Chapter 1: Lentera Berkat
Summary:
“Seseorang harusnya mencoba bahagia dulu sebelum berbagi kebahagiaan pada yang lain.”
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Festival lentera jatuh pada malam ke 15 setelah tahun baru. Itu adalah saat dimana batas antara dunia fana dan surga menjadi lebih tipis sehingga doa dapat lebih mungkin didengar oleh para dewa. Maka dari itu, biasanya manusia akan berbondong-bondong membuat permohonan. Menuliskannya pada lentera-lentera kertas untuk diterbangkan ke langit. Berharap dewa sedang senggang dan bersedia mengabulkan setidaknya satu dari sekian banyak permohonan mereka.
Sebagai dewa yang banyak diasosiasikan dengan keberuntungan dan kekayaan, Junhui memperoleh cukup banyak permohonan. Lentera berkat menutupi gerbang depan hingga halaman belakang istananya. Membuat istana dewa perang yang semula dingin mendadak riuh dengan nyala lentera.
Di masa lalu, setiap festival lentera tiba, dia tinggal menyuruh Yan An bermain di halaman. Lalu putranya itu akan memilih beberapa lentera yang menarik perhatiannya untuk dibawa masuk. Junhui mengabulkan permohonan berdasarkan lentera-lentera pilihan itu. Seiring waktu, Yan An tumbuh dewasa. Dia tidak lagi menjadi bocah kecil yang berlarian di halaman. Meski begitu, kebiasaan memilihkan lentera untuk ayahnya masih sama. Sayang sekali, Yan An tidak lagi ada di sini. 100 tahun terakhir, Junhui terpaksa harus memilih lenteranya sendiri.
Karena dia yang memilih, seleksi lentera itu menjadi lebih lambat dari seharusnya. Setiap meraih satu, dia akan membaca permintaan yang tertulis di sekeliling lentera itu puluhan kali hanya untuk memastikan bahwa mengabulkannya tidak berakibat sesuatu yang buruk bagi yang lain. Terlalu banyak pertimbangan yang sungguh memakan waktu, tapi tidak apa-apa. Junhui tahu pasti bagaimana rasanya dirugikan oleh kehendak dewa yang katanya ‘baik’ itu. Dia tidak ingin membuat orang lain harus merasakan hal yang sama.
Dini hari, dia akhirnya hampir selesai memilih dan mencatat semuanya. Pelayan surgawi yang menemaninya sudah tampak kelelahan, beberapa kali Junhui memergoki peri surgawi itu merebahkan kepala di meja. Dia sungguh tidak berniat membuat pelayannya bekerja melebihi waktu yang diharuskan.
“A-Lian, pergilah beristirahat. Biar aku yang menyelesaikan sisanya.”
Gadis yang dipanggil Lian itu menggelengkan kepala dengan terburu-buru. Dia mencoba menegakkan tubuh untuk mengusir kantuk.
“Tinggal sedikit lagi, aku akan menemani Pangeran Wen hingga selesai,” ucapnya.
Junhui hanya menggelengkan kepalanya, tidak berniat memaksa lebih lanjut. Lian telah bersamanya selama ratusan tahun. Dia mengenal baik betapa tekun dan kerasnya gadis itu dalam bekerja. Meski begitu, Junhui tidak berniat membuatnya menderita lebih jauh. Jadi dia juga mempercepat pekerjaannya.
Tinggal 5 lentera lagi, dan mereka selesai, tapi ternyata 5 lentera terakhir ini memiliki permintaan yang terlalu sulit diselesaikan. Kelimanya memiliki bentuk, corak, dan tulisan yang sama. Tampak dibuat oleh satu orang. Sebenarnya wajar saja mengingat di kuil, sangat mungkin ada beberapa orang tidak terlalu berbakat dalam menulis dan menghias lentera sehingga harus meminta orang lain melakukannya. Namun, tentu bukan itu yang membuat mengabulkannya menjadi sulit, melainkan karena sebaris kalimat yang tertulis di atasnya.
“Semoga Pangeran Wen selalu dilimpahi kebahagiaan.”
Selama ini, Junhui telah menemui ribuan orang serakah yang berdoa untuk keberuntungan dan kekayaan tanpa batas, tapi ini pertama kalinya dia menemukan seseorang berdoa untuknya. Memohon hal baik untuk kehidupannya, dan itu bukan hanya satu atau lima. Setelah Junhui lihat lagi, ada lebih dari 50 lentera yang memuat kalimat yang sama. Sungguh doa yang baik. Sayang sekali, kebahagiaan Junhui sudah mati bersama seseorang yang dia kuburkan di tanah kosong di pinggir kota Liqian 500 tahun yang lalu.
“A-Lian, dari mana lentera yang ini?”
Lian menelisik daftar di tangannya, membolak-balik halaman demi menemukan sesuatu yang tuannya cari.
“Ah... ini dari Paviliun Yue Shi, kota Liqian. Sudah lima tahun berturut-turut mereka mengirimkan lentera berkat dengan doa yang sama. Kali ini sepertinya jumlahnya lebih sedikit dari sebelumnya.” jelasnya.
Junhui tidak pernah memperhatikan hal ini sebelumnya. Wajar saja, karena selalu ada ratusan ribu lentera setiap tahunnya. Kini karena sudah ditemukan, dia jadi penasaran orang-orang seperti apa yang berbaik hati mendoakannya. Meski doa itu terlalu besar dan sulit untuk dikabulkan, Junhui tetap ingin memberi mereka sedikit hadiah jika bertemu. Sayangnya, lentera-lentera itu dikirimkan tanpa nama, dan Lian tidak berhasil menemukan data apapun mengenai siapa pengirimnya. Jadi selama tahun itu, Junhui hanya bisa bertanya-tanya siapa yang mengirimkan kebaikan itu padanya.
Notes:
Penjelasan istilah:
- A-Lian: tambahan “A” ini tidak memiliki arti khusus, tapi biasanya merupakan tanda keakraban. Biasa dipakai pada teman seumuran atau seseorang yang lebih muda untuk membangun hubungan yang lebih akrab.
- Paviliun Yue Shi: dalam konteks ini berarti perjanjian bulan. Nama kuil biasanya tidak terlalu bergantung pada nama dewanya, tapi di sini Pangeran Wen memang banyak diasosiasikan dengan bulan, jadi ke depannya mungkin aku akan menggunakan kata “Yue” lebih banyak lagi.
Chapter 2: Lukisan Dewa
Summary:
“Dewa harus memiliki belas kasih, dan kebaikan tak terhingga dalam hatinya.”
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Ruangan itu cukup sempit, pengap dengan bau tinta dan cat dimana-mana sekalipun jendela sampingnya telah dibuka cukup lebar. Ada berbagai macam kuas dan peralatan lukis berjajar di meja. Sebagian masih bersih, sisanya lagi sudah kotor oleh cat dan tinta. Sosok yang duduk di depan kanvas kain sutra itu mencelupkan kuasnya ke larutan cinnabar, lalu memoleskannya pada lukisan setengah jadi di hadapannya. Tersenyum ketika mendapati sketsanya perlahan menjadi semakin jelas.
“Si Shaoye, para pelayan bertanya apakah kau menginginkan sesuatu untuk makan malam.”
Tanpa menoleh pada siapapun yang menyapanya dari balik pintu, dia sekali lagi menggoreskan kuas ke kanvas. Gerakannya anggun dan penuh kehati-hatian.
“Dage dan Fuqin sudah kembali, Yilun?” tanyanya, mengabaikan sejenak pertanyaan pelayan sebelumnya.
“Belum, Jenderal Xu dan Jenderal Muda mengirimkan pesan bahwa mereka baru dapat kembali besok pagi.”
Pelayan itu masuk. Melirik pada lukisan setengah jadi yang sedang dibuat tuan mudanya, kemudian menggeleng.
“Padahal Jenderal sudah mengatakan bahwa dia akan membeli lukisan dewa dari ibu kota,” ucapnya.
Tuan muda yang dipanggil Si itu tersenyum. Tangannya terus bergerak menyempurnakan gambar sambil sesekali melirik Yilun yang bersandar pada jendela di sampingnya.
Yilun ini sudah bersamanya sejak lama. Leluhurnya mengabdi secara turun-temurun dalam keluarga jenderal, sehingga hampir bisa dianggap keluarga sendiri. Si bahkan lebih akrab dengan Yilun dibandingkan ketiga gege-nya yang selalu sibuk dengan urusan luar.
“Lukisan Pangeran Wen di pasaran tidak menggambarkan dirinya secara lengkap.”
Yilun tertawa. Dia sudah mendengar pernyataan ini dari tahun ke tahun, namun tetap tidak bisa memahami pola pikir tuan mudanya. Yang dimaksud tidak lengkap adalah karena para pelukis itu menghilangkan lukisan dewa kenakalan dari kanvas.
Dewa kenakalan Yan An adalah putra Pangeran Wen. Selama ratusan tahun, mereka disembah bersama dalam satu kuil yang sama. Bertahun-tahun, Yan An kecil selalu muncul dalam lukisan dan patung Pangeran Wen. Sesekali digambarkan sebagai anak laki-laki pemberani yang berdiri gagah di samping sang dewa perang, tapi tidak jarang, dia juga digambarkan sebagai anak nakal yang berlindung di balik jubah besar ayahnya. Namun, itu sudah lama sekali. 100 tahun lalu si dewa kenakalan melakukan dosa besar yang membuat surga murka. Status kedewaannya dicabut, dan dia dibuang dari surga.
Cerita ini sangat terkenal di kalangan masyarakat, apalagi keluarga militer yang memang menyembah dewa perang seperti keluarga Xu. Pada masa ini, tidak ada yang masih mengkaitkan si mantan dewa kenakalan dengan Pangeran Wen. Entah mengapa tuan mudanya begitu berkeras. Yilun kadang khawatir kelancangannya akan benar-benar membuat dewa marah. Tidak ada manusia yang bisa memperkirakan bentuk kemarahan seorang dewa. Si sejak lahir sudah tidak begitu beruntung, entah bagaimana jika dewa memutuskan untuk tidak memberkatinya sama sekali.
“Shaoye harus berhenti menggambar dewa kenakalan. Dia bukan dewa lagi, tidak seharusnya ada dalam lukisan dewa,” sarannya, untuk kesekian kalinya.
“Yan An ini putranya. Darah lebih kental daripada air, dia pasti menyukainya.”
Yilun sudah menduga jawaban itu, tapi kali ini dia memutuskan untuk tidak menyerah dengan mudah.
“Dia dewa jatuh, mana mungkin Pangeran Wen masih menganggapnya anak?”
“Sudah kubilang darah lebih kental daripada air. Jika dia membuang anaknya begitu saja setelah jatuh, maka dia benar-benar tidak layak sebagai dewa.”
Baiklah, sudah dikatakan seperti itu. Yilun tidak akan menambahkan sesuatu yang tidak perlu. Si bukan anak-anak lagi, cukup umur untuk membedakan hitam dan putih. Daripada memulai keributan lainnya, dia mengambil selimut kecil dari sudut ruangan. Membawanya untuk menyelimuti punggung Si. Fisik tuan mudanya tidak begitu baik sejak kecil, jadi Yilun selalu memiliki kekhawatiran tentang kesehatannya.
“Aduh, nanti selimutnya terkena cat,” keluh Si.
“Bahkan jika itu kotor, bukan Shaoye yang akan diminta mencucinya.”
Yilun beranjak menutup jendela, menyisakan sedikit celah kecil untuk cahaya masuk. Hari sudah mulai gelap, angin malam sungguh tidak baik.
“Lanjutkan saja itu besok, tahun baru masih beberapa hari lagi,” ucapnya.
Meski terlihat enggan, Si benar-benar membereskan peralatan lukisnya. Yilun membantu dengan mencuci puluhan kuas lukis pria itu, lalu menata semuanya dalam gelas kecil di samping tumpukan pigmen.
“Terimakasih.”
Yilun mengangguk, membiarkan tuan mudanya berjalan terlebih dahulu sementara dia mengunci pintu ruang lukis.
“Yilun, aku tidak ingin apapun untuk makan malam. Minta saja pelayan mengantarkan beberapa buah-buahan. Aku akan memakannya jika lapar.”
“Baik, Shaoye.”
Dengan begitu, Yilun membiarkan tuan mudanya menghilang ke balik kamarnya.
Notes:
Penjelasan istilah:
- Shaoye: tuan muda, digunakan oleh para pekerja untuk memanggil anak laki-laki majikan mereka dalam lingkup rumah tangga petinggi kerajaan dan bangsawan. Si (四) Shaoye berarti Tuan Muda Keempat, dipanggil berdasarkan urutan lahir.
- Dage: kakak pertama
- Fuqin: ayah, panggilan ini cukup umum di kalangan keluarga petinggi dan bangsawan.Funfact:
- Sebenarnya dalam seni lukis sendiri, sejak jaman dinasti Tang sudah ditemukan kertas sebagai media lukis. Cuma karena universe ini tidak dikaitkan dengan dinasti manapun, aku memilih menggunakan sutra untuk lebih menonjolkan ciri khas kebangsawanannya.
- Visual Yilun adalah Alen Fang | Fang Yilun (Chinese actor).
Chapter 3: Yang Ini Sedikit tentang Si
Summary:
“Beberapa hal tidak langsung terlihat indah dalam sekali pandang, tapi bukan berarti itu buruk.”
Notes:
Penjelasan istilah:
- Ba Zi: delapan karakter dalam astrologi Tiongkok yang dapat digunakan untuk menganalisis nasib seseorang berdasarkan tanggal dan waktu lahirnya.
- Guqin: alat musik tradisional Tiongkok yang memiliki 7 senar, bentuknya mirip kecapi. Ini sering muncul di drama berlatar tradisional.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Sebagai putra seorang jenderal besar, Si kadang-kadang merasa malu dengan dirinya sendiri. Kakak pertamanya telah menjadi jenderal muda yang sukses, mengikuti jejak sang ayah. Kakak keduanya tidak kalah baik, selain mendapatkan posisi bagus di kekaisaran, dia juga berhasil meminang salah satu putri kaisar. Kakak ketiganya, yang hanya terpaut 2 tahun darinya sedang mencoba peruntungan bisnis. Walaupun belum terlalu besar, Si yakin dalam 10 tahun ke depan dia akan bisa menyaingi kekayaan keluarga.
Si sendiri tidak punya sesuatu untuk dibanggakan. Bisa dibilang dia bayangan hitam dalam cerahnya kehidupan keluarga Xu. Dia lahir pada malam ketika musim dingin mencapai puncak terdinginnya. Ibunya yang merupakan wanita paling cantik di Liqian meninggal selama proses itu. Setelahnya, kondisi keuangan keluarganya sempat memburuk, bersamaan dengan itu, Si yang masih bayi didera sakit kronis selama hampir 2 tahun. Ahli astrologi yang dipanggil Jenderal Xu mengatakan bahwa putra bungsunya itu memang lahir dengan bintang keberuntungan yang kurang baik, yang mempengaruhi keseimbangan Ba Zi hingga membuatnya terus memiliki nasib buruk. Dia telah melakukan berbagai cara untuk menghapus nasib buruk itu, mulai dari membeli jimat, melakukan ritual keberuntungan, hingga mengganti nama. Si telah berganti nama sebanyak 7 kali sejak dia dilahirkan, namun semua nama yang diberikan terlalu berat untuknya. Itu sebabnya setelah banyak pertimbangan, Jenderal Xu memutuskan untuk tidak memberikan nama pada putra keempatnya.
Setiap hari dia dipanggil Si, Si’er, Si Shaoye, tanpa nama pasti. Awalnya Jenderal Xu khawatir putranya akan terganggu dengan panggilan seperti itu, tapi Si ini memiliki karakter yang lebih dewasa dari usianya. Dia hanya dijelaskan sekali, dan langsung mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Seolah-olah pemahaman memang sudah tertanam dalam kepalanya jauh sebelum Jenderal Xu menjelaskan.
Karena kesehatannya yang buruk, Si tidak bisa berlatih ilmu bela diri seperti selayaknya anak jenderal besar. Hari-harinya dihabiskan dengan membaca, bermain guqin, atau melukis. Kegiatan ringan yang membuat fisiknya terbentuk lebih halus dibandingkan kebanyakan anak laki-laki seusianya. Dulu, beberapa pelayan bahkan bercanda bahwa mereka seperti tengah membesarkan seorang nona muda. Ayahnya yang marah mendengar candaan itu akhirnya memecat sejumlah pelayan, selanjutnya tidak ada yang berani berbicara buruk tentang Si lagi.
Sejujurnya, Si kadang merasa bahwa akan lebih baik jika dia benar-benar terlahir sebagai nona muda, alih-alih tuan muda yang tidak bisa apa-apa selain bersembunyi di balik nama besar ayahnya. Kakak-kakaknya adalah orang hebat, dia tidak seharusnya menjadi noda bagi kesempurnaan mereka. Sembari menyimpan lukisannya ke dalam kotak kayu, Si terus memikirkan itu.
Hari ini adalah hari ke 15 dalam penanggalan lunar. Ayah dan kakak pertamanya sudah pergi sejak kemarin untuk menjaga keamanan kota kekaisaran selama festival lentera berlangsung. Dia sendiri akan pergi ke kuil keluarganya malam ini untuk menerbangkan beberapa lentera berkat, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tangannya dengan cekatan menulis kalimat-kalimat permohonan pada permukaan lampion. Tahun ini hanya ada 33 lentera berkat. Sebelumnya, Si telah sakit selama 10 hari hingga dia tidak bisa mempersiapkan semuanya sebaik tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu dia hanya berhasil membuat sekitar 55 lentera, tahun ini jumlah itu bahkan berkurang lagi hampir setengahnya, semoga dewa tidak kecewa.
“Shaoye harusnya menulis harapan untuk diri sendiri, mengapa lampion sebanyak ini malah digunakan untuk mendoakan dewa,” ucap Yilun, sambil membereskan lampion yang telah selesai diberi permohonan.
“Jika dewa bahagia, dia akan lebih murah hati. Lebih banyak berkat yang diberikan.”
“Tetap saja, jauh lebih mudah jika Shaoye langsung memohon berkat daripada seperti ini.”
Si menggeleng. Dia meletakan lampion terakhir yang catnya masih setengah kering itu ke tangan Yilun, lalu merebahkan diri di ranjang. Matanya menerawang, mengabsen ukiran bulan dan bintang yang menghiasi langit-langit kamarnya.
“Akan menyusahkan jika Pangeran Wen harus mencari seorang pengikut tanpa nama.” Tangannya terangkat, seolah-olah hendak menggapai bintang-bintang itu.
Melihat itu, Yilun menghela napas panjang, memahami perasaan tuannya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa di usianya yang sudah hampir 20 tahun ini, Jenderal Xu belum juga memberikan putra bungsunya nama. Apakah kutukan nasib buruknya memang seburuk itu hingga dia harus dibiarkan hidup seperti ini? Tanpa nama dan identitas jelas, seolah tidak pernah dilahirkan.
“Kenapa yang satu ini masih kosong?”
Dia mengangkat lampion ke 34 yang masih bersih, menunjukkannya pada Si. Pria itu hanya melirik sebentar, sebelum kembali menatap langit-langit kamarnya.
“Yang itu untukmu, Yilun. Kau juga harus membuat permohonan.”
Notes:
Funfact:
- Jadi tuan muda kita ini emang beneran dipanggil anak keempat (Si). Dia dipanggil dengan urutan angka lahir karena tidak diberi nama.
- 四 (sì) yang berarti “empat” memiliki pengucapan yang hampir mirip dengan 死 (sǐ) yang berarti “mati”. Sebenarnya ini kurang nyaman didengar, tapi karena anak-anak dengan nasib buruk memang seringkali diberi julukan buruk untuk menghindari mata jahat, jadi tidak apa-apa.
Chapter 4: Festival Lentera Berikutnya
Summary:
“Hati merekam jejak dimana bahkan jika seseorang menjadi lupa, perasaannya menyimpan semua sisa memori jauh di dalamnya.”
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Kuil itu tampak sepi. Wajar saja, tidak jauh dari sini ada kuil dewa yang lebih besar. Pada festival tahunan seperti saat ini, orang-orang tentu cenderung lebih suka berkumpul di sana. Apalagi, Paviliun Yue Shi merupakan kuil pribadi milik keluarga jenderal perang kekaisaran. Sekalipun itu dibuka untuk umum, orang luar tentu saja menjadi lebih sungkan.
Saat Junhui masuk, suasana di dalam benar-benar kosong. Meski begitu, ada jejak dupa dan persembahan di meja. Tanda seseorang telah datang sebelumnya untuk berdoa. Dia mendekati lukisan dewa yang tergantung di atas meja. Itu lukisan dirinya sendiri. Junhui tidak tahu bagaimana seseorang itu menggambarnya, tapi lukisan ini benar-benar mirip dirinya. Tidak ada manusia yang pernah melihat wujud dewa secara nyata sebelumnya, apalagi jika dewa itu telah hidup ratusan tahun seperti Junhui. Lukisan ini hanya meleset sedikit dari penampilannya sekarang. Di samping kirinya, terdapat anak laki-laki yang memegang lentera bulan. Itu putranya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir dia melihat Yan An kecil dalam lukisan dewa, dan dia sedikit banyak merasa senang. Baguslah, jika masih ada satu dua orang yang tidak mengganggap Yan An sebagai aib surga.
Jejak dupa di depan patung dewa itu masih hangat, Junhui hanya berharap orang yang ingin dia lihat belum sepenuhnya pergi. Ini pertama kalinya dia begitu tertarik pada seseorang yang mengirim doa padanya. Dia bahkan meninggalkan perjamuan surga untuk secara khusus turun ke bumi. Sudah sejauh itu, dia tentu tidak ingin kembali dengan tangan kosong.
Suara percakapan yang terdengar samar-samar dari halaman belakang memberinya harapan. Junhui berjalan ke sana. Gerakannya ringan dan hati-hati, tidak ingin mengusik siapapun yang ada di belakang sana.
Dia berhenti di belakang patung naga yang ada di sana, mengintip dari celah kecil di antara belitan ekor naga. Dari jarak ini, Junhui bisa dengan jelas melihat 2 orang pemuda yang sedang menerbangkan lentera di halaman. Yang satu tampaknya lebih muda dari yang lain, pakaiannya berpotongan sederhana, namun jelas terbuat dari bahan yang bagus. Sayangnya, sosok itu berdiri membelakanginya, jadi Junhui tidak bisa melihat wajahnya. Sementara yang lebih tua memiliki penampilan rapi khas pelayan keluarga terhormat. Mereka pastilah sepasang tuan dan pelayan dari rumah bangsawan tertentu.
“Yilun, biarkan aku melihatnya!”
Tuan muda itu merengek pada pelayannya. Junhui entah mengapa merasa familiar dengan suaranya, tapi bagaimanapun dipikirkan, dia tetap tidak mengingat kapan dan dimana dia pernah mendengar suara itu.
“Shaoye tidak mengerti apa yang dimaksud rahasia ya?”
Si pelayan muda yang dipanggil Yilun itu berlari menghindari tuannya, sambil kedua tangannya berusaha keras menyalakan lentera. Tampaknya dia benar-benar ingin menyembunyikan isi harapannya dari yang lebih muda, entah untuk alasan apa. Memang ada mitos bahwa harapan yang diketahui banyak orang tidak akan dilirik dewa, namun mereka sudah terlalu tua untuk mempercayai mitos kecil semacam itu.
Lentera Yilun akhirnya berhasil diterbangkan. Tuan mudanya yang tidak beruntung berlutut di salju, jelas-jelas kesal karena gagal mengintip harapan bawahannya. Yilun tertawa melihat reaksinya.
“Pelit sekali, padahal aku selalu berbagi semuanya denganmu.”
“Aku akan berbagi pada Shaoye sesuatu yang lain, tapi tidak yang satu ini.”
Yilun mengulurkan tangan, membantu tuannya kembali berdiri. Setelah itu, dia merapikan selimut kecil dipundak yang lebih muda. Setiap gerakannya terhitung sangat akrab untuk ukuran seorang pelayan pada tuannya. Mungkin mereka tuan dan pelayan yang tumbuh bersama sejak kecil.
Tiba-tiba saja, angin musim dingin bertiup kencang. Menerbangkan dedaunan, juga selimut kecil si tuan muda hingga jatuh di atas salju. Tuan muda itu berbalik, dan Junhui akhirnya bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sesuai dugaannya, pria itu lebih muda dari Yilun. Kulitnya pucat, dan matanya tampak redup seperti seseorang yang telah melewati kehidupan panjang.
Lagi-lagi, Junhui kembali merasa familiar dengan wajah itu. Dia mencoba menggali jauh dalam ingatannya, namun tetap tidak ada yang muncul. Seolah-olah sesuatu tentang sosok ini telah dihapus dengan sengaja dalam ingatannya, dan hanya tinggal meninggalkan jejak samar.
Karena terlalu fokus dengan itu, dia tanpa sengaja menginjak ranting kering di belakangnya. Menimbulkan suara berderak yang langsung menarik perhatian dua pria yang lain. Yilun adalah yang pertama bergerak, pria itu cukup tangkas sebagai pelayan pribadi bangsawan.
“Ada orang lain.”
Pria itu terlihat hampir melompat untuk menangkap Junhui sebelum gerakannya dihentikan oleh yang lain. Si tuan muda, dengan keanggunan khas bangsawan memegang bahu pelayannya.
“Kuil ini dibuka untuk umum, wajar jika ada orang lain. Jangan malah menakuti mereka.”
Yilun tampak akan menyangkal, namun tatapan yang lain menyiratkan sesuatu yang tak terbantahkan. Jadi dia pada akhirnya menelan ucapannya kembali, dan segera berbalik merapikan barang-barang mereka sebelumnya. Saat itulah pandangan Junhui tanpa sengaja bertemu dengan manik redup si tuan muda. Entah pria itu benar-benar menatapnya atau tidak mengingat Junhui bersembunyi ditempat yang nyaris tidak terlihat, tapi dalam tatapan itu, Junhui merasa seperti sesuatu yang tajam telah menikam dadanya.
Notes:
Funfact:
Festival lentera di Tiongkok biasanya jatuh di sekitar bulan Februari-Maret, beberapa tempat sudah musim semi di waktu ini, tapi karena Liqian berada di wilayah pegunungan yang cenderung sangat dingin, kadang-kadang memang masih turun salju tipis.
Chapter 5: Tugas Dewa
Summary:
“Terlupakan bukan berarti telah kehilangan arti, namun bisa jadi sesuatu itu terlalu berarti, hingga mengingatnya memberikan terlalu banyak rasa sakit.”
Notes:
Penjelasan istilah:
- Shangdi: Panggilan untuk kaisar surga.
- Luo Dong Bin: Dewa keberuntungan Ba Xian, memiliki beberapa nama, tapi cukup sering dipanggil Shunyang.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Selama beberapa hari terakhir, Junhui tidak bisa untuk tidak memikirkan sosok itu. Setiap jeda pekerjaan dia gunakan untuk mencoba menggali memori apapun mengenai pria itu di kepalanya, namun selain perasaan akrab dan perih di dadanya, tidak ada hal lain yang bisa ditemukan.
Memang benar bahwa seiring waktu, otak seseorang akan memilah segala informasi yang diperoleh untuk diingat maupun dilupakan. Junhui telah hidup selama lebih dari 500 tahun, wajar saja jika ada beberapa hal kecil yang terlupakan. Hanya saja semakin dipikirkan, dia merasa yang satu ini tidak seharusnya terlupa. Seolah-olah otaknya dipaksa melupakan ini entah untuk alasan apa.
Dia memijat keningnya. Suara gaduh percakapan di aula surgawi semakin membuatnya sakit kepala. Salahnya telah begitu saja mengiyakan ajakan Shunyang untuk datang lebih awal. Dewa tua yang pernah menjadi gurunya itu hari ini menjadi begitu bersemangat entah untuk alasan apa. Pagi sekali, dia telah duduk di serambi depan Istana Yuexia. Membuat Junhui terpaksa harus bersiap lebih awal dan menemuinya. Itu juga alasan mengapa dia bisa berakhir di aula surgawi seawal ini. Junhui biasanya memilih pergi di waktu-waktu akhir guna menghindari mendengar keributan yang tidak perlu. Sekarang sudah seperti ini, dia tidak memiliki celah untuk menghindar.
“Jun’er, tersenyumlah sedikit. Dewa perang yang muda dan tampan, kau harus punya wibawa semacam itu.”
Shunyang berbisik di sampingnya. Sayang sekali, Junhui sedang tidak berkeinginan meladeni omong kosong gurunya itu. Dia hanya melirik Shunyang sekilas sebelum berbicara.
“Bisa melayani surga dengan baik sudah cukup, tidak perlu wibawa konyol semacam itu.”
Shunyang dengan cepat memahami bahwa dewa muda di sampingnya sedang dalam suasana hati yang tidak baik, jadi dia segera menghentikan obrolan sebelum Junhui muak dan memutuskan pergi sebelum rapat pembagian tugas dewa diumumkan.
Untungnya, Shangdi datang beberapa saat kemudian. Membuat riuh di aula surgawi seketika menjadi hening. Para dewa dan dewi segera berkumpul sesuai pangkat surgawi dan jasanya. Menunggu Shangdi mengumumkan pembagian tugas dewa. Satu demi satu, mereka diberikan gulungan yang berisikan tugas-tugas utama selama setahun ke depan.
Junhui hanya membaca sekilas miliknya, sebelum menyimpan benda itu di balik kerah baju. Sekali lagi, aula surgawi kembali riuh. Diskusi dan protes bernada rendah terdengar dimana-mana. Ini terjadi setiap tahun. Sekalipun tugas dewa hampir tidak jauh berbeda tiap tahunnya, tetap saja ada satu dua orang yang merasa keberatan. Meski begitu, tidak ada satupun di antara mereka yang berani mengajukan protes langsung pada Shangdi. Semuanya hanya berani berbisik di belakang.
“Pangeran Wen, Shangdi ini berbicara secara pribadi.”
Seorang pelayan surgawi membungkuk di hadapan Junhui. Dia jujur saja tidak tahu darimana dan kapan pelayan itu datang. Riuh di sekitarnya benar-benar menutupi suara langkah kaki yang lain. Junhui mengangguk sebagai respon, lalu mengikuti kemana pelayan itu membimbingnya.
Di ruangan lain, Shangdi telah menunggunya. Di sampingnya ada Shunyang, yang masih saja bersemangat. Entah apa yang telah mereka bicarakan sebelum Junhui datang hingga gurunya itu tampak begitu senang.
“Pangeran Wen ada di sini.”
Pelayan surgawi itu mengumumkan, menarik perhatian dua pria yang tengah berbicang akrab di depan. Shangdi langsung tersenyum begitu melihatnya, sementara Shunyang pamit meninggalkan ruangan. Sengaja memberi mereka lebih banyak privasi.
“Duduklah di sini.”
Shangdi menepuk kursi di sampingnya, tempat Shunyang duduk sebelumnya. Junhui sebenarnya agak ragu duduk di sana. Dia tidak terlalu akrab dengan Shangdi. Berada sedekat itu dengannya benar-benar terasa canggung, tapi menolak permintaan seorang kaisar surga adalah tindakan yang sangat tidak sopan bagi dewa. Jadi dia dengan hati-hati duduk di sana, menunggu Shangdi membuka pembicaraan.
“Luo Dong Bin bilang kau akrab dengan wilayah Liqian.”
Junhui mengangguk, “Benar, Kuil Shǎnyào berada tidak jauh dari kota itu.”
“Kekasihmu juga dimakamkan di Liqian bukan? kau mengunjunginya setiap tahun.”
Junhui tanpa sadar mengepalkan tangan mendengar itu. Dia memang sudah memaafkan semua yang terjadi dimasa lalu, tapi mendengar Shangdi menyinggung mengenai kekasihnya tanpa sedikitpun rasa bersalah, amarahnya langsung naik lagi hingga kerongkongan. Dia mencoba menetralkan perasaan itu dengan segera.
Untung saja, Shangdi juga cukup peka bahwa dia baru saja tanpa sengaja menyinggung dewa muda di sebelahnya. Dia mengusap punggung Junhui dengan lembut sambil meminta maaf. Permintaan maaf itu begitu tulus hingga Junhui tidak memiliki pilihan selain mengiyakannya.
“Apa yang sebenarnya Shangdi ingin katakan?”
Pria berpakaian keemasan itu tersenyum, mengeluarkan selembar kertas dari kerah bajunya. Memberikannya pada Junhui. Itu peta lokasi yang tidak asing bagi Junhui, peta wilayah Liqian, yang telah ditandai dengan jejak kemerahan cinnabar di beberapa titiknya.
“Belakangan para dewa senjata telah mendeteksi pergerakan energi senjata surgawi yang aneh di sekitar Liqian, namun karena daerah itu penuh dengan pegunungan dan hutan, sulit mengidentifikasi lokasi pastinya. Jadi aku ingin meminta bantuan Pangeran Wen, yang mengenal Liqian sebaik telapak tangannya sendiri untuk mencari tahu. Senjata ini terindentifikasi sangat kuat, jadi beberapa dewa khawatir jika ini tidak segera ditangani, senjata itu akan jatuh ke tangan manusia dan menimbulkan banyak kerusakan.”
Junhui mengerutkan kening, memahami penjelasan lawan bicaranya, “Senjata macam apa itu?”
“Kami jujur saja belum bisa mengindentifikasi apapun selain energinya, tapi senjata itu berelemen api dan kayu.”
Junhui mengangguk, memahami dengan jelas bobot tugasnya. Hanya menemukan senjata surgawi, namun Shangdi langsung membebankan ini pada dewa perang. Junhui yakin masalah yang ada tidak sesederhana yang dijelaskan. Shangdi hanya memperlihatkan permukaan saja, dan membiarkan Junhui menebak sendiri kedalaman dan isinya.
“Aku akan pergi.”
“Bagus, aku akan mengirim salah satu dewa senjata untuk membantumu. Tidak ada penolakan, kau harus membiasakan diri bekerja dengan seseorang selain putramu sendiri.”
Tidak ada pilihan selain mengiyakan kalimat terakhir Shangdi. Lagipula niatnya benar, Junhui tidak bisa terus-menerus membangun jarak dengan dewa-dewa yang lain, dia harus berbaur.
Notes:
Funfact:
Setiap kediaman dewa memiliki nama. Kediaman dewa perang kita yang ini bernama Istana Yuexia, artinya istana di bawah sinar bulan.
Chapter 6: Takdir yang Ditakdirkan?
Summary:
“Tidak peduli berapa kali kehidupan berlalu, yang ditakdirkan bertemu akan tetap bertemu.”
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Liqian dengan keindahan malam harinya adalah sesuatu yang sulit dilewatkan. Sayangnya, Si jarang memiliki kesempatan untuk melihat keindahan itu. Ketika dage dan ayahnya di rumah, keluar di malam hari jarang diperbolehkan. Jadi dia benar-benar harus mencuri waktu disela-sela tugas luar kota kedua jenderal itu.
Minggu ini giliran dage-nya untuk berjaga di perbatasan, sementara ayahnya telah pergi lebih dahulu untuk melatih pasukan khusus kekaisaran di ibu kota. Si memanfaatkan kesempatan itu dengan sekali lagi melompati gerbang kediamannya, menyelinap dari pengawasan pengawal suruhan ayahnya yang berjaga di gerbang depan.
Tentu saja dia tidak sendiri, ada Yilun yang mengikuti di belakangnya. Pernah sekali waktu Si sengaja tidak mengajaknya, dan Yilun langsung mengadukannya pada Jenderal Muda Xu. Membuat Si dikurung di kamarnya selama sebulan karena itu, jadi setelahnya dia selalu memastikan pelayan pribadinya itu diajak.
Malam ini tidak ada perayaan khusus, tapi kota budaya Liqian tetap saja ramai dengan berbagai pertunjukan seni jalanan di tiap sudut kota. Si sangat menyukai suasana kota ini. Itu sebabnya dia selalu menolak tawaran ayahnya untuk pindah ke ibu kota kekaisaran. Kota kekaisaran memang lebih hangat, dan tentu saja tidak kalah dalam penyajian pertunjukan seni. Dia mungkin diijinkan berkeliaran di malam hari jika di sana, namun tetap saja tidak ada yang mengalahkan seni jalanan Liqian. Barangkali karena dia memang terlahir di sini, ibunya juga terlahir di sini, dan semua kenangan hidupnya yang indah memiliki jejak kota ini.
“Di sana!”
Yilun menunjuk sebuah toko yang baru buka. Catnya yang semerah cinnabar tampak mencolok di tengah bangunan-bangunan lain yang kebanyakan bernuansa kayu. Si mengikuti langkah Yilun ke sana. Itu adalah toko peralatan seni yang baru buka beberapa hari lalu, Yilun bilang mereka menjual barang-barang kualitas tinggi dari kota kekaisaran. Kebetulan sekali Si baru saja menghabiskan beberapa pigmen warna untuk lukisannya, itu sebabnya mereka memutuskan untuk datang.
Begitu Si menginjakkan kaki di dalam, aroma samar serat bambu dan dupa cendana langsung memenuhi penciumannya. Tangannya meraba permukaan tiap-tiap kertas xuan yang dijual di sana, membandingkan satu demi satu.
“Bagus sekali bukan?” tanya Yilun.
Dia hanya mengangguk sebagai balasan, masih sibuk memilah kertas dan kuas cat. Untungnya, mereka tidak datang di jam ramai, jadi Si bisa memilih semua bahan bagus yang dijual di sana dengan lebih santai.
Dia baru saja berbalik untuk memperlihatkan salah satu pigmen yang menarik perhatiannya pada Yilun saat tangannya tanpa sengaja bertabrakan dengan tubuh seseorang, menyebabkan bubuk pigmen berwarna biru keunguan itu terhambur percuma di lantai.
“Maaf, Gongzi.”
Dia buru-buru membungkuk tanpa repot-repot melihat wajah orang yang dia tabrak. Orang ini berpakaian putih bersih layaknya gumpalan awan, dan Si baru saja mengotori awan itu dengan pigmen warna yang mencolok. Bahkan jika orang ini memarahinya dan meminta ganti rugi sepasang pakaian berbahan sutra, dia akan menerimanya dengan senang hati.
Pria yang dia tabrak ikut membungkuk, mengambil kotak pigmen yang tergeletak di lantai, lalu menyerahkannya padanya.
“Tidak apa-apa.”
Dia tidak lekas pergi setelahnya, jadi Si ikut menunggu beberapa saat sambil mengira-ngira kapan kiranya dia akan dimarahi. Namun, karena tidak kunjung terjadi apa-apa, dia akhirnya mengangkat wajah. Menatap langsung pada sosok di depannya. Pria itu jelas-jelas masih muda, tubuhnya besar dan tinggi layaknya seorang prajurit, Sementara wajahnya halus dengan beberapa fitur maskulin yang membuatnya terlihat sangat menarik. Pria ini pasti digilai banyak gadis.
“Jika Gongzi tidak keberatan, ijinkan pelayanku membeli sepasang pakaian baru dari toko yang di depan.”
Pria itu terkekeh sambil menggelengkan kepala. Dia mengibaskan lengannya satu kali ke lantai, dan semua noda pigmen itu langsung menghilang, seperti tersapu angin. Si menatap pemandangan itu tanpa berkedip, sebelum kembali ke wajah lawan bicaranya. Dia bisa menggunakan sihir.
“Tidak perlu, sedikit kotor tidak masalah, tapi jika kau merasa sangat ingin bertanggungjawab, cukup beri tahu saja namamu,” ucap pria itu.
Si tidak mau berpikir berlebihan, tapi dia benar-benar merasa pria itu sedang menggodanya. Dia bukanlah seseorang yang konservatif terkait ketertarikan seksual, namun bisa-bisanya orang ini merayunya di toko seni. Tempat yang ramai dengan lalu-lalang manusia. Dia tidak takut diolok-olok karena menggoda laki-laki?
Meski begitu, karena sedikit rasa bersalah yang bersarang di dadanya, Si tetap memutuskan untuk menjawab.
“Keluargaku memanggilku Si, jadi gongzi juga bisa memanggilku begitu.”
“Si seperti kematian?”
Pria itu mengerutkan kening, reaksi yang sudah Si duga dari awal. Ini bukan pertama kalinya seseorang bereaksi begitu saat tahu bagaimana dia dipanggil. Dia sudah terbiasa menyikapinya dengan senyuman.
“Bukan, itu empat, aku putra ke empat dalam keluarga.”
Pria itu mengangguk, tampak sedikit bersalah atas tuduhannya di awal. Si buru-buru tersenyum untuk menunjukkan bahwa dia tidak masalah dengan itu. orang-orang sering mempertanyakan hal yang sama, dia sudah sangat terbiasa.
Pria itu tiba-tiba mengulurkan tangan, sedikit menunduk karena Si beberapa centi lebih pendek darinya. Saat itulah mata Si tanpa sengaja menangkap kilau keperakan di leher pria itu. Sebuah kalung perak, dengan permata hijau kekuningan seperti mata kucing.
“Kalau begitu kau bisa memanggilku Yan. Senang bertemu denganmu.”
Notes:
Penjelasan istilah:
- Kertas xuan: kertas dengan permukaan halus yang biasanya dipakai untuk kaligrafi dan seni lukis Tiongkok, terbuat dari serat bambu atau kayu ringan murbei.
- Gongzi: Tuan muda. Berbeda dengan shaoye yang penggunaannya lebih personal dalam lingkup rumah tangga, gongzi merupakan panggilan yang lebih umum.
Anyways, masih inget nggak kalungnya dari mana?
Chapter 7: Benangnya Mulai Terjalin
Summary:
“Takdir patah sebelumnya, akankah terjalin baik di kehidupan ini?”
Chapter Text
Karena pria bernama Yan itu menolak dibelikan pakaian lain, Si mencoba menebus kesalahan dengan mengajaknya makan. Bukan hidangan mewah, hanya seporsi hot pot yang dijual tidak jauh dari toko seni yang sebelumnya mereka kunjungi. Yilun tadinya agak bingung saat menemukan Si membawa orang lain bersamanya, namun dengan penjelasan singkat, pelayan muda itu segera mengerti. Dia bahkan sepakat untuk kembali lebih dahulu untuk memulangkan berbagai peralatan lukis baru yang Si beli, lalu kembali menjemput tuannya yang masih ingin berbicang lebih dengan ‘teman baru’.
Berbeda dengan penampilan luarnya yang agung seperti seorang kultivator suci, Yan ternyata memiliki banyak pengetahuan mengenai seni rupa dan musik. Dia sesekali bercerita mengenai lukisan-lukisan indah dan lagu-lagu yang dia dengar dari berbagai sudut Dataran Tengah. Si tentu saja mendengarkan semua itu dengan senang hati. Dia selalu ingin melihat dunia luar lebih jauh, jadi dia senang dapat berkeliling meskipun hanya sebatas melalui cerita.
“Kau sepertinya banyak mengelana, orangtuamu tidak khawatir?”
Si dapat menangkap sedikit perubahan dalam raut wajah Yan yang semula begitu cerah, membuatnya seketika didera rasa bersalah. Anak ini mungkin yatim-piatu, harusnya Si berhati-hati dengan pertanyaannya, tapi Yan tampak begitu terdidik, seperti seseorang yang hidup di bawah aturan rumah bangsawan. Jadi Si mengira dia masih memiliki orangtua.
“Ah... ayahku terlalu sibuk untuk peduli apa yang tengah kulakukan,” balasnya kemudian. Si mengangguk, meletakkan sepotong daging ke mangkuk pria di hadapannya.
“Seberapa sibuknya dia, pasti ada sesekali dia mengkhawatirkanmu,” ucap Si. Yan tersenyum mendengarnya, membuat Si salah mengira bahwa dia telah mengucapkan sesuatu yang kelewat batas. “Aku hanya mengatakan apa yang terlintas di kepalaku, tidak bermaksud mencampuri urusan keluargamu, Semoga Gongzi tidak tersinggung.” Dia buru-buru menambahkan.
Yan menanggapinya dengan tawa, seolah-olah Si baru saja melucu atau semacamnya. Dia menopang dagu, sebelum mengedipkan mata pada pria di depannya, benar-benar berniat untuk menggoda.
“Aku tidak keberatan kau mencampuri keluargaku.”
“Kau memang biasa merayu pria seperti ini ya?”
Si mencoba mengimbangi ucapan Yan dengan tawa. Dia yakin semua rayuan itu tidak serius, mungkin pemuda itu memang terlahir bermulut manis atau semacamnya.
“Tidak semua pria, aku ini pemilih. Hanya yang cantik.”
“Baiklah... baiklah... terserah apa katamu.”
Si menaruh sepotong daging lagi, yang langsung diterima Yan dengan senang hati.
“Kau seperti ibuku, tahu?” ucapnya di sela-sela kunyahan.
Si memiringkan kepala, kurang begitu memahami maksud lawan bicaranya. Seperti ibu? Apa dia terlihat keibuan? Tapi Yan tampak tidak ingin menjelaskan itu lebih lanjut, dia hanya tersenyum menatap Si sambil memakan makanannya. “Tapi ibuku sudah lama meninggal,” lanjutnya.
“Ah... aku turut berduka cita.”
“Tidak masalah, itu sudah lama terjadi. Kau bilang kau pelukis kan?”
“Aku hanya melukis sesekali, tidak bisa dibilang pelukis.” Si menggeleng.
“Tidak masalah, tanganmu bagus jadi lukisanmu pasti indah. Lain kali tolong lukiskan ibuku. Ayahku akan senang jika memiliki satu potretnya untuk disimpan di rumah.”
“Baiklah, aku akan senang saat lain kali itu datang.”
Junhui tidak pernah cukup akrab dengan orang-orang di luar lingkaran sosialnya sendiri, jadi dia biasanya menghindari pekerjaan yang membutuhkan terlalu banyak interaksi dan kerja sama dengan orang lain. Ini pertama kalinya setelah sekian lama dia mengiyakan untuk bekerja bersama orang lain, tidak disangka yang dikirim oleh Dewa Senjata Jing Xuan dan Lian Rou adalah putra angkat mereka sendiri. Tian Jiarui, spirit naga yang dibesarkan pasangan dewa itu 300 tahun yang lalu.
Junhui sudah mengenal pemuda ini sejak pertama kali Rui memperoleh tubuh manusianya. Yan An yang pertama kali membawanya pulang ke Istana Yuexia, memperkenalkannya sebagai teman baik yang memberinya pedang bermata dua sebagai hadiah pertemanan. Junhui tentu saja tidak keberatan dengan pertemanan itu. Rui adalah anak dari pasangan dewa yang baik, dengan keanggunan dan kebijaksanaan tercermin di setiap tindakannya. Andai saja keributan 100 tahun lalu tidak terjadi, Junhui mungkin masih dapat menemukan dua pemuda itu berlarian di istana.
“Paman dewa.”
Rui menyapa, menundukkan kepala untuk menghormati yang lebih tua.
“Jadi istana dewa senjata mengirimmu?”
“Rui masih belajar, mohon bimbingannya, Paman.” Dia membungkuk sekali lagi.
Junhui mengulurkan tangan, menjabat tangan Rui untuk mengurai kecanggungan di antara mereka.
“Ke depannya tidak perlu sungkan. Meski Yan An tidak ada, kau tetap bisa menganggapku ayah seperti sebelumnya. Lagipula kita akan bekerja sama.”
“Terimakasih, Paman.”
Chapter 8: Ditemukan
Summary:
“Tidak seorangpun bisa bersembunyi dari apa yang sudah ditakdirkan.”
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Rui memahami betul hubungan Pangeran Wen dengan kota Liqian. Itu rahasia kecil yang diketahui oleh hampir seisi surga, namun tersembunyi jauh bagi orang awam. Liqian adalah tempat favorit mendiang kekasih Pangeran Wen, ‘ibu’ dari mantan dewa kenakalan Yan’an, Penyihir Agung Li’an.
Rui selalu penasaran bagaimana rupa orang itu. Seorang pria yang telah membuat murka 33 dewa surgawi, kira-kira sehebat apa dia seandainya masih hidup? Kekuatan surgawi Rui mungkin tidak ada apa-apanya. Juga, bagaimana sosok itu bisa membuat dewa perang yang begitu lurus seperti Pangeran Wen jatuh padanya. 500 tahun bukanlah waktu yang sebentar, dan bukan hanya sekali beberapa dewi coba menarik perhatian Junhui, tapi cintanya tidak juga pudar. Awalnya Rui kira itu karena Yan An, bukti cinta keduanya yang selalu ada di samping sang ayah, tapi teman kecilnya itu telah meninggalkan surga selama lebih dari 100 tahun, dan cinta ayahnya masih utuh. Sungguh tidak masuk akal.
Mereka tiba di kota Liqian menjelang tengah malam. Lentera minyak di rumah-rumah sudah mulai dimatikan, tapi pusat kota Liqian masih riuh, gaduh oleh pertunjukan seni yang berlangsung sepanjang malam. Ini adalah bulan pertama dalam penanggalan Lunar, malam pertunjukan seni di Liqian berlangsung lebih panjang.
Junhui membiarkan Rui berkeliling, menikmati hiburan di sela-sela tugas mereka. Sementara dirinya sendiri sibuk menghidupkan kenangan lama. 500 tahun lalu Liqian belum seramai sekarang, namun betapapun semuanya telah berubah, Junhui tetap menyimpan beberapa memori lama. Dia masih ingat panggung kecil di sudut gerbang kota sana. Tempat dimana pendongeng jalanan pernah mengisahkan cerita seram yang justru membuat kekasihnya tertawa keras. Junhui sudah lupa bagaimana suara tawa kekasihnya, juga seperti apa wajahnya, namun hatinya masih sepenuhnya ingat betapa bahagianya dia saat itu. Menggandeng tangan kekasihnya, dan mendengarnya berkomentar tentang ini dan itu. Minghao selalu berubah cerewet saat merasa nyaman. Itu adalah sisi yang selalu Junhui sukai.
Beberapa langkah di depan, terlihat puluhan orang berdiri melingkar mengelilingi sesuatu. Jiwa naga muda Rui sesekali melirik penasaran ke sana, namun enggan meninggalkan Junhui jauh-jauh. Melihat itu, yang lebih tua menghela napas.
“Pergilah, kita tidak bekerja malam ini.”
Sepasang manik jernih Rui langsung berbinar. Dia memastikan berkali-kali pada Junhui sebelum akhirnya pergi menyusup diantara barisan penonton. Melihat itu, Junhui menggelengkan kepala. Rui ini mirip sekali putranya. Dulu setiap kali mengikuti Junhui bekerja, Yan An juga akan sesenang itu jika diberi kesempatan berkeliling. Matanya mengedar kesana-kemari sementara kakinya tidak berhenti berlarian. Seolah takut melewatkan sedikitpun hal bagus.
Tiba-tiba nyala api besar membumbung di depannya. Itu meledak begitu saja, seperti semburan naga. Membuat orang-orang yang semula berkumpul segera berhambur keluar, sesekali bertabrakan satu sama lain. Junhui menoleh ke sekitar, mencari jejak Rui di tengah kerumunan, namun bagaimanapun dicari, jubah putih anak naga itu tidak terlihat dimanapun. Sebaliknya, matanya malah menangkap sesuatu yang lain. Bayangan hitam yang melesat cepat ngelilingi nyala api. Roh hantu kelaparan. Benda itu tidak seharusnya ada di alam manusia.
Benda itu melayang ke belakang, ke arah pertokoan yang padat, tampak sudah puas mengacaukan pertunjukan. Junhui mengejar dari belakang. Dia tidak bisa sembarangan menggunakan kekuatan dewa di sini, jadi ruang geraknya sungguh sangat terbatas. Api dari setiap lampu minyak yang dilewati roh hantu kelaparan membesar begitu saja, membakar pertokoan. Hanya dalam beberapa menit, pusat kota Liqian penuh dengan nyala api.
Junhui berhasil menggiring roh itu ke tempat yang sepi. Dia buru-buru menggambar segel iblis di udara. Mengurung roh hantu kelaparan itu sebelum dia sempat melarikan diri lagi.
Harusnya tidak ada iblis di sini. Liqian dan pegunungan Qilian adalah bagian dari wilayah kekuasaan Junhui. Dia selalu memastikan daerah ini bebas dari iblis dan roh jahat. Bagaimana bisa ada satu yang lolos? Datangnya dari mana?
Junhui sedang memikirkan itu saat telinganya tanpa sengaja mendengar suara benda jatuh diikuti napas tercekat seseorang. Dia menoleh ke samping, pada bangunan toko seni yang setengah bagiannya sudah habis dilahap api. Semua orang tampak berkumpul di luar, tapi sepertinya masih ada yang tertinggal.
Tanpa membuang waktu, Junhui segera berlari memasuki bangunan itu. Toko seni penuh dengan kain dan minyak, membuat api semakin cepat menyebar. Junhui pada dasarnya adalah dewa dengan elemen api, meski begitu bukan berarti api tidak bisa menyakitinya. Beberapa jilatan lidah api sudah berhasil mengoyak bajunya, juga meninggalkan bekas lepuhan di sana, tapi dia tetap maju. Hingga matanya akhirnya menangkap bayangan seseorang di sudut. Sosok itu meringkuk dengan kedua tangan dan kaki terlipat. Kelihatan mati-matian menghindari nyala api. Padahal sudut yang dia tempati belum dijangkau api sama sekali. Bagian itu bersih, kontras dengan jejak arang dan abu di sudut yang lain.
Junhui mendekat ke orang itu, berlutut di depannya. Sosok ini sepertinya pemuda dari rumah bangsawan. Pakaiannya sederhana, namun tampak rapi dan dibuat dari bahan yang bagus. Kulitnya juga sangat cerah dan halus, jelas dirawat baik-baik.
Junhui menepuk bahunya pelan, “Gongzi?”
Sosok itu bergeming, tapi Junhui menyadari bahwa tubuhnya gemetar. Dia pasti ketakutan terjebak dalam api.
Tanpa membuang waktu, Junhui segera mengulurkan tangan, lalu menggendong orang itu dengan kedua lengannya. Dia menoleh sebentar ke kanan-kiri, memastikan tidak ada korban lain, sebelum akhirnya membawa pria itu keluar.
Sosok dalam pelukannya ini cukup ringan, dan aroma tubuhnya sungguh harum, seperti kelopak teratai, membuat jantung Junhui berdebar oleh alasan yang konyol. Dia berhenti sebentar untuk menormalkan debaran itu, sekaligus memastikan apakah orang di gendongannya baik-baik saja.
Ketika dia menunduk untuk memeriksa, mata pemuda itu terbuka. Dia menatap Junhui dengan sepasang mata phoenix yang sayu, tampak tidak sepenuhnya sadar. Lalu sebelum mata itu kembali terpejam, Junhui sempat mendengarnya bergumam samar.
“Gege...”
Dan jantungnya kembali berdebar lebih cepat.
Notes:
Penjelasan istilah:
Mata burung phoenix: bentuk mata yang agak mirip almond eyes, tapi lebih panjang dan sipit, dengan sudut luar yang sedikit terangkat. Ini bikin pemiliknya punya vibes anggun yang cukup istimewa.
Long time no see, semuanyaaa...
Chapter 9: Teratai Indah yang Berbahaya
Summary:
“Keteguhan hati seseorang diukur dari apa yang dia usahakan, bukan seperti apa hasilnya.”
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
Di belakang, api masih membumbung tinggi, membakar rumah hiburan dan pertokoan. Junhui menatap pemuda yang tidak sadarkan diri dalam pelukannya, kemudian berbalik menghembuskan angin dan hujan untuk memadamkan api itu. Dalam hitungan menit pusat kota Liqian yang semula membara telah berubah menjadi tumpukan arang dan abu. Orang-orang berkumpul di lapangan yang luas, berlarian mencari teman dan kerabat. Junhui harusnya membawa pemuda ini ke sana. Tidak banyak bangsawan di Liqian, jadi dia pasti lebih cepat dikenali. Namun alih-alih mendekat, Junhui justru membawanya semakin jauh dari kerumunan.
Dia memasuki sebuah bangunan penginapan yang belum sempat dilalap api, tapi telah kosong karena penghuninya enggan mengambil resiko. Dinding bagian luarnya sedikit menghitam, dan berbau hangus, namun bagian dalamnya cukup bersih. Hanya ada sedikit bau jelaga yang telah samar dihapus hujan. Sayangnya, Junhui adalah dewa perang dan keberuntungan, bukan pengendali cuaca. Jadi hujan buatan miliknya tidak bertahan lebih dari seperempat batang dupa, hanya cukup untuk memastikan api jejak roh hantu kelaparan padam sepenuhnya.
Dia membawa sosok di pelukannya ke sebuah ruangan di belakang penginapan, tempat yang paling jauh dari jejak terbakar. Baru setelah berhasil membaringkannya dengan nyaman, Junhui akhirnya memiliki waktu untuk menatap wajahnya dengan lebih jelas.
Pemuda ini memiliki fitur wajah yang unik. Hidung tinggi, bibir tebal, dan garis rahang yang tajam, namun entah mengapa keseluruhan wajahnya justru tampak lembut, nyaris cantik. Mungkin karena garis matanya yang sempit, atau kulitnya yang pucat. Dia adalah pemuda yang sama dengan yang Junhui lihat pada malam festival lentera beberapa minggu lalu. Orang yang menggunakan 33 lentera berkat hanya untuk memohon kebahagiaan Junhui, tanpa satupun keinginan untuk dirinya sendiri. Jarang sekali manusia seperti ini. Biasanya seseorang jika diberi kesempatan untuk bisa mendapatkan sesuatu, mereka akan menjadi serakah meminta begitu banyak untuk kepentingan pribadi. Tidak ada ruang untuk memikirkan kesejahteraan yang lain, apalagi dewa yang dianggap telah memiliki segalanya.
Mata pemuda di sampingnya bergetar, menampilkan sepasang manik gelap yang masih tampak berkabut. Dia memincingkan mata melihat Junhui, lalu pelan-pelan tersadar, beringsut mundur hingga ke sudut. Junhui tidak menghentikannya. Setelah situasi berbahaya sebelumnya, wajar jika seseorang menjadi lebih waspada terhadap orang asing. Junhui hanya mencoba pelan-pelan menjelaskan.
“Gongzi terjebak dalam api sebelumnya, aku hanya berniat membantu. Sama sekali tidak ada maksud buruk. Maaf jika mengejutkan.”
Baru setelah itu, tatapan pemuda di depannya jadi berangsur-angsur melembut. Si menatap hati-hati pria di depannya, menyadari bekas terbakar di bahu dan lengan bajunya. Seketika merasa bersalah. Dia merapikan pakaiannya sendiri, lalu duduk dengan baik di samping Junhui.
“Ah... aku yang harusnya meminta maaf. Gongzi sudah repot-repot menolong, aku malah tidak menghargainya dengan baik.”
Junhui memperhatikan bahwa seseorang di depannya ini selain berparas indah, juga memiliki tutur kata yang sangat sopan. Sesuatu yang jelas hanya bisa didapat dari pendidikan bangsawan kelas atas. Namun untuk apa bangsawan dengan gengsi sebesar itu berkeliaran di toko seni, mereka bisa dengan mudah menyuruh pelayan untuk membeli keperluan.
“Tidak perlu dipikirkan, aku mengerti. Wajar untuk bersikap waspada pada orang asing.”
Si mengangguk. Dia kini dengan berani mengamati wajah Junhui, merasa bahwa fitur halus yang tampan ini sungguh familiar. Kemudian, sebuah memori singkat terbit di kepalanya, “Aku pernah melihat Gongzi sebelumnya,” ucapnya.
Junhui terdiam, mengira-ngira dimana pemuda ini pernah melihatnya. Melihat Junhui tidak lekas menanggapi, Si segera menjelaskan, “Paviliun Yue Shi, malam festival lentera. Gongzi datang untuk berdoa, tapi pelayanku malah menakutimu.”
Junhui segera mengerti. Rupanya malam itu seseorang benar-benar melihatnya. Beruntung dia tidak dipersulit.
“Orang-orang bilang itu kuil pribadi, aku memang seharusnya tidak sembarangan masuk.”
Si buru-buru menggeleng, “Tidak. Ayahku memang membangunnya di atas tanah pribadi keluarga kami, tapi kuil dewa adalah milik dewa. Siapapun bebas datang untuk berdoa.”
Ternyata benar dugaan Junhui. Pemuda ini memang anak bangsawan tinggi. Pemilik Paviliun Yue Shi, berarti putra jenderal kekaisaran. Pantas saja etiket bangsawannya begitu baik.
Lucunya sejak tadi, pemuda cantik itu sibuk bicara kesana-kemari tapi bahkan tidak memperkenalkan diri sendiri. Ini sedikit bertentangan dengan etikanya yang anggun. Junhui tidak pernah menemukan namanya dalam lentera berkat, dia jadi agak penasaran.
“Siapa namamu?”
Yang ditanya tampak tertegun sesaat, sebelum kembali tersenyum, “Tidak ada nama. Pangeran Wen memberikan begitu banyak berkat di tanah ini, namun tidak cukup untuk membuatku memiliki nama. Ayahku memanggilku Xiao Si, Gongzi bisa memanggilku sesukamu.”
Junhui mengerutkan kening, tapi kurang lebih memahami situasinya. Dalam beberapa tahun, akan ada orang-orang yang lahir dalam garis nasib yang kurang baik. Sebagian mungkin hanya akan menjauh dari kekayaan, sebagian lagi tidak beruntung dalam asmara pernikahan, namun yang lebih jauh bahkan harus menyembunyikan diri agar nasib buruk kehilangan jejak untuk mendatanginya. Mereka yang terakhir ini biasanya tidak berumur panjang, tapi pemuda di depannya ini tampak telah melewati usia kedewasaan. Keluarganya yang kaya pasti mengusahakan begitu banyak.
“Jika ingin keberuntungan, kau harusnya menyembah Ba Xian, alih-alih dewa perang.”
Si mengusap bekas jelaga di lengan bajunya, kemudian tersenyum, “Benar, tapi keluargaku hidup dari garis pertempuran yang panjang, secara alami menyembah dewa perang. Terlebih selain Pangeran Wen, aku merasa tidak ada dewa lain yang lebih pantas untuk disembah.”
“Dia juga tidak sebaik itu. Seorang dewa perang dengan kekuatan tidak terbatas, namun masih tidak bisa melindungi anak dan istri. Gongzi mungkin perlu berpikir ulang.”
Si menggeleng, “Kegagalan maupun keberhasilan bukan ukuran. Dia telah mengusahakan semua yang dia bisa. Itu cukup untuk memenuhi kriteria dewa dalam pandanganku. Gongzi sepertinya harus belajar lagi menghargai usaha, baru mulai mengukur hasilnya.”
Saat tidak sadarkan diri tadi, Junhui merasa orang di depannya ini begitu halus dan tenang, seperti kelopak teratai. Namun begitu bicara, dia tiba-tiba berpikir entah bagaimana sosok ini lebih mirip perairan dalam, tenang dan sunyi di permukaan, tapi menyimpan kedalaman yang mematikan.
Notes:
Penjelasan istilah:
- Ba Xian: 8 dewa keberuntungan dalam Taoisme yang mewakili berbagai kehidupan meliputi kemiskinan, kekayaan, kebangsawanan, kejelataan, kaum tua, kaum muda, kejantanan, dan kewanitaan.
- Sebatang dupa: Salah satu satuan waktu yang banyak digunakan sebelum ditemukan jam konvensional. Satu batang dupa biasanya habis dibakar dalam 30-60 menit.

Amianz on Chapter 1 Mon 24 Feb 2025 05:51AM UTC
Comment Actions
Amianz on Chapter 4 Tue 04 Mar 2025 02:11PM UTC
Comment Actions
Hiravee on Chapter 4 Wed 05 Mar 2025 02:54AM UTC
Comment Actions
nin906 on Chapter 4 Wed 05 Mar 2025 11:31AM UTC
Comment Actions
Hiravee on Chapter 4 Wed 05 Mar 2025 01:11PM UTC
Comment Actions
nin906 on Chapter 6 Tue 08 Apr 2025 12:06PM UTC
Comment Actions
Hiravee on Chapter 6 Sat 12 Apr 2025 05:20PM UTC
Comment Actions
Auau14 on Chapter 8 Wed 10 Sep 2025 11:30AM UTC
Comment Actions
Hiravee on Chapter 8 Fri 12 Sep 2025 11:08AM UTC
Comment Actions
Exypnos179l on Chapter 8 Fri 28 Nov 2025 08:53AM UTC
Comment Actions
Hiravee on Chapter 8 Sun 30 Nov 2025 10:31AM UTC
Comment Actions
Amianz on Chapter 9 Thu 04 Dec 2025 03:09AM UTC
Comment Actions
Hiravee on Chapter 9 Thu 04 Dec 2025 01:20PM UTC
Comment Actions