Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2025-04-05
Words:
3,861
Chapters:
1/1
Comments:
3
Kudos:
2
Hits:
27

Imbroglio

Summary:

Miyoshi sendiri merasa bersalah karena harus berbohong dan meninggalkan istrinya disaat dia sedang hamil muda. Apalah daya, tuntutan pekerjaannya mengharuskannya berpisah dengan sang istri. Tapi, ia berjanji mereka akan berkumpul lagi.

Notes:

Joker Game milik Koji Yanagi, saya hanya meminjam karakternya tanpa mengambil keuntungan materil apapun dari fanfiksi

Work Text:

Begitu shōji digeser, seekor jangkrik yang bertengger di bingkai pintu seketika melompat ke semak-semak. Semilir angin musim panas menyusup ke dalam rumah, membawa serta udara kering yang menyesakkan. Seorang perempuan berdiri di ambang pintu, tatapannya menerawang ke luar, di mana cuaca sedang terik-teriknya. 

Wanita tersebut mengayunkan kipas kertasnya ke atas dan ke bawah, berusaha mengusir rasa gerah yang enggan beranjak. Keringat menetes dari dagunya, menyerap ke dalam leher kimono yang mulai lembab. Wanita tersebut menghela napas, lalu melangkah ke luar, membiarkan cahaya matahari menusuk-nusuk wajahnya. Tanaman bambu di pekarangan bergemerisik, seakan tengah menari dalam belaian angin yang nyaris tak terasa.

Suara serangga— tepatnya jangkrik menjadi pertanda datangnya musim panas. Suara tersebut berpadu dengan suara air sungai yang letaknya tak jauh dari rumah. Sang wanita menyipitkan mata, menatap jalan setapak berdebu yang membentang di depan rumahnya. Tak ada siapa-siapa. Hanya bayang-bayang pohon yang bergoyang di atas tanah kering.

Seperti biasa, hanya sepi yang menemaninya. Suaminya masih sibuk di kantor pemerintahan dan baru akan pulang saat matahari mulai condong ke barat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Namun, menunggu tanpa melakukan sesuatu alias menyibukkan diri hanya akan membuat waktu terasa semakin lambat. 

Ia menghela napas, lalu melangkah ke gudang kecil di sudut rumah, kemudian mengambil sapu dari bambu yang sudah mulai usang. [Nama] mulai menyapu halaman, mengumpulkan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon sakura di tepi pagar. Debu tipis berterbangan di udara, menari bersama angin yang masih enggan membawa kesejukan. 

Suara gesekan sapu dengan tanah menjadi satu-satunya irama di tengah keheningan. Sesekali, [Nama] berhenti untuk menghapus keringat di pelipisnya, tatapannya menyapu pada jalan setapak yang tetap sunyi. Hanya desir angin dan nyanyian serangga musim panas yang mengisi kekosongan. 

Setelah selesai menyapu, perempuan itu meletakkan sapunya di bawah pohon, membiarkan angin membawa pergi sisa-sisa debu yang masih bertebaran di udara. Pandangannya kemudian jatuh pada pohon persik di sudut pekarangan. Buahnya mulai masak, kulitnya kini berwarna merah muda dengan semburat keemasan, seolah mengundang untuk segera dipetik.Ia tersenyum tipis. 

Ah, mungkin hari ini ia bisa membuat mochi dengan isian buah persik segar.

[Nama] bergegas mengambil keranjang yang terbuat dari anyaman rotan, lalu mulai memetik satu per satu buah yang tampak ranum. Tangannya dengan cekatan menyusuri ranting, memilih buah yang paling matang. Aroma manisnya menyebar di udara, bercampur dengan semilir angin musim panas. 

Saat tengah asyik memanen, kedua manik hitamnya menangkap sesuatu. Sepasang mata biru mengintip dari celah pagar kayu, penuh rasa ingin tahu. mengintip dengan sorot penuh rasa ingin tahu. Rambut cokelat gadis kecil itu tergerai dan sedikit berantakan karena tertiup angin. Ia mengenali sosok itu—Emma, putri semata wayang Amari.

Emma itu tampak ragu-ragu, kedua tangan mungilnya mencengkeram pagar seolah ingin mendekat, tetapi tidak berani melangkah. Perempuan itu menghela napas pelan, menyadari sesuatu.

Pasti Emma juga kesepian.

Sama seperti dirinya, gadis kecil itu ditinggalkan ayahnya yang sibuk bekerja. Amari, ayah Emma, dan Miyoshi, suaminya, sama-sama bekerja di kantor pemerintahan Jepang. 

Sang wanita tersenyum kemudian mengangkat salah satu buah persik yang baru dipetik dan mengulurkannya ke arah Emma. “Mau mencoba? Buahnya manis, lho.”

Emma masih ragu. Permata berwarna biru miliknya menatap buah persik yang terulur dan wajah [Nama] bergantian. Angin bertiup pelan, menggoyangkan helaian berbeda warna. Setelah beberapa detik, akhirnya Emma melonggarkan cengkramannya pada pagar kayu, lalu perlahan melangkah mendekat. Kedua tangan mungilnya terulur untuk mengambil buah persik tersebut dari tangan sang wanita. 

"Terima kasih..."

Perempuan itu tersenyum, mengamati bagaimana Emma memutar-mutar buah persik di tangannya sebelum akhirnya menggigitnya pelan. Air dari daging buah persik tersebut menetes di sudut bibir gadis kecil itu. Kedua matanya melebar, terkejut oleh rasa segar dan manis dari daging buah persik yang meledak di mulutnya.

“Enak?” tanya [Nama].

Emma mengangguk, kemudian menggigit lagi daging buah persik di tangannya, kali ini lebih lahap. Tingkah menggemaskan Emma membuat sang wanita terkekeh  

“Kau suka mochi?” tanya [Nama], sembari memasukkan beberapa buah persik ke dalam keranjang.

Gadis kecil itu menelan suapan terakhirnya sebelum menjawab, “suka!”

“Kalau begitu, Emma mau membantu bibi membuat mochi?” 

Mata biru itu berbinar. Tak perlu menunggu jawaban, Emma sudah melangkah masuk ke pekarangan, meninggalkan pagar kayu yang tadi sempat menjadi pembatas di antara mereka.

Emma baru pertama kalinya membuat mochi. [Nama] tau seumur-umur Emma belum terlalu terbiasa dengan makanan Jepang, wajar karena sang gadis kecil berasal dari Inggris dan belum lama pindah ke rumah depan rumahnya. Kau sendiri kaget saat Amari tiba-tiba membawa seorang anak kecil dari gendongan— yang kini menjadi ayah angkat Emma. Amari hanya berkata bahwa seorang teman memintanya untuk mengasuh Emma—dan sejak hari itu, gadis kecil berambut cokelat itu menjadi bagian dari hidupnya.

“Emma pernah makan mochi, belum?”

Rambut gadis kecil tersebut bergoyang saat ia menggelengkan kepala. “Belum pernah, bibi, memang rasanya seperti apa?” tanyanya. 

“Rasanya manis dan kenyal.” [nama] membelai surai coklat sang gadis, “Emma suka makanan manis, kan?” 

Emma menganggukkan kepala, “Iya, Bibi, Emma suka dessert!” 

Perempuan itu terkekeh. “Oh, kamu suka makanan manis? Berarti Emma pasti suka mochi.”

Ia menuntun gadis kecil itu ke dalam rumah, melewati lantai kayu yang menghangat di bawah terik matahari. Aroma teh yang masih tersisa dari pagi tadi samar tercium di udara. Ia menuntun Emma menuju dapur, kemudian [Nama] mulai menyiapkan bahan-bahan: tepung ketan, gula, dan buah persik yang telah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Emma memandang semua bahan di atas meja dengan rasa penasaran. Jari telunjuknya menyentuh tepung yang berserak di meja, lalu tertawa kecil saat butiran putih itu menempel di kulitnya. 

“Emma nanti membantu Bibi, mengisi adonan mochi ya.” kata perempuan itu seraya menyingsingkan lengan kimono agar lebih leluasa bergerak.

Gadis kecil itu mengangguk mantap, lalu duduk bersila di atas tatami. Ia menyimak dengan seksama saat perempuan itu mulai mencampur tepung dan air hangat, mengaduknya perlahan hingga membentuk adonan yang kenyal. Sesekali, ia menengadah, menatap wajah perempuan itu dengan rasa ingin tahu. 

“Bibi, kenapa mochi harus ditekan-tekan begini?” tanyanya sambil memperhatikan tangan [Nama] itu yang cekatan membentuk bulatan kecil.

“Supaya adonannya lembut dan kenyal.” jawabnya sambil tersenyum. 

Emma tertawa kecil, lalu mencoba meniru gerakan itu. Alih-alih membentuk bulatan yang rapi, mochi buatannya malah berbentuk lonjong tak beraturan. Ia mengerutkan kening, seakan merasa gagal.

Melihat itu, perempuan itu mengusap surai coklat milik Emma. “Tidak apa-apa, sayang, yang penting dibuat dengan cinta. Nanti rasanya tetap enak.”

Gadis kecil itu menatap hasil karyanya lagi, lalu tersenyum malu-malu. Perempuan itu selesai membuat mochi yang telah diisi oleh potongan buah persik yang telah direbus dengan gula. Perempuan itu menyodorkan satu kepada Emma. Gadis kecil itu menerimanya dan menggigitnya pelan. 

“Manis! Lembut! Kenyal!” serunya. 

Perempuan itu terkekeh. “Emma suka?”

Emma mengangguk cepat, pipinya menggelembung karena penuh dengan mochi.

Di luar, matahari mulai bergerak ke barat, melemparkan cahaya keemasan ke dalam ruangan. Angin musim panas berembus lembut melewati celah shōji, membawa serta suara jangkrik yang mulai bernyanyi di kejauhan. [Nama] membungkus sekitar sepuluh buah mochi untuk Emma. Keduanya duduk di teras, menikmati sore ditemani sepiring mochi dan teh hijau hangat. Menunggu kepulangan orang yang mereka sayangi.

“Sayang aku pulang.” terdengar suara langkah kaki dari pintu depan, Miyoshi melangkah masuk, melepaskan sepatunya. 

Hawa musim panas masih melekat di tubuhnya, sisa-sisa panas dari perjalanan pulang terasa membakar kulit. Miyoshi tolah-toleh karena suasana di ruang tamu sepi. Kemana perginya sang istri? Keningnya berkerut. Ia bisa mendengar suara perempuan bercakap-cakap di halaman belakang. Langkahnya beranjak ke sana, melewati koridor rumah yang kini diterangi cahaya senja.

Di teras belakang, Istrinya duduk bersimpuh dengan, tangan kanannya membelai rambut Emma yang bersandar di pangkuannya. Gadis kecil itu tampak mengantuk, kelopak matanya mengerjap lamban, di sebelahnya tersisa beberapa mochi yang belum sempat ia habiskan.

“Apa aku melewatkan sesuatu?” tanya Miyoshi. 

Perempuan itu menoleh, tatapannya melembut saat melihat suaminya berdiri di ambang pintu. “Emma membantuku membuat mochi,” jawabnya, “dan dia menyukainya.”

Emma menggeliat, setengah terjaga. Gadis kecil itu mengucek matanya, lalu menatap Miyoshi dengan tatapan sayu karena mengantuk. “Paman …” lirihnya.

Miyoshi terkekeh, lalu berjongkok di hadapan mereka. “Jadi, bagaimana rasanya membuat mochi sendiri?” tanyanya.

Gadis kecil itu tersenyum lebar, kantuknya seketika menghilang. “Seru! Mochi buatan Bibi enak!” serunya. 

Sementara itu, di rumah sebelah, Amari berdiri di depan pintunya dengan kening berkerut. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, dan biasanya Emma akan berlari menyambutnya di depan rumah.

“Emma?” panggilnya, melongok ke dalam rumah. Tak ada jawaban. Ia mendesah, melepaskan mantel dan melonggarkan kerah kemejanya. 

Perasaan cemas mulai menjalar di benaknya, meski ia tahu gadis kecil itu tak mungkin pergi jauh. Amari pun melangkah keluar, menyusuri jalan setapak yang menghubungkan rumahnya dengan rumah sebelah. Begitu tiba di depan pagar kayu, ia mendengar suara tawa gadis kecil itu. Emma. Pandangan Amari beralih ke halaman belakang rumah Miyoshi. Ia melihat putri angkatnya tengah duduk di teras, masih menggenggam sisa mochi di tangannya.

Miyoshi baru saja hendak duduk di samping istrinya ketika suara langkah tergesa terdengar dari sisi rumah. Tak lama kemudian, sosok tinggi dengan wajah sedikit panik muncul di ambang pintu.

“Emma?” suara Amari terdengar cemas, napasnya sedikit terengah seperti habis berlari. Manik coklat miliknya segera menangkap sosok gadis kecil itu yang tengah duduk di teras, masih dengan sisa mochi di tangannya.

Emma menoleh dan langsung tersenyum cerah. “Papa!” serunya. Gadis kecil tersebut bergegas berdiri dan berlari kecil ke arahnya. 

Amari berjongkok, menyambut gadis kecil itu dalam pelukannya. “Kau di sini rupanya,” gumamnya, “Papa tadi mencarimu.”

Emma menatapnya dengan mata berbinar. “Emma tadi membuat mochi, Papa! Lihat!” Ia mengangkat bungkusan yang diberikan oleh [Nama]. “Bibi yang mengajariku!”

Amari menatap bungkusan itu, lalu menghela napas lega. Setelah memastikan Emma baik-baik saja, ia mendongak dan menatap Miyoshi serta istrinya. “Terima kasih sudah menjaga Emma.”

“Emma anak yang manis. Kami senang menghabiskan waktu dengannya.” balas [Nama].

“Kalau begitu,” Amari mengangkat tubuh mungil Emma, “Emma mau pulang sekarang?”

Emma menolehkan kepala, menatap [Nama] dan Miyoshi bergantian. “Boleh Emma main ke sini lagi besok?” tanyanya.

Perempuan itu tertawa kecil. “Tentu saja, sayang.”

“Baiklah, ayo kita pulang,” katanya, Amari berpamitan pada mereka sebelum membawa Emma pulang. 

Emma memeluk bungkusan mochinya erat-erat. “Papa harus coba ini, ya!”

“Iya sayang, papa akan mencobanya.

 


 

Cahaya berwarna oranye dari lampu minyak menerangi ruangan meski hanya remang-remang. [Nama] dan Miyoshi duduk di atas zabuton, menikmati hidangan yang tersaji di hadapan mereka. Di atas meja, berbagai makanan tersusun rapi, termasuk mochi yang dibuat bersama Emma tadi siang.

 Tahu goreng di atas piring terlihat menggoda, bahkan asap masih mengepul dari permukaan tahu tersebut. Miyoshi meraihnya dengan sumpit, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya gurih dan lembut di dalam, berpadu sempurna dengan renyahnya lapisan luar. Masakan istrinya tak pernah gagal memanjakan lidahnya. Sesaat, Miyoshi melirik ke arah sang istri yang tengah menyantap donburi dengan tenang.

Miyoshi hendak membuka suara, namun sebelum sempat mengucapkan sepatah kata pun, [Nama] tiba-tiba meletakkan sumpitnya. "Aku punya kabar bagus," ujar sang wanita. 

Kedua alis Miyoshi terangkat, menanti jawaban yang keluar dari belah bibir ranum milik sang istri. “Kabar apa, sayang?” tanyanya. 

“Aku hamil.”

Waktu seakan berhenti sejenak. Miyoshi menatap lekat-lekat benik berwarna coklat tua milik sang gadis, sementara tangan kanannya menggenggam kuat-kuat sumpit di atas mangkuk. Henjng menjembatani mereka, hanya ada suara lampu minyak yang berderak menemani momen itu. 

Tidak lama, senyum perlahan merekah di wajahnya. Ia meletakkan sumpitnya di atas tatakan sumpit, kemudian sang lelaki menggenggam tangan istrinya. “Benarkah?” tanya Miyoshi. Penantian mereka selama hampir lima tahun akhirnya terkabul. 

[Nama] mengangguk, manik coklat tua miliknya berbinar dan memantulkan bayangan wajah Miyoshi yang tersenyum haru. "Iya, aku baru mengetahuinya hari ini." 

Miyoshi segera merengkuh istrinya, sayang seribu sayang, dibalik momen bahagia tersebut ada sesuatu yang membuat sang lelaki merasa gelisah. Ia menunduk sejenak, kedua tangannya mengepal di atas pahanya.

"Ada apa?" [Nama] bertanya saat melihat perubahan ekspresi suaminya dari bahagia menjadi sedih. 

Miyoshi menarik napas dalam sebelum menatapnya kembali. "Aku sangat senang mendengar kabar bahwa kita akan punya momongan, tapi…" Ia terdiam sesaat, seakan ragu untuk melanjutkan. "Aku harus melakukan perjalanan dinas ke luar negeri dalam waktu dekat. Ini bukan perjalanan singkat—aku mungkin akan pergi selama beberapa bulan."

 "Oh…”

“ Maaf, sayang. Aku ingin selalu berada ada di sisimu. Tapi tugas ini…” 

“Tidak apa-apa. Kita akan baik-baik saja. Aku bisa melewati ini… dan kau juga akan kembali sebelum kelahiran, kan?”

Miyoshi mengulurkan tangan, menggenggam tangan istrinya dengan erat. "Aku akan pastikan semuanya berjalan dengan baik. Aku akan ada di sisimu, bagaimanapun caranya.”

Miyoshi terdiam sejenak, lalu mengangguk mantap. “Tentu saja. Aku tidak akan melewatkan momen itu.”

Beberapa minggu setelah kabar kehamilan itu, pagi yang dinanti sekaligus ditakuti akhirnya tiba. Udara musim gugur terasa sejuk, menyisakan embun tipis di kaca jendela. Di halaman rumah, sebuah kereta kuda sudah terparkir. Sang kusir membantu menaikkan koper kini telah tertata rapi di atasnya.

Miyoshi berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel panjang dengan syal melilit lehernya. Tatapan matanya tak lepas dari sosok istrinya yang berdiri di dekatnya, mengusap perutnya yang masih datar dengan gerakan lembut.

“Kau sudah menyiapkan semuanya?” tanya [Nama], suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.

Miyoshi mengangguk. “Ya. Semua dokumen dan kebutuhan perjalanan sudah siap.”

Hening sejenak. Keduanya hanya berdiri berhadapan, seakan ingin mengukir momen ini dalam ingatan.

Miyoshi akhirnya mendekat, lalu menangkup wajah manis istrinya. “Aku akan menulis surat sesering mungkin. Dan kalau ada apa-apa, Amari bisa membantumu.”

[Nama] tersenyum kecil, meski sorot matanya menyimpan kesedihan. “Aku tahu. Tapi tetap saja, rasanya berat melepasmu pergi…”

Miyoshi menelan ludah, menahan dorongan untuk membatalkan semuanya. Tapi tugas adalah tugas.

Ia menarik istrinya ke dalam pelukan erat, membiarkan kehangatan itu menyalurkan semua perasaannya. “Aku akan kembali sebelum anak kita lahir. Aku berjanji.”

[Nama] mengangguk di bahunya, menggenggam kuat mantel suaminya.

Tak jauh darinya, Amari sedang berjongkok, merapikan syal kecil di leher Emma. Gadis kecil itu memeluk boneka kain kesayangannya, ekspresinya bingung dan sedikit gelisah. 

“Papa, jangan tinggalin Emma.” rengek gadis kecil tersebut. 

[Nama] berlutut di hadapan Emma, menggenggam tangan mungilnya dengan lembut. “Emma sayang, selama Papa pergi, kau akan tinggal di sini bersamaku, ya?”

Emma mendongak, manik birunya menatap wajah Amari seolah meminta kepastian. Amari tersenyum dan mengusap kepala putrinya. “Papa harus pergi sebentar untuk bekerja, tapi kau aman bersama Bibi. Jangan nakal, ya?”

Emma menggigit bibirnya, lalu perlahan mengangguk. 

Miyoshi menatap Amari. “Jadi tugasmu di mana?”

Amari menghela napas. “Ke Shanghai. Mungkin tidak selama perjalananmu ke Prancis, tapi tetap beberapa bulan.” Ia lalu menoleh ke [Nama]. “Aku tidak punya pilihan lain selain menitipkan Emma padamu. Aku tahu ini bukan hal mudah, apalagi dengan kondisimu sekarang…”

[Nama] menggeleng dan tersenyum lembut. “Emma sudah seperti keluarga bagi kami. Aku akan menjaganya sebaik mungkin.”

Amari mengangguk, “terima kasih, [Nama].” lelaki tersebut kemudian berjongkok, merengkuh Emma dalam pelukan erat. “Papa akan segera kembali. Jadi, jadilah anak baik, ya?”

Emma memeluknya kuat-kuat, lalu menggumam, “Jangan lama-lama, ya, Papa…”

Amari menahan napas, menekan gejolak di dadanya. “Aku akan berusaha.”

Tak lama, suara kusir kereta memecah keheningan. “Tuan Miyoshi, Tuan Amari, waktunya berangkat.”

Saat roda kereta mulai bergerak, membawa mereka ke perjalanan panjang masing-masing, angin musim gugur bertiup —membawa doa dan harapan agar semua yang pergi dapat kembali dengan selamat.

 


 

Miyoshi baru saja tiba di Prancis ketika gemerlap lampu kota Paris menyambutnya dengan sinar temaram. Begitu memasuki kamar motel sederhana yang telah disiapkan untuknya, ia meletakkan koper di dekat ranjang. 

Suara lonceng gereja berdentang dari kejauhan, berpadu dengan derap langkah pejalan kaki di jalanan berbatu di bawah sana. Miyoshi tak punya waktu untuk menikmati pesona kota itu. Setibanya di kamar, ia merogoh saku jasnya, mengambil sebuah amplop kecil yang nampak seperti surat biasa tetapi bukan. Isi surat tersebut bukanlah pesan rindu dari sang istri melainkan pesan dari D-Agency.

Miyoshi merobek segel tersebut, kemudian memiringkan amplop supaya kertas tipis di dalamnya meluncur ke telapak tangannya. Huruf-huruf rapi tertata di atas kertas berwarna gading, ditulis menggunakan sandi yang hanya bisa dipahami oleh para agen.. 

Kepada Agen, 'Miyoshi',

Tugas utama:

Menyusup ke dalam lingkungan administrasi sipil pemerintahan Prancis dengan identitas baru sebagai Hideo Aoyama, pegawai arsip di departemen hubungan luar negeri.

Mengamati pergerakan diplomatik terkait aliansi Prancis dengan Amerika, Inggris, Uni Soviet, dan dua negara lainnya. 

Mengidentifikasi celah dalam komunikasi mereka, terutama dalam perundingan strategi pertahanan Eropa.

 

 

Miyoshi membaca pesan itu dengan saksama, lalu meremas kertas itu di antara jemarinya sebelum memasukkannya ke dalam lilin yang menyala di meja. Dalam hitungan detik, api melalapnya, meninggalkan abu yang berjatuhan di piring kecil. 

Lelaki berambut coklat tersebut menghembuskan napas. Manik coklat miliknya menatap pantulan dirinya di cermin kamar—sosok pria yang kini bukan lagi sekadar pegawai pemerintahan bayangan, melainkan bidak dalam permainan politik tingkat tinggi. Pierre Lemoine dan Jean Moreau—dua nama yang kini menjadi pusat perhatiannya. Dalam beberapa hari ke depan, ia harus menemukan cara untuk mendekati mereka tanpa menimbulkan kecurigaan.

Miyoshi mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jasnya, menarik sebatang dan menjepitnya di antara belah bibir. Ia mengambil korek api dari atas meja dan menyalakannya, sebelum akhirnya membakar ujung rokok yang diapit oleh jari telunjuk dan jari tengah. Ia menghisap dalam-dalam, membiarkan asapnya mengisi paru-paru sebelum menghembuskannya ke udara. Asap putih bergerak di bawah cahaya lampu kamar, melayang-layang sebelum lenyap dalam bayangan malam.

Miyoshi membiarkan punggungnya bersandar pada kursi, sebelah tangan menangkup rokok sementara matanya menerawang ke luar jendela. Kota Paris di malam hari tampak hidup, lampu-lampu jalan berpendar di trotoar basah setelah hujan sore tadi. Dari kejauhan, ia melihat menara Eiffel, berdiri megah di bawah langit gelap. 

Pierre Lemoine, Jean Moreau, dan dokumen yang harus didapatkan—semuanya berkelindan dalam kepulan asap rokok yang menguar dari bibirnya. Sudah berapa hari sejak ia meninggalkan rumah? Hanya lima hari, tapi rasanya lebih lama. Ia bisa membayangkan wajah istrinya saat melepasnya pergi. 

Ia menghela napas pelan, menekan ujung rokok ke asbak hingga bara merahnya padam, lalu meraih kertas dan pena dari laci meja. 

Kepada istriku tersayang,

Aku sudah tiba dengan selamat di Paris dan mulai menyesuaikan diri di sini. Kota ini indah, terutama saat malam, ketika lampu-lampu jalan memantulkan cahaya di trotoar basah. Suasananya mengingatkanku pada hujan di Kyoto. 

Besok aku mulai bekerja di pemerintahan Prancis. Sepertinya jadwalnya akan cukup padat, tapi aku akan mengusahakan untuk tetap menulis sesekali. Sesuai rencana, aku akan kembali dalam tiga bulan. Aku harap semuanya berjalan lancar.

Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja di rumah? Aku tahu kau bisa menjaga dirimu sendiri, tapi tetap saja, aku khawatir. Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengurus pekerjaan rumah, dan jangan lupa makan, ingat itu. Aku ingin kau dan bayi kita dalam keadaan sehat saat aku kembali.

Jaga dirimu baik-baik. Aku merindukanmu.

Miyoshi

 

Ia membaca ulang suratnya sebelum melipatnya dengan rapi. Tidak ada yang mencurigakan, hanya seorang suami yang memberi kabar kepada istrinya. Miyoshi memasukkan surat itu ke dalam amplop, menulis alamat rumah mereka di bagian depan, lalu meletakkannya di atas meja. Besok pagi, ia akan mengirimkannya sebelum mulai bekerja. Malam semakin larut, dan besok adalah hari pertama dari tiga bulan panjang ke depan.

 


 

Akhirnya, tugas Miyoshi selesai. Ia akan segera kembali ke Jepang. Lelaki itu berdiri di dermaga, berbaris untuk naik ke atas kapal. Koper miliknya penuh berisi oleh-oleh. Perjalanan dari Prancis ke Jepang akan memakan waktu sekitar 45 hari. Angin laut membawa aroma asin air laut. Miyoshi menatap lautan luas dihadapannya—hamparan biru yang akan mengantarnya pulang. 

Di tangannya, ia menggenggam secarik kertas: foto sang istri. 

Ia akan segera kembali ke Jepang— sebelum kelahiran buah hati mereka. Perlahan, kapal mulai menjauh dari dermaga. Miyoshi berdiri di tepi dek, menyaksikan daratan yang semakin mengecil. Sembari kapal mengarungi lautan, Miyoshi tetap memandangi foto itu. Senyum istrinya di dalam gambar terasa hidup—seolah menenangkannya dari kejauhan. Ia mengusap permukaan foto itu perlahan, seperti ingin menghapus jarak yang terbentang di antara mereka.

“Bertahanlah sebentar lagi,” lirih Miyoshi. 

Di sekelilingnya, penumpang lain mulai beradaptasi dengan ruang sempit di kapal. Ada yang tertidur, ada pula yang larut dalam percakapan. Akan tetapi Miyoshi memilih diam. Lautan tampak tenang malam itu. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, seakan menyinari jalan pulang. Miyoshi berharap agar waktu cepat berlalu, agar ia tiba sebelum tangis pertama anak mereka pecah di dunia. Empat puluh lima hari berlalu. Kapal akhirnya merapat di pelabuhan Yokohama. Langit pagi tampak cerah, Miyoshi turun dari kapal, membawa koper miliknya. 

Tanpa banyak bicara, ia langsung menuju rumah—tempat yang selama ini menjadi tujuannya, tempat istrinya menunggu bersama buah hati mereka. Sesampainya di sana, langkahnya terhenti. Gerbang kayu rumah itu terbuka setengah, berdecit pelan kala tertiup angin. Halamannya dipenuhi daun-daun kering yang berserakan. Dan ketika Miyoshi mendorong pintu masuk, hatinya seakan diremuk. Rumah itu kosong. Sunyi. Dindingnya retak, sebagian perabot pecah berserakan di lantai. Debu menutup permukaan meja, dan tirai yang robek melambai lemas di jendela yang pecah. Tak ada suara. Tak ada tangis bayi. Tak ada sosok istrinya yang dia rindukan.

Miyoshi berdiri terpaku di tengah ruangan, foto sang istri masih ia genggam erat di tangan. Dunia seperti berhenti berputar. Ia tak tahu apa yang terjadi selama ia pergi—namun satu hal pasti: dia terlambat. Miyoshi masih terpaku di ambang pintu, pandangannya menyapu ruangan yang telah hancur karena perang. Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki mendekat.

“Miyoshi! Akhirnya kau kembali …” 

Miyoshi menoleh, dan terlihatlah tetangga sekaligus rekan kerjanya, Amari. Lelaki itu biasanya selalu berpakaian rapi dan bagus, tapi kini pakaian yang dikenakannya terlihat lusuh.

“Amari-san?”

Amari mengangguk pelan, nafasnya memburu setelah berlari. “Kau kembali… Syukurlah… Tapi kenapa tak ada kabar? Kami pikir kau—”

“Apa yang terjadi?” potong Miyoshi. “Rumah ini… istriku… anakku… dimana mereka?!”

“Aku lebih dulu tiba di Jepang, saat aku sampai disini, keadaan Tokyo sudah porak-poranda. Aku-pun segera mencari Emma. Dia bercerita, tidak lama setelah kita berangkat, Tokyo dibombardir. Serangan udara dari Sekutu menghantam banyak distrik, termasuk wilayah ini. Rumah-rumah terbakar. Banyak yang mengungsi… termasuk istrimu. Ia sempat ditampung di pusat evakuasi di Saitama.”

Jantung Miyoshi berdegup kencang.

“Dia selamat waktu itu. Tapi… bulan lalu, ketika ia hendak melahirkan, pusat evakuasi diserang. Banyak korban berjatuhan… termasuk istrimu.”

Miyoshi mencengkeram kuat-kuat foto di tangannya. “Lalu… anakku?”

"Bidan setempat berhasil menyelamatkannya. Bayi itu kini diasuh oleh relawan Palang Merah. Mereka mengevakuasi anak-anak ke desa Amano, agar lebih aman dari serangan udara.”

“Bidan setempat berhasil menyelamatkannya. Bayi itu kini diasuh oleh relawan Palang Merah. Mereka mengevakuasi anak-anak ke desa Amano, agar lebih aman dari serangan udara.”

Miyoshi menunduk. Dunia terasa begitu hening—sepi seperti reruntuhan yang ia pijak. Ia telah melewati benua dan samudra, berharap pulang pada keluarga yang utuh, hanya untuk menyadari bahwa peperangan telah merenggut sebagian jiwanya.

Namun… tidak semuanya hilang.

Anaknya masih hidup.

Miyoshi menyusuri jalanan desa, ia harus berhati-hati agar tidak terkena puing bangunan atau menginjak granat yang bisa saja masih aktif. Angin sore bertiup, membawa aroma tanah basah dan abu sisa serangan. Butuh waktu lama hingga Miyoshi tiba di sebuah bangunan sederhana di kaki bukit, bekas sekolah dasar yang kini diubah menjadi tempat penampungan anak-anak korban perang. Di halaman, anak-anak berlarian meski kaki mereka tak bersandal, tawa kecil mereka seakan menjadi pelita di gelapnya dunia yang masih berduka. 

Ada seorang bayi laki-laki yang tengah digendong oleh seorang relawan perempuan. Bayi tersebut menangis. Miyoshi berhenti beberapa langkah dari mereka. Tangannya gemetar ketika mengeluarkan foto istrinya dari saku jaketnya. Ia menunjukkan foto itu pada sang relawan.

"Anak ini… apakah dia putra dari [Nama]?" tanyanya. 

Sang relawan terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya. Kau … suaminya?”

Miyoshi tak sanggup menjawab. Manik coklat miliknya berkaca-kaca saat relawan itu menyerahkan bayi mungil itu ke pelukannya. Tangisan sang bayi seketika reda, seolah mengenali sosok ayahnya sendiri. “[Nama]… aku di sini,” lirih Miyoshi. 

“Aku akan menjaganya,” Miyoshi berjanji, “aku akan menjadi ayah yang baik. Untuk dia, dan untuk ibunya.”

Saat itu, terdengar ledakan dari kejauhan, suara perang yang masih menggema di dunia luar. Bagi Miyoshi, suara itu tak lagi mengganggu. Ia telah menemukan harapan di tengah kehancuran. Ia memiliki anak yang harus ia lindungi. Ia memiliki alasan untuk bertahan. []