Actions

Work Header

Because Life Is Sweet, We Must Live

Summary:

"Kabito-san, kenapa kau membantuku?"

Laki-laki itu hanya menatap awan dan termenung sejenak lalu akhirnya memalingkan wajahnya ke arah Tanjirou.

"Ne~, Tanjirou-kun jangan merasa terbebani, aku melakukan ini untuk diriku sendiri".

Ia tersenyum—senyum yang tulus dan lembut. Jika biasanya orang mengatakan senyum Tanjirou seperti matahari, maka kali ini Tanjirou hanya bisa bergumam pelan dalam hati:
“Mereka harus melihat senyumannya Kabito-san.”

Tanjirou terdiam, terpaku pada senyum itu. Sementara Kabito masih tersenyum, di dalam pikirannya versi mini dirinya sudah jatuh tersungkur sambil memegangi dada.
"Huaaa, Tanjirou sangat imut, bagaimana bisa ada anak seimut ini. Lihat matanya, pipinya mengembul dan juga cara hidungnya mengkerut. Ahhh, aku akan mati, bagaimana bisa ada anak semengemaskan ini. Aku bersyukur bisa datang kesini untuk melindungi semua anak-anak ku."

Notes:

Jadi, ini adalah pekerjaan pertamaku. Aku akan mengupdate sebisaku tetapi karena kuliahku sendiri sudah memasuki semester akhir, aku rasa jadwal updatenya akan rancu. Kurasa itu saja, selamat membaca~

Oh ya, semua karakter di fanfic ini kecuali oc adalah milik Koyoharu Gotouge.

Chapter 1: Jalan yang Berbeda

Chapter Text

Matahari telah tenggelam, meninggalkan semburat jingga tipis di ujung langit. Kota Tokyo masih sibuk dengan ritme malamnya: derap langkah pejalan kaki, suara mesin kendaraan yang bersahut-sahutan, dan lampu-lampu toko yang mulai menyala. Di tengah keramaian itu, seorang gadis berjalan sendirian di sebuah gang kecil. Kepalanya tertunduk, kedua tangan mencengkeram erat tasnya, seakan benda itu satu-satunya pegangan yang ia punya.

Umiko, gadis berusia 23 tahun, tampak lesu. Tubuhnya memang masih melangkah maju, tetapi pikirannya tertinggal di tempat lain—tepatnya di lembaran manga yang baru saja ia baca.

“Woooh, Muichirou-ku... bayiku yang berharga... kau benar-benar mati,” keluhnya dengan suara hampir putus asa. “Dan dengan cara seperti itu pula, terbelah dua! Apa penulisnya dendam sama anak malang itu, hah?”

Dia mendengus keras, meski orang-orang yang lewat tidak terlalu menggubris. Kebanyakan sudah terbiasa melihat penggemar anime atau manga yang terlalu terbawa suasana. Namun bagi Umiko, rasa frustasinya nyata.

“Tidak ada satu pun karakter yang bisa bahagia di dunia itu. Bahkan anak sekecil itu disuruh bertarung dengan leluhurnya sendiri. Suruh yang lain kek! Kasihan sekali…” gumamnya lagi, kesal.

Umiko memang berbeda dengan kebanyakan fans. Bagi sebagian orang, karakter-karakter di manga hanyalah tokoh fiksi keren dengan jurus luar biasa dan wajah rupawan. Tapi bagi Umiko, mereka semua terasa seperti anak-anak yang tersesat dalam tragedi. Ia menyebut mereka “bayi” bukan tanpa alasan—ia benar-benar ingin merawat, melindungi, memberi mereka tempat untuk pulang setelah pertarungan sengit.

“Andai aku bisa ada untuk mereka,” lirihnya. “Pasti lega sekali rasanya punya tempat bersandar setelah semua kesialan itu. Aku mau jadi orang itu untuk mereka...”

Suara langkahnya masih teratur di atas aspal, sampai akhirnya sesuatu membuatnya berhenti. Pandangannya jatuh ke bawah, dan ia menyadari sesuatu aneh: aspal hitam yang ia injak perlahan berganti dengan tanah padat, seperti jalan setapak di pedesaan.

Umiko menahan napas. Jantungnya berdegup lebih cepat. Perlahan ia mengangkat kepalanya.

Dunia di sekelilingnya... sudah berubah.

Tidak ada lagi bangunan tinggi, lampu neon, atau deru kendaraan. Yang ada hanya deretan pohon wisteria yang sedang bermekaran, kelopaknya jatuh terbawa angin malam, berkilauan lembut di bawah cahaya bulan. Udara di sekitarnya harum, tenang, dan asing.

Umiko terdiam lama, otaknya mencoba mencari penjelasan rasional. Namun, begitu matanya menatap bunga-bunga wisteria itu, ingatan tentang manga kesayangannya segera muncul.

“Bunga wisteria... beracun untuk iblis. Korps Pembunuh Iblis menanamnya di sekitar markas atau rumah mereka,” gumamnya pelan.

Sudut bibirnya berkedut. Dunia di sekitarnya benar-benar seperti... manga yang tadi ia baca.

“Biasanya... kau tidak pernah menuruti permintaanku,” katanya lirih, wajahnya menegang. “Tapi yang ini langsung kau kabulkan?”

Umiko mendongak, menatap langit gelap dengan sisa jingga yang makin pudar. Lalu, tanpa peduli siapa yang mendengar, ia berteriak sekeras-kerasnya, suaranya bergema di antara pohon wisteria.

“Setidaknya kasih aku waktu bersiap dulu, dasar dewa brengsek!!!”