Work Text:
ابن قرطيبة
LAHIR dan besar sebagai Bene Gesserit, Yushi sedari awal sudah dididik sebagai seorang anasir yang menempatkan kepentingan Ordo di atas semua intrik kemanusiaannya. Menjadikan tujuan hidupnya, sepenuhnya atas kesinambungan umat manusia, sebagaimana moto mereka yang mahsyur didengar: We exist only to serve. Sebabnya, mengapa Yushi tidak merasa asing sewaktu Reverend Mother menyampaikan berita pinangan Istana kepadanya.
“Nak, kamu sudah siap untuk misi ini.” Kendati terdengar layaknya tanya, Yushi lebih tahu kalau perempuan baya di depannya itu tengah memberinya ultimatum.
“Ya, Your Reverence ,” jawab Yushi.
Aku lahir untuk misi ini , pikirnya, siap atau tidak, pasti aku akan diterbangkan ke Kaitain dan menjadi salah satu puzzle di antara miliaran potongan lain yang berusaha membingkai masa depan; berusaha menjadi Tuhan.
Reverend Mother Gaius Helen Mohiam mengangguk, kemudian berkata dalam senandung suara yang tenang di antara badai, yang teredam oleh tembok batu kastil: “Semua pembicaraan atas kontrak pernikahan kalian juga sudah selesai. Kamu akan berangkat seminggu lagi dan menunggu tiga hari sebelum penyambutan resmimu diselenggarakan. Anasir Kasha Jinjo sebagai Truthsayer bagi keluarga kekaisaran akan menjelaskan lebih lanjut nanti.”
Mengangguk, Yushi melakukan apa yang diminta oleh sang Matriark Agung; menunggu waktu lamat-lamat berlalu sampai kepada hari di mana dia melangkah beriringan dengan Truthsayer Kasha Jinjo untuk menemui yang meminangnya di ruang padmasana.
Kendati bertahun-tahun digurui untuk menjadi tuan atas setiap partikel ketubuhan dan jiwanya dalam prana dan bindu , Yushi, untuk sekali dalam watku yang panjang, kali ini mengizinkan tubuhnya merasakan dalam-dalam gugup yang mendesir di pipinya semakin langkahnya mempersingkat jarak ke pintu kayu megah berukiran kepala singa yang dijaga oleh dua Sardaukar di setiap sisinya.
Berhenti beberapa langkah di depan pintu, Kasha pun menoleh kepada Yushi dan mewanti-wantinya, untuk kesekian kalinya, dalam isyarat rahasia Ordo: prepare yourself and … remember your training.
Yushi mengiyakan dengan anggukan. Kasha lalu berpaling kepada dua prajurit di kedua sisi mereka dan bergestur dengan tangannya untuk membuka pintu.
Langkah masuk keduanya disambut oleh bunyi ketukan tongkat pengawal istana, sebelum memperkenalkan Yushi secara resmi kepada pihak keluarga kerajaan: “Kebawah Duli Yang Maha Mulia, Paduka Sri Baginda Imperial Kaisar Padishah Fumihito dari Wangsa Maeda, Otoritas Siridar Agung dari Kaitain dan Seluruh Alam Semesta Kekaisaran, mempersembahkan diri di hadapan Anda, Yang Terhormat, Tuan Muda Yushi dari Tataran Rahasia Ordo Suci Bene Gesserit, calon mempelai Duli Yang Teramat Mulia, Paduka Sri Pengeran Mahkota Rikuhito dari Wangsa Maeda.”
Memperbedakan kesan harkatnya dengan Kasha Jinjo yang menjabat sebagai Truthsayer, daripada dirinya sebagai calon mempelai ahli waris Padmasana Singa Emas, Yushi melangkah satu ayunan lebih depan daripada Kasha, memukau yang hadir di sana dengan juwitanya yang lebih dulu sampai pekabarannya kepada mereka. Terdengar samar bisik-berbisik yang membenarkan kabar tersebut seiring Yushi melangkah ke tengah ruangan.
Pada akhirnya berhenti di hadapan singgasana dengan wajah sedikit merunduk, Yushi pelan-pelan mendorong intuisinya ke ceruk terdalam benaknya dan mulai sepenuhnya kembali menguasai setiap jengkal aspek psikisnya, serta memanipulasi senyawa biologisnya sendiri sehingga hormon-enzim katalis feromon yang ada di dalam tubuhnya mulai saling berpacu di suatu takaran tertentu, memicu harum manis khas Omega yang spesifik untuk tercium ke semua sisi tanpa memicu libido, tapi cukup untuk menambah kesima setiap yang menghirupnya dalam-dalam, termasuk sang Kaisar—dan target utamanya, Pangeran Mahkota Rikuhito.
Sebagai ahli waris Padmasana Singa Emas, Rikuhito—lebih suka dipanggil Riku —sudah akrab benar dengan berbagai muslihat dan jalan bercabang dari setiap keputusan yang ada. Belajar dari ayahnya, sang Kaisar, dia tahu betul, bahwa setiap langkah haruslah berdasarkan perhitungan politik yang tepat; jangan sampai ada celah ketika menjalankannya, sehingga tidak ada ruang untuk kata gagal. Jadi, di saat ayahnya, didampingi oleh Truthsayernya dan sang ibu, memberi tahu soal perjodohannya dengan salah seorang Omega dari Ordo Bene Gesserit, Riku tidak punya alasan untuk terkejut, lebih-lebih menolak. Semua sudah diperhitungkan.
Layaknya menimbang belati di ujung telunjuk, Riku duga, memang menjodohkannya dengan Bene Gesserit mungkin adalah keputusan paling tepat, mengingat sebagai ketua dari Landsrad, sang Kaisar tidak boleh menampakkan kecondongan terhadap salah satu dari banyaknya bangsawan di sana. Dan melihat keadaan sekarang, ketika intrik antara keluarga Atreides dan Harkonnen sedang memuncak akibat hasil rapat CHOAM (Combine Honnete Ober Advancer Mercantiles) yang memutuskan agar kepengurusan produksi Spice dan koloni Arrakis dipindahtangankan sepenuhnya dari Harkonnen ke Atreides, tentu Kaisar tidak akan membiarkan posisinya dirapuhkan akibat harus memilih permaisuri dari salah satu di antara keduanya.
Betapa pun, Riku pikir, ayahnya berpeluang besar akan memilih Paul dari wangsa Atreides karena sub-gender -nya sebagai Omega, sedangkan dua keponakan Siridar Baron Harkonnen sendiri, yang menjabat masing-masing sebagai Count Lankiveil dan na-Baron Harkonnen, adalah Alpha seluruhnya. Tentu, baik orang tuanya maupun Bene Gesserit, sebagai tangan kanan dari keluarga imperial, tidak akan pernah mengizinkan pernikahan antara dirinya dan salah satu dari keponakan Baron Harkonnen untuk terjadi dengan alasan hanya keturunan Maeda, melalui pernikahan yang sah, yang punya wewenang untuk berkuasa atas Kekaisaran. Sementara hubungan antara Alpha—atau Omega dengan Omega, di lain kesempatan—tentu tidak akan melahirkan ahli waris yang diinginkan, Riku pastilah harus menghamili salah satu selir istana untuk mendapat keturunan.
Di sisi lain, keputusan seperti itu pasti akan menempatkan sang Kaisar di titik yang berpeluang memperlebar konflik. Pun, demi preservasi takhta agung, wangsa Maeda tidak boleh sembarangan bersekutu dengan keluarga ningrat lain yang tidak punya komposisi politik memadai. Demikian perhitungannya. Untuk sekarang, menurut sang ayah, belum ada yang dapat mengemban amanat tersebut, sehingga, sebagaimana saran dari Kasha Jinjo—Riku duga keras, perjodohan ini sudah menjadi rencananya … rencana mereka sejak lama—Kaisar pun memutuskan untuk mengawinkan putra Alpha pertamanya dengan salah seorang Tataran Rahasia dari Ordo Suci Bene Gesserit.
Yushi .
Senyum tanpa sadar merayapi bibir Riku, menggantika kerasnya dagu yang mengatup saat seorang prajurit memperkenalkan sosok berkimono yang datang bersama Truthsayer Kasha Jinjo.
Benar ternyata kabar yang berbeda. Bukan cuma namanya yang memanja telinga, tapi ternyata parasnya pun mesra di mata.
Bahkan, dalam langkahnya menuruni gelanggang singgasana, pandangan mata Riku sama sekali tidak pernah meninggalkan sosok Yushi yang berdiri dengan senyum halusnya.
“Yang Mulia,” sapa Yushi sopan.
“Anasir … Yushi.”
Setelah acara pengenalan sekaligus peresmian pertunangan keduanya, waktu pun bergulir layaknya bengawan yang arusnya tidak lambat juga tidak terlalu terburu-buru untuk sampai ke hilir sungai, memberi waktu yang cukup dan terhitung kepada Riku dan Yushi untuk mengenal satu sama lain sebelum masing-masing bersumpah sehidup-semati.
Kendati di hari-hari pertama diwarnai dengan lebih banyak diam yang ditemani canggung serta percakapan yang dipaksakan agar sepi bisa diusir, tapi keadaan tersebut tidak berlangsung lama, untungnya. Setelah dua minggu menghabiskan waktu mengelilingi setiap sudut istana berdua—tentu tetap dalam pengawasan pihak keluarga—akhirnya, keduanya pun bisa saling terbiasa atas kehadiran satu salam lain.
Memang suatu keajaiban, kalau dipikir-pikir, karena tabiat sang Pangeran Mahkota dan Anasir Ordo itu sangat berbeda dari satu sama lain, di mana Yushi lebih memilih diam dan tidak membiarkan orang bisa menebak keruh-jerni perasaannya lewat riak mukanya, alih-alih Riku akan berpendapat dengan lantang, suka atau tidak. Tapi, bukankah sepasang kepingan puzzle yang berbeda akan serasi saling menaut dalam setiap perbedaannya? Mungkin inilah yang terjadi pada mereka.
Dalam waktu singkat, tampil berdua pun bukan lagi canggun. Riku akhir-akihr ini merasa kalau Yushi adalah pelengkap dirinya, ke mana pun dia pergi, harus ada Yushi di sampingna. Di lain sisi, Yushi tidak juga menyangkal. Awalnya, Yushi menolak untuk sekedar membiarkan selipan bayang tentang dia mulai nyaman akan presensi sang Pangeran dalam benaknya, berupaya tetap memegang teguh Ordo sebagai sebab utamanya menikah, tapi setelah menghabiskan berjam-jam mengobrol kosong di tengah gugusan rak buku perpustakaan dan melewati setiap setapak taman istana yang menuntun mereka ke ujung tebing yang langsung menjorok ke lautan tanpa batas planet Kaitin, di mana cakrawala menjadi kanvas sempurna bagi senja yang mengemban cahaya emas bintang Alpha Piscum, Yushi pun berakhir takluk; merasa dengan jiwa dan intuisinya memang salah satu potensi terbesar manusia yang amat-teramat suli dimengerti … dan diperelakkan.
Iris sewarna ratna cempaka milik Yushi, yang akibat bintang biru redup di Wallach IX tampak lebih gelap daripada yang seharusnya, sekarang dibuat gemerlap oleh gelimangan cahaya kembang api yang sahut-menyahut di penjuru langit malam Kaitain, menggantikan kerlap-kerlip rasi bintang yang biasa menemani empat purnama di atas sana.
Menurunkan pandangannya, Yushi bisa melihat jelas bilah-bilah sinar lampu yang menyeruak tanpa arah ke setiap penjuru, memeriahkan perhelatan rakyat yang diselenggarakan dalam nama penyambutan pernikahannya dengan Riku—sang Pangeran memaksanya untuk memanggilnya dengan nama kalau mereka sedang tidak dalam suasana formal—yang tinggal menghitung hari.
Melihat semaraknya festival tersebut, Yushi tidak bisa untuk tidak bertanya, seberapa meriah pernikahannya nanti, kah? Kalau penyambutan -nya saja sudah begini, bagaimana dengan acara inti nanti?
Walau terdengar sebagai dalih receh untuk menghamburkan dana belaka, terutama bagi para sosialis yang akhir-akhir ini mulai bersuara di beberapa titik imperium, tapi langkah demikian memang terkadang harus diambil untuk menghibur khalayak, sehingga yang lebih tinggi bisa mempertahankan kuasa mereka, dan di saat bersamaan, mencegah adanya penyebaran keyakninan lain selain daipada Faufreluches : pemicu utama stagnantisasi iklim politik imperium demi memelihara kedamaian di seluruh semesta kekaisaran; demi keterjalanannya rencana utama dan tunggal Ordo Suci Bene Gesserit untuk memintal takdir kosmik umat manusia.
“Kamu lihat apa?” Suara Riku menyelinap di antara semilir angin malam yang dingin, disusul sepasang lengan kokoh yang pelan melingkar di sisi pinggangnya dan membawanya ke dalam pelukan, selagi yang bertanya membawa wajahnya ke ceruk leher Yushi, berusaha mengendus harum alamiah yang halus menggelitik indrnya; tidak terlalu lemah sehingga lolos begitu saja di antara aroma yang lain, tapi tidak juga terlalu kuat jadi jarak harus benar-benar ditiadakan.
Menggeliat sedikit, Yushi pun menghadap-hadapkan muka mereka satu sama lain.
“Liatin kamu,” jawab Yushi, tersenyum.
Rupa tampan sang Alpha yang dipuja-puji karena warna kulitnya yang tan bersih, layaknya sehabis dicium mesra oleh sang surya, sontak penuh akan semburat merah di pipi sampai hidungnya kala mendengar jawaban Yushi. Riku tidak pernah menyangka kalau Yushi bisa menggombal juga.
Mau membalas rayuan lawan bicaranya, tapi tiba-tiba saja lidah Riku dibuat keluh sendiri ketika matanya terkunci akan mata Yushi. Selayaknya bintang yang memperindah malam dengan gelimangan cahayanya, kedua iris Yushi begemilang indah di tengah gelap.
Membiarkan insting mengabuti nalarnya, Yushi menarik napas dalam-dalam tanpa mengalihkan kontak mata mereka, membiarkan baik Riku maupun dirinya untuk tenggelam pada senyapnya malam di dalam rengkuhan masing-masing. Simpul psikis prana dan bindu yang mengikat formula bilogis feromonnya pun perlahan merenggang, membiarkan harum alami yang halus terterpa angin mulai merebak, mengikuti arus emosional yang mengambil alih.
Tanpa disadari, jarak muka yang memang sudah lebih dekat daripada yang seharusnya pun semakin terkikis saat mereka berdua mulai sadar akan satu keinginnan yang mereka punya … sampai akhirnya jarak di antara mereka habis tak bersisa, meninggalkan dua sejoli dalam pangutan.
Semula memang terasa seperti sesuatu yang hanya berbekal intuisi dan berbuah canggung yang matang di antara bibir yang bersentuhan tanpa gerak, tapi intuisi itu pula yang dengan lembut menuntun kedua putra adam tersebut untuk membingkai kontur satu sama lain dan menyelaraskan napas yang memburu di antara lumatan bibir mereka yang mulai disusupi gairah.
Ibarat udara malam musim gugur tidak lagi cukup untuk mendinginkan suhu keduanya, bulir-bulir keringat pun bercucuran saat dua pasang tangan saling menggerayangi tidak sabaran; mulai termakan akan nafsu mula-mula mereka yang hewani. Yushi yang sadar akan hal ini, akhirnya berusaha mengembalikan kendali dirinya dan mendorong dada Riku menjauh, memuntung tautan bibir mereka dengan saliva yang bertindak sebagai benang untuk beberapa saat sampai akhirnya juga ikut putus.
Berusaha mengatur napas, Yushi bergumam:
“ So impatient .”
Mendengarnya, Riku lagi-lagi tidak bisa menahan rona di pipinya untuk terus merekah. Tidak tahu siapa yang lebih dulu memulai, tapi tindakannya tadi memang sangat memalukan. Mengedepankan nafsu dan gairah? Yang benar saja. Kendati demikian, di antara rasa malu yang mendominasi, ada antusiasme yang tidak bisa ditolak atau pun disembunyikan. Bagiamana rasanya mencium bibir ranum Yushi sudah menjadi salah satu hal-ihwal yang cukup menghantui pikirannya sejak kali pertama mereka bertemu. Dan sekarang, akhirnya berkesempatan untuk mengecupnya— yah , ini oversimplivied statment —Riku rasa tidak ada tempat untuk rasa sesal.
Namun, momen mereka berdua tidak berselang lama. Fokus Yushi yang sudah kembali tanpa urung merasakan ada yang tidak beres, memaksanya untuk segera mengedarkan pandangannya ke segala arah sembari menajamkan semua indranya. Refleks, dia langsung menghalau Riku dari jalannya dan memutar posisi sehingga sang Pangeran saat ini berdiri di belakangnya; menjadikan dirinya sebagai perisai hidup.
“Yang Mulia, pakai perisai Anda,” katanya, keterdesakan kental terdengar.
Riku, yang belasan tahun tumbuh dalam naungan ahli perang terbaik seantero kekaisaran, serta-merta mengikuti intruksi Yushi dan meraih bilahnya yang selalu ada di pinggangnya.
Kendati demikian, kecepatan Riku tetap tidaklah berimbang dibandingkan Yushi.
Di waktu Riku baru memposisikan belati sehastanya di depan muka dan mata-telinganya mulai mencari sumber kewaspadaan, Yushi sudah lebih dulu bergerak untuk melempar kujangnya ke arah Riku—yang dengan tepat menikam sebuah potongan logam kecil yang terbang di depan matanya, berusaha menembus pertahanan vibrasi perisai Riku.
“ Kull Wahad!” gumam Yushi terkejut mendapati apa yang sudah hancur di dekat mereka bukanlah hal yang asing, melainkan sebuah Hunter-Seeker; a common assassination device .
“Pengarahnya pasti nggak jauh dari … sini, Yuu,” bisik Riku, memutar belatinya ke posisi siaga. Dididik untuk menghafal setiap alat, racun, dan metode pembunuhan yang diperbolehkan penggunaannya dalam setiap konflik kerajaan, Riku tidak butuh waktu lama untuk mengidentifikasi kalau tipe Hunter-Seeker itu adalah model yang membutuhkan Pengarah untuk berada di radius lima puluh meter dari tempat operasinya, yang artinya, sang pembunuh berada di bukit tersebut, bersama mereka.
Seiring debaran jantungnya yang perlahan terkuasai kembali, Riku mulai bisa melantipkan indranya, berusaha mengenali gerak-gerik mencurigakan di antara semak belukar dan batang pohon yang berbunyi karena angin yang berembus cukup kencang. Hovercar yang mereka tumpangi terparkir di kaki bukit yang berjarak lima belas menit jalan kaki, akan sangat sulit untuk mencapainya di saat-saat seperti ini. Tidak ada cara lain, mereka harus menemukan pengendali Hunter-Seeker tersebut.
“ Stay close ,” sergap Yushi, mempertahankan posisi mereka, dan mulai menggumam dalam deru napasnya, merapal litany againts the fear yang berulang-ulang diajarkan oleh Ordo sejak umurnya masih belia:
“Aku tidak boleh takut. Ketakutan adalah penjagal akal. Ketakutan adalah kematian yang membawa bencana tanpa batas. Aku akan menghadapi ketakutanku. Aku akan membiarkannya merasukiku dan melewati setiap relung jiwaku. Dan pada akhirnya, setelah dia sirna, aku akan membuka mata batinku untuk melihat jalan setapaknya. Dan ketika habis tidak bersisa, maka tidak akan ada lagi apa-apa, selain diriku. Hanya aku sendiri.”
Perlahan, desir nadi Yushi pun terasa mulai teratur, diikuti debar jantungnya yang menelan ketakutannya, dan disusul ketenangan batin yang memampukannya untuk menajamkan setiap kuasa atas tarik-ulur urat sarafnya secara utuh dan berusaha mencari nada yang pasti, sebelum membuka mulutnya, menyuarakan lantunan kata-kata dalam timbre yang penuh dominasi primodrial, yang menjadikan siapa-siapa pun yang dituju olehnya akan menurut, bagaikan lembu yang dicocoki hidungnya: “Keluar dari persembunyianmu!”
Yushi bisa menggunakan the Voice , batin Riku.
Dari balik bayang-bayang malam yang menyelimuti seluruh pandangan mata, dalam ayunan kaki yang tertatih layaknya dicambuki di luar kendalinya, seseorang berpakaian serba hitam dan bertopeng menghampiri mereka. Dialah pemegang kendali Hunter-Seeker tadi.
“Stand here and don’t move!”
Layaknya diikat oleh mantra terlarang, figur laki-laki kekar itu pun berdiri diam di depan keduanya.
“Aku Yushi dan ini Yang Mulia Imperial Pangeran Mahkota.”
Genggaman Riku sontak mengerat ketika mendengar gumaman Yushi yang terdengar mendayu, mengikuti arah gerak angin yang berembus dari barat daya, dan sedikit melekit di akhir. Yushi masih menggunakan the Voice untuk mempertahankan dominasinya.
Kendati berusaha untuk tetap memfokuskan indranya pada awak Hunter-Seeker di depannya saat itu, tapi Riku tetap tidak bisa menahan matanya agar mengerling ke samping, mengintip Yushi dari ekor matanya. Penasaran akan bagaimana tunangannya itu mempraktikkan salah satu teknik paling mematikan sejagat kekaisaran tidak bisa ditolaknya.
“Kamu sendiri?” tanya Yushi, sudah tidak lagi memanipulasi suaranya untuk menyentuh nada-nada yang tepat dalam resonansi the Voice . Semua energi ketubuhannya mulai berpindah fokus pada ketajaman indranya dalam Truthtrance, berusaha memilah kebenaran dari kemuslihatan.
“Iya.”
“Apa kamu bagian dari Landsraad?”
“Tidak.”
“Pemberontak Zensunni?”
“Tidak.”
“Dari … Sosialis?”
“Ya.”
Diam agak lama, Yushi pun menoleh kepada Riku.
“Dia berkata benar … atau setidaknya percaya kalau dia tidak berbohong, Pangeranku.”
Riku mengangguk.
“Salah satu dari kita harus melaporkannya ke istana,” ujar Yushi, masih menatap dalam Riku.
Riku melotot.
“ And it’s me?”
Melihat ada ketidakyakinan di lirikan Riku, Yushi mengangguki; “ My prince , between me and you, I am the one who should be here. ”
Raut keruh penuh ragu bergelagat di muka Yushi tanpa keliru bisa Riku kenali sewaktu tunangannya itu melangkah, memasuki ruang penuh warna zamrud yang menjadi tempat Riku mendapat pelayanan dari beberapa Dokter Suk sekembalinya dia ke istana.
Layaknya tahu kalau niat dari yang baru sampai, para staf medis keluarga kerajaan yang berada di ruangan tersebut pun bergegas membenahi peralatan pemeriksaan mereka dan pergi, meninggalkan Riku dan Yushi yang masih lagi ditaut jarak antara daybed sofa di tengah ruangan dan ambang pintu.
Lamat-lamat menilik satu sama lain dalam diam, akhirnya Yushi pun memutuskan untuk lebih dulu bersuara: “Yang Mulia—”
“ Dont’ ever question my intention to marry you, Yushi. Kaisar atau aku sendiri nggak bakal membatalkan pernikahan ini, cuma karena kamu Bene Gesserit,” potong Riku, seolah tahu akan apa yang akan keluar dari mulut Yushi. Tanpa menunggu-nunggu lagi, sang Pangeran pun bergegas menghampiri yang masih berdiri di ambang pintu.
Kabar akan kemampuan Bene Gesserit melalui teknik audio-neuro mereka yang misterius untuk membangkitkan insting purba manusia agar yang mendengar tunduk tanpa tanya sebagaimana sihir gelap, yang dikenal dengan nama the Voice , sudah lama bersirkulasi di kalangan umum, menjadikan Ordo tersebut sebagai salah satu organisasi yang paling ditakuti sejagat raya, tapi kesima benar dan rasa ngeri akan kekuatan itu tetap menjalari Riku saat menyaksikannya secara langsung, lebih-lebih yang mempergunakan teknik tersebut calon mempelainya. Di balik garis mukanya yang manis dan gerak-derap langkahnya yang halim, Yushi tetaplah seorang Bene Gesserit yang memiliki kemampuan setara Sardaukar, pikirnya. Dan ini bukanlah kali pertama seorang Bene Gesserit menjadi permaisuri.
“Ini mungkin kedengerannya gila, Yuu ,” — deru napas Yushi berembus panjang kala mendengar panggilan yang ditujukan kepadanya. Tidak ada yang memanggilnya demikian, hanya Riku, — “tapi aku yakin, sekarang, kalau aku beneran mau menikah sama kamu bukan cuma sekedar karena perjodohan ini … tapi karena aku beneran mau .”
Riku perlahan dengan hati-hati meraih tangan Yushi dan merematnya erat, seakan-akan dengan demikian antara saraf mereka bisa saling bersinggungan dan rasa yang Riku rasakan saat ini bisa dia salurkan kepada Yushi, sehingga mengerti pula akan bagaimana mau yang dimaksudnya.
Rasa sempit di dada Riku yang sedari awal dia mulai bicara sudah hinggap di sana dalam sekejap mata membelalak, hilang didesiri angin segar yang menerbangkan rasa berat di punggungnya seketika penglihatannya berhasil menangkap senyum dan gemerlapan mata dari Yushi.
“Aku … juga mau,” jawab Yushi sedikit membisik, hampir tak lebih terdengar daripada suara gemericik aquarium yang ada sudut ruangan. Namun, bagi Riku, sudah cukup lantang dan dia tidak akan menuntut lebih daripada itu.
Saling mengulas senyum, Riku pun akhirnya menarik Yushi ke dalam dekapannya, lagi-lagi berharap tunangannya itu bisa merasakan apa yang dia rasakan lewat sentuhan fisik mereka. Dan, hanya demikian, masing-masing tidak perlu lagi bertukar kata untuk menyampaikan isi hati.
Butuh perundingan berhari-hari untuk Majelis Landsraad akhirnya menyepakati bahwa, langkah terbaik untuk menjadi sikap mereka atas penyerangan beberapa hari lalu adalah tidak membiarkan isu itu menyebar ke publik dan menjadikan semarak pernikahan sang Pangeran dan mempelainya sebagai simbol kekokohan kekaisaran dalam menghadapi serangan dari sekelompok sosialis. Setidaknya itu akan memberikan citra semu kepada mereka atas kekuasaan kaisar, sehingga selain fraksi Lansdraad, organisasi-organisasi antar bintang pun juga diundang khusus untuk menghadiri pesta resepsi tersebut, termasuk Bene Gesserit yang diwakili langsung oleh Matriark Agung Gaius Helen Mohiam sendiri.
Hampir empat puluh tahun duduk di tataran tertinggi kepemimpinan kelompok beranggotakan seluruhnya-Omega dari berbagai kalangan dan diam-diam menyisir jalan dari balik layar, sang Matriark Agung sudah bukan lagi asing dengan formalitas institusi pernikahan para bangsawan.
Namun, menjadi saksi akan hasrat yang membersamai dua insan yang menikah hanya karena fatwa dari Ordonya bukan pula hal yang akrab di matanya.
Pernikahan, baginya dan Ordo yang dia pimpin, tidaklah lebih dari perikatan yang didasarkan atas kaul mereka untuk keberlangsungan umat manusia; tidaklah lebih dari salah satu jalan yang mereka tempu untuk memetakan genetika kosmika manusia yang akan bermuara pada kelahiran al-Mahdi, sang Kwisatz Haderach : Dia Yang Hadir Di Setiap Tempat Dalam Serempak.
Jadi, seketika tilik matanya mendapati suatu kilatan asing yang samar-samar terpancar dari pandangan mata Yushi yang lurus mengunci pada dua manik legam sang Pangeran, Matriark Agung Gaius Helen Mohiam langsung mengenali akan suatu peluang yang bisa saja muncul dari jalan yang akan ditempu keduanya. Dan peluang tersebut boleh jadi sebuah ancaman bagi keberlangsungan suratan takdir yang mereka pintal secara hati-hati.
“ I’m yours, all of me ,” bisik Yushi sembari menyenderkan kepalanya di pundak Riku sewaktu mereka bertaut dalam dansa yang diiringi alunan musik di hadapan para tamu.
Riku yang lagi-lagi mendapati sisi Yushi yang tidak malu-malu memberinya afeksi di tengah keramaian pun cuma bisa menyuguhkan senyum penuh rona saat tangannya merempat erat pinggang Yushi, seakan sosoknya bisa saja hilang ditelan bumi jika Riku melonggarkan pelukannya.
“ And I to you too, my Love ,” balasnya.
Yushi yang merasakan kehadiran seseorang di sampingnya kala matanya masih tertutup selagi menikmati semilir angin sejuk sore hari yang halus menerpa wajahnya pun menoleh, mendapati seorang laki-laki yang dia tahu adalah seorang anasir Ordo yang juga merupakan salah satu prospek genetika, sepertinya; Ynez. Hanya saja, bukan diutus sebagai seorang pengantin, Anasir Ynez alih-alih dididik untuk menjadi seorang Imprinter kepada wangsa Narukami.
Bertemu pertama kali di pesta resepsinya beberapa bulan lalu, kali ini yang lebih muda kembali mendatangi Kaitain karena wangsa yang dia dampingi, yang merupakan produsen tunggal alutsista keluarga kaisar, dituntut kehadirannya dalam rapat Landsraad, yang kembali merundingkan untuk sebaiknya mengambil langkah konkrit terkait penyerangan pra-pernikahannya yang lalu.
Rapat tersebut, sebagaimana Yushi perhitungkan, sekarang sudah mencapai hari kelima tanpa adanya hasil. Sikeras sang Kaisar untuk segera menyerukan perang dengan perhimpunan sosialis dan perbantahan yang didapat hampir dari seluruh tubuh Spacing Guild dan CHOAM yang melihat hal tersebut sebagai ancaman ekonomi bagi kekaisaran, di samping Landsraad yang bersikap bahwa hukuman yang dijatuhkan harus menyasar tepat ke hulu, bukan cuma batang tubuh perkumpulan tersebut adalah alasan utama mengapa rapat begitu berlarut-larut.
Namun, sebagaimana semua hal yang memiliki permulaan, pasti akan ada akhir.
“Majelis berkesimpulan kalau eksekusi harus dijatuhkan kepada pelaku, sekaligus kita memberi peluang kepada para petinggi gerakan sosialis untuk melakukan perundingan di wilayah netral,” jelas Ynez tanpa diminta, tidak mengindahkan tatapan Yushi yang untuk beberapa saat mematri parasnya, sebelum akhirnya kembali berpaling, mengikuti arah tatapannya yang terpaku pada taman istana yang begitu indah kala diterpa cahaya keemasan sore.
“ And, do tell me, Brother, how would they do that? ”
“Secara garis besar mereka akan memilih Arrakis sebagai tempat diskusi.”
Yushi mendengus, dengan memilih planet tanpa satelit pengintai yang mengawasi pergerakan kependudukan, sudah pasti sang Kaisar memiliki niat tersendiri di sana.
“Biar Kaisar bisa menjalankan niatnya untuk balas dendam ,” sambung Yushi menebak, yang diamini Ynez. Kendati matanya sama sekali tidak berpaling dari gugusan tumbuhan hias yang membayangi rasi bintang di atas sana saat malam tiba, Yushi sadar akan anggukan Ynez. “Dan setelah itu, emosi khalayak akan lebih membuncah. Sadar akan apa yang Kekaisaran bisa lakukan kepada mereka. Pasti akan ada pemberontakan susulan, terutama dari kalangan sosialis dan Zensunni. Mereka bisa saja saling bekerja sama. Belum lagi ketidakstabilan yang bisa timbul di Arrakis. Kuduga, Atreides pasti tidak akan senang.”
“ About that … is no longer your concern. Our concern. Let the Wallach IX decide what our next step is. Sekarang, yang terpenting adalah kita bisa menjalankan misi masing-masing. Biar Kaisar bertekad lemah dan inkompeten itu jadi urusan Truthsayer Kasha.”
Yushi mendengus, mehan gelak, mendengar julukan yang disematkan Ynez kepada sang Kaisar.
“Tapi kita tetap butuh sifat-sifat genetikanya untuk diwariskan ke generasi selanjutnya,” imbuh Ynez. Mendengarnya, Yushi tanpa sadar mengikuti gestur Ynez, yang sedari awal kedatangannya sudah mengelus-elus abdomennya, seakan-akan bisa merasakan bentuk kehidupan awali yang mulai terbentuk di sana.
“Untuk dipadukan dengan keturunan Narukami nanti,” sambung Yushi.
“ In order for the Kwisatz Haderach to take his place, we need a sister on the throne ,” kata Ynez, “ and she happens to be our grand-daughter, is she not? Your son and my daughter’s daughter. But before that, kita butuh era ini, era kepemimpinan Kaisar Fumihito, sebagai kepemimpinan yang penuh akan intrik ketidakstabilan politik di beberapa tempat, itulah sebab kenapa kita memupuki mereka … agar nanti, Yang Mulia Pangeran bisa membereskan masalah ini; terus memutar roda siklus imperium. Tugas Yang Mulia saat ini adalah memastikan Yang Mulia Pangeran menjalankan perannya dengan benar.”
“Ah-h-h-h, Bene Gesserit and their plans within plans within plans ,” gumam Yushi.
“Yang Mulia,” tegur Ynez, menoleh-menatap Yushi dengan mata lebarnya, yang seakan bisa melihat seluruh belukar dan riak benaknya, kendati tatapan mereka tidak saling bertemu, “aku datang ke sini bukan cuma untuk mengendalikan Narukami Danshaku agar tetap di jalannya , tapi juga karena ada pesan langsung dari Bunda kita.”
Kali ini Yushi pun menoleh, menatap dalam dua manik sewarna madu laki-laki Omega di sampingnya lamat-lamat.
“Beliau berpesan, di sela-sela kunjungannya minggu kemarin, jangan sampai perasaanmu menghalangi tujuan terutama dan termulia kita sebagai Anasir Ordo Suci Bene Gesserit.”
Sontak Yushi mengerjap, memutus kontak mata sepihak ketika mendengar yang lebih muda menyampaikan pesan yang ditujukan kepadanya dari sang Matriark Agung dengan teknik alunan suara mendayu, yang tanpa timbang-menimbang, Yushi tahu kalau itu adalah the Voice. Sang Matriark Agung memerintahkan Ynez untuk mengingatkannya akan tujuan utama mereka dalam bahasa mereka.
“Pasti, Ynez. Kinhood above all ,” jawab Yushi, sekilas tenang di mukanya, seakan saraf dengarnya tidak sedang berusaha memulihkan diri karena baru saja terekspos kepada gelombang suara primordial yang menuntut kepatuhan absolut berdasarkan isnting hewaninya,
“Bi-lal Kaifa,” balas Ynez, menekankan kalau mereka harus terus mengingat-ingat tujuan utama mereka di setiap langkah masing-masing. “Kalau begitu, sampai jumpa lagi, Yang Mulia. Danshaku has ordered my attendance. I leave our little problem to you now.”
Melihat sosok berkimono merah mudah itu menghilang di balik koridor kastil, Yushi pun diterpa sadar kalau Ynez saat ini masih terbilang muda untuk ukuran Imprinter, lebih-lebih ketika dia ditugaskan untuk menangani pihak seberpengaruh keluarga Narukami, Yushi menimbang, dia harus berhati-hati dalam interaksinya. Bene Gesserit tidak mungkin membiarkan seorang Acolyte lulus lebih dulu kalau bukan karena kecakapannya yang exceptional dibanding yang lain.
Selagi memikirkan pembicaraannya barusan, Yushi segera berpaling dari balkon dan bergegas menghampiri sudut lain koridor kastil, di mana Riku yang sedari tadi berdiri di dalam bayang-bayang tiang istana, berusaha menguping pembicaraan dua Bene Gesserit tersebut. Jemarinya yang sudah siaga menjepit sepuntung jarum di balik lengan tuniknya tanpa bisa disangka mata ayunannya dan dirasakan kulit tindikannya, sudah menembus jaringan kulit Riku, menancap dalam sampai ke pembulu darahnya, sebelum yang diserang bisa menangkis, atau bahkan untuk sekedar menerka serangan tersebut.
“ What … is this, Yushi?” Riku terbata, menyusul rasa kesemutan yang seketika menyerang setiap sarafnya, pandangannya pun memudar, sebelum akhirnya digantikan gelap yang merenggut kesadarannya.
Tidak menjawab, melainkan Yushi membiarkan Riku jatuh ke dalam rengkuhannya, menuntunnya untuk segera berbaring di lantai.
“Gom Jabbar?”
Suara Ynez yang sudah berdiri di belakangnya memalingkan Yuhsi.
“Cuma racun pelemah saraf otak, biar dia lupa soal apa yang didengarnya tadi. Kamu bisa pergi sekarang. Dia urusanku, Ynez.”
“Hal Yawm.” jawab Ynez sopan dan akhirnya benar-benar meninggalkannya.
Masih tidak sadarkan diri, Yushi pun membiarkan Riku terkapar di atas pangkuannya untuk beberapa saat, membiarkan efek racun tersebut menyebar dan perlahan-lahan hilang, terserap sempurna di dalam jaringan neuron Riku. Kedua jemari jempolnya yang menangkup pipi tirus Riku pun mengusapnya hati-hati, seakan-akan takut kalau gerak-geriknya bisa saja membangunkan yang tengah tidak sadarkan diri.
Riku, I wish I could love you as much as you love me.
بلا كيف
