Chapter 1: First Meet Tetangga Baru
Chapter Text
Brug
Brug
Brug
Brug
Empat kardus besar yang dibawa pemuda tinggi itu, dijatuhkan begitu saja di depan pintu sebuah kamar kost. Tepat saat dia membawa kardus terakhir, pintu kamar kost lain terbuka.
Mereka saling bertatap muka, yang tinggi dengan gigi runcing seperti vampire tersenyum menyapa, pemuda tinggi satunya memakai kacamata kotak dan tersenyum kecil.
“Kamu.... anak baru itu?” Tanyanya pelan. “Iya kenalin, nama gue Mingyu.” Anak baru itu mengajaknya berjabat tangan, dengan ragu ia membalasnya. “Kunci.... sebentar ya, Mingu.” Pemuda berkacamata itu masuk kembali ke kamarnya, dan membawa kunci dengan gantungan snoopy. “Ohh, aku Won—woo...” ucapnya setengah berbisik. “Iya, gue tau, bu kost tadi chat katanya kunci kamar gue dititip di Wonwoo nomor empat.” Mingyu meraih kuncinya. Wonwoo hanya mengangguk kecil.
Mingyu mulai mengangkat kardus barang-barangnya satu persatu. Wonwoo masih mematung entah kenapa. Pemuda berkacamata itu tampak ragu dan seperti ingin berbicara. Mingyu tersenyum lagi, dan mengedip cepat, ada apa dengan tetangganya ini?
Oh... mungkin anaknya pemalu, Mingyu menebak ia mungkin ingin membantunya.
“Mau bantuin?” tanyanya. Wonwoo mengangguk samar. “Boleh a—aku bantu?” Wonwoo tersenyum kikuk. “Tentu. Ambil yang ini, terus barangnya keluarin, taruh atas kasur gue aja ya!” Mingyu memberinya satu kardus sedang yang berisi buku-buku mata kuliahnya. “Okay!” Wonwoo langsung melaksanakannya.
Mereka berbenah berdua sekitar 2 jam lebih. Wonwoo mendengarkan arahan Mingyu dengan baik seperti anak kecil yang disuruh ibunya. Mingyu dengan senang hati menerima bantuan tetangganya itu. Kamar kostnya memang masih berantakan, tapi berkat Wonwoo, ia bisa lebih cepat membongkar barang-barangnya.
“Udah beres nih, makasi Wonwoo!” Mingyu menepuk bahu Wonwoo, dan membuat pemiliknya kaget. “Iya.... kalau sudah, aku ke kamar lagi ya. Sama-sama Mingu—“
“Min-gyu, bukan Mingu, ada huruf y nya!”
Wonwoo menunduk malu, dan Mingyu kembali menepuk bahunya. Wonwoo masuk ke dalam kamarnya, dan ada semburat merah dikedua pipinya. Ia senang, karena bisa membantu teman kostnya. Ia senang karena ada yang mau mengajaknya berbicara.
Hampir 2 tahun menetap di kostan sederhana itu, Wonwoo tak pernah di ajak berbincang oleh penghuni yang lain. Wonwoo pernah memaksakan diri untuk bergabung dengan mereka, namun tak ada yang merespon, malah semuanya langsung bubar. Menatapnya dengan risih, dan jijik.
Sementara—sosok tinggi yang baru saja mengisi kamar kosong di depan kamarnya, begitu ramah dan hangat menyambutnya. Bahkan membiarkan membantunya berbenah. Wonwoo berharap, tetangga barunya bisa ia ajak berteman. Namun saat berniat untuk memberinya kue kering yang ia beli untuk dibagi kepada Mingyu, Wonwoo menguping obrolan tetangganya itu dengan anak kost yang lain.
“Yang nomor empat, jangan dideketin, dia homo... mana gatel”
Wonwoo tidak jadi membuka pintu kamarnya. Selalu itu yang diucapkan penghuni kost lama kepada penghuni baru. Ia mengintip dari balik kaca jendela. Ada Mingyu disana yang hanya menggeleng. Lalu pemuda itu menutup kamar kostnya.
Padahal—dia sudah senang karena ada yang bisa ia ajak untuk berteman. Namun—mungkin dia ditakdirkan untuk terus sendirian. Kesepian...
.
.
.
.
Suara pintu diketuk membuyarkan Wonwoo dari balik buku yang tengah ia baca. Kali ini kaca jendelanya yang diketuk.
“Wonwoo?”
“Ini gue Mingyu”
Wonwoo langsung membuka pintu kamarnya. Mingyu begitu tinggi menjulang kala ia berdiri di depannya.
“Udah makan belum? Gue laper, katanya daerah sini suka ada bazar kuliner? Temenin yuk.”
Wonwoo termangu mendengar ucapan Mingyu.
“Oh... iya aku tau....” Wonwoo bergumam pelan.
“Temenin yuk? Aneh banget gue makan sendirian.” Mingyu senyum lebar dan terlihat begitu hangat.
“Bo—boleh tapi aku cuci muka dulu, gak papa?” Wonwoo mengangguk, dan tersenyum juga.
“Gue tunggu di gerbang yah, sekalian pengen nyebat dulu sebatang hehehe.” Mingyu mengambil satu bungkus rokok dan gasolin dari saku jeans-nya.
Wonwoo buru-buru cuci muka, dan meraih hoodie kesayangannya. Ia mengenakan kacamata, dan sedikit menata rambutnya supaya lebih rapih. Wonwoo keluar, mengunci kamarnya, dan menghampiri Mingyu yang sepertinya udah selesai merokoknya.
“Ngerokok gak, Won?”
“Enggak...”
“Tapi gak papa kalau gue sesekali ngerokok pas sama lo gini?”
Wonwoo memandangnya sekilas. Apa ini berarti Mingyu tidak risih kepadanya?
“Kamu kenapa ajak aku?”
Mingyu mengernyit, lalu melirik Wonwoo yang memilin ujung tangan hoodie paw-nya.
“Ya emang kenapa? Baru lo aja nih yang gue kenal? Sekalian ucapan makasih udah bantu gue beberes kamar.”
Wonwoo sudah lama tidak pernah di ajak mengobrol sepanjang ini. Wonwoo sudah lama tidak di ajak pergi main, atau sekedar membeli makanan bersama oleh orang lain.
Wonwoo selalu sendirian.
Ke mana pun.
“Mungkin kamu udah dengar sesuatu tentang aku,” Wonwoo tersenyum kecut. “Oh....” Mingyu menelan ludahnya, namun setelah itu bahu Wonwoo ia rangkul. “Gue yakin lo orang baik, Wonwoo.”
Wonwoo yang terdiam dirangkulannya dibuat terenyuh. Senyuman tipis muncul dari bibirnya. Sekaligus perasaan lega dan hangat.
“Makasih Mingu...”
Mingyu menghela nafas karena Wonwoo lagi-lagi salah memanggil namanya.
“Mak—maksud aku, makasih Mingyu... “
Mingyu kini tertawa karena melihat ekspresi Wonwoo yang tidak enak karena salah lagi menyebut namanya.
“Gimana lo aja deh, mau manggil gue apa hahaha.”
Wonwoo menggaruk pelipisnya, merutuk dalam hati karena salah terus.
“Anyway..... apa nih rekomendasinya?”
Wonwoo berhenti sejenak, ia membuka ponselnya. Mingyu mengintipnya dan melihat catatan Wonwoo diponselnya.
“Lah gue kira lo udah hapal nih jajanan yang enak dan rekomendasi?”
Wonwoo kembali menggaruk pelipisnya, membenarkan kacamatanya yang melorot.
“Aku cuma tau aja.... kalau main langsung gak pernah, tapi yang aku list ini sesuai rekomendasi sosmed mereka kok.”
Mingyu merangkulnya lagi, apa Wonwoo selalu sekaku dan kikuk begini? Ia jadi mengingat kembali obrolannya dengan penghuni kost yang menyapanya tadi.
‘Ehh anak baru ya?’
‘Iya, gue Mingyu.’
‘Johny.’
‘Hati-hati, yang nomor empat penghuninya gay.’
Mingyu menekuk alisnya bingung, lalu?
‘Dia suka gangguin cowok orang katanya.’
Namun saat melihat gelagat asli Wonwoo yang tampak canggung ini, Mingyu gak yakin omongan mereka itu benar. Di lingkungannya memang masih tabu menjadi penyuka sesama jenis. Tapi Mingyu bukan salah satu dari masyarakat yang akan memandang rendah mereka. Ia terbuka dengan siapa saja ia berteman, selama mereka baik dan saling membantu, Mingyu tak mempermasalahkan orientasi seksual mereka.
“Halo, sayang...”
Wonwoo mendengar Mingyu mengangkat panggilan teleponnya. Membiarkan Mingyu asyik berbincang via panggilan, Wonwoo asik melihat suasana sekitar. Ternyata seramai ini lingkungan kostnya. Wonwoo hanya pulang pergi dari kost ke kampus saja. Ia tak pernah keluar untuk sekedar jalan mencari makan, ia memilih beli online saja. Karena Wonwoo maunya seperti mereka. Berbincang bersama, tertawa, dan—memiliki teman. Ia tidak mau sendirian.
Ohh.... Wonwoo jadi rindu teman lamanya, Soonyoung.
Wonwoo menatap langit, hari ini cerah, sedang apa dia di sana—
Lengannya ditarik Mingyu tiba-tiba. Wonwoo terkejut, dan tubuhnya dipeluk erat oleh tangan kiri Mingyu.
“WOY ANJING DIPIKIR JALAN BAPAK LO!!!”
Mingyu memaki motor yang melintas cepat dan hampir mencelakai Wonwoo. Wonwoo meraba jantungnya, terkejut sekaligus tersadar dari lamunannya.
“Gak papa, Won? Wah emang bajingan pengendara tadi.”
Mingyu menatapnya khawatir, Wonwoo mengangguk, dan kembali tenang setelah jantungnya hampir keluar dari dadanya tadi. Tangannya digenggam Mingyu saat mereka menyebrang, Wonwoo tak menolaknya dan hanya memandang kedua tangan mereka yang saling bertaut.
“Ke mana nih, jadinya—upss”
Mingyu melepaskan genggaman tangan mereka, Wonwoo langsung memasukan kedua tangannya ke saku hoodie-nya.
“Makasih Mingyu.... aku kaget tadi,” Wonwoo menatapnya malu. “Hati-hati Won, kalau kita gak awas, ketemu pengendara tadi bisa jadi masalah besar.” Mingyu merangkulnya lagi. Wonwoo mengangguk patuh.
“Jadinya apa nih yang mau lo rekomendasiin?”
Wonwoo menunjuk tenda penjual ayam bakar madu yang memang tampak ramai pengunjung bazar kuliner. Mereka menuju tenda tersebut, Mingyu pesan, sementara Wonwoo mencari tempat duduk. Orang-orang sibuk dengan dunianya, Wonwoo terus mengamati sekelilingnya. Semua orang tampak damai, tak merasa risih saat menatapnya, Wonwoo merasa aman. Ia selalu diselimuti perasaan cemas, dan takut, takut dengan pandangan mereka yang berubah menatap rendah kepadanya.
“Liatin apa!”
Wonwoo kembali melamun ternyata. Mingyu duduk di depannya, dan menaruh rokok beserta gasolinnya. “Gue boleh nyebat?” Mingyu meminta izin kepada Wonwoo. “Yang lain juga pada ngerokok, Mingyu....” Wonwoo meremat jemarinya sendiri. “Ya tetap harus ada izin dari lo juga.” Mingyu mematik gasolinnya, menyalakan rokoknya.
Keduanya berbincang ringan, kebanyakan Wonwoo yang diwawancarai oleh Mingyu karena anaknya akan diam langsung kalau gak ditanya Mingyu. Mingyu semakin yakin, Wonwoo tidak seburuk ucapan orang itu. Bahkan jauh.
Mingyu menebak tetangga kostnya ini, sudah lama dikucilkan lingkungannya. Terlihat dari tubuhnya yang selalu kaku, tegang, dan terus mengamati sekitarnya. Ia merasa dunia memang tak selalu adil kepada semua orang.
Maka dari itu, Mingyu tidak akan sama memperlakukan Wonwoo seperti orang lain memperlakukannya. Wonwoo hanya ingin berteman, hidup biasa, dan diterima lingkungannya.
“Jangan bosen yah Won, kalau gue bakalan ajak lo makan gini besok-besok.”
Pupil mata Wonwoo membesar, Mingyu tersenyum lebar dan menepuk pucuk kepalanya.
“Maksudnya.... aku—aku jadi teman kamu?”
Mingyu mengangguk cepat dan mematikan rokoknya. “Iya, Wonwoo. Mari kita berteman, jadi tetangga yang baik, kita pasti saling membutuhkan satu sama lain!” Mingyu mengulurkan tangannya. Wonwoo langsung menggenggamnya, tampak tersenyum manis, dan ada linang air mata, namun Wonwoo dengan cepat menghapusnya.
“Wangi banget ayam bakarnya, hebat juga lo nyari rekomendasinya.”
Wonwoo terus tersenyum, dan ia membuka penutup kepalanya yang sedari awal ditutupi. Wonwoo semakin merasa aman, dan ini pertama kalinya setelah 2 tahun. Ada seseorang yang dengan terbuka mengajaknya berteman. Wonwoo tahu— mungkin dunia tidak terus jahat kepadanya.
.
.
.
.
Saat selesai menalikan tali sepatu, Wonwoo mendengar suara barang jatuh dan umpatan dari depan kamar kostnya. Awalnya Wonwoo akan mengetuk pintu kamar Mingyu, namun pemiliknya keluar tiba-tiba.
“Kepala gue sakit banget.”
Wonwoo tersenyum saja, sementara Mingyu hanya mengusap kepala karena mungkin terbentur sesuatu. Tadi Mingyu mengirim pesan katanya nebeng pas mau ke kampus, jadi mereka hari ini berangkat bersama.
“Harusnya lo bilang kalau kating gue, kan kemarin gak enak manggil nama terus.”
Mingyu mengenakan helm, juga Wonwoo yang lagi hanya tersenyum. “Gak papa, panggil Wonwoo aja.” Wonwoo bersiap membawa motornya, namun direbut Mingyu. “Gue yang nebeng, gue yang bawa kak!” Mingyu duduk di depan, di susul Wonwoo duduk di belakangnya.
Wonwoo berusaha menangkap perkataan Mingyu saat mereka di perjalanan menuju kampus. Angin yang menerpa, membuat suara Mingyu samar, harus sembari sedikit berteriak. Namun Mingyu tampaknya acuh aja dan terus ngajak Wonwoo ngobrol. Sesekali Wonwoo meminta maaf karena tidak menangkap ucapan Mingyu.
“Kak, nagih utang yang baik dan benar gimana sih?”
“Apa??? Maaf suara kamu gak kedengeran.”
Mingyu menyandarkan punggungnya ke Wonwoo. Namun dari samping ada motor yang menyalip, dan dari depan terlihat mobil pick up menyalip juga. Mingyu terkejut, dan Wonwoo refleks memejamkan mata.
Selanjutnya yang ia rasakan tubuhnya terjatuh ke samping, suara klakson nyaring terdengar, dan Mingyu yang kini mengajaknya untuk duduk. Wonwoo masih syok hanya menurut saja saat dibopong Mingyu menepi, dan lama-lama terdengar suara Mingyu yang memanggilnya.
“Kak! Kak! Kak Wonwoo!”
“Kak!! Ya Tuhan lo gak papa?!”
Wonwoo masih memejamkan matanya, dan ia merasakan perih di lutut kanannya, Mingyu terlihat mengeluarkan scraft merah, dan menekan lututnya agar perdarahannya berhenti. Wonwoo merintih dan menggenggam erat pergelangan tangan Mingyu.
“Tahan yah, abis ini kita ke RS, maaf kak, stang motor lo bengkok parah, gue bawa ke bengkel nanti.”
Mingyu pun terlihat terluka, namun ia lebih khawatir kepada Wonwoo. “Ka—kamu terluka juga.” Wonwoo meraih lengan Mingyu yang sobek kemejanya dan ada lecet juga. “Gue gak papa, yang utama lo, maaf ya kak, gue bawa motornya gak bener.” Mingyu mengikat scraft merahnya dilutut kaki Wonwoo. “Gak usah ke RS, aku baik-baik saja.” Wonwoo mulai mengatur nafasnya dan sedikit berkurang gemetar di tubuhnya.
“Bener? Gue anter kak yuk—“
“Gak usah, sebentar dulu duduk disini yah, Mingu...”
Mingyu duduk di sampingnya, mengusap punggung Wonwoo, menghapus keringat di pelipisnya. Mingyu masih terlihat khawatir, lalu ia merangkul Wonwoo, dan berusaha menenangkannya.
Wonwoo akhirnya melewatkan mata kuliah jam pagi, dan dia sedang duduk menunggu Mingyu yang katanya mau jemput. Mereka satu kampus, namun berbeda fakultas, dan fakultas mereka cukup jauh, dari ujung ke ujung.
‘Kak, gue di depan nih.’
“Ohh sebentar aku ke sana.”
Mingyu membuka pintu mobilnya dari dalam, membantu Wonwoo yang kini duduk disampingnya.
“Bener nih gak mau ke RS?”
“Iya... ini lecet kecil, kamu tadi sikutnya luka juga loh”
Wonwoo menunjuk sikut Mingyu yang kini terlihat memakai perban putih. “Udah gue obatin juga. Sori yah, mobilnya cewek gue ini jadi agak girly girly.” Mingyu menjalankan mobilnya. “Motor lo katanya butuh waktu semingguan, nanti kalau ada kuliah bareng gue dulu aja, yah!” Mingyu meliriknya sedikit. “Aku bisa pesen ojol, gak mau ngerepotin kamu tiap hari.” Wonwoo membenarkan kacamatanya yang melorot. “Elah kak, gue yang buat motor lo rusak.” Mingyu cemberut, Wonwoo melihatnya jadi tersenyum.
“Takut ngerepotin. Apalagi kamu punya pacar...”
Mingyu menarik rem tangan mobil itu saat berhenti karena lampu merah menyala. “Kak, gue gak keberatan kok, gak usah mikirin cewek gue.” Wonwoo menatapnya, dan dibalas senyuman lebar Mingyu. “Udah lama kamu punya pacar?” tiba-tiba Wonwoo bertanya. “Dua tahun? Iya kali, sekitar segituan haha.” Mingyu ketawa canggung, bisa-bisanya ia lupa usia hubungannya dengan sang pacar.
“Namanya siapa kalau boleh tau?”
“Bona. Anak FEB.”
“Lo gak ada pacar, kak?”
Wonwoo menggeleng kecil, dia sedikit ke-trigger mendengar kata pacar. Namun pemuda itu berhasil mengatur perasaannya.
“Aku—agak takut punya hubungan seperti itu.”
Mingyu mengatupkan bibirnya, apakah ini penyebab semua ucapan buruk tentang Wonwoo itu.
“Lo kalau mau cerita boleh, gue dengerin, tapi kalau enggak sanggup, jangan yah?” Mingyu menepuk lembut lutut Wonwoo. Wonwoo menghembuskan nafasnya, memandang lurus ke depan, menatap kemacetan. “Aku dulu punya seseorang yang disukai. Kayak kamu ke pacar kamu. Aku suka kakak tingkatku, dia masih satu kampus. Kami—dulu sering bermain bersama. Awalnya aku akan memendam perasaan ini karena aku tau..... ini tabu, aku tidak bisa menyatakan perasaanku.” Wonwoo meremat jemarinya, ia menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan.
“Sampai tiba-tiba dia cium aku.”
Mingyu walau pun menyetir, ia dengan serius mendengar cerita Wonwoo. Rasanya Mingyu ingin memukul kating itu karena sudah menebak cerita selanjutnya.
“Orang—orang yang berciuman itu—bukankah buat pasangan saja,kan Mingu?” Wonwoo menatapnya dengan raut sedih dan terluka. “Aku pikir—kami begitu. Jadi aku menyatakan perasaanku, tapi ternyata..... aku malah dipermalukan.... dia mencemooh aku di depan teman-temannya, menuduh aku yang duluan menciumnya.”
Mingyu memberikan afeksi dengan mengusap punggung tangan Wonwoo. Wonwoo tersenyum tipis, ia balas dengan usapan pelan juga. “Sejak saat itu, entah kenapa ucapan orang dari bibir ke bibir membicarakan tentang aku menjadi buruk.” Bisik Wonwoo terdengar pasrah.
Mereka sampai di depan gerbang kost. Wonwoo bergumam mengucapkan terima kasih, dan akan turun, namun Mingyu menahannya. “Kak, jangan murung lagi, kay? Ada gue sekarang. Kalau ada apa-apa, chat gue, lo lapar pengen nitip sesuatu pas gue di luar, jangan sungkan yah. Kita teman ingat.” Mingyu senyum teduh, dan Wonwoo mengangguk lalu tersenyum juga, menghapus air matanya.
“Lo udah makan?”
“Belum...”
“Mau gue beliin apa?”
“Sate sapi boleh.....”
“Okay, gue beliin.”
.
.
.
.
Pertemanan antara Wonwoo dan Mingyu semakin dekat dan tidak ada tingkah canggung dari Wonwoo lagi. Pemuda berkacamata kotak itu sudah nyaman dengan keberadaan Mingyu. Sesekali mereka berangkat bersama bila ada jadwal yang sama, tak jarang juga Wonwoo berangkat sendirian dan Mingyu yang tidak akan pulang berhari-hari ke kostnya. Namun Wonwoo tidak merasa ditinggalkan, Mingyu masih sering tiba-tiba membelikannya makanan lewat online, atau sekedar tukar kabar via chat, katanya nitip kamarnya takut ada yang mendobrak.
Saat Wonwoo sedang membereskan sepatunya yang ditaruh di rak depan kamarnya, Mingyu datang dan berjalan sempoyongan. Wonwoo menghampirinya dan meraih tangannya, mengalungkannya dibahu dia. Mingyu tersenyum, ada aroma kuat dari minuman keras. Mingyu tengah mabuk.
“Kuncinya di mana?” tanya Wonwoo. Mingyu merogoh saku-saku celana jeans dia, namun tak kunjung menemukannya. “Dilempar ke mana sama si Bona....” gerutu Mingyu. Wonwoo melihat kunci kamar dengan gantungan snoopy itu terjatuh, lalu mengambilnya. “Nah, itu ada, hahaha, maaf kak, pusing.” Mingyu menaruh wajahnya dibahu Wonwoo.
Mingyu itu berat, Wonwoo kesulitan saat tubuh besar temannya itu bersandar kepadanya, dan ia juga perlu membuka kamar kost Mingyu. Pemuda tinggi itu langsung menjatuhkan diri ke kasurnya. Wonwoo menyalakan lampu nakas karena sangat gelap. Mingyu tiba-tiba berlari ke kamar mandi, dan Wonwoo mendengar seseorang yang muntah.
Wonwoo ke kamarnya, dan menyeduh sebungkus susu jahe miliknya, dan kembali ke kamar Mingyu. Tidak pulang ke kost hampir dua minggu, pulang-pulang mabuk dan muntah. Wonwoo sedikit kurang suka. Mingyu duduk lemas bersandar ke pintu kamar mandi kostnya. Bajunya basah, dan tampak mengantuk.
“Mingyu, astaga...”
Wonwoo langsung mengambil handuk dan dengan acak meraih kaos ganti untuk Mingyu. Wonwoo usap perlahan wajah Mingyu yang kacau, dan berkeringat. Oleh sendirinya, Mingyu membuka kaos basah yang ia kenakan, dan berusaha membuka matanya.
“Kak....”
“Iya, kamu muntah, dilap dulu biar bersih.”
“Bau gue, sana ke kamar aja.”
Tidak menurut ucapan Mingyu, Wonwoo masih membantu Mingyu membersihkan diri. Selesai mengenakan kaos bersih, Mingyu kembali tidur di atas kasurnya. Melengguh seperti anak kecil yang tidak bisa tidur, dan bergerak tidak nyaman. Wonwoo bingung apa yang harus dilalukan olehnya.
“Tidur Min...” Wonwoo mengusap lengannya. Mingyu masih gelisah, manik keduanya bertatapan. “Pertama kali nih—gue liat lo gak pake kacamata, cantik, kak.” Ucap Mingyu ditambah senyuman tipis. “Tid—tidur.” Wonwoo gugup. “Gak bisa kak! Pala gue sakit!” Mingyu mengeluh sambil menjambak rambutnya sendiri.
Wonwoo awalnya ragu saat ingin memijat kepala Mingyu, saat dirasa pemiliknya tak terganggu, Wonwoo melanjutkan pijatannya dan sesekali mengusap rambut Mingyu. Rambut Mingyu tebal, warna hitam, sedikit ikal karena mulai panjang. Mingyu melengguh nyaman dan kini bernafas pelan mulai tertidur. Wonwoo terus memerhatikan paras rupawan temannya itu. Ada satu dan dua tahi lalat diwajah Mingyu.
Telunjuk Wonwoo dengan sendirinya menekan lembut tahi lalat Mingyu dipipi kirinya. Ia senyum lembut, melihat Mingyu tidur pulas, seperti melihat balita tidur. Mulutnya terus bergumam, sesekali mengerut kedua alisnya, lalu kembali terlelap. Wonwoo melihat jam dinding menunjukan pukul pagi dini hari. Tapi ia masih betah menatap Mingyu yang sudah pulas tidurnya.
“Night.....” bisiknya lembut. Kemudian Wonwoo menutup kamar Mingyu, dan kembali ke kamarnya.
.
.
.
Wonwoo baru selesai mandi saat mendengar pintu kamarnya diketuk berulang kali, tak sabaran. Wonwoo membukanya, dan ada seseorang yang kini mewarnai harinya.
“Gue beli bubur! Lo yang naruh susu jahe kak?? Disemutin dikit, tapi dah gue abisin kok!” Mingyu tanpa izin masuk ke kamar Wonwoo dan duduk diatas karpet beludru. “Udah gak sakit kepalanya?” Wonwoo membiarkan pintunya terbuka, dan Mingyu sedang menuangkan bubur sebagai sarapan mereka.
“Udah, sekarang gue lapar banget. Punya lo. Gak pake kacang, itu pake seledri sih, lupa gue, kan lo gak suka seledri juga yah!” Mingyu tersenyum lebar sekilas, dan langsung melahap buburnya. Wonwoo terdiam, dan hatinya berdebar karena Mingyu hapal tentang hal kecil miliknya.
“Kamu diaduk juga buburnya?” Wonwoo mengaduk buburnya.
“Heemm, aneh gak sih orang makan bubur tapi bumbunya gak diaduk?” sahut Mingyu sambil melahap buburnya lagi.
“Temen aku Soonyoung tuh tim bubur gak diaduk. Dia suka mendelik sebal kalau aku mengaduk bubur dihadapannya.” Wonwoo terkekeh mengingat kenangannya bersama Soonyoung.
“Temen lo aneh berarti. Seleranya jelek.” Ledek Mingyu.
Hari ini akhir pekan, dan tidak ada jadwal kuliah, Mingyu masih betah merecoki kamar kost Wonwoo yang biasa sunyi. Keduanya tengah asik bermain gim, dengan Mingyu terus menerus dikalahkan oleh Wonwoo. Begitu dramatisnya, pemuda tinggi itu terkulai lemas dan menaruh ponselnya saat kembali kalah bermain dari Wonwoo.
“Bete ah.” Mingyu merengek. Wonwoo menaruh ponselnya, kemudian mereka hening. “Bosen gak sih kak, di kamar terus?” Mingyu menopang kepalanya dengan sebelah tangan, menatap Wonwoo yang menatapnya juga. “Kadang, tapi aku udah biasa sih.” Wonwoo senyum simpul. “Lo ada pengen main ke mana gitu?? Gue temenin, gue mati bosen kak.” Mingyu melengguh panjang setelahnya.
Wonwoo membuka catatan diponselnya, ada banyak daftar tempat yang ingin dia datangi. Tapi Wonwoo pikir—Mingyu tetap akan mati bosan karena semuanya adalah toko buku.
“Aku pengen beli buku sih...” gumam Wonwoo.
“Di mana?” Mingyu duduk menghadapnya.
“Yang dekat gak jauh dari bazar kuliner kemarin, tapi—kamu kayaknya bakal tetap mati bosan.” Tutur Wonwoo.
Mingyu mendengus kecil lalu tertawa. Wonwoo memang percis dengan penilaiannya. Bookworm sejati. Mingyu bisa melihat ada banyak tumpukan buku di kamar kost itu, ujung-ujungnya ada yang menguning dan terlipat sampai keriting. Pasti buku itu bukan pajangan saja.
“Kak, lo emang gak pusing liat tumpukan buku?”
“Kenapa pusing? Aku taruh di tempat yang salah, yah?”
Mingyu tertawa mendengarnya. Wonwoo menunduk malu namun ia tersenyum manis. Mingyu melihat senyuman itu, ternyata Wonwoo punya paras tak kalah rupawan. Kesan pertama Mingyu menilai wajah Wonwoo itu, lugu. Iya, bagi Mingyu Wonwoo itu lugu. Walau badan tinggi tegap, sorot mata tajam, kadang terlihat angkuh, tapi dimata Mingyu, Wonwoo itu lugu, lembut tutur katanya, kikuk, canggungan, pemalu, pendiam tapi bukan anti sosial. Wonwoo sebaik ini, tapi kenapa keadaan membuatnya terkesan tidak adil.
“Lo pengen baca aja, apa mau beli bukunya kak?” Mingyu punya ide.
“Kalau aku suka.... aku beli,” Wonwoo membenarkan letak kacamatanya.
“Yaudah, ikut gue. Ganti baju dulu.” Mingyu mengusak rambut Wonwoo gemas.
Wonwoo di bawa menuju sebuah rumah dengan gaya tempo lama. Suasananya begitu damai, angin menggoyangkan poni Wonwoo, dan Mingyu yang merangkulnya dari belakang.
“Ini rumah kenalan gue, kak Seungyoon. Bukunya banyak, setara kayak perpusnas.”
Wonwoo matanya membulat tak percaya, Mingyu tertawa sambil mengeratkan rangkulannya. “Masa?” Wonwoo seterpana itu. “Canda kak. Tapi asli, dia kolektor banyak buku, tanya aja mau nyari buku apa, dia pasti punya.” Ucap Mingyu, lalu dia menekan bel rumah tersebut.
Tak lama keluar seorang pria muda, dengan pakaian rumahnya, dan terkejut melihat siapa yang berkunjung.
“Lahh Mingyu????? Astaga!”
Dia memeluknya erat. Wonwoo mundur sedikit, dan tersenyum kaku. Mingyu meminta melepaskan dekapan Seungyoon, dan keduanya langsung bersalaman.
“Kenalin, ini temen gue, kak Wonwoo. Kak Wonwoo, ini temen gue, Kang Seungyoon.”
Seungyoon melengguh pelan karena tidak dipanggil “kak” juga padahal dia 4 tahun lebih tua dari Mingyu. Atensinya teralihkan kepada Wonwoo yang berdiri sedikit kaku, bersembunyi dibalik badan Mingyu.
“Wonwoo? Hai. Gue Seungyoon.”
“Ha—halo kak. Wonwoo...”
“Dia lagi pengen nyari buku katanya, pamerin gih.”
Mingyu melengos masuk ke rumah itu, dan Seungyoon menggeleng pelan. Kebiasaan. “Dia kayak ayam emang, Won. Ayo masuk!” mereka menyusul Mingyu, dan Wonwoo terkesima saat melihat banyak rak tinggi berisi buku-buku. “Ada spesifikasinya lo mau baca apa?” tanya Seungyoon. Wonwoo menggeleng, kalau begini dia sendiri bingung karena terlalu banyak, terlalu penasaran buku apa saja yang akan ia temukan.
“Yaudah, gue di studio samping kamar itu, panggil aja kalau ada apa-apa. Si Mingyu palingan lagi gitaran di ruang tengah.”
Wonwoo mengangguk semangat, dia membuka jaketnya, dan mulai menghampiri rak-rak tersebut. Ini surga. Ini lebih dari apa yang Wonwoo mau.
.
.
.
.
Hampir menjelang malam, Wonwoo baru selesai menjelajahi miniatur perpusnas itu. Tadi dia sesekali menghampiri Mingyu yang asik nonton film dan makan. Terus sekarang tetangganya itu ketiduran. Kak Seungyoon pamit pergi ada urusan, menyampaikan pesan kalau mau pulang, kunci pintunya taruh di kotak surat samping pintu.
Mingyu kalau tidur memang selalu damai begini kah? Wonwoo bertanya dalam hati. Ia tak tega membangunkannya. Wajah mereka dekat, Wonwoo duduk menghadap Mingyu yang tidur menyamping. Telunjuknya dengan gemetar mengusap tahi lalat Mingyu dibagian hidungnya. Wonwoo senyum tipis. Dadanya berdebar, dan semburat merah itu muncul.
“Hnnghh....”
Mingyu menggeliat, Wonwoo menjauh. Kemudian mereka bertatapan, Mingyu tersenyum miring dan menguap lebar. “Betah banget yah?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur. “Maaf....” Wonwoo merapihkan rambut Mingyu yang mencuat ke atas. Lucu sekali. “Kalau memang lo suka, gue seneng. Mau pulang?” Mingyu bangun dan Wonwoo duduk disampingnya kali ini.
“Di mana kak Seungyoon?”
“Pergi, katanya kunci rumah dia taruh aja di kotak surat.”
“Udah jaman modern kuncinya masih pake yang manual.”
“Makasih yah....”
“Sama-sama, kak Wonwoo...”
Mingyu menatap Wonwoo dan mengangguk kecil, dan tangannya mengusap lembut poni Wonwoo. “Makan apa yah?” Tanya Mingyu. Wonwoo berpikir sejenak, dan Mingyu menebak jika ia akan mengeluarkan ponselnya lagi—benar.
“Ada berapa banyak catatan tuh? Kayaknya lengkap sekali.” Mingyu menggodanya. “Ohh—aneh yah?” Wonwoo menaruh ponselnya kembali. “Enggak. Ayo ada rekomendasi apa nih? Gue liat boleh?” Mingyu merapatkan tubuhnya, hingga bahu mereka bersentuhan. Wonwoo memandang wajah Mingyu dari samping. Dia sangat tampan. Wonwoo kagum.
“Mau katsu gak kak? Deket nih tempatnya.”
Wajah mereka saling bertemu dengan jarak yang dekat. Wonwoo menunduk dan duduk sedikit menjauh. Ada perasaan takut itu lagi, dan membuatnya tidak nyaman. “Boleh. Aku suka.” Wonwoo mengangguk sambil membuang muka. Mingyu mengusap lututnya, dan Wonwoo langsung bernafas tenang.
Makan malam kali ini ramai dengan obrolan Wonwoo yang menceritakan buku-buku yang ia baca tadi. Mingyu walau pun tidak tahu apa-apa, dia tetap menyimak dan menanggapi sesekali. Ternyata Wonwoo ceriwis sekali. Apalagi saat menceritakan hal yang ia sukai. Mingyu merasa gemas melihatnya.
“Lo lucu deh kak kalau bawel.”
Wonwoo terkesiap dan seolah baru sadar dengan keadaan, membuat Mingyu terkekeh dan tertawa akhirnya.
“Berisik yah?” Wonwoo menunduk malu.
“Gak kok. Gue suka dengar lo bawel gini. Rame banget.”
Senyuman Wonwoo merekah dan ada ruam merah dipipinya. Ia pun tak menyangka bisa berbicara sebanyak tadi. Mingyu menyuapinya dengan sepotong katsu terakhirnya, dan Wonwoo mengunyah pelan.
“Sekali lagi, makasih yah Mingu...”
“Minguuu...”
“Maksud aku Min-Gyu.”
“Lucu banget nama gue jadi Mingu.”
Wonwoo tertawa lepas kali ini, setelah lama tak ada canda tawa dalam hidupnya, Mingyu hadir memberinya kesempatan merasakan kembali hangatnya kehidupan. Tak ada sunyi, sendu, sendiri lagi. Sekarang ada seseorang yang menemaninya. Semua ini sudah cukup untuk Wonwoo. Kehadiran Mingyu, adalah kebaikan yang berhak ia dapatkan setelah menjalani kehidupan yang selalu tidak adil kepadanya.
Tbc.
Chapter 2: Beri Aku Kesempatan, Kak Wonwoo...
Chapter Text
Wonwoo masih sering mendengar cibiran, dan bisik-bisik tetangga kost yang lain saat melihatnya sedang bersama Mingyu. Awalnya ia cemas, dan takut pandangan orang-orang kepada Mingyu jadi buruk. Namun, saat melihat Mingyu begitu baik kepada Wonwoo—semua cemas itu perlahan luntur.
Hari ini Mingyu menitipkan kembali kamarnya karena kemarin pamit untuk menginap di tempat sang pacar. Padahal Wonwoo ingin pergi ke festival lampion malam ini. Wonwoo melihat orang lain berangkat menonton acara tahunan tersebut. Sementara dirinya, hanya duduk bersandar ke pintu teras kamar kostnya.
Saat kesunyian mulai menyelimuti Wonwoo, dari luar terdengar suara gaduh dari dua orang yang bertengkar. Suaranya familiar, dan ada seruan perempuan.
Wonwoo mengintip dari balik kaca samping pintunya. Terlihat ada Mingyu dan pacarnya, Bona. Mereka adu argumen, dan beberapa kali Mingyu didorong oleh perempuan itu. Wonwoo melihat Mingyu ditampar oleh pacarnya, lalu ia di tinggal.
Berdebat dalam hati, apakah ia perlu menghampiri Mingyu? Namun wajah kusut penuh emosi Mingyu membuat Wonwoo urung diri. Mingyu perlu waktu sendiri. Akhirnya Wonwoo kembali menenggelamkan diri membaca buku yang ia bawa dari rumah kak Seungyoon. Tapi tak berselang lama.
“Kak Wonwoo?”
Mingyu memanggilnya.
Wonwoo membuka pintu, dan melihat Mingyu dari balik pintu kamar dia terlihat mau mandi? Atau sedang ditengah mandi? Hanya kepalanya yang muncul, dengan rambut basah menetes air ke lantai.
“Kenapa??” Wonwoo bingung.
“Punya sabun gak... hehehe... abis punya gue...” Mingyu malu.
“Ada... sebentar.” Wonwoo membawa sabun cair baru dan memberikannya kepada Mingyu.
“Kak, abis itu bantu pakein lotion dipunggung gue yah! Tunggu aja di kamar sini bentar!” Mingyu menariknya masuk.
Wonwoo terpaku melihat tubuh setengah telanjang Mingyu. Wonwoo tahu, Mingyu memiliki tubuh atletis dan kekar, namun—melihat secara langsung di situasi canggung begini—sedikit tidak nyaman. Apalagi Mingyu tersenyum kepadanya, polos, nyaman saja berpenampilan begitu.
“Mau nonton lampion gak kak?” seru Mingyu dari kamar mandi. “Apa enggak ke jebak macet berangkat jam segini?” Sahut Wonwoo yang tengah melihat tempelan polaroid yang dipajang Mingyu. Ada foto mereka berdua. Wonwoo tersenyum kecil, sekitar tiga foto polaroid yang diambil, saat mereka bermain ke sebuah kafe beberapa waktu lalu.
Wonwoo kembali melihat Mingyu yang masih mengenakan handuk, dan bertelanjang dada. Mingyu memberinya lotion dan senyum lebar memamerkan gigi taringnya.
“Duduk kamunya...”
Mingyu memunggungi Wonwoo, dan Wonwoo dengan gugup mulai mengusap punggung Mingyu. Wonwoo suka wangi lotionnya. Sementara Mingyu sesekali mencuri pandang dari pantulan cermin panjang disamping mereka. Memperlihatkan wajah Wonwoo yang kini tak mengenakan kacamatanya.
Mingyu sering dibuat salah tingkah saat melihat Wonwoo tak mengenakan kacamata kotaknya. Diam-diam Mingyu suka dengan penampilan Wonwoo yang seperti itu. Tapi dipikir lagi, Wonwoo itu memang menarik.
Wonwoo selesai membantu mengoles lotion dipunggung Mingyu. Ia taruh botolnya di nakas, dan tiba-tiba canggung. Terlebih saat Mingyu membalikan tubuh, sehingga sekarang keduanya bertatapan lekat. Kamar Mingyu temaram, karena sumber cahaya hanya berasal dari lampu kecil di nakas, dan dari kamar mandi.
Mingyu melihat ada titik hitam kecil dibawah mata kanan Wonwoo. Ia baru menyadarinya. Mata Wonwoo tidak seperti kucing, namun seperti seekor rubah. Rubah putih cantik. Poninya mulai panjang dan menggelitik kelopak mata. Mingyu menatap bibir Wonwoo. Bibirnya berkilau karena mengenakan lipbalm, mungkin, namun bukan itu yang merebut atensinya.
Wonwoo tak bisa bergerak saat ibu jari Mingyu mengusap bibir bawahnya. Nafasnya mulai bergemuruh, ada memori kelam yang terulang. Saat Mingyu mendekatkan wajahnya, Wonwoo menangis. Mingyu sadar dari perbuatannya.
“Kak.... kak sori....”
Wonwoo langsung bangkit dan pergi ke kamarnya. Mingyu memukul kepalanya sendiri. Menyesal karena tenggelam dengan nafsunya. Mingyu merasa bersalah.
Sementara Wonwoo duduk lemas di kamarnya, dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Nafasnya mulai teratur kembali. Ia menangis, tak menyangka jika orang yang dianggapnya pembawa kebaikan di hidupnya, ternyata sama saja dengan masa lalunya.
“Aku salah apa...” lirih Wonwoo. “Apa salah aku ibu.... “ Wonwoo menangis tertahan.
Semenjak kejadian malam itu, Wonwoo menghindari Mingyu. Mingyu pun seperti tahu diri jika Wonwoo tak mau bertemu dengannya. Walau begitu, Mingyu tetap ingin meminta maaf. Karena dia memang salah. Juga dia ingin hubungannya dengan Wonwoo membaik. Mingyu tidak mau didiamkan terlalu lama.
“Kak!”
Mingyu mencegat Wonwoo yang baru keluar dari kelasnya. Mahasiswa lain mulai memandang mereka, dan berbisik sambil menatap risih. Wonwoo pergi begitu saja, dan Mingyu mengekor, menyamakan langkahnya dengan Wonwoo.
“Kak, ayo kita bahas soal malam kemarin.”
Mingyu menarik lengan kemeja yang dipakai Wonwoo. Pandangan sekitar mereka membuat Mingyu jengah dan marah.
“Apa lo semua liatin terus!?”
Semua orang langsung kembali ke urusan masing-masing. Wonwoo kembali berjalan, rasanya kepala dia sakit, perasaan cemas dan takut terus mengikuti langkahnya. Ditambah ada Mingyu, tak karuan apa yang dirasakan Wonwoo.
“KAK!”
Mingyu masih teguh pendirian dan tak berhenti mengikutinya. Wonwoo akhirnya berhenti berjalan. Parkiran kampus mereka cukup sepi, dan hanya ada beberapa orang yang lewat. Mingyu mengajak untuk bertatapan, dan Wonwoo masih tidak mau membalas tatapan Mingyu.
“Apa yang gue lakuin tempo hari, memang salah. Gue salah.” Tutur Mingyu dan penuh rasa sesal. “Maaf kak... maafin gue.” Mingyu menunduk, tangannya meraih tangan Wonwoo, namun ditepis. “Kenapa kamu begitu juga...” suara Wonwoo begitu pelan, menahan tangis. “Aku—kira kamu benar benar teman aku...” Wonwoo mencelos, dan Mingyu mengusap wajah kusutnya dan tiba-tiba menangkup wajah Wonwoo. “Jangan!” Wonwoo mundur dan melihat sekelilingnya, rasa takut berlebihannya membuat ia tidak nyaman berbicara dengan Mingyu seperti sekarang.
“Jangan temui aku lagi. Pergi Mingyu.”
Wonwoo berjalan sangat cepat meninggalkan Mingyu yang termangu, dia sangat frustasi, menebak jika semuanya bisa sekacau ini. Tapi Mingyu tetaplah Mingyu yang pantang menyerah dan ia benar-benar ingin minta maaf kepada Wonwoo.
.
.
.
.
Ternyata Wonwoo tidak bisa tenang selama Mingyu masih menjadi tetangganya. Setiap hari ada saja makanan yang digantung di pintu kamar Wonwoo. Ada catatan terselip di setiap makanan yang dikirim Mingyu. Semuanya sama, permintamaafan, dan kalimat perhatian karena dia tahu Wonwoo sedang tidak nafsu makan. Kali ini Wonwoo memergoki anaknya yang menggantungkan plastik putih dengan sticky note menempel. Mingyu terkejut, dan canggung sendiri.
“Kak, lo sakit?”
Hanya itu yang terdengar ditelinga Wonwoo, selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi. Wonwoo yang beberapa hari ini memiliki pola makan tidak benar, membuat kondisi tubuhnya lemas, dan tidak fokus melakukan apa pun. Wonwoo tadi jatuh pingsan, dan ada Mingyu yang merawatnya.
“Lo pucat banget, kak. Ke dokter yah? Gue bawa mobil.” Mingyu terlihat khawatir dan mengelap keringat Wonwoo. “Gak perlu.” Sahut Wonwoo lemas. Mingyu memberinya segelas air hangat, Wonwoo menerimanya dan menyesapnya sedikit. “Kalau gak mau ke dokter, minimal makan.” Mingyu membuka isi plastik putih itu, isinya rice bowl dengan toping katsu yang biasa Wonwoo titip kepadanya.
“Aku bisa sendiri.”
Wonwoo menolak saat akan disuapi Mingyu. Mingyu memberikan sendoknya, dan Wonwoo mulai memakannya walau dengan gigitan kecil. Mingyu pergi menuju kamarnya, tak lama kembali membawa obat dan sebuah apel merah.
“Makannya yang betul kalau begitu. Atau gue suapin.” Mingyu mendesah pelan dan mulai tidak sabaran. Tapi Wonwoo tidak mendengarkannya dan masih memakannya dengan tidak nafsu.
“Gue tau apa yang gue lakuin itu salah, gue minta maaf karena gak memikirkan consent lo, gue salah kak.”
“Gue gak tau kalau tindakan gue bisa memicu trauma lo, nggak, gue harusnya tahu, tapi malam itu gue gak berpikir dengan benar.”
Wonwoo menatap Mingyu, melihat tatapan Mingyu yang penuh rasa sesal dan sangat frustasi. “Terus kenapa tiba-tiba mau cium aku?” gumam Wonwoo. Mingyu menggeleng pelan. “Kalau aku tidak ketakutan waktu itu, terus aku bertanya kenapa kamu cium aku saat kamu sendiri punya pasangan? Jawabannya masih geleng kepala?” Wonwoo menaruh makanan pemberian Mingyu, dia senyum pedih, dan dadanya sesak.
“Kak...”
“Aku gak nyangka kamu bisa sama saja seperti dia.”
“Kak gue gak gitu—“
“Mingyu, kamu anggap apa aku?”
“Teman,kan? Aku gak tau kenapa seorang teman bisa—“
“Kalau gue suka sama lo bagaimana?”
Dada Wonwoo berdegup kencang, setelahnya ia tak bisa membuka mulutnya dan Mingyu pun ikut membisu.
“Apa semudah itu tiba-tiba kamu bisa suka aku?”
Wonwoo tak bisa menahan air matanya, semuanya semakin kacau, dan Mingyu membuat semua itu. Bagaimana bisa dia memiliki perasaan suka kepada orang lain disaat dirinya memiliki kekasih? Apa Mingyu akan melakukan hal yang sama jika Wonwoo sudah menjadi pasangannya? Mingyu bisa semudah ini mengatakan jika dia menyukai orang lain?
“Kak gue—gue...” Mingyu gagap, dia menghancurkan usahanya sendiri karena ucapan spontan itu. “Kamu pikir aku ini mudah dipermainkan yah? Orang lain bilang begitu soalnya.” Wonwoo menghapus air matanya. Mingyu menggeleng cepat. “Kak maaf, kak Wonwoo gue—“ Mingyu semakin tak karuan melihat Wonwoo menangis. “Aku cuma ingin punya teman, dan kamu aku kira adalah teman baik itu. Tapi kenapa kamu saja....” Wonwoo terdengar begitu kecewa, Mingyu mendekap Wonwoo. Kepalanya bersembunyi diperut Wonwoo, dan membuat pemiliknya bergerak tidak nyaman.
“Mingyu.”
“Maaf kak...”
“Kamu gak boleh begini.”
“Kalau lo tau gue udah putus sama pacar gue, gimana?”
Wonwoo semakin mencelos, apa keadaan akan langsung membaik? Mingyu sudah sangat mengecewakan Wonwoo. Semuanya tak mudah untuk kembali membaik.
“Bukan hubungan seperti ini yang aku mau antara kamu dan aku, Mingyu.”
Mingyu menatap Wonwoo, matanya basah karena menangis dan benar-benar kacau. Wonwoo sedikit terkejut saaat melihat air mata Mingyu yang turun membasahi wajahnya.
“Kalau begitu, kalau kita ulangi dari awal, gue perlahan bangun rasa percaya lo lagi, lo maafin gue, hubungan kita perlahan membaik, setelah itu... ayo kita tentukan arah hubungan kita ke mana.”
Wonwoo bungkam, perasaan sesal dan kecewa itu masih mendominasinya, namun Wonwoo tahu, tatapan Mingyu sangat serius dan penuh ketulusan. Mingyu menggenggam tangannya, erat, namun lembut, Wonwoo ingin melepaskannya tapi semakin kuat genggaman itu.
“Mingyu...”
“Kasih gue kesempatan kedua, kak.”
“Ini bukan tentang kesempatan—“
“Tapi gue serius. Gue mau kita ulangi dari awal semuanya.”
“Mingyu...”
“Sekarang saja lo bisa panggil nama gue dengan benar.”
Wonwoo melepaskan genggaman tangan mereka. Lalu menjauh dari Mingyu. Jantungnya berdebar antara menahan rasa takut, cemas, sekaligus tidak tahu apa yang ia rasakan saat melihat tatapan Mingyu. Wonwoo masih banyak pertanyaan, Wonwoo tak bisa semudah itu membangun rasa percayanya lagi kepada Mingyu. Tapi ada bisik kecil dilubuk hatinya. Tentang dia yang bisa memberi kesempatan kedua kepada Mingyu. Namun Wonwoo belum bisa melakukannya. Melihat Mingyu sekarang sama seperti melihat laki-laki yang dulu membuatnya trauma sampai saat ini.
“Kak Wonwoo...”
“Pergi Mingyu. Aku mohon.”
.
.
.
.
Terhitung hampir 6 bulan, Mingyu dan Wonwoo tak bertegur sapa. Tepatnya Wonwoo yang tidak menganggap keberadaan Mingyu. Tetangganya itu masih suka menyapa, masih sering menggantungkan makanan walau berujung tak dimakan, pernah dua kali pulang dalam keadaan mabuk, lalu menggedor pintu Wonwoo. Besoknya, sudah ada sticky notes menempel di pintu kamar Wonwoo.
‘Maaf kak, semalam gue gangguin lo.’
‘Kak makan yah buburnya.’
Wonwoo melihat cuaca mendung dan tak lama hujan deras turun. Dia mau mencari sarapan, dan perutnya sudah perih sekali. Melihat bubur yang dibawa Mingyu sedikit meluluhkan egonya. Wonwoo lapar. Wonwoo pun sering kepikiran karena membuang makanan dari Mingyu terus. Wonwoo menuju dapur, mengambil mangkuk, dan dia mendengar sekumpulan tetangga kostnya yang lain tengah berkumpul, dan membicarakan Mingyu.
“Ganteng gak ngejamin lo semua dapet pasangan bener yah. Gue denger si Mingyu Mingyu mergoki pacarnya lagi ciuman sama katingnya.”
“Edan. Gue cowok tulen, tapi gak mungkiri Mingyu emang ganteng, tapi apes dapet yang begitu.”
“Halah, bilang aja lo temennya WONWOO. Hahaha”
“Kagak anjing, gue demen cewek, gue gak homo.”
Wonwoo melihat Mingyu berdiri tak jauh darinya, dia pun membawa sarapan. Wonwoo seolah tak mengenal Mingyu, dia melewatinya begitu saja, dan Mingyu melakukan hal yang sama. Tapi tak lama pemuda tinggi itu tersenyum, saat melihat Wonwoo membawa sarapan yang dia beli untuknya.
Di dalam kamar Wonwoo, pemuda itu masih berpikir soal Mingyu yang meminta kesempatan kedua. Entah apa maksud kesempatan yang diminta. Wonwoo tak bisa berpikir jika kesempatan yang dimaksud adalah konteks pendekatan hubungan kekasih. Wonwoo masih takut, masih sering mimpi buruk lalu terbangun dengan keringat disekujur tubuh. Jadi Wonwoo berpikir juga jika memang tidak ada kesempatan itu. Hubungan dia dan Mingyu, tak bisa dimulai lagi. Tak bisa berteman lagi.
“Kak...”
“Kak lo punya obat sakit kepala?”
Mingyu mengetuk pintu kamar Wonwoo. Pemiliknya hanya diam, dan ketukan itu berhenti. Tapi sesuatu mengganjal hati Wonwoo. Saat membuka pintu, Mingyu jatuh limbung menabrak tubuhnya. Wonwoo langsung mendekap Mingyu.
“Mingyu?” Wonwoo memanggilnya. Tubuh Mingyu demam, dan basah penuh keringat. Wonwoo merebahkan Mingyu di atas kasurnya, ia dengan cepat menuju dapur dan kembali membawa mangkuk besar berisi air hangat.
“Mingyu.... kamu dengar aku?”
Mingyu diam saja, Wonwoo semakin cemas, dan mengompres dahi pemuda itu dengan handuk kecil. Mingyu perlahan membuka matanya, pandangannya buram, dan kepalanya serasa tertusuk ribuan duri. Mingyu berharap ia tengah bersama Wonwoo.
“Kak...”
“Mingu?”
Setelah itu Mingyu kehilangan kesadarannya. Wonwoo semakin panik, ia berniat meminta tolong, disaat yang sama muncul teman Mingyu.
“Tolong! Mingyu demam terus dia pingsan!!”
“Lo Wonwoo?”
“Iya—iyaa”
Teman Mingyu dan Wonwoo membawa Mingyu masuk mobilnya. Wonwoo duduk dibelakang dan melahun kepala Mingyu. Wajah Mingyu begitu merah, bibirnya pucat, demamnya tinggi sekali.
Sesampainya di rumah sakit, Mingyu langsung ditindak oleh perawat jaga dan dokter di IGD. Wonwoo dan teman Mingyu diminta untuk memberi ruang, dan mereka mulai melakukan prosedur perawatan. Wonwoo meremat jemari yang bergetar hebat. Tak tahu jika Mingyu tengah sakit.
Sampai ia lupa dengan pemuda lain yang terus memerhatikannya.
“Gue Seokmin, btw.”
Wonwoo menatap Seokmin, mereka bersalaman sebentar, dan Wonwoo kembali cemas melihat Mingyu yang tengah dipasang selang oksigen. Seokmin menghembuskan nafasnya, dan dia mengusap pundak Wonwoo, menenangkannya.
“Anaknya udah ngeluh nyeri kepala sama nyeri badan semingguan ini, tapi gak mau berobat.” Ucap Seokmin. “Karena gue khawatir dia gak ada chat gue seharian, gue susul ke kost saja dan bener, dia tumbang, untung ada lo kak.” Sambungnya.
Wonwoo menatap Seokmin, teman Mingyu itu kembali mengusap pundaknya. “Dia sering ngobrolin lo akhir-akhir ini. Kak Wonwoo belum makan Seok, gue kirim apa yah? Kak Wonwoo belum pulang, ke mana yah? Kak Wonwoo ini Kak Wonwoo itu.”
“Walinya boleh ikut saya sebentar?”
Seokmin memberi kode untuk menunggu Mingyu, sementara dia pergi bersama dokter. Wonwoo menghampiri Mingyu yang tidur dengan selang oksigen dipasang untuk membantu pernafasannya karena sesak. Wonwoo mengusap punggung tangannya, duduk disamping bed-nya dan sedikit menangis. Ada rasa sesal karena tidak menganggap keberadaan Mingyu. Wonwoo merasa perlakuannya terlalu berlebihan setelah melihat Mingyu terbaring sakit begini.
“Mingu?”
Mingyu sedikit membuka matanya, Wonwoo meremat jemarinya lembut. “Kak?” panggilnya pelan. “Iya, kamu pingsan. Demam kamu tinggi, sekarang lagi di IGD,” Wonwoo mengusap tangan Mingyu perlahan. “Oh...” Mingyu kembali tidur.
Seokmin datang kembali, dan ia mengatakan jika diagnosis sementara Mingyu adalah Demam berdarah. Jadi Mingyu harus di rawat inap, Seokmin pulang membawa baju ganti untuk Wonwoo dan keperluan lainnya saat rawat inap nanti. Mingyu di pindahkan ke kamar rawat inap, dan masih ada Wonwoo yang setia menemaninya.
Mingyu terbangun dari tidurnya saat ia merasakan ada yang mengusap wajahnya dengan sesuatu yang lembut. Wonwoo tersenyum tipis saat Mingyu membuka seluruh matanya, dan memandang sekitarnya.
“Ha—hai...” Wonwoo tiba-tiba gugup.
“Kak?” Mingyu menatapnya.
“Apa ada yang sakit? Kamu sekarang di kamar ranap.” Wonwoo menyentuh dahinya yang masih demam, mengusap lehernya yang basah.
Mingyu menarik tangan Wonwoo, dan menautkan jemarinya. Kali ini Wonwoo membiarkannya, dan terus mengompres Mingyu dengan handuk hangat. “Jangan pergi kak.” Bisik Mingyu. Wonwoo mengeratkan genggaman tangan mereka. “Aku disini, Mingu.”
Sudah lama sejak ia mengenal Mingyu, baru kali ini Wonwoo berkenalan dengan teman-teman Mingyu. Ada Bambam, Minghao, Yugyeom, Jungkook, dan Seokmin. Tapi katanya masih ada dua orang lagi yang belum kenalan sama Wonwoo. Wonwoo pun sedikit bingung, kenapa semuanya jadi ingin berkenalan dengan dia.
“Badan gede aja kalah sama virus dengue yah, kasian.” Bambam menepuk kaki Mingyu, sembari terpaksa cemberut. Alias meledek. “Mampus lo ketularan ntar.” Ucap Mingyu walau masih lemas. “Gak boleh gitu.” Tegur Wonwoo yang masih duduk disampingnya. “Lagian ngapa pada kesini? Sesek gue.” Desis Mingyu sambil bergerak tidak nyaman. “Tidur aja tidur. Tidur.” Jungkook menyelimuti tubuh Mingyu dengan selimut sampai menutupi setengah wajahnya. Wonwoo terkekeh pelan, dan membantu Mingyu menurunkan selimutnya lagi.
“Udah cukup sekarang yah, gak butuh kita lagi karena ada kak Wonwoo.” Celetuk Yugyeom.
Wonwoo salah tingkah, semua orang menggoda keduanya. Mingyu yang masih demam wajahnya semakin merah. Wonwoo menatap kedua tangan mereka yang bertautan. Lalu ia menatap satu persatu wajah teman Mingyu. Tak ada yang mencemooh, tak ada yang bergidik jijik, tak ada ucapan kasar. Mereka tampak biasa saja.
Apa ini jawabannya? Apa Wonwoo bisa memberi Mingyu kesempatan itu? Apakah dirinya akan diterima oleh orang-orang sekitar Mingyu?
“Kak Won, kita beli makan yuk. Temenin gue.”
Minghao menepuk pundaknya, dan Wonwoo mengangguk kecil. Mingyu awalnya tak mau melepaskan tautan jemari mereka, namun dilepas paksa oleh Seokmin. “Kasian, dia mau makan dulu elah, gak bakal ada yang nyulik.” Kata Seokmin sambil menggantikan genggaman tangan Wonwoo. Namun Mingyu langsung melepaskannya.
“Aku makan dulu yah, sebentar.” Wonwoo tersenyum kecil, lalu mengusap kaki Mingyu.
Minghao terus memerhatikan Wonwoo saat tengah menunggu pesanan makan malam mereka. Dia adalah sosok yang tengah digalaukan oleh sahabatnya. Membuat Mingyu kehilangan akal, bahkan sekarang jatuh sakit. Sosok manis, pendiam dan penuh perhatian, bicaranya lemah lembut.
“Kak lo tau kan Mingyu suka sama lo?”
Wonwoo diam. Perasaan takut dan cemas itu mulai datang.
“Jangan khawatir. Gue juga pacarnya cowok.”
Wonwoo langsung memandang Minghao. Pemuda tinggi kurus dengan rambut potongan mullet itu tersenyum tipis, dan memandangnya. “Gue tau apa yang barusan lo pikirin, apa yang lo rasain, karena kita sama? Mungkin tepatnya, kita dalam situasi yang sama.” Tutur Minghao. Wonwoo susah payah menelan salivanya, dan ada anggukan tipis. “Sulit bukan?” bisik Wonwoo, Minghao mengangguk. “Semuanya akan terasa sulit, sampai kita bertemu dengan mereka yang akan menerima kita apa adanya.” Ucap Minghao.
Keduanya dalam perjalanan pulang menuju rumah sakit lagi. Wonwoo memikirkan ucapan Minghao karena dia langsung teringat dengan Mingyu.
“Ini bukan karena gue temen Mingyu, tapi ini masukan dari gue, sebagai temen lo juga kak.”
“Mingyu. Terima dia kak. Beri dia kesempatan.”
“Tau gak kak? Pas dia cerita kalau ngelakuin hal bodoh yang bikin trauma lo ke trigger, dia beneran semenyesal itu dan terus aja merutuki kebodohannya.”
“Gak lama setelah kalian saling ngejauh, Mingyu awalnya cuma cerita ke gue, dia bilang, kalau dia suka sama kak Wonwoo.”
“Gue pun sempet minta buat gak sembarangan main dengan perasaan, terus mungkin dia mikir dan meyakinkan diri, kalau rasa dia tuh emang tulus.”
“Pas kami semua nongkrong di rumah Seokmin, dia ngaku kalau dia suka sama kak Wonwoo. “
“Mungkin lo masih takut dan akan tetap merasakan hal itu. Sekali pun itu bukan sama Mingyu.”
“Tapi tidak semuanya berujung buruk. Walau kita tidak boleh juga meninggikan ekspetasi.”
“Lo orang baik, Mingyu pun. Tidak ada salahnya dicoba kak.”
“Jangan takut kita kita bakalan ngejauhin Mingyu, karena gue sendiri pun pacarnya cowok kak, hahaha, kami akan dukung kalian.”
Kini hanya ada Wonwoo dan Mingyu. Mereka berdua saja, karena barusan teman-teman Mingyu di usir karena sudah lewat jam besuk. Demam Mingyu mulai turun, nafasnya tidak secepat sebelumnya. Wonwoo yang menahan kantuk, langsung tersadar kembali, dan membasahi handuk hangat untuk mengompres Mingyu.
“Tidur kak....” gumam Mingyu.
“Iya, sebentar handuknya mulai dingin.” Wonwoo melipat handuk hangat itu, lalu menaruhnya didahi Mingyu.
“Kak...” panggil Mingyu.
“Hmm?” Wonwoo mengusap lengannya.
“Aku sayang kamu.” Bisik Mingyu. Wonwoo menautkan jemari mereka. Mingyu mengeratkannya.
“Cepat sembuh, Mingu. Setelah itu, nanti kita bahas.” Wonwoo menatap Mingyu, dan senyum manis.
Keesokan harinya, tante Mingyu datang menjenguk. Wonwoo sangat terkejut dan tidak menyangka jika dia akan bertemu tante Yejin. Apalagi saat itu hanya ada mereka berdua, dan Mingyu sedang ia dekap, karena terus merengek minta dipeluk.
“Ini kak Wonwoo. Pacar aku.”
Pupil mata Wonwoo membesar, Mingyu mengenalkannya sebagai pacar kepada tante Yejin. Jantung Wonwoo berdegup kencang sekali, tangannya tremor, namun kala melihat sorot hangat tatapan tante Mingyu, rasa was-wasnya mereda.
“Makasih Wonwoo, sudah menjaga Mingyu. Maaf merepotkan kamu yah.” Tante Yejin mengajaknya berpelukan. Wonwoo tak tahu harus bagaimana, jadi dia hanya diam saja saat dipeluknya. “Kamu tampan dan baik sekali.” Tante Yejin tersenyum kepada Wonwoo. Wonwoo perlahan tersenyum, ia merasa bodoh karena terus berpikir buruk.
Ketiganya mengobrol bersama, dan kebanyakan Wonwoo yang di ajak berbicara. Wonwoo bukan yang pertama yang Mingyu kenalkan kepada tantenya, namun—sepertinya Wonwoo yang disukai oleh tantenya. Terbukti pemuda itu terus di ajak berbicara. Semua tentang Mingyu, tante Yejin ceritakan kepada Wonwoo.
“Pas kecil, Mingyu takut tapi ingin berfoto di depan helikopter, terus dia tetap berpose, tante punya fotonya lihat?” Wonwoo melihat foto Mingyu kecil yang mengenakan setelan denim. “Lucu....” Wonwoo tertawa kecil.
Sementara Mingyu terus memandangi wajah Wonwoo yang kini jauh lebih cerah, dan matanya tak berhenti tersenyum. Inilah yang ingin selalu dia lihat. Senyuman sejuk Wonwoo. Selamanya Mingyu ingin membuat Wonwoo terus tersenyum.
“Tante gak bisa menginap, gak papa?” tante Yejin mengusap rambut Mingyu. “Hmm... cukup ada kak Wonwoo juga.” Mingyu mengangguk. “Kamu jangan keenakan merepotkannya, walau pacar sekali pun.” Tante Yejin menyentil dahinya, Mingyu cemberut.
Wonwoo mengantar tante Yejin turun sampai ke lobi. Mereka berhadapan, dan wanita cantik itu mendekap lengan Wonwoo. Dia tersenyum lembut, dibalas senyuman malu Wonwoo. “Titip Mingyu yah. Jangan khawatir, tante tidak rewel dengan hubungan kalian.” Bisiknya lalu memeluk Wonwoo. Wonwoo kini membalas dekapan hangat itu. Kapan terakhir ia dipeluk hangat begini? Wonwoo merindukan kedua orang tuanya.
“Terima kasih tante...” Wonwoo mencium punggung tangan tante Mingyu itu.
“Mingyu anaknya cukup bebal, tolong marahin saja kalau dia sulit di atur.” Ucap tante Yejin.
“Iyaa.... tapi Mingyu baik kok selama ini.” Wonwoo sedikit menunduk karena pipinya bersemu.
Tak lama taksi online yang dipesan tante Mingyu datang. Mereka berpelukan lagi, dan Wonwoo melambaikan tangan saat mobil tersebut melaju. Sejenak ia terdiam di tempatnya. Merasakan apa yang barusan ia rasakan. Sebuah pelukan hangat yang Wonwoo rindukan. Diterima secara terbuka, dan tidak disalahkan. Wonwoo menangis, namun ada sebuah senyuman dibibirnya.
Ternyata Mingyu memang pembawa kebaikan dalam hidupnya. Walau ada kekecewaan yang ia berikan, Wonwoo tetap berterimakasih dan sudah menemukan jawabannya. Kesempatan yang diminta Mingyu. Wonwoo akan memberikannya. Wonwoo tak mau kehilangan hal baik yang Mingyu berikan kepadanya.
Pemuda itu kembali ke kamar Mingyu, dan melihat sosoknya yang tertidur lemas di atas kasur rumah sakit. Wonwoo langsung memeluknya, dan Mingyu membalasnya. Mingyu mendengar isak tangis kakak kesayangannya itu. Mingyu tersenyum, dan mengusap punggungnya halus.
“Mingu makasih yah....” Wonwoo memandangnya.
“Dengar kak, mulai saat ini, aku akan berikan semua hal baik yang berhak kamu dapatkan. Biarkan aku mencintaimu, seisi dunia akan aku berikan kepadamu, kak Wonwoo.” Ucap Mingyu, Wonwoo malu dan tertawa kecil.
“Makasih sekali lagi. Ayo kita coba.” Wonwoo mengusap pipi Mingyu, dan mereka saling memberi senyuman terindahnya.
Mingyu mengusap pipi Wonwoo juga, dan perlahan wajah mereka mendekat, tidak ada jarak, hidung bersentuhan, dan Wonwoo memejamkan mata, sementara Mingyu mencium lembut bibirnya. Hanya menempel, namun rasa cinta itu terasa oleh Wonwoo.
“Aku mau denger dari kamu juga dong kak.”
“Apa....”
“Mingu aku sayang kamu juga.”
“Kamu ngeledek yah?”
“Ayo cepet biar aku sembuh.”
“Curang ah...”
“Kok curang sih, atau emang belum sayang yah?”
Mingyu melihat pipi Wonwoo merah padam, lucunya. Wonwoo membuang muka, bahkan kini telinganya pun memerah. Mingyu mengusap telinga Wonwoo, dan pemiliknya langsung merasa geli.
“Bobo sini, peluk lagi aku.”
Wonwoo perlahan merebahkan tubuhnya disamping Mingyu. Ranjangnya cukup besar untuk menampung dua pemuda dengan tinggi diatas 180 cm tersebut. Malah Wonwoo terasa menciut kecil, walau ia tengah mendekap Mingyu. Wonwoo memainkan rambut Mingyu, dan pemiliknya mulai tertidur dibalik dadanya. Detak jantung Wonwoo menjadi pengantar tidur bagi Mingyu. Begitu merdu, menenangkan. Mingyu betah mendengarnya.
“Aku sayang kamu juga..... Mingu...”
Mingyu mimpi indah malam itu.
Tbc.
Chapter 3: Bahagia Dengan Kamu
Chapter Text
Setelah seminggu di rawat, Mingyu akhirnya pulang. Sementara waktu sampai jadwal kontrol selanjutnya, Mingyu tinggal bersama tantenya dulu. Awalnya jelas Mingyu menolak, namun sekarang luluh kalau yang bilang adalah Wonwoo.
“Nanti aku sering mampir ke sini kok.”
Mingyu pura-pura sebal, Wonwoo mengusap rambutnya dengan lembut. “Aku pulang yah?” Ucapnya. Mingyu mengangguk pelan, kemudian dia memeluk Wonwoo. Pipi Wonwoo bersemu, dan malu-malu membalas pelukan Mingyu. “Langsung telpon aku kalau sampai kost, okay.” Mingyu mengecup pipi Wonwoo cukup lama. “Iya, aku—aku pulang!” Wonwoo belum terbiasa dengan afeksi manis Mingyu yang diberikan untuknya. Membuat Mingyu ingin sering menggodanya mulai sekarang.
Wonwoo pulang naik taksi online, dan ketika turun dari mobilnya, ia melihat wajah tak asing yang pernah dilihat sebelumnya. Ada Bona. Wonwoo mau tak mau harus tetap masuk ke dalam karena sudah malam. Perempuan cantik itu menatap Wonwoo, melirik dari atas sampai bawah, dan menghampirinya.
“Mingyu ke mana? Tau gak?”
Wonwoo mengepalkan tangan dan berusaha setenang mungkin. “Tidak tau, maaf.” Ucap Wonwoo sambil kembali berjalan. “Lo tetangganya emang gak saling kenal?” Bona menyusulnya. Wonwoo berdeham kecil, lalu menggeleng. “Dia jarang ada di kost.” Wonwoo mengambil kunci kamarnya, namun yang ia keluarkan ternyata kunci kamar Mingyu. Ia langsung menatap Bona, namun perempuan itu tampak sedang pusing dan tak memerhatikannya.
Hampir saja...
Wonwoo bergegas masuk, dan menutup pintu kamar kostnya. Namun tak lama Bona mengetuk pintu.
“Tolong hubungi gue kalau dia pulang yah, ini id line gue.”
Wonwoo terpaksa mengangguk, dan dia jadi penasaran dengan hubungan Mingyu dan Bona. Apa benar sudah selesai? Atau hanya sepihak yang memutuskan berakhir?
Ia buru-buru menghubungi Mingyu. Tidak perlu menunggu lama, panggilannya sudah diangkat, dan disambut suara bersin Mingyu.
‘Halo??? Dah sampai?’
“Udah, aku baru sampai dan mau mandi”
‘Iyaa, habis itu makan yah? Tadi tante ngasih apa?’
“Ada bistik daging, sama nasinya, terus dia kasih banyak sekali ini”
Wonwoo duduk di kursi meja belajarnya. Membuka satu persatu isi tempat makan yang tadi dibawa dari rumah tante Yejin. Panggilan berubah menjadi video call dan hanya ada wajah Mingyu memenuhi layar ponsel pintarnya.
“Apa tidak kurang dekat wajah kamu, ngu?”
Wonwoo tersenyum gemas.
‘Aku lagi gak pake baju, malu.’
“Tapi dulu minta aku olesin lotion?”
‘Jadi gak papa aku vc sama kamu walau lagi gak pake baju?’
“Kamu baru sembuh, kok udah gak pake baju aja sih?”
‘Yaudah nih aku dibaju.’
Mingyu menutup kameranya sebentar, lalu kembali dan kini sudah mengenakan kaos abu.
“Baju aku? Kok ada di kamu?”
‘Dulu aku pinjam masa lupa? Pas aku ke ujanan jemput kamu pulang ngampus, kamu kebetulan bawa baju dua saat itu.’
“Ohh! Iyaa aku ingat hehe!”
Keduanya tersenyum sampai hidung mereka mengerut dan matanya membentuk bulan sabit. Wonwoo kembali teringat dengan kemunculan Bona tadi.
“Ngu, ada Bona nyari kamu”
‘Kapan?’
“Barusan.... dia kayak pusing sekali dan pengen ketemu kamu...”
‘Kak kami sudah putus enam bulan yang lalu’
“Bukan kamu aja kan yang memutuskan?”
‘Kak, dia yang mutusin aku.’
Wonwoo terdiam, ia melihat Mingyu berganti posisi kini menjadi duduk, tampak serius dan tak ada sorot berbohong.
“Mingu... aku gak mau hubungan kita berjalan, tapi kamu masih ada urusan dengan Bona....”
‘Kak! I swear... aku udah putus.’
“Terus kenapa dia nyari kamu? Apa mau minta balikan?”
‘Terus kamu kira aku bakal mau balikan sama dia?’
Wonwoo diam, wajahnya langsung murung, dan menggeleng pelan.
“Jangan...”
Mingyu tersenyum, dia menahan diri untuk tidak nekat pulang ke kost sekarang.
‘Kak, omongan aku di rumah sakit itu bukan kalimat manis saja. Itu sungguh-sungguh, dari hati.’
‘Nanti kalau dia masih maksa mau ketemu aku, boleh gak aku bilang kalau kita sekarang pacaran?’
Wonwoo menelan ludahnya, tampak gusar, dan memikirkan ragam skenario buruk.
‘Jangan aneh dulu pikirannya, sayang.’
Wonwoo menunduk, semburat merah muncul dipipi dan telinganya.
“Maaf...”
‘Jadi boleh aku bilang kalau kita pacaran?’
“Tapi aku bilang sama dia, aku gak kenal kamu.... dan bilang kamu jarang di kost...”
‘Kenapa gitu bilangnya sih?’
Mingyu menekuk alisnya, dan langsung keluar ekspresi sebal.
Wonwoo menggaruk pipinya, dan tak lama tertawa.
‘Ketawa!’
“Maaf... maaf...”
‘Yaudah, kalo gitu beneran bakal aku bilang kalau kita pacaran nanti.’
“Tapi nanti kalau ada yang bicara gak enak tentang kamu gimana?”
‘Untuk apa aku menanggapinya? Selama yang dijelekin aku gak papa, kalau kamu yang dibicarain, bakal aku hajar.’
“Jangan mukul orang, ngu....”
Mereka menghabiskan waktu sekitar dua jam video call dengan Wonwoo yang tak berhenti bicara. Sambil ditemani makan juga, karena Mingyu masih sering rewel melihat Wonwoo yang makan dengan porsi mini katanya. Padahal menurut Wonwoo porsinya memang segitu sudah cukup dan membuatnya kenyang.
‘Kak, mau pindah gak kostnya?’
“Kenapa pindah?”
‘Kita cari tempat di mana orang-orang lebih individualis, biar kita gak banyak dicibir’
Wonwoo tampak berpikir, ia melihat isi kamar kostnya. Walau dirinya hidup kesepian, namun kamar ini—adalah tempat paling aman untuk Wonwoo. Tapi, Wonwoo juga ingin hidupnya berubah menjadi lebih baik, dan kini ada Mingyu yang menemani.
“Tuh kamu tau kalau kita pacaran, orang-orang akan mencibir...”
‘Anak SMA punya pacar straight juga bisa dicibir kak kalau tinggal bareng’
“Yaiya.... kamu memang mau kita tinggal serumah?”
‘Iya... hehehe mau gak kak? Kita cari tempat yang nyaman walau kecil, aku mau kita hidup bersama. Bukan hanya tinggal bersama.’
Wonwoo memainkan bibir bawahnya, sedikit menggigitnya, dan tampak serius berpikir. Mingyu dari balik layar terus menatapnya, ada sorot nafsu ingin menggigit bibir Wonwoo.
“Mingu...”
‘Apa sayang?’
“Kalau tiba-tiba kamu bosan sama hubungan kita gimana?”
Mingyu senyum kecil, lalu ia menggeleng.
‘Kak, bosan itu wajar, asal ada komunikasi, kita bisa melaluinya, dan juga—aku mana bosan sama kamu sih?’
“Mungkin nanti ada sifat aku yang bikin kamu ngerasa jenuh, bosan...”
‘Kak, jenuh itu sama hubungannya, bukan ke orangnya.’
“Aku gak punya siapa-siapa lagi selain kamu...”
Mingyu benar-benar ingin kabur dan mendobrak kamar kost Wonwoo. Bersimpuh, jika dia akan mencintainya sampai mati dan tidak akan pernah jenuh apalagi bosan. Akan Mingyu berikan dunia dan isinya kepada Wonwoo sebagai bukti tanda cinta.
‘I love you, Wonwoo.’
Wonwoo menutup wajahnya, perut dia geli dan hatinya meletup bahagia penuh kembang api. Mingyu pun salah tingkah, namun pemuda itu berusaha membuatnya tidak begitu terlihat.
‘Bales dong!’
“Malu....”
‘Kak ih....’
“Nanti—nanti aja”
‘Kalau kita ketemu?’
“Hmm...”
Mingyu tertawa dan Wonwoo pun menangkup kedua pipinya karena terlalu merona. Videocall itu selesai, lalu Wonwoo pergi membersihkan diri, dan bersiap untuk istirahat. Ia tak berhenti tersenyum, tak pegal sama sekali.
Oh... seperti ini rasanya dicintai pertama kalinya bagi Wonwoo.
.
.
.
.
Butuh waktu hingga 3 bulan, Mingyu dan Wonwoo akhirnya cocok dengan salah satu apartemen tipe studio yang jaraknya tidak begitu jauh dari kampus mereka. Mereka memilihnya karena Wonwoo suka dengan pemandangan dari terasnya, katanya : “Ngu, kita bisa liat jalan raya, kalau malam bagus city light-nya.” Mingyu akan selalu setuju dengan kemauan Wonwoo.
Apa pun yang Wonwoo suka, Mingyu suka.
Mereka langsung pindah tidak perlu lama lagi. Dibantu teman-teman Mingyu, dan Wonwoo akhirnya bertemu juga dengan dua teman Mingyu yang lain, yang belum kenalan. Namanya Eunwoo dan Jaehyun. Sekarang teman Mingyu adalah teman Wonwoo juga. Apalagi Minghao. Wonwoo sering pergi main berdua saja dengannya.
Mingyu senang melihat Wonwoo yang nyaman berteman dengan teman-temannya. Ia senang bisa membawa Wonwoo keluar dari kamar sunyi yang menjadi tempat tinggalnya cukup lama. Wonwoo sendirian, tidak ada yang ingin berteman dengannya. Mingyu tidak akan membuat Wonwoo merasakan semua hal itu lagi. Akan dibuatnya bahagia dan merasakan sisi indah dunia, di mana Wonwoo berhak mendapatkannya.
“Pinggang aku patah lama-lama!” Wonwoo terkulai lemas di atas sofa biru dan langsung melamun. Mingyu memberinya jus mangga, dan Wonwoo langsung duduk tegap, meminumnya sampai habis. “Makasih.... hehehe” Wonwoo memberi kecupan manis dibibir Mingyu.
Mingyu ikut duduk disampingnya dan Wonwoo langsung menyandarkan diri ke bahu Mingyu. Memang belum selesai menata isi apartemen studio mereka, tapi itu bisa diselesaikan nanti. Mingyu mencium pucuk kepala Wonwoo yang bau shamponya sama dengan miliknya. Pipi Mingyu merona, dia semakin cinta rasanya.
“Ehh tante kamu jadi datang, ngu?”
“Malam katanya. Sekalian kita makan-makan sama yang lain.”
Wonwoo mengangguk kecil, dan ia mendongak menatap Mingyu. Tanpa melepaskan tatapan, Mingyu dengan pelan mendorong Wonwoo agar terlentang di atas sofa, dan Wonwoo tidak menolaknya. Tangan Wonwoo mengalung dibahu Mingyu, dan bibir mereka saling bertaut.
“Mingyu mau ditaruh di mana ini kardusnya?!”
Teriak Jungkook, mereka langsung duduk kembali dan terkejut karena lupa jika teman-temannya masih ada, dan sedang mengangkut kardus dari basement.
“Malah cipokan... gue capek ngangkutin barang lo berdua, Tuhan...”
Wonwoo merebut kardusnya, lalu pergi membereskan barang-barang tersebut. Selanjutnya hanya ada kesibukan mereka, menata semua ruangan sesuai kesepakatan berdua. Tapi tepatnya, Wonwoo yang menurut terus sama Mingyu.
‘Ngu, disini kah bagusnya meja aku?’
‘Kamu nanti silau kak Wonwoo, masa ngebelakangi jendela?’
‘Ohh! Bener!”
‘Disini saja ya, nanti kita pasangan tirai tipis biar gak terlalu silau!’
‘Katanya kamu suka meja makannya yang warna putih, Ngu?’
‘Kamu keliatan suka banget sama yang ini kak’
‘Padahal gak papa loh yang putih juga!’
‘Tapi kamu mau yang ini,kan?’
‘Iya.... sih, hehehe’
‘Baju kita jadinya satu lemari?’
‘Cuma ada satu dan ini besar kak lemarinya’
‘Baju aku nanti bisa dipakai kamu seenaknya’
‘Kayak kamu gak sering pake hoodie aku saja?’
Wonwoo melihat gelas dan piring yang ia simpan di dalam kabinet. Berjajar sekitar ada delapan, dengan beragam ukuran. Ada gelas couple bergambar kucing dan anjing, piring berwarna ungu sesuai kesukaan Wonwoo. Mulai saat ini, mereka akan sering makan bersama. Wonwoo membayangkannya saja sudah membuat pipinya merona.
Pemuda berkacamata kotak itu melihat seluruh penjuru apartemen mereka. Memang tidak besar, tapi untuk dua orang, ini cukup, sederhana dan intim. Wonwoo duduk di atas kasur queen size yang belum dipasang seprainya. Kamar mereka menyatu dengan ruang tengah, dan menghadap jendela besar yang jika dilihat dari malam hari, Wonwoo dan Mingyu bisa melihat pemandangan indah city light sesuai keinginan Wonwoo.
“Mandi gih, kak.”
Mingyu baru selesai mandi, Wonwoo menatapnya dan langsung buang muka. Ada banyak hal yang belum terbiasa dijalani Wonwoo, salah satunya melihat Mingyu masih telanjang dada dan memakai pakaiannya dihadapannya.
“Kamu pakai bajunya di kamar mandi aja dong!” Wonwoo masih buang muka. “Kenapa?” Mingyu senyum jahil. “Basah! Basah itu ke lantai!” Wonwoo masih enggan menatapnya. “Enggak kok, liat coba sini!” Mingyu makin iseng. “Kamu memang ngeselin ih!” Wonwoo menutup wajahnya sambil berjalan menuju kamar mandi. Mingyu ketawa saja.
“Biasain yah kak, apalagi nanti aku tidur gak pake baju loh.”
“Pake bajuuuuu!!!”
“Enggak biasa!”
“Harus pakai karena bobo sama aku!!”
Mingyu kini yang merona, sedikit tersentak dan salah tingkah. Dia akhirnya bisa tidur bersama Wonwoo setiap hari, bayangkan, setiap hari. Pemuda itu langsung bergegas memasang seprai kasurnya, dan menyelesaikan beberapa barang yang masih tercecer.
Malamnya, semua orang berkumpul. Tante Yejin memasak banyak untuk Mingyu, Wonwoo, juga teman-temannya. Wonwoo tadi kenalan dengan pacar Minghao, namanya Jun, juga dengan pacar Seokmin, namanya Rosè. Semakin banyak orang baru yang kini menjadi teman Wonwoo, dan mereka semuanya baik.
“Kamu gak makan udang,kan yah?” Mingyu memilih lauk untuk Wonwoo. “Gak papa kok! Aku bukan alergi, cuma gak sering makan saja,” Wonwoo tersenyum kecil. “Ohh—punya Wonwoo ini lauknya yah!! Tante buatin ayam kecap sama tumis brokoli!” tante Yejin memberikannya kepada Mingyu. “Makan sayang.” Mingyu menaruhnya ke piring Wonwoo. Wonwoo mengangguk semangat, dan dia tidak pernah merasa sebahagia sekarang, makan malah bersama teman, dan mengobrol diselingi tawa.
Mingyu terus memandang Wonwoo yang matanya berbinar dan tak berhenti tersenyum saat mengunyah makanannya. Kebiasaan Wonwoo saat sedang makan dan rasa masakannya enak, muncul binar dimatanya dan sesekali mengangguk. “Mau?” Wonwoo memberikan satu paha kepada Mingyu, dan langsung digigit olehnya.
Semua orang pamit pulang saat jam dinding menunjukan pukul 22.30 waktu setempat. Tante Yejin memeluk Wonwoo dan Mingyu bergantian, lalu beliau pamit pulang diantar oleh Seokmin dan Rosè. Teman-temannya yang lain juga ikut pamit pulang, dan kini hanya ada Wonwoo dan Mingyu. Mereka dengan kompak saling membantu saat mencuci piring bekas makan malam bersama. Wonwoo bertugas mengelap piringnya dan menaruh di rak, sementara Mingyu yang menggosoknya, lalu iseng menyipratkan air kerannya ke wajah Wonwoo.
“Basah!” Wonwoo memukulnya.
“Seneng gak?” Mingyu menyenggol bahunya pelan.
“Sekali. Aku senang sekali, Mingu. Makasih ya?” Wonwoo senyum manis.
“Kiss?” Mingyu mendekatkan pipinya. Wonwoo akan menciumnya, namun bibir Mingyu mencium bibirnya lebih cepat.
“Kamu yah....” Wonwoo salah tingkah.
Ini malam pertama mereka tidur bersama di atas kasur yang cukup besar, bukan kasur rumah sakit. Wonwoo sendiri masih tidak sanggup menatap wajah Mingyu yang tidur disampingnya, padahal saat di rumah sakit, mereka tidur berhadapan dan saling mendekap. Namun situasi kali ini beda sekali. Wonwoo malu karena pipinya terus merona dan jantungnya berdegup kencang.
Tangan Mingyu melingkar diperutnya, mendekap erat, merapatkan tubuhnya kepada Wonwoo. Wonwoo menelan salivanya dengan susah payah, dan perlahan ia usap halus punggung tangan Mingyu. Wonwoo memberanikan diri membalikan tubuhnya, menatap lekat wajah Mingyu yang damai saat tertidur. Wonwoo mengusap pipinya, tersenyum kecil, lalu kening mereka saling menempel.
“Aku sayang kamu.... sayang sekali....”
Mingyu membuka matanya dan langsung tersenyum lebar. Wonwoo melotot gemas ternyata Mingyu belum tidur. “Aku sayang Wonwoo juga.” Bisik Mingyu. Wonwoo berusaha menutup wajahnya dengan selimut, namun ditarik Mingyu. Kemudian mereka saling tertawa, dan Wonwoo akhirnya mencium bibir Mingyu. “Jangan bosan sama aku yah, ngu?” Wonwoo mengusap pipinya, dan Mingyu mencium bibirnya lagi.
“Wonwoo, selamanya aku akan buat kamu bahagia selalu, dan ini janji seumur hidup.”
.
.
.
.
Satu bulan pertama Wonwoo dan Mingyu yang awalnya adalah tetangga, kini menjadi teman satu rumah. Hidup bersama. Apartemen itu selalu terdengar suara tawa dari penghuninya, obrolan hangat sambil membahas hari yang dilalui. Wonwoo yang paling sering bercerita, ia bilang punya teman baru lagi, dan Mingyu dengan sepenuh hati menyimaknya dan minta dikenalkan juga.
“Tau gak sih kak? Walau kita sibuk di kampus, dan kadang gak berangkat bersama, atau ketemu di kampus, tapi kalau pulang langsung ingat, ohh.... ada kamu di rumah ternyata, rasa capek aku langsung hilang.”
Wonwoo dan Mingyu sedang duduk berdua di atas sofa biru, dengan secangkir teh dan kopi yang didekap tangan mereka. Wonwoo menyesap tehnya dengan rona merah dipipi. Ia pun merasakan hal sama. Kadang Wonwoo masih sering diserang rasa kesepian, namun kala membuka layar ponselnya, ada foto dirinya dan Mingyu. Wonwoo langsung lega dan tahu, jika dia sekarang tidak akan kesepian lagi.
Ada Mingyu. Mingyu yang akan mengirimnya pesan singkat sekedar bertanya makan apa hari ini, apa kuliahnya sudah selesai, kadang Mingyu mengirim foto kucing atau hal random lainnya. Mingyu mengisi kehidupan Wonwoo, dan memberi warna yang dulu sudah pudar. Wonwoo sangat berterimakasih kepada Tuhan, karena ia diberi teman hidup seperti Mingyu.
“Kadang... aku pikir... sampai kapan aku akan sendirian terus....”
Mingyu menatap Wonwoo yang kini menatapnya juga.
“Apa aku selamanya akan sendirian, dan aku sudah pasrah.”
Wonwoo mengusap dagu Mingyu lalu tersenyum tipis.
“Sampai kamu datang. Sampai kamu temani aku sekarang...”
Mingyu menahan air matanya, namun ternyata lolos, dan Wonwoo menghapusnya. Wonwoo terkekeh lembut, Mingyu mengecup keningnya, dan menaruh gelas kopi dan teh itu. Ia tangkup pipi Wonwoo, meraup bibirnya, dan menghisapnya dengan pelan. Mereka berciuman manis, mata saling terpejam, ada senyuman diselingan ciuman itu. Mingyu menggigit bibir bawah Wonwoo, menariknya dengan jahil, dan Wonwoo semakin merona pipinya.
“Wonwoo aku sayang kamu, cinta kamu, gila rasanya sekarang secinta itu sama kamu.”
Mingyu mencium setiap bagian wajah Wonwoo, lalu kembali ke bibirnya. Kini ciumannya sedikit tak beraturan, kasar dan tak sabaran. Wonwoo mengusap rahang Mingyu meminta untuk lebih tenang, dan Mingyu melepaskan tautannya.
“Kak... boleh gak kalau kita having sex....”
Wonwoo mengedip cepat dan darah dalam tubuhnya langsung berdesir. Jantungnya semakin cepat memompa, dan rasanya mau pecah. Wonwoo tatap sorot mata Mingyu yang menunggu jawabannya, dan sudah bernafsu. Wonwoo menunduk, dan pipinya dicium lama oleh Mingyu.
“Kalau gak mau, gak papa... izin kamu—“
“Ma—mau....”
Wonwoo tak sanggup lagi mengontrol rona merah pada wajahnya. Ia biarkan Mingyu melihatnya. Ternyata kekasihnya pun sama saja. Pipinya sama-sama merona.
“Tapi aku—aku belum pernah sama sekali...” Wonwoo berbisik malu.
“Akan aku pandu kamu, kita sama-sama saling memuja, yah kak.” Balas Mingyu berbisik.
Mereka berciuman kembali, dengan tangan Mingyu yang mengangkat ke atas kaos putih Wonwoo, mengusap pinggang rampingnya. Wonwoo mendekap Mingyu erat, dan dengan sendirinya duduk di atas pangkuan Mingyu. Ciuman itu terputus karena Mingyu mengalihkan kecupan dan hisapan kecilnya dileher Wonwoo, berusaha merangsang libido Wonwoo. Tak lama Wonwoo sudah terangsang, dan ia merasakan isi celana dalamnya mengeras.
Mingyu melengguh saat Wonwoo menggesekan celananya yang menggembung itu dengan miliknya yang sama-sama mengeras. Wonwoo mencium bibir Mingyu kembali, dan dibalas pagutan rakus membuat Wonwoo memundurkan kepalanya.
“Kak... beneran aku gak kuat lagi.”
“Aku harus gimana kalau begitu....”
Rasanya kepala Mingyu ingin meledak, namun ia tetap mengontrol diri agar tidak kasar karena ini pertama kali bagi Wonwoo. Wonwoo tidak boleh kesakitan, Wonwoo harus dibuat nyaman dan melayang.
“Kalau ada sakit nanti bilang yah, sayang?” Mingyu melepaskan celana pendek Wonwoo. Wonwoo mengangguk dan semakin tegang.
“Tenang dong, punggung kamu kerasa banget tegangnya...” Mingyu mengusap punggung Wonwoo, dan Wonwoo menghembuskan nafas, dan menangkup pipi Mingyu.
“Aku—malu... aku takut sedikit...” bisik Wonwoo dan rona merah itu semakin menyala. Mingyu memagut bibirnya, Wonwoo melengguh pelan.
Semakin malam, semakin panas suasananya. Kedua insan yang jatuh cinta itu, terlihat penuh peluh keringat, dan saling bersahutan saat mendesahkan nama masing-masing. Wonwoo mendekap erat bahu Mingyu yang sedang menghujam bagian bawahnya.
Wonwoo tak bisa melihat apa-apa selain putih dan taburan bintang. Dibawa terbang jauh ke angkasa oleh Mingyu, tak tahu bisa terasa senikmat ini rasanya. Mingyu tak kalah dengan Wonwoo, ia pun berusaha tidak semakin kasar menghujam Wonwoo. Sudah menebak jika Wonwoo bisa membawa nikmat yang tak pernah ia rasakan dari pengalaman sebelumnya.
“Ngu—nghh... mau—mau keluar—“
“Iya sayang, sebentar—tahan kak, bareng”
Dekapan Wonwoo berubah menjadi cakaran dipundak Mingyu. Meninggalkan bekas lecet dan kuku Wonwoo yang tertancap. Ritme hujaman tersebut semakin cepat, semakin keras, beberapa saat kemudian mereka melengguh panjang bersamaan. Keduanya keluar bersama.
“Kak... sayang?” panggil Mingyu.
“Ngu... tadi tuh e—enak...” sahut Wonwoo.
“Sama. Kamu enak banget, sayang.” Mingyu mengecup keningnya.
“Aku sayang kamu...” Wonwoo mengusap pipi Mingyu lembut.
“Aku lebih menyayangi kamu, lebih cinta kamu, Wonwoo.” Mingyu mencium seluruh wajah Wonwoo, dan pemiliknya tertawa geli.
Keesokan harinya, Wonwoo terbangun dari tidurnya, dan masih di atas sofa biru. Ia tak merasakan dekapan Mingyu, bahkan kekasihnya itu tampak tidak ada di apartemennya. Wonwoo perlahan duduk, ada perasaan tidak nyaman yang ia rasakan dari bagian bawahnya. Wajahnya merona sendiri mengingat malam panas kemarin. Wonwoo menutup wajahnya, ia salah tingkah dan merasa malu.
Suara pintu terbuka dan tertutup kembali, membuat Wonwoo langsung menarik selimut hijau yang menutupi sekujur tubuhnya. Mingyu muncul mengenakan topi biru dan tersenyum menyapa, membawa sarapan untuk mereka.
“Pagi kakak sayang...” Mingyu menghampirinya. Wonwoo langsung dicium dan didekap Mignyu. “Habis dari mana?” tanya Wonwoo. Mingyu duduk dibawah dan membuka sarapan mereka. “Habis lari sebentar, terus beli sarapan deh buat kita.” Mingyu membeli bubur dan seperti biasa, untuk Wonwoo tidak memakai seledri dan kacang.
Wonwoo meraih kaos yang ia pakai semalam, dan langsung duduk disamping Mingyu. Mingyu mengusap paha telanjangnya, dan mereka bertukar kecupan lagi. Hari libur begini, selalu menjadi hari yang ditunggu karena keduanya bisa menghabiskan waktu bersama. Walau kadang hanya berdiam di apartemen, namun tidak pernah bosan.
Akan ada obrolan hangat kadang menjurus jadi gosip, karena Mingyu selalu mendapat informasi tersebut dari teman-temannya. Wonwoo yang mengajak Mingyu untuk berdiskusi soal series tv yang ditonton mereka. Tapi kali ini diselingi dengan pergumulan seperti tadi malam.
“Kak aku minta izin dari sekarang saja, kalau nanti tiba-tiba aku pengen seks sama kamu, kamu jangan nolak.”
Wonwoo menghela nafasnya, dan Mingyu hanya senyum polos, lalu dia kembali mencium leher kekasihnya itu. Wonwoo sudah memperkirakannya. Katanya kalau sudah melakukan sekali, maka akan terus menerus menjadi rutinitas.
“Jangan setiap hari tapi...” gumam Wonwoo.
“Apa?” Mingyu pura-pura tidak mendengarnya.
“Aku tau kamu dengar, ngu.” Wonwoo menatap nyalang.
“Aku gak takut ditatap galak gini tau.” Mingyu menyeringai.
“Terserah, aku marah nanti. Aku serius.” Wonwoo mendorongnya menjauh.
“Iyaa iyaaaa!!!! Jangan dorong aku, aku sedih nanti.” Mingyu cemberut.
.
.
.
.
Kehidupan terus berputar, Mingyu dan Wonwoo masih bersama. Dinamika hubungan mereka memang selalu manis, tapi tidak menutup kemungkinan ada pertengkaran kecil, namun berujung salah satu dari mereka akan meminta maaf. Wonwoo lulus kuliah dengan predikat terbaik, dan tidak begitu lama langsung mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta sebagai staff keuangan, sementara Mingyu, dia baru selesai wisuda dan sedang magang di perusahaan sebagai staff IT.
Walau sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Mingyu masih sering mengantar jemput Wonwoo, sering juga mereka makan siang bersama, atau Wonwoo yang akan makan bersama teman satu divisinya dengan membawa bekal makan siang yang dibuat Mingyu.
‘Ngu, maaf aku lupa bawa bekal makan siang dari kamu....’
“Kok bisa....”
‘Aku lupa serius! Aku kesiangan...’
“Terus kamu makan sama apa?”
Mingyu tidak jadi menyantap makan siangnya saat mendengar Wonwoo lupa membawa bekal yang ia siapkan. Hari ini mereka tidak berangkat bersama, karena Mingyu harus pergi pagi-pagi.
‘Aku beli nasi campur? Kata Jennie ini menu enak di kantin kantor kita, ngu!’
“Coba kamu vidcall aku”
Wonwoo muncul dilayar datar ponsel Mingyu, mengarahkan kameranya kepada piring putih dengan beragam lauk pauk. Mingyu harus mengganti ponselnya karena layarnya sudah retak, wajah manis Wonwoo yang kini mengenakan kemeja semu kuning itu jadinya tidak nampak jelas.
“Wajah kamu masa retak sih kak”
‘Maksudnya?’
“Wajah lucu kamu dilayar aku jadi retak”
‘Kamu ini.... udah berapa kali ponselnya jatuh sih?’
“Eemm... sepuluh?”
‘Kalau udah sebelas kali bisa mati total!’
“Asal bukan perasaan kamu aja kak yang mati total buat aku.”
Mingyu bisa mendengar suara perempuan yang tersedak, nah pasti Jennie. Teman baik Wonwoo setelah masuk kerja. Meja mereka bahkan katanya bersampingan. Mingyu pernah ketemu beberapa kali dengan Jennie, dan dia percaya perempuan itu memang tulus berteman sama Wonwoo.
‘How old are u you sih, gyu?’
“Diem jomblo.”
Ada wajah Jennie dan Wonwoo terpampang dilayar ponsel Mingyu. Mereka menghabiskan makan siang dengan panggilan video, diselingi sahutan Jennie yang harus sabar mendengar Mingyu menggoda Wonwoo terus.
“Won, lo gak risih yah diusilin Mingyu terus?” Jennie dan Wonwoo masuk ke dalam lift. “Dua tahun setiap hari begitu? Aku sudah kebal.” Wonwoo pipinya bersemu tipis. “Tapi gue seneng banget liat hubungan kalian, terus mesra yah Won. Gak papa gue jomblo juga.” Jennie merangkul lengan Wonwoo, dan mereka saling memberi senyum.
“Kamu tuh suka bilang jomblo jomblo, padahal tiap hari yang chat siapa tuh?” Ucap Wonwoo seraya berjalan menuju mejanya.
“Kan emang bukan pacar!” seru Jennie.
“HTS??” goda Wonwoo.
“Lo mulai kayak Mingyu.” Jennie duduk menghadap komputernya.
Jam pulang kali ini, Mingyu bergegas menuju parkiran dan masuk ke mobilnya. Wonwoo sudah menunggunya, mereka akan pulang bersama. Namun Mingyu terlambat pulang. Terakhir Wonwoo chat sekitar dua jam yang lalu. Mingyu yang panik langsung tancap gas, membelah jalanan ibu kota, disambut macet karena jam pulang kerja juga. Mingyu menghubungi Wonwoo, namun tidak segera diangkat. Kekasihnya itu pasti marah.
Jarak dari kantor Mingyu ke kantor Wonwoo tuh kalau tidak macet hampir 20 menit, tapi karena macet, jadi hampir 35 menit. Mobil Mingyu berhenti di depan lobi kantor Wonwoo, dan Mingyu melihat ada Wonwoo sendirian saja.
“Kak!” Mingyu memanggilnya. Wonwoo tersentak karena tengah tertidur.
“Maaf! Maaf sayang!” Mingyu menghampirinya dan langsung menangkup pipi Wonwoo.
“Kamu kok gak bilang mau telat jemputnya? Aku bisa nunggu sambil kerja juga padahal...” ucap Wonwoo lemas.
“Maaf... aku pikir technical meeting tadi tuh bakal sebentar, maaf yah...” Mingyu meraih tas kerja Wonwoo, dan mereka saling bertukar kecup.
Sesampainya di apartemen mereka, Wonwoo langsung membaringkan tubuhnya di atas sofa kesayangan, sofa biru yang besar itu. Hari ini pekerjaanya, tidak, setiap hari selalu hectic, tapi kali ini capeknya berkali lipat. Kepalanya sedikit pusing, dan tubuhnya lemas sekali. Mungkin dia perlu mandi malam biar segar kembali.
“Ngu...”
“Hmm?”
“Mau mandi bareng gak?”
Berakhir mereka duduk di dalam bathub yang dibeli beberapa minggu lalu, setelah menabung beberapa bulan. Kamar mandi mereka cukup luas, dan bisa menampung bak mandi tempat berendam tersebut. Wonwoo tengah dicium rakus oleh Mingyu, tubuh mereka penuh busa putih, dan saling mendekap.
“Tadi kepala aku sempat sakit sedikit...” bisik Wonwoo.
“Nanti aku pijat yah?” Mingyu mengusap dagunya. Wonwoo mengangguk pelan
“Besok berangkat bareng yah? Gak papa aku ikut pagi-pagi juga!” Wonwoo memainkan rambut Mingyu.
“Okey... kita bisa sarapan bareng dulu di mobil.” Mingyu mengecup bibirnya lagi.
.
.
.
.
Tahun pertama berubah menjadi tahun kedua, kemudian berubah menjadi tahun ketiga, dan menuju tahun keempat hubungan Wonwoo dan Mingyu terjalin. Banyak cerita manis yang mewarnai hidup mereka. Banyak memori indah yang sangat berharga bagi Wonwoo dan Mingyu. Mereka banyak mengunjungi tempat-tempat yang ingin di kunjungi Wonwoo.
Wonwoo ingin naik gunung, Mingyu mengabulkannya. Pendakian mereka menjadi ajang reuni kecil bersama teman-teman Mingyu. Sudah dua puncak gunung yang mereka daki.
Kemudian keduanya mengambil cuti bersama dengan berkeliling kota naik camping car milik Jungkook yang dipinjam Mingyu.
Pergi menonton konser band kesukaan mereka. Waktu itu hujan deras turun, Mingyu khawatir Wonwoo akan sakit, tapi melihat kekasihnya itu ikut berjingkrak dan melompat dengan penonton lain, Mingyu menjadi tenang.
Wonwoo terus dibuat seindah mungkin oleh Mingyu kehidupannya kali ini. Mingyu akan terus memberikan memori indah dan mewujudkan seluruh keinginan Wonwoo. Apa pun. Akan dia usahakan jika itu untuk kekasihnya.
Malam ini, pasangan kekasih itu sedang tiduran di kasur yang seprainya berantakan karena sebelumnya telah berhubungan intim. Wonwoo tidak mengenakan celananya, namun tertutup kaos besar Mingyu. Sementara Mingyu bertelanjang dada dan memainkan ponselnya.
“Ada banyak destinasi seru di Okinawa loh kak!”
“Churaumi aquqrium keliatannya bagus yah, Ngu! Catet.”
“Kita belum pernah akuarium date yah, yang?”
“Hmm! Baru keinget sekarang hahaha!”
“Minggu deh mau gak?”
“Mau dong!”
Mingyu dan Wonwoo sedang menyusun rencana untuk berlibur ke luar negeri, sebagai perayaan hubungan mereka yang keempat nanti. Memang masih lama, dan tabungan mereka juga sedikit lagi tercapai. Wonwoo sudah banyak menulis list restoran, hotel-hotel yang bagus, destinasi yang akan mereka kunjungi. Wonwoo sangat antusias.
“Tapi kak, sebelum kita liburan, gimana kalau kita berkunjung ke kolombarium dulu?”
Wonwoo berhenti mengetik, lalu dia menatap Mingyu yang tidur disampingnya. Mengenai kolombarium, ia jadi ingat awal tahun pertama mereka kencan, Wonwoo mengatakan jika sudah tidak memiliki keluarga saat Mingyu bertanya dan ingin bertemu mereka. Mingyu menangis semalaman, dan Wonwoo hanya memeluknya, menenangkannya. Semenjak saat itu, setiap tahunnya, Mingyu selalu mengajak Wonwoo untuk berkunjung ke kolombarium keluarganya.
“Boleh... sekalian aku mau pamer ke adik aku kita mau ke Jepang.” Wonwoo menyisir rambut Mingyu. “Sekaligus minta restu kalau aku mau lamar kamu.” Mingyu menatap Wonwoo penuh puja. Wonwoo menutup wajahnya, dan Mingyu langsung membawanya ke pelukan, lalu berciuman.
“Kamu gak ragu? Kamu mau tunangan loh sama aku?” tanya Wonwoo pelan.
“Cincinnya udah pre-order kak, masa main-main sih?” Mingyu cemberut.
“Pre-order.... kamu ini...” Wonwoo tertawa dan Mingyu langsung mencium lehernya tanpa henti.
Tbc.
Chapter Text
“Sayang, ayo aku udah siap!”
Wonwoo mendengar ucapan Mingyu, namun sakit dikepalanya tak kunjung menghilang. Sudah dua minggu berturut-turut namun masih tetap ada, dan kadang sangat mengganggunya seperti sekarang. Tapi Wonwoo belum memberitahu Mingyu.
“Kak, sayang?”
Mingyu menyusul karena Wonwoo tak segera keluar dari kamar mereka. Calon suaminya itu tersenyum kecil, dan langsung memakai kacamata kotak hadiah darinya. Mingyu tangkap wajah pucat dan gerak gerik Wonwoo yang tampak tidak sehat.
“Kamu sakit?” Tanya Mingyu khawatir. Wonwoo menghembuskan nafas pelan, lalu mengangguk kecil. Ketahuan deh. “Kok gak bilang? Kita ke dokter aja yuk.” Mingyu mengusap pipi Wonwoo, mencium dahinya, dan ternyata sedikit hangat.
Tujuan awal mereka ingin makan malam di luar, berujung ke klinik dokter terdekat. Wonwoo diperiksa, dan dokter menyarankan untuk banyak istirahat karena kelelahan. Sembari menunggu resep, keduanya berbincang di bangku tunggu, sembari berpegangan tangan.
“Mau izin sakit? Tadi gak minta surat sakit, aku minta yah?” ucap Mingyu. Wonwoo menggeleng, “gak perlu, udah minum obat juga sembuh, kerjaanku makin numpuk nanti.” Mingyu mengecup punggung tangannya, lalu Wonwoo menyandarkan kepalanya dibahu Mingyu.
“Kasih ke si Jennie aja dulu kerjaan kamu.”
“Dia juga punya tupoksi sendiri kali, ngu...”
“Sementara aja kamu lagi sakit ini”
“Aku masih sanggup entri petty cash yang numpuk itu, artinya sakit aku masih bisa ditahan.”
Mingyu mendengus, Wonwoo memang senang bekerja, sering juga lembur, sama saja seperti dirinya, tapi kalau kondisi Wonwoo sakit begini, Mingyu rewel dan bawel. Tak lama nama Wonwoo dipanggil petugas apotek, Mingyu yang menghampiri sekaligus membayar pemeriksaannya.
Saat menuju mobil, baru terlihat oleh Mingyu tangan Wonwoo terlihat lebam dipergelangannya, pemiliknya pun seperti baru melihatnya. “Kenapa tangan kamu?” Mingyu mengusapnya, Wonwoo menggeleng. “Aku sendiri gak ngeh, ngu...” Wonwoo menekan luka lebam itu, tapi tidak sakit. “Ceroboh sih, grasak grusuk terus!” Mingyu berbicara seolah dia tidak paling ceroboh. “Mungkin tertular kebiasaan grasak grusuk kamu?” Wonwoo tertawa kecil.
Mereka pulang, makan malam jadinya di rumah dan Mingyu memasak sup telur tahu putih, menu wajib saat Wonwoo sedang sakit. Setelah minum obat, Wonwoo dipaksa tidur oleh Mingyu. Laptop dia disembunyikan entah di mana, jadi Wonwoo nurut untuk tidur. Pukul dua pagi hari, Wonwoo terbangun karena mendengar suara ketikan keyboard komputer dan sayup-sayup ada suara musik, ternyata Mingyu masih bangun.
“Tidur.”
Mingyu menatapnya lalu menaruh kacamata yang ia kenakan.
“Kenapa bangun? Kepalanya sakit lagi?” Mingyu malah bertanya khawatir. “Tidur Mingyu. Kamu suruh aku tidur kamu sendiri masih ngurusin kerjaan!” Wonwoo menegur dan Mingyu langsung mematikan komputer, mendekap Wonwoo, membawanya kembali ke kasur.
Wonwoo langsung memeluknya, dibalas pelukan hangat dan ciuman dipucuk kepala. Mingyu mengusap rambut cokelat Wonwoo, mengusap bahunya dengan lembut.
“Kepalanya masih sakit, hn?”
“Sedikit...”
“Langsung chat aku kalau semisal kamu mau pulang cepet yah”
“Iyaa ngu.... ayo bobo!”
“Cepat sembuh, kita mau jalan-jalan loh.”
“Besok juga sembuh pasti.”
Keesokan harinya, Wonwoo berangkat di antar Mingyu sampai lobi, dengan kondisi kepala masih sakit, namun tetap dipaksa untuk baik-baik saja. Beberapa kali Wonwoo memijat pelipisnya, sampai ia melepas kacamata, berusaha menghilangkan sakit dikepalanya. Jennie baru selesai dari dapur langsung menggeser kursinya mendekati Wonwoo.
“You okay?” Jennie mengusap lengan Wonwoo.
“Padahal udah minum obat, sakit kepalanya masih ada.” Lengguh Wonwoo pelan.
“Kenapa masuk kerja!? Pulang gih, gak papa gue kerjain kerjaan lo nanti!” Jennie menaruh kopinya.
“Bentar lagi juga makan siang, nanti aku mau tidur dulu.” Wonwoo kembali fokus ke komputer, namun yang ia lihat layarnya malah menjadi banyak.
Wonwoo pejamkan mata cukup lama, dan kini semuanya sedikit membaik. Ia kembali selesaikan pekerjaan yang tertunda. Sementara Jennie masih tampak khawatir, kemudian wanita itu menghubungi Mingyu lewat pesan singkat.
Saat jam makan siang pun, Wonwoo tak memakan bekal yang dibawa dari rumah. Sikut dia tak sengaja menjatuhkan botol minumnya, sembari menghembuskan nafas ia dengan cepat meraih botol tersebut, menuju dapur kantor untuk membawa lap, namun pandangannya kembali menghitam, dan Wonwoo tak sanggup menahan sakit kepala tersebut.
Wonwoo jatuh pingsan.
“WONWOO!” ia mendengar Jennie menjerit.
Wonwoo membuka mata perlahan, ia melihat langit-langit putih, dan tak lama suara bising dari orang-orang. Ada selang infus yang terpasang ditangan kiri, lalu ada Jennie berdiri memunggungi tampak sedang berbicara dengan orang lewat ponsel.
‘Masih di IGD Gyu, langsung sini saja.’
Mingyu muncul tak lama, nafas tersengal, berkeringat, tak mengenakan jaketnya, dengan lanyard masih tergantung dileher. Wonwoo langsung dipeluk, dan dibalas pelukan tersebut.
“Kata aku juga apa....” Bisik Mingyu.
“Maaf.... aku pikir akan sembuh cepat...” gumam Wonwoo.
“Wonwoo, lo jangan maksain diri yah? Istirahat dulu, gak papa soal kerjaan bisa gue kerjain.” Jennie duduk disampingnya, dan mengusap tangan Wonwoo.
Setelah observasi selama 4 jam, Wonwoo diperbolehkan pulang. Jennie pulang ke kantor, sementara dia bersama Mingyu pulang ke apartemen. Lengan Mingyu digenggam erat oleh Wonwoo, karena masih limbung ketika berjalan.
“Aku ke kantor lagi sebentar yah? Cuma ambil laptop dan jaket aku.” Ucap Mingyu, dan Wonwoo hanya mengangguk pelan, duduk di atas sofa biru mereka. “Mau beli makan apa? Apa mau bubur?” tanya Mingyu. “Bubur.... tapi bikin saja kamu yah.” ucap Wonwoo sembari merebahkan tubuhnya. Dia merasa lelah sekali. “Di kasur tidurnya, mau aku gendong?” Mingyu bersiap menggendong Wonwoo, namun ditolak langsung. “Aku gak papa, disini saja tidur sebentar.” Wonwoo senyum tipis, Mingyu mencium bibirnya. Lalu ia pergi kembali ke kantor.
Teman-teman Mingyu terlihat sedang berkumpul di satu meja, sambil memilih tempat makan yang akan di kunjungi. Mingyu muncul dan buru-buru merapihkan barang dia di meja kerjanya.
“Gyu, gimana Wonwoo?” tanya satu temannya.
“Udah pulang, gue gak jadi ikut yah? Gak mau ninggalin dia sendirian.” Jawab Mingyu, lalu menepuk pundaknya pamit duluan.
Sebelum pulang ke apartemen, Mingyu menyempatkan diri mampir ke minimarket membeli bahan untuk membuat bubur. Ini pertama kalinya Wonwoo sakit sampai pingsan di kantor. Mingyu cemas apalagi ditinggal sendirian saja sekarang di apartemen mereka. Panggilan Mingyu lama tidak segera di angkat oleh Wonwoo.
Tak lama Wonwoo menghubungi balik.
“Kak, sayang? Aku jalan pulang nih”
‘Iya... hati-hati’
“Kok suaranya makin lemas?”
‘Aku lapar hahaha.... ‘
Mingyu hapal itu bukan tawa biasa Wonwoo. Ia semakin gusar dan mulai nyetir tak sabaran. Terjebak macet, sementara sang kekasih terbaring lemas di apartemen, membuat emosinya naik. Beberapa kali nyalip sembarangan, menekan klakson keras-keras, sampai mobilnya ditendang pengendara motor karena hampir mencelakai mereka.
Pikirannya hanya berputar di Wonwoo. Wonwoo sedang sakit. Wonwoo sendirian. Wonwoo katanya ingin makan. Saat parkir pun mobilnya menabrak tiang pembatas. Membiarkan mobilnya lecet, Mingyu meraih barang bawaannya, dan bergegas menuju unit apartemen.
Saat sampai di unit, Wonwoo terlihat tidur di kasur sekarang. Sudah ganti pakaian, meringkuk dengan selimut menutupi kaki, nafas teratur dan tidur nyenyak. Mingyu lega, lalu ia taruh belanjaan di atas meja bar dapur, menaruh tas kerja, melemparkan jaket ke keranjang pakaian kotor. Setelah cuci tangan dan kaki, Mingyu menghampiri Wonwoo. Ia cium keningnya, masih terasa demam, dan ia benarkan posisi selimut tersebut.
“Ngu?” Wonwoo bangun.
“Mau tidur lagi, apa mau makan? Minum obat nanti jam sembilan soalnya.” Mingyu mengusap rambut Wonwoo lembut.
“Mau makan, aku lapar banget.” Wonwoo perlahan duduk dan senyum kecil.
“Bubur ayam?” Mingyu bangkit dan menuju dapur mereka.
“Hmm... buburnya agak kental yah!” Wonwoo menyusul.
Wonwoo melahap makan malam dengan riang, mendengarkan cerita Mingyu saat dia panik mendengar dirinya jatuh pingsan. Mingyu bilang, Jennie ada kirim pesan singkat, meminta dia agar menyuruh Wonwoo pulang karena terlihat pucat.
“Besok istirahat sehari yah?? Aku nanti yang hubungi atasan kamu deh.” Ucap Mingyu, sembari mengelap meja makan mereka. “Iyaa, gak papa aku saja yang hubungi beliau, kamu gak jadi yah dinner sama tim?” Wonwoo mengupas jeruk, tapi diraih Mingyu dan dia yang mengupas jeruk tersebut. “Itu bisa kapan kapan, yang utama kamu sayang.” Mingyu memberikan potongan buah jeruk kepada Wonwoo. “Makasih.... udah selalu jaga aku yah, Mingu.” Wonwoo senyum teduh dan langsung diberi ciuman lembut.
“Aku mandi dulu! Abis itu kita cuddle!” Mingyu menuju kamar mandi.
“Sabunnya abis, aku lupa belum refill!” Seru Wonwoo.
“Yaaa!” sahut Mingyu.
.
.
.
.
Kondisi Wonwoo membaik, tidak ada sakit kepala lagi, namun akhir-akhir ini dirinya merasa sering kelelahan. Wonwoo termasuk orang yang rajin berolahraga, kadang lari pagi bersama kekasihnya, dalam seminggu ia mampir tiga kali ke tempat gym, atau sekedar jalan kaki mengelilingi gedung unit apartemen. Namun kali ini, rasanya beda. Wonwoo jalan kaki satu putaran langsung lelah setelahnya.
Wonwoo minum, jantungnya berdebar aneh, kepalanya sedikit pusing, dia jadi lebih cepat kehabisan nafas. Apa karena pekerjaan dia yang sedang sibuk-sibuknya jadi tubuh dia mudah lelah. Wonwoo tidur di sofa, menunggu Mingyu pulang lembur di hari libur mereka. Suara pintu terbuka membuat Wonwoo bangkit dan menghampiri Mingyu. Akhirnya dia pulang.
“Kamu habis apa? Kok keringatan tumben?” Mingyu mencium bibir Wonwoo, sedikit heran.
“Abis jalan sebentar keliling gedung,” ucap Wonwoo, lalu mereka duduk di sofa.
“Sakit lagi kepalanya?” Mingyu cemas karena wajah Wonwoo pucat lagi.
“Nggak kok, aku gak papa, serius!” Wonwoo berniat ingin mandi, jadi dia pergi ke kamar mandi.
Mingyu menuju dapur, cuci tangan dan membuka kulkas. Makan malam apa yang akan ia buat untuk disantap bersama kali ini. Ada daging sapi yang Wonwoo beli siang tadi, lengkap dengan sayur dan beberapa cemilan. Mingyu menggeleng saat Wonwoo membeli banyak barang yang tidak ia catat. Selalu begitu. Wonwoo gampang lapar mata, apalagi kalau melihat diskon.
“Kamu beli banyak kiwi buat apa sayang?”
“Stroberi juga?? Mau aku buatin smoothie, yang?”
Wonwoo tak menjawab ucapan Mingyu. Sadar ini bukan hal biasanya, Mingyu berjalan cepat menuju kamar mandi, dan jantung dia hampir merosot saat melihat Wonwoo panik menghapus jejak noda merah di wastafel.
“Aku—aku aku gak papa—“
“Duduk.”
Mingyu membawa Wonwoo untuk duduk tegap di atas closet. Darah itu terus keluar dari hidungnya, meninggalkan bekas yang jelas pada kaos yang dipakai Wonwoo. “Sebentar, jangan nunduk.” Mingyu menekan hidung Wonwoo, sementara Wonwoo menyeka cairan merah itu dengan handuk kecil.
“Udah berapa kali?” Tanya Mingyu dengan suara bergetar.
“Baru kali ini....” bisik Wonwoo.
Seumur hidup Wonwoo, ia merasakan mimisan itu ketika ia masih kecil karena pernah demam tinggi. Baru sekarang dia kembali mimisan, tapi Wonwoo panik karena darah yang keluar sebanyak itu. Mingyu keluar menuju dapur lagi, mengambil es batu dan membalutnya dengan handuk kecil bersih.
“Besok pagi kita ke dokter.” Ucap Mingyu sambil mengompres hidung Wonwoo.
“Aku gak papa....” sahut Wonwoo pelan.
“Kamu mimisan, Wonwoo.” Mingyu sedikit marah.
“Tapi baru sekali, Mingyu.” Wonwoo menjauhkan tangan Mingyu dari hidungnya.
“Aku gak papa. Aku gak perlu ke dokter terus. Jangan berlebihan. “ Wonwoo menyalakan shower. Melepaskan pakaiannya.
“Aku mau mandi, kamu keluar.” Ujarnya sambil menutup pintu kaca.
Pakaian Wonwoo diraih oleh Mingyu, lalu dia keluar dan menutup pintu. Wonwoo berdiri dibawah aliran air dingin yang membasahi tubuh juga rambutnya. Wonwoo mengusap wajahnya perlahan, menghapus bekas darah dihidungnya. Namun ternyata cairan itu keluar lagi, menetes bercampur dengan air dari shower.
“Jangan lama mandinya, kak. Kita mau makan malam sebentar lagi.”
Makan malam terasa canggung dan tak ada obrolan seperti biasa. Wonwoo memandang punggung Mingyu yang sedang mencuci stroberi. Maksud Mingyu itu memang sebuah perhatian, tapi reaksi Wonwoo tadi mungkin membuat kekasihnya itu sedih.
“Aku minta maaf yah?” akhirnya Wonwoo berbicara.
“Aku tau maksud kamu itu adalah rasa khawatir, tapi reaksi aku tadi.... kasar yah?” Wonwoo menunduk, ia melihat buah stroberi yang sudah bersih disimpan di depannya.
“Aku panik, Wonwoo. Aku gak pernah liat orang yang mi—mi mimisan sebanyak tadi.” Mingyu matanya tampak menahan air mata.
“Kok nangis? Min, aku gak papa kok, sungguh.” Wonwoo menghampirinya. Lalu mereka berpelukan.
“Aku panik... maaf kalau berlebihan...” bisik Mingyu.
“Nggak... nggak gitu, maaf aku minta maaf.” Wonwoo mengusap punggung Mingyu.
Selesai mandi, Mingyu melihat Wonwoo sedang duduk di atas kasur dengan fokus tertuju kepada tab yang dilahunnya. Pria jangkung itu langsung ikut duduk disampingnya, mengintip apa yang tengah dilakukan oleh kekasihnya.
“Menghitung minggu kita ke Jepang akhirnya,” Wonwoo memandang Mingyu sambil senyum. “Cincinnya mau aku kasih disini apa nanti pas dibawah pohon bunga sakura?” goda Mingyu. “Orang lain ngasih kejutan, ini malah minta pendapat....” Wonwoo bersemu namun berdecik sebal. “Ya habis ketahuan duluan sama kamu!” Mingyu menutup tab milik Wonwoo, lalu menaruhnya disamping ranjang, membawa Wonwoo kedekapannya.
“Suruh siapa suka buka email dilaptop aku?” Wonwoo mengusap dagu Mingyu.
“Aku kasih kepercayaan aja, orang sama kamu kok.” Mingyu bergumam.
“Aku gak pernah naruh curiga apa pun, Ngu...” balas Wonwoo.
“I know baby, aku bagai akuarium yang bisa kamu lihat dari segala sisi.” Ucap Mingyu mengundang tawa Wonwoo.
“Kamu ini!!!!” Wonwoo mencubit hidung Mingyu.
Bibir mereka bertaut, memagut lembut, dan disela senyuman kecil. Mingyu berbisik cinta, disambut tawa Wonwoo yang lembut. Kening keduanya bersentuhan, hidung pun menekan satu sama lain, manik saling menatap lekat dan penuh binar pujaan.
“Apa pun yang akan aku lalui di esok hari dan seterusnya, aku harap aku bisa melaluinya bersama kamu, Mingu...” Wonwoo berbisik. “Terus sama aku yah? Jangan bosan.” Sambungnya.
Mingyu semakin mendekap Wonwoo, ia beri ribuan kecup manis dipucuk kepalanya yang wangi manis buah persik.
“Kita sudah lama menjadi kita. Kita satu raga, satu jiwa, walau kadang beda pendapat, tapi kita akan tetap satu, selamanya.” Ucap Mingyu .
.
.
.
.
Rintik hujan menerpa kaca mobil Mingyu yang menembus jalanan sunyi. Sekitarnya terdapat banyak pohon cemara basah karena hujan. Udara menjadi lebih dingin hingga mengundang kabut tipis. Seharusnya 3 hari ke depan, dia dan Wonwoo berpisah sementara karena kantor Wonwoo mengadakan family outing, namun Mingyu dihubungi jam 03.00 dini hari.
Wonwoo tumbang katanya. Dua kali mimisan, lalu pingsan.
Tapi pria itu tetap memaksakan diri untuk mengikuti kegiatan, dan ternyata itu keputusan yang salah. Wonwoo limbung, kepalanya terasa berputar, dan Jennie terkejut saat melihat ada noda merah pada jaket Wonwoo.
Awalnya Wonwoo akan dibawa ke fasyankes terdekat, namun menolak, dan meminta ingin pulang duluan saja. Ini hari pertama, mereka baru sampai tempat penginapan, memulai acara dengan sambutan atasan dan bakar jagung. Wonwoo mendadak tak enak badan. Ditambah suhu dingin yang rendah, membuat kondisi Wonwoo semakin buruk.
“Wonwoo....”
Mingyu menangkup pipi Wonwoo yang kesulitan membuka mata, namun kekasihnya itu tahu jika dia sudah datang.
“Barang Wonwoo sudah di mobil. Lo sendirian aja, Gyu? Kenapa gak ajak teman lo?” tanya Jennie, dia yang menghubungi Mingyu. “Gak papa, gue panik pas ditelpon langsung kesini.” Jawab Mingyu, suara dia sedikit bergetar.
Dibantu dua rekan kerjanya, Wonwoo dibopong masuk ke mobil Mingyu. Jennie sempat menawarkan diri untuk menemani mereka, namun ditolak oleh Mingyu. Katanya Wonwoo akan langsung dibawa ke Rumah Sakit, dan semuanya akan baik-baik saja walau Mingyu tidak ada yang mendampingi.
“Please hubungi gue segera kalau kondisi Wonwoo membaik. Hati-hati nyetirnya. Gue bisa temani kalian sungguh, nanti gue bisa balik kesini di antar Jongin.” Lirih Jennie yang dari awal sudah menangis. “Tentu, jangan khawatir, dan makasih udah jaga Wonwoo.” Mingyu mengusap lengannya, dan mereka bertukar pelukan sebentar.
Walau atasan Wonwoo meminta agar Jennie tetap ikut, Mingyu kekeh menolak, dan tetap mereka pulang hanya berdua. Wonwoo terus merintih, bergumam tidak jelas, membuat Mingyu semakin tak karuan rasanya. Ia menyesal mengizinkan Wonwoo ikut acara kantor, walau saat berangkat Wonwoo sangat semangat dan wajah dia cerah sekali. Tidak ada tanda akan sakit lagi. Apalagi sampai parah seperti sekarang.
Jarak tempuh menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam, Mingyu sampai di rumah sakit utama di kota tempat tinggal mereka. Sepanjang perjalanan, tangan Wonwoo terasa begitu dingin, lemas, berkeringat, tak dilepaskan walau hanya sebentar dari genggaman Mingyu. Sekitar tiga kali berhenti karena Wonwoo muntah, sehingga Mingyu harus membersihkan bekasnya.
Mobil Mingyu berhenti tepat di depan IGD dan berteriak minta tolong kepada perawat dan dokter jaga di sana. Keluar empat orang mendorong brankar, lalu Wonwoo direbahkan di atasnya, kemudian dimulai tindakan pertolongan pertama oleh dokter IGD. Mingyu mendekap erat jaket Wonwoo, menunggu sang kekasih yang sedang diperiksa.
“Wali pak Wonwoo boleh ikut saya.”
Mingyu dengan keadaan linglung dan masih memikirkan kondisi Wonwoo menghampiri perawat wanita yang menyodorkan beberapa lembar kertas yang perlu di isi.
“Bi—bisa tolong tuliskan mbak, maaf—tangan saya lemas.”
Perawat itu mengangguk dan Mingyu mulai menjawab semua pertanyaan untuk mengisi rekam medis Wonwoo. Selesai mengurus berkas, Mingyu menghampiri Wonwoo yang tidur tenang dengan bantuan oksigen. Ia hapus air mata yang tak kunjung berhenti membasahi wajahnya, lalu mendengarkan dokter yang menanyakan beberapa hal.
“Dalam tiga bulan ke belakang, pacar saya mengeluh sakit kepala... pernah demam tinggi, katanya mudah lelah padahal cuma naik tangga sebentar—terus beberapa kali mimisan juga...” tutur Mingyu.
Dokter jaga mengangguk dan meminta perawat mencatatnya. Mingyu perlahan meraih tangan Wonwoo yang dibalut infus. Ia remat lembut, ia kecup dua kali. Kenapa harus Wonwoo yang sakit. Kenapa tidak dia saja.
“Nanti siang pak Wonwoo akan di ambil darah untuk keperluan lab agar kami bisa menentukan diagnosis penyakitnya. Untuk sementara, kami nyatakan pak Wonwoo suspek demam tipoid. Kamar rawat inap sedang disiapkan, setelah selesai nanti langsung pindah yah.”
Tante Yejin dan Minghao juga Seokmin berjalan cepat di lorong rumah sakit menuju kamar ranap Wonwoo. Mingyu akhirnya memberitahu mereka perihal kondisi Wonwoo yang tengah terbaring sakit. Sekarang sudah jam 11.45 siang, namun hujan tak kunjung reda. Wonwoo masih tidur, dan demamnya turun, tapi saturasinya masih rendah.
“Mingyu...” tante Yejin masuk, dan memeluknya erat. “Harusnya kamu kasih tau tante dari awal kalau Wonwoo sering jatuh sakit.” Mingyu bergumam minta maaf, tante Yejin mengusap wajahnya. “Ada tante sekarang, jangan apa-apa berdua terus.” Tante Yejin duduk disamping Wonwoo, wanita itu mengusap punggung tangannya pelan.
Seokmin mengajak Mingyu untuk duduk di sofa bersama Minghao. Temannya itu membawa bekal makan siang karena tahu Mingyu pasti belum makan sama sekali.
“Minum dulu. Jangan khawatir semuanya akan lekas membaik, Gyu.” Minghao mengusap lututnya.
“Dia pas berangkat ceria banget—makanya gue kasih izin....” bisik Mingyu penuh sesal.
“Udah... lo jelek kalau nangis. Minum dulu Gyu, jangan sampai lo ikut sakit.” Seokmin memberinya sebotol air mineral.
Menjelang sore, hujan reda akhirnya. Mingyu melihat langit yang mendung kini perlahan cerah. Ia memandang Wonwoo yang masih tidur, dan ada tante Yejin menemaninya tertidur juga. Seokmin dan Minghao sedang pulang membawa keperluan Wonwoo selama di rawat nanti.
“Min......”
Mingyu dengan cepat duduk menghadap Wonwoo yang memanggilnya walau begitu lirih. Tangan mereka bertautan, tak lama mata Wonwoo terbuka dan Mingyu bernafas lega saat bertemu pandang dengan manik cantik itu.
“Sayang?” panggil Mingyu. Tante Yejin pun ikut bangun.
“Wonwoo? Nak, ini tante.” Tante Yejin mengusap rambut Wonwoo.
“Iya...” Wonwoo mengangguk kecil.
Wonwoo sudah sepenuhnya sadar, walau masih lemas dan tak sanggup bangun. Mingyu memberinya air hangat dan tersenyum saat Wonwoo menghabiskan hampir setengahnya.
“Haus sekali yah? Mimpi lari maraton kamu?” Mingyu mengusap bibir Wonwoo yang basah. “Aku gak mimpi apa-apa...” Wonwoo tersenyum tipis. “Tadi jam satuan, kamu di ambil darah buat diperiksa lab.” Kata tante Yejin. Wonwoo mengangguk pelan, dan sedikit batuk. “Aku tidur lama yah?” Wonwoo memandang jendela yang basah bekas hujan. Mingyu mengecup tangannya, dan Wonwoo senyum lagi.
“Maaf aku ngerepotin kamu terus yah, ngu?” bisik Wonwoo.
“Nggak, nggak pernah direpotin sama sekali aku.” Mingyu menggeleng.
“Tante makasih sudah jenguk aku yah?” Wonwoo menatap tante Yejin.
“Cepat sembuh, katanya kalian mau liburan ke Jepang?” ucap tante Yejin.
Wonwoo semakin sedih mengingat rencana liburan mereka yang sudah di depan mata. Menabung hampir satu tahun untuk merayakan anniversary kelima bersama Mingyu. Dilamar di bawah pohon bunga sakura. Tapi melihat keadaan sekarang—sepertinya akan tertunda.
“Jepang bisa nunggu kamu sembuh, kita langsung berangkat saat kamu udah sehat yah, sayang.” Mingyu mencium tangannya lagi.
Kamar ranap Wonwoo pada malam hari menjadi ramai karena dikunjungi teman Mingyu. Temannya juga. Suasana hangat membuat Wonwoo merasa lebih baik sekarang. Mingyu menyuapi Wonwoo puding lembut kesukaannya dan sudah habis dua cup kecil.
“Tadi aku lihat story Seungyoun lagi main arum jeram, aku iri, aku bisa ikut main kalau tidak sakit.” Wonwoo cemberut, Mingyu menyuapinya lagi.
“Gampang, nanti aku ajak kamu main wahana air apa pun, setelah sembuh.” Mingyu mengecup kilat ujung bibir Wonwoo.
“Aku catat wahana apa saja yang harus kita coba nanti.” Wonwoo senyum manis.
“Jennie udah kamu chat belum? Dia paling panik soalnya,” ucap Mingyu. Wonwoo langsung membuka ponsel dan tak lama panggilan dia diangkat Jennie.
Sahabat Wonwoo itu menangis kencang saat akhirnya dihubungi setelah tidak ada kabar dari pagi. Jennie menyeka air matanya, dan berbincang dengan Wonwoo lewat panggilan video. Ada beberapa rekan kerja yang lain menyapa Wonwoo, mereka kompak mengatakan akan menjenguk seusai acara selesai.
Mingyu sangat senang karena Wonwoo begitu disayang sama rekan-rekannya. Apalagi oleh Jennie. Dulu pas sakit pingsan di kantor, Jennie menjenguk Wonwoo ke apartemen mereka, membawa banyak makanan bahkan sampai ikut WFH. Awalnya Mingyu khawatir orang-orang akan jahat kepada Wonwoo, tapi rasa khawatir dia sekarang berganti jadi perasaan tenang dan lega. Wonwoo-nya banyak disayang.
“Udah dulu curcol soal si Jongin, Wonwoo mau tidur.” Mingyu merebut ponsel Wonwoo.
‘Wonwoo gue langsung ke RS nanti kalau semisal lo belum boleh pulang yah? Istirahat dulu, jangan mikir soal petty cash atau voucher!’
Wonwoo tertawa dan mengangguk lalu panggilan mereka berakhir. Kini hanya ada tante Yejin yang ikut menginap, sementara teman Mingyu pamit satu persatu karena jam besuk sudah habis. Mingyu membawa handuk hangat untuk membasuh wajah Wonwoo. Mingyu atur posisi ranjang Wonwoo sedikit tinggi, dan selimutnya ia rapihkan.
“Tante gak papa tidur di sofa?” ucap Wonwoo.
“Gak papa sayang, ini sofanya nyaman kok.” Sahut beliau.
“Kamu tidur gimana? Ranjangnya sempit yah?” Wonwoo memandang Mingyu yang sedang berbenah barang bawaan mereka.
“Aku bisa tidur sambil berdiri.” Canda Mingyu. Wonwoo tertawa.
“Takut yang ada kali, Gyu....” tante Yejin menggeleng dan merebahkan tubuhnya di sofa.
Selesai menata barang-barang, Mingyu duduk menghadap Wonwoo yang sudah tidur. Ia peluk perutnya, dan Wonwoo usap lembut rambut Mingyu. Deru nafas diperut Wonwoo menenangkan rasa khawatir Mingyu terhadap kondisi Wonwoo. Masih ada banyak hal yang ingin mereka berdua lakukan bersama. Mingyu ingin segalanya dilakukan bersama Wonwoo.
Asal ada Wonwoo. Bersama Wonwoo.
“Cepat sembuh... dunia menunggu kita untuk dijelajahi bersama, Wonwoo sayang.”
Sekitar pukul 10.15 pagi dokter akhirnya visit, juga membawa hasil lab Wonwoo. Setelah diperiksa Wonwoo belum diperbolehkan pulang karena ada pemeriksaan lebih lanjut. Soal hasil lab darahnya. Ada yang hasilnya tidak baik. Mingyu di ajak bicara di luar kamar, sementara Wonwoo bersama tante Yejin.
“Ada hasil laboratorium yang merujuk ke arah kanker, pak Mingyu.”
Entah apa yang Mingyu dengar selanjutnya, telinga dia berdengung. Gerak mulut dokter hanya dipandang kosong oleh Mingyu, tak berkedip, hanya berdiri melamun.
“Pak Mingyu? Apa anda mendengar saya?”
Mingyu menutup wajah menahan isak tangis dan emosi yang bergejolak didada.
“Mungkin hasil labnya salah, dok.” Ucap Mingyu ketus. Dokter perempuan itu tampak paham dengan reaksinya.
“Oleh sebab itu, kita perlu pemeriksaan lebih lanjut. Supaya diagnosisnya tepat, sehingga pak Wonwoo bisa mendapatkan perawatan yang tepat juga.” Tuturnya dengan sopan.
“Pacar saya hanya demam tipoid kata dokter jaga, kenapa tiba-tiba menjadi suspek kanker? Dokter tahu itu bukan penyakit candaan.” Mingyu mulai tak bisa mengontrol emosinya.
“Semua penyakit tidak untuk dibercandakan, pak Mingyu. Saya paham situasi ini mendadak anda terima, tapi saya harus tetap menyampaikannya karena kewajiban.” Ucap dokter itu masih tenang.
Mingyu perlahan runtuh, ia berlutut menghadap dinding dan menangis. Suara langkah kaki di lorong rumah sakit mengalihkan perhatian dokter tersebut, ada Jungkook dan Bambam yang panik melihat Mingyu menangis.
“Untuk pemeriksaan selanjutnya sudah saya agenda kan dengan dokter spesialis onkologi pada hari kamis, untuk sementara itu pak Wonwoo akan tetap dalam pengawasan kami.”
Dokter itu pamit bersama perawat untuk lanjut visit ke pasien lain. Jungkook mengajak Mingyu untuk bangkit, dan Bambam mencelos saat mendengar dokter spesialis onkologi. Spesialis penyakit kanker.
“Gyu...” Bambam menepuk bahunya.
“Dokternya bacot, Wonwoo gak perlu pemeriksaan sama dokter onkologi.” Mingyu menghapus air matanya. Ia memberikan lembar hasil laboratorium kepada Bambam.
Bambam membaca hasil pemeriksaan darah milik Wonwoo. Ada banyak kolom yang ditandai warna merah karena hasilnya melebihi batas normal. Mingyu masuk ke dalam kamar, disusul Jungkook yang tak bisa membuka mulut karena situasinya sangat kelabu.
Wonwoo tersenyum saat melihat Jungkook dan Bambam muncul dari belakang Mingyu. Mereka bersalaman sebentar, lalu bertanya soal kondisi yang dirasakan sekarang. Wonwoo bilang semuanya masih terasa lemas, dan dokter tidak memperbolehkan dia pulang.
“Apa kata dokter?” tanya Wonwoo pelan.
“Ada—ada pemeriksaan lain katanya.” Mingyu gemetar saat menjawabnya.
“Apa?” Wonwoo memandang Mingyu.
“Pemeriksaan untuk—untuk—“ Mingyu meremat tangan Wonwoo. “Untuk lebih jelas menentukan antara tipoid atau demam berdarah katanya.”
Tante Yejin menangkap sorot mata Mingyu yang redup, wanita itu menatap dua teman Mingyu. Bambam memberi kode untuk duduk di sofa, kemudian ketiganya berbincang pelan.
Mendengar penuturan Bambam membuat Tante Yejin syok dan berusaha tidak menangis. “Ini masih sementara, tante. Tapi agenda konsul dengan onkologi sudah ada, hari kamis katanya.” Bisik Bambam. Tante Yejin kini menatap Wonwoo yang sedang disuapi oleh Mingyu. Wajahnya memang masih bercahaya, manis, tapi sekarang jadi pucat. Sangat tidak adil baginya. Kenapa semesta perlahan mengambil kebahagiaan mereka.
“Kamu kok murung...” Wonwoo mengusap wajah Mingyu.
“Kamu lagi sakit mana semangat aku, sayang...” gumam Mingyu.
“Kata kamu ini cuma antara tipoid atau dbd... aku kan lagi dirawat sekarang, aku akan sembuh lagi.” Ucap Wonwoo sambil kedua tangan mereka bertautan.
“Tentu. Tentu saja. Ingat kamu banyak wishlist yang belum dicoret!” Mingyu mencium tangan Wonwoo.
“Yaaaa.... wishlist pertama adalah pulang dari RS dulu, hahaha... sumpek tau Ngu....” Wonwoo mencebik, Mingyu mengecup pipi Wonwoo.
Mingyu perlahan tak sanggup menahan tangisnya saat mendengar celotehan Wonwoo. Pikirannya berkelana mencari cara bagaimana memberitahu soal kondisi yang sesungguhnya. Mingyu yang tak terima malah berbohong. Tapi lambat laun, Wonwoo akan mengetahui. Mingyu berpikir mungkin Wonwoo ingin tahu lebih awal darinya, Wonwoo—akan kecewa. Tapi Mingyu belum sanggup mengatakan hal itu. Lagi pula, semua ini masih terkaan.
“Apa pun hasil pemeriksaan lusa nanti, Wonwoo.... ingat kita akan menjalaninya bersama, okay?” kata Mingyu tiba-tiba. Wonwoo mengedip beberapa kali, pria manis itu tersenyum dan mengangguk. “Ngu... kamu bicara seolah aku akan pergi jauh saja.” Mingyu jantungnya mendadak sakit, air matanya jatuh, namun sigap dihapus.
“Aku yang takut Wonwoo...”
Wonwoo meminta untuk berpelukan, lalu mereka saling memeluk erat. Mingyu menangis tanpa suara, air matanya membasahi bahu Wonwoo. Wonwoo senyum lagi, mengusap rambut Mingyu dengan lembut.
“Aku akan baik-baik saja.... aku akan sembuh lagi sayang.”
Mingyu tahu. Namun sesak didadanya membuat ia tidak bisa berbicara dan hanya menangis. Mengutuk diri karena marah tidak bisa berbuat apa pun di situasi yang sedang mereka hadapi. Mingyu hanya ingin melihat Wonwoo bahagia terus bersamanya. Tak menyangka jika hubungan mereka mulai diterpa badai. Mingyu tak pernah siap dengan semua itu.
.
.
.
.
Hari ini adalah jadwal Wonwoo untuk bertemu dengan dokter spesialis onkologi. Wonwoo belum tahu sampai hari itu tiba. Dari balik kacamata kotak yang dikenakan, Wonwoo tampak bingung dan—terus menatap Mingyu, tapi kekasihnya itu hanya diam, terus menunduk menghapus air mata.
“Perkenalkan nama saya dr. Changmin, sebelumnya apa pak Wonwoo sudah diberitahu perihal pertemuan kita?” ucapnya.
Wonwoo menggeleng pelan, namun ia masih berpikir baik. Jemarinya meremat kain selimut putih, mata Wonwoo melihat id card yang terkait dijas putih sang dokter, dr. Changmin, Sp.PD-KHOM. Pengetahuan umum Wonwoo luas, ia hapal dengan paramedis dan gelar spesialis mereka. Tak mengira dia akan bertemu salah satunya.
“Mungkin saya belum dirasa siap untuk tahu perihal kondisi saya dok.” Wonwoo menatap Mingyu. “Tapi saya siap mendengarkan apa yang terjadi dengan saya sekarang, dan—apa yang harus dilakukan....” ucap Wonwoo berusaha kuat.
Sang dokter mulai menerangkan kondisi Wonwoo, beliau menjelaskan hasil pemeriksaan laboratoriumnya, dengan bahasa yang mudah dipahami Wonwoo, menerangkan jika ada tiga hasil pemeriksaan darah yang melebihi batas normal, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
“Kami akan melakukan biopsi dan pengambilan sampel darah lagi sekarang, dan hasilnya akan keluar pada hari sabtu. Boleh dibantu agar pak Wonwoo tidur menyamping sebentar?”
Tante Yejin terisak pelan sambil mengusap lengan Wonwoo. Mingyu membantu Wonwoo secara perlahan menjadi posisi tidur menyamping kanan. Tangan mereka bertaut erat, Wonwoo gemetar begitu juga Mingyu. Tante Yejin mengusap punggung Mingyu yang duduk menghadap Wonwoo.
“Akan ada perasaan tidak nyaman sedikit, tahan sebentar.”
Jemari Wonwoo mencengkram kuat tangan Mingyu. Cukup sakit. Hingga membuatnya menangis, Mingyu hapus air mata Wonwoo, dan menangkup wajahnya.
“Sa—sakit...” lirih Wonwoo.
“Sebentar sayang, sebentar lagi...” bisik Mingyu.
Mingyu melihat bagaimana dokter itu mengambil sampel berupa cairan dari punggung Wonwoo. Rintihan Wonwoo semakin terdengar, Mingyu langsung menenangkannya, mencium pelipisnya.
“Wonwoo sayang...” bisik Mingyu.
Dokter selesai mengambil sampel. Wonwoo memejamkan mata, dan nafasnya mulai teratur. Tante Yejin mengusap rambut Wonwoo yang basah karena keringat, wanita itu tersenyum menguatkannya.
“Sudah selesai. Hasil pemeriksaan biopsi akan saya terangkan jika sudah keluar, selama menunggu, pak Wonwoo harus banyak istirahat, dan masih belum bisa pulang ke rumah.”
Kamar ranap Wonwoo kini sunyi. Tante Yejin pergi keluar memberi waktu keduanya untuk berbicara. Mingyu menunduk, menautkan jemarinya dengan milik Wonwoo. Hilang sudah pertahanannya, pria itu menangis dan memeluk erat perut Wonwoo.
“Harusnya kamu jujur, Mingu...” ucap Wonwoo pelan. Mingyu hanya menangis. “Aku gak sanggup... kak....” lirihnya. Wonwoo kini ikut terisak, apalagi dirinya yang kini tahu. “Kalau sudah begini.... wishlist aku gak akan pernah kecoret yah?” gumam Wonwoo.
Mingyu mendongak, menatap Wonwoo. Air mata yang jatuh dipipinya dihapus Wonwoo. Kekasih Mingyu itu tersenyum.
“Kamu akan coret semua wishlist itu, Wonwoo.” Ucap Mingyu.
“Kalau aku sembuh.” Wonwoo mulai pesimis.
“Kamu akan sembuh.” Mingyu menumpu satu tangannya disamping pinggang Wonwoo.
“Kita belum tau hasilnya seperti apa, tapi aku pastikan kamu akan sembuh.” Mingyu mencium kening Wonwoo.
“Kamu ingat kita akan hadapi semua hal bersama,kan?” bisik Mingyu. Wonwoo mengangguk cepat.
“Kita akan hadapi bersama. Dalam kondisi apa pun, aku akan terus sama kamu, Wonwoo sayang.” Ujar Mingyu.
Wonwoo memeluk Mingyu, dan menangis lirih dipelukan. Jika ini adalah salah satu guncangan dalam hubungan mereka, Wonwoo harap semua akan berakhir dengan baik. Tak pernah bertengkar hebat, apalagi sampai bermain di belakang, hubungan Mingyu dan Wonwoo di jalani dengan penuh kebahagiaan dan kenangan indah.
Lalu mereka masuk ke masa guncangan badai. Tapi Wonwoo dan Mingyu yakin, semua ini akan mudah jika dihadapi bersama. Tidak akan ada yang bisa menggoyahkan hubungan mereka, cinta satu sama lain, bagi Mingyu Wonwoo adalah dunianya. Jika dunia Wonwoo runtuh, maka miliknya lebih hancur. Bagi Mingyu, Wonwoo adalah pusat segalanya. Wonwoo bukan sekedar belahan jiwa. Wonwoo itu seluruh jiwa Mingyu. Maka Mingyu dengan segenap hati, seluruh usaha akan ia lakukan untuk membuat Wonwoo tetap bahagia dan selalu ada bersamanya.
Selamanya.
Sampai akhir.
Mingyu menangis di depan dr. Changmin saat ia menerima hasil pemeriksaan biopsi dan test darah Wonwoo. Bahu yang biasa tegap itu kini lemas dan membungkuk. Memohon agar pemeriksaan dilakukan lagi. Tapi tidak ada jawaban dari dokter. Selembar kertas penuh tetesan air mata Mingyu itu memberi konfirmasi jika Wonwoo di diagnosis terkena Leukimia stadium 2.
“Prosedur untuk kemoterapi akan disampaikan oleh perawat nanti, dan jadwalnya sedang dipersiapkan.” Ucap dokter tersebut. “Jangan buat pasien merasa tertekan dengan hasilnya. Seluruh pasien kanker selalu menurun kondisinya karena kurang dukungan keluarganya.” Sambungnya. “Tidak ada hal lain yang diperlukan, selain perhatian dan dukungan kalian, saya tidak menyarankan untuk melakukan pengobatan lain di luar perawatan yang di lakukan oleh rumah sakit.”
Di luar ruang dokter, ada Eunwoo dan Jaehyun yang menunggu Mingyu. Mereka menunggu hampir 30 menit, samar ada isak tangis dan luapan emosi, namun kembali hening. Tak lama Mingyu keluar, matanya basah dan bengkak, ia remas hasil pemeriksaan tadi, tanpa bersuara pergi meninggalkan keduanya.
“Gyu....” panggil Jaehyun.
“Hikss.... AAARGHHHH!!”
Mingyu berteriak kencang, dan langsung dibungkam oleh Eunwoo. Teman-temannya itu tahu sendiri dengan luapan emosi Mingyu. Ia dipeluk erat dan ditepuk punggungnya, ditenangkan. Jaehyun baca lembar pemeriksaan itu, dan membaca tiga kata yang digaris bawahi.
“Kenapa—kenapa harus Wonwoo....”
“Kenapa Wonwoo.....”
“KENAPA HARUS WONWOO!”
Eunwoo meminta Mingyu agar tidak berteriak karena meraka berada di rumah sakit. Namun dia pun paham, hancur hatinya Mingyu pantas diluapkan dengan berteriak, walau—itu tidak mengubah kenyataan. Semuanya sudah terjadi. Dunia yang dibangun dengan indah itu, runtuh. Dunia Mingyu hancur, karena hal buruk menimpa dunianya. Wonwoo.
Kondisi Wonwoo memang tidak segera membaik, tadi malam sesak nafas, muntah 3x sampai ganti baju karena kotor, dan demam naik lagi. Bagaimana Mingyu harus menyampaikan semua ini jika melihat dunianya itu terbaring tak berdaya di atas ranjang dengan ragam alat medis ditubuh Wonwoo.
Jaehyun masuk terlebih dulu dan disusul Mingyu yang dirangkul Eunwoo. Wonwoo terbangun dari tidurnya, dan ditemani oleh Jennie. Tanpa perlu berbicara, Jennie menutup mulutnya menahan tangis. Wanita itu kembali duduk dengan lemas, dan terisak. Kenapa harus Wonwoo.
“Hai....” bisik Wonwoo. Mingyu berusaha tersenyum, namun tangisan langsung pecah. Perutnya dipeluk erat, kain selimutnya basah karena air mata Mingyu. Wonwoo perlahan mengusap rambut Mingyu, dan ikut menitihkan air mata.
“Kata kamu juga—aku akan sembuh, kan?” ucapnya pelan. Mingyu masih menangis tak menjawab. “Jangan bikin aku makin sedih....” bisik Wonwoo.
Mingyu perlahan mengangkat wajah basahnya, menatap Wonwoo yang bernafas pelan karena masih sesak. Ia hapus rintik air mata itu, lalu mencium kening Wonwoo lama. Hidung mereka bersentuhan, Wonwoo mengusap air mata Mingyu, menangkup wajahnya, dan langsung digenggam pergelangan tangan dia oleh Mingyu.
“Akan aku usahakan segala cara supaya kamu cepat sembuh. Aku janji, Wonwoo.”
“Atas nama Tuhan, aku berjanji Wonwoo.”
“Aku janji, aku janji.”
“Aku janji....”
Menghabiskan hampir dua minggu di rumah sakit, akhirnya Wonwoo diperbolehkan pulang, dan masih dalam pengawasan rumah sakit. Dia harus kembali kontrol tiga hari berikutnya dan memulai prosedur kemoterapi.
Mingyu memasangkan sendal pada kaki Wonwoo, merapihkan sweater abu yang dipakainya, memberikan kacamata kotak kesayangannya, dan menutup rambutnya dengan beanie hitam. Wonwoo tersenyum, dan pipinya dikecup Mingyu. Perlahan ia digendong dan duduk di atas kursi roda. Tante Yejin mengusap bahu Wonwoo, lalu mendorongnya keluar kamar. Mingyu dibantu Jungkook dan Seokmin yang sampai cuti tidak masuk kerja karena ingin membantu.
‘Wonwoooooo gue akan ke apart pulang kerja nanti yah?? Kalau bawa kue soes kesukaan lo boleh? Apa aja makanan yang gak boleh lo makan dulu? Sepi banget rasanya tiap nengok ke meja lo selalu kosong.... hikss...’
Wonwoo membalas pesan suara Jennie dengan pesan singkat di ruang obrolan mereka. Ia pun ingin segera fit kembali, bekerja lagi.... Wonwoo berhenti tersenyum mengingat kondisi dia sekarang. Tapi ia tidak akan menyerah, Wonwoo akan kembali bekerja seperti semula, dan sembuh.
“Aku boleh makan kue soes gak, Ngu??” Wonwoo menatap Mingyu yang meraih ponselnya. “Boleh... dokter tidak banyak melarang makanan apa pun kok.” Mingyu mengusap punggung tangannya. Wonwoo terlihat senang.
Mobilnya dibawa oleh Seokmin, tante Yejin duduk di depan, sementara Jungkook membawa mobilnya menyusul dibelakang. Wonwoo memandang keluar kaca mobil. Langit biru dengan sedikit awan, jajaran gedung pencakar yang lama tak ia lihat. Wonwoo masih ingin melihatnya. Banyak hal belum sempat dicoba dan diraih. Ia menatap Mingyu yang memandanginya.
“Nanti kita jalan-jalan yah, walau cuma di sekitar gedung kita, Ngu.” Wonwoo menyandarkan kepalanya ke bahu Mingyu.
“Iya sayang.” Mingyu mencium punggung tangannya.
“Harusnya... kita di Jepang yah sekarang?” gumam Wonwoo.
Mingyu mengeratkan genggaman tangan mereka. Apa pun yang diminta Wonwoo, jika dia sudah sembuh, akan dikabulkan. Pergi ke Jepang, main wahana air, segala sesuatu yang Wonwoo minta akan ia usahakan. Ini menjadi pematik optimis dan semangat keduanya.
Tante Yejin mendorong kursi roda Wonwoo memasuki unit apartemen yang ditinggalkan hampir 2 minggu itu. Sedikit berantakan karena Mingyu tak pulang sama sekali setelah Wonwoo di rawat di rumah sakit. Hanya teman-teman dia yang diminta tolong membawa pakaian mereka saja. Jadi belum sempat dirapihkan.
“Makasih semuanya.... maaf aku merepotkan kalian....” Wonwoo berterima kasih kepada Tante Yejin, juga Seokmin dan Jungkook.
“Semangat yah kak Wonwoo, jangan sungkan jika butuh bantuan kita, okay?” Seokmin memeluknya, lalu Jungkook.
“Gue gak merasa direpotkan kok, namanya teman harus saling membantu,kan?” ucap Jungkook dan senyum kecil. Wonwoo mengangguk.
“Nanti tante akan cari menu sehat masakan untuk kamu, dan jangan lupa beritahu jika kamu akan kemo yah? Tante akan ikut menemani kamu.” Tante Yejin mengusap pipi Wonwoo.
Mingyu dibantu dua temannya membersihkan apartemen mereka. Hadiah lomba family outing dari Jennie yang berupa air purifier langsung dipasang oleh Mingyu. Katanya dia susah payah menang lomba tersebut, semua demi Wonwoo. Seprai sudah diganti dan divakum, selimut baru, Mingyu buat nyaman dan bersih demi Wonwoo.
Jungkook menaruh tabung oksigen kecil disamping ranjang, dia bawa karena punya dan sempat dipakai oleh ayahnya. Untuk berjaga jika Wonwoo sesaknya kambuh. Seokmin membeli bantal hangat elektrik agar semakin membuat hangat Wonwoo, dan masih banyak hadiah hadiah dari yang lain. Wonwoo sempat bercanda jika itu seharusnya diberikan untuk kado pernikahan mereka. Wonwoo tersentuh dengan semua kebaikan mereka, dan ingin membalasnya suatu saat nanti.
“Nyaman? Bantalnya kurang?” Mingyu merebahkan Wonwoo di atas kasur mereka. “Cukup, makasih sayang.” Wonwoo nyaman dan rasanya hangat sekali. Beda dengan ranjang rumah sakit. “Aku mau mandi dulu yah?” Mingyu mengusap pipinya.
Kini hanya ada mereka berdua. Wonwoo sedang membaca buku, dan bersandar pada bantal yang disusun Mingyu. Ia sudah makan, minum obat, dan menunggu Mingyu yang sedang mencuci piring. Lampu-lampu mulai dimatikan Mingyu, menyisakan lampu kamar mereka saja.
Mingyu duduk perlahan disamping Wonwoo, mengintip apa yang dibaca Wonwoo. Sudah lama ia tidak melihatnya membaca buku karena sibuk bekerja. Mingyu sedang mencari hal apa saja yang bisa dilakukan oleh Wonwoo agar dia tidak bosan karena harus bed rest.
“Kamu tau gak? Mas Jeonghan ngasih lego buat kamu,” Mingyu mengusap lutut Wonwoo. “Masa?” Wonwoo menutup bukunya. “Bisa kamu susun selama bed rest tuh. Kamu jago nyusun lego.” Mingyu menunjuk Lego Bumblebee karya Wonwoo dulu yang dipajang di meja kerjanya.
“Banyak novel yang aku drop dari lama, bisa aku baca lagi sekarang.” Wonwoo menaruh novelnya ke atas nakas. “Selama nanti aku ke kantor, kamu sama tante Yejin dulu yah? Gak papa?” Mingyu mengusap jemarinya. “Iyaa... kamu gak dimarahin atasan? Kamu di RS terus selama aku sakit....” bisik Wonwoo. Mingyu menggeleng pelan, karena ia pun membawa pekerjaannya, tapi tetap tak selesai karena fokus pada Wonwoo.
Mingyu mengeluarkan kotak kecil berwarna merah hati. Ia buka dan ada dua buah cincin emas putih sederhana yang sudah lama disiapkan. Wonwoo mulai berlinang air mata, dia dulu hanya melihat fotonya saja karena email Mingyu dibuka olehnya, dan muncul gambar cincin itu.
“Aku cuma liat gambarnya saja.... ini yah bentuk aslinya...” Wonwoo mengusap dua cincin itu.
“Walau bukan dibawah pohon sakura, cincinnya tetap harus dipakai kamu.” Mingyu memasangkan cincin tersebut. Wonwoo tertawa kecil, pipinya bersemu juga basah karena menangis.
“Mingu.... dengan keadaan aku yang sekarang.... bukankah kita seharusnya menunda saja?” bisik Wonwoo.
“Apa alasan aku untuk menundanya? Menikah adalah tujuan kita, Wonwoo.” Mingyu mencium bibir Wonwoo, dan dibalas pagutan lembut.
Wonwoo menatap cincin tersebut, Mingyu pun kini mengenakannya, jemari mereka bertautan erat. Setidaknya, dunia mereka tak sepenuhnya runtuh. Badai yang menerpa hubungan Mingyu dan Wonwoo takkan pernah bisa memisahkan. Selalu ada jalan untuk tetap membuat kebahagiaan dan kenangan indah. Bersama Mingyu, semua halang rintang bisa Wonwoo lewati. Bersama Wonwoo juga Mingyu bisa tetap kuat dan akan terus berusaha melakukan apa pun agar Wonwoo tetap bisa disampingnya.
Wonwoo punya Mingyu yang menjadi bagian tujuan dia ingin lekas sembuh. Sementara Mingyu, akan tetap utuh dunianya selama Wonwoo masih bisa dia dekap dan ada disampingnya.
Apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka tidak ada?
Tbc.
Notes:
Maaf sebelumnya apabila ada kekeliruan mengenai alur fiksi ini, aku sudah semaksimal mungkin membaca banyak source agar tidak terlalu mengada-ngada hehehe :"D
Sisa 2 chapter lagi, semoga cepat selesai yah :"D
giyuuuu (Guest) on Chapter 1 Tue 08 Apr 2025 03:27PM UTC
Comment Actions
Eng (Guest) on Chapter 1 Sun 20 Apr 2025 03:46PM UTC
Comment Actions
nunu (Guest) on Chapter 1 Fri 02 May 2025 01:54PM UTC
Comment Actions
salsky (Guest) on Chapter 4 Sun 13 Jul 2025 05:46PM UTC
Comment Actions
Avocadosberries on Chapter 4 Mon 14 Jul 2025 04:12PM UTC
Comment Actions
L (Guest) on Chapter 4 Fri 18 Jul 2025 01:03AM UTC
Comment Actions