yang mau punya pacar kelakuannya kayak perek?”
“Anjir, bener juga lu, Gung…” Akmal terkekeh kasar, mengedipkan mata penuh ejekan kepada Dinda. “Ya elah gue kira apa alasannya… Lu ngarep dia bakal milih lu? Lu masih buta aja, ya?”
“Gue nggak buta,” jawab Dinda pelan, suaranya menggema penuh amarah. “Lu nggak ngerti, kan? Lu nggak ngerti gimana rasanya diperhatiin, dihargain. Semua yang pernah terjadi sama gue, termasuk sama Bagas, ya... gue anggap itu bagian dari masa lalu. Tapi gue ngeliat perbedaan itu, Bagas beda, nggak sampah kayak kalian.”
Agung tertawa pelan, lalu menepuk-nepuk kepalanya. “Tai, gue mau pulang aja lah. Gue geger otak nih kayaknya. Brengsek.” Ia berdiri dengan susah payah, tubuh masih limbung. “Lu udah kebanyakan kontol, Din. Sekali dikasih perhatian, langsung halu.”
Ia menoleh ke Dinda, senyum sinis merekah. “Mau gue anter nggak, Din? Siapa tau dapet bonus.”
Dinda tak menjawab. Diamnya menyimpan dendam yang mendidih, racun yang menyatu dalam darah. Ia hanya menatap pintu yang tertutup—pintu yang membawa Bagas menjauh darinya, bersama perempuan lain.
Revaline menenggak sisa minumannya, lalu berdiri. “Ya udah lah. Gue balik juga, anter gue, Dip. Nggak seru lu pada, ribut mulu kayak bocah.” Ia melirik Dinda, lalu menambahkan datar, “Dia ga bakal mau pulang sebelum Bagas balik. Biarin aja.”
Satu per satu beranjak pergi, sementara meja itu tinggal sisa bara yang belum padam. Dan dari diamnya Dinda, satu hal menjadi jelas—ia tidak akan pernah ikhlas. Bagas adalah miliknya. Dan tak ada yang bisa merebutnya tanpa luka.
Dan benar saja, Dinda masih di sana saat matahari mulai terbenam, duduk sendiri di sofa Bagas yang tak lagi layak disebut nyaman. Meja masih berantakan, botol miras bergelimpangan—semuanya tandas ditenggaknya sendiri. Kepalanya berat, tubuhnya terkulai, dan akhirnya ia tertidur dalam mabuknya.
Pintu terbuka. Bagas pulang.
Ia tak bicara, tak menoleh, hanya langsung menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia keluar dalam pakaian bersih, mengambil nasi bakar yang sempat dipanasin Laras—ia masukkan kembali ke kulkas tanpa suara. Ia bereskan meja, kumpulkan sampah botol, keringkan sisa es batu, dan menggulung karpet yang sudah lengket oleh tumpahan entah apa. Semua dilakukan dengan diam, seperti sedang mengusir jejak kehadiran seseorang.
Sayangnya, Dinda terbangun dengan matanya sayu, mulutnya pun terasa sangat kering.
“Udah pulang, Gas?” gumamnya pelan.
Tak ada balasan. Bagas tetap menyapu lantai.
Dinda bangkit, lalu memeluknya dari belakang. Tubuhnya menempel, napasnya masih beraroma alkohol. “Gas, kenapa sih… jangan gituin gue dong.”
“Lepas, Din. Nggak jelas lu.” ucap Bagas dingin, jengah, dan muak.
“Gue minta maaf… tapi jangan diemin gue gini…”
“Minta maaf ke Laras, bukan ke gue.” ujarnya tajam. “Dan lepasin ini… atau gue pergi lagi aja?”
“Bagas! Laras ini, Laras itu… ada gue di sini, ngapain dia mulu sih?”
“Ya… gue suka sama dia, Din. Sementara lu? Cuma temen. Bukan siapa-siapa gue.” Pelukan itu dipaksa dilepas, membuat Dinda terhuyung sedikit. “Mending pulang sekarang. Gue nggak bisa anter lu lagi.”
“Lu nggak takut gue diapa-apain orang? Gue masih ngawang, Gas… masih mabok.”
“Nggak usah bohong.”
“Serius, pegang nih pipi gue.” Dinda angkat tangan Bagas, tempelkan ke pipinya. “Masih panas, kan?”
Ia menatapnya dengan mata basah, senyum setengah memelas. “Kita bisa main cepet nanti, gue janji nggak gangguin Laras lagi.”
Bagas terdiam. Sejenak, ada yang berkecamuk. Lalu ia angguk pelan. “Gue anter, tapi lu harus janji nggak ganggu Laras lagi.”
“Nah… hmm… oke deh.”
Perjalanan menuju rumah itu terasa panjang meskipun hanya beberapa belas menit. Di dalam mobil yang hangat, Dinda berkali-kali mencoba menarik perhatian.
Tangannya bermain di atas pahanya sendiri—gerakan perlahan dan sengaja, diiringi desahan lirih setiap kali mobil berguncang melewati jalan berlubang. Sekilas, ia melemparkan tatapan penuh arti ke arah Bagas, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang menggoda.
Bagas tak peduli.
Kedua tangannya menggenggam setir dengan mantap, pandangan lurus menembus kaca depan, seolah hanya jalanan malam dan rambu-rambu lalu lintas yang layak ia perhatikan.
Wajahnya datar. Tidak ada respons, tidak ada komentar.
Dinda sedikit menggeliat, mendekat setengah inci lebih dekat dari semula. Namun bahkan dari sudut matanya, ia tahu Bagas tetap tak berpaling. Hingga akhirnya mobil melambat, berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun bersih. Rumah warisan orang tua Dinda, tempat anak semata wayang mereka kini tinggal selama berkuliah.
Bagas mematikan mesin, mengambil napas perlahan, lalu menoleh sekilas—hanya sekilas—ke arah Dinda.
“Udah sampai.” katanya singkat. “Masuk sana.” perintah Bagas tanpa menoleh.
“Gas… ayo… main sama gue. Gue kangen sama lu.” Ia tarik lengan Bagas, memelas, menggoda.
Tapi pria itu tetap dingin, ia memilih menarik tangannya.
“Cepet keluar. Gue mau belajar, Pak Johnny suka kasih kuis dadakan dua minggu sekali.”
“Ihhh… please, gue kangen kontol lu…” bisik Dinda, lalu ia tarik tangan Bagas, dipaksa menyentuh vaginanya di balik rok yang sudah terangkat. “Pegang nihh… lu emang nggak kangen? Aaahh—”
Refleks Bagas menarik tangannya secepat mungkin, seakan baru menyentuh bara. Tanpa pikir panjang, ia buka pintu dan keluar dari mobilnya, hanya untuk menyeret Dinda keluar.
“Ini terakhir kali gue anter lu pulang.” Suaranya berat, penuh amarah yang sudah tak bisa dibendung. “Mulai sekarang, urus diri lu sendiri.”
Ia lemparkan tas dan jaket Dinda ke atas aspal. Tak peduli akan kotor atau tidak. Lalu ia masuk kembali ke mobil, meninggalkan Dinda yang berdiri terdiam—masih dengan napas yang setengah tertahan dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar. Matanya menatap mobil yang menjauh, membawa Bagas... dan seluruh peluang yang benar-benar turut menghilang bersamanya.
Dinda terduduk di lantai, punggungnya bersandar lemas ke dinding kusam. Kepalanya berdenyut pelan, efek alkohol masih menggantung di otaknya, membuat dunia di sekelilingnya tampak bergoyang samar.
Ia memandang kosong ke arah lantai, napasnya berat, tak peduli rok pendeknya tersingkap sembarangan.
Brengsek Bagas, pikirnya.
Brengsek dunia ini.
Dalam lamunannya, Dinda tidak menyadari saat seorang lelaki yang tengah mabuk mendekat. Tiba-tiba saja ada selangkangan yang menempel di depan wajahnya, bau alkohol dan keringat menyengat hidungnya.
“Woi, Din…” teriak lelaki itu tepat di mukanya, mengoyak keheningan yang menyesakkan.
Dinda berkedip lambat, baru sadar ada yang berdiri begitu dekat. Ia berusaha mendorong mundur dengan tangan lemah.
“Anjing, gue panggil diem aja,” cibir lelaki itu, tertawa pendek. “Dokter apaan kosong gitu kepala lu…”
"Apa sih?!" Dinda bergumam setengah sadar, berusaha bangkit, tangannya terulur mencari pegangan. "Minggir, deh..."
Namun lelaki itu malah semakin mendekat, baunya menusuk, napasnya berat.
“Ya elah, sensi amat. Sange, nggak? Ayo main sama gue, gue punya kondom nih sekotak.” ujarnya, mengerling jijik.
“Coli sendiri sana, brengsek.” desis Dinda, mencoba mempertahankan harga dirinya yang tersisa. Ia berusaha bangkit dari tempatnya setelah mendorong lelaki itu untuk menjauh.
Tapi lelaki itu tak peduli.
Dalam gerakan cepat, ia membalikkan tubuh malang itu dan memepetnya ke tembok, sementara tangannya mulai menjamah tubuh Dinda, meremas kasar di antara pahanya.
“Aaanghh~”
Dinda tersentak, napasnya memburu. Tubuhnya—terkutuk tubuh ini—malah bereaksi. Entah karena alkohol, entah karena frustrasi yang menggerogoti habis-habisan.
“Anjing, becek bener lu... Wah, nggak bener nih, Din. Gue entotin aja, ya?” gumam pria itu sambil terkekeh, jijik dan liar.
Dinda menutup mata, menahan rasa jijik bercampur keputusasaan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menjerit, mendorong, menampar. Tapi ada bagian lain—bagian yang sudah patah—yang membiarkan semuanya terjadi.
Bagas membuangnya.
Bagas menolak menyentuhnya.
Mungkin… mungkin memang ini gunanya dia sekarang. Mungkin dirinya memang hanya menjadi tempat buangan nafsu yang tak bernilai, tanpa makna.
Sebelum ia sadar, pria itu membopong tubuhnya yang lemah, membawa ke kamar remang entah milik siapa. Dan di sana, dalam keheningan kotor itu, Dinda membiarkan dirinya jatuh lebih dalam lagi.
Sementara Bagas, matanya mencari sosok Dipta, sahabatnya sekaligus lubang hitam dalam kehidupannya.
Bagi banyak orang, Dipta adalah representasi dari kehancuran—seorang pemuda yang tenggelam dalam mabuk, narkoba, dan perilaku tanpa arah. Namun bagi Bagas, Dipta adalah satu-satunya sosok yang mampu memberikan rasa manusiawi dalam hidupnya. Di tengah tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik, menjadi anak yang sempurna dari keluarga yang seluruh anggotanya adalah profesor dan dokter hebat—Dipta hadir sebagai bentuk pelarian yang aneh.
Bagas datang ke kota ini sendirian. Tanpa keluarga yang bisa diandalkan, tanpa teman yang dekat. Dalam kesendirian itu, Bagas bertemu dengan Dipta, yang meskipun tampak sangat berbeda, ternyata berbagi rasa yang sama—kesepian dan kebingungan.
Bedanya, Bagas masih menemukan jalan pulang, kembali ke jalan yang benar, terutama sejak Laras hadir di hidupnya. Sedangkan Dipta, sejak awal memang sudah terbiasa hidup di pinggiran batas. Saat Bagas memilih pulang, Dipta memilih tenggelam lebih dalam.
Dipta mengajarkan Bagas untuk menikmati hidup dengan cara yang lebih santai—mengambil waktu untuk sekadar ngobrol tanpa beban, atau merokok dan meminum minuman beralkohol di tengah malam. Meski Bagas tahu bahwa kebiasaan ini bukanlah sesuatu yang bisa dia pertahankan, ada bagian dalam dirinya yang merasa dihargai hanya dengan diterima apa adanya karena Dipta tidak pernah menuntutnya untuk menjadi sempurna, sesuatu yang selalu menjadi tuntutan keluarganya.
Tapi semakin lama, Bagas mulai menyadari bahwa kebiasaan buruk yang Dipta perkenalkan perlahan mulai mengikis dirinya. Di satu sisi, Bagas merasa terjebak. Sebuah pertemanan yang memberi rasa kebebasan, tetapi pada saat yang sama juga menggiringnya ke dalam dunia yang ia tahu seharusnya tidak ia pilih.
Begitu Bagas bertemu Laras, segala sesuatu yang dulu tampak kabur dan berat mulai terasa lebih ringan. Laras bukan hanya teman yang baik, tapi juga sosok yang menyadarkan Bagas bahwa ada kehidupan lain yang bisa dijalani tanpa harus terus-menerus dilingkupi oleh ekspektasi orang lain atau dunia yang penuh dengan kesalahan.
Kehadiran gadis cantik itu seperti angin segar bagi Bagas yang mulai lelah dengan kehidupannya. Ketika bersama Laras, dia merasa diterima tanpa syarat, tanpa perlu menjadi anak yang sempurna. Laras membawanya kembali ke arah yang lebih baik, memberi dia ruang untuk tumbuh, untuk menjadi pribadi yang tidak lagi hanya terikat oleh bayang-bayang keluarganya yang terhormat. Ini adalah perasaan yang baru, sebuah rasa yang tidak pernah Bagas rasakan sebelumnya.
Karena itulah, persahabatan Bagas dengan Dipta mulai terkikis. Bukan karena Bagas tidak lagi menghargai Dipta, tetapi karena hubungan itu tak lagi memenuhi kebutuhan emosional yang Bagas butuhkan. Bagas merasa ada yang lebih berharga dalam dirinya yang selama ini tersembunyi—keinginan untuk menjadi lebih baik, untuk menemukan kebahagiaan yang lebih tulus, yang Laras tawarkan tanpa syarat.
Bagas akhirnya sadar, bahwa meskipun Dipta dan dunianya adalah bagian dari masa lalu yang tak bisa dilupakan, dia tidak bisa lagi terus terjebak dalam kebiasaan dan kehidupan yang hanya memberi rasa sesaat. Kehadiran Laras membuka mata Bagas akan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih sehat dan lebih bermakna, yang tanpa disadari, membawanya pada perasaan yang mendalam pada Laras, bukan hanya sebagai teman, tetapi lebih dari itu—sebagai seseorang yang mengubah hidupnya dengan cara yang lebih baik.
Kepalanya terasa sedikit berat, bukan karena musik, tapi karena bir yang tadi diteguk setengah hati. Matanya akhirnya menangkap Dipta, Agung, dan beberapa perempuan yang sedang asyik menenggak minuman. Bagas menghela napas, lalu melangkah mendekat—langkahnya agak berat, seolah tubuhnya tak sepenuhnya milik sendiri.
“Woi, Dip. Gue cabut duluan, ya.” serunya setengah malas, suaranya sedikit serak karena asap rokok dan minuman.
“Apaan sih? Udah dateng jauh-jauh, rugi lah kalau pulang cepet. Lu udah nyumbang banyak, bro, ngapain buru-buru?” sahut Dipta sambil nyengir.
“Biarin. Kalian aja yang nikmatin, gue udah ngantuk.” Bagas menyeka wajahnya dengan satu tangan, gerakannya lambat, matanya merah dan berat.
“Elah, lu mau ke mana, sih? Disuruh pulang sama Laras, ya?” tanya Agung, lalu menyelutuk, “Eh, tapi Dinda mana dulu?”
Rahang Bagas mengeras. Ia memejam sebentar, mencoba menahan gejolak. Dinda justru jadi alasan utama kenapa dia ingin pergi sekarang juga. “Gue nggak tahu. Lagian, Laras nggak bales pesan gue dari tadi. Gue khawatir, jadi gue balik duluan, ya.”
“Yah elah, bocah kampung begitu paling jam segini udah tidur.” cibir Agung sembarangan.
“Gue tonjok lu, Gung…” suara Bagas berat, nadanya datar, tapi jelas ada bara di dalamnya. Kepalanya menunduk sedikit, tapi matanya tajam—tatapan orang yang setengah sadar tapi emosinya penuh.
“Udah ngapain sih, kalian berdua ribut mulu!” timpal Melina, pacar Agung.
“Lagian… dia juga anjing banget, sih. Lupa sama temen,” celetuk Agung dengan nada kesal.
Bagas diam. Ia malas membantah. Satu tarikan napas panjang ia ambil, seakan menenangkan dirinya sendiri. “Dinda ngajak tidur tadi. Gue ogah. Makanya gue mau cabut. Puas lu?”
Suasana sempat hening. Dipta lalu tertawa dengan terbahak-bahak. “Hahaha! Dinda bego, anjing. Masih aja maksa.”
“Iya, dari dulu juga dia ngejar-ngejar Bagas terus, kan? Sampe akhirnya diblokir tuh nomornya.” sahut salah satu perempuan—Bagas bahkan lupa namanya. Semuanya terasa berputar lambat di kepalanya.
Bagas menoleh, heran. “Kok lu tau? Dia udah nggak gangguin orang lain, kan?”
“Brengsek lu. Dia gangguin gue anjir,” cewek itu menjawab dengan nada sedikit tinggi. “Tantrum tiap hari, marah-marah terus nangis. Kuping gue sampe budek dengernya.”
Bagas jengah. Ia memutar badannya untuk melangkah pergi, namun langkahnya tertahan. Pandangannya, yang sempat kabur oleh cahaya lampu taman dan efek alkohol, kini membeku. Di pojok bangku taman, duduk seseorang yang sangat ia kenal tengah menatap ke arahnya.
Meskipun jaraknya cukup jauh, Bagas tahu persis siapa sosok itu.
Rambut panjang yang tergerai, tas selempang kecil yang menyilang di tubuh mungilnya, serta gaya khas berpakaian saat keluar main—sweater lengan panjang warna ungu, dipadukan dengan terusan bermotif kotak-kotak senada. Tak mungkin Bagas salah lihat.
“Laras?”
Ia menyipit, antara yakin dan tak percaya. Tapi hatinya langsung mengenali. Itu Laras.
Tanpa pikir panjang, Bagas melangkah. Langkahnya memang sedikit goyah namun penuh keyakinan yang didorong oleh dorongan emosi yang tak bisa ditahan—bingung, marah, dan kecewa. Pikirannya berputar cepat. Tempat seperti ini... terlalu terbuka, terlalu berbahaya. Bagaimana kalau Laras diganggu? Atau lebih buruk?
Napasnya mulai memburu, bukan karena minuman, tapi karena kecamuk yang meluap dalam dadanya.
Laras lebih dulu sadar akan keberadaan Bagas. Ia mengenali suara berat khas pria itu—serak, dalam, dan familiar. Ia terkejut. Bagas? Di sini?
Belum sempat ia mencerna lebih jauh, langkah Bagas sudah semakin mendekat. Gerakannya cepat dan tak terduga. Panik, Laras sontak berdiri.
“Laras!!”
Suara Bagas menggelegar, membuat Laras bergidik. Ia belum pernah mendengar Bagas berteriak seperti itu.
Sadar telah meninggikan suaranya, Bagas buru-buru menahan napas. Ia menggertakkan rahang, mencoba meredam segala luapan yang ingin tumpah. Tatapannya jatuh pada Laras yang kini berdiri terpaku menatapnya.
“Kamu… kamu ngapain di sini? Kenapa nggak jawab teleponku? Pesan-pesanku juga nggak kamu baca?” Nada suara Bagas terdengar berat—campuran antara kesal, cemas, dan letih, tapi jelas ia berusaha menahannya agar tidak meledak.
Laras tersentak. Ia buru-buru membuka tas selempangnya, mengobrak-abrik isinya sampai tangannya meraih ponsel. Layarnya hitam, mati.
“Mati… Maaf, aku baru sadar…” gumamnya, pelan. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah. “Aku… tadi diajak temen, katanya dia naksir cowok yang datang ke pesta ini. Aku ikut… tapi sekarang dia entah ke mana.”
Bagas menyipitkan mata, rahangnya mengeras. “Terus dari tadi kamu di sini sendiri?”
Laras buru-buru mengangguk. “Tadi aku mau coba cari dia ke dalam… tapi aku ragu, jadi aku tunggu di sini aja.”
Bagas menarik napas dalam, lalu menghembuskannya panjang-panjang. Matanya menatap Laras dari kepala sampai kaki, memastikan tak ada yang kurang, tak ada yang aneh. Temannya... benar-benar sembrono.
“Itu orang mikir apa sih...” gumamnya rendah, lebih ditujukan ke diri sendiri, tapi cukup jelas terdengar oleh Laras. Ia mengepalkan tangan, lalu melemaskannya lagi, menahan gejolak yang hendak meledak. “Tempat kayak gini nggak aman, Laras. Kamu bisa kenapa-kenapa.”
“Terus kamu di sini ngapain? Bukannya kamu udah bilang mau tidur?” tanya Laras, suaranya terdengar kecewa meski berusaha tetap tenang.
“Justru itu…” Bagas mengusap tengkuknya. “Aku emang udah mau tidur, tapi Dipta maksa aku ikut—katanya cuma nyumbang buat minuman. Makanya aku hubungin kamu, tapi kamu nggak jawab, nggak ada kabar.”
Laras menunduk. Ia memang salah karena tak sadar ponselnya mati, tapi tetap saja—ia bingung harus bilang apa.
“Ya udah, temennya nggak ada, kan? Kita pulang aja, yuk?” ajak Bagas.
Laras spontan mengangkat kepala, panik. “Ih… jangan dulu. Nanti temenku gimana?”
“Kamu masih mikirin dia?” Bagas mengerutkan dahi, nadanya mulai kesal. “Dia aja ninggalin kamu, Ras. Teman kamu yang mana emangnya? Namanya siapa? Siapa tahu aku kenal.”
“Salsabila,” jawab Laras pelan. “Seangkatan sama aku, yang dulu pernah satu kos. Kamu ingat?”
“Salsa… yang suka nitipin kunci ke kamu?” Bagas mengingat-ingat. “Aku nggak lihat dia dari tadi di dalam. Aku tadi minum sendiri, males gabung sama Dipta.”
Laras tercekat. Jantungnya berdebar—ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. “Jadi… aku ditinggalin?”
Bagas menghela napas. Ada rasa tak enak dalam nadanya. “Ya udah. Aku bantu cari ke dalam. Kamu tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Jangan terima minuman siapa pun dari orang yang kamu nggak kenal, ya? Jangan takut nolak.”
Laras mengangguk cepat, suaranya gemetar. “Oke… tapi jangan lama-lama, ya?”
Bagas menatapnya, tersenyum kecil, meski matanya menyiratkan kekhawatiran. “Iya, tunggu di sini aja. Aku kelepasan minum agak banyak tadi, jadi aku bakal pelan-pelan nyarinya. Tapi ketemu nggak ketemu, kita langsung pulang. Oke?”
“Oke…” suara Laras nyaris tak terdengar.
Laras tetap berdiri di tempatnya, tak melepaskan pandangannya dari punggung Bagas hingga ia menghilang ke dalam rumah. Suara musik yang masih menggema dan wajah-wajah asing membuat napasnya terasa sesak, namun ia hanya bisa berdiri di pinggir teras, menanti dengan harap dan cemas.
Bagas kembali muncul setelah menyusuri seluruh ruangan, sendirian, wajahnya tegang dan sedikit berkeringat. Ia mencari perlahan, tapi ucapan Laras—“jangan lama-lama, ya?”—terngiang di kepalanya. Ia mempercepat langkahnya, tak ingin Laras menunggu sendirian di luar. Setiap sudut telah ia periksa, tapi sosok yang dicari tak kunjung ada. Tanpa banyak kata, ia memutuskan untuk keluar, tak ingin Laras lebih lama lagi terjebak di sana.
“Nggak ada… Aku udah keliling cari dia, tapi dia nggak kelihatan. Kita pulang aja, ya?” ucapnya dengan napas terengah.
Laras sempat ragu, matanya sempat menoleh ke belakang Bagas sejenak. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, tangan kanan Bagas sudah menggenggamnya erat dan mulai menariknya pergi. Laras hanya bisa mengikuti langkah Bagas, tangan kirinya meremas lengan pria itu, meminta agar mereka berjalan lebih pelan.
Baru beberapa langkah menjauh, seorang pria muda yang tak Laras kenali muncul dari kegelapan, menyodorkan sesuatu seperti bungkusan kecil berisi permen warna-warni.
“Gas… mau nyari kamar? Butuh kondom, nggak?” katanya ringan, seolah itu hal biasa.
Laras terbelalak. Tangannya menggenggam lebih erat lengan Bagas, tubuhnya seketika menegang. Namun Bagas menggeleng keras, wajahnya berubah dingin. Tanpa sepatah kata, ia semakin menarik Laras menjauh, tak peduli pada tawa dan bisik-bisik dari kawan-kawannya yang terdengar di belakang mereka—tawa yang menyadari bahwa Laras ada di sana.
Bagas tak menoleh. Ia hanya ingin membawa Laras secepat mungkin keluar dari tempat yang tak layak itu.
Bagas membuka pintu mobil dengan tergesa, membiarkan Laras masuk lebih dulu. Ia sendiri masuk ke kursi pengemudi dan langsung menutup pintu rapat-rapat.
Lampu kabin mobilnya tampak remang. Laras duduk diam, menunduk tanpa suara. Sementara Bagas menyandarkan kepala ke setir, menutup matanya, menarik napas dalam-dalam—berusaha menahan pening yang perlahan memanjat dari tengkuk ke ubun-ubunnya.
“Bentar dulu, ya, Ras…” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
Laras mengangguk, meski Bagas tak melihat. Ia menatap tangannya yang bertumpu di pangkuan, meremas-remas jari sendiri.
“Aku… aku minta maaf…” suara Laras nyaris pecah. “Aku udah sering ngelarang kamu datang ke pesta-pesta kayak gini… tapi malah aku yang datang. Aku cuma kira Salsa butuh temen, sampai lupa nany pestanya tuh pesta apa… Aku nggak nyangka dia bakal ninggalin aku…”
Bagas mengangkat kepalanya perlahan. Pandangannya kabur, bukan hanya karena alkohol, tapi juga karena rasa bersalah yang menggerogoti.
“Nggak apa-apa,” ujarnya pelan. “Aku cuma… takut kamu kenapa-kenapa, Ras.”
Ia menoleh, menatap Laras dengan tatapan yang tak bisa disembunyikan lagi kekalutannya. “Di dalam tadi… bukan cuma orang minum. Ada yang ngehirup ganja, ada yang lagi ngelakuin ‘itu’ di kamar. Kalau kamu iya-iya aja… bisa-bisa kamu udah dibungkus.”
Laras menoleh cepat, keningnya berkerut. “Dibungkus?”
Bagas menatap lurus ke depan. Pandangannya kosong. “Ditidurin, Ras. Dimasukin kamar, dikasih minuman atau obat, terus… ngelakuin hal kayak yang pernah aku lakuin dulu… sama Dinda.”
Laras membeku. Tak ada suara. Hanya napas mereka berdua yang terdengar, berat, tertahan.
“Aku…” Bagas menelan ludah. “Aku nggak mau kamu dirusak kayak gitu.”
Ia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. “Setahun terakhir aku udah jauhin semua itu buat ngejaga kamu. Karena… aku tahu kamu nggak suka pergaulanku. Karena aku… aku tahu mereka bakal gangguin kamu.”
“Dan Salsa… setahu aku, dia satu sekolah sama Dinda dulu di Bandung. Aku tahu karena… ah, sudahlah. Yang jelas, aku yakin dia ada niat buruk ke kamu.”
“Sumpah, Ras… Aku bakal nyesel seumur hidup kalau aku nggak jaga kamu, dan kamu sampai…” Suaranya bergetar. “Dari awal ikut, aku udah ngebatin pasti kamu bakal marah, bakal kecewa.. tapi kalau gini ceritanya, ada untungnya juga aku ikut Dipta. Kalau nggak...”
Ucapannya menggantung. Ia menunduk, memejamkan mata.
Laras hanya menatapnya. Matanya mulai panas. Air matanya belum jatuh—belum. Tapi akhirnya mengalir juga, perlahan, membawa serta rasa bersalah atas kepolosan dirinya yang terlalu mudah percaya pada seseorang.
Pelan, tangannya terangkat, meraih lengan kemeja Bagas, seolah meminta sedikit perhatian. “Maafin aku, ya…”
Bagas melunak. Ia menyandarkan tubuhnya ke jok mobilnya, lalu meraih jemari mungil gadis yang disayanginya, menggenggamnya dengan hangat.
“Kamu tahu, aku suka kamu, Ras…” suaranya rendah, nyaris bergetar. “Aku tahu aku pernah salah—pernah nakal, aku… pernah tidur sama cewek lain, pernah durhaka orang tuaku… Tapi aku nyesel. Nyesel pernah terlena di pergaulan kayak gitu. Dan kamu jadi saksinya selama ini…”
Ia menarik napas dalam-dalam. “Aku suka banget sama kamu, Ras. Aku sayang kamu.” Ia menatap dalam. “Jadi… lain kali, hati-hati, ya?”
Laras mengangguk sambil terisak pelan. “Iya… aku janji…”
Bagas tahu isakan itu. Laras selalu menangis tanpa suara. Dan justru yang sunyi itu yang paling menyakitkan. Ia mengangkat tangannya, mengusap lembut pipi Laras, menghapus air mata yang terus mengalir.
“Udah… jangan nangis, ya?” bisik Bagas lembut. “Maaf juga… aku datang tanpa izin kamu, aku minum-minum juga, dan sempat bentak kamu…”
Laras menggeleng kecil. Suaranya parau. “Nggak apa-apa…”
“Maafin aku juga, Ras…”
“Kenapa?” tanyanya pelan, bingung.
Bagas sempat membuka mulut, tapi menutupnya kembali. Ia ingin bercerita soal Dinda yang sempat menggoda dan menyudutkan Laras, namun ditelannya kembali. Bukan saatnya.
“Nanti aja, deh…” gumamnya. “Sekarang aku harus sadar dulu, anterin kamu pulang dulu. Kita jangan lama-lama di sini…”
“Hmm… Kalau kita jalan kaki aja, gimana? Kamu kuat?”
“Loh, mobil aku nanti gimana?”
“Besok pagi aja ambilnya. Aman, kan? Ini daerah perumahan elit, siapa juga yang bakal tilang?”
Bagas terdiam, memikirkan kata-katanya. “Iya juga, ya… Tapi kamu nggak apa-apa jalan? Jauh, loh... Udah malam juga.”
“Nggak masalah, kan bareng kamu. Daripada kamu nyetir sambil mabuk,” ucap Laras pelan, mencoba memberi pengertian. “Inget nggak berita yang pernah kamu kasitau? Yang orang mabuk nabrak banyak orang sampai meninggal, deket rumah kamu di Jakarta?”
Bagas mengangguk pelan, tertunduk.
“Bahaya, Gas… Udah makan nyawa orang, efeknya ke keluarga mereka dan keluarga kamu juga. Banyak yang hancur karena satu keputusan buruk.” Laras menatapnya dengan lembut. “Jadi kita jalan kaki aja, ya?”
Bagas menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Oke, deh…”
Laras keluar lebih dulu dari mobil, menarik napas dalam-dalam seolah ingin menenangkan degup hatinya. Udara malam menyapa kulitnya, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang mulai dingin. Sementara itu, Bagas masih di dalam mobil. Kepalanya bersandar sebentar di kemudi, matanya terpejam sejenak—berusaha menenangkan denyut yang berdebar tak karuan di pelipisnya.
Ia menghela napas, membuka pintu mobil perlahan, dan keluar. Ia mengunci mobilnya, lalu berjalan perlahan menyusul Laras. Tubuhnya berat, langkahnya limbung, dan yang pertama ia cari adalah bahu Laras—tak untuk menyandarkan diri, melainkan sekadar memastikan dirinya tak jatuh. Tapi Laras lebih peka. Ia segera meraih lengan Bagas dan merangkulnya erat, menyesuaikan langkah dengan langkah Bagas yang sedikit terseret.
Tubuh lelaki itu berat, tapi ia biarkan. Setahun tanpa menyentuh alkohol, efeknya kini menghantam keras. Bagas berjalan sedikit sempoyongan, namun tetap sadar. Ia mendengarkan.
“Pelan, Gas… ada batu… miring dikit ke kanan…”
“Iya…”
“Di depan lubang kecil, hati-hati…”
“Hmm…”
Mereka melangkah perlahan, melewati deretan pohon dan pinggir jalan besar yang masih ramai dilewati pengguna jalan, hingga akhirnya mereka menyusuri trotoar taman yang tak jauh dari kos Laras. Di kejauhan, lampu taman menyala remang, menciptakan bayangan panjang dari tubuh-tubuh mereka. Beberapa bangku terlihat kosong, dan suara roda besi kecil menarik perhatian mereka.
Seorang penjual minuman asongan tengah duduk di ujung taman, termos dan keranjang plastiknya dipenuhi botol-botol air mineral serta kopi sachet. Melihat mereka mendekat, si abang berseru pelan, “Minumnya, Mbak? Mas? Masih banyak, nih. Yang hangat malam-malam begini, atau mau yang seger, dingin juga ada…”
Laras langsung menghampiri, membuka dompet kecilnya dari tas selempangnya. “Air mineralnya dua, ya, Mang. Yang dingin.”
Botol itu disodorkan padanya, dan Laras segera kembali, menyerahkan satu ke Bagas sambil berkata pelan, “Duduk dulu aja, kamu minum dulu.”
Bagas menerimanya, mengangguk lemah, lalu meneguk separuh isinya. Dingin air itu menyusuri tenggorokannya, membangkitkan kesadaran yang tadi sempat mengabur. Tanpa berkata apa-apa, ia membuka kembali tutup botol, menuangkan sisanya ke wajahnya.
“Eh?! Kok buat cuci muka?” Laras berseru lirih, sedikit terkejut namun tak bisa menahan senyum.
“Biar seger, Ras… pusing banget aku.” sahut Bagas, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Laras menatapnya sejenak, memperhatikan garis wajah yang kini mulai kembali pada bentuk sadarnya. Ada sisa air menetes dari dagunya, membasahi kerah kemeja yang sudah lecek. Mata Bagas belum sepenuhnya jernih, tapi setidaknya kini tak lagi gelap oleh pengaruh alkohol.
“Oke… sekarang gimana? Udah mendingan?” tanyanya pelan, seraya mengangkat tangan, mengusap tetesan air di dagu Bagas dengan ujung jarinya—gerakan kecil, tapi sarat perhatian.
“Lumayan…” Bagas menyengir kecil, senyum yang lebih tulus dari sebelumnya, lalu menghela napas panjang, melepaskan berat yang sempat menyesaki dadanya. “Kepalaku nggak muter lagi…”
Laras menoleh ke sekeliling. Taman malam itu tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Masih ada suara roda gerobak minuman yang menjauh, dan angin yang mengayun dedaunan ringan. Cukup aman untuk beristirahat.
“Mau lanjut jalan, atau di sini dulu?”
“Duduk dulu, ya? Sebentar aja.”
Laras mengangguk, dan mereka duduk berdampingan di bangku besi yang menghadap rerumputan dan jalur taman yang samar-samar diterangi lampu.
Hening sejenak.
Kemudian, Bagas bergeser sedikit, memejamkan matanya dan perlahan menyandarkan kepalanya ke bahu Laras. Bukan sandaran mesra, tidak ada maksud romantis—hanya seseorang yang lelah, yang pusing, yang butuh waktu untuk tersadar dunia yang masih berputar perlahan di balik kelopak matanya.
Laras tidak bergerak, hanya membiarkan lelaki itu mengumpulkan kesadarannya. Meskipun ia tahu, Bagas sudah cukup sadar—napasnya mulai tenang, bahunya hangat menempel, dan tubuhnya tidak lagi sempoyongan. Namun, setidaknya Bagas bisa memahami rasa yang ingin Laras ungkapkan.
Keheningan di antara mereka pecah perlahan saat Laras bersuara pelan, tapi jelas—seperti menakar keberanian yang baru dikumpulkan. Ia menunduk sedikit, menatap ujung sepatunya, lalu berbisik nyaris tak terdengar, “Gas…”
“Hm?” sahut Bagas, kepalanya masih bersandar di bahu Laras.
“Aku… boleh tanya sesuatu?”
Bagas hanya mengangguk, masih menyandarkan kepalanya pada bahunya, lelah dan setengah sadar. “Mau nanya apa?”
“Tadi ada Dinda, ya?” tanya Laras, nadanya hati-hati. “Aku liat dia masuk ke dalam… terus nggak lama, kamu keluar.”
Mata Bagas langsung terbuka. Ia menegakkan tubuhnya, menoleh cepat, wajahnya kini sungguh-sungguh.
“Sumpah… aku nggak ngapa-ngapain sama dia.”
Suara itu keluar begitu saja, tanpa polesan, nyaris seperti reaksi spontan dari seorang yang takut disalahpahami. Ia menarik napas, lalu menambahkan, “Ini maksudku minta maaf tadi… Tapi tadi kupikir, mending kita balik dulu, terus aku jelasin ke kamu.”
Laras menatapnya. “Jelasin apa?”
“Biasa…” Bagas mengusap wajahnya dengan telapak tangan, seakan ingin menyeka sisa mabuk dan penyesalan sekaligus. “Dinda ngegoda aku buat tidur sama dia. Dia juga sempat… nyentuh, tapi—aku langsung tolak, Ras.”
Tatapan matanya tak menghindar, bahkan tampak gusar.
“Aku… huft… kamu pasti nggak suka sama hal ini, tapi aku agak kasar ke dia tadi, karena dia sempat ngehina kamu,” lanjutnya, nada suaranya mulai meninggi sedikit, bukan karena marah, tapi karena jujur.
“Makanya aku berani bilang… Salsa itu pasti ngejebak kamu. Karena ya… si Dinda emang nyinggung kamu tadi. Aku yakin itu kerjaan dia. Kamu tahu, kan? Dia suka ganggu semua orang yang deket sama aku, apalagi kamu yang jelas-jelas aku suka.”
Kata-kata terakhir itu nyaris seperti pengakuan yang tak direncanakan. Bagas tidak menatap Laras saat mengatakannya—seolah terlalu takut melihat reaksi yang mungkin tak ia siap hadapi.
“Nggak tahu deh bener atau nggaknya… Tapi yang pasti, aku nolak, dan ninggalin dia di dalam. Aku juga tadi minum sendiri, nggak sama siapa-siapa… sampai dia datang dan ganggu aku.”
Ucapannya terhenti, napasnya menggantung. Suaranya tak meledak, tapi justru terdengar seperti anak kecil yang sedang mengadu—ceplas-ceplos, tak teratur, tapi tak ada satu pun kalimat yang mengandung kebohongan.
Ia menunduk setelahnya. Diam.
Seolah tengah menanti vonis—menunggu Laras memutuskan apakah kata-katanya layak untuk dimaafkan… atau dilupakan.
“Oke…” Laras mengangguk pelan, matanya tetap memandang Bagas dengan penuh perhatian.
Bagas langsung menatapnya, bingung. “Loh? Kok cuma ‘oke’ aja?”
“Kamu nggak mau tanya aku ngapain sama dia tadi? Kenapa aku minum? Dia ngomong apa aja tentang kamu? Kamu… nggak mau negur atau marahin aku gitu?”
“Kamu biasanya gitu…”
Rentetan pertanyaan terucap dengan sedikit gagap, menandakan Bagas telah menciut, jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena alkohol, tapi ada perasaan cemas yang mulai menguasainya, takut jika ada yang salah dengan reaksi Laras kali ini.
Laras menatapnya sejenak, lalu bicara dengan nada rendah, “Aku percaya sama kamu.”
“Hah?” Bagas makin mengernyit, alisnya naik, seolah baru mendengar sesuatu yang tak masuk akal.
“Ya… Aku percaya kamu, kamu bicara jujur. Kamu nggak akan bohong. Nggak ada yang kamu sembunyiin dari aku.”
“Kok?” Suara Bagas nyaris tercekat. Ia mendekat sedikit, matanya mencari-cari—khawatir ini cuma candaan Laras. Tapi tidak. Sorot mata itu jujur.
“Kok malah ‘kok’?” Laras menunduk sedikit, suaranya lirih tapi terdengar geli. “Kenapa reaksimu aneh gitu?”
“Harusnya aku yang tanya, kenapa reaksimu kayak gitu? Kamu marah sama aku, ya?”
“Ih… dibilang percaya, malah kamu kira aku marah?”
“Serius?”
“I—iyaa… serius…”
Tatapannya menghindar, memilih untuk menatap pepohonan, menyembunyikan wajahnya yang mulai merah. “Emang kamu nggak mau aku percaya sama kamu?”
Sepanjang perjalanan pulang itu, hujan tak turun, tapi rasanya langit dalam dada Bagas masih penuh gemuruh. Sore itu masih menyisakan geram dalam dada Bagas. Bayangan wajah Laras yang menahan malu dan sedih saat dihina Dinda dan teman-temannya tadi di kosnya, membuat amarahnya masih bersisa. Ia tahu Laras mencoba bersikap tenang, tetap sopan, tetap kalem seperti biasanya. Tapi matanya—mata Laras tak pernah bisa bohong.
Sekarang, semuanya sudah lebih membaik. Laras duduk di sebelahnya, membicarakan hal-hal ringan. Sesekali Bagas menanggapi, mengangguk, atau melempar tawa kecil yang terdengar hambar jika dibanding dengan biasanya. Ia berusaha hadir sepenuhnya, tetapi pikirannya sudah melaju jauh lebih cepat daripada mobil yang ia kemudikan.
Ia mencoba menyusun kalimat, mencoba membayangkan momen yang tepat—bagaimana cara mengungkapkan rasa yang sudah lama menggumpal. Ia takut, tentu. Tapi lebih takut jika Laras pergi dengan Yoga akhir minggu ini. Ia tahu betul bagaimana pandangan Yoga pada Laras—terang-terangan, seperti seorang pria yang tahu apa yang ia inginkan dan tak malu menunjukkannya. Sedangkan dirinya? Bagas terlalu lama bersembunyi di balik punggung Laras, takut merusak apa yang sudah mereka punya.
Laras membuka pintu mobil pelan, tangannya masih menggenggam tas kecil di pangkuannya.
“Makasih ya, Gas, buat hari ini.” katanya sambil tersenyum tipis, seperti biasa. “Pulangnya jangan ngebut, terus jangan ngantuk juga, kita abis makan berat barusan.”
“Hm, oke.” Bagas menjawab singkat, namun matanya tetap menatap ke depan, seperti sedang menimbang sesuatu.
Laras sudah menutup pintu dan berjalan menuju gerbang kosnya. Tapi belum sampai tiga langkah, suara pintu mobil terbuka lagi, disusul suara langkah tergesa.
“Laras!” panggil Bagas, dan Laras menoleh—hanya untuk mendapati pria itu berlari kecil ke arahnya.
Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Bagas sudah berdiri tepat di depannya, menghentikan langkahnya.
“Ke—kenapa?” tanya Laras, bingung. Nafasnya sedikit tercekat, bukan karena lelah, tapi karena kedekatan mereka yang tiba-tiba begitu sempit, begitu intim.
Bagas berdiri di sana, hanya sejengkal darinya. Sinar lampu jalan jatuh pelan di wajahnya yang tampak lebih tegas malam itu. Laras bisa mencium cologne yang masih tertahan di kemeja pria itu.
“Aku...” Bagas membuka suara, ragu sejenak. Tapi matanya tak bergeser dari Laras. “Aku harus bilang sekarang, sebelum aku nyesel.”
Laras menahan napas. Degup jantungnya pelan tapi pasti makin kencang.
“Laras, aku suka sama kamu.”
Hening. Laras membelalak pelan.
Bagas menelan ludah, lalu menghela napas panjang. “Candaan-candaan aku selama ini, soal ngajak kamu pacaran... itu bener. Aku emang suka sama kamu, dan aku gak lagi bercanda sekarang.”
Laras terdiam. Matanya menatap lekat wajah Bagas, mencoba membaca kejujuran dari setiap gerak kecil di sana. Ia tak tahu harus berkata apa—lidahnya kelu, pikirannya kosong. Yang terasa hanya detak jantungnya yang seolah menuntut waktu berhenti sejenak. Jarak mereka terlalu dekat. Terlalu dekat untuk sekadar teman.
Bagas melanjutkan, suaranya lebih pelan, nyaris seperti bisikan, “Aku tau kamu belum suka balik, dan aku gak maksa. Tapi aku gak mau diem aja sementara orang lain—”
Dia berhenti. Nama Yoga tak perlu disebut. Laras tahu siapa yang dimaksud.
“Aku cuma mau kamu tahu, Ras... kalau… ahem… kamu… kamu penting buat aku. Dan aku serius.”
Laras menunduk, lalu menatap Bagas lagi—masih terkejut, masih mencari pijakan di antara ribuan hal yang tiba-tiba mengapung di pikirannya.
Satu detik. Dua detik. Lalu tiga. Tapi malam seperti memberi waktu lebih lama.
Laras masih mematung di depan Bagas. Sementara Bagas masih menatapnya dengan harap, meski matanya mulai menyiratkan takut. Perlahan, Laras menggeleng. Lalu membuka suara, pelan tapi tegas.
“Maaf, Gas…” ucapnya, suaranya terdengar seperti helaan napas panjang yang tertahan berhari-hari. “Aku… aku nggak tahu harus jawab apa.”
Laras mengalihkan pandangan, mencoba mencari tempat berpijak dari rasa bersalah yang pelan-pelan menyesap. Tapi ia tak mau bersembunyi dalam diam.
“Aku gak bisa semudah itu… nerima ajakan pacaran dari kamu. Karena… jujur aja, aku nggak punya perasaan yang sama…” ujarnya.
Bagas menunduk. Hening mencengkram.
“Aku pikir selama ini kamu anggap aku temen. Kalau ternyata kamu suka sama aku, aku nggak tahu harus apa, Gas,” kata Laras lagi, dengan suara yang nyaris pecah. “Dan aku… aku juga nggak bisa pura-pura.”
Bagas mencoba tersenyum tipis. Gagal. Matanya masih terpaku pada Laras.
“Lagian… kamu masih—” Laras terhenti sejenak, memilih kata yang tak ingin menyakiti, tapi kebenaran tetap harus terucap. “Kamu masih sering ‘nakal’. Teman-teman kamu, lingkungan kamu… kamu sendiri bilang kamu ngerasa nggak pantes buat kenal sama orang kayak aku.”
Bagas ingin menyela, tapi Laras mengangkat tangan, meminta waktu untuk menyelesaikan kata-katanya.
“Aku tahu kamu udah bela aku tadi, makasih banyak… Aku hargai itu. Dan aku percaya kamu sebagai teman. Tapi untuk percaya kamu beneran suka sama aku… atau kamu beneran tulus… aku nggak bisa.”
Laras melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih lembut, namun tetap tegas, “Aku tahu kamu suka merasa sendiri, Gas. Aku tahu kamu capek sama temen-temen kamu yang kayaknya cuma bawa kamu ke hal-hal yang buruk doang. Aku tahu kamu ngerasa aku orang yang berpihak sama kamu...”
Ia menggeleng pelan. “Tapi… aku bukan cadangan, Gas. Aku bukan pelengkap cerita yang kamu buka cuma pas halaman hidupmu rasanya hambar.”
Suasana menjadi sunyi. Langit malam seperti menarik nafas panjang, menyaksikan dua hati yang kini berdiri di persimpangan—yang satu terbuka penuh, yang lain masih menutup pintunya rapat-rapat.
“Aku gak mau kamu jadiin pelarian dari rasa bersalah kamu sama Dinda, atau dari masa lalu kalian yang… mungkin belum selesai.”
Bagas menggigit bibirnya. Ia ingin marah pada dirinya sendiri. Pada kenyataan. Pada waktu yang tak berpihak.
Laras mengambil satu langkah mundur, lalu menghela napas. “Terima kasih banyak buat perasaan kamu, Gas. Tapi untuk sekarang… jawabannya tidak. Kita temenan aja, ya?” Dan dengan langkah pelan namun mantap, Laras kembali berjalan menuju gerbang kosnya, meninggalkan Bagas yang masih berdiri di tempatnya.
“Tapi, Ras…” suara Bagas kembali terdengar tepat saat Laras mendorong gerbang kosnya. Langkahnya terhenti. Ia menoleh, wajahnya masih teduh meski baru saja menolak.
“Kalau aku mau berubah…” lanjut Bagas, suara lelaki itu sedikit bergetar, tapi matanya mantap menatap Laras, “Kalau aku putusin pertemanan aku, hubungan aku… terutama sama Dinda. Kamu bisa percaya kalau aku beneran tulus sama kamu?”
Laras mengernyit, sedikit bingung. “Maksudnya?”
“Aku mau berubah. Bukan cuma sekadar rajin salat lima waktu atau nggak mabuk-mabukkan lagi,” ucap Bagas, suaranya pelan namun bergetar oleh kesungguhan. “Tapi lebih dari itu. Aku mau jadi orang yang pantas berdiri di samping kamu. Supaya aku bisa pegang tangan kamu, bukan cuma karena aku suka, tapi karena aku layak.”
Ia menarik napas sejenak. “Kalau begitu caranya, kamu mau percaya sama aku?”
Laras diam, hanya suara jangkrik dari kebun sebelah kosnya menyeruak pelan. Ia menunduk, lalu kembali menatap Bagas, lama, dalam—seolah mencari kebohongan, seolah mencari ketulusan.
“Itu berat, Gas…” katanya akhirnya, nyaris berbisik. “Nggak segampang itu ninggalin kebiasaan yang udah terlalu sering kita lakuin. Aku nggak mau kamu buang-buang waktu cuma buat buktiin hal yang… yang mungkin nggak bisa kamu jalanin.”
Bagas menggeleng cepat. “Nggak, aku nggak buang-buang waktu. Aku suka sama kamu, Ras. Aku rela kalau harus susah payah ninggalin semuanya demi bisa sama kamu.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, berani, namun tetap menjaga jarak. “Jadi jawab aku dulu… kalau aku bisa berubah… kamu mau percaya sama aku?”
Laras diam, tapi pikirannya riuh. Ia tahu siapa Bagas—lelaki dengan pergaulan yang tak mudah dipercaya, tapi tak pernah sekalipun memperlakukannya dengan hina. Selalu sopan, selalu menghargainya. Ia menyukai perhatian itu, namun terlalu takut untuk percaya sepenuhnya.
Ia ingin berteman. Tapi lebih dari itu, terlalu banyak yang harus dipertaruhkan.
Namun… jika Bagas sungguh-sungguh—jika ia betul-betul ingin berubah, menanggalkan sisi liarnya dan melangkah dengan niat yang baik—mungkin, hanya mungkin, tak apa jika sekali saja Laras memberinya kesempatan.
Maka, dengan tarikan napas yang pelan, Laras mengangguk sekali. Lirih, namun cukup untuk membuat dada Bagas bergemuruh.
Senyum mengembang di wajah lelaki itu. Lega, haru, seolah dunia baru saja mempersilakan ia mencoba sekali lagi.
“Oke…” katanya perlahan, nyaris tak terdengar. “Kasih aku waktu, ya? Tapi… jangan jadi milik orang lain dulu, ya, Ras…”
Laras menatapnya. Ada senyum kecil yang tersungging di wajahnya—lembut, malu-malu, tapi juga mengerti.
Dan dengan senyum itulah, Laras membuka pintu gerbangnya dan masuk. Meninggalkan Bagas yang kini berdiri dengan dada hangat dan hati yang penuh harapan—karena setidaknya, Laras tidak sepenuhnya menolaknya.
“Sebentar—” Bagas reflek menahan napas, dadanya mendadak sesak oleh degup yang tak bisa dia atur. “Maksud kamu… aku… Sebentar, Ras.”
Ia menarik napas cepat-cepat, menyusun kata. “Kamu pernah bilang… kamu baru mau pacaran sama aku kalau kamu percaya aku.”
“Setahun ini… aku nyoba banget buat dapetin itu, Ras… sekarang, kamu beneran… percaya sama aku?”
Laras menggigit pipi dalamnya, senyum kecil mencuri ruang di bibirnya. Ia menunduk, lalu mengangguk pelan—nyaris tak kelihatan. Tapi cukup untuk menghantam jantung Bagas.
Wajah Laras memerah, sementara Bagas masih diam tak bergerak, takut kalau ia bicara sekarang… segalanya akan menghilang seperti mimpi.
Sampai akhirnya Laras mendongak perlahan.
Matanya menatap Bagas… lalu tersenyum. Bukan senyum lebar, bukan tawa ceria. Hanya satu lengkung kecil, sederhana… tapi cukup untuk meruntuhkan segala pertahanan dalam hati laki-laki itu.
Kepercayaan yang selama ini didambakannya… akhirnya diberikan—diam-diam, tenang… padanya.
PLAAKK—
“Bagas!!”
Laras nyaris melonjak dari duduknya ketika melihat Bagas menampar pipinya sendiri. Kencang. Pipinya seketika memerah.
“Gas! Kamu kenapa sih?!”
Bagas mendadak panik, matanya melebar, napasnya memburu, “Aku… aku halu, ya? Ras… ini ngigau, kan? Kamu beneran bilang kamu percaya sama aku? Beneran kamu mau pacaran sama aku?”
Laras buru-buru menempelkan botol air dingin ke pipinya. “Ihhh… kamu tuh kenapa sih? Sakit nggak? Gila, ya?!”
Bagas tak menggubris. Tangannya justru meraih tangan Laras yang masih memegang botol, menggenggamnya erat—erat sekali—seolah meyakinkan diri bahwa ini bukan sekadar khayalan. Seolah jika ia melepasnya, Laras akan menghilang… dan ia akan terbangun dari mimpi yang terlalu manis untuk jadi nyata.
“Ras… jadi sekarang… aku… aku pacar kamu?”
“Aku… beneran… pacar kamu?” suaranya tercekat. “Beneran?”
Laras mengerjapkan mata, pipinya merona, tapi ia mencoba menjawabnya seiring mengangguk pelan. “Iya… kamu pacar aku.”
Seolah kesempatannya untuk bernapas dibuang, Bagas tertawa kecil dengan suara tercekat, tangannya langsung menutupi wajahnya sendiri. “Ya Allah… Ras, aku kira aku nggak bakal pernah denger itu… sumpah…”
Ia menunduk, suara seraknya mengoyak keheningan. “Aku kira… kamu bakal selamanya lihat aku sebagai orang yang nggak cukup baik buat kamu…”
Laras tak menjawab. Ia hanya menatapnya lama—lembut, tenang. Lalu pelan-pelan menggeser duduknya, meraih telapak tangan Bagas yang menutupi wajahnya, lalu menggenggamnya.
“Maaf, ya…” bisiknya pelan.
Bagas menoleh. Matanya basah. Laras mengulurkan tangan yang satunya, mencubit pipi Bagas pelan—penuh kasih—lalu mengusapnya dengan ibu jari.
“Maaf, Bagas…” suaranya nyaris seperti doa. “Aku udah bikin kamu nunggu lama…”
“Dan… maaf juga, karena aku butuh waktu. Aku cuma perempuan biasa, Gas… yang mau yakin, yang mau tahu kamu sungguh-sungguh. Aku cuma mau dijaga sama lelaki yang beneran baik… yang nggak setengah-setengah.”
Bagas menggigit bibirnya. Tak ada kata yang keluar, tapi jemarinya menggenggam tangan Laras makin erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.
“Aku sayang kamu, Ras…” ucapnya akhirnya, nyaris tak terdengar. “Aku cinta kamu. Aku tahu kamu mungkin pikir aku main-main, atau cuma numpang lewat. Tapi nggak… aku nggak pernah mau main-main sama kamu. Kehadiran kamu tuh bawa banyak hal-hal positif ke kehidupan aku, itu yang buat aku sayang sama kamu.”
Laras mengangguk kecil. Senyumnya muncul perlahan—manis sekali, sederhana tapi membuat dada Bagas serasa meledak. “Makasih, ya? Aku juga suka kamu, Gas… Aku sayang sama kamu.”
Bagas menunduk dalam, menggenggam jemari Laras dan mencium tangan itu seperti sesuatu yang sangat berharga. “Ya Allah… makasih… makasih banyak… udah percaya sama aku, Ras… udah milih aku.”
Bagas masih menunduk, menggenggam tangan Laras seolah itu satu-satunya hal nyata yang ia punya. Bibirnya terus bergetar, seperti ingin bicara lagi tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Matanya mengembun, namun senyumnya tak perlahan mengembang. “Ini beneran, ya, Ras? Beneran? Bukan mimpi, kan? Kamu… kamu pacar aku sekarang?”
Laras tersenyum lembut, “Iya, Gas… iyaaa… aku pacar kamu.”
Bagas masih menatapnya tak percaya. Bahkan nafasnya terasa sesak karena terlalu penuh oleh rasa syukur. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu mengusap rambutnya sendiri, seperti orang habis selamat dari tenggelam.
Tiba-tiba ia berdiri. Refleks. Tegap.
Laras terkejut. “Eh? Kenapa?”
Bagas menoleh cepat, wajahnya serius tapi matanya basah. “Ras… aku harus lari. Sekarang.”
“Hah? Lari? Lari ke mana?”
“Ke Wanagama,” jawabnya tanpa ragu. “Aku… aku nazar. Kalau kamu mau jadi pacar aku, aku janji mau lari lima puluh puteran muterin Wanagama.”
Laras terdiam.
Lalu mengedip pelan.
Lalu—“APA?!”
Bagas mengangguk penuh tekad, namun tak menyembunyikan gemetar di suaranya. “Aku serius. Lima puluh. Setiap habis sholat, aku bilang ke Allah, ‘Kalau Laras diizinin jadi pacar aku, aku bakal lari. Aku lari sampe napas aku putus juga nggak apa-apa, Ya Allah… asal dia jadi milik saya.’”
“ASTAGHFIRULLAH!!” Laras hampir menjatuhkan botol air yang tadi ia pegang. “Gas! Wanagama tuh jauh bangettt… luasnya juga nggak kira-kira! Itu bukan lapangan futsal, itu hutan!”
Bagas malah terlihat makin panik. “Aku tahu, Ras… tapi aku harus nepatin. Kalau nggak, nanti Allah tarik kamu dari hidup aku gimana?”
Laras langsung menarik Bagas untuk kembali duduk, namun tubuh itu terlalu besar, bukannya Bagas yang duduk, malah Laras yang jadi berdiri. “Aduh… kamu gila?! Bagas, dengerin aku baik-baik. Itu… itu mah bukan nazar, itu namanya kamu numbalin diri!”
Bagas menggigit bibir, nyaris malu, tapi tetap berdiri di tempatnya. “Tapi itu janji yang selalu aku ucapin pas sujud, Ras… Kalau kamu jadi milik aku, aku bakal lari. Nggak pakai tawar.”
Laras hampir tak percaya. Ia mendengus panjang, lalu menaruh botol air yang tadi nyaris jatuh dari tangannya ke bangku. “Lari ke surga maksud kamu?! Mau disalatin warga rame-rame karena nekat muterin hutan lima puluh kali?!”
Nada suaranya setengah panik, setengah kesal, tapi sorot matanya… lebih pada rasa sayang yang tak bisa lagi ia redam. Lelaki ini memang gila, tapi gila dalam kadar yang membuat hati ingin memeluknya.
Bagas tidak menjawab. Ia hanya berdiri di hadapannya—matanya meredup tapi keras kepala. Laras memandangi lelaki itu, lama. Nafasnya masih naik turun setelah kejutan tadi, namun wajahnya mulai melembut.
“Kamu tuh…” Ia menggeleng kecil, lalu tertawa pendek, “Hahaha… lucu banget. Orang tuh kalau mau buat nazar, jangan main-main… harus sesuai kemampuan. Kamu lupa kamu gampang engap? Nggak boleh terlalu cape?”
Bagas menunduk dengan ujung bibirnya yang menurun, sekilas bak anak kecil yang habis dimarahi tapi tetap ingin membela diri. “Ya… aku pikir buat kamu… apa aja aku mau lakuin.”
Laras tak tahan. Ia mengulum tawa sambil menunduk, menyembunyikan senyum di balik tangan. “Ya udah… Besok pagi aku temenin lari. Tapi satu puteran aja dulu, di sekitar kampus. Kita tes. Kalau napas kamu udah mau habis dan nyawa kamu mau keluar, kita langsung pulang. Ganti aja sama puasa, aku temenin puasanya. Yang ini juga nggak pakai nawar.”
“Yah, Ras… nanti jadi beda dong…”
“Allah juga paham keadaan hamba-Nya,” jawab Laras bijak, menatapnya dengan mata lembut yang tak pernah sanggup marah lama-lama. “Allah juga paham kalau salah satu ciptaan-Nya ini suka muluk-muluk…”
“Aku, ya?”
“Siapa lagi emangnya?”
Bagas terdiam sejenak, lalu senyumnya merekah perlahan. “Oke, deh…”
Ia maju selangkah. Tangannya menyambar tangan Laras, lalu menggenggam keduanya erat-erat. Tangannya hangat, besar, dan penuh semangat kekanakan. Ia mengayun-ayunkan tangan Laras perlahan, seperti bocah yang baru saja dibelikan mainan baru.
“Jadi… besok kita kencan pertamanya sambil lari pagi?”
Laras mengangkat alis. “Hah?”
Bagas tak menjawab, hanya memandang gadisnya dengan wajah senang. Senyumnya… seperti senyum remaja yang baru pertama kali dicintai balik oleh gadis pujaannya.
“Iya, besok pagi kita lari, kan?” tanyanya lagi, kini mengayunkan tangan Laras lebih kencang. Pipinya memerah.
Laras mengerutkan dahinya, lalu tertawa geli. “Iyaa! Demi menuhin nazar aneh kamu itu, aku jadi harus ikutan lari sampai harus puasa, tahu! Mana tega aku kamu lari sebanyak itu demi aku…”
“Kamu khawatir, Ras? Pacar aku yang cantik ini khawatir?” Bagas mendekatkan wajahnya ke Laras—mata mereka nyaris sejajar. Tatapannya nakal, tapi penuh cinta. Bukan cinta yang bergemuruh, tapi yang menenangkan.
“Apa, sih? Hahaha…” Laras mencubit lengan Bagas pelan. “Iya… aku khawatir! Makanya jangan gampangin janji. Kalau dirusak, kamu yang kena akibatnya.”
“Aduh, diomelin lagi… Tapi nggak apa-apa. Selama yang ngomelin pacar sendiri.” Bagas mengangkat dagunya bangga. “Ternyata setelah jadi pacar aku, kamu jadi lebih manis banget, ya, Ras?”
Bagas menunduk, bibirnya hampir sejajar dengan dahi Laras. Helaan napasnya hangat, matanya teduh.
“Kok kamu manis banget sih…”
“Hah? Udah, stop nggak?” Laras menahan senyum sambil menoleh ke arah samping, berharap tak ada yang melihat mereka di pelataran kecil itu. Malam makin larut, dan angin dingin mulai menggigit kulit.
“Kok pacar aku manis banget, ya Allah…”
Laras tak kuasa lagi. Ia menarik kedua tangannya, lalu mulai berjalan sambil menyeret Bagas. “Udah, ayo pulang. Kalau begini terus, bisa-bisa sebentar lagi kamu bilang aku gula.”
“Gula premium.” jawab Bagas cepat, dengan senyum lebar dan hati ringan.
Si paling suka manis, kini mendapatkan perempuan termanis yang pernah ia temui seumur hidupnya.
“Udah, ah… ayo pulang~”
Laras melepaskan genggaman tangan Bagas secara perlahan, tanpa meninggalkan senyuman manis di bibirnya, mempercantik wajahnya dengan lesung pipinya yang dalam.
Sementara itu, Bagas masih berdiri di tempatnya, tak segera menyusul. Pandangannya tertuju pada Laras yang kini berjalan di depan—punggung mungilnya, rambut keriting yang bergoyang pelan tertiup angin, semua itu terasa bagai potongan mimpi yang belum sepenuhnya ia percaya nyata.
Ia menarik napas panjang. Hatinya penuh oleh rasa syukur yang nyaris tak bisa ia ungkapkan dengan kata.
Laras… gadis yang selama ini hanya bisa ia perhatikan dari kejauhan, kini telah menjadi miliknya. Bukan dalam lamunan, bukan dalam doa, tapi sungguh-sungguh di dunia yang nyata.
Masih setengah tak percaya, Bagas tersenyum. Ragu-ragu ia mulai melangkah, lalu berlari kecil menyusul Laras. Tepat di sisi gadis itu, ia memperlambat langkah dan tanpa berkata apa-apa, meraih tangan Laras untuk kedua kalinya. Dipegangnya dengan lembut namun mantap, seolah ia tak ingin melepaskan lagi.
Laras tersentak kecil, menoleh dengan ekspresi terkejut yang tak bisa ia sembunyikan. “Eh…”
Tapi Bagas tetap menggenggamnya, kali ini dengan penuh kesadaran dan niat yang jelas. “Mulai sekarang,” ucapnya mantap, “aku akan ada di samping kamu setiap kamu melangkah, Ras.”
Laras masih memandangnya, matanya tampak bingung namun tidak menolak.
“Aku akan terus genggam tangan kamu kayak gini. Melangkah di samping kamu… ke mana pun kamu pergi. Aku nggak mau lagi sekadar ngikutin kamu dari belakang. Aku mau berjalan sama kamu, Ras.”
Beberapa saat tak ada yang berkata apa-apa. Hanya sunyi yang terasa menghangat, seakan kata-kata tadi menggema di antara mereka. Laras menunduk sebentar, kemudian tersenyum pelan. Tak menjawab dengan ucapan, namun genggamannya membalas—tidak seerat Bagas, tetapi cukup untuk membuat hati Bagas terasa penuh.
Mereka mulai berjalan beriringan. Langkah Bagas kini menyesuaikan. Bila Laras memperlambat, ia ikut melambat. Bila Laras berhenti, ia pun akan berhenti. Tak ada percakapan yang berarti sepanjang perjalanan sampai Bagas berhasil mengantarkan Laras pulang dengan selamat, namun senyum yang tak pernah benar-benar hilang dari wajah keduanya, cukup menjelaskan segalanya.
Bagi Bagas, malam itu adalah titik awal dari segalanya. Perempuan yang selama ini hanya bisa ia dambakan dalam diam, akhirnya benar-benar ada di sisinya. Bukan lagi sosok yang ia pandangi dari kejauhan, bukan pula sekadar harapan yang ia bisikkan dalam doa—melainkan nyata, hadir, dan menggenggam tangannya. Di sini. Bersama dia. Di sisinya.
Hari-hari setelah mereka resmi bersama, seolah dipenuhi sinar lembut yang tak pernah padam. Tak ada satu hari pun Bagas luput dari perhatian Laras, pun sebaliknya. Mereka saling menjadi rumah bagi satu sama lain—tak hanya dalam kata-kata, tapi dalam tindakan-tindakan kecil yang berulang dan penuh kesungguhan.
Laras, yang biasanya dikenal sebagai sosok tenang dan tak mudah menunjukkan rasa, justru menjadi pengingat setia bagi Bagas: mulai dari membalas pesan orang tua, menelpon setiap akhir pekan, ujian yang akan tiba, tugas-tugasnya yang terabaikan, hingga sekadar mengingatkan agar tidak melewatkan makan. Perhatian yang tak riuh, tapi selalu tepat waktu. Laras tidak banyak menuntut—ia cukup hadir, dan kehadirannya mengubah banyak hal.
Bagas, sebaliknya, adalah sosok yang selalu hadir untuk Laras—di hari-hari penuh tawa maupun ketika senyumnya meredup. Ia menjadi satu-satunya manusia yang tak pernah bisa diam saat Laras sakit atau sekadar kelelahan, terlebih menjelang masa menstruasi—saat anemia dan nyeri hebat memaksa Laras untuk beristirahat total.
Bagas akan datang lebih awal, membawa makanan hangat, suplemen, serta obat pereda nyeri. Bukan lagi sekadar tamu yang hanya menunggu di gerbang kos, kini ia telah menjadi seseorang yang diizinkan masuk oleh pemilik kos—dengan sambutan ramah dan tatapan penuh pengertian. Semua tahu, Bagas tak datang hanya untuk menjenguk. Ia datang untuk menjaga.
Di sisi lain, hubungan Bagas dengan orang tuanya sempat renggang sejak ia merantau, menjadi lebih baik berkat Laras. Ada luka masa kecil yang sempat terabaikan, dan jarak yang makin melebar karena ego masing-masing. Namun Laras, bahkan sebelum mereka bersama, selalu mengingatkan: “Apa pun keadaannya, tetap harus kasih mereka kabar.” Laras tidak pernah memaksa, hanya mengarahkan. Dan perlahan, dengan pesan-pesan sederhana dari Laras, hati Bagas melunak. Ia mulai merespons. Mulai menelpon. Mulai mendengar.
Sampai akhirnya, Bagas memberanikan diri memberi kabar bahagia itu, bahwa gadis yang dulu mereka temui di rumah sakit, ketika mereka mengetahui Bagas dirawat dan datang dengan panik, kini telah menjadi kekasihnya. Orang tuanya terdiam sesaat, lalu tertawa lega. Ada haru dalam suara mereka. Setidaknya, ketika mereka tak mampu hadir di sisi anak mereka, ada seseorang yang menjaga dengan sepenuh hati.
Hari itu adalah awal tahun baru, namun tak ada pesta kembang api, tak ada tawa atau suara petasan menyambut pergantian hari. Yang ada hanyalah kabar mendadak dari seorang perempuan yang menghubungi mereka melalui telepon anaknya, mengatakan bahwa Bagas mengalami sesak napas hebat dan harus dirawat akibat bronkitis akut.
Kabar itu sampai ke telinga orang tuanya di Jakarta menjelang pagi, melalui suara lirih Laras yang memberanikan diri menelepon. Sebelumnya, Bagas bersikeras melarang Laras untuk menghubungi mereka—entah karena gengsi, atau karena luka-luka lama yang belum sembuh sepenuhnya, namun Laras bukan gadis yang mudah luluh pada permohonan yang menurutnya tak masuk akal. Ia tahu, ada hal-hal yang tak bisa disembunyikan, dan orang tua berhak tahu ketika anak mereka terbaring sakit.
“Kalau kamu nggak mau bilang, aku yang akan bilang,” ucap Laras waktu itu dengan nada tenang, namun tak bisa dibantah.
Tanpa pikir panjang, kedua orang tuanya memesan tiket penerbangan pertama ke Yogyakarta. Tak ada waktu untuk menyalahkan atau menunda. Kekesalan, kesalahpahaman, maupun jarak yang sempat membentang karena anak mereka yang keras kepala, menjadi kabur saat menyadari anak mereka terbaring lemah. Seburuk apa pun hubungan belakangan ini, Bagas tetap anak mereka. Dan cinta seorang ibu dan ayah, bagaimana pun retaknya, tak pernah benar-benar padam.
Pesawat mereka mendarat pagi menjelang siang. Bergegas dari bandara ke rumah sakit, langkah mereka penuh cemas dan debar. Namun yang mereka temukan di ruang rawat inap bukan hanya Bagas yang tertidur dengan alat bantu pernapasan, tapi seorang gadis muda duduk di sisi ranjangnya—tertunduk dalam lelap, kepalanya bersandar di sisi ranjang Bagas.
Ia mengenakan ruffle dress selutut bermotif mawar merah muda, dipadukan dengan cardigan senada yang jatuh manis di bahunya. Rambut hitamnya digerai begitu saja, sedikit kusut namun tetap indah, seperti belum sempat disisir. Wajahnya terlihat begitu manis, namun ada kelembutan yang sulit disangkal—seakan-akan ia telah berjaga semalaman.
Pewarna bibirnya nyaris pudar dan garis wajahnya terlihat lelah, menandakan waktu yang telah lama ia habiskan di ruangan itu. Dan ketika mereka melihat nampan sarapan Bagas sudah kosong, gelas air sudah setengah penuh, uap obat yang masih dihirup sang anak, barulah mereka menyadari—gadis itu tidak datang pagi ini. Ia menemani Bagas semalaman.
Saat itulah, untuk pertama kalinya, mereka bertemu Laras Ayu Prameswari.
Sang ibu—Astrid Maharani—hanya mampu menahan senyum melihat pemandangan itu. Ia menoleh pada suaminya, Arsana Mahendra, yang sedari tadi berdiri dengan kedua tangan di saku, menatap ke dalam ruangan dengan mata menyipit penuh geli. Didikannya kepada Bagas memang keras, namun sosok Bagas yang kekanakan akan selalu dirindukannya.
Dalam diamnya, ada rasa yang sulit diurai. Pak Arsana bukan ayah yang gemar memeluk, bukan pula yang ringan berkata sayang. Ia lahir dari keluarga yang menomorsatukan martabat dan prestasi, dibesarkan dalam silsilah para dokter yang meyakini bahwa kelembutan hanya akan melemahkan pijakan. Maka ketika Bagas kecil menunjukkan minat pada hal-hal yang remeh—mengoleksi kamera untuk memotret pemandangan indah atau kegiatan yang menyenangkan, bermain gitar sesuai yang diajarkan di ekskul sekolahnya, atau menggambar hingga malam—Pak Arsana mengarahkan, mengatur, menekan, hingga anak itu tumbuh dengan peta masa depan yang telah digariskan untuk menjadi dokter, seperti ayahnya, seperti ibunya, seperti semua anggota keluarganya yang menyandang nama Mahendra.
Ia bangga saat Bagas akhirnya masuk kedokteran. Tapi entah sejak kapan, kebanggaan itu terasa hampa. Hubungan mereka memburuk pelan-pelan. Dan kini, melihat putranya terbaring, dijaga seorang gadis yang jelas memedulikan Bagas lebih dari siapa pun, Pak Arsana merasa ada sesuatu yang menyesak dalam dada.
Ia tahu… ia tak akan selalu ada di sisi Bagas.
“Masih kecil udah pinter cari cewek, ya…” gumamnya pelan, setengah berseloroh, menatap gadis itu dari balik kaca. “Pacarnya Bagas, bukan, Ma?”
Bu Astrid menyahut dengan senyum samar. “Mungkin.”
“Ah, mana mungkin… itu anak diem-diem aja dari dulu. Gimana bisa punya pacar?”
Bu Astrid tertawa kecil. “Kamu lupa emangnya? Mantannya aja ada tiga waktu SMA. Semua datang curhat ke Mama waktu ambil rapor.”
Pak Arsana terdiam, lalu menghela napas pelan. Pandangannya kembali jatuh pada Bagas, yang masih tertidur—terlihat lebih muda, lebih tenang. “Kalau dari dulu ada yang jaga dia gini… mungkin dia nggak akan ngerasa sendiri.” ucapnya, nyaris tak terdengar. “Udah, yuk. Kita ke bawah, cari makan dulu. Nanti balik lagi ke sini.”
Bu Astrid menggandeng lengannya. Mereka pun melangkah pergi, membawa kerinduan yang tak pernah sempat terucap—dan harapan baru bahwa, mungkin, kini Bagas telah menemukan seseorang yang akan mengisi ruang-ruang sunyi yang dulu mereka biarkan kosong.
:::::
Tahun 2012. Tahun keempat mereka sebagai mahasiswa—Bagas di Fakultas Kedokteran, Laras di Fakultas Kedokteran Hewan. Jarak kampus mereka tak bisa dibilang dekat, dan waktu seolah selalu habis ditelan laporan, jurnal, dan persiapan koas yang semakin dekat di ujung mata.
Namun anehnya, cinta mereka justru tak pernah merasa kekurangan.
Di sela-sela praktikum dan kelas sore, Bagas masih menyempatkan menghampiri Laras, membawa sebungkus nasi dengan lauk yang ia tahu disukai gadis itu—entah ayam kecap dari warung favorit Laras, atau sekadar nasi uduk yang dibungkus buru-buru dari kantin fakultasnya. Laras, meski tak selalu bisa membalas dengan cara yang sama, menyambutnya dengan tawa lelah yang tulus, dan pengingat kecil yang tak pernah gagal seperti memperhatikan dirinya sendiri, ada vitamin yang belum diminum, botol minum yang harus diisi ulang, atau pulpen yang hilang entah ke mana.
Mereka tak selalu bisa bertemu setiap hari. Bahkan, pernah berminggu-minggu hanya saling sapa lewat pesan singkat atau suara lelah lewat telepon. Tapi tak sekalipun keduanya merasa jauh.
Laras tahu, ketika Bagas tak menjawab pesan, itu bukan karena ia abai—tapi karena ia sedang berkutat di ruang anatomi. Bagas tahu, saat Laras tak muncul di jam makan siang, tapi bukan karena lupa, melainkan karena ia sedang tenggelam dalam dunianya—dunia yang penuh suara embikan, rengekan kecil, dan aroma kandang yang bagas sendiri tak sanggup bertahan terlalu lama di sekitarnya. Tapi Laras? Gadis itu justru selalu tampak hidup di antara hewan-hewan itu.
Bagas sampai tak yakin, apakah Laras yang menyembuhkan mereka—atau justru hewan-hewan itulah yang menyembuhkan Laras.
Karena sejak menyukai perempuan itu, Bagas sesekali menyempatkan diri mencari Laras dan menelusuri Fakultas Kedokteran Hewan—ia akan menemukannya di belakang kandang sapi, menepuk-nepuk kepala binatang besar itu sambil berceloteh manis. Atau duduk bersimpuh di tanah, mengusap kelinci putih yang bergulung manja di pangkuannya. Di momen-momen seperti itu, Bagas sering diam-diam menggunakan kameranya—satu-satunya kamera yang ia diperbolehkan orang tuanya untuk ia bawa selama berkuliah. Ia membidik wajah Laras dari jauh—tak terganggu, tak dibuat-buat—wajah yang dipenuhi kasih sayang tulus untuk makhluk yang tak bisa bicara.
Fotografi bukan sekadar hobi bagi Bagas. Itu adalah jiwa lamanya—cita-cita yang terkubur oleh tuntutan keluarga. Ia ingin menjadi seniman, menangkap hidup dalam sebuah gambar dan menjadikannya seni yang tak terhingga nilainya. Tapi hidup berkata lain, dan ia hanya bisa mengambil jalur yang disediakan: menjadi dokter. Maka, foto-foto itu menjadi ruang rahasianya—sebuah galeri senyap di dalam hard disk tuanya, tersembunyi dalam folder bernama Prameswariku, 2010–2012. Semuanya tersimpan rapi, seperti lukisan yang digoreskan satu per satu oleh kuas yang tak pernah benar-benar selesai menulis warna.
Dan Laras membiarkannya. Ia tahu, kamera di genggamannya selalu menjadi satu-satunya cara Bagas menyentuh mimpi yang tak bisa ia genggam. Dan karena itu, Laras tak pernah memarahinya. Ia justru diam-diam berharap, bahwa kelak di sela-sela kesibukannya sebagai dokter, Bagas akan tetap punya ruang kecil untuk hal yang ia cintai, sekecil apa pun. Karena cinta sejati tak selalu soal menjadi, kadang cukup memberi tempat agar mimpi itu tetap hidup.
Dari yang awalnya hanya teman belajar—membuat catatan materi bersama-sama, saling mengingatkan jadwal ujian, hingga saling menyemangati saat di antara mereka sedang lembur praktikum—perlahan mereka menjadi dua jiwa yang saling menopang mimpi. Meski tak semua mimpi sampai ke garis akhir, setidaknya mereka tak pernah berhenti berjalan. Laras, dengan segala ketenangannya, menjadi jangkar bagi Bagas—tempat Bagas berpulang saat dunia terasa terlalu keras. Ia tidak hanya menemaninya bertumbuh, tapi juga memberikan cahaya dalam langkah Bagas yang semula berjalan tanpa arah.
Bersama Laras, Bagas seperti menemukan pacu hidupnya. Ia tak lagi menjalani kedokteran sebagai sekadar kewajiban dari keluarga, melainkan sebagai jalan untuk layak berdiri di samping perempuan yang ia cintai. Ada semangat baru yang tumbuh—untuk bangun lebih pagi, belajar lebih giat, dan hidup lebih baik. Karena bersamanya, Bagas merasa menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Meski di tahun keempat ini mereka tak lagi bisa bertemu setiap hari—bahkan terkadang hanya satu-dua jam dalam sepekan—kehadiran Laras dalam pesan-pesan yang diketik dengan hati atau suaranya yang lirih di ujung telepon, selalu terasa cukup. Bukan karena banyaknya waktu yang mereka punya, tapi karena Laras tahu caranya mengisi ruang hati Bagas yang paling sunyi—tanpa perlu hadir sepenuhnya, ia sudah menetap.
Dan di antara jarak dan lelah itu, Laras menyimpan satu rahasia kecil.
Setiap malam, sebelum tidur, di bawah lampu temaram di pojok kamar kos-nya, Laras merajut. Benang demi benang ia simpulkan dengan rapi, menyulam kehangatan menjadi selimut—bukan sekadar hadiah ulang tahun, tapi titipan cinta yang diam-diam ia rajutkan selama berminggu-minggu. Untuk menghangatkan malam-malam Bagas yang dingin, untuk meredakan lelahnya yang tak selalu bisa Laras sentuh. Ia ingin Bagas tahu, meski Laras tak selalu ada di sisinya, cintanya tetap menyelimuti—melekat dalam tiap simpul.
Hingga hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.
31 Oktober 2012—Kota Yogyakarta.
Hari ini adalah hari ulang tahun Bagas—yang sudah mereka rencanakan untuk rayakan berdua, setelah dua minggu tak bersua. Tak ada permintaan yang muluk-muluk. Bagas hanya ingin satu hal, yaitu menghabiskan sehari penuh bersama Laras. Hari Rabu yang cerah, yang syukurnya tak lagi sesibuk hari-hari sebelumnya. Beban kuliah mulai berkurang, waktu luang pun pelan-pelan mereka rengkuh kembali.
Pagi ini, kamarnya porak-poranda. Lemari terbuka, pakaian berhamburan ke mana-mana. Bagas, dalam kegugupan yang manis, ingin tampil keren dan hebat—tapi setelah beberapa kali ganti baju, ia justru kembali pada gayanya yang paling ia sukai. Celana jeans kesayangannya, hoodie abu-abu lembut yang sudah mulai berbulu, dan jaket varsity biru tua—yang Bagas beli bersama Laras di sebuah distro kecil, tempat favoritnya memilihkan baju. Sederhana, tapi penuh kenangan. Dan Bagas tahu, Laras akan tetap memandangnya dengan hangat dan tulus.
Hari ini, ia memilih untuk tidak membawa mobil. Ia ingin merasakan semua hal yang sederhana—berjalan kaki di sisi Laras, naik kendaraan umum, menertawakan hal-hal remeh, mampir ke tempat-tempat yang serimg mereka singgahi, dan berakhir ke mana pun kaki mereka mau membawa.
Kakinya telah membawanya ke depan gedung fakultas kedokteran hewan, dadanya berdebar seperti anak muda yang baru pertama kali jatuh cinta—padahal sudah tujuh bulan mereka lewati bersama sebagai sepasang kekasih. Ia menatap jam tangan sepasang dengan Laras di pergelangan tangannya, memandangi kampus yang mulai sepi setelah jam-jam sibuk pagi, dan tepat saat angin sepoi menerpa wajahnya, sebuah suara memanggil namanya dari kejauhan.
“Bagas!”
Ia menoleh—dan waktu seolah melambat.
Seseorang berlari kecil ke arahnya. Rambut yang digerai bergerak mengikuti langkahnya, cardigan kuning lembut melambai ditiup angin, dengan pita-pita kecil senada menjuntai manis di sepanjang lengan dan pinggirannya—cardigan yang pernah Bagas hadiahkan, namun dulu sempat ditolak dengan alasan, “aku nggak enak nerima hadiah semahal ini.”
Dipadukan dengan rok jeans selutut dan sepatu kets putih yang masih tampak baru—sepatu yang belum pernah Bagas lihat sebelumnya—Laras tampak berbeda pagi itu. Riasannya tipis, hanya sentuhan ringan di wajahnya, tapi cukup untuk membuat mata Bagas terkunci.
Laras… tampak seperti matahari yang menjelma jadi manusia.
“Udah nunggu lama, ya? Maaf, ya… Aku sama temen-temen dipanggil Bu Hasnah, jadi telat. Harusnya kita bisa jalan dari pagi,” ucap Laras sambil merapikan rambutnya.
Bagas tak langsung menjawab. Tatapannya masih terhenti di wajah Laras. Seolah dunia di sekeliling tak lagi penting.
“Bagas! Kok malah bengong?”
“Nggak… aku cuma…” Bagas menelan ludah, lalu tersenyum kecil. “Aku kangen aja. Kamu cantik banget hari ini…”
“Ihh, apa sih!” Laras tertawa sambil memukul pelan lengan Bagas. “Kan hari ini ulang tahun pacarku. Masa aku jelek?”
Bagas ikut tertawa, meski senyumnya lebih malu dari biasanya. “Pacar kamu… aku, kan?”
“Iya lah! Siapa lagi emangnya?”
Pertanyaan itu membuat hati Bagas menghangat. Ia suka sekali mendengarnya. Suka sekali jadi milik Laras.
“Kamu cantik banget hari ini,” ulangnya lagi. “Nggak, maksudnya… kamu selalu cantik sih. Tapi hari ini tuh… manis banget. Sampai pengen aku gigit.”
Laras nyengir, menunduk sambil menutupi pipinya yang mulai memerah. Tapi Bagas belum selesai.
“Serius, Ras… Aku tuh kayak lupa kata-kata. Kamu kayak…” Ia berhenti sebentar, menarik napas. “Ah, pokoknya manis banget. Manisnya tuh... bikin aku pengen diem aja dan liatin kamu seharian.”
“Udah ah, malu tau…” Laras menatap Bagas dengan mata hangat, lalu tersenyum tulus. “Selamat ulang tahun, ya.”
Senyum Bagas melebar, matanya berbinar. “Makasih, Ras.”
“Tapi… aku lupa bawa kadonya…” keluh Laras sambil sedikit cemberut. “Aku buru-buru tadi pagi, jadi kelupaan. Mau aku ambil dulu atau nanti aja?”
“Nggak usah.” Bagas menggeleng sambil mengayunkan tangannya, meraih tangan Laras perlahan. “Kehadiran kamu udah jadi hadiah paling berharga. Serius.”
Laras tertawa kecil, matanya menyipit manis. “Ya udah kalau gitu… ayo jalan?”
Bagas mengeratkan genggaman tangannya, menuntunnya agar tetap di sisi. Sudah dua minggu sejak terakhir mereka bertemu—waktu yang terasa lebih panjang dari seharusnya. Ia melirik Laras yang berjalan di sampingnya, lalu mengalihkan pandangan… atau lebih tepatnya, berusaha. Nyatanya, matanya selalu kembali, seolah tak puas-puas menatap wajah itu.
“Jadi, kita mau ke mana hari ini?” tanya Laras, sambil melangkah ringan.
“Kamu maunya ke mana?” jawab Bagas cepat, matanya tak lepas dari Laras.
“Mmm… makan dulu, gimana? Aku laper, tadi pagi cuma sempet makan roti. Kamu juga belum makan, kan?”
Bagas terkekeh pelan. Ia memang sudah makan, tapi kalau bersama Laras, perutnya seakan punya ruang ekstra. “Ayo, aku juga belum,” ujarnya setengah bohong, “Mau makan apa?”
“Pengen gudegnya Mbok Wira…” Laras tersenyum kecil. “Aku kangen makan telur bacemnya, boleh ya? Aku yang traktir!”
“Ayo, aku juga kangen. Pake sambel kreceknya yang banyak, boleh kan?”
“Hahaha, iya boleh~ tapi kalau mules-mules lagi, aku nggak tanggung jawab, ya?”
“Gampang, ada entrostop,” jawab Bagas berlagak sombong, membuat Laras tertawa.
“Ihh, gampangin banget!”
Langkah mereka berjalan seiring, tapi hati Bagas tertinggal di tatapan Laras. Ia sampai hampir tersandung batu dua kali, tapi tak peduli. Setiap kali Laras tertawa, dunianya terasa lebih baik.
Sesampainya di kedai Mbok Wira, di sana sedang tak ramai seperti biasanya. Mungkin karena hari sudah terlalu siang, atau mungkin karena orang-orang telah kembali ke kesibukan masing-masing, tapi justru membuat tempat itu terasa hangat bagi mereka berdua. Sepi dan tenang, seperti dunia menyisakan sudut kecil hanya untuk mereka.
Hanya mereka—dua pasang sepatu di bawah meja kayu tua, dua hati yang akhirnya diberi waktu untuk duduk lama dan saling menyimak. Sepiring nasi gudeg dengan lauk-pauk lengkap terhidang di antara mereka. Sambal krecek yang dulu tak pernah disentuh Bagas—karena ia tak tahan pedas—kini justru membuatnya ketagihan. Bukan karena rasa yang berubah, tapi karena hari ini, semuanya terasa lebih hangat. Namun, bukan makanan itu yang paling mengenyangkan hati Bagas, melainkan kehadiran Laras—yang duduk di depannya dengan wajah riang, dengan mata yang berbinar setiap kali bicara, dengan senyum yang terlalu indah untuk tak dipandangi terlalu lama.
Setelah mangkuknya kosong dan gelas tinggal setengah isi, Bagas mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menyandar ke meja, memainkan lensa kamera yang membidik Laras kala perempuan itu begitu menikmati makanannya sambil berceloteh tentang hari-hari yang dilaluinya tanpa Bagas. Lalu, seperti biasa, ia mengulurkan tangan dengan gerakan yang tak perlu penjelasan. Laras tahu, dan tersenyum kecil sebelum merogoh tasnya dan mengeluarkan satu bungkus kecil berisi permen jahe buatan tangannya sendiri.
Bagas membuka bungkusan aluminium yang membungkus permen itu, menyelipkannya ke mulut, lalu membiarkan rasa pedas hangat dari jahe menyeruak perlahan. Menyusul kemudian aroma sereh yang segar, lalu sentuhan asam dari perasan jeruk nipis yang samar, dan terakhir manis yang lembut dari madu serta gula yang dikaramelisasi pas—tidak berlebihan, tidak menumpuk di lidah, sekadar mengimbangi semua rasa yang kuat sebelumnya.
Ia menatap permen kecil itu sejenak sebelum kembali menatap Laras, yang kini duduk di seberangnya sambil menyeruput teh hangat. Hanya permen, mungkin begitu kata orang lain. Tapi bagi Bagas, benda kecil itu adalah upaya paling manis dan paling tulus yang pernah ia terima.
Permen itu adalah cara Laras menjaganya—diam-diam, tanpa paksaan. Cara Laras perlahan menghapus satu demi satu kebiasaan buruk yang pernah melekat padanya—rokok yang selalu menyelip di sela jarinya, dan makanan manis berlebihan yang selalu menjadi penghilang stresnya. Kini, hanya ada satu jenis manis yang diizinkan Laras, yaitu permen buatannya—yang tak dijual di mana pun, tak dibuat untuk siapa pun, kecuali dirinya.
Dan permen kecil itu, bagi Bagas, adalah tanda bahwa cintanya diterima, bahwa perjuangannya dihargai.
Bagas bersandar di jok mobil, matanya setengah terpejam saat Laras masuk dengan napas sedikit tersengal. Udara malam cukup dingin, dan Laras buru-buru merapatkan jaketnya sambil mengusap kedua telapak tangannya.
“Maaf, ya… kamu nunggu lama?” tanyanya, menatap Bagas dengan sedikit rasa bersalah.
“Lama banget... Aku udah hampir jadi patung di sini,” keluh Bagas dramatis, kepalanya menoleh ke arah Laras dengan memajukan bibirnya merajuk.
Laras mendengus, menyandarkan kepalanya ke jok. “Apa aku bilang tadi siang? Aku tuh bisa pulang sendiri, tahu? Kamu bandel banget… padahal bisa tidur aja kalau capek.”
Bagas mendengus pelan, tapi bukannya menjawab, tangannya malah merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebatang rokok. Ia baru saja akan menyelipkannya di bibir sebelum Laras menoleh dan langsung memanggilnya.
“Bagas.”
Bagas menoleh, dan tanpa sadar, Laras mengambil rokok itu, lalu tersenyum kecil seolah tidak terjadi apa-apa. “Praktikummu tadi gimana?” tanyanya santai.
Bagas menghela napas panjang, keras, seolah ingin membuang seluruh beban yang menumpuk di dadanya. Kepalanya kembali bersandar ke sandaran bangku, matanya memejam sebentar.
“Hari ini aku sial, Ras… hampir ada yang salah tadi,” gumamnya, suara beratnya terdengar lelah, “Gara-gara si Ilham, kepalaku hampir meledak seharian ini, sampe rasanya kayaknya udah mau nangis aja tadi.” Ia mengangkat tangannya, memperlihatkannya ke Laras dengan wajah memelas. “Lihat nih… tanganku udah keriting kayak kerupuk karena harus buat laporannya ulang. Kayaknya besok aku mau hibernasi deh. Tiga hari, minimal.”
Laras menahan tawa, mengangguk puas sebelum merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Kalau gitu… aku punya hadiah buat kamu.”
Ia menggenggam tangan Bagas dan meletakkan beberapa bungkus kecil berlapis aluminium ke telapak tangannya yang besar. “Aku bikin ini sendiri.”
Bagas menoleh santai, tapi matanya menyiratkan binar kecil. “Buat aku?”
“Enggak, buat tukang parkir di depan,” jawab Laras dengan wajah datar, lalu mendorong tangan Bagas agar segera mencicipinya. “Ya buat kamu, lah. Hadiah karena udah belajar sungguh-sungguh kemarin. Dan… daripada ngerokok atau makan permen yang gulanya tinggi banget, mending yang ini, kan?”
Bagas menatap bungkusan itu, lalu beralih menatap Laras. Pandangannya melembut, lalu ia terkekeh. “Serius? Kamu bisa bikin sesuatu sekarang?”
“Ihhh! Aku serius, tahu!” Laras mencibir. “Terinspirasi dari permen jahe yang kamu suka beli itu, tapi yang di abang-abang manisnya keterlaluan. Nah, ini aku buat versi lebih sehat—pakai jeruk nipis sama sereh. Aku udah coba sampe sepuluh kali gagal, yang ini paling enak!”
Tawa kecil keluar dari bibir Bagas. Wajahnya tampak lebih cerah dari sebelumnya. “Kalau aku tadi gagal, nggak dapet dong?”
Laras mengangkat bahu santai. “Ya… tetep aku kasih, biar nggak stres.”
Bagas mengangkat alis. Lalu tanpa banyak pikir, ia memasukkan satu permen ke mulutnya. Seketika dahinya mengernyit.
“Kok… asin banget?”
Laras menoleh cepat. “Hah? Asin?”
Bagas mengangguk, mengerutkan hidung. “Iya, padahal aku kira manis.”
Dengan sigap, Laras mengambil satu dari tangannya dan mencicipi. Wajahnya berubah bingung. “Tapi yang ini manis, kok?”
“Mungkin adonannya nggak rata, ya?” gumam Laras, mulai panik.
Bagas hanya memandangi wajahnya yang cemas itu dengan senyum geli. Lalu, tiba-tiba ia mendekat dan mengecup pipi Laras singkat.
Laras membelalak, tubuhnya membeku sejenak.
“Nah, sekarang baru kerasa manisnya.” ucap Bagas dengan nada puas.
Butuh beberapa detik sebelum Laras bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Saat akhirnya kesadarannya kembali, tangannya refleks memukul lengan Bagas.
“Bagas!!!”
Bagas tertawa terbahak-bahak, bahunya berguncang menahan tawa. “Ya… kan kalau gagal aja dapet hadiah, masa berhasil nggak dikasih yang lebih spesial?”
Laras mendecak kesal, tapi tak bisa menyembunyikan senyum yang menyelinap di sudut bibirnya. “Kurang ajar kamu…”
Nada bicaranya lembut, hampir manja, dan tawanya pecah, ringan, memenuhi ruang di antara mereka dengan kehangatan yang nyaris tak kasat mata.
Bagas hanya menatapnya, senyum masih menggantung di wajahnya. Matanya tak bergerak, seolah ingin menghafal setiap gelak tawa yang melantun manis ke telinganya, dan lekuk wajah Laras yang menggemaskan—seakan takut waktu akan mencuri semuanya darinya.
Dan dalam diam, dalam hati yang tak lagi bisa ia kendalikan, ia membisikkan, “Kalau manis punya wujudnya… pasti wujudnya kamu, Ras.”
Setelah makan siang yang sederhana, Bagas merangkul Laras dan membawanya melangkah keluar untuk pergi ke destinasi selanjutnya, yaitu pasar Beringharjo. Laras sempat mengusulkan naik angkot saja—alasannya hemat, lagipula jaraknya tak terlalu jauh. Tapi Bagas, dengan ekspresi khasnya yang kekanak-kanakan saat ingin sesuatu, bersikukuh ingin naik becak.
“Biar bisa duduk sebelahan, Ras… Kalau naik angkot, duduknya bisa kepisah nanti…” katanya sambil manyun, separuh bercanda, separuh sungguh-sungguh.
Laras meliriknya sambil geleng pelan, mencoba tampak kesal padahal senyum sudah mencuri sudut bibirnya. Ia tahu benar gaya Bagas yang seperti itu—kalau sudah mau sesuatu, semua logika bisa ditukar dengan rayuan dan tatapan manja yang susah ditolak.
“Ya udah, oke… becak aja.” ucap Laras akhirnya, menyerah seperti biasa.
“Ya iya, tenang aja… Hari ini kamu tinggal nurut, serahin semuanya sama aku!” jawab Bagas cepat, matanya berbinar, ekspresinya kembali ceria seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim rasa favoritnya.
Laras tertawa pelan. “Iya iya, tapi kalau kamu boros hari ini, kendalinya ada di aku, oke?”
“Oke, sayang! Sekarang kita cari becak yang enak buat kita berduaan!” serunya lantang, begitu semangat sampai-sampai suaranya terdengar jelas oleh para pengayuh becak yang sedang mangkal tak jauh dari mereka.
“Sama saya aja, mas!” salah satu dari mereka berseru sambil angkat tangan, disusul beberapa tawaran dari bapak-bapak lainnya.
Laras langsung menunduk sambil mencubit lengan Bagas pelan. “Bagas!! Malu ih…”
Bagas hanya terkekeh senang, merasa bangga bisa membuat gadisnya salah tingkah. Ia melangkah santai ke arah para pengayuh becak, mulai menawar dengan gaya khasnya—santai, sedikit menggoda, tapi tetap sopan. Laras berdiri di belakang, diam-diam mengamati. Bagas memang bukan orang yang ahli dalam banyak hal, tapi soal berbicara dengan orang, apalagi tawar-menawar, lelaki itu punya caranya sendiri yang entah kenapa selalu berhasil.
Akhirnya, salah satu becak dipilih. Mereka naik, duduk bersebelahan seperti keinginan Bagas sejak tadi. Ruangnya sempit, lutut mereka bersinggungan, bahu saling menyentuh tiap kali roda bergetar melewati jalanan tua. Tapi anehnya, tak satu pun dari mereka merasa sesak. Justru di antara sempitnya ruang dan guncangan kecil becak itu, keduanya menemukan kenyamanan yang tak bisa dijelaskan dengan kata.
Angin kota menyapu pipi mereka, sementara suara roda besi membelah riuh lalu lintas yang tak pernah benar-benar sepi, tapi bagi mereka, dunia seolah mengecil. Tak masalah jika perjalanan menjadi sedikit lebih lambat, setidaknya ada Laras di sisinya, duduk berdampingan, berbagi tawa kecil dengan obrolan ringan dengannya.
Bagas menoleh perlahan, menatap Laras yang tengah memejamkan mata sesaat karena angin. Tanpa berkata apa pun, ia menggenggam jemari kekasihnya yang terasa pas, seolah jemari itu memang diciptakan untuk bersarang di genggamannya. Si manis hanya menatap genggaman itu, tersenyum malu, lalu menyandarkan kepala di bahu Bagas yang kokoh—menyembunyikan wajahnya di sana, seolah tak ingin dunia tahu betapa damainya hatinya saat itu.
Malu-malu—begitulah Laras, dan begitulah ia mengekspresikan cintanya, bahkan setelah tujuh bulan menjadi milik lelaki dengan mulut penuh rayuan manja dan kekonyolan yang tak pernah habis. Tapi justru dari segala kebodohan kecil itulah, Laras bisa tertawa lepas lagi—bisa rehat, bisa bernapas.
Di tengah hidup yang penuh tanggung jawab dan beban moral yang sering tak ia bagi pada siapa-siapa, Bagas menjadi tempat ia kembali jadi dirinya sendiri—bukan calon dokter hewan yang harus selalu siap, bukan anak bungsu yang sejak lama terbiasa mandiri karena perhatian orang tuanya habis untuk sang kakak yang ringkih, bukan pula harapan siapa-siapa. Hanya Laras—yang ingin diam sebentar, dan merasa tenang.
Bagas tahu itu, dan ia tidak perlu bertanya lagi. Ia hanya memiringkan kepalanya, menyandarkannya pelan ke kepala Laras. Tak ada suara lain kecuali derit roda becak yang terus membawa mereka sampai ke tujuan, namun di antara dua kepala yang kini bersandar satu sama lain, mengalir bahasa yang tak bisa dijelaskan oleh lisan—bahasa kepercayaan, pengertian, dan rasa yang tumbuh karena waktu dan ketulusan.
Tanpa terasa, becak mereka pun berhenti di depan Pasar Beringharjo. Sebelum berkeliling, Laras menarik tangan Bagas memasuki kedai jamu tradisional yang sudah puluhan tahun berdiri di sana—terkenal dengan bahan berkualitas, meski masih setia dengan cara pengolahan tempo dulu.
“Bagas, kita ke sana dulu, ya? Aku mau minum jamu dulu.” ujar Laras, matanya menunjuk ke sebuah toko kecil yang terletak di sudut Pasar Beringharjo. Warung itu terlihat lawas sekali, namun terawat dan bersih. Bagas fokus pada botol-botol jamu yang tersusun rapi di rak kayu yang kokoh meski terlihat kusam, dan seorang ibu tua berjilbab duduk tenang di belakang meja, sementara tangannya cekatan meracik ramuan.
Bagas mendelik kecil. “Jamu?”
“Iya, jamu… kamu juga minum, ya.”
Bagas tersenyum nyengir, ekspresinya menggoda. “Aku mah kuat, Ras… Nggak usah jamu kuat juga udah kuat.”
Laras menepuk lengannya pelan, rona merah menjalar di pipinya—bukan semata malu, tapi kesal yang dibalut geli. “Jamu itu bukan cuma buat yang begituan, ya! Aku serius, Gas. Akhir-akhir ini badan rasanya gampang capek… terus Ibu nyuruh minum jamu.”
Dengan langkah ringan, Laras mendekat ke si ibu penjual jamu, suaranya halus dan sopan. “Permisi, Mbok… Saya mau beli beras kencurnya dua, ya.” pesannya sambil tersenyum ramah.
“Boleh, Neng ayu. Lagi cape, ya? Perutnya lagi nggak enak, atau ngerasa nggak enak badan? Mau pakai pahitan, nggak? Biar badannya langsung enak, capenya langsung hilang.” Suara penjual jamu itu tampak semangat tapi lembut, dilengkapi dengan logat Jawa kental dan penuh kehangatan khas orang tua.
Laras terdiam sejenak. Ia tahu betul arti “pahitan” di dunia per-jamuan—brotowali, sambiloto, dan masih banyak lagi. Pahitnya benar-benar bisa membuat lidah lumpuh sementara. Tapi justru ide iseng melintas di kepalanya, ia melirik Bagas, lalu menjawab mantap, “Boleh, Mbok.”
Bagas yang sedari tadi cuek, menyadari adanya lirikan yang tak biasa dari Laras. Mendadak ia langsung mengecek racikan yang sedang dibuat untuk dirinya dan Laras, matanya membulat ketika si penjual jamu menuangkan cairan berwarna hitam ke gelas mereka.
“Ras… itu… itu apaan, Ras?”
“Brotowali, kayaknya…”
“Hah?! Ras… nggak, ya, Ras. Kamu nyiksa aku boleh-boleh aja, tapi jangan pake pahitan juga, Ras…”
Laras langsung memasang raut wajah melas. Ia mendekat, mengalungkan lengannya di lengan Bagas bak anak kecil yang imut meminta untuk dibelikan balon.
“Aku mau coba, sekaliii aja~ bareng kamu. Kan spesial di hari ulang tahun kamu… Mau, ya? Aku nggak mau minum sendiri…”
Wajah Bagas mendadak lemas, seperti prajurit yang tahu ia akan kalah sebelum perang dimulai. “Ras… serius…”
Tatapan Laras tak goyah. Lembut, memohon, dan pipinya menggembung lucu seperti anak kecil yang merajuk manja. Manis sekali—cukup untuk meluluhkan logikanya.
Bagas menarik napas dalam. “Ya udah, boleh…” katanya akhirnya, menyerah sepenuh hati. “Tapi kamu tanggung jawab kalau nanti aku meninggal di sini karena jamu, ya.”
Tak lama kemudian, dua gelas kecil berisi cairan cokelat kehijauan diletakkan di hadapan mereka. Aroma getirnya sudah menyebar, membuat tenggorokan mereka kering sebelum minum.
Bagas menatap gelasnya seperti hendak meneguk takdir. “Ya Allah… ini pasti jebakan.” gumamnya dalam hati.
“Siap?” tanya Laras pelan, matanya berkaca, tapi bibirnya tersenyum menantang.
“Nggak, Ras… Nggak siap…” gumam Bagas lirih, tapi ia tetap mengangkat gelas.
GLEKK—
Sekali teguk.
Laras menutup mulut dengan tangan, wajahnya memerah menahan rasa pahit. Bagas, di sisi lain, refleks memelintir wajahnya seakan nyawanya sedang ditarik dari tubuhnya.
Alis Bagas terangkat tiga tingkat. INI APAAN, RAS—serunya dalam batin.
Mereka hampir menyembur bersamaan, tapi gengsi menahan mereka. Karena rasa pahit yang dasyat, Laras sampai meneteskan air mata. Sementara Bagas, wajahnya merah padam—antara ingin marah, ingin menangis, atau teriak sekencang-kencangnya. Bibirnya meringis, matanya berair, dan satu tangannya masih mencengkeram lengan Laras seolah minta diselamatkan dari siksaan dunia akhirat.
“Ya Allah!! Ini jamu atau racun tikus, Ras?!!”
Laras nyaris terpingkal sambil menahan pahitnya sendiri, “Ihh jangan gitu… hahaha, aduh, ini pahit banget!”
Untung saja, si penjual jamu tersebut hanya tersenyum ramah, tak mengerti sepatah pun Bahasa Indonesia yang keluar dari mulut Bagas yang terdengar tidak sopan. Ia menyodorkan dua gelas rebusan jahe merah dengan gula jawa sebagai penetral rasa.
“Minum ini, nak. Biar nggak nyangkut di tenggorokan.” Laras mengiyakan dan segera menerimanya, memberikannya kepada Bagas untuk segera meminum untuk menghilangkan pahitnya.
Namun mereka tak tahu bahwa rasa hangat dari jahe merah itu justru menimbulkan sensasi lain. Pedas yang menyiksa tenggorokan yang baru saja dijatuhi bom pahitnya brotowali.
Laras masih bisa menahan, dia sudah terbiasa kalau rasa jahe yang kuat. Tapi Bagas? Tidak.
“AKHHH—”
Jerit Bagas meluncur singkat. Gelasnya ia serahkan pada Laras dengan gerakan kilat, nyaris terpental dari rematan jari-jarinya. Tanpa pikir panjang, ia berbalik dan… kabur.
Ke mana? Ke sebuah gerobak gulali tua di seberang jalan, dikerubungi anak-anak kecil berseragam olahraga yang sedang antre membeli gulali berbentuk hati, bunga, dan bintang.
“Bang, yang udah jadi nggak ada?!” serunya, suaranya serak karena lidahnya masih getir.
“Wah… habis, Mas. Udah diborong. Sabar, ya… mau bentuk apa?”
“Apa aja deh, Bang. Bulet doang juga nggak apa-apa, asal manis!”
Sementara itu, Laras masih di tempat semula, menyerahkan kembali gelas-gelas kecil itu sambil menahan tawa dan menuntaskan pembayaran pada ibu penjual jamu yang tersenyum geli menyaksikan tingkahnya.
Dengan langkah ringan, ia menyusul Bagas. Dan benar saja, lelaki itu kini berjongkok di dekat gerobak, nyelip di antara anak-anak SD yang tengah tur, mukanya meringis tersiksa, lidahnya seolah mati rasa.
Laras tertawa kecil, lalu mengusap lembut rambut Bagas dari belakang. “Antre, ih…”
Bagas hanya mendengus, membiarkan Laras menyentuhnya, tapi tak menjawab. Lidahnya masih berkabung atas rasa pahitan dan jahe merah yang terlalu tajam itu.
Setelah empat anak kecil selesai dan pergi membawa gulali mereka, giliran Bagas tiba. Ia mendekat ke abang gulali, masih jongkok, dan tanpa malu berkata, “Yang bulet aja ya, Bang. Nggak usah bentuk-bentuk.”
Tak lama, sebatang gulali bundar diserahkan ke tangannya. Ia langsung menggigitnya seperti anak kecil kehausan kasih sayang.
Laras hanya menggeleng sambil tertawa, lalu memesan dua—satu berbentuk bunga mawar, satu lagi berbentuk ayam. Ia menyodorkan permen berbentuk ayam itu ke Bagas.
“Nih,” ucap Laras sambil menyodorkan gulali berbentuk ayam, senyum nakalnya terselip di balik gurau. “Aku kasih kamu kesempatan lewatin batas gula per hari kamu, tapi cuma hari ini, ya?”
Bagas menerima permen itu, masih mengulum gulali bulat pertamanya. Ia menatap Laras dengan mata memelas, ada getir yang belum sepenuhnya reda di lidahnya, tapi hatinya mulai hangat.
“Aku boleh nggak… nambah seumur hidup? Soalnya, ini pahitnya bakal melekat di kepala aku seumur hidup, loh.”
Laras menoleh, bibirnya tersenyum simpul. “Ngapain? Kan ada aku?” ucapnya lembut, rayuan sederhana yang mengalir begitu saja—tak disangka, tapi menyegarkan.
Bagas tertegun sejenak.
“Ngapain? Kan ada aku?”
“Ngapain? Kan ada aku?”
“Ngapain? Kan ada aku?”
“Ngapain? Kan ada aku?”
Tanpa berkata apa-apa, ia meraih lengan Laras dan memeluknya pelan, nyengir sambil terus mengunyah permennya. Ada manja yang tak dibuat-buat, semacam rasa nyaman yang muncul dari kebiasaan kecil yang terus diulang—dan Laras, seakan telah terbiasa, membiarkannya begitu saja.
Bagas mengangguk kecil, “Ya udah, kalau gitu,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk pasar, tapi Laras bisa menangkapnya. “Aku lewatin batas tiap hari juga nggak apa-apa… asal yang ngizinin kamu.”
Laras terkekeh kecil, sedikit melirik ke lelaki bertubuh jangkung itu. “Nanti kamu diabetes, Gas.”
Bagas menoleh ke arahnya, “Nggak apa-apa,” katanya santai, tapi dengan sorot yang tak main-main.
“Manisnya hidupku udah kamu yang ngatur.”
Dan entah kenapa, kata-kata itu membelai Laras lembut karena terlalu manis. Terlalu tulus. Terlalu seperti janji, meski tak disebut sebagai satu.
Tak terasa, mereka sudah cukup jauh berjalan menyusuri lorong-lorong kios, melewati penjual kain, pernak-pernik, hingga akhirnya sampai ke lantai atas pasar. Di sana, Laras langsung menuju toko benang langganannya—tempat kecil yang penuh warna, berderet rak kayu berisi gulungan-gulungan benang rajut dengan warna yang nyaris tak bisa dibedakan oleh mata Bagas. Namun, Bagas tetap setia berdiri di sampingnya, meski ia tak benar-benar tahu perbedaan dari kedua warna yang sedang Laras bandingkan. Ia hanya mengangguk dan sesekali melempar candaan kecil, tapi matanya tetap memperhatikan Laras dengan saksama—bagaimana ia memilih benang, meraba teksturnya, dan tersenyum kecil saat menemukan warna yang pas.
Setelah itu, gantian Laras yang menemani Bagas. Mereka menuju kios perlengkapan seragam. Bagas sedang mencari jas lab cadangan untuk masa koasnya nanti, dan sekalian mengambil satu jas lab baru yang sudah dipesan beberapa minggu sebelumnya—jahitan dari penjahit langganan Laras, yang ia rekomendasikan sendiri.
Bagas langsung tertarik setelah mendengarkan Laras bercerita bahwa jahitannya selalu rapi dan pas dengan tubuh mungilnya, karena jas lamanya memang sudah tampak lusuh—warnanya telah menguning, kerahnya mulai lemas, dan bagian lengannya ada beberapa bekas tinta yang tak bisa hilang. Ia minta jas barunya dibuat dengan model yang sama persis seperti yang diwajibkan kampus, tapi dengan bahan yang lebih nyaman, menyerap keringat dan terlihat lebih bagus di badannya.
“Yang lama buat di lab kayak gimana juga nggak masalah,” ucapnya waktu itu sambil nyengir. “Tapi yang baru ini… ya, buat foto-foto lah. Biar kelihatan keren dikit, kamu juga pasti bangga liatnya.”
Laras cuma tertawa kecil mendengar itu, tapi dalam hati... ia memang bangga.
Setelah membeli apa yang mereka perlukan, Bagas dan Laras bersiap menuju destinasi berikutnya—bioskop Empire XXI, tak jauh dari lokasi di mana mereka sekarang. Bagas berjalan di belakang Laras sambil menggenggam jemarinya, memastikan langkah si mungil itu tak menjauh terlalu jauh darinya. Namun, langkah Bagas terhenti di depan sebuah kios batik.
Matanya terpaku pada satu kemeja yang menggantung di sana, menarik perhatian dengan tenang, meskipun tak ada warna mencolok.
"Ras, bentar..." suara Bagas pelan tapi cukup untuk menghentikan langkah Laras.
Ia menoleh, alisnya naik sedikit, lalu mengikuti arah pandang Bagas. Sejurus kemudian, tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Laras ikut menatap ke selembar kemeja batik yang tampak mencuri perhatian.
“Lihat-lihat dulu, Mas,” ucap si penjual dengan nada ramah. “Batiknya baru-baru nih modelnya… apik-apik, bahannya katun adem.”
Bagas tak menggubris tawaran itu, namun pandangannya tetap terikat pada satu kemeja—berwarna dasar biru tua nyaris kehitaman, dihiasi motif parang geometris berwarna biru lebih muda dengan motif sogan cokelat di bagian bawahnya. Yang membuatnya terpikat adalah sepasang burung yang terlukis indah di bagian dada hingga ke perut.
Ia tak tahu pasti jenis burungnya—entah burung merak, entah burung phoenix, atau… ayam? entahlah. Tapi keduanya melebarkan sayap saling berhadapan, dengan bulu-bulu bersinar dalam gradasi emas dan perak. Mereka tampak seolah menatap satu sama lain, namun tetap menjaga jarak. Tidak bersentuhan, tidak sejajar—namun seakan-akan, dalam tatapan mata itu, mereka mengerti satu sama lain lebih dari siapa pun.
Diam-diam, Bagas merasa... itu mereka. Ia dan Laras.
Bagas melepaskan genggaman tangan Laras perlahan. Tangannya menyentuh kain itu, merasakannya di antara jemari. Laras hanya mengamatinya, meskipun ia sedikit bingung kenapa Bagas tiba-tiba tertarik pada motif batik itu, atau mungkin lukisan di sana begitu indah sampai lelaki itu tak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun?
“Gas… kamu suka?” tanya Laras, suaranya lembut. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke arah Bagas, matanya mengikuti gerakan pria itu.
Bagas tak langsung menjawab. Ia masih menatap motif itu, ada senyum kecil yang terbit di sudut bibirnya—bukan senyum lebar, tapi senyum yang penuh rasa. Ia tak menoleh, tapi suaranya terdengar tulus, nyaris seperti bisikan.
“Iya... cantik motifnya.”
Laras setuju, matanya mengikuti arah tatapan Bagas. Ia mendekat, jemarinya ikut menyentuh kain itu. “Burung meraknya nyala gitu…” gumamnya pelan, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri, “meskipun sekitarnya didominasi warna gelap.”
Ia terdiam sejenak, lalu sambung dengan lirih, “Kayak... kasih cahaya ke satu sama lain.”
Bagas menoleh, menatap wajah Laras yang kini sedang fokus pada motif di depannya. Ada binar dalam matanya, seperti menemukan refleksi dari perasaannya sendiri dalam sebuah kain.
“Kalau dipisah, mungkin burung itu nggak akan kelihatan secantik ini,” ucap Bagas dengan tenang, nyaris filosofis. “Tapi karena berdampingan... satu jadi sorot buat yang lain. Saling hidup, saling jadi terang.”
Ada jeda yang penuh makna sebelum ia bicara lagi, kali ini dengan suara sedikit lebih lantang, “Mas, ukuran XL ada?”
“Ada, Mas. Mau coba dulu?” Penjual itu cekatan menarik gantungan, “Untuk Mbaknya juga ada, kalau mau yang masih kainnya.”
“Kain?” tanya Bagas, kepala sedikit miring.
“Iya, bisa dijadikan dijahit untuk atasan gitu, atau kalau mau bisa dibuat rok untuk pasangan kebaya. Bisa dijahit di saya, atau bisa beli kainnya nanti dijahit di tempat yang lain.”
Laras segera menarik lengan Bagas sebelum berkata,“Nggak usah, Mas…”
Tapi sebelum penjual sempat berbalik, Bagas menyahut, nadanya lebih tegas kali ini, “Mau coba lihat deh, Mas.”
Laras menatapnya heran. “Loh? Mau buat apa?”
Tiba-tiba si penjual ikut menyahut, “Wah, ini pasangan buat lamaran, ya? Atau nikahan?”
Laras segera menggelengkan kepalanya, menahan senyum canggung. “Belum, Mas. Kita… masih kuliah.” Matanya sempat melirik Bagas yang kini justru tampak tenang.
“Buat wisuda bisa, kan, Mas?” sahut Bagas cepat-cepat. Ia melirik Laras dengan mata bercahaya, senyum merekah seakan baru saja dapat ide terbaiknya hari itu. “Masih agak lama sih... tapi, saya mau kembaran sama pacar saya ini.”
Penjual yang mendengar itu, hanya tertawa ringan. “Nah, bisa kok… banyak yang pacaran terus beli kain kembaran buat wisuda, motif ini cocok banget. Kalian jurusannya apa? Saya bisa saranin motif lain biar lebih berkesan.”
Bagas menjawab santai, tapi ada genggaman lembut di jemari Laras yang kembali ia rengkuh. “Saya kedokteran. Dia kedokteran hewan. Kita sebentar lagi koas.”
“Wah, Orang-orang pinter ternyata. Pantes bagus banget nih, pilihan motifnya…” ujar si Mas sambil membentangkan gulungan kain batik itu. “Lihat, di sini ada dua warna utama—biru langit dan coklat tanah. Masnya dari kesehatan manusia, luas dan dinamis. Mbaknya dari kesehatan hewan, dekat dengan alam, lebih membumi.”
Ia menunjuk ke bagian kedua burung yang indah. “Terus ini... dua burung phoenixnya. Mereka nggak saling mendekat, kepakan sayapnya terbentang lebar, tapi tatapan mereka tetap pada satu sama lain. Kayak saling kasih ruang untuk menjelajahi dunia masing-masing.”
Suaranya pelan, tidak melebih-lebihkan. Sederhana, tapi jujur. Seolah batik itu bukan sekadar kain—tapi cerita.
Si penjual hanya tersenyum tipis, lalu menambahkan sambil menggulung kembali kainnya, “Kadang sepasang kekasih atau suami istri pun punya jalan di dunia yang beda, pekerjaan mereka berbeda, kehidupan mereka pun berbeda… fokus ke urusannya sendiri-sendiri. Tapi kalau Tuhan sudah jodohkan, hatinya akan selalu nyambung... hatinya tetap saling tunggu, buat pulang ke tempat yang sama.”
Bagas dan Laras terdiam sejenak, keduanya kembali fokus pada kain batik yang masih terbentang. Bagas menarik napas pelan, lalu matanya menyusuri siluet burung phoenix itu—seolah memastikan sesuatu. Kemudian ia bersuara, nyaris tak terdengar, “Saya beli, Mas. Tiga meter cukup ya? Harganya berapa?”
“Karena kalian masih muda, mimpinya tinggi namun cinta kalian juga kuat, saya kasih diskon, deh,” ujar si Mas sambil tersenyum ramah. “Kalau tiga meter berarti 258 ribu bagaimana? Kalau kemeja tadi, itu 150 ribu. Nah, total jadi 408 ribu, tapi saya potong 375 ribu, oke?”
“Oke, Mas!” Bagas mengangguk cepat, nada suaranya antusias, senyum tipis muncul di wajahnya.
Laras spontan menoleh, alisnya naik tinggi. “Bagas… ngapain, sih? Aku nggak perlu-perlu banget, kok.”
Nada bicaranya setengah bingung, setengah tak percaya. Matanya sempat melebar sedikit, lalu berkedip cepat. Tangannya reflek menyentuh lengan tas yang tergantung di bahu, seolah mencari pegangan. Bibirnya menekan, membentuk garis lurus. Ia tidak marah, tapi jelas kaget—dan sedikit canggung.
Bagas melirik sekilas ke arahnya, lalu menjawab datar, “Nggak apa-apa. Mumpung nemu yang pas.”
Nada suaranya tenang, tapi gerakan tangannya yang buru-buru merogoh dompet. Ia harus segera menyelesaikan transaksi sebelum Laras sempat menolak lebih jauh.
Laras masih diam. Matanya mengikuti gerakan Bagas, tapi pikirannya sibuk sendiri, berusaha merangkai kalimat penolakan yang tidak menyakiti. Bibirnya sempat terbuka, namun tak jadi bersuara. Ia hanya menatap kain batik itu, lalu menunduk, menatap sepatu ketsnya sendiri, seolah jawaban bisa ditemukan di sana.
Tepat setelah Bagas menyerahkan uang, ia memutar tubuh ke arah Laras. Tanpa banyak isyarat, ia menggenggam tangan Laras—erat tapi lembut.
Laras terkejut, matanya langsung terangkat, menatap wajah Bagas. Bahunya menegang sejenak.
Bagas menyunggingkan senyum kecil, singkat, sekadar menghiasi bibir. Tapi sorot matanya tetap serius, hampir tak berkedip.
“Nanti, setelah selesai kuliah, aku balik ke Jakarta, kamu ke Wonosobo,” katanya perlahan. “Aku pasti bakal PPDS untuk spesialis jantungku, dan kamu akan sibuk sama jalani mimpi kamu nanti… kita bakal pisah dalam waktu yang lama, Ras.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan, kali ini lebih pelan, “Tapi… aku mau kamu selalu jadi tempat aku pulang, Ras.”
Tangannya masih menggenggam tangan Laras, dan saat ia bicara, ibu jarinya sempat mengusap halus punggung tangan gadis itu—gerakan kecil, tapi penuh arti.
Bagas terkekeh, pelan sekali. Bukan tawa yang ringan, tapi lebih seperti penanda bahwa ia sedang mencoba meredakan getar dalam dadanya sendiri.
“Nyambung sama penjelasan masnya tadi, kan?” tambahnya, nyaris seperti pembenaran.
Laras terdiam. Tatapannya jatuh ke lipatan kain, lalu kembali ke mata Bagas. Bibirnya terbuka sedikit, ragu-ragu. Ada angin kecil di dalam dadanya—antara ingin menolak atau... membiarkan dirinya larut.
“Tapi…” suaranya nyaris pecah. Ia mengedip cepat, mencoba menahan sesuatu yang menggenang. “Kamu kepengen banget kita kembaran? Apa nggak terlalu dini?”
Bagas mengangkat bahu, ringan. “Nggak apa-apa. Mumpung nemu yang pas.”
Laras akhirnya hanya bisa berdiri diam, tenggorokannya bergerak menelan pelan. Tatapannya turun ke tangan mereka yang saling menggenggam, lalu kembali ke mata Bagas.
“Semoga kita juga gitu ya, Ras...” ucap Bagas pelan, nyaris seperti gumaman yang hanya untuk mereka berdua. Ia menatap Laras, yang refleks mendongak, bertemu matanya.
“Semoga… jodoh aku itu kamu.”
Laras mengerutkan kening sebentar, bingung, tapi lalu ia mengangguk pelan saat menangkap maksudnya. Ia mengalihkan pandangannya kepada siluet burung phoenix itu dari kain yang sedang dipotong.
“Iya... semoga, ya, Gas...”
Bagas melirik Laras sekilas. Ia tidak tersenyum, tapi sorot matanya melunak—ada sesuatu yang diam-diam tumbuh di dalam sana, sesuatu yang belum pernah benar-benar ia ucapkan. Sementara Laras, yang semula hanya memperhatikan motif kain itu, kini menunduk sebentar. Bibirnya membentuk senyum kecil yang muncul begitu saja, cepat-cepat disembunyikan di balik helaan napas yang dalam.
Penjual itu menyambar cepat, “Sepakat ya? Mau coba kebayanya juga nggak, Mbak?”
Bagas langsung menimpali tanpa pikir panjang, “Boleh, tuh. Sekalian aja, biar nanti nggak pusing.”
Laras menyipitkan mata ke arahnya. “Harus sekarang? Kalau nanti aku gemukan gimana?”
Bagas tertawa kecil, meyakinkan dengan nada santai, “Pasti muat. Tiga tahun aku kenal kamu, kamu tetap kecil kayak gini. Kalau nanti nggak muat, kita bisa cari lagi, iya kan?”
Laras mencubit pelan pinggangnya. “Ih dasar!” Tapi senyum itu muncul juga—senyum yang hanya bisa muncul karena laki-laki di sebelahnya.
Ia pun melangkah pelan ke sudut ruangan, membiarkan pandangannya menelusuri jajaran kebaya yang tergantung rapi. Ada yang penuh payet dan kilau, ada yang mewah menjulang dengan lengan lebar dan warna mencolok, ada pula yang tampak megah seperti kebaya pengantin adat. Tapi matanya berhenti di satu titik.
Sebuah kebaya kutu baru khas Jawa Tengah dengan potongan bersih dan sederhana, berwarna gading yang lembut. Tidak ada kilau mencolok, tidak ada payet yang mendominasi. Hanya renda halus yang membentuk motif floral menyatu dengan lembut di seluruh permukaan kain. Warnanya seolah membawa ketenangan, namun justru itulah yang membuatnya terlihat mencolok di antara semua kebaya lainnya.
Ada keindahan yang tidak berusaha memamerkan diri. Tidak perlu memohon perhatian, tapi justru memikat karena tenangnya. Laras terpaku.
“Saya boleh coba yang ini?” ujarnya akhirnya pada penjual.
“Boleh, kok... Kita punya bilik ganti di sini.”
Sebelum Laras berbalik, Bagas sudah mengambil tas dan kantong benang dari tangannya.
“Sini aku pegangin aja. Benangnya aku masukin ke tas aku aja, ya?”
Laras mengangguk sekilas, lalu masuk ke bilik ganti. Bagas, dengan gerakan pelan, memasukkan belanjaan Laras ke dalam tasnya sendiri, seolah menata ulang ruang yang ia beri khusus untuk milik Laras—bukan hanya tas, tapi hidupnya juga.
Tak lama, tirai bilik itu bergeser. Laras keluar, dan sejenak suasana terasa diam. Kebaya gading itu jatuh pas di tubuhnya, menyatu seperti sudah dijahit hanya untuk dirinya. Tangannya memang sedikit kepanjangan, tapi justru membuatnya terlihat manis—terkesan lugu dan alami. Rambutnya ia kepang ke samping, tidak terlalu rapi, malah sedikit berantakan, tapi justru di situlah letak pesonanya.
“Wah, ternyata pas, ya… Gimana Mas? Cantik sekali, bukan?” tanya si penjual, sambil menoleh pada Bagas.
Bagas diam. Terpaku. Seolah kata-kata tak sempat merangkak keluar dari tenggorokannya.
“Cantik… cantik banget kamu, Ras,” ucapnya akhirnya, nyaris berbisik.
Laras menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang perlahan tumbuh di sudut bibirnya.
Penjual itu tersenyum maklum. “Mbak ini punya selera juga ternyata, ya… Gimana? Mau yang ini?”
“Harganya berapa, Mas?”
“90 aja. Tapi saya kasih 85 deh, khusus buat Mbak.”
“Boleh kalau gitu, saya mau satu, ya.” Laras mengangguk, lalu menoleh ke arah Bagas. “Bagas, siniin tas aku… yang ini aku aja yang bayar.”
“Nggak usah, aku aja, Ras,” sahut Bagas cepat, sambil mulai mengeluarkan dompetnya.
“Loh, ini buat aku kok, aku aja—”
“Nggak apa-apa, aku aja…” suara Bagas pelan tapi mantap. Matanya tidak bergeser sedikit pun dari wajah Laras.
Penjual itu menoleh, lalu mendekat sedikit ke arah Laras. “Mau sambil coba pakai kainnya? Saya bantu pakein, ya?”
Laras mengangguk kecil. Ia sempat ingin lanjut berdebat soal pembayaran, tapi ucapannya tertahan. Gerak tubuhnya pasrah, bukan karena menyerah, tapi karena tak kuasa menolak alur yang tiba-tiba terasa begitu hangat.
Saat penjual itu membantu merapikan kain batik di pinggang Laras, ia mencondongkan tubuh, lalu membisik pelan—nyaris seperti rahasia yang hanya boleh dibagikan pada seseorang yang terpilih.
“Mbak, kalau laki-laki mau kayak gini... berarti nggak cuma urusan keluarin uang, loh. Dia lagi nunjukin keseriusannya. Jangan ditolak kalau memang niatnya dari hati. Diterima aja... dia pasti seneng.”
Bisikan itu menancap pelan di hati Laras.
Ia terdiam sejenak. Matanya melirik ke arah Bagas yang masih berdiri di dekat kasir, dompetnya terbuka, wajahnya serius tapi lembut—tidak ada pamrih, hanya kesungguhan yang bahkan Laras tak tahu bagaimana cara menolaknya tanpa menyakitinya.
Laras menunduk sedikit, lalu tersenyum sendiri. Senyum yang muncul karena satu hal sederhana—ia percaya. Percaya bahwa Bagas benar-benar tulus. Dan entah kenapa, kepercayaan itu membuat dadanya terasa ringan.
“Udah pas banget, Mbak,” kata si penjual sambil melangkah mundur, memperhatikan hasil akhirnya dengan puas. “Jadi ambil, ya?”
Laras menatap Bagas lagi. Tatapan itu tak lagi berisi penolakan, hanya tanya yang menggantung ringan.
“Cantik, kan, Gas?”
Bagas mengangguk cepat, senyumnya lebar. “Cantik banget. Silau mataku, hahaha.”
Laras terkekeh pelan. Suaranya ringan, nyaris seperti bisikan angin. Tak ada lagi keraguan. Ia hanya mengangguk kecil—pelan, “Jadi, Mas.”
:::::
Setelah urusan belanja selesai, mereka langsung melipir ke bioskop yang tak terlalu jauh dari pasar. Tiket dan popcorn sudah di tangan, dan karena studio juga tak terlalu ramai, mereka pun memutuskan untuk menonton tiga film berturut-turut—maraton sampai malam.
Film pertama bergenre aksi dan komedi, namun tetap inspiratif. Bagas jelas menikmati, matanya berbinar tiap kali pemeran utamanya muncul di layar. Ia sesekali mencondongkan badan ke arah Laras, berbisik antusias soal alur film yang tak Laras pahami betul, tapi ia ikut tersenyum melihat semangat Bagas.
Film kedua, masih dalam ranah action, namun lebih mencekam. Mereka menonton dalam diam, sesekali tangan saling menyentuh saat mengambil popcorn dari wadah yang sama. Tak ada kata, hanya suara ledakan di layar dan sesekali tawa kecil ketika adegan terasa terlalu berlebihan.
Lalu tibalah giliran film ketiga—Frankenweenie. Studio sudah mulai lengang, hanya beberapa penonton yang masih bertahan. Laras memilih film ini karena posternya menarik perhatiannya sejak awal, mengingatkannya pada karya-karya sang sutradara yang pernah ia tonton sebelumnya. Namun belum sampai separuh durasi, ia mulai terisak pelan. Kepalanya sedikit menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya, meski suara isakannya tetap terdengar samar.
Bagas menoleh sekilas dan tersenyum kecil. Ia tidak terkejut karena film ini memang menyentuh, terlebih bagi seseorang seperti Laras. Ia tahu, air mata itu bukan semata-mata karena cerita fiksi di layar, melainkan karena Laras sungguh memahami rasa kehilangan terhadap hewan kesayangan—ikatan yang sangat ia hargai sebagai calon dokter hewan.
Tanpa berkata-kata, Bagas mengangkat tangannya perlahan dan menyeka sisa air mata di pipi Laras dengan ibu jarinya. Gerakannya lembut, penuh pertimbangan. Laras tidak menolak. Ia hanya memejamkan mata sesaat, membiarkan kehangatan itu menenangkan dirinya.
Tak lama kemudian, Laras bersandar pada bahu Bagas dan melingkarkan tangan di lengan pemuda itu, menyembunyikan sesegukannya. Bagas tidak bergeming, ia membiarkannya begitu saja. Sebuah senyum kecil kembali terbit di wajahnya, karena baginya, Laras dalam momen seperti ini—manja, tenang, dan tanpa banyak bicara—adalah sesuatu yang langka dan berharga.
Sekitar pukul setengah sembilan malam, mereka akhirnya melangkah keluar dari gedung bioskop. Malam semakin larut, dan udara Yogyakarta mulai terasa lebih sejuk. Perut Bagas sudah berbunyi sejak film kedua, tapi ia menahannya demi tidak mengganggu suasana. Begitu keluar, tanpa banyak pikir, ia langsung menarik tangan Laras, mengajaknya menyusuri jalanan menuju salah satu penjual sate koyor yang masih buka di sekitar area Malioboro.
Mereka memesan dalam jumlah yang cukup banyak—lebih karena Bagas tampak kalap dan benar-benar lapar. Laras hanya bisa menggeleng pelan, tetapi tetap ikut makan sambil sesekali tertawa kecil melihat lelaki itu makan dengan lahap. Ia memang tahu, jika sudah bertemu makanan kesukaan, Bagas tak pernah bisa menahan diri.
Sementara Bagas sibuk mengantri untuk melakukan pembayaran, Laras diam-diam melipir ke salah satu gerobak penjual es dawet tak jauh dari tempat mereka duduk. Ia memesan dua gelas—satu untuk dirinya, hanya berisi cincau hijau dan kuah santan gula merah, dan satu lagi untuk Bagas dengan tambahan yang lebih lengkap, tak lupa juga dengan permintaan khusus agar diberi tambahan buah nangka.
Tak lama kemudian, Laras kembali dengan dua gelas dawet di tangan. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkannya kepada Bagas, yang menerimanya dengan wajah senang dan alis terangkat tinggi.
“Wah, tumben nangkanya masih banyak?” gumam Bagas, nyaris harus sedikit berteriak agar terdengar di antara riuhnya suara kendaraan, pedagang kaki lima, dan alunan musik jalanan.
Laras hanya tersenyum kecil, lalu berjalan di sampingnya. Mereka menyusuri trotoar yang masih hidup bahkan saat malam telah jatuh. Lampu toko dan angkringan menyorot wajah-wajah lelah tapi gembira, sementara langkah kaki para pejalan bercampur dengan denting piring dari warung-warung angkringan pinggir jalan, pengayuh becak yang menawarkan jasanya, dan sayup-sayup suara pengamen yang bernyanyi lagu lawas.
“Setelah ini mau ke mana?” tanya Bagas, melirik Laras sambil sedikit mencondongkan kepala agar suaranya sampai ke telinga gadis itu.
Laras mengangkat bahu. “Loh? Kamu nggak capek emangnya? Kita jalan terus dari tadi, loh…” suaranya ikut meninggi sedikit, menyaingi bising yang tak kunjung reda.
“Capek, sih... tapi masih kangen sama kamu,” jawab Bagas, senyumnya setengah bercanda, setengah sungguh-sungguh.
Laras terkekeh, suaranya hampir tenggelam oleh suara pengamen yang mereka lewati. “Aku udah agak capek. Emangnya masih ada yang mau kamu datengin lagi? Atau kamu masih mau beli sesuatu?”
Bagas terdiam sejenak. Ia tidak punya tujuan setelah ini. Tidak ada rencana lanjutan. Namun sejak film kedua selesai diputar tadi sore, pikirannya sempat terganggu. Getaran di saku celananya masih terasa terngiang—pesan dan panggilan telepon tak terjawab dari Dipta.
Isinya jelas dan terus terang—ajakan nongkrong, pesta hura-hura, dan minuman keras seperti masa-masa mereka dulu. Ada kesan nostalgia dalam setiap pesannya, seolah Dipta ingin Bagas kembali, walau hanya sebentar, ke kehidupan lamanya—yang lebih liar, lebih bebas, dan lebih ramai. Namun, Bagas hanya menatap layar singkat, lalu menggeser ke mode hening. Ia enggan menjawab, enggan memberi isyarat bahwa ia tergoda. Ia tidak ingin Laras tahu bahwa ia masih sering dihubungi untuk hal-hal semacam itu, walaupun ia sendiri sudah tak pernah benar-benar terlibat lagi.
Tapi malam ini, ia tidak ingin merusak malam yang terasa nyaris sempurna. Laras tidak perlu tahu. Tak perlu tahu betapa godaan itu masih mengetuk, meski kini ia sudah menutup pintu rapat-rapat.
Sejak resmi menjadi kekasih Laras, Bagas berusaha sungguh-sungguh mengubah dirinya. Ia memilih hidup yang lebih tenang, lebih sederhana, meski itu berarti teman-temannya berkurang drastis.
Kini, ia hanya akrab dengan segelintir rekan sekelas—orang-orang yang dulunya sempat canggung padanya. Bukan hanya karena perangai buruk Bagas yang dulu menjadi rahasia umum di angkatannya, tapi juga karena latar belakangnya sebagai anak dari keluarga dokter ternama, dikenal oleh beberapa dosen, bahkan diajak diskusi secara pribadi oleh beberapa profesor. Sebuah hak istimewa yang bagi sebagian orang cukup untuk membangun jarak, apalagi di dunia akademik yang penuh persaingan dan rasa minder tersembunyi. Namun waktu membuktikan siapa dirinya yang sesungguhnya—dan semua itu, berawal dari kehadiran Laras.
Bagas, yang dulunya mungkin hanya dikenal dari nama belakangnya, kini mulai dikenal karena kerja kerasnya. Bagas bukan lagi sekadar anak profesor. Ia datang paling awal, pulang paling akhir. Lebih sering terlihat di sudut perpustakaan, bukan hanya karena ingin menemani Laras, tapi karena sungguh-sungguh ingin belajar. Ia menyadari bahwa tak semua hal bisa ia pahami dengan cepat, dan ia tak malu untuk mengakui itu. Nilainya memang tidak selalu cemerlang, namun ia tidak pernah menyerah. Ia bertanya bila tak paham, ia membuka buku hingga larut, ia ikut belajar bersama meski tidak semua pertemanan terasa akrab.
Ia tidak memamerkan koneksi, tidak menyepelekan tugas, dan tak sekalipun menggunakan nama keluarganya sebagai tameng untuk menghindari tanggung jawab. Ia membangun jalannya sendiri, setapak demi setapak, dengan kesungguhan yang tenang.
Dan semua itu—perubahan kecil yang bermakna besar—bermula dari satu hal, ia jatuh cinta. Pada Laras, dan pada harapan untuk menjadi lebih baik dari dirinya yang dulu.
Kini, Bagas hanya menatap Laras dengan penuh cinta. Ia memperhatikan bagaimana matanya yang masih sembap akibat film, pipinya kemerahan diterpa angin malam, dan rambut ikalnya menari-nari ditiup angin. Semua itu membuatnya ingin waktu berhenti dan menahan mereka untuk tetap di sini, Tapi ia tahu Laras lelah, dan ia tak boleh egois.
“Ya udah… kita pulang aja, ya?” ucapnya sedikit lebih keras.
“Beneran, nih? Mumpung masih di luar, sekalian aja nggak apa-apa, loh…” sahut Laras, menoleh dengan senyum lembut.
“Nggak ada lagi, kok. Aku juga udah seneng banget bisa seharian sama kamu. Dan… aku nggak sabar buat pakai batik yang kita beli tadi,” ujar Bagas sambil tertawa kecil.
Laras tertawa juga, nada suaranya menggoda. “Hahaha, itu mah masih lama, ih… Kita selesain kuliah kita dulu yang bener, nanti kita pakai bareng-bareng setelahnya~”
Bagas mengangkat gelas dawetnya tinggi-tinggi seolah bersulang di tengah keramaian. “Oke! Pokoknya kalau aku capek di tengah jalan nanti, aku bakal peluk batiknya pas tidur, biar paginya aku punya tenaga lagi buat terus jalani koas, biar bisa lulus bareng kamu. Orang-orang pasti iri kalau pacarku secantik itu nanti, aku juga bakal kelihatan lebih ganteng, kan? Orang-orang harus iri lihat aku sepenuhnya milik kamu!”
Laras tersenyum, kali ini lebih dalam. Tatapannya tak sekadar bahagia—ada bangga, haru, dan rasa percaya yang tak terucap. “Daripada itu, aku bangga sama kamu, Bagas. Usahaku nggak seberapa dibandingin sama usaha kamu. Dari ninggalin pergaulan yang dulu, pelan-pelan baikan sama orang tua kamu, sama diri kamu sendiri juga… Itu semua nggak mudah, loh.”
Ia menatap mata Bagas dalam-dalam, menyampaikan apa yang tak bisa dikatakan oleh siapa pun selain dirinya. “Aku bangga bisa nemenin kamu sampai ke titik ini. Makasih, ya, Gas?”
Bagas menunduk sedikit. Matanya berkabut, namun senyumnya tetap terbit. Dalam diamnya, ia bersumpah lagi bahwa Laras adalah satu-satunya yang akan ia perjuangkan—bukan hanya karena cinta, tapi karena ia telah menjadi rumah, arah, dan cahaya di kehidupannya.
“Makasih juga, Ras…” ucapnya lirih, namun suaranya tetap terdengar jelas karena harus sedikit mengeraskan nada di tengah kebisingan Malioboro yang padat. Ia lalu mengangkat tangan merangkul pundak Laras. Gelas dawet masih dingin di genggamannya yang lain, sebaliknya, dekapan ini terasa hangat dan mantap.
“Makasih udah hadir di hidupku, makasih udah kasih aku kesempatan buat berubah… makasih karena udah terima aku, sepenuhnya,” lanjutnya dengan sedikit pelan, tepat pada telinga sang kekasih.
Laras mengangguk pelan, wajahnya bersinar lembut di bawah sorot lampu jalan yang kekuningan. Di tengah keramaian Malioboro yang tak pernah benar-benar sunyi, keduanya seakan menciptakan ruang kecil mereka sendiri.
Mereka kembali melangkah perlahan, menyusuri trotoar yang sesak namun tetap terasa hangat. Laras meraih tangan Bagas yang bertumpu di pundaknya, lalu menggenggamnya erat. Bukan sekadar genggaman biasa, melainkan sebuah unjuk rasa cinta yang tak perlu diteriakkan, cukup dipahami lewat sentuhan yang tinggal.
:::::
Malam benar-benar runtuh saat angkot yang mereka tumpangi melambat di tepi jalan. Suara mesin yang menggerung pelan dan cahaya lampu jalan yang redup menyambut langkah mereka keluar. Dari titik itu, mereka memutuskan berjalan kaki menuju kos Laras—sekitar tujuh menit menapaki trotoar kecil yang mulai lengang. Waktu seakan melambat, memberi ruang bagi diam yang nyaman, bagi jarak yang tak terasa, dan bagi rasa yang tumbuh dalam tenang.
Laras berjalan di sisi dalam trotoar, sementara Bagas di luar, seperti biasa. Sesekali ia melirik ke arah Laras yang menggulung sedikit lengan jaketnya—jaket milik Bagas yang ia pinjamkan sejak sore. Meski Laras bukan gadis yang mudah menggigil, jaket Bagas selalu memberinya rasa aman. Ada kenyamanan dalam aroma dan lengkung kainnya, seakan tubuh Bagas sendiri turut mendekapnya dari belakang.
Sesampainya di depan gerbang kos, langkah mereka melambat, lalu berhenti. Lampu depan menyala terang, memantulkan cahaya lembut ke wajah keduanya. Bagas menoleh, menatap Laras dengan senyum yang tenang—bukan yang lebar dan mencolok, tapi senyum yang penuh makna dan rasa.
Laras melepas jaket itu, lalu menyerahkannya kembali. “Makasih ya… jaketnya,” ucapnya lembut.
Bagas menerima jaket itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyerahkan belanjaan Laras yang sedari tadi ia bawa. “Makasih juga ya, Ras… udah rayain hari ini sama aku,” ujarnya pelan, “Aku bahagia banget.”
Laras terdiam sejenak, lalu menggembungkan pipinya sebentar sebelum mengembuskan napas pelan. Ada kelegaan dalam suaranya, meskipun tetap terselip rasa ragu yang sempat ia pendam.
“Aku seneng kalau kamu bahagia… soalnya aku sempat khawatir. Takutnya hari ulang tahunmu malah terasa biasa aja. Aku sempat mikir kita bakal kikuk, nggak tahu harus ngapain. Soalnya kita juga nggak bisa ke mana-mana, kan? Kuliah masih jalan, jadinya aku takut kamu nggak ngerasa hari ini spesial.”
Bagas menggeleng pelan. “Ras… justru hari ini spesial banget,” katanya mantap, namun suaranya tetap hangat, penuh kelembutan yang tak dibuat-buat. “Meskipun nggak ada kado, nggak ada kejutan, nggak ada hal-hal mewah… aku seneng. Karena kamu. Karena kamu nemenin aku. Karena kamu hadiah paling berharga yang pernah aku terima. Yang aku sayang, yang aku butuhin, cuma kamu.”
Sambil mengucapkan itu, Bagas mendekat sedikit, lalu dengan iseng menyentuh pucuk hidung Laras dengan ujung jari telunjuknya.
Laras langsung mengerutkan hidung, lalu ngedengus geli, tapi senyum yang terbit di wajahnya tak bisa disembunyikan—senyum yang hanya muncul saat hati benar-benar merasa disayangi.
Sunyi menyela percakapan mereka, tapi itu bukan kekosongan. Itu adalah diam yang penuh—diam yang tak canggung, melainkan dalam. Laras menatap Bagas, senyumnya mengembang, lebih hangat dari sebelumnya. Ia ingin mengingat wajah itu, malam itu, dan rasa yang memenuhi dadanya.
Namun tiba-tiba Laras tersentak, teringat sesuatu. “Oh iya… kadonya masih di dalem! Aku ambil sebentar, ya?”
Bagas langsung menahan, “Nggak perlu. Besok siang aja gimana? Kamu ke kampus, kan? Aku jemput, kita berangkat bareng.”
Laras mengangkat alis. “Serius, nih?”
Bagas mengangguk mantap. “Serius. Lagipula kamu udah capek banget. Habis ini langsung mandi, terus tidur ya?”
Setelah menimbang sebentar, Laras mengangguk juga. “Ya udah… kalau begitu.”
“Ya udah, masuk sana,” ujar Bagas, meski suaranya terdengar enggan. Tangannya masih dalam genggaman Laras, enggan melepas terlalu cepat.
Laras perlahan menarik tangannya, tapi sempat menarik Bagas sedikit mendekat sebelum melangkah ke pintu kos. Lalu ia menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang teduh, penuh malu-malu, tapi tulus. “Selamat ulang tahun ya, Gas. Aku… sayang sama kamu.”
Bagas terdiam. Hatinya menghangat mendengar kalimat itu, sesederhana dan sekuat itu. Ia tersenyum, lalu meraih tangan Laras dan mengecup punggungnya lembut.
“Makasih ya, Ras. Aku juga sayang sama kamu…”
Laras masuk, langkahnya ringan. Sementara Bagas berdiri sejenak di bawah cahaya lampu jalan. Malam ini tak mewah, tak ramai, tak meriah—tapi bagi Bagas, malam ini sempurna. Sebab yang ia butuhkan, telah ia genggam erat sejak awal. Dalam tawa Laras, dalam genggaman tangan yang erat, dan dalam cinta yang hadir dengan cara paling tulus.
Bagas memastikan Laras benar-benar masuk ke dalam kosnya sebelum ia berbalik. Sekilas, ia menengadah—lampu kamar Laras sudah menyala. Baru setelah itu, langkah kakinya mulai menjauh, perlahan tapi pasti, menyusuri jalanan yang sepi.
“Selamat malam, cantik.” gumamnya pelan, masih dengan senyum yang mengendap di bibirnya. Ia mengangkat jaketnya, lalu menggantungkannya santai di pundak, seolah hatinya terlalu ringan untuk sekadar dilindungi dari udara malam.
Jarak kosnya dari tempat Laras tinggal sebetulnya tak jauh—kalau berjalan cepat, hanya sekitar sepuluh menit. Tapi malam itu, ia sengaja melambatkan langkah, menyisir trotoar seakan menunda-nunda sesuatu.
Ia tahu, kalau pulang terlalu cepat, bisa saja ia bertemu Dipta yang punya kebiasaan menyeretnya sekitar pukul sepuluh malam untuk pergi ke pesta-pestanya. Ia tahu betul bagaimana kenalan-kenalannya menyembunyikan lintingan ganja dalam bungkusan, atau menyulutnya lalu menyaring asapnya lewat pipa bong rakitan yang sering kali asal-asalan.
Bagas menyimpan satu rahasia yang belum pernah ia ceritakan kepada Laras—bahwa ia belum sepenuhnya lepas dari lingkaran setan dari masa lalunya. Ia memang menjauh, namun tidak menghilang. Wajahnya masih muncul sesekali di pesta-pesta malam itu. Ia memilih diam, menyendiri di tengah keramaian, kadang hanya berpura-pura minum dan duduk dengan mata terpejam, membiarkan suara musik dan gelak tawa membentur telinganya tanpa benar-benar masuk. Bahkan pada Dinda—yang jelas-jelas terus mengejarnya dengan obsesi yang tak sehat—Bagas bersikap abai, papasan pun ia hindari. Ia menolak bicara, menolak bersentuhan, bahkan hanya untuk menoleh.
Bagas tak pernah menanggapi. Tak juga menunjukkan ketakutan. Tapi sejak saat itu, ia selalu berhati-hati. Karena sekarang, ia punya sesuatu untuk dijaga.
“Gue tuh udah sering banget tahan Dinda biar nggak gencet cewek lo, Gas,” ujar Dipta pelan, seolah sedang menceritakan hal remeh, padahal tiap katanya menancap dalam. “Lu tau dia gimana, kan? Obsesinya sama lo tuh udah sakit. Jangan main-main, deh. Dinda tuh bisa aja nyuruh orang buat make Laras—lu tau sendiri kenalan dia siapa aja. Tapi sampai sekarang masih aman, dia masih gue tahan karena gue tau lu tuh sayang banget sama cewek lu. Dan… karena gue masih nganggep lu temen. Tapi kalo lo terus ngejauh dari kita kayak gini terus… ya, gue nggak janji, Gas.” lanjutnya dengan santai, namun sorot matanya tampak dingin kepada sahabatnya itu.
Dipta menyeringai kecil melihat rahang Bagas yang mengeras, terutama ketika mendengar jawaban Bagas yang termakan hasutannya. Ia menyulut rokoknya tanpa terburu-buru, lalu menambahkan, “Cewek kayak dia mah jangan dikasarin, malah makin jadi ntar. Lu juga nggak usah nyamperin dia terus, nggak usah diomelin, dia nggak bakal denger. Mendingan lu jaga Laras baik-baik, tapi jangan lupa… kita masih ada, Gas.”
Lalu dengan suara yang lebih rendah, lebih licik, ia menusuk langsung ke titik paling rapuh dalam diri Bagas. “Makanya gue minta lu tetep ikut, biar Dinda tau lu masih temenan sama gue. Kalau dia liat itu, dia nggak bakal berani sentuh Laras karena dia takut sama gue, Gas. Dan kalo dia mulai kegatelan… ya, gue bantu dah. Yang penting, lu gabung lagi sama kita.”
Sejak obrolan itu, hanya satu doa yang terucap di setiap malam, lirih dan penuh harap.
Semoga cukup dirinya saja yang merasakan panasnya akibat dari neraka yang pernah ia agungkan. Jangan Laras. Jangan gadis yang dicintainya.
:::::
Tepat ketika Bagas membelok ke jalan besar menuju kosnya, ada sesuatu dalam hatinya yang mengganjal. Perasaannya mulai tidak enak—entah kenapa, seolah ada yang menunggunya, tapi bukan dalam arti yang menyenangkan.
Langkahnya melambat saat memasuki gerbang kos dan melewati area parkirnya yang luas. Suasana sudah sepi. Namun dari kejauhan, samar-samar, ia bisa mendengar kebisingan. Suara khas yang terlalu ia kenal.
“Sial…” desis Bagas pelan, menghembuskan napas panjang.
Dan benar saja. Begitu ia berdiri di depan pintu kamarnya, sorak-sorai langsung meledak di sekelilingnya.
“WOYYY!!! HAPPY BIRTHDAYYY, BAGAS!!”
Tawa membahana. Lagu ulang tahun dinyanyikan dengan nada sumbang dan kekanak-kanakan. Terompet kecil ditiup berulang kali, seperti anak-anak pesta TK yang terlalu bersemangat. Di antara mereka, berdiri Dipta, Agung, dan tiga teman lainnya yang tampak sudah mabuk—berantakan tapi bahagia.
“Ngapain dah lu pada di sini?” Bagas mengangkat alis, setengah geli, setengah lelah.
“WOYYY, LILINNYA NYALAIN DULU GUNG!” seru Azhar sambil menyodorkan kue cokelat kecil yang sudah agak meleleh.
“Oh iya anjir, lupa. Sini, deketin…” Agung buru-buru memantik korek dan menyalakan lilin yang sudah tertancap di kuenya.
“Lu lama banget sih, ngapain aja? Pacaran mulu, ya? Keburu ganti hari, goblok.”
“Cepetan tiup, Gas. Kaga usah pake doa-doa segala lah, kayak punya iman aja lu pada.”
Bagas hanya tertawa seadanya. Ia tahu, meski mereka sering bertindak seenaknya, sering kelewat batas, kadang menjengkelkan, tetapi mereka juga tak pernah ingkar pada satu hal—persahabatan.
Bagas meniup lilinnya pelan, diiringi tepuk tangan dan sorakan yang riuh dari teman-temannya. Beberapa meniup terompet lagi, membuat suara yang memekakkan tapi tak bisa ia tolak.
“Makasih, ya…” ucapnya singkat, kemudian memandang ke sekeliling. “Terus, kalian ngapain pada ngumpul di sini?”
“Minum lah, Gas. Ngapain lagi?” jawab Agung sambil tertawa, lalu menendang pelan pintu agar terbuka lebar. “Udah, pintunya jangan ditutup. Panas banget di dalem.”
Bagas mengangguk singkat. “Ya udah, nikmatin aja dah. Gue mau mandi dulu.”
“Ya elah, duduk dulu kek. Minum dulu lah, kan lu tuan rumah… yang punya acara.” sahut Azhar sambil menyodorkan kaleng bir yang masih dingin.
“Lagian,” tambah Dipta dari sudut ruangan, nadanya ringan tapi penuh isyarat, “di rumah mah aman. Nggak bakal ketauan Laras juga, Dinda aja nggak ada...”
Bagas hanya memandang kosong ke arah mereka. Rasanya seperti terjebak dalam lorong yang dulu begitu ia kenal, tapi kini terasa asing.
“Ngantuk gue,” akhirnya ia berkata pelan. “Pegel juga seharian jalan…”
Bagas baru akan melangkah ke dalam kamar dengan niatnya yang sudah bulat—mandi, salat Isya yang belum ditunaikan, lalu tidur. Tapi sebelum ia sempat menyentuh pintu, tangan Agung lebih dulu menarik bahunya dengan cekikikan. “Udah, Gas. Jangan kaku amat,” katanya sambil tertawa kecil. “Kayak baru kenal kita aja.”
Tanpa menunggu persetujuan, Agung menariknya pelan ke arah sofa.
Dipta sudah duduk santai sambil menghisap rokoknya, sementara satu tangannya memutar kaleng birnya. “Santai dulu napa?” ucapnya, tanpa menoleh. “Minum nih, duduk bentar. Aman, nggak ada orangnya di sini.”
Bagas mendesah pelan, ia tahu siapa yang dimaksud. “Gue nggak takut sama Dinda…”
“Ya nggak dibilang takut juga, Gas. Tapi capek dengerin lu terus digangguin dia.” Agung nyengir, duduk di sampingnya. “Ini masih hari ulang tahun lu, ya sekali-kali lah lepas dikit.”
Dipta nyodorin satu kaleng. “Satu teguk doang. Lagian, lu juga udah lama nggak minum. Nggak usah sok alim banget lah.”
Bagas menatap kaleng itu. Dingin. Familiar. Ia melirik ke teman-temannya yang sedang sekarang sibuk dengan urusan masing-masing.
“Oke, cuma satu teguk.” katanya akhirnya.
Kaleng itu diterima. Ia menatapnya sebentar, lalu diteguk pelan. Rasanya masih sama—pahit, getir, hangat di tenggorokan. Tidak enak, tapi juga tidak asing. Lidahnya seperti mengingat sesuatu.
“Udah, satu teguk aja.” gumamnya, entah ke teman-temannya atau ke dirinya sendiri.
“Nah, gitu dong. Santai aja, toh lu nggak ngapa-ngapain juga,” Dipta mengangkat kaleng bir, bersulang sendiri.
“Laras gimana, Gas? Aman?” tanya Agung.
“Aman, gue anter sampe dia masuk kos.”
Bayu ikut nimbrung, sambil menyulut rokok, “Dinda tuh… anjing banget, ya. Kemarin gue liat dia ngewe sama cowok, nggak tahu siapa. Tapi masih sempet godain lu. Parah.”
Bagas diam. Tak langsung menjawab. Ia menunduk sebentar, lalu menyesap lagi minumannya. Yang awalnya cuma satu teguk, jadi dua. Lalu tiga. Ia mulai terbiasa lagi dengan rasanya.
Bagas tahu kenapa Dinda seperti itu.
Pernah, di suatu malam, Dinda terbaring lemah di atasnya—keringat mereka belum sempat mengering, napasnya masih belum teratur setelah bercinta di atas jok mobil yang sempit dan pengap. Matanya terpejam, tapi mulutnya terbuka, berkata pelan namun tajam, “Kalau seks bisa bikin gue ngerasa disayang, kenapa nggak?”
Bagas menoleh saat itu, mengerutkan kening, tapi tak berani menyela. Ia tahu, kalimat itu bukan permintaan pendapat—melainkan pengakuan.
“Orang tua gue tahu gue udah nggak perawan dari SMA, udah hampir dikeluarin juga karena gue pernah ngelakuin di sekolah,” lanjut Dinda, nada suaranya datar, seperti mengulang sesuatu yang sudah lama ia cerna sendiri. “Dan respon mereka... ya gitu. Biasa aja. Nggak ada marah, nggak ada sedih. Mereka cuma marah karena harus kasih uang tutup mulut ke sekolah. Kayak… mereka nggak peduli sama gue. Mungkin… mereka bakal nangis kalau kehilangan uangnya, ketimbang gue. Jadi, ya… menurut gue nggak masalah, kan?”
Waktu itu Bagas cuma diam. Ada bagian dari dirinya yang ingin berkata bahwa semua itu tetap salah, bahwa tubuh bukan alat tukar untuk kasih sayang. Tapi ia tahu, luka Dinda bukan sesuatu yang bisa ia betulkan dengan petuah.
Sejak saat itu, ia mengerti—semua kebebasan yang tampak liar dari luar, semua senyum dan godaan yang diberikan Dinda padanya, sebenarnya hanyalah upaya untuk merasa diinginkan. Dan ingatan itulah yang terus terngiang, tiap kali teman-temannya menyebut nama Dinda dengan tawa. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat permukaannya—seks, tubuh telanjangnya, tatapan menggoda. Tapi Bagas, ia pernah melihat sisi yang lain. Sisi yang rapuh, yang hancur dalam diam.
Bagas waktu itu masih bodoh. Ia pikir, selama Dinda akhirnya berhenti ke pelukan orang lain dan lari kepadanya, itu bukan masalah. Tapi lama-lama, dia sadar—itu semua salah, dan Laraslah yang menyadarkannya.
Sebelum Bagas jatuh cinta pada Laras, pernah ada rasa aneh pada Dinda. Mirip, samar, tapi bukan cinta. Mungkin kasihan. Mungkin nafsu yang dibungkus sayang. Tapi dengan Laras, semuanya terasa jernih.
“Biarin aja,” katanya akhirnya. “Mungkin… Itu cara dia buat merasa hidup. Dan kalau mau nyalahin, ya salahin mantannya… mantannya dulu yang bikin dia rusak kayak gini.”
Ruangan mendadak sunyi. Bagas bersandar di sofa, matanya terpaku pada kaleng minuman di tangan, lalu menatap satu per satu teman-temannya. Lelaki-lelaki itu pernah meniduri Dinda, tapi dia bertanya-tanya, apakah mereka pernah benar-benar peduli padanya.
“Cieee… masih aja belain mantan. Kangen ya lu?” goda Agung sambil menendang pelan kaki Bagas. “Lagian… ngide banget sih punya cewe alim, malah ikut-ikutan alim. Biasa dapet jatah, sekarang nggak ada lagi.” Tambahnya, disambut tawa kecil dari yang lain.
Bagas menoleh. Senyumnya tipis, seperti enggan menjawab tapi juga tidak bisa menahan sesuatu yang mengganjal. Ia menenggak minuman di tangannya, menahan sebentar sebelum menelan, lalu mengembuskan napas perlahan. Sorot matanya tidak marah, tapi ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
“Mantan apaan... Dinda cuma temen gue doang,” katanya santai. Tapi setelah itu, suaranya berubah lebih tenang, nyaris lembut. “Sementara Laras, status dia bukan cuma sekadar pacar. Laras itu udah nyelamatin gue, Gung. Gue nggak bakal sebahagia ini kayak sekarang kalo nggak ketemu dia.”
“Serius?” Bayu menaikkan alis, nada skeptis terdengar jelas.
“Segitunya?” tambah Azhar sambil menyilangkan tangan di dada.
“Parah,” Bagas mengangguk pelan, menatap kosong ke arah meja di depannya. “Dia bener-bener ngerubah gue.”
“Kalian nggak tahu,” lanjutnya pelan. “Dia tuh… manis banget. Wangi. Kulitnya halus banget, kayak bayi—beneran. Bersih. Tangan dia aja, waktu gue genggam… rasanya adem, lembut. Gue mikir, ini cewek bersih banget buat kotornya gue, rasanya… gue nggak layak buat nyentuh dia.”
Ia tertawa kecil, tapi tawa yang lebih mirip dengan helaan napas.
“Dia juga suka nginep di sini, gue dapet izin dari pemilik kos. Bukan buat aneh-aneh, tapi kita ngerjain tugas bareng, atau nemenin gue belajar, sementara dia ngerajut sambil dengerin musik supaya nggak ngantuk. Tenang banget kalau dia ada di sekitar gue, rasanya kayak… dia adalah rumah yang paling aman dan nyaman.”
Ia kembali menenggak minumannya, lebih pelan kali ini, lalu menyandarkan punggung ke sofa. Wajahnya sedikit memerah, entah karena minuman atau kenangan yang terlalu dalam.
“Dia tuh pinter, nggak sombong juga. IPK-nya selalu tinggi. 3.8 ke atas terus. Di mata kalian mungkin dia cuma orang kampung, tapi dia jauh lebih keren dan maju pemikirannya dari yang kalian bayangin.”
“Gila lu, lu kayak udah jatuh cinta banget, Gas…” Azhar bersiul pelan. “Tapi udah pernah lu tidurin?”
“Nggak pernah.” Bagas langsung menjawab, tegas. “Gue nggak mau nyentuh dia, untuk meluk aja gue nggak seberani itu.”
Dipta menyeringai, senyum remeh khasnya muncul. “Ngapa? Ngerasa najis?”
“Dosanya yang najis,” jawab Bagas datar. “Dia mah nggak.”
Tangannya terulur ke arah Agung. “Minta satu lagi, Gung.”
Agung melemparkan satu kaleng bir ke arah Bagas, yang ia tangkap dengan satu tangan. Bunyi klik saat kaleng itu dibuka terasa nyaring di tengah suasana yang mendadak lebih berat, tanpa sadar ia terus menenggaknya.
“Tapi siapa yang nafsu dah sama cewek kayak gitu,” celetuk Bayu sambil menenggak minumannya sendiri. “Gue aja ogah.”
“Gue.” Bagas menatapnya tajam. “Gue yang nafsu.”
Ia kembali menenggak minuman itu, cepat, seperti ingin menelan sesuatu yang lebih dari sekadar alkohol. Wajahnya kini benar-benar merah, namun matanya jernih—jujur.
“Tapi kalau nurutin nafsu, gue seratus persen yakin kalau gue nggak bakal sama dia, dan gue nggak bakal secinta ini sama Laras. Lu nggak tahu, kan, rasanya nahan hasrat sama cewek kayak Laras? Mungkin aneh di mata kalian… tapi buat gue, itu justru yang bikin dia beda. Kadang saking gemesnya, gue pengen banget cium dia. Tapi gue inget…” Ia terdiam sejenak, pandangannya menerawang, seperti sedang bicara ke dirinya sendiri, “gue pernah janji sama diri gue. Kalau Laras kasih kesempatan buat gue berubah, gue bener-bener pengen jadi orang baik, jadi ya… dia harus dapet yang terbaik, bukan cuma dapet sisa-sisa dosa gue.”
“Gue paham sih emang cewek yang baik-baik tuh selalu menantang, tapi gue yakin lama-lama juga bakal ngawur.” celetuk dipta.
“Gue tuh udah kenal Laras dari 2010, dan gue nggak pernah liat dia berubah sedikit pun dari yang dulu.”
“Dia tuh… sederhana banget, dan dia nggak malu dengan kesederhanaannya.” ucap Bagas pelan, sambil memutar kaleng bir di tangannya. “Beberapa kali gue beliin dia baju atau barang mahal, dia selalu nolak. Terpaksa banget dia nerima ponsel yang gue kasih karena waktu itu ponsel dia emang error, sama ini nih…” Ia menunjuk jam tangannya, logam kecil di pergelangan yang serupa dengan milik Laras. “Jam tangan kembaran. Gue cuma pengen dia punya yang terbaik, yang paling mahal semampu gue. Tapi dia selalu omelin gue, ‘jangan boros, Gas’, katanya.”
Bagas menyeringai kecil, agak malu tapi juga bangga. Teman-temannya saling pandang, sebagian menghela napas panjang, sebagian lagi sudah siap menyumpah dalam hati karena melihatnya terlalu tenggelam dalam rasa.
“Tapi… akhirnya dia terima juga. Kayak hari ini, dia pake baju yang gue beliin—yang udah setahun lalu gue kasih. Dia simpen, dilipet rapi, terus dipake di hari spesial, buat gue. Dan itu rasanya… gila banget.”
Bagas tertawa, pendek dan berat. “Cuma ya… dia nggak balas dengan yang sama, tapi sama spesialnya.”
“Dia miskin kali,” sahut Azhar dengan nada asal.
“Hahaha, anjir bisa aja mulut lu, Zhar,” sahut Agung cepat, cengengesan.
“Nggak, Laras tuh nggak miskin,” kata Bagas, nadanya sedikit naik, terdengar serius. “Dia pernah cerita, keluarganya punya pertanian kentang, punya usaha peternakan domba juga. Gue pernah liat foto rumahnya dan halamannya luas banget, dan pemandangannya… wah, kayak lukisan.” Ia berhenti sebentar, seolah terkesan akan sesuatu yang hangat di hatinya. “Gue yakin dia bisa aja hura-hura kalau mau. Tapi dia… ya gitu, apa adanya banget. Nggak dibuat-buat, dan itu yang bikin gue makin nggak bisa lepas.”
“Orang mana sih dia?” tanya Bayu sambil meraih keripik di meja.
“Dieng,” jawab Bagas singkat. “Gue nggak pernah tahu nama desanya apa, dia nggak pernah mau bilang. Tapi setahu gue, kakeknya salah satu orang yang dihormatin di sana.”
“Oh, ya elah… di sana mah jangan ditanya. Emang cakep banget,” timpal Dipta sambil mengangguk.
Bagas tiba-tiba mendelik ke arah Agung. “Makanya gue marah banget pas kalian ngerendahin dia, terutama lu, njing.” Ujung kakinya menendang betis Agung yang langsung meringis. “Beruntung gue males ribut orangnya.”
“Anjir! Dinda yang mulai, ngapa jadi gue?” protes Agung sambil ngelus kakinya.
“Kalau gara-gara dia, ngapain lu turutin?” sahut Bagas dingin.
“Maklum,” Bayu nyengir, “Agung kan sagapung. Cewek satu mana cukup.”
“Stop selingkuh, Gung. Serius. Beruntung cewek lu belum tahu,” ujar Bagas, meneguk minumannya.
Agung cuma nyengir santai. “Kalo tahu juga ya udah, tinggal putus. Gitu doang, hidup mah santai.” Ia mengangkat kaleng birnya, lalu menambahkan dengan nada seenaknya, “Lagian gue mau sama dia juga gara-gara ngewenya enak banget, njing. Cinta mah sekian, lah…”
Bagas cuma menggeleng pelan, sambil menatap kosong ke depan. Dipta mulai tertawa kencang karena dirinya sudah mabuk, menepuk paha sendiri. “Brengsek lu,” ujarnya. “Justru kalau ngewenya enak, ya jangan dilepas, bego. Aset berharga tuh. Bisa minta kapan aja, tanpa ribet.”
“Itu cewek atau barang, dah?” Bagas akhirnya bersuara. Suaranya pelan, tapi sinis—menusuk.
“Yah, kalo bisa dipake, kenapa nggak?” Dipta nyengir santai, lalu tertawa. Tawa itu disambut cekikikan Bayu dan Agung, seolah kata-kata barusan bukan penghinaan, tapi lelucon biasa.
Bagas menghela napas, menatap mereka satu-satu. “Kadang gue nggak ngerti… kita ini temenan atau lagi lomba siapa paling bangsat.”
Tak ada yang menjawab. Hanya deru napas dan kaleng bir yang kembali terangkat.
“Lu sendiri, Gas…” Dipta mulai lagi, nada suaranya tajam tapi bercanda. “Kalau misalnya Laras ngebet minta ngewe, lu juga pasti mau, kan? Apalagi dulu tiap malem lu puas banget sama Dinda, iya gak?”
“Kaga tiap malem juga, njing.” Nada Bagas mulai meninggi, rahangnya mengeras. “Dan nggak, gue nggak mau. Kagak bakal begitu. Laras nggak pernah, nggak sekalipun kayak gitu.”
Bayu nyeletuk, santai tapi menohok, “Coba sini mana kontaknya? Gue tes seberapa polos dia. Siapa tau, di belakang lu, dia juga doyan main-main.”
Bagas langsung duduk tegak. “Gue tonjok lu, Bay.”
“Anjir, makin penasaran gue,” timpal Azhar dengan tawa sinis. “Laras dalemnya pink apa item ya, hahahaha—”
BRAKKKK—
Kaleng bir meluncur deras dari tangan Bagas, membentur tembok. Dentumannya tajam, memotong tawa-tawa bodoh di ruangan itu. Tak ada sepatah kata pun terlontar dari mulutnya, hanya suara hantaman dari kaleng bir yang penyok, dan isinya yang muncrat ke mana-mana. Ia malas marah-marah—karena percuma. Mereka tak akan dengar, tak akan benar-benar paham. Tapi… setidaknya, lewat kaleng bir itu, mereka tahu bahwa batasnya sudah dilampaui.
Sunyi.
Dipta, Agung, Bayu, Azhar—semua membeku. Entah karena kaget, entah karena merasa bersalah, entah cuma belum siap diserang balik. Tapi Bagas tak peduli.
Ia menarik napas pelan, membuka satu kaleng bir lain yang tersisa di meja. Suara klik-nya renyah, kontras dengan tensi yang mencekam. Ia rebahkan dirinya di sofa, posisi yang santai, tapi rahangnya masih mengatup kencang. Ia menyesap bir perlahan, membiarkan rasa pahitnya memenuhi lidah, seolah berharap bisa menenggelamkan amarah dan kecewa yang menggelegak dalam diam.
“Ada batasnya kalo lu ngatain orang,” suaranya akhirnya keluar, serak dan rendah. “Gue diem bukan berarti setuju.”
Azhar masih mencoba menertawakan, tapi tawanya makin hambar. “Ya elah, Gas, becanda kali—”
“Busuk,” potong Bagas, cepat dan tajam. “Lu pikir semua cewek bisa lu ukur dari seberapa enak di ranjang? Laras bukan bahan buat uji kelucuan atau libido kalian.”
Ruangan hening. Bahkan Agung yang biasanya ikut nyeletuk pun cuma menunduk pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sementara Dipta mengangkat alis, mencoba tertawa ringan walau matanya melirik gelisah ke arah Bayu dan Azhar, seolah memberikan kode supaya jangan dibakar dulu suasananya.
“Yah… Gas, jangan baper lah. Namanya juga cowok, ngobrolnya emang suka ngaco. Tapi ya udah… kita stop bahas, gue juga males ribut cuma gara-gara cewek.”
“Lagipula,” lanjut Dipta, menenggak birnya sejenak sebelum nyengir, “gue nggak pernah bilang Laras murahan juga. Beda lah dia… makanya lu segitunya, kan?”
Nada itu masih menggoda, tapi lebih hati-hati. Ada jeda di ujung kalimatnya, seolah dia memilih kata dengan bijak—dan itu bukan gaya Dipta biasanya. Bayu cepat menangkap, langsung nyeletuk, “Iya, iya, udahan. Kita buka topik lain, kayaknya lu pada udah mulai mabok.”
Bagas membuang napas panjang, masih waspada tapi tidak lagi sekeras tadi. Ia tahu, cowok-cowok ini nggak akan berubah dalam semalam. Tapi untuk malam ini—mungkin cukup.
Tak terasa, suasana kembali seperti semula. Tawa-tawa ringan kembali mengisi ruangan, meski tak sekencang tadi, namun Bagas masih tak bersuara. Ia duduk di tempat yang sama, tidak bergeser sedikit pun. Kaleng bir ketujuh terbuka tanpa semangat, nyaris tanpa suara, lalu diteguk perlahan. Ia bahkan tak lagi peduli pada rasa pahit yang mengalir ke tenggorokannya.
Bayu tiba-tiba memecah keheningan dengan suara santai, “Lu udah gitu sama Dinda berapa kali sih, Gas?” suaranya ringan tapi penuh rasa ingin tahu yang agak kurang sopan. “Gue baru sekali, itu pun pas kita lagi mabuk berat. Tapi mukanya... anjrit, bikin sange banget. Pas kepantul ke kaca, gue sampe ngiler liatnya.”
Agung tak mau kalah, “Gue malah masih kebayang cewek anak hukum itu, lu tau kan? Mukanya polos banget, tapi waktu di ranjang... gila. Tiap kali klimaks, kayak gue hampir mati. Ngedesahnya kayak sengaja banget bikin gue makin ngaceng, tapi giliran gue bilang ‘udah cukup’ dia malah minta terus.”
Bayu tersenyum nakal, “Buset, anak hukum ya? Pantesan aja, gue suka yang main kasar, tapi kalo yang kayak gitu gue malah gue mainin terus.”
Agung lalu menoleh ke Dipta, mata penuh tantangan. “Lu, Dip? Siapa yang paling nendang menurut lo? Jangan bilang lo cuma suka yang gitu-gitu doang.”
Dipta mengangkat alis, pikir sejenak. “Yang terakhir sih… selera gue mah bukan cuma jago nggak jago, tapi gue paling suka pas dia ngeluh sambil meringis, kayak kesakitan tapi tetep ngeden dan ngedesah setiap gue sodok terus. Rasanya tuh, kayak… gue bikin dia gila, bikin gue tambah ganas.”
Azhar tertawa kecil, “Anjir, demennya maksa lu mah. Gue sih nggak bisa kalo cewek kayak gitu, gue sangenya sama yang malu-malu gitu, aduh anjir… minta gue paksa aja sumpah.”
Suasana jadi makin cair. Obrolan mereka menggambarkan dunia malam penuh nafsu, tawa dan godaan, tapi bagi Bagas, semuanya terasa hampa. Kaleng bir di tangannya hampir habis, tapi hatinya malah kian berat, terjebak antara kenangan dan kenyataan.
Tanpa ia sadari, suara langkah berderak pelan di balik keramaian. Dinda datang—bersama dua temannya yang sama goyahnya. Gaun ketatnya tampak kusut, rambutnya sudah tak serapi awal malam. Napasnya menyengat bau alkohol yang bercampur parfum pula. Mata sayunya menangkap Bagas dari seberang ruangan.
Dengan seenaknya, ia merosot duduk di pangkuan Bagas—lembut, namun terasa berat bagi tubuh yang sedang rapuh. Tubuh Bagas kaget, tapi tidak sepenuhnya sadar. Matanya membuka sedikit, melihat siluet samar Dinda. Wajah perempuan itu nyaris menempel di wajahnya, senyumnya menggoda, bibirnya basah.
Tawa teman-temannya masih berseliweran, mereka masih larut dalam obrolan liar tentang tubuh-tubuh perempuan yang mereka koleksi dalam ingatan, lalu suara Dipta mengusikur.
“Bagas, Laras lu dateng, nih…”
Seketika jantung Bagas mencelus. Matanya terbuka lebih lebar, buram, nyaris tak fokus. Kepalanya menoleh setengah sadar. “Nggak mungkin… paling dia udah tidur.” Suaranya parau. “Oh iya… gue belum ngabarin—”
Belum sempat ia bangkit, tangan Dinda memeluknya dari belakang. Lembut tapi melemahkan. Bagas kembali terhuyung jatuh ke sofa, tubuhnya menyerah. Hangat tubuh Dinda menyusup lewat kaus tipisnya.
“Selamat ulang tahun ya, Gas,” bisik Dinda dekat sekali ke telinganya. Suaranya manja, dan nyaris bergemetar. “Gue kangen sama lu…”
Bagas hanya bisa menelan ludah. Tangannya sempat bergerak, seperti mau mendorong, tapi malah mendarat ringan di pinggang Dinda. Ia memejamkan mata. Parfum yang samar itu—sejenak seperti Laras, tapi tak benar-benar sama. Lebih manis, lebih tajam, lebih… asing.
“Ngapain malem-malem ke sini, aku nggak—”
“Mau cium~” bisik Dinda manja, dengan nada centil yang sengaja ditarik-tarik, sebelum menunduk dan mendekatkan dirinya ke tubuh Bagas.
“Hah?!”
Sebelum sempat bertanya ulang, bibir itu sudah menempel di bibirnya. Lembut, panas, dan basah. Tidak seperti Laras. Tapi saat malam terlalu sunyi, perbedaan jadi samar. Bagas diam. Tidak mencium balik, tapi tidak menolak juga.
Lidah Dinda bermain semakin dalam, memeluk lidah Bagas yang awalnya hanya diam, tapi kini mulai bergerak balik, pelan-pelan. Hembusan napasnya makin tidak beraturan. Jari-jari Dinda naik ke tengkuk Bagas, mengacak rambutnya dengan lembut, lalu turun lagi menyusuri dada, perut, hingga akhirnya berhenti di paha.
“Ras… jangan, nanti bangun…” desisnya, lirih. Tapi tangannya tidak mendorong, hanya menggenggam lengan Dinda pelan, seperti setengah hati.
Tangannya bergerak lebih berani. Ibu jarinya menekan perlahan bagian yang mulai menegang di balik celana jeans, sementara tangan satunya terus menggenggam tengkuk Bagas, menjaga wajahnya tetap dekat. Ciuman mereka tidak terputus—justru semakin basah dan rakus.
“Ras…” gumam Bagas parau, seakan mabuknya bertambah berat. “Kok jadi kayak gini…”
Tapi Dinda tidak menjawab. Bibirnya terus menari di sepanjang garis rahang Bagas, menjilat pelan di bawah telinga, berbisik tanpa suara. Tangan itu sekarang benar-benar mengelus bagian keras di balik celana, bolak-balik, menekan, menggenggam, hingga Bagas tak bisa lagi menyembunyikan respons tubuhnya.
Sementara itu, tawa di ruangan tetap bergaung, tapi mulai terdengar berbeda. Agung tertawa pelan sambil menarik salah satu teman Dinda—yang berambut sebahu dan mengenakan tank top hitam—ke kamar Bagas tanpa banyak bicara.
Bayu dan Azhar sedang mengerubungi satu gadis lain di sudut ruangan—mereka tertawa, saling melempar komentar jorok, dan tangan mereka sudah mulai menyusup ke balik bajunya. Gadis itu hanya terkekeh, setengah mabuk, setengah menikmati. Sementara Dipta masih duduk dengan kaleng bir di tangannya, tapi matanya tak fokus. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri, atau mungkin hanya menunggu giliran.
Bagas kini menggigit bibirnya. Pinggulnya bergerak sedikit, refleks. Tangan Dinda menggenggam lebih kuat, kini mengelusnya dengan gerakan naik turun yang teratur. Ia bisa merasakan panas dari balik kain celananya sendiri. Denyutnya keras, menyakitkan. Nafasnya makin berat, dan untuk sesaat yang fana… Bagas membiarkan dirinya tenggelam.
Mimpi kali, ya… Sialan, ngapain gue mimpiin Laras kayak gini…
Tangan gadis itu masih menggoda di antara paha, sementara ciuman mereka jadi lebih lambat… lebih dalam… seolah-olah ada rasa.
“Gas…” bisik Dinda, suaranya manja dan sengau karena minuman. “Kamu beneran nggak mau sentuh aku, ya?”
Bagas menggertakkan rahangnya. “Laras… Nggak gitu, aku… aku udah janjii…” lirihnya, hampir tanpa sadar.
Dinda tersenyum kecil—ia menangkapnya, dan ia tidak menolak peran itu. Justru ia mulai meniru, membisikkan nada yang lebih lembut, lebih manja, lebih seperti seseorang yang Bagas pikir sedang ia bayangkan.
Biarlah, karena Bagas hanya miliknya seorang.
“Bagas,” ucap Dinda dengan nada pelan dan bergetar, seolah malu-malu, “aku pengen banget, tapi jangan kasar ya… peluk aku duluu…”
Tangannya menyentuh bagian yang sudah menegang sepenuhnya, masih terbungkus celana jeans, dan ia mulai mengusapnya dengan perlahan—naik turun, sesekali menekan lembut bagian kepala yang mulai menonjol dari balik resleting.
“Nggak apa-apa ya… meski belum nikah, karena itu masih lama banget… aku cuma pengen ngerasain inii, emangnya kamu nggak mau ngerasain aku juga?”
“Aku udah nggak tahan… dari dulu pengen nyentuh ini,” Dinda melanjutkan, tangannya makin berani. “Kamu bilang ini cuma buat aku, kan?”
“Kenapa… nggak bilang…” desah Bagas, nyaris tak sadar ia menjawab. “Aku cuma pengen ngejaga kamu… pengen kamu, Ras…”
Ciuman mereka makin liar, tapi masih terasa sayu. Nafas mereka memburu, dan tangan Dinda kini mulai membuka resleting celana Bagas pelan-pelan, sembari tetap berbisik, “Makanya bukain, dong… pengen lihat punyamu… aku janji nggak nakal, cuma pengen pegang doang, boleh ya?”
Dinda melirik Bagas dengan tatapan yang seolah penuh rahasia. Suaranya serak, penuh godaan tapi tetap membawa kelembutan yang samar. Dengan gerakan pelan dan hampir tanpa sadar, Bagas ikut membantu, kedua tangannya mulai menurunkan celana jeans itu, membiarkan tangan Dinda lebih bebas menjelajah.
“Aku udah latihan banyak buat muasin kamu, Gas,” bisiknya lirih, seperti ingin membelai lebih dari sekadar tubuh. “Aku tahu kamu laper… aku puasin ya, ini hadiahku.”
Bagas mengerutkan dahi, setengah terkejut, setengah tenggelam dalam mabuk dan kerinduan yang mengaburkan nalar. Mulut hangat itu menyelimuti dengan lembut dan penuh gairah, membuatnya enggan menatap—cukup membayangkan bibir mungil Laras yang selama ini ia rindukan menyentuhnya sudah membuat seluruh tubuhnya terbakar.
“Keras banget... aku sukaa...” desis Dinda, senyum menggoda terlukis di bibirnya saat lidahnya menari penuh keinginan. “Kamu suka hadiahnya?”
Bagas mengernyit, tapi hatinya bertambah yakin, seakan-akan sosok di pangkuannya adalah Laras. “Hadiah? Hadiahnya ini? Laras… gila kamu...” katanya, suaranya serak tapi penuh kepuasan. “Aku suka… aku suka banget, Ras.”
Sial… mulutnya ternyata enak banget… pikirnya. Ia merasakan kenikmatan yang nyata, tapi di balik itu semua, ada suara kecil dalam hatinya yang bertanya-tanya.
Tangannya yang lain meraih kepala “Laras” itu, mengelus lembut rambutnya, namun rasa penasaran muncul. Kok rambutnya lurus, ya? pikirnya dengan samar, seolah ada yang janggal tapi ia terlalu tenggelam dalam momen untuk peduli.
Ciuman di pangkal penisnya terus berlanjut, penuh gairah yang membakar dan kerinduan yang sangat salah. Dan di balik semua itu, Bagas tenggelam dalam pusaran perasaan yang mengoyak antara cinta, kesetiaan, dan nafsu yang tiba-tiba meledak.
Dengan penuh getir dan kehangatan yang menggelora, Bagas mulai menggumamkan kata-kata yang tak terduga dari bibirnya, suaranya serak dan bergetar antara kesakitan dan kenikmatan.
“Pelan-pelan, Ras... jangan buru-buru, nanti sakit... eunghhh—” desisnya yang hampir tersendat, suaranya melebur jadi gemuruh kecil kenikmatan. “Enak banget... kamu tahu nggak? Aku nggak pernah... ngerasain kayak gini.”
Ia menggenggam sedikit rambut yang terasa aneh tapi membius itu, seolah memohon agar waktu berhenti sejenak—untuk merasakan setiap detik yang menembus batas antara kenyataan dan ilusi.
“Gila, Ras... kamu kenapa jago banget... jangan berhenti di situu, pelan-pelannhh... aahh—” suara Bagas melemah, tapi matanya tetap tertutup, tenggelam dalam pusaran rasa yang bahkan logika paling tajam pun tak mampu menahan.
Sementara itu…
Dipta menegakkan tubuhnya perlahan. Kaleng bir di tangannya sudah kosong, namun rasa pahit di dadanya jauh lebih menusuk daripada sisa alkohol yang masih melekat di lidahnya. Suara desahan Bagas—parau, dalam, penuh kenikmatan yang salah kaprah—menusuk telinganya seperti belati tumpul, menyayat pelan namun pasti, menciptakan luka yang tak bisa ia tunjukkan.
Sial… kenapa sakit sekali?
Ia menenggak lagi, padahal tidak ada yang tersisa di kaleng kosong itu. Tatapannya kosong, namun tetap terarah pada sosok Dinda—berlutut di antara kaki Bagas, tenggelam dalam kenikmatan yang pernah menjadi miliknya.
Dinda pernah berteriak di bawah tubuhnya, menyambut kerasnya dengan senyuman, mendamba luka dan memohon lebih. Saat itu, Dipta kira mungkin... mungkin gadis itu miliknya. Namun ternyata, semua hanya fatamorgana.
Dinda tidak pernah benar-benar memandangnya. Ia mencintai Bagas—si brengsek yang berpura-pura bersih, yang bahkan tak pernah peduli bahwa ia menjadi pusat dari obsesi perempuan yang rela hancur demi mendapatkannya. Dan Laras... gadis kampungan yang berhasil didapatkan Bagas, sementara dirinya menjadi satu-satunya orang yang tak pantas dicinta.
Dipta muak. Ia muak melihat Dinda begitu memuja Bagas, padahal ia sendiri juga pernah membawa gadis itu mengerang dalam dosa, dan ia muak melihat Bagas mencela Dinda sambil memuja-muja Laras seolah perempuan suci itu jauh lebih baik—lebih murni, lebih layak.
Bagas munafik. Si anak emas yang pernah berterima kasih pada Dipta atas segala hal, kini melempar lumpur ke wajahnya, menginjakkan kaki pada masa lalu yang membuat mereka bersahabat. Kini, persahabatan mereka usai—dan bukan dengan damai.
Dipta tak ingin sakit sendiri. Jika ia harus jatuh, maka yang lain harus terseret pula. Ia tak akan menyentuh Laras—ia tahu batas. Tapi Dinda? Dinda adalah api yang begitu indah, namun mudah ia tiup agar membakar siapa pun.
Cukup satu atau dua bisikan, dan Dinda berubah menjadi badai. Frustrasinya tumbuh, obsesinya makin menjadi. Ia mengejar Bagas seperti pecandu yang tidak sadar dirinya telah tenggelam begitu dalam.
Itulah permainan Dipta. Ia hanya perlu menyulut. Dan malam ini… malam ini adalah babak akhir.
Dipta melirik ke arah luar pintu yang masih terbuka. Di depan tangga yang membawanya ke lantai di mana kamar kos Bagas berada, seseorang berdiri kaku, terjebak di ambang pintu neraka yang tak ia tahu telah disiapkan untuknya.
Laras.
Wajahnya pucat, matanya membulat—menatap ke arah pintu yang sedikit terbuka, cukup untuk melihat tubuh Dinda yang berlutut dan kepala Bagas yang tengadah, mabuk dalam dosa.
Pas sekali, batin Dipta.
Senyum kecil menghiasi bibir Dipta. Senyum seorang dalang yang tahu pertunjukan akan segera usai.
Inilah waktunya. Waktu untuk kehancuran.
“Woi, bangsat.”
Suara Dipta terdengar samar di telinga Bagas, tajam dan dingin. Bagas sedang terduduk pasrah, kepalanya mendongak pelan, nafasnya berat. Di bawah sana, “Laras” sedang bekerja dengan mulut dan tangan yang sama lihainya. Lidahnya melingkar, menjilat pelan, menekan lembut, lalu menyedot kuat-kuat sampai tubuh Bagas menegang.
Kepalanya menyentak ke belakang. Jemarinya mencengkeram kuat pada sofa, bibirnya terbuka sedikit, mengerang rendah.
“Enak ya, disepongin sama gadis desa bau kambing?” sindir Dipta, bersandar santai di ambang pintu, menahan tawa. “Katanya pacarannya idealis, penuh larangan. Lah lu, tunduk digituin juga?”
Desahan Bagas makin liar. Nafasnya tersengal. Ia separuh sadar, separuh hilang kendali. “Hmmh… hah… pelan… pelan—”
Dipta menyeringai, meski hatinya terasa pilu. “Lu nggak usah jawab. Gue tahu, disepong pas ereksi tuh enak banget.”
Bagas tertawa, tapi terdengar getir. Pinggulnya refleks naik turun, pelan tapi dalam. Ritmenya ikut permainan lidah “Laras”—basah, lembut, dan terlalu tahu cara bikin Bagas kehilangan arah.
“Gadis desa bau kambing?” akhirnya Bagas bicara, suara serak. “Siapa sih, Laras?”
Tertawanya dingin, napasnya memburu.
“Iya, cantik. Tapi biasa aja.”
“Gue bukannya sombong… tapi hmm… Dia baik, tapi… hahaha, pacaran sama dia kayak pacaran sama ibu kos.” “Banyak larangannya, ngebosenin. Mana kadang sepatunya suka ada lumpur bekas kandang pas habis praktek… Kadang juga bau banget.”
Dipta membeku. Ia tak menyangka Bagas bakal menjawab sejujur dan sekotor itu. Namun, senyum jahat kembali terpatri di wajahnya, lagi-lagi… dia tak perlu berusaha lebih.
Di bawah sana, Dinda hanya melanjutkan apa yang ia lakukan—tanpa memedulikan apa pun selain memuaskan penis Bagas di mulutnya. Bibirnya semakin rakus, tangannya memompa batang Bagas dengan cepat, dalam, penuh tenaga. Air liurnya bercampur dengan nafas panas dari antara pahanya Bagas.
“Tapi…” suara Bagas pelan, seolah tenggelam di pusaran emosi, “gue kagum banget sama dia. Total. Kayak nggak peduli sama dunia. Matanya nyala. Dan… dia tulus. Gue percaya itu. Gue nggak ngerti kenapa, tapi…”
Tiba-tiba Dinda mencengkeram bagian bawah tubuhnya, menelan habis batangnya dalam satu gerakan berani. Bagas teriak pendek, tangannya menggenggam kepala Dinda erat.
“AHH—brengsek! Jangan cepet-cepet… pelan dikit… ahh…”
Dinda pura-pura tuli. Mulutnya menenggelamkan suara Bagas dalam ciuman brutal. Lidahnya terus brrmain, menjilat habis cairan sudah menetes dari ujung batang Bagas.
“Ahh… La—”
Nama itu nyaris terucap. Nyaris. Tapi hilang di antara senggama bibir dan deru nafas yang meledak-ledak.
Dipta hanya menatap. Tak tertawa. Tak mengganggu. Ia sudah berhasil, Bagas mengucapkan apa yang harusnya tak pernah keluar dari mulutnya
Dan di balik pintu, Laras berdiri diam. Tubuhnya gemetar.
Laras baru saja mematikan lampu kamarnya ketika notifikasi itu muncul. Ponselnya bergetar pelan di atas meja, lalu senyap.
Biasanya, itu hanya pesan pamit tidur dari Bagas. Biasanya, “Aku udah sampai rumah, kamu tidur duluan aja, ya.” atau hanya “Selamat istirahat, Laras,” dan “Mimpiin aku, ya.”
Tapi malam ini berbeda.
“Dadaku sesak banget, Ras.”
Hanya itu.
Pendek, tapi cukup untuk membuat Laras bangkit dari tempat tidur dengan jantung yang tiba-tiba berdebar.
Tanpa banyak pikir, ia ganti baju seadanya, menyambar jaket dan sekotak kado yang baru saja ingin dijanjikan akan diberikan esok hari.
Langkahnya cepat, nyaris berlari. Dalam hati, ia sudah membayangkan yang terburuk—mungkin bronkitis Bagas kambuh, atau kecemasan lamanya datang kembali.
Ia sampai di depan kos itu dengan napas memburu. Pintu kamar kos Bagas terbuka. Tapi yang menyambutnya bukan suara. Bukan tanya. Bukan senyum lelah Bagas.
Yang menyambutnya adalah desahan.
Tubuhnya menegang. Langkahnya terhenti seketika. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, Laras melihat segalanya.
Bagas.
Dinda.
Dan suara Bagas yang terdengar untuk orang yang katanya sedang “sesak”.
Sekotak kado jatuh dari genggamannya, membentur lantai dengan bunyi pelan yang nyaris tak terdengar. Seperti hatinya—retak tanpa suara.
Laras tidak menangis. Tidak ada air mata.
Hanya langkah yang mundur.
Pelan.
Berat.
Seolah bumi yang dipijaknya enggan menerima langkahnya.
Ia tidak marah, tidak berteriak, yang ada hanya sunyi—yang menghujam jauh lebih dalam dari apapun, seperti seseorang yang baru saja dikutuk lupa cara menangis.
Dan di dalam kamar itu, di balik layar ponsel yang terbuka tanpa kunci, Dipta tersenyum miring.
Rencana kecilnya berhasil. Kini, luka yang dulu ia telan sendirian… akhirnya terasa adil.
“Selamat datang di neraka, sahabatku.” gumamnya pelan, nyaris seperti doa yang tak ditujukan pada Tuhan mana pun.
Ia bangkit pelan, melangkah keluar dari kamar yang kini penuh suara desahan, napas tercekat, dan tubuh yang tak tahu malu. Di lantai dua kos itu, Dipta menutup pintu kos itu, menyambut angin malam yang terasa lebih dingin dari biasanya. Ia bersandar di dinding beton, menarik sebatang rokok dari bungkus yang sudah lusuh, lalu menyalakannya.
Asapnya mengepul, lambat, tenang.
Dari atas sana, matanya menangkap sosok Laras di kejauhan.
Tubuh perempuan itu bergetar. Matanya mungkin sudah basah, tapi ia tak menangis. Ia hanya berjalan—pelan, pasti, menjauh dari pintu kos yang tak akan pernah ia ketuk lagi.
Kos itu tetap hidup dalam keheningan malam.
Agung di kamar sebelah, bercinta dengan perempuan yang bahkan namanya tak ia ketahui. Bayu dan Azhar menggeram bersama, menertawakan cinta seolah hanya lelucon mabuk.
Dan Bagas… lelaki paling sialan di antara mereka semua, telah kehilangan satu-satunya hal yang tulus.
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Chapter 8: In His Footsteps
Summary:
Bagas Mahendra, a family medicine doctor, is transferred to a remote village as part of a volunteer program, where he unexpectedly reunites with Laras Ayu Prameswari, a woman he once met in college.
Notes:
Cerita ini merupakan fan-fiksi, di mana karakter, latar, kejadian, jabatan dan lembaga yang ada di dalamnya bersifat fiksi dan tidak berhubungan dengan individu atau peristiwa di dunia nyata. Cerita ini mengandung berbagai isu—harap membaca tag line dengan cermat. Semua istilah medis dijelaskan berdasarkan riset pribadi saya untuk kebutuhan cerita, dan pembaca diharapkan untuk membacanya dengan bijak.
Karena latar cerita berada di sebuah provinsi di Pulau Jawa yang dikenal dengan bahasa daerahnya, saya memilih untuk tidak menggunakan bahasa daerah secara langsung agar pembaca internasional bisa lebih mudah mengikuti cerita. Sebagai gantinya, saya menggunakan huruf miring pada kalimat yang dimaksudkan dalam bahasa daerah, sambil tetap memakai bahasa Indonesia yang tepat agar lebih mudah diterjemahkan.
:::::
This is a fan-fiction story, where the characters, settings, events, and positions involved in the story are fictional and not related to real-life individuals or events. The story contains various issues—please read the tagline carefully. All medical terms are explained based on my research for storytelling purposes, and readers are advised to approach them cautiously.Since the story is set in a province on the island of Java, which is known for its regional language, I decided not to use the regional language directly, so international readers can follow the story more easily. Instead, I use italics for sentences meant to be in the regional language, while still using proper Indonesian for easier translation.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Bagaikan jiwa yang kosong, Bagas melangkah pelan dari arah dapur. Langkahnya lamban, seolah setiap injakannya terikat beban yang tak kasat mata.
Di perutnya masih tersisa hangat dari telur mata sapi yang dimasak oleh Laras.
Seperti yang ada dalam ingatannya, Laras, selalu enggan menambahkan garam karena takut terlalu asin, sementara ia sendiri lebih suka sentuhan lada yang banyak untuk menghangatkan tubuhnya. Kini, kehangatan itu kembali menusuk ke tenggorokan, dibalut rasa asin yang nyaris tak terasa. Namun, entah mengapa, ia tetap melahapnya hingga habis. Mungkin karena hatinya terlalu rindu untuk menolak apa pun yang datang dari tangan Laras—meski hanya sepiring telur hambar dan nasi dingin, serta kesunyian yang menemani tiap suapannya.
Langkahnya berat, bukan karena lelah, tapi karena ruang keluarga di depannya terlalu sunyi untuk dihampiri.
Di sana, Laras duduk diam. Ia menatap televisi yang mati dengan pandangan kosong, sementara kedua kakinya ditekuk ke atas dan dipeluknya. Matanya sembab, namun tetap ia sembunyikan di balik bayangan lampu temaram. Bagas tahu, jarak itu hanya beberapa langkah, tapi terasa seperti melintasi tahun-tahun yang gagal ia pahami.
Ia berdiri di ambang lorong, terlalu sesak untuk masuk, terlalu takut untuk pergi. Dan di dalam dadanya, ada perasaan yang tak bisa ia beri nama—semacam kehilangan, padahal sosok yang ia cintai masih duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.
Hening sementara menyapa, merayap perlahan seperti kabut Dieng yang tak pernah diminta tapi selalu datang. Laras tahu Bagas memperhatikannya dari belakang, seperti biasa. Tapi malam itu, ia terlalu lelah untuk peduli.
Setelah malam yang panjang dan kejam, yang menelanjangi kebenaran seperti pisau dingin, Laras bahkan takut untuk memejamkan mata. Bukan karena ia tidak mengantuk—tapi karena tiap kali kelopak matanya menutup, yang ia lihat adalah pemandangan menjijikkan oleh Bagas… bersama perempuan lain, bersama Dinda.
Ia sudah dengar semuanya. Penjelasan, sumpah, bahkan nada putus asa yang membuat dadanya sesak.
“Aku minta maaf, Ras… aku nggak pernah niat sekali pun nyakitin kamu, nggak pernah.”
…
“Semua pujian, semua kata cinta dari aku buat kamu, niat aku mau berubah jadi lebih baik… itu semua nyata, aku nggak bohong dan nggak mau bodoh-bodohin kamu. Tolong, percaya itu…”
…
“Aku hidup dengan bayangan kamu bertahun-tahun, Ras. Alasan aku masih ngerokok, masih suka mabuk di Jakarta… alasan aku ngelakuin semua hal yang kamu benci… cuma supaya aku bisa terus ngerasa kamu ada. Supaya aku bisa terus hidup… meski sakit, meski harus ketergantungan obat.”
…
“Aku nggak tahu kalau kamu baca pesan dari aku atau nggak, tapi aku jelasin soal Dinda ke kamu. Setiap malam aku kepikiran sama kamu, Ras...”
…
“Aku kepikiran apa alasannya sampai kamu ninggalin aku, aku nggak tahu siapa yang mainin ponsel aku terus bales pesan kamu, karena seingetku ponselku habis baterai. Dan soal Dinda... aku sadar pasti banyak yang ngomongin soal aku dan dia. Tapi Ras, Demi Allah... cuma kamu yang selalu aku sayang."
…
“Ras… aku mohon... hiks... aku cuma mau hidup bareng kamu. Cuma kamu. Apa kamu pernah... hiks... sekali aja... ingat tentang aku? Kamu nggak kangen sama kamu? Kamu pernah sekali aja mikir gimana kondisi aku di Jakarta? Kamu bisa hidup tanpa aku, Ras?”
Laras memejamkan mata, masih ingin menyimpan amarahnya dalam diam. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di balik lututnya, berusaha menahan napas yang mulai tak beraturan.
Bagas tidak tahu… bahwa saat ia memejamkan mata untuk melupakan, yang hadir justru sosok Bagas. Tidak tahu bahwa doa-doa Laras yang paling lirih pun masih menyelipkan namanya agar Bagas tetap baik-baik saja—agar Laras sendiri tidak perlu terus merasa cemas, terus merasa kehilangan, terus merasa terikat padanya.
Laras sama terperangkapnya. Sama tidak bebasnya.
Setiap langkah yang ia ambil untuk menjauh selalu menuntunnya pada kenangan yang enggan mengendur dari ingatan. Kalau pun ia melampiaskannya dengan amarah, tapi bahkan kemarahan pun terasa melelahkan. Karena pada akhirnya, yang ia lihat bukan hanya Bagas yang menyakitinya, tapi Bagas yang juga hancur—sama seperti dirinya.
Kata-kata pujian dan cinta yang manis dari Bagas masih terpatri di kepalanya, tak ada yang hilang. Ia percaya pada saat itu—dan mungkin, masih, tapi bahkan cinta yang dipercaya pun bisa menggores lebih dalam dari luka yang nyata.
Apa pun alasan Bagas, apa pun yang ingin ia yakini, bayangan itu—bagaimana Dinda menunduk di pangkuannya, bagaimana tubuh Bagas tak menolak, bagaimana desah yang sedikit demi sedikit tertangkap telinga Laras saat itu—semuanya nyata.
Semua itu terlalu hidup, terlalu jujur untuk disebut salah paham, dan itu lebih dari dari cukup.
Bukan hanya tubuhnya yang terasa lelah—tapi jiwanya, telah tercabik tanpa suara.
Air matanya sudah kering sejak beberapa saat yang lalu, tapi rasa panasnya belum surut. Dadanya begitu perih, seperti diikat kencang dari dalam membuat tiap helaan napas terasa seperti hukuman.
Dan yang menyakitkan dari semuanya—adalah bahwa sebagian dari dirinya masih ingin mendengar bahwa Bagas menyesal. Masih ingin Bagas menjelaskan tentang apa saja yang terjadi malam itu, masih ingin mendengar Bagas memohon padanya untuk memaafkannya. Tapi… kenyataan bahwa Bagas bahkan tak tahu apa yang benar-benar terjadi malam itu membuatnya terasa lebih sakit dari apa pun.
Laras ingin menemukan satu alasan untuk marah, satu celah untuk menaruh benci. Tapi Bagas menatapnya dengan mata yang jujur, begitu jernih hingga ia tak punya tempat untuk menaruh amarahnya. Dan di sanalah ia hancur—bukan karena dibohongi, tapi karena ia tahu Bagas tak pernah bisa menyembunyikan apa pun.
Tapi… Bagas tak bisa memberinya kejelasan. Ia tak tahu apakah itu sekadar akibat mabuk, apakah hanya sebatas ciuman, atau… sesuatu yang jauh lebih dalam dan mengoyak.
Dan jika Bagas saja tidak tahu, lalu siapa yang bisa menjamin bahwa malam itu tidak menyisakan lebih banyak luka? Siapa yang bisa memberi jaminan bahwa cinta yang pernah ia percayakan sepenuhnya itu tidak ternoda oleh hal yang bahkan tak dapat dijelaskan oleh pemiliknya sendiri?
Itu sebabnya... permintaan maaf itu terdengar kosong.
Itu sebabnya… semua kata cinta itu kehilangan makna.
Karena tak peduli sekeras apa Bagas mencoba jujur… ia tetap berbicara dari ruang yang kosong. Dari malam yang tak ia ingat. Dan Laras—ia tidak mungkin hidup bersama seseorang yang tak tahu betapa besar luka yang telah ia buat.
Tapi Bagas di sini. Hadir, menetap, mengisi ruang yang seharusnya telah tertutup rapat oleh waktu. Ia ada di desa ini—satu kampung, bahkan satu rumah. Lucu sekali, pikir Laras.
Bagas seharusnya menerima pertunangan itu. Seandainya ia melangkah ke arah yang seharusnya… seandainya ia benar-benar melupakannya, bukankah mereka tak akan pernah bertemu lagi? Jika benar ia tak ingat apa pun, bukankah melanjutkan hidup akan jauh lebih mudah? Bukankah melupakan dan melangkah pergi lebih ringan daripada bertahan di tempat yang penuh jejak kesalahan?
“Ras…” suara itu datang dari belakang, ragu, seolah tahu tak seharusnya hadir.
Laras tersadar dari lamunannya, menoleh sedikit. “Hm?”
Laras menoleh sedikit. Gerakan kecil yang nyaris tak berarti, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia masih mendengarnya—masih memberinya tempat di ujung-ujung kehancurannya.
“Makasih banyak, Ras… udah urusin aku. Piringnya udah aku cuci, kamu langsung tidur aja,” ucapnya pelan, terlalu pelan.
Laras mengangguk. Kepalanya tak banyak bergerak, tapi matanya kembali ke arah semula. “Sama-sama…” gumamnya lirih, suara yang seharusnya jatuh ke tanah tapi malah tersangkut di tenggorokan.
Retak. Getar. Seperti hatinya.
Bagas menunggu sejenak, berharap mungkin Laras akan menoleh lagi, atau bicara sedikit lebih banyak, tapi keheningan itu kembali, menggantung seperti embun dingin di atap rumah—diam, menggigit, dan tak mungkin dihindari.
Malam itu, mereka kembali menjadi dua orang asing yang terlalu akrab dengan luka masing-masing. Saling berada… tapi tidak benar-benar ada.
“Aku izin masuk ke kamar kamu lagi, ya? Mesin uap aku masih ada di sana.”
Laras hanya mengangguk pelan. “Jangan lama-lama, kamu butuh istirahat.”
Bagas tersenyum pahit—istirahat kini terasa tak lagi penting baginya. Tanpa sepatah kata, ia melangkah masuk ke kamar Laras.
Ruangan itu kecil, sederhana, didominasi warna hijau pastel yang menenangkan, yang langsung mengingatkannya pada Laras—tenang, tapi menyembuhkan dalam diam.
Di tiap sudutnya ada sentuhan tangan Laras, terasa hidup dan penuh perhatian. Ada rak gantung dengan buku dan pajangan kecil yang ditata semaunya, karpet bulu halus yang terasa hangat di bawah telapak kaki, lemari kayu pakaian yang besar di pojok, dan foto-foto tanpa bingkai yang menempel di dinding atas kepala tempat tidur.
Tapi yang paling menonjol—dan paling menggetarkan Bagas—adalah rajutan. Hampir di mana-mana. Alas bangku kecil di samping meja, sarung bantal kursi gantung di dekat jendela, lapisan tirai yang menjuntai lembut, hingga gantungan kecil di gagang pintu—semuanya hasil tangan Laras sendiri. Di atas meja kecil di dekat jendela, ia melihat kotak benang warna-warni, jarum rajut, dan kain yang masih setengah jadi.
Ini bukan sekadar kamar biasa. Ini adalah dunia kecil milik Laras—penuh ketenangan, kehangatan, dan ketelatenan yang hanya dimiliki oleh perempuan sepertinya. Semua terasa hidup, terasa seperti Laras. Berbeda jauh dengan kamar milik Bagas sendiri di kota—besar, mewah, tapi dingin. Tak ada suara yang ingin dia dengar, tak ada kenangan yang ingin diingat, dan tak ada hal yang ingin membuatnya pulang.
Hanya kesunyian yang begitu kosong dan asing.
Kini, berdiri di tengah ruangan ini, Bagas hanya bisa menarik napas panjang. Ia merasa semakin kecil, merasa tak layak. Seolah ruangan ini sedang membisikkan satu kenyataan yang selama ini ia takuti—Laras memang bisa hidup tanpanya.
Tangannya mengepal. Ia berusaha menelan getir yang menyesakkan dada, mencoba menguasai pikirannya sendiri. Namun pandangannya terhenti pada kursi gantung di dekat jendela—tempat Laras duduk beberapa hari lalu. Diam, tak berkata apa pun. Hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit ia lupakan… tatapan iba, setelah kembali menyaksikan sisi paling munafik dari dirinya.
Air mata Bagas mulai mengalir, tapi ia buru-buru mengusapnya dengan kasar. Jangan sekarang, pikirnya. Ia memaksa tubuhnya untuk tetap bergerak—merapikan mesin uap, memasukkannya kembali ke dalam kotak penyimpanan. Namun, gerak tangannya terhenti.
Matanya menangkap sebuah foto—tersembunyi di balik tumpukan kenangan lain, sebagian besar tertutupi, namun cukup untuk membuat dadanya runtuh seketika. Warnanya telah menguning, kertasnya mulai rapuh di makan waktu, tetapi hasil cetaknya masih utuh—sejelas hari ketika pertama kali diabadikan.
Sebuah foto yang tak pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.
Itulah foto pertama mereka—Bagas dan Laras—duduk bersebelahan, menatap pertunjukan musikalisasi di hadapan mereka. Bagas sendiri yang menyetak foto ini setelah temannya mengirimkan file-nya, lalu menyimpannya di selipan Al-Qur’an-nya sebelum berpindah tangan kepada Laras karena gadisnya menginginkannya.
Sebuah kenangan yang tak akan pernah sanggup ia lupakan, bahkan seumur hidupnya.
Tanpa sadar, tangan Bagas terulur pelan, seakan digerakkan oleh sesuatu yang lebih dalam dari logika. Jari-jarinya perlahan menyentuh sudut foto itu, mengangkatnya perlahan dari tumpukan yang menekannya.
Foto itu menempel dengan selotip kusam yang dipasang sembarangan—tak rapi seperti gambar-gambar lain di sekelilingnya. Ada kesan tua dan usang yang menguar darinya, seolah foto itu telah lama terabaikan, tidak lagi mendapat tempat istimewa, meski jelas sekali pernah menjadi sesuatu yang berharga.
Air matanya jatuh sebelum sempat ia sadari—mengalir begitu saja. Jemarinya terulur, menyentuh sosok Laras dalam foto itu, seolah-olah sentuhan lembut itu dapat menembus kertas yang telah menguning. Senyum pahit tersungging di wajahnya—bukan karena bahagia, melainkan karena penyesalan yang tak kunjung reda.
“Prameswariku…” lirihnya, nyaris tak terdengar.
Seandainya waktu bisa berputar, Bagas akan tahu diri, ia tak akan meminta kesempatan kedua, ia tahu ia tak pantas mendapatkannya. Ia hanya ingin satu hal—memainkan jemarinya di helaian rambut itu untuk terakhir kalinya, mengusap pipi dinginnya lembut agar semburat merah di sana muncul, membiarkan dirinya merasakan kehangatan yang dulu pernah menyambutnya sebelum segalanya runtuh, sebelum Laras benar-benar melangkah pergi meninggalkannya.
Karena kini, ia baru tahu.
Ia baru tahu dirinya telah menyakiti Laras—dan itu saja sudah cukup membuat dadanya remuk, tapi yang lebih menyakitkan dari semuanya adalah kenyataan bahwa ia bahkan tak mengingat apa yang telah ia perbuat.
Bagas menggertakkan rahang, menahan sesak yang datang bagai ombak. Laras terluka. Oleh dirinya. Tapi ia… ia tak bisa mengingat kapan, bagaimana, atau mengapa. Ia hanya tahu luka itu nyata, dan ia penyebabnya.
“Kalau aja aku bisa ambil rasa sakit itu, Ras…” bisiknya lirih, “Aku rela... Aku rela nanggung semuanya, asal bukan kamu yang harus tanggung sendirian.”
Bagas mengusap air matanya dengan kasar, seolah takut tangis itu akan membasahi dan merusak foto yang tengah ia tatap. Ia terdiam, membiarkan keheningan menggantung di antara desah napas yang berat.
Lalu, dengan suara yang nyaris pecah oleh getir, ia bergumam pelan, “Harusnya aku nggak nyamperin kamu waktu itu, ya? Mungkin kamu nggak akan terjebak kayak aku sekarang.”
Ia menunduk, menahan sesak yang datang begitu saja, lalu melanjutkan dengan suara lebih lirih, “Seharusnya kamu nggak kenal aku… supaya kamu bisa hidup bahagia sekarang, Ras.”
Asap rokok mengepul pelan dari ujung bibir Bagas, menggantung di udara siang yang mulai meredup. Matahari belum sepenuhnya tenggelam, tapi sinarnya sudah tak seterik tadi. Bagas menggulung lengan kemejanya—kebiasaan lama yang melekat setiap kali ia hendak fokus pada sesuatu. Ia duduk bersandar di dinding luar sekretariat UKM Fotografi, satu kaki diluruskan, satu lagi menekuk, tali kamera tergantung di lehernya seperti biasa.
Ia baru saja menerima kembali kamera DSLR milik UKM kesayangannya—setelah dipinjam salah satu prodi buat dokumentasi seminar atau acara apa, dia lupa… tapi Bagas tak begitu peduli. Yang penting, kamera sudah kembali dalam keadaan utuh. Sekarang, ia sibuk mengecek tombol shutter, fokus, dan beberapa pengaturan dasar.
Click. Satu foto langit.
Clik. Satu foto ke teman-teman penghuni sekretariat yang duduk mengobrol tak jauh di hadapannya.
Click. Satu lagi ke arah kucing yang menghuni sekretariat ini, bermain di semak-semak yang berada di sekretariat.
Ujung rokok yang menyala temaram berada di sela bibirnya, asapnya meliuk pelan, mengisi udara dengan bau tembakau yang akrab. Ia menghembuskan napas panjang, matanya menatap layar kamera yang menampilkan gambar terakhir yang ia ambil.
“Oke, aman.” Bagas menepuk-nepuk abu rokoknya ke tanah, lalu hendak mematikannya di tepi dinding bata yang mengelilingi teras kecil sekretariat. Kamera sudah ia letakkan di pangkuan, dan sore terasa hangat di kulit meski angin mulai turun pelan.
Ia baru akan berdiri ketika terdengar suara memanggil dari kejauhan.
“Woi, Gas!”
Bagas menoleh. Dari arah jalan setapak di perkarangan, muncul sosok Cipto—teman seangkatan yang juga aktif di UKM, meski belakangan jarang kelihatan. Bagas mengangguk kecil, menahan langkahnya, lalu duduk kembali di dinding pendek teras.
“Woi, lama nggak keliatan,” sapa Bagas sambil merenggangkan bahunya.
“Iya, gue sibuk ngurusin proker BEM gue, rapat mulu hampir tiap hari sampe pusing.” jawab Cipto sambil menjatuhkan tubuhnya duduk di seberang Bagas. Punggungnya bersandar pada pilar kecil, sementara ranselnya diletakkan begitu saja di samping. “Kagak puasa lu? Masih ngudut aja, baru juga hari pertama...”
Bagas mengangguk asal. “Iya, lupa… Oh, lu jadi lanjut BEM?”
“Jadi, kurang orang soalnya.” Cipto menyeka keringat di pelipisnya. “Ngomong-ngomong, kameranya ada yang pinjem lagi, nggak? Kira-kira gue mau pake tanggal 10 nanti.”
“Bulan ini?” Bagas menekuk alisnya, sejenak berpikir. “Setau gue nggak ada, kenapa?”
“Iya. Jadi gini, nanti tanggal 10, gue mau jalanin non-proker BEM gue, biasa lah… donasi ke yang membutuhkan di bulan puasa ini.” Ia bersandar sedikit lebih nyaman. “Kita mau adain acara musikalisasi puisi, yang dateng kasih donasi seikhlasnya. Nah, berhubung kamera anak-anak nggak ada yang avail, gue mau pinjem aja soalnya nggak tau mau cari ke mana lagi. Nah… lu kan penanggung jawabnya, makanya gue ngomong dulu.”
“Boleh aja,” jawab Bagas sambil mengangguk. “Langsung suratnya aja mana sini, kasih ke Andin.”
“Oke, berarti bisa, ya?”
“Bisa, yang nggak bisa tuh tanggal 15-nya.”
“Oke, ntar gue bilang ke sekretaris deh.” Cipto menguap lebar, lalu menepuk pahanya. “Ya udah, gue numpang tidur dulu di dalem, dah... ngantuk banget gue dari kelas tadi.”
“Oke,” jawab Bagas, disertai tawa kecil melihat wajah lelah temannya itu. Ia pun beranjak dari duduknya, menyusul masuk ke dalam sekretariat. Kamera di tangannya ingin segera ia simpan di lemari penyimpanan yang terletak di pojok ruangan, tempat yang selama ini ia jaga dengan cermat. Hanya satu kunci yang dimiliki—dan kunci itu ada padanya, sebagai penanggung jawab peralatan.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk menjaga kamera itu dengan penuh tanggung jawab. Setiap kali ada peminjaman, Bagas akan memastikan terlebih dahulu surat resmi dari pihak BEM atau organisasi lain yang mengajukan. Ia pula yang akan menyerahkannya langsung pada peminjam, agar bisa memastikan kondisi kamera tetap baik sebelum dan sesudah digunakan.
Tak jarang, jika ia punya waktu luang, Bagas akan memilih menemani pemakaian kamera tersebut ke lokasi acara, apalagi bila yang meminjam belum terbiasa menggunakan DSLR. Baginya, tak ada ruang untuk kelalaian—terlebih karena harga kamera itu tak murah, dan perbaikannya pun tak bisa dilakukan sembarangan.
Kali ini, setidaknya ada Cipto—teman satu UKM sekaligus panitia acara—yang menjadi penanggung jawab. Itu membuat Bagas sedikit lebih tenang, ia tahu Cipto cukup bisa dipercaya.
Maka ketika tanggal 10 tiba, Bagas memutuskan untuk mengantarkan sendiri kamera itu ke lokasi acara. Namun, tubuhnya sedang remuk setelah menjalani tiga hari berturut-turut praktikum padat—semester ganjil di tahun ketiga memang tidak memberi ampun bagi siapa pun.
Bagas berjalan menuju area panitia dengan langkah berat. Kemeja putihnya sudah terbuka seluruh kancingnya, memperlihatkan kaus dalam putih yang mulai kusut karena keringat. Rambutnya pun acak-acakan, jelas menunjukkan betapa lelah dan jenuhnya ia setelah seharian penuh.
Ia mendekati Cipto yang tengah berdiri sambil mengecek daftar rundown. Tanpa banyak bicara, Bagas menyerahkan kamera itu dengan kedua tangannya.“Jaga baik-baik, ya. Gue awasin sebentar… abis itu mau langsung cabut.”
“Wih, siap Pak Dokter!” sahut Cipto sambil terkekeh, nada suaranya jenaka seperti biasa. “Lu nggak puasa, kan? Nih, minum dulu deh…” Ia menyodorkan segelas minuman dalam kemasan, separuh berbisik.
Bagas hanya mengangguk, menerimanya tanpa banyak kata. Cipto menyodorkannya diam-diam, nyaris tanpa gerakan mencolok, karena ya… bagaimana pun, sekarang bulan puasa, dan mereka masih berada di tengah kerumunan mahasiswa yang mungkin saja lebih taat darinya.
Tanpa banyak bicara, Cipto segera berlalu, menyerahkan kamera itu pada staf dokumentasi sambil tetap mengawasi penggunaannya dengan seksama. Sementara itu, Bagas memilih duduk di pojok ruangan yang cukup sepi. Ia menusuk segel botol minuman itu dengan ujung kunci mobilnya, lalu langsung menenggaknya hingga tandas. Perutnya memang kosong sejak pagi, dan meski ia tidak menjalankan puasa maupun salat, tetap saja makan di kampus terasa ganjil—entah karena rasa malu, enggan, atau karena ia memang terbiasa menyendiri dalam segala hal.
Dari tempatnya duduk, Bagas mendengar dentingan samar dari gitar yang sedang disetem. Seorang staf acara, mungkin, tampak mencoba mencocokkan nada, namun hasilnya terdengar sumbang di telinganya. Meskipun gitarnya telah lama disita oleh orang tuanya—dan ia sendiri sudah lama tak menyentuhnya lagi—suara gitar tetap menjadi sesuatu yang tidak asing. Pernah ada masa ketika gitar adalah bagian dari malam-malam panjang di kamarnya yang sunyi ditemani oleh petikan senar itu.
Mungkin karena rindu, atau sekadar dorongan dari kepekaan yang ada dalam dirinya, Bagas pun berdiri dan menghampiri sumber suara.
“Mau saya bantu?” tanyanya pelan. “Saya bisa setem gitar.”
Yang ditanya langsung mengangguk cepat, seolah terbebas dari kebingungan. “Boleh, Mas! Saya ragu-ragu… kok agak sember, ya.”
“Sini, saya benerin,” ucap Bagas, meraih gitar itu dengan gerakan ringan namun penuh kenangan.
Bagas diam sejenak, tangannya sedikit tegang menggenggam leher gitar itu. Ada jeda dalam napasnya, seakan kenangan lama menyelinap masuk tanpa diundang. Ia masih ingat jelas—betapa mudahnya sang ayah merusak gitar itu darinya dulu, memaksanya memilih jalur hidup yang “lebih pantas”. Gitar terakhirnya bahkan dijual ke tempat loak, katanya tak berguna. Sejak saat itu, Bagas tak pernah lagi benar-benar menyentuh gitar—sekalipun rindunya kerap menggumpal di ujung jemari. Namun, ia segera menepis kenangan itu. Bukan waktunya membiarkan luka lama membuka diri lagi.
Ia menyesuaikan posisi duduk, lalu meletakkan gitar di pangkuannya. Dengan gerakan yang tenang, ia mulai memutar tuning peg satu per satu, menyesuaikan nada senar sambil sesekali memetik pelan untuk mengecek hasilnya.
“Kalau mau gampang, mainin lagu Peterpan aja, yang judulnya Semua Tentang Kita,” ucapnya santai tanpa menoleh. “Itu udah paling aman, kalian juga pasti tau intro lagunya.”
Suara gitar yang awalnya terdengar tidak stabil kini berubah jernih. Bagas memetik beberapa kunci dasar seperti C, G, A minor, dan F bergantian sekilas, telinganya yang terlatih memastikan bahwa setiap senar telah berada pada nada yang pas.
Setelah yakin, ia mengembalikannya. “Udah, ya. Nggak sember lagi, kan?” ujarnya sembari menyerahkan gitar itu kembali ke pemiliknya.
“Wah, iya Mas, udah pas banget. Makasih banyak, ya! Soalnya saya cuma bisa mainin, nggak ngerti cara nyetemnya,” kata mahasiswi itu sambil tersenyum lebar.
Bagas hanya mengangguk pelan. “Sama-sama.”
Ia bangkit, menepuk-nepuk bagian belakang celananya dari debu tak kasat mata, lalu berjalan kembali ke sisi ruangan. Tapi saat itu pula, ia mendengar bisik-bisik dari arah belakang.
“Gila… ganteng banget sih itu…”
“Jago main gitar lagi… siapa, sih, anak mana tuh?”
Bagas mendengarnya—jelas, tapi ia mengabaikan. Wajahnya datar, tidak menunjukkan reaksi, seperti biasa. Ia langsung mengedarkan pandangannya, mencari Cipto untuk pamit dan memastikan kamera yang ia pinjamkan tetap dalam pengawasan yang aman. Begitu matanya menemukan sosok yang dicari, ia segera melangkah mendekat.
Belum sempat ia panggil, terdengar suara lain bersahut, cukup keras dan bersemangat.
“CIPTO!!”
Bagas langsung menoleh, refleks. Suara itu berasal dari belakangnya, dari arah pintu masuk aula.
Dan ia melihatnya.
Seorang perempuan—berambut ikal panjang, mengenakan dress selutut dengan cardigan merah muda. Senyumnya cerah, bahkan matanya tampak berbinar saat melambaikan tangan tinggi-tinggi ke arah Cipto. Sekilas, memang seperti melambaikan tangan ke Bagas, membuatnya cukup untuk menghentikan langkahnya sejenak.
Bagas menghentikan langkahnya. Suara itu... bukan dia yang memanggil, tapi dari arah belakangnya. Suara perempuan. Tegas, lantang, namun tetap terdengar ceria. Ia menoleh secara refleks.
Di sisi ruangan, seorang perempuan berdiri sambil melambaikan tangan ke udara. Rambut ikalnya tergerai rapi, dress selututnya dipadukan dengan cardigan merah muda dan ransel di punggungnya. Wajahnya berseri-seri, dan senyumnya begitu manis hingga membuat langkah Bagas seketika terhenti.
Wajah itu tidak asing.
Ia berdiri mematung, seperti baru saja dilanda sesuatu yang tiba-tiba. Seolah waktu menahan napas.
Seketika, pundaknya ditepuk dari samping. Bagas refleks menoleh ke arah kanan, dan melihat Cipto yang kini berdiri di sebelahnya, ikut menatap ke arah perempuan itu.
“Laras!!” seru Cipto sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arah perempuan tadi.
Bagas tidak berkata apa-apa.
Laras?
Nama itu menggema pelan di kepalanya.
Cipto mengenalnya?
Dia… yang di perpustakaan itu, kan?
Cipto menghampiri dua orang yang baru saja tiba, seorang perempuan dan temannya yang berjalan berdampingan memasuki lokasi acara. Ia mengenali perempuan itu dengan segera—Laras.
“Nggak nyasar, kan?” sapa Cipto ramah, senyumnya lebar.
“Hahaha, nggak kok! Tadi juga sempet nanya-nanya,” jawab Laras ringan. Ia tertawa kecil, dan senyum itu, tanpa disadari, menjelma menjadi sesuatu yang memikat—begitu alami, tak dibuat-buat.
“Oh iya, kenalin… ini temanku, Hadi,” ucapnya sambil sedikit menoleh ke samping, memberi ruang bagi Hadi untuk maju.
“Halo… Cipto. Kamu staf kader BEMF bukan, ya?” tanya Cipto sembari menjabat tangan yang segera disambut hangat oleh Hadi. Sapaan mereka sederhana dan terus terang, khas antar dua lelaki yang baru pertama kali bertemu namun merasa sudah sering berada dalam lingkaran yang sama.
“Iya, betul. Kenal saya, ya?”
“Saya kayak pernah lihat kamu di konsolidasi kemarin,” lanjut Cipto, mengernyit pelan seolah tengah mengingat. “Temennya Laras, toh?”
“Hahaha, iya. Kita satu kelas, saya kemari mau nemenin Laras aja, Bang.”
Laras langsung mendelikkan matanya ke arah Hadi, ekspresinya dibuat seolah kesal meski tak menyembunyikan geli. “Padahal aku nggak ngajak,” sindirnya ringan.
Tawa kecil pun pecah di antara mereka—tidak keras, tapi cukup untuk mencairkan suasana. Laras memperkenalkan mereka dengan cepat, lalu sempat menoleh ke arah dalam ruangan… dan di situlah pandangan matanya bertemu dengan sepasang mata yang sedang menatap lekat ke arahnya.
Pandangan itu intens, tidak teralihkan.
Bagas hanya berdiri di sana, tidak bicara, hanya diam mengamati dari balik bayangan panggung kecil. Laras sempat terdiam—ia mengenali laki-laki itu. Wajahnya tak asing. Tingginya menjulang, posturnya khas, dan ada sesuatu pada sorot matanya yang tak berubah sejak terakhir kali ia melihatnya, entah di mana.
Seketika, senyum kecil tumbuh di wajah Laras, lembut, tidak dibuat-buat. Ia mengangkat tangan sedikit, melambaikan jari-jarinya dengan anggun. Gerakannya sederhana, tapi dalam diamnya, terasa begitu manis.
Senyumnya berhasil membuat waktu seolah melambat sesaat.
Seakan menyadari sesuatu dari arah pandang Laras, Cipto ikut menoleh ke belakang dan baru menyadari kehadiran Bagas yang berdiri di sana, diam, namun tampak memerhatikan.
“Eh, Gas… sini, kenalin temen gue. Dia namanya Laras, anak kedokteran hewan,” kata Cipto sambil memberi isyarat tangan agar Bagas mendekat.
Bagas, tanpa benar-benar berpikir, melangkah maju. Hatinya berdebar ringan, entah mengapa. Ketika jarak mereka terpangkas hanya beberapa langkah, suara itu meluncur dari bibirnya, pelan, nyaris seperti bisikan yang tak disengaja, “Senang bisa ketemu lagi sama kamu.”
Laras, yang sejak tadi memperhatikan, tersenyum. Senyumnya tenang, namun ada kerlip kecil di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia ingat pertemuan di perpustakaan itu—singkat, tapi berkesan.
“Hai, Bagas. Senang juga bisa ketemu kamu lagi.”
Cipto, yang mendengar itu, langsung menoleh dengan bingung. “Loh? Udah saling kenal, toh?”
Laras mengangguk lembut. “Kita pernah ketemu di perpustakaan. Terus sempet belajar bareng juga.”
Cipto langsung melotot ke arah Bagas dengan ekspresi penuh curiga. “Belajar? Di perpus?” tanyanya ragu, setengah geli. Ia ingat betapa enggannya Bagas menyentuh kursi perpustakaan kecuali benar-benar terpaksa. Bukankah Bagas sendiri yang pernah bilang kalau dia nyasar masuk jurusan dan muak dengan kedokteran? Sejujurnya dia pun tidak akan terkejut kalau Bagas akan mundur di semester ini.
“Kenapa ngeliatin begitu?” tanya Bagas, alisnya sedikit terangkat saat melihat ekspresi Cipto yang mendadak kosong. Merasa kikuk, ia menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. “Ahem… Gue juga belajar kali, kalo mau ujian.”
Cipto menggeleng pelan, tertawa kecil. Tapi suara tawa yang paling menarik perhatian datang dari Laras. Ringan, tidak dibuat-buat, seperti tawa yang lahir dari kenyamanan.
“Kalian kok bisa kenal?” tanya Laras, nadanya santai. “Cipto kan anak Sasindo?”
Bagas yang lebih dulu menjawab. “Kita anak UFO, cuma dia sekarang sering kabur-kaburan.”
Cipto langsung menyambung, “Ah, rese lu…”
Bagas hanya tertawa singkat, tapi ia sempat melirik Laras—dan benar saja, perempuan itu tersenyum lagi. Senyum yang tidak lebar, tapi cukup untuk membuat sesuatu di dalam dirinya terasa aneh.
Entah kenapa… ia jadi ingin melucu terus, hanya supaya bisa melihat senyum itu lagi. Namun, tatapannya langsung berubah saat melihat pria di sebelah Laras menepuk pundaknya.
“Ras, cari tempat duduk aja, yuk?” ucap Hadi, tenang tapi terdengar akrab.
“Boleh, yuk…” Laras mengangguk, lalu melirik ke arah Cipto sambil memberi isyarat pamit.
“Iya, duduk di mana aja boleh. Makasih banyak udah dateng, ya. Kalian dateng dari jauh, loh… hutan, hahaha,” kata Cipto sambil bercanda.
Laras tertawa kecil. “Ah, bisa aja. Kita duduk dulu, ya. Semoga sukses acaranya!”
Mereka pun melangkah mencari tempat duduk dan akhirnya memilih salah satu bangku di pojok ruangan. Hadi datang sebagai salah satu perwakilan BEM yang memang menerima undangan resmi dari panitia untuk meramaikan acara. Sedangkan Laras—meski bukan bagian dari struktur BEM lagi—memang kenal Cipto lewat lingkaran pertemanan mereka. Kehadirannya lebih karena keinginan pribadi, ia datang karena ingin saja. Daripada pulang dan berdiam diri di kos tanpa kegiatan berarti, ia pikir lebih baik hadir, sekalian mendukung teman yang sedang mengadakan acara dan ikut berdonasi, hitung-hitung hiburan juga untuknya.
Bagas tidak banyak bicara. Tapi ekor matanya mengikuti ke mana Laras berjalan, baru berhenti setelah ia duduk bersama Hadi.
Cipto menepuk lengan Bagas pelan. “Nah, Gas. Lu jadi balik? Hati-hati, ya.”
“Nggak,” jawab Bagas singkat. “Gue juga mau nonton.”
“Hah? Serius?” Cipto menatapnya tak percaya. “Lu udah capek banget, Gas…”
“Iya, serius. Jagain kamera,” jawab Bagas tanpa melihat ke arah Cipto.
Ia lalu berjalan menuju area panitia sambil sejenak merapikan penampilannya asal-asalan, lalu duduk di kursi kosong dekat panel kontrol suara. Duduk tenang, tapi jelas bukan cuma karena urusan kamera.
“Disuruh Cipto buat duduk di sini.” ucapnya.
“Kagak jelas nih orang,” Cipto melirik dari jauh dan menggeleng pelan. “Dasar labil.” gumamnya.
Tak lama, acara pun dimulai. Satu per satu penampilan tampil ke depan, dimulai dari puisi-puisi yang dimusikalisasikan dengan cukup apik dan ditampilkan dalam bentuk drama sederhana—khas anak sastra, lengkap dengan syair-syair penuh makna, mengisahkan sepasang orang tua yang tetap saling mencintai hingga akhir hayat, dan bagaimana cinta itu mereka wariskan pada anak-anaknya, meskipun ajal sudah di depan mata.
Penonton mulai larut dalam suasana. Beberapa bahkan tampak mengusap mata, namun Bagas… tetap diam. Ia menonton, tapi tidak benar-benar hadir. Bukan karena penampilan itu buruk, tapi karena hatinya tidak punya tempat untuk cerita tentang cinta orang tua.
Bagas mulai bosan. Rasanya ingin pulang sekarang juga, tapi matanya menangkap Laras—duduk sendirian di sudut ruangan, wajahnya tampak tenang, senyumnya sesekali muncul saat mengikuti alur pertunjukan.
Bagas memperhatikannya sejenak. Entah kenapa, melihat Laras menikmati sesuatu dengan tulus membuatnya diam. Pasti dia punya keluarga yang utuh dan hangat, pikir Bagas.
Katakanlah ia iri, tapi tidak dengan rasa dengki. Ia justru lega. Setidaknya… ada orang yang tidak harus tumbuh dengan luka yang sama.
Dengan langkah pelan, ia mendekat. Tangannya sempat berhenti di tengah jalan, ragu-ragu. Tapi akhirnya, dua ketukan ringan mendarat di pundak Laras.
Laras menoleh, dan tersenyum. Bagas kaku, ia bahkan hampir ingin mundur lagi, tapi tetap berdiri di situ.
“Sendirian aja?” Bagas bertanya dengan suara sedikit pelan.
“Iya,” jawab Laras ringan. “Temanku lagi ke luar, katanya mau ketemu temannya.” Ia menatap Bagas. “Kamu udah mau pulang?”
Bagas sempat terdiam, lalu menggeleng. “Belum.” Ia menarik napas, sedikit ragu sebelum melanjutkan, “Mau aku temani duduk?”
Mendengar kalimat itu—yang terasa begitu akrab di telinga Laras—ia tersenyum makin lebar.
“Boleh…” jawabnya. Ia bergeser sedikit, menepuk bangku kosong di sebelahnya. “Duduk di sini.”
Bagas mengangguk pelan, lalu duduk. Tangannya bertaut di pangkuan, agak canggung. Jarak mereka masih sopan, tapi cukup dekat untuk membuat jantungnya sedikit lebih cepat.
Ia mencoba menatap ke depan, seolah fokus pada panggung. Tapi matanya, tanpa sadar, kembali mencuri pandang—ke arah Laras. Gadis itu duduk tenang, tubuhnya condong sedikit ke depan, seolah ingin menyerap setiap kata yang mengalir dari panggung. Jemari Laras menepuk pelan pahanya mengikuti irama, dan kaki kecilnya bergerak-gerak pelan, tanpa sadar. Tidak ada yang berlebihan—justru karena itulah semuanya terasa begitu manis.
Bagas menggigit pipinya pelan. Ada dorongan ingin tertawa, tapi bukan karena geli—lebih karena rasa hangat yang menggelitik dadanya. Keluguan dalam gerak-geriknya itu membuat hatinya nyeri dengan cara yang tak ia pahami, seakan melihat sesuatu yang bersih—sesuatu yang tidak ada pada dirinya.
Ia bersandar pelan ke sofa, satu tangannya naik ke wajah, menutup senyumnya yang mulai muncul tanpa kendali. Ia tidak ingin Laras melihat ekspresi bodohnya saat ini.
Telinganya masih menangkap suara panggung yang berirama sendu, tapi dunia seakan mengecil, menyempit pada satu titik—Laras. Perempuan itu tidak bicara, tapi keberadaannya seolah menjadi narasi yang utuh bagaikan sebuah puisi tanpa kata, dan Bagas mendapati dirinya sulit berpaling.
Dan saat suara dari panggung mulai melantunkan bait puisi, tiba-tiba…
“Pada suatu hari nanti...
Suaraku tak terdengar lagi...
Tapi di antara larik-larik sajak ini...
Kau akan tetap kusiasati...”
Laras ikut bersenandung—nyaris tak terdengar, nyaris hanya napas yang bernada, tapi Bagas bisa mendengarnya.
Tuhan, dia mendengarnya. Suara itu ringan, seperti benang tipis yang dijahitkan ke dadanya. Hangat. Dalam. Terlalu lembut untuk diabaikan.
Bibir Laras mengucap bait itu dengan lirih, matanya tetap ke panggung, tapi senyumnya mengembang begitu pelan, seakan menikmati tiap kata yang dibisikkan dunia padanya. Bagas berhenti bernapas. Jiwanya tertahan di antara detik yang menggantung. Rasanya, tak ada yang lebih indah dari itu.
Dan di saat itulah Laras menoleh.
Bagas terlalu lama memandang—terlalu dalam untuk bisa pura-pura. Matanya terbelalak sedikit, lalu cepat-cepat berkedip, seolah bisa menyapu rasa malu dengan gerakan refleks. Sementara itu, Laras menatapnya beberapa detik—cukup untuk menangkap semuanya. Tatapan yang tidak menuntut, tidak menghakimi, hanya… tahu.
Kemudian ia tersenyum malu, senyum yang menghangatkan suasana lebih dari apapun yang tengah ditampilkan di panggung. “Maaf… aku berisik, ya?” katanya pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya ditujukan untuk Bagas seorang. “Puisinya Pak Sapardi ini, salah satu kesukaanku sejak SMA. Jadi… aku jadi ngikut nyanyi, deh.”
Bagas berdeham kecil, mencoba menapak tanah setelah sempat melayang entah ke mana. “Iya? Nggak apa-apa,” ucapnya, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. “Suaramu bagus, Ras.”
Laras tertawa kecil, hampir seperti mengejek dirinya sendiri. “Nggak sebagus itu, kok…” Tapi ia menangkap sorot mata Bagas—satu tatapan penuh tanya yang membuatnya tak bisa menghindar. Ada rasa ingin tahu yang tak bisa ia tolak, maka ia pun menambahkan, “Iya… aku suka nyanyi sih, tapi cuma buat diri sendiri aja.”
Bagas tersenyum. Bukan hanya karena jawaban Laras, tapi karena ia merasa sedang mengenal dunia kecil yang belum pernah dibukakan untuk orang lain.
“Sering-sering nyanyi,” katanya lembut. “Nanti aku gitarin, terus kita ngamen deh… uangnya buat kamu jajan.”
Laras menahan tawa, lalu tertawa juga. “Ide bagus, hahaha…”
Tawa Laras mengisi ruang di sekitar Bagas—bukan tawa keras yang mencolok, melainkan tawa kecil yang menyenangkan.
Sungguh… Bagas bisa bertahan di tempat ini lebih lama, hanya untuk mendengar suara itu sekali lagi.
Pertunjukan berlanjut. Kali ini, nuansanya lebih kelam. Puisi yang dibawakan mengangkat tema kehilangan—tentang orang tua yang pada akhirnya harus pergi, meninggalkan anak-anak mereka, berharap cinta yang mereka tanam mampu melindungi meskipun mereka tak lagi ada.
“Tak ada yang lebih bijak…
dari hujan bulan Juni…
dihapusnya jejak-jejak kakinya…
yang ragu-ragu di jalan itu…
Tak ada yang lebih arif…
dari hujan bulan Juni…
dibiarkannya yang tak terucapkan…
diserap akar pohon bunga itu…”
Laras tampak serius menyimak. Pandangannya lurus ke depan, tapi sorot matanya memudar—seolah sedang berjalan pelan di dalam pikirannya sendiri.
Bagas tetap diam, membiarkan suasana menggantung.
Tadi, Laras berkata bahwa puisi ini adalah yang paling ia sukai dari semua karya Sapardi. Ia tidak menjelaskan alasannya, dan Bagas tak berani bertanya. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Laras. Tapi untuk sesaat, Bagas merasa seperti sedang duduk di samping seseorang yang betul-betul memahami makna kehilangan dan pengharapan.
Dan entah mengapa, itu membuatnya merasa… terhubung. Seperti ia sedang menyentuh sesuatu yang tak pernah bisa ia pahami sepenuhnya, tapi selalu ia rindukan diam-diam.
Acara pun usai, ditutup dengan tepuk tangan meriah dari segala penjuru. Beberapa penonton berdiri, memberi apresiasi atas pertunjukan yang baru saja mereka saksikan. Panitia naik ke atas panggung untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penutup, sebelum para penonton diarahkan menuju kotak donasi yang tersedia di pintu keluar.
Bagas mengikuti Laras dari belakang. Keduanya menyempatkan diri melambaikan tangan ke arah Cipto dari kejauhan, sekadar menunjukkan bahwa mereka hadir dan menyaksikan pertunjukannya. Cipto tersenyum puas melihat mereka.
Laras lebih dulu memasukkan uang ke dalam kotak donasi. Saat ia menoleh, Bagas terlihat sedang membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
Laras terkejut. “Banyak banget?”
Bagas hanya mengangkat bahu, menanggapi dengan senyum yang getir. “Dosaku udah terlalu banyak, jadi nggak masalah… siapa tahu, ada pahala sedikit lewat ini.”
Laras menatapnya tanpa berkata-kata. Ada sesuatu dalam ucapannya, entah karena jujurnya kalimat itu, atau karena caranya mengucapkannya begitu ringan—seolah dosa bukan lagi beban, melainkan bagian dari dirinya.
Ia akhirnya mengangguk pelan. “Bagus kalau begitu…”
Mereka berjalan menuju pintu keluar. Bagas hendak memulai percakapan lagi—barangkali menawari Laras pulang bersama. Namun langkahnya terhenti ketika terdengar suara dari belakang.
“Laras!”
Seseorang datang menghampiri mereka dengan santai. Senyum lebar terpasang di wajahnya—Hadi, laki-laki yang sempat pergi meninggalkan Laras tadi.
Laras menoleh. “Eh? Kirain kamu udah pulang…”
“Nggak lah, mana mungkin aku tinggalin kamu. Yuk pulang?”
Laras sedikit mengerutkan dahi. “Tadi kenapa nggak nonton? Katanya kamu juga suka…”
“Bosen aku. Ngantuk banget tadi, jadi ngopi dulu di luar,” jawab Hadi enteng.
Laras terdiam, tampak tidak terlalu senang. Ia sempat melirik Bagas sejenak, lalu tersenyum kecil. “Bagas, makasih ya udah nemenin aku.”
“Sama-sama. Aku beneran seneng bisa ketemu kamu lagi hari ini,” ujar Bagas, tersenyum lebar sampai lesung pipinya terlihat.
Laras mengangguk hangat, senyumannya mengembang. “Aku juga…” katanya lirih. “Kalau gitu, aku pulang duluan ya.”
Saat Laras hendak berbalik, Bagas memberanikan diri berkata, “Eh, ngomong-ngomong… aku belum punya nomor kamu. Boleh minta?” Ia menyodorkan ponselnya. “Atau kamu punya BBM?”
Laras tertawa kecil, lalu menggeleng. “Aku nggak punya BBM, nggak apa-apa?”
“Nggak masalah. Apa aja aku suk—maksudku, apa aja boleh,” ucap Bagas cepat-cepat, sedikit salah tingkah.
Laras menerima ponselnya dan mengetikkan nomornya. “Ini.”
Bagas mencatat angka-angka itu dalam ingatannya, sebelum menyimpannya dengan nama “Laras.”
“Oke, nanti aku telepon, ya?” ujarnya ringan, seolah kalimat itu hanya sapaan biasa—padahal baginya, itu adalah izin untuk kembali hadir.
Laras sempat tertegun. Menelepon? Untuk apa? Tapi ia tak sempat bertanya, setelah suara Hadi menginterupsinya. “Yuk, Ras?”
Ia menoleh ke arah Hadi yang sudah berdiri menunggu, lalu menjawab pelan, “Iya, sabar…”
Laras menatap Bagas sekali lagi. “Sama-sama. Aku pulang dulu, ya.”
Bagas mengangguk. “Iya, hati-hati.”
Ia tetap berdiri di tempatnya, memandangi Laras hingga sosoknya menghilang di tikungan koridor. Sesaat sebelumnya, ia sempat melihat Laras duduk di boncengan motor—lalu kendaraan itu melaju perlahan, menjauh dari area acara.
Keheningan kembali merayap, menggantikan suara riuh yang perlahan memudar. Namun kali ini, sunyi itu tidak terasa mengosongkan.
Karena hari ini, ia bertemu Laras, dan itu saja sudah cukup membuat langkahnya terasa lebih ringan.
Ia tetap berdiri di tempatnya, memandangi Laras hingga sosoknya menghilang di tikungan jalan. Sesaat sebelumnya, ia sempat melihat Laras duduk di boncengan motor—lalu kendaraan itu melaju perlahan, menjauh dari area acara.
Dari kejauhan, Bagas sempat melambaikan tangan ke arah Cipto yang sibuk di area belakang panggung. Mereka bertukar senyum singkat—tanda bahwa pertemuan hari ini sudah cukup berarti.
Setelah itu, ia masuk ke mobilnya tanpa tergesa. Namun sebelum benar-benar menyalakan mesin, ia duduk diam sejenak, menatap lurus ke arah jalan yang baru saja dilalui Laras.
“Jejak-jejak kakinya… yang ragu-ragu, ya?” Bagas mengingat salah satu bait dari puisi terakhir yang dibacakan.
Ia tak sepenuhnya mengerti maksudnya, tapi yang ia lihat, Laras melangkah tanpa keraguan.
Jejak langkah itu tidak terhapus. Bukan pada tanah yang ia pijak, melainkan pada ingatannya—cara Laras tersenyum, cara ia menepuk-nepuk pahanya mengikuti irama, cara ia tertawa pelan saat merasa malu—semuanya tertanam, seperti suara yang masih menggema setelah kata terakhir diucapkan.
Dalam diam, Bagas mulai memahami maksud dari puisi tadi. Sebuah langkah yang mungkin menjauh, menghilang di ujung jalan—namun jejaknya tetap tinggal, diam-diam menetap, di satu sudut yang tak akan ia bersihkan dari ingatan.
“Tapi dalam bait-bait sajak ini, kau tak akan kurelakan sendiri…” ucap Bagas, lirih, hampir seperti gumaman. Ia mengusap kasar air matanya, lalu tertawa pendek, getir. “Puisi kesukaanmu itu, ternyata pesan darimu untukku di masa depan, Ras…”
“Bagas...” suara itu—yang berat, lelah, dan nyaris patah—menusuknya begitu pedih lebih dari apa pun. Laras berdiri di ambang pintu, tangannya gemetar, seolah hendak melangkah masuk tapi tahu bahwa masuk berarti membuka luka yang sudah terlalu dalam.
Bagas menegang saat mendengar namanya dipanggil, tapi ia hanya bisa terdiam. Suara itu menggema samar, seperti datang dari masa lalu yang belum sepenuhnya rela ia tinggalkan.
Tangannya gemetar saat menempelkan selotip di foto itu—sebuah potret kenangan yang terlalu dalam untuk disebut biasa. Perlahan, ia lekatkan ke dinding yang dingin dan bisu. Gerakannya pelan, seperti sedang menutup babak terakhir dari sebuah cerita yang tak pernah selesai dengan bahagia.
Ia berdiri lama di sana.
Hanya secarik gambar, namun rasanya seperti batu nisan—mengingatkannya akan cinta yang telah ia hancurkan dengan tangannya sendiri. Di balik gambar itu ada senyuman, ada harapan, ada keinginan yang pernah ia semogakan. Tapi kini... tak tersisa apa-apa selain pengakuan dan penyesalan.
Bagas menghela napas, berat dan pelan. Ia tahu, ia sedang mengubur bagian dari dirinya sendiri.
Dan mungkin, seperti makam kecil yang sunyi... foto itu akan terus menggantung di sana—diam, setia, menatapnya balik—sampai waktunya sendiri untuk dilupakan pun telah datang.
Laras tahu foto itu, satu-satunya yang Laras biarkan terbuka. Karena di sana, mereka belum saling jatuh cinta.
Ia berharap, andai cinta tak ada sejak awal, maka kenangan pun tak akan menyakitkan.
Ia berharap... Bagas sudah berhenti merasa apa-apa saat melihatnya, bahwa mungkin… mungkin saja, Bagas lupa rasanya mencintai dirinya.
“Kamu cantik di hari itu...” ucapnya, mencoba tersenyum, tapi hatinya sudah jatuh hampa.
Laras tak menjawab. Bagas paham, karena diamnya memang pantas ia dapatkan, meskipun lebih menyakitkan dari kemarahan.
“Galeri,” katanya akhirnya, lirih, “kamu bilang... kamu mau punya galeri hidupmu sendiri. Ini galeriku... dan kamu pernah jadi bagian masa lalu aku.”
“Pernah, ya...” gumam Bagas lirih, nyaris tak terdengar, tapi matanya tak beranjak sedikit pun dari sosok di hadapannya.
Laras berdiri di sana—masih cantik, meski kelelahan tampak jelas di wajahnya, dan helaian rambut pendeknya jatuh berantakan menutupi sebagian wajah. Penampilannya mungkin tak lagi sepolos dulu, tapi di mata Bagas, ia tetap memancarkan cahaya yang dulu menyelamatkannya dari gelap.
“Yang kamu lihat malam itu… aku ngelakuin apa aja, Ras?” Suaranya parau.
Laras tetap diam. Bibirnya bergerak sedikit, namun tak satu pun kata bisa keluar. Ia hanya menggeleng pelan. “Udah mau pagi, Gas… mending kamu tidu—”
“A—aku beneran tidur… sama Dinda, Ras?” Kalimat itu patah di tengah, seperti tulang yang patah tapi tetap dipaksa berdiri. “Aku ngelakuin sesuatu sama dia, atau… atau ada lebih parah?” Suaranya datar, tapi dari matanya, Laras bisa melihat luka yang teramat dalam sedang menggeliat liar di balik tenangnya.
Bagas melangkah pelan, tubuhnya goyah, seolah langkah itu sendiri adalah hukuman. Ia hanya ingin menyentuh Laras—mencari kehangatan yang mungkin masih tersisa, sekalipun ia sudah terlalu mati hanya untuk berharap.
Ia tidak lagi berharap pada jawaban yang menenangkan—ia hanya ingin tahu, sejujurnya, sepedih apapun, sekelam apapun. Tapi Laras tetap diam—tidak menjauh, tidak mendekat—itu justru menghancurkannya lebih parah. Bagas menggenggam jemari itu seperti anak kecil yang tersesat dan tak ingin dilepas. Tangisnya mulai turun, perlahan, kemudian deras. Ia usap air matanya kasar, seolah bisa menghapus dosanya sendiri.
“Dua bulan yang kamu maksud…” Suaranya gemetar. “Aku berani bersumpah… aku nggak ngelakuin apa-apa selain kuliah, aku nahan kangen sekian lama karena aku tau kamu juga sibuk...” Ia menahan napasnya, mencoba tetap berdiri walau lututnya hampir tak sanggup menopang.
“Aku salah… aku—h-hiks…” Suara Bagas bergetar, tercekat oleh isak yang berusaha ia tahan, tapi tak mampu lagi. “Dipta emang masih maksa aku buat ikut ngumpul… dan aku… aku ladeni. Sesekali aku iyain, tapi… terkadang aku juga tolak karena… aku capek, Ras. Seharian mikir, kelas numpuk, tugas nggak kelar-kelar… aku cuma mau istirahat. Itu aja.”
Bagas memejamkan mata. “Nggak pernah sekali pun aku nggak pamit kalau mau tidur, bahkan waktu aku kangen banget, aku pernah maksain diri mau telepon kamu, sampai ketiduran sendiri. Kamu inget kan? Aku beneran tidur…” Napasnya terdengar semakin berat.
Ia menyeka air matanya yang jatuh satu-satu, cepat, seperti dosa-dosa yang mulai menuntut bayaran.
“Aku mau jujur…” napasnya berat, kalimatnya tertatih. “Dipta bilang… dia bisa bantu jagain kamu, biar kamu nggak diusik Dinda… aku percaya dia saat itu, Ras. Aku percaya karena aku takut kamu diganggu kayak yang lain. Aku nggak mau kamu diusik orang-orang itu, apalagi setelah aku liat sendiri… gimana kamu direndahin…”
Suaranya pecah, lebih dari sekadar sesal—ada luka, ada marah, ada rasa bersalah yang menjerat dirinya sendiri.
“Aku pikir…” suara Bagas tercekat, parau. “Dengan nggak menjauh dari pergaulan itu, dengan tetep temenan sama Dipta… aku bisa jagain kamu… aku bisa bela kamu, Ras.”
Dia menarik napas, tapi dadanya malah makin sesak.
“Ternyata aku yang bego…” lanjutnya lirih, nyaris tak terdengar. “Ternyata caraku malah nyakitin kamu, Ras… dan aku nggak tau soal ini selama dua belas tahun.”
“Aku nggak tau pas mabuk aku ucapin apa aja, Ras… tapi dari awal aku suka sama kamu sampai detik ini, yang satu-satunya ada di otak aku… di hati aku… cuma kamu.” Ia menunduk, memejamkan mata, menahan isak. “Nggak ada Dinda. Nggak ada perempuan lain.” Ia berbalik dan menatap Laras dengan mata basah, namun pandangan itu penuh ketulusan. “Cuma kamu.”
“Ras… aku cuma percaya kamu. Di dunia ini, cuma kamu yang bisa aku andelin…” Suaranya semakin pecah, runtuh satu per satu. “Aku nggak percaya sama Tuhan yang nggak pernah jawab doa aku… aku nggak percaya sama orang tua aku yang anggap aku pembangkang cuma karena aku mau hidup atas kemauanku sendiri… aku bahkan nggak percaya sama diri aku sendiri sekarang karena aku tolol udah nyakitin kamu.”
Bagas menarik napas yang terlalu sesak. Dada yang sempit itu nyaris tak bisa menampung amarah dan jijik yang menghantam dirinya. “Kalau yang kamu bilang itu bener…” ia menunduk lebih dalam, bahunya gemetar hebat.
“Berarti aku udah dilecehin… sama Dinda…” Bibirnya bergetar, pandangannya memburam. “Aku…”
Bagas merasa mual, seperti ada muntahan yang ingin meletus dari tenggorokannya sendiri. Jijik. Hancur. Rusak. Ia menatap ke lantai, seperti mencari wajahnya sendiri di sana, lalu menunduk dalam. “Dan… dan aku dibohongin sama Dipta… sahabat aku sendiri…”
“Bagas…” lirih laras, air matanya terus mengalir berusaha melegakan dadanya yang begitu sesak setelah mendengar
“Dia… dia bilang kamu cape sama aku, kamu muak… makanya kamu pergi… ninggalin aku…”
Air mata kembali berjatuhan. Kali ini, Bagas biarkan. Ia tak lagi punya tenaga untuk menyeka semuanya.
Suaranya pelan, nyaris berbisik. Tapi tiap katanya jatuh seperti batu, menghantam dada sendiri tanpa ampun.
“Mereka tahu aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Ras…” lirihnya, mata masih basah, menatap hampa ke lantai. “Jadi mereka buat kamu ninggalin aku.”
Ia terdiam sejenak. Udara terasa beku di antara mereka. Lalu, tawa lirih itu pecah—retak dan pahit, seolah lahir dari luka yang terlalu dalam.
“Dan… mereka berhasil, hahaha…”
Tawanya terdengar seperti tangis yang disamarkan, getir dan patah. Ia menunduk semakin dalam, dan dalam getarannya, tubuh Bagas seolah runtuh pelan-pelan—dari pria yang dulu mencoba percaya pada cinta, jadi lelaki yang hancur karena dikhianati oleh cinta dan persahabatan sekaligus.
Bagas merosot ke lantai. Kakinya kehilangan daya. Tubuhnya seolah ditelan bumi, tenggelam dalam kehancuran yang tak bersuara. Ia tak lagi tahu bagaimana caranya berdiri, atau bahkan bernapas. Jika Tuhan berkenan mengambil nyawanya malam itu juga, ia rela. Tidak ada lagi yang perlu ia pertahankan, tidak ada harga diri yang tersisa.
“Ras, ngomong dong…” Suaranya makin kecil, makin rapuh. “Ngomong… lampiasin semuanya ke aku. Hukum aku. Gantian hina aku. Jangan diam kayak gini…” Isaknya makin keras.
Kepalanya menunduk dalam, seperti seorang anak kecil yang malu pulang karena pulang berarti mengakui kekalahan. Tangannya melingkari lutut, memeluk tubuhnya sendiri—satu-satunya perlindungan yang masih tersisa. Gemetar. Bukan karena dingin, melainkan karena tubuhnya tak sanggup menampung beban yang menggerogoti jiwanya sendiri.
“Bagas… Bagas, dengerin aku… kamu masih sak—”
Suara Laras tercekat. Hancur di tengah jalan. Napasnya tersangkut di dada yang sesak, dadanya berdenyut sakit, tapi bukan karena marah—melainkan karena sesal. Ia tak sanggup melanjutkan, hanya berdiri kaku di hadapan lelaki yang kini tak lagi tampak seperti Bagas yang dulu ia kenal.
Air matanya terus jatuh. Diam-diam, tapi deras. Membasahi pipi dan lidahnya yang kelu. Laras ingin bicara, ingin menghibur, ingin menggenggam dan menenangkan.
Tapi untuk siapa? Untuk Bagas yang sudah terlalu terluka… atau untuk dirinya sendiri yang tak tahu harus merasa apa?
Karena nyatanya—ia sempat berharap Bagas akan menjelaskan. Ia ingin tahu… ingin mendengar dari mulut Bagas sendiri. Ia pikir, jika tahu kebenarannya, ia bisa lega. Bisa lebih mudah memutuskan arah langkahnya.
Tapi ternyata tidak.
Penjelasan Bagas terlalu menyakitkan. Terlalu mematahkan. Karena di balik semua yang ia pikir sebagai pengkhianatan… ternyata ada luka. Luka yang bukan ia lihat, bukan ia pahami, karena ia lebih dulu marah. Lebih dulu menilai.
Dan yang paling menyakitkan—Bagas tidak sepenuhnya salah. Ia juga korban.
Korban dari orang-orang yang ia percayai. Korban dari pergaulan yang hanya menjanjikan kebebasan, tapi diam-diam menyeretnya ke jurang neraka.
Bagas pernah bercerita padanya dulu tentang hidup yang tak pernah bisa ia kendalikan sendiri. Tentang ekspektasi tinggi dari orang tuanya, jadwal les yang padat dan kaku, hari-hari yang selalu ditentukan tanpa ia diminta bersuara. Maka ketika dunia luar menyodorkan pergaulan bebas, kenalan baru, malam-malam liar dan tawa-tawa gaduh—ia menyambutnya.
Ia merasa punya kuasa atas dirinya. Ia merasa… merdeka.
Tapi Laras juga tahu—Bagas sadar dunia itu kotor.
Ia tahu—dan ia lelah. Sangat lelah.
Laras tahu itu. Sudah sejak lama, ia tahu.
Tapi ia memilih untuk tidak peduli lagi.
Ia terlalu sibuk merasa tersakiti. Terlalu larut dalam kemarahan saat tahu Bagas menjatuhkan namanya, saat tahu pria itu bergelimang tawa dan pesta di antara lingkaran yang sama-sama mereka coba jauhi.
Ia dihina. Dikhianati. Dicela sebagai gadis kampung yang tak tahu dunia. Dan Laras membalasnya… dengan pergi.
Dengan diam.
Dengan menyerah.
Ia pikir, kepergiannya adalah bentuk kelegaan bagi Bagas. Ia pikir, dirinya hanya menjadi belenggu—pengekang yang menghalangi Bagas dari kebebasan yang ia cari. Maka ia melepaskannya. Ia biarkan Bagas larut di dunia yang katanya menyenangkan itu. Ia pikir, itu yang diinginkan Bagas.
Laras salah.
Bagas tetap tinggal di sana… bukan karena ia ingin. Tapi karena ia mencoba melindungi Laras. Tetap berada di tengah lingkaran itu supaya Laras tak disentuh. Tetap tertawa dengan teman-temannya agar Dinda dan yang lain tidak menaruh curiga. Ia menanggung sendiri semuanya… demi seseorang yang justru pergi karena merasa tak lagi dibutuhkan.
Bagas sudah hancur. Dan ia… hanya bisa menatap reruntuhannya tanpa tahu bagaimana mengumpulkan kepingnya kembali.
Laras sadar, selama ini ia terlalu cepat menghakimi. Tak pernah benar-benar bertanya. Tak pernah memberi ruang bagi Bagas untuk menjelaskan. Dan kini… kebenaran itu terlambat datang. Jauh setelah mereka berdua sama-sama luka.
Laras ikut jatuh berlutut, tapi bukan untuk memeluk, hanya menunduk dengan tangannya yang mengepal di atas pahanya. Tangannya mengangkat, menutup wajahnya. Isaknya pelan, tapi mengguncang.
Bagas hanya menatap Laras dengan nanar. Tatapannya kosong—bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu banyak rasa yang tak mampu ia eja. Lidahnya kelu, suaranya tercekat. Kata “maaf” terasa terlalu kecil, terlalu hina, untuk mengimbangi luka yang telah ia torehkan.
“Kamu…” suara Bagas tercekat. “Hiks—kamu… kamu bisa hidup tanpa aku, Ras?”
Laras berhenti menangis. Sesenggukan, bibirnya terbuka, tapi tak satu pun kata bisa keluar. Lidahnya kelu, hatinya bimbang, dan jawabannya terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
“Jawab sekali ini aja,” Bagas memaksakan senyum, menenangkan seolah ia ikhlas, meski air matanya tak berhenti jatuh. “Nggak apa-apa, aku terima jawaban apa pun. Kamu… bisa?”
Hening.
Laras menunduk, mencoba menenangkan dadanya yang berdebar tak karuan. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
“Ini… aku lagi coba, Gas…”
Bagas menunduk, menggigit bibirnya keras-keras. Ia terus mengangguk sambil terus nangis. Dia bisa mengerti jikalau Laras memilih itu.
Tapi kemudian, ia menatap Laras lagi.
“Kamu gamau… berenti?” suaranya serak. “Berenti coba hidup tanpa aku…”
Laras menunduk. Dalam dinginnya malam dan sesak perasaan, ia menemukan tangan Bagas yang terus gemetar. Perlahan, ia ulurkan tangannya. Ia genggam tangan itu, erat.
Tak ada kata-kata. Hanya harapan yang tertinggal di sela jemari mereka—bahwa mungkin… hanya mungkin, genggaman ini bisa sedikit saja menenangkan luka di dada Bagas. Bahwa dalam sejenak, mereka bisa saling berpegangan di tengah reruntuhan yang mereka timbun bersama.
“Aku… hiks—aku udah tau, kamu nggak sepenuhnya salah… Aku juga salah, Gas…”
Bagas menggeleng cepat, bibirnya nyaris terus-menerus ingin menyela, ingin menegaskan bahwa Laras tidak bersalah. Tapi Laras menahan tangannya, lirih namun tegas.
“Aku salah, Gas… aku yang harusnya minta penjelasan dulu ke kamu. Aku salah karena ninggalin kamu begitu aja… hiks—karena hal itu…”
Suara Laras pecah. Ia menunduk, menatap bayangan sendiri di lantai yang mulai kabur karena air mata. “Tapi aku capek, Gas…” lirihnya.
“Aku selalu bertanya-tanya… kenapa kamu bisa kayak gitu… kenapa kamu begitu sama Dinda…” suara Laras bergetar, hampir tak terdengar di antara isaknya. “Tapi… hiks—tapi aku nggak pernah sanggup nanya langsung ke kamu… karena itu terlalu nyakitin buat aku…”
Ia memaksakan senyum, senyum yang lebih mirip luka yang dibuka ulang.
“Setiap aku lihat kamu, bahkan sekarang pun… aku selalu keinget kejadian itu…”
“Aku… hiks—aku nggak sanggup…”
Hening panjang menyelimuti mereka. Hanya suara tangis yang tersisa. Air mata jatuh tanpa perlu alasan lagi—mereka sudah terlalu lama menyimpannya.
Bagas mengangguk pelan, seolah menelan semua yang tak bisa ia lawan. Air matanya terus jatuh, tapi ia paksa bibirnya bicara.
“Jadi… udah nggak ada kesempatan buat aku lagi, ya?”
Laras tak menjawab. Hanya menatap Bagas—mata yang sembab, namun tak kehilangan cahaya itu. Bening dan penuh luka. Penuh rindu.
Bagas menunduk perlahan. Ia mengerti.
Diam Laras lebih gamblang daripada jawaban apa pun. Diam itu adalah vonis yang datang dengan perlahan namun menghantam begitu keras.
“Maaf… maafin… aku, Ras…”
Napasnya tercekat. Tangisnya pecah tanpa mampu ia tahan.
Bagas membenarkan genggaman tangannya, menggenggam tangan Laras dengan erat, namun di balik kehangatan itu, Laras merasakan waktu yang berlalu seperti mengikir setiap lapisan hangat yang pernah mereka bagi. Genggaman itu, yang seharusnya menenangkan, namun menjadi kosong—hampa dan menusuk, benar-benar seperti luka mereka yang terbuka kembali, menyisakan perih yang dalam dan tak terperi.
“Aku… tega banget sama kamu, Ras. Kok aku bisa punya hati buat nyakitin kamu…” Suaranya nyaris tenggelam dalam isak. Tubuhnya berguncang.
“Bahkan… hiks—aku sempat… sempat izin anterin Dinda pulang ke Bandung…”
“Aku pastiin dia aman sampai rumahnya… meski orang tuanya nggak ada di sana, nggak ada yang sambut dia…”
Air matanya mengalir deras, mengaliri wajah yang telah lama letih oleh penyesalan.
“Aku jagain dia… doain dia… dan bayinya… tanpa aku tahu hiks—kalau dia udah nyakitin kamu segitunya…”
“Sementara hiks—aku nggak ada di sana waktu kamu nangis, aku nggak nemenin kamu waktu kamu takut… maafin aku…”
Bagas tak berani menatap Laras lagi.
Tapi Laras justru menatapnya.
Matanya basah, tapi juga penuh dengan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar duka—kerinduan yang tertahan, yang tak pernah sempat benar-benar padam. Matanya berbicara tentang malam-malam panjang yang ia lewati sendirian, tentang bayangan Bagas yang tak pernah benar-benar hilang dari benaknya, tentang cinta yang tertinggal meski dihancurkan.
Ia pun menunduk, menahan isak yang semakin dalam. Jemarinya gemetar saat mencoba melepas genggaman itu, tapi Bagas tak melepaskannya—seolah jika ia melepaskannya, seluruh dirinya akan runtuh. Seolah tumpuan hidupnya kini hanya tersisa pada tangan yang tak sanggup lagi memeluk luka.
Laras bukan tak ingin menyentuh Bagas. Ia juga bukan ingin menjauh, tapi sentuhan itu membawanya ke dalam perangkap penuh kerinduan dan kehancuran.
“Maafiin aku… maafin aku yang biarin kamu lalui ini semua sendiri, kamu… hiks—kamu tersiksa sendirii… maafiin aku atas rasa sakit hati kamu…”
“Maafin aku yang bawa kamu ke kehidupan aku, Ras… Kamu pasti sakit hati banget, ya? Pasti kamu nggak tau harus cerita ke siapa, sampai kamu pendem sendiri? Maaf ya…”
“Maafin aku… atas segala kesalahan aku… semua… semua yang pernah aku lakuin…”
“Aku… aku minta maaf…”
Dan hanya itu yang bisa ia ucapkan. Karena apa lagi yang tersisa?
Apa lagi yang bisa ia tawarkan—selain maaf yang terlambat, selain penyesalan yang tak bisa mengubah masa lalu?
“Udah, Bagas…” Laras ingin menghentikannya, tapi suaranya tercekat. Lidahnya kelu, dadanya sesak oleh terlalu banyak rasa. Ia tak sanggup berkata banyak. Ia hanya bisa berbisik, serak, seperti embun di ujung malam yang tak kunjung tumpah. “Nggak apa-apa...”
“Makasih… udah ninggalin aku.”
Nadanya lirih, tapi menancap, seperti bisikan yang terlalu lama mengendap dalam dada.
Bagas hanya bisa menghela napasnya berat, tertahan di kerongkongan. Kepalanya menunduk dalam, seolah menyembah kenyataan yang tak bisa lagi diubah.
“Makasih… udah hukum aku separah ini.”
Kepalanya mengangguk perlahan. Seolah ikhlas—seperti yang selalu Laras ajarkan padanya, seolah tenang, meskipun dadanya bergemuruh seperti danau yang diam-diam menyimpan badai di kedalamannya.
“Makasih… Ras…” suaranya menggores Laras begitu pedih.
“Makasih karena kamu nggak kasih alasanmu waktu itu. Karena… mungkin kalau kamu kasih tau, aku udah lupain kamu dari dulu, hahaha…” Ia tertawa, pendek, getir. Tawa yang lebih mirip jeritan tanpa suara. “Soalnya aku brengsek. Aku... terlalu bodoh. Egois. Aku tahu dari awal, aku ini manusia yang gagal. Gagal sebagai anak, sebagai kekasih kamu... tapi aku tetep maksa kamu nerima aku yang rusak.”
“Aku pantas, Ras.” Bagas mengangkat wajahnya, perlahan, nyaris ragu—mencari mata yang dulu menjadi tempat pulangnya. “Aku memang pantas untuk ditinggalin. Jadi… jangan relain hidup kamu demi aku lagi, ya?”
Laras terdiam. Napasnya tersangkut, tak mengerti sepenuhnya arah kata-kata Bagas. Ia hanya terduduk di hadapannya, seperti patung yang dibentuk dari abu masa lalu—terdiam, tetapi hatinya gemuruh oleh rasa yang tak ia mengerti, atau mungkin, tak ingin ia pahami.
Bagas menatap genggaman tangannya—erat, nyaris putus harap. Jemari Laras yang kecil dan hangat di telapaknya terasa seperti nafas terakhir dari sesuatu yang dulu ia sebut rumah.
Ini... akan menjadi terakhir kalinya.
Terakhir kali ia merasakan hangatnya, sebelum segalanya menjadi dingin dan hampa. Sebelum seluruh dirinya benar-benar hancur saat melepaskan tangan itu. Ia tahu, saat jemari itu terlepas, yang tersisa hanyalah bayangan—dan sesal.
Laras, cintanya, yang pernah ia sakiti dan masih ia genggam—akan menjadi bagian dari masa lalu yang tak bisa ia tebus. Dan detik itu, genggaman itu, adalah satu-satunya hal yang tersisa untuk ia jaga… meski hanya sejenak.
“Aku denger banyak yang mau melamar kamu, Ras… orang-orang yang jauh lebih baik dari aku, tapi kamu tolak… karena hati kamu belum siap.”
Bagas menghela napas, panjang dan berat, seolah tiap hembusan adalah upaya untuk menahan luka agar tidak tumpah.
“Aku tahu kamu ngerasa bersalah karena ninggalin aku… karena kamu tau aku nyari kamu ke mana-mana… karena aku nggak akan pernah bisa hidup tanpa kamu…”
Suaranya bergetar, hampir seluruh raga itu sudah terbenam dalam sesal yang tak tertolong.
“Aku tau… kamu nggak bisa buka hati kamu untuk siapa pun karena aku. Karena kamu masih mikirin aku, khawatirin aku… sampai sekarang…”
“Diamnya kamu sekarang… karena—” Bagas terhenti, air matanya tumpah lagi, “karena kamu ngelindungin aku… dari diri aku sendiri.”
Dan ia menunduk. Wajahnya tak sanggup menghadap siapa pun, apalagi Laras.
Bagi Bagas, pandangan Laras adalah cahaya—dan ia tahu, ia tak pantas lagi menyentuh cahaya itu.
Cahaya itu… kini terlalu jauh. Nyaris tak bisa disentuh—seolah menjauh dengan sengaja dari dirinya yang telah terlalu kotor, terlalu gelap untuk disinari. Tapi meski tak mampu meraihnya, sinarnya tetap menyilaukan, menyakitkan, membakar sisi-sisi terdalam dari dirinya yang telah kehilangan arah. Bagas menunduk. Malu pada terang, muak pada bayangannya sendiri.
Seluruh dirinya dipenuhi perasaan hina. Dalam hatinya, ia telah menjadi lelaki yang tak layak dicintai—oleh siapa pun. Sementara Laras, ia adalah perempuan yang layak bahagia, yang layak dicintai dengan utuh dan dijaga tanpa syarat.
Danang.
Nama itu melintas seperti paku karat yang mengoyak dinding dadanya. Bagas masih mengingat malam itu, malam di mana ia memiliki kesempatan untuk memeluk Laras lagi—terlalu jelas, terlalu kejam untuk dilupakan—saat Surya dan Pak Wiryo menyebut nama itu dengan ringan, seolah itu bukan vonis, seolah bukan hukuman.
Mereka bicara tentang rencana lamaran Danang.
Lamaran.
Kepada Laras.
Perempuan yang Bagas cintai dengan seluruh hidup dan seluruh matinya.
Mereka mengucapkannya tepat di hadapannya, tanpa sadar bahwa setiap kata yang meluncur dari mulut mereka adalah paku terakhir yang menutup paksa peti mati cinta itu.
Cinta yang tak pernah sempat dimakamkan. Cinta yang selama ini dibiarkan menganga, membusuk dalam diam, sejak dua belas tahun lalu.
Dan kini, dunia memaksanya untuk menguburkannya. Tanpa upacara, tanpa perpisahan yang layak. Hanya sunyi, dan luka yang tak diberi kesempatan untuk sembuh.
Saat itu, Bagas hanya membeku, menahan napas seperti orang sekarat yang lupa cara menghirup udara. Ia bangkit, pergi begitu saja—bukan karena kuat, tapi karena kalau ia diam sedetik lebih lama, ia tahu tubuhnya akan runtuh.
Runtuh… karena ternyata dunia benar-benar sudah memilih untuk tak menyisakan tempat baginya di hidup Laras.
Bagas tersenyum pahit, ia paham sekarang. Meskipun sakitnya begitu nyata, sampai-sampai ia bisa merasakannya di sendi-sendinya. Ia sudah paham sepenuhnya.
Mungkin… memang Laras harus hidup tanpanya.
Mungkin... memang begitu seharusnya.
Dengan berat… benar-benar berat, Bagas melepaskan genggaman tangan itu. Setiap jari yang terlepas terasa seperti mencabut bagian dari dirinya sendiri. Perlahan, seolah waktu melambat, seolah dunia ikut menahan napas, ia letakkan tangan itu—tangan yang dulu pernah ia jaga, yang dulu menuntunnya dalam gelap—ke atas paha Laras.
Gerakannya lembut, nyaris suci. Seperti seseorang yang memulangkan sesuatu yang amat berharga, yang tak lagi menjadi miliknya. Disimpannya tangan itu dengan rapi, penuh hormat dan kehancuran yang tak terucap, seakan ia ingin meninggalkan jejak terakhir dari kasih yang tak akan bisa ia pijaki lagi.
Dan di dadanya, ada lubang besar yang tak akan pernah bisa rapat lagi.
“Jangan relain aku sendirian. Jangan berhenti siksa aku… dengan bayang-bayang kamu…”
“Aku tau kamu udah nggak percaya sama aku, tapi… sungguh, ingatanku tentang kamu jadi satu-satunya hal yang bikin aku masih bisa bangun tiap pagi.”
Laras tak mampu berkata apa-apa, tapi air matanya terus jatuh perlahan. Ia menggigit bibirnya, menahan sesak yang menyayat lambat.
Ia tahu Bagas, Bagas tahu Laras, tapi Laras tidak tahu bagaimana caranya menghentikan Bagas agar tak terus mengikuti jejak-jejak yang dulu ia tinggalkan. Jejak itu kini telah menjelma jalan hidup Bagas, dan dirinya terlalu takut mengatakan kepada Bagas bahwa jalan itu arah yang salah.
“Jangan gitu, Gas...” suara Laras pecah, nyaris tak terdengar. “Setelah ini... kamu bisa balik ke tunanganmu. Kamu juga harus jalanin hidup kamu...”
Bagas tak menyela. Tak ada keinginan untuk membantah, pun menjelaskan.
“Jangan khawatirin aku lagi, Ras. Nggak apa-apa, kok...”
Nada suaranya datar, terlalu datar. Seperti seseorang yang telah menghafalkan kalimat itu di dalam sepi, berkali-kali, hingga tak lagi terdengar seperti permintaan tolong.
Tapi Laras tahu. Ia tahu nada itu.
Dan air matanya jatuh makin deras, tak bisa ia bendung. Ia membungkuk sedikit, menyembunyikan wajahnya. Karena ia tak tahan melihat Bagas begini, tak tahan mendengar Bagas berkata semuanya baik-baik saja, padahal tidak.
Tiba-tiba, ia merasakan telapak tangan yang terasa dingin menyentuh pipinya, mengusap air matanya dengan sangat lembut. Jari-jari kurus itu begitu hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang sudah nyaris hancur.
“Ras?” suara Bagas terdengar parau, seperti tercekik di tenggorokan.
“Hm?” jawab Laras pelan, tanpa menoleh. Ia menghindari tatapan Bagas, seolah tahu bahwa jika ia menatap Bagas saat ini, ia takkan sanggup bertahan.
“Aku terus jalanin hidup aku, kok.” Bagas menarik napas panjang. Matanya mencoba mencari mata Laras, hanya untuk sekali ini saja. Sekali ini saja. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tak apa-apa, meskipun hatinya sendiri tak benar-benar percaya itu.
“Aku udah jadi dokter sekarang. Aku selesain kuliahku… bahkan ambil spesialis di luar negeri. Sesuai janji aku ke kamu, kan?” Ia tersenyum tipis, getir, nyaris tak berbentuk. “Meskipun aku nggak jadi spesialis jantung… tapi setidaknya aku bisa ketemu kamu lagi—dengan titel dokterku.”
Laras diam, ia mengangkat wajahnya dan bertemu Bagas yang akhirnya tersenyum lirih, merasa memang ia tidak pantas mendapat kesempatan itu lagi.
“Insya Allah… kalau ini juga bagian dari hukumanku… aku—” Bibir Bagas gemetar, dan suaranya nyaris tak keluar. Ia menelan ludah, seolah menelan pahit tiada akhir.
“Aku ikhlas kalau kamu mau bahagia... sama orang yang lebih pantas untuk berdiri di samping kamu, Ras.”
“Aku mau jadi orang yang pantas berdiri di samping kamu. Supaya aku bisa pegang tangan kamu, bukan cuma karena aku suka, tapi karena aku layak.”
Laras langsung menengadah. Seolah kalimat itu adalah cambuk yang mengoyak habis lapisan pertahanannya. Pandangan mereka bertemu, dan hening yang tercipta mendadak terasa seperti ribuan jarum yang menusuk dari segala arah.
Kalimat itu jatuh—lirih, penuh pengorbanan. Namun justru karena itulah, ia mengguncang lebih keras daripada teriakan.
Apakah ini perpisahan yang sesungguhnya?
Apakah setelah ini... Laras benar-benar akan bebas dari rasa yang menjeratnya begitu dalam pada Bagas?
Ia tak tahu.
Yang ia tahu—tangisnya pecah. Bukan lagi hanya air mata yang mengalir diam-diam, tapi erangan yang merayap keluar dari dada, seperti sesuatu yang akhirnya retak setelah terlalu lama ditahan. Sesak yang selama ini dikurung, kini pecah tak bisa ditahan lagi.
Bagas hanya terdiam kaku, napasnya tersengal berat, seolah setiap tarikan udara menusuk ke dasar dadanya yang remuk. Matanya merah, memancarkan penyesalan yang terlalu dalam untuk diucapkan. Dalam keheningan malam, ia menatap Laras dengan tatapan yang pecah—terperangkap antara rasa bersalah dan keputusasaan.
Tubuhnya bergetar, seperti sedang menahan badai yang ingin meledak dari dalam dirinya. Ia tahu, kalau ia menyerah, ia akan ambruk, meraung dalam kepedihan yang sudah lama tertahan. Tapi dengan tangan gemetar penuh ketakutan akan memberi luka lagi pada sang gadis pujaannya, ia merengkuh Laras dalam pelukan yang berat oleh rasa bersalah dan cinta yang tak terkatakan.
Tubuh Bagas bergetar hebat, namun ia menahan segalanya, menahan agar suara tangisnya tak pecah menjadi jeritan.
Di pelukan itu, Laras akhirnya runtuh, menumpahkan semua air mata yang selama ini terkunci rapi. Ia menggigit bibirnya, berusaha menekan isakan yang membanjir dari dadanya, tapi tak mampu menahan kerusakan yang telah lama terjadi.
Bagas menghela napas panjang, merasakan dadanya seperti diremas kuat hingga nyeri merayap ke ujung jari. Namun, ia tetap memeluk Laras erat-erat, menjadi satu-satunya pegangan yang bisa ia berikan di tengah kehancuran yang ia ciptakan.
Dalam hening yang berat, suara isakan mereka bercampur—lirih, rapuh, namun sarat akan kesedihan yang tak terperi. Bagas menahan diri agar tidak menyembunyikan wajahnya di bahu yang selalu menenangkannya, menahan air matanya jatuh di sana meskipun ia tak lagi mampu menahan runtuhnya dirinya sendiri.
“Lampiasin sakit kamu ke aku sekarang… Kasih semuanya ke aku, Ras...” bisik Bagas, nyaris seperti rintihan.
Ia mengusap lembut helaian rambut Laras, memeluknya lebih erat lagi.
“Jangan maafin aku, ya… Jangan maafin aku yang nyakitin kamu…”
Suara Bagas pecah, getar dalam tiap kata yang terucap seperti nyeri yang mengalir dari lubuk hatinya terdalam.
“Jangan maafin aku yang tega jahatin kamu setelah semua kebaikan yang kamu kasih ke hidup aku. Jangan maafin aku... yang bikin kamu sesakit ini.”
Hening sejenak, hanya suara napas berat dan isakan lirih yang engisi ruangan. Tangis Bagas merayapi bibirnya, menumpahkan penyesalan yang tak mampu lagi ia sembunyikan.
“Aku… aku selalu cinta sama kamu, Ras…”
“Bahagia ya, Prameswariku…”
Kata-kata itu bukan hanya harapan, tapi doa yang terlantun lirih, penuh kesungguhan yang menyesak dada—doa agar Laras menemukan kebahagiaan yang tak mampu Bagas berikan.
Laras menangis semakin keras, membenamkan wajahnya ke dada Bagas. Tangis yang tak indah, tak tertata. Tapi itulah tangis sesungguhnya—yang datang dari luka yang tak pernah sembuh, yang akhirnya diberi ruang untuk jujur.
Bagas hanya memeluknya—diam, tanpa kata yang mampu mengurai kerumitan rasa di antara mereka, namun pelukannya berbicara dalam bahasa yang tak perlu diucapkan—getar napasnya yang berat, gemetar halus di ujung jemarinya, semuanya adalah tanda bahwa pria ini telah berubah. Bukan lagi sosok yang dulu selalu bergantung pada kehangatan pelukan Laras di saat gelapnya hidup melanda.
Kini, Bagas berusaha berdiri sendiri—meski bayang-bayang Laras akan terus melekat di hatinya, ia akan belajar menapaki jalan sendiri, meski penuh luka dan getir.
Pelukannya bukan lagi sebuah pencarian perlindungan, melainkan sebuah upaya merangkul rapuhnya Laras—seperti dulu Laras yang dengan sabar memeluknya saat ia jatuh, kini giliran Bagas yang akan menggendong luka itu, menampung semua rasa sakit yang terpendam dalam diri gadis pujaannya.
Bagas pun tak tahu bagaimana rupa luka dalam dirinya sendiri—entah sejak kapan ia mulai retak, sejak kapan napasnya terasa sesak bahkan hanya dengan mengingat namanya sendiri. Tapi itu tak penting. Tidak sekarang. Karena ia tahu ini adalah harga yang pantas, hukuman dari segala kebodohan dan kesalahan yang pernah ia buat.
Dulu, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pergaulan yang kotor. Ia pernah menyentuh malam-malam yang salah, menghirup kepalsuan dari mulut-mulut penuh kebohongan, menjatuhkan dirinya dalam dosa dengan kesadaran penuh. Dan kini—semua itu seperti kembali menghantuinya, menjadi beban yang perlahan ia terima tanpa boleh mengeluh.
Biarlah.
Biarlah ia menanggung semuanya.
Biarlah luka itu tak tersembuhkan.
Karena jika cinta pernah membuat Laras kuat untuk memeluknya yang hancur, maka sudah selayaknya kini ia memeluk Laras dengan hati yang utuh—meski tubuh dan jiwanya sendiri telah remuk tak bersisa.
:::::
“Mas…”
Satu tepukan lembut menyentuh bahu Bagas. Ia mendongak perlahan, dan di hadapannya berdiri Cantika, wajahnya tenang namun penuh perhatian. Ruang peristirahatan itu sunyi, hanya suara detak jam yang mengisi kekosongan malam yang hampir menghilang dalam gelap.
Bagas terdiam sejenak, seolah masih terjebak dalam bayang-bayang Laras—rambut halus yang pernah ia sentuh, hangat tubuh yang pernah ia peluk erat.
Kini, semuanya… benar-benar berakhir. Tapi Bagas memilih tetap di tempat yang sama, terjebak antara masa lalu dan ketidakpastian langkah ke depan.
“Gimana keadaannya? Udah enakan?” tanya Cantika dengan suara lembut, penuh rasa ingin tahu yang tulus.
Bagas mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menyembunyikan sisa kesedihan yang masih melekat. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, meski masih ada getir di baliknya. “Oh… aman. Kenapa?”
Cantika mengulurkan tangan, menyerahkan ponsel yang sudah terisi daya. “Ini, ponselmu… udah aku charge.”
Bagas terdiam, menatap ponsel itu sejenak. Layar yang mati itu seolah mencerminkan kekosongan yang ia rasakan. Syukurlah… setidaknya Cantika tidak melihat layar kunci ponselnya.
“Makasih, ya,” ucap Bagas pelan.
Cantika mengangguk, lalu berkata, “Aku kebangun mau ke kamar mandi dulu, aku tinggal ya, Mas. Sebentar lagi mau adzan subuh, Mas salat di masjid?”
Bagas hanya diam, kemudian menggeleng pelan. “Nggak dulu, kayaknya…” jawabnya, suara serak dan lelah. “Salat di rumah aja.”
Cantika tersenyum penuh pengertian. “Oke…” katanya singkat, sebelum melangkah pergi meninggalkan Bagas dengan segala kebingungan dan luka yang masih terpatri dalam dirinya.
Sunyi masih menggantung di udara, namun kini disusupi langkah kaki dan suara pintu yang dibuka perlahan. Baskara dan Damar turun dari lantai atas, sudah siap untuk berangkat salat Subuh ke masjid. Aroma pagi yang lembab menyelinap dari jendela kecil yang terbuka sedikit, seolah ikut menyaksikan sisa-sisa luka yang belum sembuh.
“Aku kaget banget Mas kenapa-kenapa semalam, lihat tuh… matamu sampe bengkak banget, Mas.” ucap Baskara tiba-tiba, menoleh pada Bagas yang masih duduk di meja makan, tampak lelah. “Kalau gitu, kemarin pas papasan sama aku, aku ajak pulang aja…”
Bagas mengangkat kepalanya, senyumnya lemah. “Nggak apa-apa. Aku yang salah. Maaf ya… udah repotin kalian…”
Damar ikut bergumam, “Nggak apa-apa, Mas. Namanya juga sakit. Untung ada Mbak Laras yang tahu nanganinnya, mungkin dia liat dari formulir Mas kali, ya? Aduh, kalau nggak ada dia… kayaknya udah kita bawa ke rumah sakit.”
“Laras?” tanya Bagas, pelan—nyaris seperti bisikan. Suara itu pecah oleh luka yang belum sempat mengering, oleh rasa bersalah yang tiba-tiba kembali menindih dadanya.
“Iya, Mas,” jawab Baskara, tanpa curiga. “Mbak Laras kan semalaman urus Mas.”
Bagas menunduk. Senyumnya getir, terlalu pahit untuk disebut senyum. Jantungnya seperti dihantam palu—ia memang rela jika harus mati, jika itu satu-satunya jalan untuk tahu seberapa besar kesalahan yang telah ia lakukan.
Dalam diamnya, Bagas tahu—dirinya telah menjadi lelaki yang paling brengsek dalam kisah mereka. Dan Laras, seperti biasanya… tetap menjadi rumah, meski dirinya tak lagi pantas tinggal di dalamnya.
Bagas membuka dompetnya dengan tangan gemetar, perlahan memerhatikan foto yang sudah lusuh dan banyak goresan di kertasnya. Di sana, terpampang wajahnya bersama Laras—gadis cantiknya yang pernah menjadi pusat dunianya, arah kehidupannya. Wajah Laras begitu manis, pesonanya begitu abadi, senyumnya seperti cahaya yang tak pernah lekang oleh waktu.
Itu adalah foto terakhir mereka sebelum jarak dan luka memisahkan, sebelum dunia mereka terpecah dalam keheningan dan perpisahan. Setiap kali melihatnya, Bagas merasakan getir rindu yang menusuk, memori manis yang sekaligus menjadi beban terberat di hatinya.
Matanya terasa panas. Sesuatu mendesak dari dasar dada, ingin tumpah namun ia tahan. Bagas menyimpan dompet dan ponselnya ke sakunya, ia perlahan bangkit dari duduknya, tubuhnya seperti tak seimbang, tapi ia paksa tegak. Ia pejamkan mata sejenak, mencoba menarik kembali kesadarannya, menahan gelombang sesak yang lagi-lagi ingin menelan habis dirinya.
“Aku ke kamar mandi dulu, ya?” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya retak, seperti dinding lama yang mulai runtuh.
Baskara menoleh dan mengangguk, “Nggih, Mas. Lekas sembuh, ya… Tegalrejo nih alamnya masih terjaga banget, pasti nanti pelan-pelan membaik bronkitisnya. Napas di sini, paru-parunya langsung plong, hahaha…”
Bagas tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, singkat, lebih seperti sisa tenaga yang dipaksa berbentuk ekspresi. Lalu ia berbalik, membiarkan kedua pemuda itu berjalan lebih dulu ke luar. Suara langkah kaki mereka menjauh, dan Bagas pun melangkah ke kamar mandi—membawa tubuh lelah dan hatinya yang lebih ringkih dari sebelumnya.
Sesampainya di sana, ia menatap wajahnya di cermin. Matanya bengkak. Bibirnya kering dan pecah-pecah, seperti hatinya yang mulai kehilangan bentuk. Tangannya mencengkeram sisi wastafel, seakan hanya itu yang mampu menahannya dari runtuh sepenuhnya.
Bagas menyalakan keran, membasuh wajahnya berkali-kali, meskipun dinginnya air menusuk hingga ke tulang, seperti ingin membekukan segalanya—tapi rasa sakit itu tak mau mati.
Dan seperti biasa, ia biarkan dirinya runtuh lagi. Dalam hening, dalam aliran air yang tak pernah menghakimi, dalam napas yang tak pernah sempat selesai—ia menangis. Tanpa suara, tanpa letupan. Hanya air mata dan rasa bersalah yang terus menetes, seperti luka yang enggan sembuh, seperti kutukan yang tak bisa dicabut.
Seumur hidupnya, kamar mandi adalah tempat persembunyian. Tempat di mana ia boleh jujur pada penderitaan yang tak bisa ia ucapkan di luar. Di sanalah ia telanjang sepenuhnya, bukan hanya tubuh, tapi jiwanya—rapuh dan penuh luka.
Di sana, ia berhadapan dengan setan-setan yang bersemayam dalam dirinya sendiri bersama dosa-dosa lama yang tak mau pergi, penyesalan yang terus bernyanyi di kepala. Ia tak perlu memanggil neraka, karena ia tahu—neraka itu sudah hidup dalam dirinya. Diam, gelap, dan menyatu.
Bagas kecil duduk termenung di atas karpet kamarnya yang halus, menatap bosan potongan puzzle bergambar dinosaurus yang sudah berulang kali ia selesaikan.
Tangannya mengusap-usap kepala boneka beruangnya yang sudah mulai kumal. Ia memeluk boneka itu, lalu menyeretnya perlahan saat bangkit berdiri. Suara gesekan kain boneka di lantai menyertai langkah kaki kecilnya menuruni tangga besar yang sepi.
“Ma…” panggilnya pelan. Tak ada jawaban.
“Papa…” senyap. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar di lorong rumah itu—rumah yang besar, dingin, dan terlalu megah untuk seorang anak berusia sepuluh tahun yang sedang kelaparan.
Langkah kecilnya menuntunnya ke dapur. Di sana, salah satu pengurus rumah yang sudah lama bekerja di keluarga itu menoleh sejenak ketika melihatnya datang, menyeret boneka kesayangannya.
“Papa sama Mama ke mana, Mbak?” tanyanya polos.
“Tadi Papamu mendadak harus pergi ada jadwal operasi, Mas. Kalau Mama, seperti biasa… ada janji temu dengan pasien di kliniknya.”
“Oh…” Bagas menunduk. Diam. Ada kesedihan yang tak sempat dijelaskan dengan kata-kata. Lagi-lagi, orang tuanya… sibuk.
Ia belum mengerti benar apa itu sibuk, tapi sejak lama ia sudah terbiasa.
“Mas Bagas butuh apa? Ada Mbak di rumah, kan?” tanya sang pengurus, mencoba tersenyum, meski tak sanggup menyentuh kekosongan di mata Bagas.
“Bagas laper… Bagas boleh makan, Mbak?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar. Ia berdiri memeluk bonekanya erat, takut-takut. Takut kalau tiba-tiba orang tuanya muncul dan marah hanya karena ia meminta.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, makan pun harus mengikuti jadwal yang telah disusun rapi oleh orang tuanya—jadwal yang lebih padat dari isi kotak makan siangnya. Ada les IPA, les matematika, lalu ada tiga les bahasa asing, dan entah apalagi yang membuat waktu bermainnya menyusut hingga nyaris tiada.
“Sebentar lagi kamu harus les IPA, Mas Bagas. Nanti ngantuk kalau makan sekarang, kalau ketahuan nanti diomelin Mama, loh…” jawab si Mbak, “Cemilan aja, ya? Cemilan kan juga bikin kenyang. Mau Mbak potongin mangga atau apel?”
Bagas diam. Pandangannya tertuju ke meja makan.
Ia tahu di sana masih ada dua potong nugget tersisa di piring—nugget ayam kesukaannya, sisa sarapan mereka tadi pagi. Kini nugget itu dibiarkan dingin, seperti menunggunya, tapi ia tak diizinkan.
“Mau dipotongin apel aja, ya? Atau sama mangga kesukaan Mas?” si Mbak bertanya lagi sambil membuka kulkas, berusaha menaikkan nada bicaranya untuk membuat Bagas tertarik.
Bagas hanya mengangguk. Namun diam-diam, dengan langkah kecil yang diselimuti rasa bersalah, Bagas menaiki bangku meja makan. Gerakannya perlahan, nyaris tanpa suara, seolah takut suara nafasnya sendiri terdengar. Ia berdiri di ujung bangku itu, mencondongkan tubuhnya, dan mengangkat tudung saji dengan hati-hati.
Matanya langsung menangkap dua potong nugget yang seolah menunggunya di piring putih. Ia mengulurkan tangan kecilnya—ragu, tapi juga tak tahan. Jemarinya menggenggam kedua potong nugget itu seperti menemukan potongan puzzle yang hilang, rasanya begitu melegakan.
Senyum mengembang di bibirnya. Kecil, polos, dan penuh lega. Tanpa membuang waktu, ia segera turun dari bangku, membenamkan nugget-nugget itu dalam genggamannya, lalu berlari secepat mungkin.
Langkah-langkah kecilnya menggaung di tangga menuju lantai dua, napasnya memburu, seperti sedang kabur dari dosa kecil. Ia membuka pintu kamar mandi, lalu masuk dan menguncinya dari dalam.
Di ruang sunyi berubin dingin itu, Bagas duduk bersandar di dinding, memangku bonekanya, dan menatap nugget dalam genggamannya seperti sesuatu yang harus ia lindungi dengan segenap jiwa. Bahkan Matanya masih waspada menatap pintu, takut ada yang mengetuk atau marah, tapi… tak ada yang mencarinya.
Dengan tangan kecilnya, ia mengangkat potongan nugget itu pelan-pelan ke mulut, tapi salah satunya tergelincir dan jatuh ke lantai kamar mandi.
“Aduh, jangan…” bisiknya panik.
Matanya berkaca-kaca. “Yah… kalau kayak gini, kotor ya?”
Ia buru-buru mengambil nugget yang jatuh itu, meniupnya berkali-kali, lalu menyeka bagian yang kotor dengan kaus yang ia kenakan.
Ia tak ingin membuangnya. Ia lapar. Ia hanya ingin sedikit saja dari rasa yang ia suka.
“Sekarang udah bersih mungkin, ya… Jangan jatuh lagi, ya? Bagas masih laper.”
Begitu katanya, polos, seolah nugget itu bisa mendengar. Suaranya nyaris berbisik, namun sarat harap.
Dengan hati-hati, ia gigit perlahan. Mengunyah pelan-pelan, mencoba menahan air matanya. Rasa asin gurih dari nugget yang sudah dingin menyapa lidahnya seperti hadiah kecil dari semesta—begitu berharga untuk perutnya yang sudah keroncongan.
Ia tidak makan dengan terburu-buru. Tidak seperti anak-anak lain yang lahap menyantap makanan hangat di meja makan bersama keluarga. Tidak seperti anak-anak di televisi yang tertawa sambil makan camilan. Ia hanya duduk di atas lantai kamar mandi, bersandar di tembok yang dingin, memeluk bonekanya erat-erat seolah itu satu-satunya yang bisa mengerti.
…
Hari itu seperti hari-hari lain di rumahnya—jadwal padat, nada bicara tinggi, dan tuntutan yang tak kunjung reda. Nilai matematikanya turun. Fisika merah. Bahasa Inggris pun hanya cukup-cukup saja. Padahal ia sudah mencoba… sebisanya. Tapi entah kenapa, otaknya seperti menolak menerima apa pun.
“Bagas, kamu tuh ngapain aja sih di kelas? Main terus kamu, ya?! Udah lah, jangan ikut ekskul macem-macem. Orkestra lah, fotografi lah… kamu fokus sama klub sains kamu aja, satu cukup. Waktunya sekolah ya belajar, waktunya les ya les, waktunya pulang langsung istirahat biar waktu belajar kamu nanti nggak kebuang sia-sia…’
“Kamu kira kami atur jadwal belajar kamu buat kamu dapetin nilai sejelek ini, Gas?”
“Sayang… Mulai minggu depan, mama atur jam les kamu biar bisa ditambah, satu jam per mata pelajaran, ya? Biar fokusmu bisa dilatih lagi, masa nilainya bisa hancur-hancuran pas KKM gini.”
Malam itu, Bagas tidak menjawab. Ia hanya diam. Membisu. Lalu pelan-pelan, saat rumah mulai tenang, ia mengambil bantal dan selimut tipis dari kamarnya. Dengan langkah hati-hati agar tak terdengar, ia menyelinap ke kamar mandi pribadinya.
Lampu sengaja tak ia nyalakan. Ia tak butuh cahaya—ia hanya butuh gelap yang bisa menenangkannya. Ia melangkah ke dalam bathtub kosong, lalu meringkuk di sana. Bantal ia letakkan di salah satu sisi, selimut ia tarik sampai menutupi leher.
Udara dingin menyusup dari dinding bathub-nya, merambat ke kulitnya. Tapi rasa dingin itu tak seberapa dibandingkan dinginnya ucapan orang tuanya.
Ia menarik lututnya ke dada. Menyembunyikan wajahnya. Sesekali ia menghembuskan napas panjang, seolah ingin mengusir semua hal yang menekan dadanya.
Bagas tidak ingin menangis malam itu, tapi matanya tetap basah. Karena lelah. Karena jenuh. Karena bingung kenapa dirinya terasa tak pernah cukup.
Ia hanya ingin tidur. Di tempat sempit dan dingin. Di tempat yang jauh dari suara.
Ia hanya ingin… tidak ditemukan.
…
Suara benturan keras itu masih membekas di telinga Bagas, dentumannya seperti petir yang menyambar langsung ke dada. Gitar cokelat kesayangannya—dengan suara akustik hangat yang selalu ia mainkan sepenuh hati—tergeletak di lantai marmer kamar, dengan lehernya yang kini patah. Retaknya membentuk garis serong seperti luka menganga, seolah menjerit bersama hatinya yang tak kalah remuk.
Bagas hanya berdiri membeku. Matanya nanar, tenggorokannya tercekat. Ia tak langsung menjerit. Ia tak marah. Ia hanya menatap gitar itu seakan tak percaya, seperti anak kecil yang melihat mainan kesayangannya dihancurkan tepat di depan matanya.
Perlahan, kelopak matanya menghangat. Air mata yang ia tahan mulai beriak di sudut mata, namun ia tetap berusaha tegar.
“Hiks—Gitarku… rusak… kameraku… kalian sita…” gumam Bagas pelan di tengah tangisan tertahannya, namun orang tuanya masih bisa mendengarnya.
“Papa bilang belajar, ya belajar! Papa nggak bisa lama-lama nemenin kamu belajar, jangan sia-siain waktu Papa.”
Sia-siain waktu Papa, katanya…
Bagas tadi hanya ingin main sebentar. Cuma sebentar. Besok hari Sabtu, dan latihan gladi resik untuk lomba ekskul musik tinggal tiga hari lagi—ekskul yang ia ikuti secara diam-diam karena orang tuanya tidak akan memperbolehkannya.
Ia tak main sembarangan, tak mengganggu siapa pun.
Kamarnya besar, pintunya tertutup, bahkan ia memilih senar nylon agar tak terlalu nyaring. Tapi tetap saja... tetap saja, gitar itu direbut paksa dari tangannya dalam pertengkaran sepihak yang tak pernah bisa ia menangkan—dan terjatuh begitu saja.
Patah. Hancur.
“Sayang, kamu tahu minggu depan olimpiade matematika. Masa kamu nggak tau harus prioritasin yang mana? Di latihan kemarin, kamu masih banyak salahnya, loh…”
Prioritas.
Kata itu seperti palu godam. Seakan apapun yang ia cintai tak pernah cukup penting, seakan suara hatinya selalu lebih tak berarti daripada target dan nilai.
Ia berlutut perlahan, menyentuh tubuh gitar itu dengan jari gemetar. Seolah masih berharap bisa menghidupkannya kembali, bisa memperbaikinya, bisa menyelamatkan sesuatu yang sudah hancur.
Air matanya perlahan terus mengalir, tapi ia tetap berusaha menyeka dengan punggung tangan, menahan napas yang mulai berat. Gitar itu, yang patah lehernya, kini tergolek tak bernyawa di pangkuannya. Tangannya gemetar saat menyentuh bagian yang retak—bagian yang biasa ia letakkan jarinya dengan cinta dan ketekunan.
Tapi dadanya makin sesak.
Dan pada satu titik—titik yang begitu hening namun memekakkan—semua itu tumpah keluar. Suaranya serak, pecah, terbungkus kepedihan yang selama ini ia bungkam.
“Bangsat lu semua…”
Perkataan itu meluncur begitu saja. Pelan. Serak. Lirih. Tapi penuh luka. Bukan dari mulut anak pembangkang—melainkan dari seorang anak yang akhirnya jenuh menjadi pendiam.
Seketika, ruangan itu membeku.
“Apa kamu bilang, Bagas?”
Bu Astrid meletakkan lembar jawaban Bagas ke atas meja belajarnya. Wajahnya terkejut, tercengang, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“BAGAS, JAWAB MAMAMU!” bentak sang ayah.
Bagas mengangkat wajahnya, matanya merah, napasnya berat. Ia menggertakkan gigi, menahan gemuruh yang sudah tak bisa lagi ia redam.
“KALIAN BANGSATT!!”
Suara itu pecah. Meledak seperti lava yang mendidih terlalu lama.
“BAGAS!!”
Teriakan mamanya kali ini penuh kepanikan.
“JAGA MULUT KAMU, YA!”
Bentakan Pak Arsana menyusul—tajam dan menghentak, seperti cambuk yang menggores kulit. Urat di lehernya menegang, rahangnya mengeras, dan dengan geram ia nyaris mengangkat telapak tangannya—namun sang istri cepat-cepat menangkap pergelangan tangan suaminya.
“Jangan,” katanya rendah, tercekat. Tangannya gemetar, matanya tak lepas dari anak mereka yang kini berdiri dengan tubuh kaku dan mata berkaca-kaca.
Gemetar, Bagas memeluk pecahan gitar itu lebih erat. Tanpa menunggu lebih lama, ia berlari meninggalkan kedua orang tuanya—menerobos lorong kamarnya yang dipenuhi koleksi buku-buku mahal dan lengkap, lalu membanting pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam.
“Bagas! Bagas, buka pintunya!” Pak Arsana mendobrak berkali-kali. “Buka sekarang juga! Jangan kekanak-kanakan kamu! Kamu udah besar, Bagas!”
Namun tak ada suara dari dalam.
Hanya suara napas yang tercekat dan sesekali isak lirih, tersamar oleh gemericik keran yang sengaja ia nyalakan.
Ia menangis tanpa suara.
Air mata menetes ke leher gitar yang sudah patah, jatuh di sela-sela retakannya.
Dan di sanalah ia tetap menangis dalam diam, seolah kamar mandi itu satu-satunya tempat di dunia yang bisa memberinya ruang untuk sakit—tanpa harus diminta menjelaskan, tanpa harus jadi sempurna, tanpa harus dipaksa mengerti.
…
“Bagas… yuk pulang. Mama harus kejar waktu, ada seminar, sayang.”
Bagas bersandar lemah di meja makan kosnya. Jemarinya menyusuri permukaan kayu yang mulai usang, seolah meraba sisa-sisa kenangan yang pernah hidup di sana. Di meja inilah mereka belajar bersama, tertawa lepas, menikmati makanan—dari yang enak sampai yang aneh—hasil eksperimen tangan ajaib Laras. Semua terasa begitu hidup… dulu.
Kini yang tersisa hanya sunyi.
Di layar ponselnya, pesan yang tak pernah mendapat balasan masih tertinggal.
— “Laras, kamu di mana? Udah pulang ke Wonosobo? Aku lagi siap-siap balik ke Jakarta. Rasanya… aku nggak mau pulang, Ras.”
Pesan yang ia kirim tadi pagi tak pernah terbaca. Tak pernah disentuh. Dan mungkin memang tak akan pernah dijawab.
Bagas menyimpan ponselnya kembali ke saku. Napasnya berat, namun ia mencoba bersikap biasa.
“Nggak bisa kalian pulang duluan aja? Aku udah dewasa, aku juga masih punya uang untuk beberap—”
Ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Bu Astrid langsung memotong, suaranya tegas, sedikit jengah.
“Bagas… Kamu udah putus dari lama. Mana mungkin Laras datang cuma karena kamu mau pulang?”
Dan Bagas pun diam.
Hanya diam. Karena jika ia berbicara, air matanya mungkin akan ikut bicara.
“Jangan buang waktu kamu cuma buat perempuan, kamu tuh laki-laki… kalau kamu mapan dan udah jadi dokter nanti, pasti banyak yang ngantri buat dapetin kamu.”
Ia tak ingin menjawab, karena setiap jawaban hanya akan mempermalukan hatinya sendiri—yang masih menunggu, yang masih berharap. Ia tahu Laras tak akan datang, tapi entah kenapa, ia tetap ingin percaya barang sedikit saja.
Sedikit saja.
Bahwa mungkin, Laras pun merindukannya.
…
“Besok kamu berangkat ke Iowa, kan?” tanya Pak Arsana dari ambang pintu.
Bagas duduk santai, menyandarkan punggung di sofa kamarnya, mata terpejam seperti enggan membuka percakapan.
“Iya. Seneng, kan?”
Ayahnya terdiam sejenak. “Ya seneng, lah… Anak Papa mau jadi dokter—”
“Mau dibuang, lebih tepatnya.” Bagas menyela dengan datar, seolah sudah hapal arah omongan itu. “Ya… udah biasa sendirian juga, sih. Jadi kalian nanti nggak usah repot-repot datang, nggak usah berkunjung juga… kayak akur aja.”
Pak Arsana menggertakkan gigi. Rahangnya mengencang. Anak lelakinya itu… benar-benar tumbuh jadi pribadi yang keras kepala, bebal, dan kadang… terasa mati rasa.
“Fokus sama studimu, nggak usah mikirin yang lain. Papa sudah izinin kamu ambil spesialis kedokteran keluarga di sana, daripada di sini mikirin perempuan terus. Di Indonesia bidang itu masih sangat sedikit, jadi—”
“Belajar yang benar. Jangan malu-maluin Papa sama Mama.”
Nada Bagas dingin, menirukan kalimat yang sudah seperti kaset rusak dalam hidupnya.
“Dari dulu juga gitu, kan?”
“Bagas!” tegur Pak Arsana, suaranya meninggi. Tapi Bagas cuma menoleh sekilas, melirik dengan tatapan santai yang menyakitkan, lalu tersenyum—pahit, kecut, dan nyaris menghina.
“Dari dulu aku selalu belajar mati-matian sampai mau mati beneran. Jadi kalau Papa masih nyuruh aku fokus… sama aja nyuruh aku mati, Pa.”
Tanpa menunggu balasan, Bagas bangkit dari duduknya. Ia hendak mengambil rokoknya di meja nakasnya, namun sudah habis tak tersisa. Bagas menahan kesal, ia mengambil bantal di atas kasurnya dan melangkah pelan menuju kamar mandi, lalu menguncinya dari dalam.
Hening. Sunyi.
Di balik pintu yang tertutup rapat, Bagas melempar bantal ke bathtub. Ia merebahkan tubuhnya di sana—pasrah, letih, seolah seluruh dunia telah berhenti.
Ia menutup wajah dengan lengan.
“Nggak apa-apa, Gas… aku lega kalau kamu nangis… daripada dipendem sendiri. Nangis aja, ya? Mas Surya juga selalu nangis kalau dia lagi sakit.”
Suara itu—suara Laras—menggema lembut di telinganya.
Hangat, manis, menenangkan.
Satu tarikan napas panjang.
Lalu, perlahan, tangisnya luruh… tanpa suara, tanpa tanya.
“Hari ini kamu gimana, Ras?”
“Aku… capek, Ras…”
“Sumpah… aku capek banget.”
Pintu itu tak pernah diketuk. Tak ada yang memanggil namanya. Tak ada yang peduli juga… mungkin.
Tak ada yang tahu—bahwa Bagas, anak kebanggaan, calon dokter dari keluarga besar itu—sedang menghilang pelan-pelan, tenggelam dalam sunyi di balik dinginnya kamar mandi.
…
“Kamu mau ke mana lagi, Gas? Kamu baru sampe, loh.”
“Banjarnegara.”
“Laras lagi?” suara Bu Astrid naik satu oktaf, mengiris udara pagi yang masih tenang. “Mau sampai kapan kamu cari dia terus?!”
Bagas diam, ia terlalu malas untuk menjawab. Ia hanya berjalan ke Land Rover miliknya, membuka bagasi, dan melemparkan tiga tas besar ke dalamnya—berisi pakaian, stok air minum dan makanan instan, perlengkapan tidur, keamanan, obat-obatan dan lainnya.
“Papa kamu nanti marah, Gas!” seru sang ibu, menyusul langkah anaknya. “Kamu lupa besok harus datang ke acara pertemuan dia dengan Prof—”
“Besok tanggal 1 November, Ma.” Suara Bagas rendah, tapi tajam. “Aku mau cari Laras.”
Tangannya menggenggam gagang pintu mobil, baginya sudah tak ada ruang untuk kompromi.
“Bagas!” bentak Bu Astrid. “Bertahun-tahun kamu muter-muter satu provinsi cuma buat cari perempuan yang nggak mau ketemu kamu lagi, yang udah buang kamu, loh?! Emangnya kenapa, sih? Kamu punya utang apa sama dia, atau dia yang punya utang ke kamu?! Berapa banyak? Bagas, jawab Mama!!”
Langkah Bagas terhenti. Ia hanya menoleh sambil menghela napas panjang, menatap langsung mata ibunya—bukan dengan amarah, tapi dengan luka yang sudah lama mengendap dan membatu.
“Nyawa.”
Satu kata. Sunyi mendadak menggantung di antara mereka.
“Anak Mama udah mati sepuluh tahun lalu kalau nggak ada dia,” ucap Bagas, lirih namun jelas, seakan mengingatkan sebuah kenyataan pahit yang sudah lama berusaha ia kubur dalam-dalam.
Bu Astrid terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi wajahnya tetap menegang. Melihat itu, Bagas hanya masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Ia tak menunggu jawaban.
“Bagas pergi dulu, Ma. Doain… siapa tau bisa ketemu.”
Bagas mematikan keran itu setelah memastikan air matanya benar-benar hanyut bersama air.
Sudah berapa kali ia melakukan ini? Ia tak lagi ingat. Hanya tahu, tiap kali sesak itu mencuat tanpa peringatan, ia akan berjalan ke kamar mandi, menyalakan keran, lalu membiarkan wajahnya basah oleh air.
Kali ini pun sama.
Ia mendongak sedikit, menatap wajahnya yang memucat di cermin. Mata sembab dan bengkak, tapi tak akan lama. Ia sudah ahli menyamarkan jejak tangis—dengan dingin air, dan laku yang tertata.
Sejak kecil, Bagas nyaris tak pernah rewel. Ia tak pernah menuntut lebih dari apa yang orang tuanya berikan. Bahkan saat mereka lupa ulang tahunnya, saat ia makan sendirian di meja makan besar yang dingin, atau ketika ia pulang sekolah hanya untuk kembali dijemput dan diantar ke tempat les yang tak pernah ia pilih sendiri. Bahkan ketika ia ingin bermain, bergaul, tertawa lepas seperti anak-anak lain, namanya tetap tercatat dalam daftar pertemanan terkurasi—hanya boleh dengan mereka yang ‘berprestasi’. Hidupnya seperti buku agenda yang tak pernah ia tulis sendiri.
Orang tuanya adalah pahlawan bagi banyak orang—dokter yang menyelamatkan nyawa, yang tangan dan waktunya selalu ditarik-tarik dari satu ruang operasi ke ruang lainnya, dari satu klinik ke panggilan darurat berikutnya. Mereka selalu dibutuhkan, selalu ditunggu, selalu jadi harapan.
Kecuali oleh anaknya sendiri.
Bagi dunia, mereka cahaya. Tapi bagi Bagas kecil, yang duduk diam di ujung meja makan, mereka seperti bayangan yang tak sempat hadir. Ia tahu, ia tak bisa membenci mereka—karena bagaimana bisa kau membenci seseorang yang sedang menyelamatkan hidup orang lain?
Maka… lama-lama, Bagas belajar diam.
Ia belajar menerima tanpa suara. Belajar bahwa tangisan hanya akan membuatnya tampak lemah. Maka ia simpan semuanya, ia buang kecewa dan amarahnya ke keran air di kamar mandi. Ia jadikan bilik kamar mandinya tempat berlindung, malam-malam di mana ia bahkan takut terdengar bernapas.
Tapi… Laras.
Ia berhenti melakukan semua itu setelah bertemu Laras.
Tak lagi cuci muka tiap kali air mata jatuh, tak lagi mengunci diri di kamar mandi untuk menyembunyikan letupan amarah yang tertahan atau kesedihan yang tak terucap.
Ia tak perlu lagi memadamkan gejolak hatinya sendirian. Karena sejak Laras hadir, Bagas tahu—ada peluk yang bisa ia datangi, ada sepasang tangan yang tak akan menjauh, dan ada bahu yang tak akan menolak beban air matanya.
Laras tidak menanyakan luka-luka lamanya. Laras tidak memaksanya bicara. Tapi Laras selalu ada. Ia duduk diam ketika Bagas lelah. Memeluk saat Bagas terlalu hening. Menyediakan tempat di pangkuannya ketika dunia terasa terlalu berat.
Ketika dadanya sesak penuh amarah dan kekesalan, ia akan mencari Laras. Ia akan menelusup ke dalam pelukannya, tanpa malu, tanpa takut dihakimi. Kadang hanya diam di sana, memeluk pinggang Laras sambil menyembunyikan wajahnya, membiarkan air matanya jatuh tanpa pertahanan. Kadang ia terisak tanpa suara, hanya karena tubuhnya terlalu letih menahan semua.
Dan Laras… selalu ada.
Tangannya, yang perlahan mengusap rambut Bagas. Ciuman kecil di pucuk kepalanya, yang lebih hangat dari matahari pagi. Bahunya, kecil dan rapuh, tapi cukup kuat menjadi tempat Bagas bersandar saat dunia terasa terlalu berat. Pangkuannya, lembut dan hangat, menjadi tempat aman bagi isak tangis yang tak pernah berani ia tunjukkan pada siapa pun.
Di dalam pelukannya, Bagas tidak perlu lagi menyembunyikan air matanya di balik dingin keran kamar mandi. Tak perlu lagi mengunci diri dari dunia yang tak sempat mendengarnya menangis. Tak ada jadwal, tak ada batas, tak ada syarat. Hanya ruang—untuk luka, untuk jujur, untuk pulih.
Laras tidak ingin apa-apa darinya.
Tidak menuntut ciuman panas sebagai pelipur, atau seks bergairah sebagai pelarian.
Bukan minuman alkohol, bukan hadiah, bukan kemewahan, bukan pencapaian yang bisa dipamerkan.
Tidak menuntut Bagas untuk kuat.
Tidak menuntutnya untuk selalu tenang.
Tidak memintanya menjadi lelaki sempurna yang tak pernah menangis.
Yang Laras mau... hanya Bagas.
Laras hanya ingin Bagas menjadi manusia.
Dengan segala lukanya.
Dengan semua kepedihan yang tak pernah sempat ia bagi.
Dan karena Bagas menerima banyak dari Laras—bukan hal besar, tapi yang justru tak pernah ia temukan di tempat lain—ia berjanji.
Ia berjanji tak akan membiarkan Laras menangis sendirian. Tak akan membiarkan Laras menyembunyikan sakitnya di balik tawa, atau menyusuri malam panjang dengan beban yang tak pernah ia bagi.
Maka saat Laras rewel karena demam, saat emosinya tak teratur karena lelah, saat air matanya tumpah karena tekanan yang tak terucap, Bagas tinggal. Ia tidak akan banyak bertanya, tidak menuntut. Ia hanya duduk di situ, memeluk jika diizinkan, mengusap punggung Laras hingga tangisnya reda.
Ia tahu Laras mampu berdiri sendiri.
Ia Tahu Laras bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
Tapi ia memilih tetap ada.
Bukan karena Laras tak mampu, tapi karena Laras tak perlu lagi melakukannya sendiri.
Tapi tak semua janji bisa dipenuhi, meski niatnya setulus luka yang pernah disembuhkan.
Bagas tahu itu, sekarang—setelah semuanya terlambat, setelah air mata Laras tak lagi jatuh di pelukannya, melainkan jatuh sendiri, tanpa siapa-siapa yang menampungnya.
Bagas khilaf. Bagas bodoh.
Ia membiarkan luka lamanya membusuk—hanya tertutup rapat, mengendap tanpa pernah benar-benar berhenti mengeluarkan darah. Dan tanpa sadar, luka itu tumbuh menjadi belenggu.
Bukan hanya untuk dirinya… tapi untuk siapa pun yang mencintainya.
Dosa yang ia anggap bagian dari masa lalu, ternyata tak pernah benar-benar mati. Ia hanya tertidur—menunggu saatnya menyeret siapa saja yang mencoba mendekat, yang mencoba mencintai pria bernama Bagas dengan sepenuh hati.
Sayangnya… Laras adalah satu-satunya.
Yang paling murni, paling tulus, dan karena itu, paling hancur. Dan sekarang, ketika semuanya telah runtuh, yang tersisa hanyalah kenyataan pahit bahwa ia tak hanya gagal mencintai Laras seperti janjinya, ia pun telah menodai satu-satunya hal baik yang pernah datang ke kehidupannya.
Bagas mengusap air matanya dengan kasar, seolah ingin menghapus semua jejak rapuh di wajahnya. Ia berdiri, melangkah ke keran tua di atas ember plastik yang airnya dingin seperti besi. Tangannya gemetar saat memutar keran.
Air mengalir lambat. Beku.
Ia menggulung lengan bajunya, menatap pantulan samar wajahnya di genangan air.
“Salat…” gumamnya pelan. “Kayak Tuhan masih mau denger aja…”
Hanya suara air mengalir, dan helaan napas yang tertahan.
Bagas menarik napas dalam-dalam, lalu mulai mengusap wajahnya dengan air. Satu per satu—tangan, kepala, kaki. Gerakan yang ia hafal luar kepala, meski ragunya jauh lebih kuat dari keyakinannya.
Bagas melangkah keluar dari ruang kelasnya, pelan tapi pasti. Akhirnya… benar-benar akhirnya. Semua sudah selesai. Beban di pundaknya belum benar-benar hilang, tapi setidaknya untuk hari ini, ia bisa… bernapas.
Di lorong, ia melihat Fathar—mereka tidak pernah benar-benar akrab. Fathar salah satu dari sedikit orang yang lebih memilih menjaga jarak setelah mengetahui siapa Bagas—pengaruh orang tuanya yang berteman akrab dengan para dokter sekaligus dosen pengampu di perkuliahan mereka. Tapi entah bagaimana, dalam beberapa waktu terakhir, mereka sering dipaksa satu kelompok.
Bagas menepuk pundak Fathar pelan, sementara lelaki itu hanya menoleh sedikit. “Tugas kita udah gue kasih ke dokter, ya. Beliau udah setuju sama hasilnya. Lusa bisa langsung dipresentasiin.”
“Tumben cepet banget ngumpulinnya? Biasanya lu suka mepet, Gas.”
Bagas diam sebentar, lalu senyum tipis—pahit, nyaris seperti meminta maaf. “Iya, gue besok nggak bisa.”
“Ngomong-ngomong… gue minta maaf ya, kalau sering ngerepotin lu selama ini.”
Fathar menghentikan langkahnya, alisnya mengernyit.
“Lu kenapa dah? Aneh… jangan-jangan diem-diem mabuk, ya?”
Bagas tertawa kecil, tapi kosong. “Nggak, gue emang beban kalau satu kelompok sama lu.”
Fathar ikut ketawa, lalu mengangguk santai. “Hahaha. Ya udah… makasih juga, akhir-akhir ini lu lumayan ngebantu. Pertahanin, Gas.”
Bagas cuma mengangguk. “Gue duluan, ya.”
Ia segera mempercepat langkahnya, menuruni lorong yang penuh suara tapi terasa hampa. Ia melewati wajah-wajah yang tak ingin ia temui, dan mempercepat langkah saat dari kejauhan terdengar suara Dinda memanggil namanya.
Bagas pura-pura tidak mendengarnya.
Bagas masuk ke mobilnya dan langsung menyalakan mesin. Ia tidak berpikir panjang—hanya ingin pergi. Tapi entah kenapa… cuaca hari ini seakan mengerti isi kepalanya.
Gerimis mengguyur perlahan. Udara lembab menyusup dari sela jendela, diikuti dengan bau tanah basah setelah siang yang terik membuatnya memperlambat laju. Ia membuka kaca jendelanya, menggantungkan lengannya ke luar. Dingin, tapi menenangkan. Bagas menatap kosong ke depan… sampai matanya menangkap sosok yang tengah berlari di tengah gerimis.
Tas punggungnya tampak berat. Langkah kakinya cepat, namun terburu-buru—berjuang melawan waktu dan cuaca.
“Itu… Laras?” gumamnya.
Refleks, ia menekan pedal gas sedikit, menyusul perlahan hingga sejajar. “Laras!!” serunya, “Mau ke mana?!”
Laras terhenti. Pipinya memerah karena suhu badannya yang panas, sementara ambut ikalnya lepek, menempel di pipi dan keningnya. Nafasnya memburu. Matanya mencari arah suara, lalu terkejut saat melihat Bagas.
“Masuk sini! Aku anterin! Mau ke mana?!”
“Aku mau cari warnet… atau tempat nge-print lah, file tugasnya harus dikumpulin sebelum jam empat. Di mana-mana rame, aku takut keburu-buru nanti kalau—” Suaranya sedikit meninggi agar terdengar di tengah gerimis yang mulai deras.
Tapi, Bagas keluar dari mobilnya dan membuka pintu penumpang. “Udah, cepet masuk! Nggak usah mikir, aku punya printer di kos-ku, kamu print di tempatku aja.”
Laras ragu sejenak, tapi dinginnya hujan mulai meresap ke dalam pakaiannya. “Nggak apa-apa?” teriaknya, menahan ragu.
“Jangan pake lama, nanti kamu sakit.” ucap Bagas tegas, lalu mendorong pelan punggungnya agar segera masuk.
Laras akhirnya menurut, tubuhnya masih gemetar oleh udara dingin. Bagas segera kembali ke kursi kemudi dan menutup kaca jendela.
Dan benar saja… hujan kini turun lebih deras, membuat jalanan mulai berkabut tipis. Di antara suara wiper dan gerimis, Bagas menghela napas.
“Untung aku lihat kamu. Kalau nggak… kamu udah kehujanan banget, tau nggak?” gumamnya, separuh kesal, separuh khawatir.
Laras hanya menunduk, menyembunyikan senyum kecil di balik rambut ikalnya yang perlahan mulai kering. “Makasih, ya… Maaf kalau ngerepotin.”
“Nggak apa-apa. Santai aja…” suara Bagas terdengar biasa saja, tapi ada nada pelan di ujungnya. Matanya menatap lurus ke depan, meski sudut pandangnya sesekali mencuri lihat ke arahnya.
Ia menghela napas pendek, lalu dengan satu tangan melepaskan kemeja lengan panjang yang tadi ia pakai sebagai lapis luar. Gerakannya hati-hati, tetap menjaga kemudi agar tetap stabil.
Tanpa banyak bicara, Bagas menyerahkannya ke arah Laras. “Nih, pake dulu… ahem—itu… bajumu mulai nerawang. Dalemannya agak keliatan.”
Laras terdiam sejenak. Wajahnya memerah, tapi bukan hanya karena malu semata—lebih karena heran atas perhatian yang datang begitu sederhana.
Ia menerima kemeja itu perlahan, menyampirkannya ke tubuhnya, lalu menoleh ke luar jendela. “Makasih…”
Bagas tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, masih fokus ke jalan. Tapi dalam diam, suasana di dalam mobil terasa berubah. Tak lagi hanya gerimis yang berbicara—ada sesuatu yang lain. Hening yang hangat, dan keakraban yang belum sepenuhnya bisa mereka beri nama.
Bagas menyetir tanpa banyak bicara. Wajahnya datar, tapi cemas terselip jelas dari cara ia menggenggam setir. Kakinya sedikit menekan pedal gas lebih dalam—tak berlebihan, tapi cukup menunjukkan kegusarannya.
Hujan belum juga reda. Laras sedikit memeluk tubuhnya sendiri untuk memberi kehangatan, dan Bagas tahu benar bahwa gerimis ini sudah turun cukup lama. Fakta bahwa gedung fakultas Laras jauh dari gedung fakultasnya membuat pikirannya semakin penuh—Dia lari sejauh itu? Demi tugas? Sendirian, di bawah hujan?
Setibanya di kos, Bagas segera menarik rem tangan dan mematikan mesin. Ia menoleh ke Laras, lalu mengulurkan kunci kamar.
“Nih. Kamarku nomor dua belas, pojok kanan… nanti ada sepatu putih di depannya. Langsung masuk aja, habis itu nyalain laptop aku. Aku benerin parkir dulu.”
Laras menatap kunci itu, ia ragu-ragu menerimanya. Ia hanya diam, tak langsung bergerak. “Tapi…”
Bagas tersenyum samar, “Udah, nggak usah takut. Kamarku udah sering didatengin banyak orang… ahem… kalau mau numpang nugas. Santai aja…”
Laras akhirnya mengangguk pelan, lalu keluar dari mobil. Hujan masih menetes dari ujung atap, dan ia harus sedikit menunduk saat berlari kecil menuju kamar yang disebut Bagas.
Langkah-langkahnya ringan tapi ragu. Ia memegang kunci itu seakan terlalu ringan, terlalu pribadi… dan entah kenapa, terlalu hangat.
Setelah menemukan kamar nomor 12 sesuai petunjuk, Laras berlari kecil ke sana dan membuka pintu dengan kunci yang tadi diberikan.
“Assalamualaikum…” ucapnya pelan sambil melongok ke dalam.
Ia melepas sepatunya buru-buru, lalu melangkah masuk dengan cepat. Tak ingin terlalu lama menumpang, ia mencoba mencari laptop yang dimaksud Bagas.
“Laptop… laptopnya di mana, ya?”
Ruangan itu jauh lebih besar daripada kamar kos miliknya. Rapi tidak, berantakan pun belum… tapi terasa dingin sekali. Pandangannya menyapu sudut demi sudut, apakah komputernya ada di dalam kamar utama?
Laras berdiri ragu di ambang pintu. Meski sudah diberi izin, tetap saja ada perasaan tak enak memasuki ruang privasi seseorang.
“Bagas… aku permisi masuk, ya…”
Ia memutar tuas pintu dan mengintip ke dalam. Kamar itu sedikit berantakan—jaket di ujung kasur, kaus kaki belum dicuci, dan tumpukan buku di meja. Semuanya… masih dalam batas wajar, dan matanya langsung menangkap keberadaan komputer di pojok meja belajar.
Laras tersenyum kecil, lalu berlari ke sana dan menyalakan komputer itu.
Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di belakangnya. “Udah?” suara Bagas muncul tiba-tiba. Ia melempar tasnya sembarangan ke sisi kasur dan menyandarkan tubuh ke dinding.
“Cepet banget jalannya…” gumam Laras, namun Laras langsung membungkam mulutnya sendiri karena takut ucapannya terlalu lancang. “Udah, Gas… ini lagi nunggu.” jawab Laras sambil menunjuk proses booting di layar monitor.
Bagas mengangguk santai. “Aku masak air hangat dulu, siapa tahu kamu mau minum teh.”
Laras buru-buru menoleh. “Nggak perlu, Gas. Aku bentar aja kok. Jangan repot-repot…”
“Gak apa-apa… santai aja,” jawab Bagas datar, lalu keluar kamar sebelum Laras sempat membantah lagi.
“Makasih banyak, ya!” seru Laras, sedikit mengeraskan suaranya, berharap Bagas mendengar dari dapur. Tak ada jawaban, tapi ia memilih fokus pada tugasnya.
Jemarinya lincah menancapkan flash disk ke laptop, lalu mengatur printer di sebelah—menyalakannya, menaruh beberapa lembar kertas HVS, dan memastikan file-nya benar. Tanpa banyak pikir, ia langsung mengatur proses cetak.
Laras tersenyum, lesung pipinya dalam dan begitu manis. Ada rasa lega yang menyeruak, akhirnya ia tidak perlu lagi berlari-lari di bawah hujan. Namun, ada yang terasa ganjil.
Ia baru tersadar, ia belum mencuci tangan dan kaki. Kebiasaan yang tertanam sejak kecil—jika pulang dari luar, ia harus menyucikan diri, meski hanya dengan aliran air.
Dengan langkah ringan, ia keluar kamar, mencari arah kamar mandi. Letaknya tidak jauh dari ruang tengah. “Bagas, aku numpang ke kamar mandi, ya…” serunya sambil melirik ke arah dapur.
Tapi reaksi Bagas membuatnya tertegun.
“Jangan! Jangan ke kamar mand—sebentar! Jangan, Ras!” suara Bagas penuh kepanikan, tangan kanannya masih menggenggam teko panas.
Ia segera meletakkan teko itu ke meja dapur, lalu berlari ke arah Laras, tapi Laras sudah membuka pintu kamar mandi.
Laras menoleh padanya, bingung. “Kenapa?”
Tapi kemudian, matanya menatap ke dalam—dan seolah dunia berhenti.
Ada seutas tali.
Menggantung.
Diam.
Tak bernyawa, namun menyimpan cerita.
Dan dalam hening yang panjang itu, Laras terpaku.
Seperti tersambar petir. Nafasnya tercekat. Tidak percaya.
“A—aku…” Laras tergagap. Kata-katanya tercekat di kerongkongan, dan tiba-tiba, cegukan menyerangnya.
Hik.
Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena syok yang masih menggumpal di dadanya.
Bagas akhirnya sampai di depannya. Dengan cepat, ia menarik pintu itu dan menutupnya keras. Tangannya mendorong Laras dengan panik, terlalu keras.
“Akhh—” Laras terjatuh. Tubuhnya lemas, tidak mampu menopang kepanikan dan bingung yang mendadak menyatu jadi satu.
Ia terduduk di lantai, matanya hanya menatap Bagas.
Bagas berdiri membatu, bersandar pada pintu seolah itu satu-satunya penopang yang tersisa. Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya keras, dan mencoba menarik napas, tapi dadanya sesak.
“Sial…” gumamnya, nyaris tanpa suara. “Aku udah bilang jangan masuk ke—”
Ia terhenti.
Pandangan matanya bertemu dengan Laras. Dan di sana, ia melihat air mata.
Bukan tangis biasa, tapi ketakutan. Luka dari hal yang tak seharusnya dilihat. Laras tidak bersuara, hanya menatapnya—seolah jiwanya baru saja retak karena apa yang ia temukan.
Bagas mendadak seperti anak kecil yang tertangkap basah. Ia membuang muka, lalu perlahan merosot ke lantai. Tangannya berusaha menutup wajahnya—kasar, malu, lelah.
Laras bisa melihat tangan Bagas bergetar saat ia mengusap wajahnya, seperti ingin menghapus semua jejak dari hidup yang gagal ia sembunyikan.
Bagas tidak bisa berkata apa-apa. Tak sanggup.
Karena siang itu, bukan hanya Laras yang melihat tali itu… tapi juga melihat Bagas yang sebenarnya.
“K—kenapa…” Laras berusaha menyembunyikan isaknya, tapi suaranya tetap pecah di udara. “Itu… kenapa, Gas?” Ia mengerjap, napasnya tak teratur. “Kamu… nggak apa-apa, kan?”
Bagas hanya menoleh sekilas. Senyumnya pahit, tak sampai ke mata. Ia mengangguk pelan—bohong yang bahkan dirinya sendiri enggan percaya.
“Nggak apa-apa…” bisiknya.
Hening merambat, menggumpal di antara mereka. Dua jiwa duduk dalam diam, mencoba memproses luka yang tak bernama.
“Kamu udah makan?” tanya Laras pelan, seperti bertanya pada anak kecil. Ia tahu, Bagas belum. Ini waktunya makan. Ini waktu hidup seharusnya berjalan seperti biasa.
Bagas menggeleng. “Belum…”
Laras tak menjawab. Ia hanya merangkak pelan, mendekatinya. Tak tahu harus apa. Tak tahu harus bilang apa. Tapi ia tahu… ia harus tetap di sana.
Tangannya terulur, menyentuh tangan Bagas yang dingin seperti pagi sebelum matahari sempat muncul. “Kamu… udah salat, Gas?”
Bagas mengangkat wajahnya perlahan. Pandangannya kelabu. Tak ada kemarahan. Tak ada kecewa. Hanya kosong, seperti sumur yang telah dikeringkan terlalu lama.
Ia menggeleng lagi. Lebih lambat. Lalu ia menarik napas panjang, napas yang terdengar seperti beban berat menggantung di dadanya.
“Allah tuh… kapan ya, Ras… kapan bisa punya waktu buat kabulin doa aku?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan anak kecil yang hilang di tengah keramaian.
“Kayaknya Allah terlalu sibuk… buat hamba kayak aku…” Ia tertawa, pelan—tawa getir, seperti bunyi piring pecah yang disapu tanpa ampun. “Tiap kali aku sujud, tiap kali aku minta… nggak ada yang berubah. Dia seolah nggak denger…”
Diam.
“Atau… mungkin emang nggak pernah niat buat jawab, ya?”
Laras menahan napas. Kata-kata Bagas seperti petir yang menyambar keyakinannya, tapi ia tetap di sana. Tetap menggenggam tangan itu.
“Aku capek, Ras…”
Bagas menunduk lagi.
“Aku… nggak tahu… Tapi… aku capek…”
Ia memaksakan senyum, tapi air mata lebih dulu menelannya.
“Ya udah…” bisik Laras. Suaranya gemetar, tapi ia mencoba untuk tegas. “Kalau cape, hiks—nanti istirahat… sekarang salat dulu, yuk? Aku… hiks—aku temenin, Gas…”
Bagas tak langsung menjawab. Matanya tetap menatap lantai, kosong. Tubuhnya menggigil perlahan. Ia menggeleng pelan, seolah menolak, seolah tak percaya ada seseorang yang masih mau tinggal di tengah reruntuhan dirinya.
Laras masih di sana. Genggamannya tak dilepas.
Dan ketika Bagas menarik tangan itu, membawanya ke wajahnya—menyandarkannya pada pipi yang sudah basah dengan air mata—Laras tahu.
Bagas tidak sekadar lelah.
Ia sedang hancur.
Hancur setelah iman yang ia genggam mati-matian… mulai retak.
Retak hingga hampir tak bersisa.
Ia tak meraung. Tak berteriak. Tapi tubuhnya gemetar.
Napasnya patah-patah. Dan akhirnya…
Isak itu datang.
Pelan.
Lirih.
Namun berat.
Seperti permohonan yang sudah terlalu lama dipendam dalam sunyi.
“Maaf, Ras…” suaranya tercekik. “Maaf kamu harus liat aku kayak gini…”
“Aku…” ia menarik napas, lalu terisak lagi.
“Aku cape…”
Tangisnya patah.
“Aku cape…”
Laras memejamkan mata.
“Aku cape, Ras…”
Suaranya pecah, seperti anak kecil yang meminta pelukan.
“Tolong aku, Ras…”
“Tolong aku…”
Laras mendengar suara lirih Bagas, dan dadanya langsung sesak. Tak sanggup lagi membendung air matanya, ia terisak dalam diam… lalu lututnya lemas, tubuhnya jatuh bertumpu, dan tanpa pikir panjang ia langsung memeluk Bagas dari depan.
Pelukannya rapat—hangat dan gemetar—seperti seseorang yang takut kehilangan. Ia menenggelamkan wajahnya di bahu Bagas, dan di sanalah ia menangis.
“Ada aku… hiks—Bagas, ada aku di sini…” bisiknya terbata, suaranya tenggelam dalam isak yang pecah.
“Allah nggak sibuk, Gas… Dia nggak lupa sama kamu… Dia bawa aku ke kamu…”
Tangisnya makin kencang. Bahunya berguncang. Tapi ia tetap mendekap erat, seperti sedang berusaha menambal retakan pada lelaki di depannya.
“Istirahat, ya? Hiks… cape ya, Gas? Kamu… hiks—kamu cape banget, ya?”
“Maafin aku… maafin aku baru dateng sekarang…”
Dan saat Bagas mendengar bisikan itu—kata-kata lirih yang selembut doa dan sehancur harapan yang hampir pupus—ia tak lagi mampu menahan apa pun.
Tubuhnya ambruk dalam pelukan Laras.
Ia menangis.
Tangis sejadi-jadinya.
Sehancur-hancurnya.
Pelukan itu terasa menjadi satu-satunya jangkar yang tersisa, dan tubuh Laras yang mungil, yang terasa pas dalam dekapannya, menjadi satu-satunya tempat di dunia ini yang terasa aman.
Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Laras.
Dan di sanalah, Bagas mengadu.
Mengadu dalam diam yang meraung.
Tangannya menggenggam punggung Laras erat-erat, seolah jika dilepas, ia akan jatuh lagi—dan kali ini, tak bisa bangkit.
Ia menangis untuk semua doa yang tak terjawab.
Untuk semua sujud yang terasa hampa.
Untuk semua rasa malu… yang akhirnya bisa ia bagi.
“Allahu… Allahu Akbar… hiks—”
Bagas menunduk, menatap sajadah di bawah kakinya. Tubuhnya gemetar. Dadanya perih seperti ditekan ribuan beban yang tak terlihat.
“Kalau salatmu nggak bisa fokus, sambil pejamin mata aja. Nggak apa-apa, kok. Allah suka kalau hambanya usaha lebih untuk deketin dia, Gas… Baca doa iftitah pelan-pelan aja, ya?”
Bagas terus mengingat apa yang diucapkan laras dulu. Matanya berusaha terpejam rapat, mencoba fokus, mencoba menahan air mata… tapi ia gagal.
Air mata itu tetap mengalir, deras… hangat… menyatu dengan keringat dingin di pelipisnya. Ia mengusap wajahnya kasar—mencoba menghapus rasa malu dan kecewa—dan sekali lagi, salat itu ia batalkan.
Sudah lima kali. Dan tetap gagal.
Tangannya menggenggam lutut, menggigil.
Kepalanya tertunduk dalam, suara napasnya patah-patah. Tapi ia masih berdiri di sana.
Masih mencoba.
Ia menarik napas panjang, gemetar. Lalu, dengan bibir yang kering dan suara yang nyaris habis, ia melafalkan niat salatnya lagi.
Kali ini pelan… terbata… namun penuh tekad yang hampir putus.
“Allahu Akbar…”
Ia mengangkat tangannya, perlahan. Gemetar.
Menjulang ke atas dada seperti seseorang yang menyerah—bukan pada hidup, tapi pada Tuhan yang terlalu lama asing untuknya.
Tangannya ia coba lipat ke depan dadanya, erat.
Bibirnya mulai bergetar. Matanya terpejam, menahan gejolak dalam dada.
Doa iftitah pun ia mulai lafalkan. Tapi suaranya lirih, sangat lirih. Seperti bisikan seorang anak kecil yang rindu rumah tapi lupa jalan pulang.
“Orang tuaku bajingan, Ras…” suara Bagas pecah, hancur dan benar-benar rapuh. “Hiks—mereka tuh… nggak peduli sama wajahku… nama ku… harga diriku… di sini…”
Ia terisak, bahkan giginya bergemeletuk karena amarah yang tertahan terlalu lama.
“Aku malu… aku jijik ketemu dosen-dosenku… mereka bilang aku ngadu karena nilainya jelek—hiks—mereka bilang aku manja! Padahal aku cuma… cuma kasitau karena mereka nanya… hiks—” ia menggertakkan giginya, “Mereka bangsat, Ras… semuanya bangsat…”
Laras tak berkata banyak. Ia hanya memeluk lebih erat, membiarkan tubuhnya menjadi tempat berteduh bagi badai yang mencabik Bagas dari dalam.
“Bagas… hiks… jangan begitu…” Suara Laras lirih, gemetar, tapi penuh kasih. “Istighfar, Gas… tolong sekali aja, ya? Hiks… istighfar dulu…”
Namun Bagas belum selesai.
“Ras… aku malu…” ia terisak lagi, lebih dalam, lebih hancur.
“Dari dulu… dari kecil…”
“Nggak pernah ada yang mikirin perasaanku… aku sendiri… aku selalu sendiri…”
Tangannya mencengkeram baju Laras, seolah takut jika ia lepas, luka itu akan meledak dan menghanguskan segalanya.
“Aku mati-matian belajar… dikejar-kejar ranking… dikejar nilai… tidur jam dua, bangun subuh… semua harus sempurna…”
“Semuanya... semuanya direnggut dari aku!!!”
Ia berteriak—bukan dengan suara, tapi dengan napasnya yang tercekat dan tubuhnya yang berguncang.
“Ras… aku tuh nggak bisa apa-apa selain nurutin mereka… selain nurutin para bajingan itu…”
“Bismillahirrahmanirrahim…”
Suara Bagas bergetar, tipis seperti hela napas terakhir dari hati yang lama tak berani bersuara. Tangannya terus menggigil, meremas kuat masing-masing lengannya, seolah berusaha mencari pegangan di antara reruntuhan batin sendiri.
“Alhamdulillahi rabbil alamin…”
Lidahnya kaku. Hatinya tercekat. Ia berhenti. Menunduk dalam-dalam, keringat dingin bercampur air mata di pipinya. Tidak ada angin, tidak ada suara… hanya detak jantung yang berlari tanpa arah.
“Pelan-pelan lafalinnya, Gas… nggak apa-apa…”
Kepalanya menggeleng perlahan, pelan, seperti menolak atau mungkin memohon.
“Ayo… sekali ini aja…” ucapnya dalam hati, lirih. Tapi tubuhnya diam, seakan takut mendekat pada harapan yang sudah lama terasa asing.
“Arrahmanirrahim…”
Kata itu lolos begitu saja, seperti serpihan luka yang tak sengaja menyayat.
Ia menahan napasnya, lalu terisak. Suaranya nyaris tidak terdengar, tapi tubuhnya mulai bergetar lebih keras. Kedua tangannya kini menutup wajah.
“Woi. Bagas, ya?”
Bagas sedang merogoh saku, hendak membuka kunci pintu kos saat suara itu menyapanya dari samping.
Ia menoleh. Seorang laki-laki seumurannya, rambut acak-acakan tapi pakaian rapi, sedang bersandar di tembok sambil menghembuskan asap dari mulutnya. Bau asap rokok langsung menyambar hidung Bagas.
“Iya,” jawab Bagas singkat.
“Gue Dipta,” katanya sambil menyelipkan rokok di antara dua jari dan mengisapnya dalam. Asap keluar dari hidung dan mulutnya pelan-pelan. “Lu anak Jakarta, kan?”
Bagas hanya mengangguk pelan. Kuncinya sudah masuk ke lubang pintu, tapi belum diputar.
“Gue juga dari Jakarta… ya, deket-deketan lah. Tangerang, sih, tepatnya.”
“Oke.” Bagas menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke pintunya.
“Lu anak kedokteran, kan?” lanjut Dipta santai, seperti nggak peduli dengan respon datar Bagas. “Gue tau lu, tadi liat pas keliling lab… tapi kita nggak sekelas.”
Bagas membuka pintu dan mendorongnya pelan. “Iya.”
“Gapapa, buat temen aja.” Dipta nyengir. “Mau jadi temen gue nggak?”
Bagas menoleh lagi. Tatapannya tenang, tapi ada sedikit tanya. “Lu selalu ngajak orang asing jadi temen kayak gini?”
Dipta tertawa pelan, mengepulkan asap ke atas. “Ya… kalau nyambung, kenapa nggak?” Matanya menatap tajam tapi santai. “Soalnya lu keliatan kayak orang yang butuh temen.”
Bagas menahan napas sejenak. Ia masuk ke dalam kosnya, tapi sebelum menutup pintu, ia berkata datar. “Gue nggak suka rokok.”
Dipta ngangguk, masih senyum. “Ya udah, nanti juga biasa. Udah biasa cowok mah begini, lu anak mami banget, kali..” Ia mengisap rokoknya lagi, lalu mengangkat tangan, seperti melambai. “Gue anaknya enak diajak ngobrol, kok.”
“Allahu akbar…”
Bagas menekuk lututnya di atas sajadah. Sujud. Tubuhnya gemetar. Napasnya tercekat. Dahinya menyentuh kain sajadah yang dingin, basah oleh air mata yang tak ia sadari jatuh begitu deras.
Ia tidak tahu lagi apa yang harus diminta.
Tidak tahu lagi pada siapa harus percaya.
Ia hanya diam di sana. Sujud yang bukan karena kuat, tapi karena tak sanggup lagi berdiri.
Orang tuanya tidak pernah berubah.
Tidak akan pernah berubah.
Dan Laras…
“Selamat ulang tahun ya, Gas. Aku… sayang sama kamu.”
“Kenapa? Lagipula, aku yakin kamu akan baik-baik saja setelah kita berpisah. Kamu tahu… kamu memiliki segalanya dan bisa melakukan apapun yang kamu mau, aku tidak ingin melarangmu lagi. Kita sudah dewasa, Bagas… mungkin 10 tahun lagi, aku sibuk dengan hewan ternak yang bau dan kotor, sedangkan kamu akan terlibat dengan manusia yang memerlukan pengobatanmu. Kita tetap bisa hidup tanpa satu sama lain, iya, kan?”
“Kita tidak punya hubungan apa pun lagi… tidak ada yang perlu dibicarakan.”
“Tapi aku udah nggak bisa percaya kamu lagi, Gas… Belajar untuk hidup tanpa aku, ya?”
“Setiap aku lihat kamu, bahkan sekarang pun… aku selalu keinget kejadian itu… aku… hiks—aku nggak sanggup…”
Laras…
Laras tidak akan kembali.
Laras tidak akan memeluknya lagi.
Laras tidak akan membiarkannya mencium bahunya lagi.
Laras tidak akan menerima kata-kata cintanya lagi.
Ia tahu itu. Laras bisa hidup tanpanya, dan Bagas tahu—ia sudah mulai melangkah, menjauh dari hidup yang pernah mereka bagi. Dan kalaupun Bagas mati sekarang, tak ada yang akan berubah.
Tidak ada.
Dunia akan tetap berputar.
Rumah itu akan tetap sunyi.
Orang tuanya akan tetap menuntut.
Laras akan tetap berjalan ke depan.
Sementara dirinya… tetap di sini.
Tertinggal. Ia tidak bisa ke mana-mana.
Semua doanya. Semua permintaannya. Semua permohonannya yang selama ini ia jaga, ia bisikkan setiap saat.
Semua itu… sia-sia.
Jadi… untuk apa lagi?
Untuk siapa?
Untuk siapa Bagas harus tetap bertahan, ketika tak satu pun alasan bisa menjawabnya?
Tanpa urutan rakaat yang jelas, tanpa hafalan yang rapi, tanpa kusyuk yang semestinya. Hanya sujud yang gemetar. Hanya tubuh yang merunduk dalam diam yang tak pernah berhasil utuh.
Di sajadah yang tipis, Bagas menggigil seperti anak kecil yang tersesat. Tangannya mengepal di sisi wajahnya dan bibirnya bergetar, menahan sesuatu yang makin sulit disimpan.
“Ya Allah…” ucapnya lirih, parau. “Kenapa jadi begini, Ya Allah…” Suaranya nyaris tak terdengar, patah di setiap suku kata. “Aku… beneran sayang sama Laras. Aku… nggak pernah sekali pun mau nyakitin Laras.”
“Kenapa… kenapa Kau tega sekali, Ya Allah… hiks… aku tahu aku salah, aku tahu aku salah… tapi bagaimana dengan dunia yang Kau beri ini? Bukankah mereka… mereka juga salah? Kenapa Kau menghukum aku sendiri… hiks… apa salahku…?”
Dengan napas yang terputus-putus dan dada yang naik turun tak beraturan, Bagas menggenggam sajadah seolah itu satu-satunya jangkar di lautan badai hidupnya. Suara sesengukannya pecah di ruang sunyi, seperti bisikan yang dirobek oleh luka yang terlalu dalam untuk disembunyikan.
“Dua belas tahun… hiks… dua belas tahun aku berusaha hidup… aku berusaha semampuku… hiks… sebisaku…” Ia menarik napas dalam, namun tangisnya pecah menjadi gumpalan hampa yang tersangkut di tenggorokan. “Aku ingin mati, tapi… Laras… kenapa kau ambil lagi Larasku? Aku… aku hiks… tidak akan bisa hidup tanpa dia… hiks…”
Tubuhnya terguncang oleh derai air mata yang tak kunjung berhenti, bibirnya bergetar berat memanggil nama satu-satunya alasan ia bertahan meski terluka parah.
Bagas terperangkap lagi dan lagi dalam lingkaran gelap tanpa ujung, berputar dalam keputusasaan yang menjeratnya tanpa ampun. Seperti langkah kaki yang ragu dan berulang kali terhenti tanpa tujuan, ia hanya bisa merasakan beban dunia yang terus menekannya, menjeratnya dalam keheningan yang tak bertepi.
Tanpa arah, tanpa tempat berlabuh, Bagas kembali berdiri di ambang kehancuran—tak tahu kapan dan bagaimana ia akan mampu bangkit kembali.
Notes:
kindly check out the spotify playlist i made for In Her Footsteps's thread on X to get the vibes. Find me on X, @kiddowanttoeat. <3
Nurul Setiani (Guest) on Chapter 1 Sun 09 Feb 2025 05:15PM UTC
Comment Actions
Kiddowanttoeat on Chapter 1 Mon 10 Feb 2025 07:20AM UTC
Comment Actions
Subot (Guest) on Chapter 1 Sun 16 Mar 2025 11:49AM UTC
Comment Actions
yeopponeen on Chapter 1 Thu 12 Jun 2025 09:50AM UTC
Comment Actions
dinoomelody (Guest) on Chapter 2 Wed 18 Jun 2025 05:11PM UTC
Comment Actions
Devita (Guest) on Chapter 3 Mon 10 Feb 2025 07:26AM UTC
Comment Actions
Kiddowanttoeat on Chapter 3 Mon 10 Feb 2025 01:02PM UTC
Comment Actions
Subot (Guest) on Chapter 3 Sun 16 Mar 2025 12:33PM UTC
Comment Actions
yeopponeen on Chapter 3 Thu 12 Jun 2025 10:11PM UTC
Comment Actions
dinoomelody (Guest) on Chapter 3 Wed 18 Jun 2025 05:34PM UTC
Comment Actions
Subot (Guest) on Chapter 5 Mon 14 Apr 2025 03:59PM UTC
Comment Actions
Subot (Guest) on Chapter 6 Mon 21 Apr 2025 04:12AM UTC
Comment Actions
dinoomelody (Guest) on Chapter 6 Wed 18 Jun 2025 06:56PM UTC
Comment Actions
Khay (Guest) on Chapter 7 Sun 25 May 2025 07:40AM UTC
Comment Actions
Szyy (Guest) on Chapter 8 Sat 07 Jun 2025 01:53PM UTC
Comment Actions