Actions

Work Header

Love Potion

Summary:

Hyuntak mendapat jalan untuk mengakhiri cinta bertepuk sebelah tangannya pada Humin, tapi saat hari eksekusi tiba, sebuah kekacauan muncul dalam nama Seongje. Sekarang Hyuntak harus memastikan untuk mengembalikan segalanya ke tempat semula sebelum tiga puluh hari berlalu.

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Chapter Text

   Hyuntak memanglah sosok yang mudah tersulut emosinya—sumbu pendek, jika menganut bahasa teman-temannya. Tapi, ia bukanlah orang yang akan meledak, berteriak dengan wajah merah padam hanya karena amarah. Karenanya, saat Hyuntak berteriak keras pada Seongje yang tengah berebut botol setengah kosong dengan Juntae, semua orang tertegun, bahkan Seongje tak melemparkan tawa menyebalkannya. 

 

   ”Lo tuh tau sopan santun gak sih?!” Hyuntak merebut botol yang isinya entah sudah diminum siapa dan tumpah ke mana saja. “Kenapa lo minum punya orang?!”

 

   ”Tak-ah, tenang dulu.” Juntae berusaha menenangkan Hyuntak. Sementara itu, Seongje yang akhirnya bangun dari keterkejutan segera menatap Hyuntak dengan senyum menyebalkannya yang khas. “Ya elah, air putih doang. Sini, gue beliin satu kard—ugh! hei!”

 

   Seongje tak sempat menyelesaikan kalimatnya sebab Hyuntak melempar botol di tangannya ke arah si jangkung berkacamata. Sisa air di dalamnya tumpah dan membasahi seragam yang Seongje kenakan asal-asalan. Pemuda itu mengumpat keras, tapi Hyuntak tak peduli. Tas yang ia letakkan tak jauh dari kakinya dia angkat cepat sebelum kakinya bergerak pergi dari lapangan di taman yang sering mereka gunakan untuk berkumpul seraya berlatih basket. 

 

   ”Eh, mau kema—” Juntae yang hendak menyusul Hyuntak ditahan oleh Sieun. Pemuda itu menggeleng pelan dan Juntae berhenti bergerak. Mereka akhirnya membiarkan Hyuntak pergi, meninggalkan taman itu dengan pertanyaan yang sama di kepala semua orang. 

 

   Apa yang sebenarnya terjadi? 

 

———

 

   Semua ini bukan dimulai di hari itu, melainkan tiga hari sebelumnya. Pada Sabtu petang saat ibu Hyuntak meminta putranya pergi berbelanja beberapa bahan masakan. Entah ada angin apa, Hyuntak mengambil jalur pulang yang berbeda. Saat harusnya ia berbelok ke kanan, Hyuntak menggerakkan kakinya untuk berbelok ke kiri, melewati jalanan di sepanjang aliran sungai. 

 

   Hyuntak tengah memikirkan makan malam yang akan disantapnya, saat tiba-tiba seorang wanita tua muncul di hadapannya. “Anak muda!” Hyuntak yang terkejut hampir terjerembab. Untung saja refleks kakinya sangat bagus. 

 

   ”Aku punya ramuan cinta!” Wanita itu menyodorkan botol—yang jujur saja tampak cantik—ke depan wajah Hyuntak sambil berseru. ‘Wah orang gila kayaknya.’ Hyuntak membatin dan bersiap untuk lari, tapi kalimat yang meluncur dari lidah wanita itu membuat kakinya berhenti bergerak. 

 

   ”Kamu gak mau kasih ini buat temen yang kamu taksir itu, Hyuntak?” Mendengar namanya diucapkan dengan penuh penekanan, Hyuntak menoleh dengan wajah terkejut bercampur takut. 

 

   Kok dia tau nama gue? 

 

   Wah gue bakal kena hipnotis gak sih ini? 

 

   Kalo gue lari sekarang, dia ngejar gak ya? 

 

   Hyuntak terlalu sibuk dengan pikirannya hingga ia tak sadar wanita tua itu bergerak mendekat. “Siapa sih namanya? Paku? Oh bukan, bukan.” Wanita tua itu terus mendekati Hyuntak dengan langkah pelan dan tenang. Sementara Hyuntak terpaku di tempatnya. Entah karena takut, atau mungkin sihir si wanita tua? Entahlah, siapa yang tahu. 

 

   Clapp

 

   Wanita itu menepuk tangan seolah baru saja mendapat ilham. “Baku! Namanya Bak—umph!!” Hyuntak melupakan sopan santunnya dan segera membekap mulut wanita di hadapannya, melupakan belanjaannya yang berserakan di jalanan. Wajahnya memerah. Malu. Mata wanita itu menunjukkan bahwa ia tengah tersenyum. 

 

   ”Si-siapa? Lo siapa?!” Wanita itu mengangkat tangannya, kembali menunjukkan botol yang—menurut klaimnya sendiri—berisi ramuan cinta. Menyadari ia takkan mendapatkan jawaban jika terus menutup mulut wanita itu, Hyuntak akhirnya melepaskan tangannya. Sang wanita tua tersenyum. 

 

   ”Jadi gimana, mau?” Bukannya mendapat jawaban, Hyuntak justru kembali mendapati botol di depan wajahnya. Ia menelan ludah. “Ja-jadi, gu—aku bisa bikin Baku naksir balik?” Wanita itu terkekeh saat tiba-tiba Hyuntak bersikap sopan padanya. 

 

   ”Kamu bisa bikin siapapun yang minum ramuan ini naksir kamu.” Ia meletakkan botol itu di tangan Hyuntak dan botol itu bersinar. Saat silaunya menghilang, Hyuntak menemukan namanya terukir di badan botol. “Sekarang, ramuan ini punya kamu. Gak ada yang bisa pakai selain kamu.” Hyuntak menatap botol itu dengan mata berbinar. 

 

   ”Be-berapa? Berapa harganya?” Wanita itu tak menjawab. Ia justru menatap belanjaan Hyuntak yang berserakan sebelum akhirnya meraih sebuah apel yang berada di dekat kaki si pemuda. “Nanti bilang aja ke Bunda kalo apelnya gelinding satu.” Dan ia segera mengigit apel itu. 

 

   Hyuntak tak peduli lagi, ia membungkuk seraya mengucapkan terima kasih sebelum kembali menatap botol itu dengan senyuman. Pemuda itu mengantongi botol ramuan cintanya lantas membereskan belanjaannya. “Ah ya,” Saat itulah sang wanita kembali bersuara. 

 

   ”Ramuannya cuma bakal bertahan sebulan.” Ia bicara di sela mengunyah apel. Hyuntak mengernyit. “Jadi, pakai satu bulan buat bikin Baku beneran cinta sama kamu sebelum efek ramuannya habis. Dan pastiin harus Baku yang minum, huh, anak muda suka oon kalo dikasih tugas.”

 

   Hyuntak hendak bertanya lebih jauh, tapi suaranya tak bisa keluar. Ia memegang tenggorokannya dan terus berusaha bicara. Tapi, saat suaranya sudah kembali, wanita itu yang menghilang. Hyuntak yang terkejut tanpa sadar terduduk di jalananan sepi, sambil melihat ke sekeliling. Wanita itu benar-benar hilang tanpa jejak. 

 

   Pemuda itu segera mengemasi apa yang terjnagkau oleh tengannya. Ia tak peduli omelan apa yang akan sang bunda berikan nantinya, Hyuntak merasa harus cepat pulang sebelum wanita itu kembali dan membatalkan apapun yang dikatakannya beberapa menit yang lalu. 

 

   Benar saja, Hyuntak mendengar macam-macam omelan dari sang bunda sebab ada beberapa barang belanjaan yang menghilang—termasuk satu butir apel yang menjadi bayaran atas ramuan cinta di kantong celananya. Wanita paruh baya itu juga menggerutu perihal plastik belanja dan tubuh putranya yang kotor oleh tanah. “Kamu tuh jatuh apa kelahi sama anak komplek sebelah lagi sih, Hyuntak? Astaga. Udah, sana mandi yang bersih. Bunda masak dulu.”

 

   Hyuntak memilih menurut saja. Mulutnya mengatup rapat saat ia bergerak menuju kamarnya. Ia bersyukur hanya mendengar omelan dan interogasi—yang hanya dijawab seadanya oleh Hyuntak. Jika saja sang bunda memeriksa kondisi tubuhnya juga, mungkin botol ramuan cinta itu akan ada di tempat sampah, bukannya masuk ke laci di dalam lemari Hyuntak. 

 

   Hyuntak selesai membasuh tubuhnya. Kini kepalanya jauh lebih dingin dan jernih setelah ia mengguyurnnya dengan air dingin. Ia membuka lemari dan mengambil botol di dalamnya. Ia duduk di meja belajarnya, menyalakan lampu belajar dan mengamati dengan saksama botol di tangannya.

 

   Botol itu kecil, hanya seukuran telunjuknya, mungkin hanya sedikit lebih panjang. Di dalamnya ada cairan mencurigakan berwarna merah muda. Saat Hyuntak membuka tutupnya dan mencoba mengendus isinya, ia tak mencium bau apa-apa. Seolah cairan merah muda itu hanya air mineral biasa. Kini kepala Hyuntak penuh dengan taktik untuk membuat Humin meminum ramuan ini. 

 

   Gue pukul tengkuknya terus gue cekokin? Jangan, jangan. Gak baradab banget. 

 

   Apa gue campur di makan siang kantin—enggak, enggak. Gampang ketahuan orang kalo gitu. 

 

   Atau gue masukin ke botol minumnya pas latih—Oh! Gue tau! Gue campur minum gue sendiri aja, nanti pas main gue kasih ke Baku. Yes! Gue emang jenius! 

 

   Hyuntak terkekeh di tempatnya duduk setelah mendapat ide yang menurutnya luar biasa. Tiga hari lagi, ia dan teman-temannya setuju untuk menghabiskan waktu sepulang sekolah di taman dekat rumahnya. Di sana ada satu lapangan basket yang memang sering mereka kunjungi. Hyuntak yakin, mereka pasti akan menghabiskan energi yang masih tersisa dari sekolah di tempat itu. Dan air mineral adalah apa yang akan mereka cari setelah kelelahan. 

 

   Pemuda itu kembali menyusun rencananya dengan teliti. Setelah puas dengan susunan rencananya, Hyuntak keluar untuk makan malam bersama sang bunda. Wajahnya cerah seolah setengah jam sebelumnya tidak memdapat omelam panjang dari wanita paruh baya di hadapannya. 

 

   Malam itu, Hyuntak tidur dengan perut kenyang dan kepala ringan. Ia sudah membayangkan skenario hebat yang akan terjadi di hari Selasa. Skenario yang akan membawanya pada akhir bahagia. 

 

   Sayangnya, rencananya buyar tepat setelah mereka tiba di taman. Dua wajah yang tak asing muncul di hadapan mereka. Hyuntak, Juntae, dan Sieun menatap kebingungan, hanya satu orang yang berjalan dengan santai menuju salah satu dari dua wajah yang—menurut Hyuntak—harusnya tak ada di sana sore itu.

 

   ”Jadi, guys, gue ada pengumuman.” Humin bicara sambil menggenggam tangan Baekjin. 

 

   Oh tidak. Tampaknya rencana Hyuntak hancur bahkan sebelum dimulai. 

———

Chapter 2

Notes:

ada beberapa tag yang aku tambah, to make sure this fic happened in another universe wkwkwkwkw. tag fantasy aku ganti sama dark magic bcs it feels more like pelet dibanding fantasy story wkwkwkwkwk

Chapter Text

   Selasa pagi, Hyuntak bangun lebih awal. Menyiapkan perlengkapan sekolahnya sebelum keluar untuk sarapan. Bundanya menatap Hyuntak dengan raut setengah heran, setengahnya lagi senang. “Tumben udah rapi. Biasanya jam segini belom mandi.”

 

   Hyuntak pun tak mengerti. Mungkin karena inilah hari Selasa yang ia tunggu sejak akhir pekan lalu. Atau karena berat dari botol kecil berisi ramuan cinta di saku celananya yang membebani. Hyuntak tak bisa lagi berpikir. Ia menyimpan energi di kepalanya untuk memastikan rencananya berhasil. 

 

   ”Berangkat, Bun.” Pemuda itu keluar dari pintu apartemen sederhana yang ia tinggali berdua dengan sang bunda setelah mendengar respon bundanya dari dapur. Humin dan Sieun menunggu di depan gerbang sekolah, tampak sedang mengobrol—mungkin tentang materi untuk ujian minggu depan. Ia yang berjalan bersama Juntae sejak di perempatan bergegas mendekat dan segera melewati gerbang sekolah. 

 

   Tidak ada hal khusus hari itu. Tentu saja selain Hyuntak yang terus memasukkan tangannya ke saku celana, memastikan botol kecil itu masih aman. Juga Humin yang semakin sering memainkan ponselnya menjelang jam pulang sekolah. Tapi, Hyuntak terlalu gugup untuk bisa menyadari hal itu. 

 

   Sebagaimana yang sudah mereka sepakati, keempatnya berjalan bersama menuju lapangan basket di taman. Hyuntak berhenti di depan sebuah minimarket. “Eh, bentar, gue mau beli air dulu.” Mereka berhenti, memberikan waktu untuk Hyuntak dan Juntae membeli air mineral dan beberapa makanan ringan titipan teman-temannya. 

 

   Saat itulah, ia membawa air yang sudah dibayarnya untuk dicampur dengan ramuan cinta di saku celana. “Juntae, bentar ya, gue ke kamar mandi dulu.” Juntae yang sibuk memasukkan makanan ringan yang sudah mereka bayar hanya mengangguk, tak menyadari satu botol air raib dari meja kasir. 

 

   Hyuntak mengunci diri di dalam bilik kamar mandi. Ia membuka segel botol air di tangannya dengan gemetaran. Botol berisi ramuan cinta di celananya hampir tergelincir jatuh, untung saja gerak refleksnya bagus—meski air di dalamnya sedikit tumpah ke lantai toilet. Butuh lima menit penuh bagi Hyuntak untuk menyelesaikan kegiatannya. 

 

   ”Sorry, tadi udah kebelet.” Ia bicara pada Juntae yang menunggu di depan minimarket. Pemuda berkacamata itu mengangguk saja. Ia melirik pada botol air mineral di tangan Hyuntak. “Itu udah dibayar, ‘kan, tadi?” Hyuntak mengangguk cepat. Ia tak ingin botol itu masuk ke dalam plastik belanjaan dan bercampur dengan botol-botol lainnya. 

 

   ”Udah kok, coba cek notanya.” Juntae memastikan kembali jumlah botol air yang keduanya bayar sama dengan yang sekarang ada di tangan mereka. “Pas, ‘kan? Nah, siniin kreseknya satu. Biar gue bawain. Sama botol ini gue bawa sendiri aja, udah keminum dikit.” Juntae menurut, ia tak berniat membawa dua plastik belanja besar itu sendirian. 

 

   Keduanya hanya perlu berjalan hingga perempatan untuk menemukan Sieun dan Humin yang setia menanti. “Lama amat.” Humin melempar protes. “Sorry, sorry. Tadi gue ke toilet dulu.”

 

   Tempat tujuan mereka tak jauh dari minimarket yang Hyuntak dan Juntae singgahi. Sepuluh menit adalah waktu yang cukup bagi keempatnya untuk tiba di lapangan. Hyuntak sudah menata rencananya: bermain basket hingga kelelahan lalu melempar botol air berisi ramuan cinta pada Humin. 

 

   Hyuntak terlalu fokus dengan isi kepalanya sendiri, sibuk memastikan rencananya takkan berantakan, hingga tak menyadari lapangan yang hanya berjarak beberapa meter dari mereka tak sepenuhnya kosong. Di sana ada dua sosok jangkung yang berdiri sambil mengobrol seolah menanti seseorang tiba. Hyuntak baru menyadari keberadaan mereka saat Sieun, yang berjalan tepat di sisinya, berhenti bergerak. Ia hendak bertanya pada Sieun, tapi kata-kata yang keluar dari pemuda itu membuat Hyuntak mengikuti arah pandang Sieun. 

 

   ”Na Baekjin? Geum Seongje?”

 

   Hyuntak hampir menjatuhkan plastik belanja, juga botol air bercampur ramuan cinta di tangannya saat menemukan Baekjin dan Seongje di tepi lapangan. Ia, Sieun, dan Juntae mengernyit heran, khususnya saat Baekjin melambaikan tangan dengan senyum tipis terukir di bibirnya. Hyuntak semakin bingung saat Humin bergerak, menempatkan diri di sisi Baekjin dan dengan mudah menyelipkan jemarinya di antara jemari si jangkung. 

 

   ”Jadi, guys, gue ada pengumuman.” Hyuntak tak perlu mendengar apa pengumuman yang Humin maksud, ia juga tak ingin mendengarnya. Tapi, telinganya berkhianat. Ia terpaksa mendengar kalimat yang sangat tak ingin didengarnya, khususnya hari ini. “Gue udah resmi pacaran sama Baekjin dari kemaren.”

 

   Lantas bibir Hyuntak ikut berkhianat. Dengan isi kepala yang hampir kosong, Hyuntak berujar pelan. “Oh ya? Wah, selamat ya.”

 

———

 

   Kacau.

 

   Rencana Hyuntak hancur berantakan. 

 

   Kini Hyuntak duduk di tepi lapangan, sama sekali tak tertarik untuk bergabung dengan Humin dan Suho—ia datang tepat waktu untuk meredakan kecanggungan—yang bermain basket dengan penuh semangat melawan Baekjin dan Seongje. Hyuntak di bangku tepi lapangan memeluk erat botol airnya. Memikirkan ulang rencananya.

 

   Pikirannya bercabang. Bolehkah ia menjadi egois dan tetap menjalankan rencananya? Ia tak lagi yakin bisa merebut hati Humin sepenuhnya dalam tiga puluh hari. Selain itu, jika berhasil pun, keduanya mungkin akan berakhir sebagai tukang selingkuh dan selingkuhannya. Hyuntak sama sekali tak ingin mencoreng nama baik Humin. 

 

   Atau mungkin memang seharusnya ia tak melakukan ini sejak awal? Haruskah ia merelakan Humin sekarang? Saat ia sudah hampir punya cara—curang—untuk bisa mendapatkannya? 

 

   Ia menghela napas. Embusan napasnya semakin berat saat empat pemuda yang baru saja menyelesaikan pertandingan kecil mereka—tim Humin yang menang—mendekat ke tepi lapangan. Suho segera disambut oleh Sieun yang menyodorkan botol air mineral yang termasuk belanjaannya tadi. Humin mengambil botol airnya sendiri dan bukannya segera menenggak air mineral itu, ia justru memberikannya pada Baekjin. 

 

   Hyuntak tak sanggup lagi menonton. 

 

   ”Nitip. Jangan dikasihin siapapun.” Hyuntak menyerahkan botol yang tadi ia peluk erat pada Juntae yang menatapnya kebingungan. Tapi, Hyuntak tak peduli, ia membawa tungkainya bergerak menuju toilet umum di dekat lapangan. Rasanya ia perlu mendinginkan kepalanya.

 

   Hyuntak menatap refleksi wajahnya di cermin toilet yang buram. Raut wajahnya benar-benar buruk. Di sana ia menemukan kemarahan yang bergumul bersama kesedihan. Hyuntak menyalakan keran wastafel, menatap aliran air sebelum menangkupkan tangannya dan membasuh wajah dengan air dingin. Ia perlu membuat seluruh kepalanya basah agar merasa tenang. Hyuntak keluar dari toilet dalam keadaan basah seolah baru saja mandi. 

 

   Tapi, pemandangan yang ia dapati begitu kembali ke lapangan membuat kepalanya yang sudah dingin kembali dipenuhi amarah. 

 

   Hyuntak bisa melihat di tepi lapangan yang ia tinggalkan untuk menenangkan diri ada Juntae yang tengah berebut botol setengah kosong dengan Seongje. Melihat Juntae yang berusaha sekuat tenaga mengambil botol air dari tangan Seongje, Hyuntak tahu itu adalah air yang Ia titipkan pada Juntae. Air mineral yang bercampur dengan ramuan cinta. Hyuntak panik, dan marah, dan entah emosi apalagi yang tercampur, ia tak tahu lagi. 

 

   Hal yang ada di kepalanya adalah segera bergerak mendekat dan merebut botol air itu. “Lo tuh tau sopan santun gak sih?!” Hyuntak bisa melihat raut terkejut dari wajah Seongje. Pemuda jangkung berkacamata itu tak sempat membalas ucapan, sebab Hyuntak kembali berteriak marah. “Kenapa lo minum punya orang?!”

 

   Hyuntak bisa merasakan sebuah tangan menepuk pelan pundaknya. “Tak-ah, tenang dulu.” Itu adalah suara Juntae. Ia bisa mendengar nada suaranya yang kental akan rasa bersalah. Mungkin karena tak bisa menjalankan amanah sederhana yang Hyuntak berikan padanya. Tapi, Hyuntak yang tengah dirundung kemarahan, tak menyadari itu dan tetap menatap Seongje dengan mata menyala. 

 

   Di hadapan Hyuntak, Seongje yang akhirnya keluar dari keterkejutan, hanya memasang senyum—yang benar-benar menyebalkan—sebelum buka suara. “Ya elah, air putih doang. Sini, gue beliin satu kard—ugh! hei!”

 

   Seongje tak mengira Hyuntak akan melempar botol air yang masih terisi hampir setengahnya itu padanya. “Brengsek!” Entah umpatan keras itu Seongje tujukan pada siapa, Hyuntak tak peduli. Ia meraih tasnya dan berlalu pergi. Suara Juntae yang sempat memanggilnya Hyuntak abaikan.

 

   Ia butuh pulang sekarang juga. 

 

———

 

   Enam pemuda yang ditinggalkan Hyuntak di lapangan itu terdiam sesaat sebelum akhirnya Suho buka suara. “Sieun-ah, temen kamu itu kenapa sih? Lagi PMS ya?” Sieun yang sebelumnya tengah menahan Juntae yang hendak mengikuti Hyuntak, menghela napas panjang mendengar ucapan kekasihnya. Ia menoleh dan menemukan Suho memasang senyum lebar, mungkin pemuda itu hanya ingin mencairkan suasana. 

 

   ”Ah, anjing.” Tapi, tampaknya ada sosok yang tetap merasa kesal atas tingkah Hyuntak. Siapa lagi jika bukan Seongje yang baru saja bersitegang dengan Hyuntak perkara sebotol air mineral. Pemuda jangkung berkacamata itu mengambil tasnya dan berlalu pergi, melewati jalan yang berlawanan dengan yang Hyuntak pilih. 

 

   Sekarang, tersisa lima pemuda yang hanya bisa saling tatap. “Jin-ah, Seongje gapapa dibiarin gitu aja?” Humin bertanya pada Baekjin yang tepat ada di sisinya, masih menggenggam tangannya. Baekjin menggeleng. “Gapapa, biarin aja dia. Yang jadi masalah bukannya malah Gotak? Emang dia biasanya gitu?” Kali ini Humin yang menggeleng dengan wajah muram. 

 

   ”Maaf ya, kalo aja tadi aku bisa nahan Seongje biar gak ambil minumnya Gotak, dia gak akan kesel.” Sieun menjadi orang ketiga yang menggelengkan kepala, kali ini untuk menjawab ucapan Juntae. “Kayaknya dia udah bete dari nyampe lapangan deh.” 

 

   ”Eh, kenapa gitu?” Juntae bertanya dengan wajah polosnya, Sieun membuka tutup mulutnya, tak yakin dengan apa yang harus ia katakan. Pada akhirnya Sieun hanya bisa mengangkat bahu. “Gak tau juga.” Jawabnya singkat. 

 

   Clapp

 

   Suho kembali menjadi sosok yang memecah keheningan. “Udah mulai malem, balik, balik.” Ia merangkul pundak Sieun, tangannya yang bebas meraih tasnya dan milik Sieun sebelum bergerak menjauh. Baekjin pun menarik tangan Humin untuk pergi dari lapangan itu bersama Juntae yang menggumam sedih. 

 

   ”Padahal biasanya aku baliknya bareng Gotak.”

 

———

 

   Hyuntak tiba di apartemennya saat matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Ia masuk ke dalam kamar setelah menyapa sang bunda dengan wajah suram. Pemuda itu melemparkan dirinya sendiri ke ranjang, menelungkup dengan kaki menggantung. Wajahnya ditenggelamkan pada kasur, berusaha agar tidak berteriak kesal—atau menangis, atau keduanya. 

 

   Selesai sudah. Hyuntak berpikir mungkin ia memang takkan bisa mendapatkan Humin. Sebab, bahkan saat memiliki kunci untuk berbuat curang, ia masih saja gagal. 

 

   Entah berapa waktu yang Hyuntak habiskan meratapi nasibnya, ia tiba-tiba merasakan getaran dari ponselnya. Hyuntak bangkit dengan malas. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel yang dayanya sudah hampir habis. Sebelum membuka pesan masuk, ia memilih untuk sekalian saja mengisi daya ponselnya. 

 

   [ Junnie: Tak-ah, maaf tadi aku gak bisa nyegah seongje ]

   [ Junnie: Besok minumnya aku ganti ]

   [ Junnie: Maaf ya… ]

 

   Hyuntak merasa bersalah pada Juntae yang tak tahu apa-apa. 

 

   [ Gotak: Eh gapapa ]

   [ Gotak: Gak usah diganti ]

   [ Gotak: Sori tadi gue marah gak jelas ]

   [ Gotak: Besok gue minta maaf ke yang lain juga ]

 

   Pesan balasan dari Juntae muncul dengan cepat, mengucap terima kasih yang entah apa alasannya—mungkin karena kemarahan Hyuntak ternyata tak ditujukan padanya—juga berkata bahwa teman-teman yang lain mengkhawatirkan kondisi Hyuntak. Setelah berbalas beberapa pesan, Hyuntak akhirnya meletakkan ponselnya dan pergi ke kamar mandi. Ia butuh mengguyur kepalanya dengan air dingin. Lagi. 

 

———

 

   Hyuntak kembali berangkat lebih pagi. Setelah menelan sarapan dan pujian dari sang bunda yang senang melihat putranya tampak bersemangat pergi ke sekolah lebih awal, ia melangkah keluar dari apartemennya. Ia berjalan dengan lesu hingga bertemu Juntae di perempatan yang biasa mereka lewati berdua. 

 

   ”Maaf, gue kem—”

 

   ”Tak-ah, maaf—”

 

   Keduanya bicara berbarengan, dan berhenti di waktu yang sama pula. Tanpa sadar mereka saling menatap dan tertawa. Hyuntak mengacak-acak pelan rambut Juntae yang wajahnya tampak lebih cerah. “Kamu gak marah lagi?” Juntae melempar tanya. 

 

   Hyuntak memamerkan senyum lebar. “Enggak lah. Harusnya gue yang tanya, emang anak-anak gak marah? Gue kan udah seenaknya kemaren.” Juntae menggeleng cepat. “Enggak kok, anak-anak malah khawatir.” Jawaban Juntae dibalas anggukan oleh Hyuntak. Keduanya segera melanjutkan perjalanan sambil Juntae menceritakan apa yang terjadi setelah Hyuntak pergi. 

 

   ”Kayaknya cuma Seongje yang kesel sama kamu kemaren.” Masuk akal. Tapi, Hyuntak tak ingin memikirkan perihal pemuda jangkung itu. Ia mengibaskan tangannya. “Biarin aja. Emang dia bakal ngapain?”

 

   Hyuntak dan Juntae melanjutkan perjalanan, mengobrol tentang hal lain. Apapun selain Seongje. Hyuntak ingin menghilangkan nama pemuda itu dari kepalanya. Ia ingin melupakan fakta bahwa yang meminum ramuan cintanya adalah Seongje. Hyuntak hanya berharap ramuan cinta itu tak berefek karena Seongje hanya meminum setengah botol. 

 

   Sayangnya, harapan Hyuntak tampaknya hanya akan menjadi harapan semata. Sebab begitu bel pulang sekolah berbunyi, dan ia menyusuri jalan menuju gerbang, Hyuntak menemukan jaket oranye belel yang sangat mencolok. Ia mengenali pemuda jangkung berkacamata yang berdiri di depan gerbang sekolahnya. 

 

   Seongje, menatap ke arah Hyuntak sambil membawa sebotol besar air mineral. 

 

———

 

Chapter Text

   Sebenarnya cukup mudah untuk menghilangkan Seongje dari isi kepala Hyuntak. Cukup dengan meletakkan Humin di depan matanya dan segala hal akan sirna begitu saja. Meski kali ini, bukan hanya perasaan senang yang memenuhi hatinya. Kini ada kesedihan yang menyusup di sela-sela. Juga kekecewaan dan kemarahan yang entah ditujukan pada siapa. 

 

   Obrolannya dengan Juntae terputus saat suara Humin masuk ke telinganya. “Gogo!” Hyuntak menoleh dan menemukan Humin melambaikan tangan padanya, di sisinya ada Sieun yang menatap dua kawannya—Hyuntak dan Juntae—dengan wajah datar. 

 

   Langkah Hyuntak terhenti sejenak. Ia menatap Humin yang masih melambaikan tangan, Sieun yang mengamati keadaan, juga Juntae yang menoleh sambil terus berjalan. Pemuda itu menelan semua perasaan yang berkecamuk di dadanya—kesedihan, kekecewaan, kemarahan, juga perasaan rahasia untuk Humin—sebelum tersenyum dan melanjutkan perjalanan. 

 

   Hampir aja gue ngerusakin pertemanan ini cuma demi perasaan pribadi. Konyol. 

 

   Hyuntak menggelengkan kepala lantas kembali berjalan, ia merangkul pundak Juntae dan setengah menyeretnya mendekati Humin dan Sieun. Tangan Humin yang masih melambai dibiarkan mengambang di udara, menunggu Hyuntak untuk memberikan tos-nya yang biasa. Hyuntak bisa melihat Sieun mengamati dari samping sebelum turut bergerak melewati gerbang sekolah mereka. 

 

   ”Sorry ya, kemaren gue tiba-tiba ngamuk gak jelas.” Hyuntak memulai percakapan begitu mereka tiba di ruang kelas. Humin, yang duduk tepat di belakangnya menggelengkan kepala saat Hyuntak menoleh. “Gapapa, gue ngerti kok. Emang muka Seongje bisa memicu orang buat marah.”

 

   Juntae di sisi kanan mengangguk bersemangat sembari mengeluarkan alat tulisnya, sementara Sieun di kursi depan hanya menghela napas. “Anggep aja gitu.” Hyuntak tertawa mendengar ucapan Sieun. 

 

   Tapi, tawa itu tak bertahan lama saat Humin kembali bersuara. “Tapi, kata Sieun, lu kemaren udah bete dari nyampe lapangan. Kenapa emangnya?” Mata Hyuntak bergetar panik. Ia tak berani melirik Sieun—di antara mereka berempat, Sieun lah yang paling cepat menangkap situasi sekitar. Pemuda itu bahkan tak punya keberanian untuk menoleh pada Juntae yang memandang dengan mata bingung, menunggu jawaban. Hyuntak berusaha memutar otak, mencari alasan paling masuk akal yang bisa ia buat untuk perasaannya yang sebenarnya—rasa cemburu.

 

   Aduh, pake alesan apa anjir?! Masa sakit perut terus gue jadi gak mood?! 

 

   Apa gue jujur aj—enggak, enggak. Jangan gila Go Hyuntak! 

 

   Gue catut lagi aja kali ya nama Seongje. Gue bilang bete liat muka dia—

 

   Hyuntak sudah menemukan alasan yang—menurutnya—paling masuk akal. Tapi, Sieun lebih dulu bersuara, memberikan pertanyaan dengan nada datar, tapi terdengar seperti bom di telinga Hyuntak. “Lu gak suka ya liat ada Baekjin sama Seongje di sana?”

 

   Wah, bocah gila. Kenapa dia bawa-bawa Baekjin segala?! 

 

   ”Eh, lu gak suka sama Baekjin?” Kali ini Humin yang bertanya. Hyuntak bingung antara ingin menonjol wajah kawannya itu atau menghantamkan kepalanya sendiri ke meja. “Tak-ah, kamu gak suka Baku pacaran sama Baekjin?”

 

   Kayaknya mending gue jedotin kepala ke tembok terus pura-pura amnesia. 

 

   Hyuntak yang dicerca pertanyaan dari tiga kawannya akhirnya menghela napas. Ia sudah mengambil keputusan. “Iya, gue bete liat Baekjin sama Seongje ada di lapangan kemaren.” Pemuda itu memulai penjelasan. 

 

   ”Gue mikir ngapain sih dua kecoa ini ada di lapangan yang biasa kita pake main?! Kenapa mereka gak ke markas mereka aja kalo mau latian.” Hyuntak bicara panjang sebelum menunjuk muka Humin. “Terus lu! Tiba-tiba bilang pacaran sama kapten tim basket lawan. Ah, gue bete lagi kan sekarang.”

 

   Tak sepenuhnya ucapan Hyuntak adalah kebenaran. Tapi, setidaknya hanya setengahnya yang dusta. Ia hanya tak mencantumkan alasan sebenarnya dari ketidaksukaannya terhadap Baekjin, juga kekesalannya terhadap fakta bahwa Humin—temannya yang ia sukai secara romantis—berkencan dengan orang lain. 

 

   ”Ya maaf,” Humin meminta maaf dengan nada yang sama sekali tidak serius. “Tapi, Baekjin nyebelinnya kalo lagi tanding doang kok. Dia manis banget aslinya.” Jujur saja Hyuntak sekarang sedang menahan diri agar ia tak melepas kaus kakinya dan menyumpalkannya ke mulut Humin yang mulai menceritakan betapa menyenangkannya berkencan dengan Baekjin. 

 

   Ia melirik pada dua kawannya yang lain. Sieun menatap Humin dengan kerut di dahi dan wajah muak, bertingkah seolah tak pernah bersikap semanis gulali di depan Suho. Lalu Juntae… ah, sudahlah. Pemuda hopeless romantic itu menatap berbinar pada Humin, seolah meminta kawannya itu untuk menceritakan lebih banyak. 

 

   Untung saja guru mereka tiba sebelum Humin mulai mendongeng tentang bagaimana tingkah manis Baekjin padanya, bahkan saat keduanya belum resmi berkencan. Meski pada akhirnya Humin tetap mengoceh setiap ada waktu luang. Sebelum guru mata pelajaran selanjutnya datang, saat makan siang, juga dalam perjalanan pulang menuju gerbang. Hyuntak dan Sieun tak mampu—dan tak tega—menghentikan Humin berkisah, saat matanya tampak begitu cerah.

 

   Humin baru saja berhenti bicara saat matanya menangkap sosok di luar gerbang. “Eh, itu Seongje bukan?” Humin mengentikan langkahnya dan menunjukan seseorang yang berdiri tepat di samping gerbang sekolah mereka. Hyuntak mengikuti arah pandang Humin dan menemukan jaket oranye belel yang sangat familiar di matanya. Pemuda itu mengumpat pelan saat akhirnya Seongje kembali masuk ke kepalanya. 

 

   ”Ngapain dia di sin—eh, Seongje bawa apaan itu?” Ucapan Humin kembali memaksa Hyuntak untuk menatap Seongje di luar sekolahnya. Ia menyipitkan mata dan memfokuskan pandangannya pada benda di tangan Seongje. Hyuntak menggerutu pelan saat menyadari apa yang Seongje bawa. “Tak-ah, kayaknya Seongje mau ganti minum kamu kemaren deh.”

 

   ”Atau dia mau bales nyiram Gotak pake air satu setengah liter.” Hyuntak tertawa kering mendengar ucapan Sieun. Kemungkinan itu tentu ada, jika saja Hyuntak tak teringat tentang air yang kemarin dikonsumsi Seongje sudah tercampur dengan ramuan cinta. Hyuntak bergerak mendekati Seongje. Ia takut, tapi rasa penasarannya tentang seberapa jauh ramuan cinta yang hanya terminum setengahnya itu bekerja tampaknya jauh lebih besar.

 

   Hyuntak baru bergerak dua langkah saat tiba-tiba ada tangan yang menahan pundaknya. “Jangan kelahi. Ini masih area sekolah.” Hyuntak menjawab Humin dengan senyuman sebelum buka suara. “Tenang aja, gue cuma mau ngobrol. Toh gue juga salah kan kemaren?” Humin akhirnya melepaskan pundak Hyuntak dan membiarkan kawannya itu melanjutkan perjalanan. 

 

   Konyol. Jujur saja Seongje terlihat benar-benar konyol di mata Hyuntak sekarang. Ia berdiri di depan gerbang sekolah mereka, menunggu dengan sabar sambil membawa satu botol besar air mineral. Pemuda jangkung berkacamata itu menoleh saat merasakan seseorang mendekat. Hyuntak berhenti saat keduanya sudah berdiri berhadapan di pinggir gerbang. 

 

   ”Nyari gue?” Seongje tak menjawab, hanya menatap Hyuntak. Jantung Hyuntak berdebar lebih kencang dari biasanya, was-was dengan apa yang akan Seongje lakukan. Tapi, Seongje hanya menyodorkan botol air besar itu pada Hyuntak, menempelkannya ke torso pemuda di hadapannya sambil berkata dengan suara lirih. 

 

   ”Nih, ganti buat air yang gue minum kemaren. Sorry.” Permintaan maaf Seongje hampir tak terdengar, entah karena suaranya semakin lirih di ujung, atau sebab Hyuntak yang tak mengira kejadiannya akan seperti ini. Saat kesadaran akhirnya mencapai kepalanya, Hyuntak akhirnya membalas permintaan maaf Seongje. “Oh.. um… iya, gue juga minta maaf kemaren marah-marah.”

 

   Seongje menatap Hyuntak selama beberapa detik sebelum mengangguk dan bergerak pergi. “Thanks, ya! Bakal gue minum sama temen-temen gue pas latihan!” Hyuntak berteriak pada Seongje yang bergerak menjauh, tak merespon ucapannya. 

 

   Hyuntak menatap botol di tangannya dan punggung Seongje yang bergerak menjauh dengan wajah lega. Melihat tidak ada yang berbeda dari tingkah Seongje, tampaknya ramuan cinta yang diminumnya tak bekerja. Mungkin karena hanya sedikit yang terminum, atau sebab Seongje kebal terhadap hal-hal seperti ini. Entahlah, Hyuntak tak peduli. Hal yang paling penting sekarang adalah ia bisa bebas dari kekhawatiran Seongje akan jatuh cinta padanya selama satu bulan penuh. 

 

———

 

   Sayangnya rasa lega yang Hyuntak pikir akan menyelimutinya dalam waktu lama, luntur hanya dalam waktu satu hari. Sebab, keesokan harinya, pada petang setelah Hyuntak dan Humin menyelesaikan latihan basket bersama timnya, keduanya menemukan Seongje berjongkok di dekat gerbang sekolah mereka. 

 

   ”Lu ngapain di sini?” Humin yang bergerak mendekat, sementara Hyuntak berjalan lebih pelan dengan kernyitan di dahi dan wajah bingung. Seongje berdiri dan melongok, saat ia menemukan wajah Hyuntak, pemuda berkacamata itu baru bicara. “Latian kalian lama ya.” Latihan mereka memang lebih lama dibanding biasanya, sebab SMA Eunjang dan SMA Ganghak akan mengadakan pertandingan rutin dalam tiga minggu lagi. Harusnya Seongje juga tahu itu. 

 

   ”Heh! Lu mau ap—”

 

   ”Nah, urusan gue udah selesai, jadi gue balik duluan ya. Kalian hati-hati di jalan baliknya.” Seongje berbalik dan melangkah pergi setelah memotong ucapan Humin. “Dia kenapa sih?” Humin melempar tanya ke udara tanpa berharap ada yang menjawab. Sebab di kepalanya, baik dirinya maupun Hyuntak sama-sama tak paham jalan pikiran Seongje. 

 

   Tapi, Hyuntak tahu dengan pasti, apa yang menjadi penyebab perubahan sikap Seongje. Ramuan cinta yang diminumnya dua hari lalu. Hyuntak mengacak-acak rambutnya kesal. Ia punya firasat buruk tentang ini. 

 

   Dan firasat itu terbukti esok paginya. Hyuntak dan Juntae bukan hanya menemukan Humin dan Sieun menunggu di depan gerbang, keduanya juga menemukan Seongje tengah berbincang dengan Humin. Tak perlu mengira-ngira apa yang mereka obrolkan. Ekspresi tak senang di wajah Humin sudah menjadi jawaban. 

 

   ”Lo tuh sebenernya mau ngapain sih? Mau survei buat pindah sekolah apa gimana?” Hyuntak bisa mendengar pertanyaan konyol muncul dari mulut Humin. Seongje menatap tak tertarik pada Humin dan Sieun. Ia lantas bicara dengan suara ogah-ogahan. “Temen lu mana sih? Dia emang suka telat—oh! Tak-ah!”

 

   Mata Seongje yang tadinya terlihat tak tertarik dengan apapun, segera berbinar saat menemukan Hyuntak bergerak mendekat. “Ngapain?” Hyuntak bertanya dengan nada ketus, berharap Seongje menjadi kesal. Tapi, si jangkung berkacamata hanya tersenyum. “Nanti sore gue ada latian, jadi gue mau liat lu sekarang aja.” 

 

   Mata semua orang yang ada di sana, bukan hanya kawan-kawan dekat Hyuntak, menatap bingung ke arah Seongje. Tapi, Seongje tak peduli. Setelah beberapa waktu menatap Hyuntak ia akhinya pamit pergi.

 

   ”Oke, gue pergi dulu sebelom telat masuknya. Dadah, Tak-ah!” Setelah Seongje menghilang Hyuntak menoleh ke sekeliling. “Udah masuk sana, gak ada yang bisa ditonton lagi.” Suaranya ketus. Hyuntak menyadari bahwa ia harus bertahan seperti ini setidaknya selama tiga puluh hari. 

 

———

 

   Hyuntak tak menemukan Seongje sepulang sekolah di hari Sabtu. Ia dan kawan-kawannya sudah bernapas lega, mengira Seongje masih terjebak di sekolahnya. Tapi, dalam perjalanan pulang, Hyuntak dan Juntae bertemu Seongje di dekat perempatan tempat mereka berpisah jalan. Juntae tanpa sadar menarik ujung pakaian Hyuntak karena terkejut atas kemunculan Seongje. Setiap kali ada pertandingan basket antara sekolah mereka, Seongje adalah pemain yang paling sering menatap tajam ke arah penonton, lantas tersenyum menyebalkan saat berhasil mencetak angka. Jujur saja Juntae takut pada Seongje.

 

   Seongje yang melihat bagaimana Juntae berpegangan pada Hyuntak menatap tak suka, meski hanya sesaat, sebab ia kembali tersenyum saat bertatapan mata dengan Hyuntak. 

 

   ”Tak-ah, besok sibuk gak? Gue ada rekomendasi kaf—”

 

   ”Sibuk, udah lu balik aja.” Hyuntak menarik tangan Juntae dan hendak berbelok menuju arah kediaman kawannya itu. Tampaknya Juntae perlu Hyuntak antarkan pulang terlebih dahulu. Tapi, Seongje menghadang. Mencegah keduanya berjalan lebih jauh. 

 

   ”Ayolah,” Hyuntak mundur saat mendengar suara Seongje yang serupa rengekan. “Gini deh. Besok jalan sama gue dan gue janji gak muncul di sekolah lu lagi kayak kemaren-kemaren.”

 

   Hyuntak mengernyit, tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Seongje. “Gue gak percaya. Sekarang minggir—”

 

   ”Kalo gue minggir sekarang, lo akan liat gue tiap hari, Tak-ah. Setiap hari. Gue sih seneng-seneng aja.” Seongje bicara dengan nada main-main, tapi Hyuntak tahu betapa seriusnya pemuda di hadapannya. “Tapi, kalo besok lu mau jalan sama gue… puff! Gue akan gak akan gangguin lu lagi. Gimana?”

 

   Hyuntak menimbang-nimbang. Sejujurnya ia tak benar-benar percaya omongan Seongje, selain karena ramuan cinta sialan itu, pemuda di hadapannya juga bukan orang yang Hyuntak kenal sepenuhnya untuk bisa ia percayai. Tapi, jika dipikirkan lagi, kesepakatan yang Seongje tak ada ruginya bagi Hyuntak. Ia bisa mengamuk pada Seongje jika pemuda itu mengingkari janjinya.

 

   ”Oke.” Hyuntak akhirnya menjawab dan Seongje melebarkan seringaiannya. Untuk sesaat Hyuntak kembali, tapi ia menepis keraguan itu. “Tapi, janji jangan gangguin gue dan temen-temen gue lagi.” Seongje menganggukkan kepala lantas menjulurkan tangannya. Hyuntak menerima jabat tangan dari Seongje tanpa berpikir apa-apa, tapi si jangkung berkacamata itu segera menari Hyuntak mendekat, menjauhkannya dari Juntae yang sedari tadi terdiam mengamati keadaan. Hyuntak kini tampak seolah ada dalam dekapan Seongje. 

 

   ”Lu mau ngap—”

 

   ”Kasih gue nomer telpon lu dong. Biar gampang ngehubunginnya.” Hyuntak menghela napas sebelum menyambar ponsel Seongje. Ia mengetikkan nomor ponselnya dengan satu tangan sebelum mengembalikan gawai itu pada sang pemilik. Seongje menekan panggilan dan ponsel di saku celana Hyuntak bergetar. “Jangan lupa save nomer gue ya.” Seongje mengerling seraya melepaskan pegangannya pada Hyuntak. 

 

   ”Kalo gitu, sampe ketemu besok, Tak-ah.” Seongje berlalu pergi dengan langkah ceria, meninggalkan Hyuntak dan Juntae yang menghela napas lega. 

 

   ”Tak-ah… emang gak masalah?” Juntae melempar pertanyaan yang bagus sekali, karena sejujurnya Hyuntak juga tak tahu apakah keputusannya hari ini sudah tepat. Ia mengangkat bahu. “Yah… semoga aja.”

 

———

 

Chapter 4

Notes:

seongtak first date yiihhaaaa

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

   Hyuntak berusaha membuka matanya saat ponselnya berdering nyaring di meja nakas. Masih mengantuk, Hyuntak mengangkat panggilan masuk tanpa memeriksa nama yang tertera di layar ponselnya. “Um… halo?”

 

   ”Suara lo waktu bangun pagi seksi juga ya.” Saat otaknya berhasil memproses suara yang keluar dari ponselnya, Hyuntak bangun dan segera membelakakkan matanya. “Seongje?!” Hyuntak hampir bertanya bagaimana pemuda di ujung panggilan itu bisa mendapatkan nomor ponselnya saat Hyuntak ingat dirinya lah yang dengan—setengah tak—sukarela memberikan nomor ponselnya. 

 

   Hyuntak memijat pangkal hidungnya, seketika itu juga kepalanya pening. Entah karena bangun terburu-buru, atau sebab tawa menyebalkan Seongje di ujung sambungan telepon. “Selamat pagi, Tak-ah. Udah siap buat kencan pertama kita belom?” Astaga. Rasanya kepala Hyuntak hampir meledak. 

 

   Pemuda itu melirik jam dinding dan menemukan jarum pendeknya masih ada di angka tujuh. “Stop nyebut ini kencan dan kafe mana yang buka jam tujuh pagi, Seongje?!” Tawa menyebalkan kembali terdengar dari ujung panggilan, Hyuntak hampir melempar ponselnya sendiri. 

 

   ”Mau abis makan siang aja kah, Cantik?” Dan sekarang Hyuntak ingin segera bertemu Seongje untuk bisa mencekik leher pemuda menyebalkan itu. Hyuntak menghela napas panjang, rasanya ia takkan punya cukup energi untuk menanggapi semua omong kosong Seongje. “Chat aja lokasi kafenya. Gue ke sana nanti sekitar jam satu.”

 

   Oh, so you like it when I call you Cantik? Makanya lo gak prot—”

 

   Hyuntak mematikan sambungan telpon mereka sebelum ia semakin menderita. Tak lama pesan-pesan masuk ke dalam ponselnya. Sesuai dugaan, itu semua pesan dari Seongje. 

 

   [ Madman: Kenapa dimatiin cantik? ]

   [ Madman: Don't you like it when i call you cantik? Atau lo lebih suka gue panggil princess? ]

 

   [ Gotak: Alamat kafe ]

 

   Hyuntak benar-benar tak punya energi untuk menanggapi kegilaan Seongje di Minggu pagi itu. Karenanya segera menuju inti pembahasan, mempersempit kemungkinan Seongje mengganggunya lebih jauh. 

 

   [ Madman: My princess is so eager ]

 

   Tapi, rupanya Seongje selalu punya celah untuk mendidihkan amarah Hyuntak. Bahkan ketika mereka hanya berinteraksi melalui pesan tertulis. Untungnya, saat Hyuntak hampir terpancing, Seongje akhirnya menjawab dengan benar. 

 

   [ Madman: 📍Lokasi ]

   [ Madman: See you jam 1 princess ]

 

   Hyuntak tak berniat membalas. Ia letakkan ponselnya begitu saja di atas ranjangnya yang acak-acakan sebelum merebahkan diri. Kurang dari enam jam lagi ia harus bertemu Seongje. Hyuntak tak siap. Ia takkan siap menghadapi kegilaan Seongje yang entah bagaimana lagi nanti. 

 

   Tapi, ia tak bisa mundur lagi.

 

   Hyuntak bangun dan menuju kamar mandi. Mencuci wajah, berusaha meredam emosinya setelah berbincang dengan Seongje sebelum sarapan dengan sang bunda. Melihat putranya makan pagi dengan bibir mencebik, wanita paruh baya itu melempar tanya. 

 

   ”Kenapa mukanya bete gitu?” Hyuntak mendongak dan berkedip-kedip, sedang berpikir alasan apa yang harus ia berikan pada bundanya atas raut sebalnya di Minggu pagi yang cerah itu. “Um… enggak, Bunda, gapapa kok. Oh ya, nanti siang aku mau main ya.” Hyuntak mengalihkan topik.

 

   ”Mau main sama Humin?” Mendengar nama Humin disebut, Hyuntak terdiam sejenak sebelum menggeleng. Ia bisa saja mengangguk, berbohong dengan mata terbuka. Tapi, jika itu artinya ia harus mencatut nama Humin—atau teman-temannya yang lain, Hyuntak memilih untuk jujur saja. 

 

   ”Bukan, Bun. Temen… yang lain. Anak… SMA Ganghak.” Dahi sang bunda berkerut mendengar nama sekolah yang selalu membuat putranya berdecak sebal. Hyuntak membuang muka saat melihat mata bundanya yang penuh selidik. “Kamu gak mau kelahi sama anak Ganghak itu, ‘kan?” Wanita itu tahu Hyuntak punya dendam pribadi pada warga SMA Ganghak, khususnya tim basket mereka. 

 

   Hyuntak segera menggeleng cepat sambil melambaikan tangan. “Enggak, Bun, enggak! Mau ketemu aja kok di kafe.” Mata menyelidik sang bunda tiba-tiba berubah cerah. “Oh, mau kencan!” Hyuntak tersedak nasi yang ditengah ia kunyah. 

 

   ”Uhhukk—Eng-enggak, Bundaaa!” Hyuntak hendak menjelaskan. Tapi, ia juga kebingungan bagaimana harus menerangkan permasalahannya tanpa menyebut ramuan cinta bodoh yang tak sengaja Seongje minum. Hyuntak tak biasa berbohong kepada bundanya—itu juga alasan lain ia menggeleng saat nama Humin disebut. Sementara Hyuntak kebingungan untuk menjelaskan, sang bunda justru tertawa riang karena berhasil membuat putranya gugup—tentu saja dalam konteks yang benar-benar berbeda dengan kejadian sebenarnya. 

 

   ”Gapapa. Bunda ngerti kok.” Wanita itu lantas menunjuk piring Hyuntak. Masih ada lebih dari setengah isinya. “Abisin sarapan kamu terus bantu Bunda cuci piring. Nanti Bunda baru kasih izin kamu buat pergi kencan.”

 

   ”Bundaaaa!” Hyuntak memekik dan bundanya kembali tertawa. 

 

———

 

   Hyuntak tak berhasil menghilangkan ide hari-ini-putranya-akan-berkencan dari kepala sang bunda dan ia menyerah. Pemuda itu memilih kembali ke kamar dan memainkan ponselnya setelah membantu sang bunda untuk membersihkan rumah, dibanding mendengarkan petuah kencan dari bundanya itu. Hyuntak mengambil ponsel dan melihat beberapa pesan di ruang obrolan grup dari kawan-kawannya. 

 

   [ Baku: Juntae bilang lo hari ini mau jalan sama seongje ]

   [ Baku: Bilang ke gue kalo juntae boong ]

   [ Baku: @Gotak ]

 

   [ Sieun: Kalian diancem sama seongje? ]

 

   [ Junnie: Aku gak bohong! ]

 

   [ Baku: Ngapain njir?? ]

 

   [ Junnie: Kata Seongje kalo Tak-ah setuju buat jalan sama dia besok, anaknya gak bakal dateng ke sekolah lagi ]

 

   [ Sieun: Gue sama suho perlu ikut? ]

 

   [ Baku: Terus kalian percaya sama omong kosong seongje?? ]

 

   [ Junnie: Ya kan dicoba dulu emang kenapa sih? ]

 

   [ Gotak: Seongje udah janji ]

 

   [ Baku: Lu percaya omongan bocah ganghak? ]

 

   [ Gotak: Lha, cowok lu juga anak ganghak njir ]

 

   ”Oon!” Hyuntak menepuk dahinya setelah menyadari pesan apa yang ia kirim ke ruang obrolan. Ia tak sempat menarik pesan tersebut karena Humin dan Juntae sudah terlihat mengetik sesuatu. Ia pun berusaha untuk menjelaskan maksudnya. 

 

   [ Baku: Kok lu jadi belain seongje?? ]

 

   [ Junnie: Gimana kalo nanti aku ikut sama Tak-ah aja? ]

 

   [ Gotak: Kalo lo bisa percaya sampe jadian sama baekjin, kenapa gak coba percaya seongje juga? ]

 

   Ketiga pesan itu datang bersamaan. Hyuntak yang makin kebingungan kini hanya bisa menghela napas. Ia kembali mengetikkan sesuatu, berusaha menjelaskan dengan lebih tenang. 

 

   [ Gotak: Gini deh. Ini masalah kan urusan gue sama seongje. Jadi biarin gue kelarin sendiri dulu ya. Kalo misal nanti seongje gak nepatin janjinya, gue minta bantuan kalian. Oke? ]

 

   [ Baku: Kalo dia ngapa-ngapain lo, call kita aja ]

 

   [ Gotak: Tenang. Kontak darurat gue masih nomer lo kok ]

 

   [ Baku: Oke ]

   [ Baku: Btw, baekji sama seongje beda ya. Jangan nyamain cowok gue sama belalang sembah ]

 

   [ Gotak: Iya, iya. Sori, gue tadi gak ada maksud apa-apa ]

 

   Setelah menyelesaikan perkara dengan kawan-kawannya—lebih tepatnya dengan Humin—Hyuntak meletakkan kembali ponselnya ke meja nakas. Ia melempar dirinya sendiri ke ranjang. Matanya melirik ke jam dinding dan Hyuntak menemukan sudah hampir pukul sepuluh.

 

   ”Tiga jam lagi.” Ia kembali menghela napas sebelum masuk ke kamar mandi. Ia belum membersihkan tubuhnya, sibuk membantu sang bunda dan berdebat dengan kawan-kawannya. Begitu selesai membersihkan diri, Hyuntak mendengar dering dari ponselnya. 

 

   ”Ya elah! Apa lagi?!” Ia mengangkat panggilan dengan nada ketus. Tentu saja itu telpon dari Seongje yang entah apa tujuannya. “Galak banget si Cantik.” Hyuntak menghela napas. 

 

   ”Cepet bilang urusan lu.” Hyuntak memerintah dan Seongje terkekeh di ujung panggilan. “Gapapa sih, kangen aja. Nanti mau gue jemput gak? Kirim alamat lu nan—”

 

   Sekali lagi, Hyuntak mematikan panggilan sebelum Seongje sempat menyelesaikan kalimatnya. Dan tentu saja, Seongje mengirim pesan yang—menurut Hyuntak—sangat menyebalkan. 

 

   [ Madman: Hahahhahaaha ]

   [ Madman: Padahal gue sedang berusaha menjadi gentleman lho ]

   [ Madman: Beneran gak mau gue jemput nih? ]

   [ Madman: I wanna know where you live ]

 

   [ Gotak: You sound like a creep ]

   [ Gotak: No, thanks. Gue gak mau lu ada di sekitar tempat tinggal gue ]

 

   [ Madman: Wow jahatnya ]

   [ Madman: But, okay. I respect your decision ]

   [ Madman: See you at the cafe then cantik ]

 

   Tiba-tiba Hyuntak merasa bersyukur bukan Humin yang menenggak ramuan cinta itu. Ia mungkin takkan bisa menghadapi Humin yang bertingkah seperti ini, mengekorinya seperti anak anjing dan terus tak mau lepas layaknya lintah. Hyuntak juga tak bisa membayangkan bagaimana nantinya ia harus bertingkah jika Humin sudah lepas dari pengaruh ramuan cinta—dan Hyuntak tak berhasil mengambil hatinya.

 

   Hyuntak menggelengkan kepala. Ia sudah berniat untuk melupakan tindakan bodoh yang hampir ia lakukan beberapa waktu yang lalu. Kini ia hanya perlu menyelesaikan urusan dengan Seongje dan kembali ke kehidupan normalnya seolah tak pernah bertemu dengan wanita tua gila pembawa ramuan cinta. 

 

   Tepat lima belas menit sebelum pukul satu, Hyuntak keluar dari kamarnya mengenakan kaus putih polos berlengan pendek dan celana jeans biru terang. Sang bunda yang duduk sambil menonton teve menoleh dan segera melempar godaan pada sang putra. “Aiiih, mau kencan kok gitu doang bajunya.”

 

   ”Bunda, kan aku udah bilang ini bukan kencan.” Hyuntak mencebik sebal, tapi sang bunda tampak tak terpengaruh. Wanita itu justru merangsek masuk ke kamar putranya dan menyambar sesuatu dari gantungan di lemari dan meja belajar putranya. “Nih, pake ini di luarnya pasti cakep.”

 

   Sebuah jaket linen berwarna abu-abu muda disodorkan ke depan wajah Hyuntak dan pemuda itu hanya bisa menuruti sang bunda—ia memang tak pernah bisa menolak permintaan dari satu-satunya keluarganya itu. Hyuntak mengenakan jaket yang diberikan oleh sang bunda sebelum dengan pasrah membiarkan dirinya diputar oleh bundanya yang sibuk menyemprotkan parfum—yang sang bunda ambil dari meja belajarnya. 

 

   ”Oke, kamu udah siap buat kencan hari ini!” Hyuntak menghela napas, ia tak lagi menyanggah. Energinya harus dihemat untuk bertarung dengan Seongje sebentar lagi. Hyuntak sudah hendak berpamitan dan berangkat saat ponsel di saku celananya bergetar. 

 

   [ Madman: 📷 Foto ]

   [ Madman: Gue udah sampe ]

   [ Madman: Mau gue pesenin dulu gak cantik? ]

 

   ”Oh, cakep!” Hyuntak hampir mengangguk setuju atas komentar bundanya terhadap swafoto yang Seongje kirimkan. Pemuda dalam foto itu tampak mengenakan sweter kaus berwarna abu-abu kecoklatan. Rambutnya yang biasa dibiarkan hampir mengenai kacamata, kali ini disibakkan ke samping. Dan kacamatanya entah diletakkan di mana. Lingkungan di sekitarnya tampak seperti sebuah kafe yang menyenangkan. 

 

   Hyuntak yang berhasil menahan diri untuk mengamini ucapan bundanya mengembalikan ponselnya ke saku celana. “Lho, gak dibales dulu? Kirim foto balik dulu.” Hyuntak menggeleng, dan dengan kalimat yang ia yakini akan disetujui bundanya, ia bicara. “Aku langsung berangkat aja deh, Bun. Kasian udah ditungguin.”

 

   Benar saja, sang bunda segera mengangguk dan mendorongnya keluar apartemen. Hyuntak bernapas lega setelah lepas dari bundanya. Tapi, satu detik setelahnya ia kembali menghela napas berat saat mengingat setelah ini dirinya harus bertemu dengan Seongje. 

 

   ”Ini sih keluar dari sarang macan, masuk mulut buaya.”

 

   Hyuntak tiba di tempat tujuan pukul satu lewat sepuluh. Kafe itu benar-benar terlihat nyaman dan menyenangkan, ia tak menyangka Seongje akan mengajaknya ke tempat ini. Ia membuka pintu dan menoleh ke kanan dan kiri. Di sudut kafe, meja dekat jendela, ada Seongje yang melambaikan tangan dengan senyum sumringah.

 

   ”Sorry, gue tel—”

 

   ”Cantiknya.” Hyuntak yang dengan sesopan mungkin meminta maaf karena terlambat, menghentikan ucapan—juga gerakannya menarik kursi untuk diduduki. Ia memelototi Seongje yang tersenyum menatapnya. “Gue kira gue doang yang nungguin kencan hari ini.”

 

   Hyuntak menghela napas, meredam emosinya, dan mendudukkan diri. Di meja ada satu mangkuk kecil berisi kentang goreng dan es kopi hitam, tampaknya milik Seongje. “Maaf ya, gue gak pesenin. Gue belom tau lo sukanya apa.” Hyuntak menyadari bagaimana Seongje memilih menggunakan kata belom tau dibanding gak tau. Seolah berkata bahwa pemuda ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi, Hyuntak berusaha tak terpengaruh. 

 

   ”Gue pesen dulu.” Tanpa menunggu persetujuan dari Seongje, Hyuntak bangkit dan bergerak menuju meja pemesanan. Saat ia kembali Seongje tengah sibuk mengaduk minumannya. Pemuda itu kembali mengembangkan senyum—yang sejujurnya terlihat cukup manis jika saja Hyuntak tak lebih dulu merasa kesal padanya. 

 

   ”It suits you.” Seongje bicara tepat saat Hyuntak duduk di kursinya. “Lo cakep banget pake jaket begitu.” Ia kembali melempar pujian. Kali ini lebih spesifik. Hyuntak menyentuh pakaiannya tanpa sadar. 

 

   ”Oh, tadi dipaksa bunda. Panas katanya.” Hyuntak berbohong dengan santai. Lagipula, ia tak mungkin mengucapkan kejujuran tentang sang bunda yang mengira dirinya hendak berkencan. Tapi, Seongje mengangguk menanggapi sebelum menyeruput minumannya. “Lo tumben gak pake kacamata. Emang keliatan?”

 

   Seongje tampak sumringah saat mendengar Hyuntak memberi pertanyaan tentang penampilannya. “Gue pake lensa kontak. Gimana? Oke gak?” Pemuda itu menunjuk ke arah matanya, dan Hyuntak berhasil menemukan lensa kontak tanpa warna yang menempel di sana. “Biasa aja.” Ia menjawab seraya memalingkan muka. Mata Seongje yang tak tertutup kacamata ataupun menatapnya sinis terlihat cantik. 

 

   Untung saja seorang pramusaji datang tepat waktu. Es kopi karamel dan kue coklat yang Hyuntak pesan akhirnya tiba. “You're sweet tooth, huh?” Hyuntak melirik tak suka pada Seongje sebelum membalas. “Kenapa? Gak suka?”

 

   Seongje menggeleng. “It suits you. You're a sweet person too.” Lagi. Seongje bicara dengan senyum manis dan menatap dengan matanya yang cantik. Hyuntak bisa merasakan pipinya menghangat. Ia berdiri. “Gue mau ke toilet.” Lalu kabur begitu saja. 

 

   Hyuntak berdiri di depan kaca wastafel, menatap pantulan wajahnya yang terlihat merona. Ia segera menyalakan keran dan membasuh wajahnya. Wajah hingga lehernya basah kuyup, tapi setidaknya merah di wajahnya berangsur-angsur menghilang, hangat yang sebelumnya mendiami pipinya pun tak lagi ia rasakan. Hyuntak akhirnya keluar dari toilet dengan wajah basah. 

 

   ”Mandi lu?” Seongje terkekeh setelah bicara. Ia mendorong satu kotak tisu di meja pada Hyuntak. “Jangan berisik.” Pemuda dengan wajah basah itu mengambil tiga tisu dan segera menyeka wajahnya. 

 

   Hyuntak akhirnya menyesap minumannya setelah memastikan wajahnya cukup kering. “Enak, ‘kan?” Mata Hyuntak berbinar dan ia mengangguk senang. Seongje mengambil satu sendok kue coklat pesanan Hyuntak dan menyodorkannya ke depan wajah Hyuntak. “Cake mereka juga enak loh.” Tanpa sadar Hyuntak membuka mulut dan menerima suapan dari Seongje. 

 

   ”See? Kafenya oke, ‘kan?” Anggukan bersemangat Hyuntak beri pada Seongje yang terus tersenyum. Seongje kembali menawarkan suapan pada Hyuntak, tapi tepat sebelum pemuda itu membuka mulut, ia menyadari tingkahnya menjadi lebih parah dari sebelum membasahi wajahnya. 

 

   ”Gu-gue bisa makan sendiri.” Ia merebut sendok kue dari tangan Seongje yang memasang senyum menyebalkan. “Oke, oke. Nikmatin makanan lo.” Hyuntak ingin pergi dari tempat itu, tapi selain makanan di kafe itu memang enak, ia juga bertahan demi janji yang Seongje katakan sehari sebelumnya. 

 

   Jam sudah menunjukkan pukul tiga lewat dua puluh saat keduanya menyelesaikan makanan masing-masing—Seongje memesan satu es kopi hitam tambahan dan Hyuntak membeli kentang goreng karena tergoda dengan milik Seongje. Tak banyak obrolan yang mereka lakukan. Hanya Seongje yang terus menggoda Hyuntak dan mendapat lirikan tajam serta desisan kesal dari pemuda di hadapannya. 

 

   ”Udah, ‘kan? Sekarang gue mau pulang.” Hyuntak bangkit dari duduknya diikuti oleh Seongje. “Tepatin janji lo. Jangan muncul lagi di sekolah gue kayak orang aneh.” Tanpa menunggu Seongje menjawab, Hyuntak bergerak keluar dari kafe. Dan tentu saja Seongje mengekorinya. 

 

   ”Tunggu, biar gue anterin pulang.” Seongje menahan kepergian Hyuntak, menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut. Tapi, Hyuntak tentu saja menepisnya. “Gak usah, gue kan udah bilang gue gak mau liat lu di sekitar lingkungan rumah gue.” Saat melihat mata sedih Seongje, Hyuntak merasa bersalah. Tapi, ia tak bisa mempertaruhkan kedamaiannya hanya karena mata seseorang yang sedang dalam pengaruh ramuan gila. 

   ”Sorry.” Meski begitu ia tetap meminta maaf. “Today's actually nice. Tapi, udah ya? Sampe sini aja.” Seongje akhirnya mengangguk dan membiarkan Hyuntak pergi dengan wajah sedih.

 

   Dan begitulah akhir dari pertemuan mereka hari itu. 

 

———

 

   ”Aku pulang.” Hyuntak memberi salam dengan suara lesu. Bundanya yang sibuk membuat makan malam di dapur menjawab. “Eh, anak ganteng udah pul—loh kok loyo sih? Kamu diputusin?”

 

   ”Apa sih, Bunda. Mana ada putus, orang jadian juga enggak.” Hyuntak bicara dengan nada sebal, tapi ia tetap menempel di dekat sang bunda. “Terus kenapa sedih gitu?” Hyuntak terdiam sebelum menggeleng. Ia juga tak mengerti mengapa dirinya merasa sedih berpisah dengan Seongje. 

 

   Pisau di tangan wanita paruh baya itu ia letakkan dan tangannya digunakan untuk menangkup wajah sedih putranya. “Ya udah ganti baju sana. Terus bantuin Bunda masak biar kamu cepet makan.” Hyuntak mengangguk sebelum masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian. Sebagaimana perintah sang bunda, Hyuntak membantu memasak dan menikmati makan malam. 

 

   Setelah makan malam, Hyuntak baru membersihkan tubuhnya. Ia menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi, mengingat-ingat apa yang sudah ia lalui hari ini. Bagaimana senyum manis Seongje, juga matanya yang terus menatap Hyuntak hingga ia merona. “Stop anjir, jangan gila! Masa mikirin Seongje mulu!” Hyuntak memarahi dirinya sendiri sebelum menyelesaikan kegiatannya. 

 

   Hyuntak yang sudah berganti dengan pakaian rumahannya, berbaring di ranjang. Ia membuka ponsel yang sudah dianggurkannya sejak tiba di rumah. Ada banyak sekali pesan dari teman-temannya yang menanyakan kondisinya, baik melalui pesan pribadi maupun ruang obrolan grup. Tapi, mata Hyuntak justru terpaku pada pesan paling baru, dari Seongje. 

 

   [ Madman: Thanks for today cantik ]

   [ Madman: Kalo gue udah dapet ijin buat dateng ke sekolah lu lagi, chat aja ya ]

 

   [ Gotak: Ya. Thanks for today ]

 

   Mungkin, dan hanya mungkin, pertemuan mereka takkan berakhir hanya seperti ini. 

 

———

 

Notes:

guelah bunda nosy-nya hyuntak di chapter ini wkwkwkwkwk

Notes:

Melempar umpan dan sesajen agar warga dusun seongtak region indo segera meambah khazanah bacaan homo mereka di ao3