Actions

Work Header

Red Apple

Summary:

Jiwa yang muncul secara tidak sengaja membuat ikatan mereka semakin kuat

Day 7: Free Theme (Family)

Notes:

Disclaimer: Honkai Star Rail belong to Mihoyo. Author tidak mengambil keuntungan komersial apapun dari penulisan ini. Cerita ini adalah murni fiksi.

Cerita ini adalah sequel dari https://archiveofourown.info/works/66291070 dan salah satu prequel dari https://archiveofourown.info/works/65466010

Work Text:

01

Aglaea melihat perutnya dan mengelusnya dengan pelan.

Dia masih tidak percaya bahwa dirinya akan menjadi seorang ibu dan suaminya akan menjadi seorang ayah. Aglaea bersandar di bantal, dia baru saja menyelesaikan pekerjaanya dan akhirnya bisa bebas hingga minggu depan.

“Bagaimana kondisimu?”

Anaxa muncul di belakangnya sambil membawa nakas dengan teko, cangkir teh, dan beberapa potong biscuit. Dia kemudian meletakkannya di atas meja.

“Aku baik-baik saja, kamu terlalu khawatir.”

Anaxa menuangkan the ke cangkir Aglaea “Bagaimana aku tidak khawatir? Kandunganmu sudah memasuki bulen ke enam.”

Setelah selesai menuangkan teh untuk Aglaea, dia kemudian menuangkan teh untuk bagiannya sendiri dan meletakkan cangkirnya ke samping cangkir Aglaea. Lalu dia duduk di samping Aglaea dan mengelus perut Aglaea.

Anak mereka, yang muncul secara tidak sengaja di kehidupan mereka yang sangat padat dan sempat terjadi pertengkaran di antara mereka yang sama-sama kebingungan, untungnya pertengkaran mereka hanya berlangsung dengan singkat. Aglaea masih ingat setelah mereka saling minta maaf, beberapa hari kemudian Anaxa membeli buku cerita untuk anak-anak dan membacakan ceritanya untuk anak mereka yang belum lahir sebagai bentuk permintaan maaf kepada anaknya.

Anaxa kemudian menyenderkan kepalanya ke perut Aglaea. Tangan kanan Aglaea membelai rambut Anaxa dengan pelan sedangkan tangan kirinya mengelus perutnya.

“Ah.”

“Dia bergerak, Anaxa.”

Anaxa mengelus perut Aglaea lagi “Semoga kamu akan menjadi anak yang sehat.”

“Dia pasti akan menjadi anak yang sehat.”

Anaxa kemudian mencium kening Aglaea “Kamu juga harus menjaga kesehatanmu.”

“Kamu benar. Ayo kita minum teh kita sebelum menjadi dingin.”

02.

Semenjak Aglaea sudah hamil, Anaxa mengurangi pekerjaannya. Dia yang selalu menerima bimbingan untuk mahasiswa mulai jarang menerima dan selektif dalam memilih murid yang akan dia bimbing.

Murid-murid banyak yang bersyukur karena untuk saat ini mereka aman dari cengkaraman Anaxa dalam soal bimbingan, tapi mereka belum boleh merasa lega karena Anaxa masih tetap memberikan mereka banyak tugas.

“Aku pulang.”

“Selamat pulang.”

Aglaea sedang duduk di sofa ruang tengah, lembaran majalah terbuka dan dia sedang merajut sesuatu. Anaxa masuk ke kamar mereka untuk mengganti baju, menaruhnya di keranjang kotor, mencuci tangannya lalu duduk di samping Aglaea.

“Kamu sedang apa?”

“Aku sedang merajut sarut tangan untuk bayi.” Aglaea menghentikan gerakkannya sebentar dan menunjukkan halaman yang dia buka ke Anaxa. “Majalah orangtua dan anak yang aku beli ternyata ada tutorial untuk merajut.”

“Menarik. Omong-omong, bagaimana kalau kita berlangganan majalah ini?”

“Sebelum berlangganan, sebaiknya kita beli beberapa volume terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk berlangganan majalah ini karena ada beberapa majalah orangtua dan anak yang lain.”

“Kamu benar. Aku yang akan beli majalahnya.”

“Apa kamu yakin?”

“Kenapa tidak? Toh, aku juga sekalian baca juga. Kita berdua sudah menjadi orangtua.”

Aglaea kemudian kembali merajut, Anaxa memperhatikan Aglaea yang sedang merajut. Aglaea merajut dengan tenang dan teliti. Dia lalu melihat perut Aglaea dan merasa takjub dengan Aglaea yang usia kehamilannya mulai memasuki umur yang besar masih ada keinginan belajar untuk membuat sesuatu.

“Anaxa, apa kamu ingin mengelus perutku lagi?”

“Bagaimana dengan si kecil hari ini?”

“Tadi dia bergerak lagi.”

“Aku harap jika dia dewasa nanti, dia tidak akan gila bekerja seperti kita berdua.”

“Kamu benar Aglaea.”

Anak perempuan. Anaxa masih ingat sebelum Aglaea melakukan tes USG, dia mengira bahwa anak mereka adalah laki-laki, sedangkan Aglaea percaya bahwa anak mereka adalah perempuan. Saat tahu anak mereka perempuan, Aglaea merasa sangat senang. Laki-laki atau perempuan, Aglaea dan Anaxa akan tetap menyayangi anak mereka berdua.

“Anaxa, bagaimana dengan pekerjaanmu?”

“Aku mulai mengurangi menerima bimbingan. Aku akan kembali menerima bimbingan dalam jumlah banyak kalau anak kita sudah cukup besar.”

“Sebelum kamu bertanya, tenang saja Anaxa. Aku tidak menerima semua tawaran.”

Aglaea kemudian berhenti menjahit dan dia menyenderkan kepalanya ke bahu Anaxa. Anaxa mengelus-elus tangan Aglaea dan memijat-mijatnya dengan pelan, Anaxa teringat bahwa masih ada buah apel pemberian dari kakaknya.

“Kamu mau makan apel?”

Aglaea menggelengkan kepalanya. “Aku mendadak ingin makan anggur.”

Anaxa tertawa, dia mengelus perut Aglaea. “Ya ampun nak, kamu ternyata mau makan anggur.”

“Kalau begitu, aku pergi ke supermarket dulu ya.”

“Tunggu, Anaxa. Aku juga mau ikut pergi bersamamu.”

“Baiklah. Jangan lupa pakai jaket.”

03

Anaxa terbangun dari tidurnya karena mendengar rintihan Aglaea. Dia memegang kening Aglaea untuk memeriksa apa Aglaea jatuh sakit atau tidak. Namun suhu badannya tidak terlalu panas, anehnya Aglea masih merintih. Saat dia melihat Aglaea memegang perutnya, dia akhirnya tahu apa penyebab Aglaea merintih kesakitan di tengah malam.

Anaxa mengelus perut Aglaea hingga Aglaea merasa tidak kesakitan lagi, dia kembali memejamkan matanya untuk tidur. Sayangnya Aglaea kembali merintih kesakitan karena anak mereka bergerak setelah Anaxa berhenti mengelus perutnya.

Anaxa merasa bahwa sepertinya ada kemungkin jika sudah lahir, anak mereka akan sangat manja kepada dirinya atau ke Aglaea kalau Anaxa terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia kembali melanjutkan mengelus perut Aglaea hingga dia jatuh tertidur.

Pagi harinya, Aglaea yang bangun terlebih dahulu. Dia merasakan ada sesuatu yang menyentuh perutnya, Aglaea melihat ke bawah. Tangan Anaxa berada di atas perutnya, Aglaea mengganti posisinya menjadi duduk di kasur, mengelus perutnya sebentar lalu menarik kepala Anaxa mendekat, mengelus kepalanya.

“Terima kasih ya, Ayah.”

Anaxa masih belum terbangun dari tidurnya, tapi dia tersenyum setelah mendengar perkataan itu. Jika Aglaea merintih lagi di tengah malam, dia akan terus mencurahkan kasih sayangnya supaya istri dan anaknya merasa senang dan aman.

04

Anaxa melihat kakaknya dan Aglaea sedang bersiap-siap untuk pergi ke luar kota karena pekerjaan Aglaea dan kakak Anaxa bersikeras untuk menemani Aglaea, wajar karena usia kandungan Aglaea sudah masuk ke bulan kesembilan. Aglaea tetap nekat karena dia aka nada pertemuan dengan orang-orang penting. Anaxa sudah menawari untuk menemaninya, namun Aglaea menolaknya karena dia tahu Anaxa akan membimbing muridnya.

Anaxa mencium pipi dan perut Aglaea. “Kamu dan kakak, hati-hati ya.”

“Iya, kami berangkat. Kamu juga hati-hati ya.”

.

Aglaea merasa kesakitan, dia pernah mendengar bahwa proses persalinan itu sakit dan bisa berlangsung dengan sangat lama, tapi dia tidak menyangka bahwa akan bisa sesakit ini. Aglaea melihat jam yang berada di atas pintu, sudah satu jam dia masih bersalin dan anaknya masih belum keluar.

“Anaxa.” Gumannya.

Dia berharap Anaxa berada di sini, tapi dia tahu mungkin Anaxa baru sampai di rumah sakit keesokan harinya. Aglaea menarik nafas dan mendorong lagi, rasanya dia ingin pingsan, tapi dia tidak akan menyerah. Dia terus mendorong hingga dia mendengar bunyi bayi menangis.

Ah… anaknya sudah lahir. Ruang persalinan yang awalnya membuatnya merasa tidak nyaman akhirnya dia tidak merasa tidak nyaman lagi. Dokter membersihkan bayinya, lalu menggunting tali pusarnya.

Dokter menggendong anaknya dan menyerahkannya kepada Aglaea. “Bayi perempuan yang sehat! Selamat!”

Aglaea menggendong anaknya dan menatapnya dengan lembut. Dia merasa lega karena akhirnya anaknya sudah lahir setelah sembilan bulan bersemayam di dalam perutnya, rasa aneh kemudian muncul karena dia membawa dan melahirkan sebuah jiwa.

“Akhirnya Ibu bisa bertemu denganmu.” Bisiknya dengan lembut. “Besok kamu bisa bertemu dengan ayahmu.”

.

Anaxa berdiri di depan pintu ruangan Aglaea dan mengetuk pintu sebanyak tiga kali dengan pelan.

“Silakan masuk.”

Anaxa masuk ke dalam dan dia melihat anak mereka yang tidur di pelukan Aglaea. Anaxa mengambil kursi dan duduk di samping Aglaea, dia tahu Aglaea memang cantik, tapi entah kenapa di hari ini Aglaea terlihat semakin cantik.

“Kamu mau menggendong dia?”

Anaxa menggangguk dan menggendong anaknya. Mungil, dia tahu bahwa bayi itu mungil tetapi dia tidak menyangka bahwa ternyata anak mereka sangat mungil di gendongan dia. Saat akan menyentuh pipi anaknya dengan jari telunjuknya, anak mereka menggenggam jari Anaxa dengan tangannya yang kecil.

“Apa kamu sudah yakin dengan nama yang akan kita berikan kepada dia, Aglaea?” Bisik Anaxa dengan pelan supaya anak mereka tidak terbangun mendengar suara mereka.

“Iya, namanya Alexia.”

Anaxa melihat Alexia “Selamat datang, Alexia. Akhirnya Ayah dan Ibu bisa bertemu denganmu.”

Anaxa kemudian mengecup kening Aglaea. “Kamu hebat Aglaea, kamu sudah berjuang. Terima kasih sudah melahirkan anak kita.”

Keduanya lalu menatap anak mereka, masih tertidur lelap. Anaxa kemudian menyerahkan Alexia ke Aglaea, Alexia membuka matanya dan melihat Ibu dan ayahnya. Dia mewarisi warna mata Ibunya.

Beberapa hari kemudian, Aglaea sudah bisa meninggalkan rumah sakit dan pulang. Anaxa sudah membersihkan rumah dan memilah-milah hadiah yang diberikan oleh keluarga dia dan Aglaea untuk Aglaea sebelum dia pergi menjemput Aglaea.

Aglaea duduk di sofa, memeluk Alexia dan bersenandung dengan pelan. Anaxa duduk di samping Aglaea dan melihat wajah Alexia yang tertidur dengan pelan. Dia masih merasa aneh karena dirinya sudah menjadi seorang Ayah.

Aglaea melihat jam yang berada di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Aglaea selalu mandi sore di jam empat sore di hari libur, Aglaea kemudian mengecup pipi Alexia.

“Sudah waktunya untuk kamu mandi nak, kita akan mandi bersama.”

“Aku akan bantu menyiapkan baju ganti.”

“Baiklah.”

Aglaea berendam di bak mandi dengan air hangat dan Alexia menyender di dada dia. Aglaea memandikan Alexia dengan hati-hati. Mencium bau aroma sabun dan sampo yang dia pakai di rumah membuatnya bahagia setelah dia tidak tahan dengan bau di rumah sakit.

Alexia tertawa saat dimandikan dan Aglaea sangat senang mendengar bunyi tawa anaknya. “Kamu sepertinya akan suka mandi seperti Ibu.”

Seusai mandi, saat Aglaea hendak akan memakaikan baju ke Alexia terlebih dahulu dia hanya bisa tertawa kecil saat melihat baju Alexia yang disiapkan oleh Anaxa adalah baju dromas untuk bayi. Setelah selesai memasang baju untuk Alexia, dia memakai bajunya.

“Anaxa.”

Anaxa yang sedang membaca majalah menengok ke arah belakang dan dia terkesima dengan Alexia yang memakai baju Dromas. Dia kemudian mengambil telepon genggamnya, membuka camera, dan memotret Alexia.

05

Dua bulan setelah Alexia hadir, Anaxa terpaksa melakukan dinas ke Universitas Penacony, padahal dia masih ingin melakukan bonding kepada anak perempuannya. Dia terpaksa ke sana untuk menambah pengetahuan baru.

Ada acara makan bersama antara sesama staf universitas. Anaxa sudah berjanji akan melakukan video call bersama Aglaea setelah seminar selesai, namun dia tidak bisa menolaknya.

Anaxa berdiri di pojokkan menghabiskan makanan yang dia ambil. Dia hanya mengambil beberapa kudapan dan kue kecil karena tidak memiliki nafsu makan. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang, saat dia menoleh ternyata Ratio yang menepuk pundaknya.

“Selamat malam, Pak Anaxa.” Sapa Ratio.

“Selamat malam juga.”

Ratio melihat raut wajah Anaxa yang terlihat lelah dan melihat piring Anaxa. “Apa anda baik-baik saja?”

“Saya baik-baik saja, seharusnya saya video call dengan istri saya. Tapi saya tidak bisa kabur.”

“Saya hampir lupa bilang, selamat atas kelahiran putri anda. Saya mendengarnya dari teman saya.”

“Terima kasih banyak.”

Ratio kemudian melihat sekeliling dan dia melihat sosok yang dia kenal. “Saya permisi dulu, ada orang yang saya kenal.”

Anaxa mengangguk dan melanjutkan kembali makannya setelah Ratio pulang. Dia ingin cepat-cepat selesai dan setelah ini langsung kembali ke kamar hotelnya, namun dia tidak sengaja mendengar percakapan staf yang saling berbicara bahwa setelah acara makan-makan akan ada sesi minum-minum. Setelah selesai makan, dia memanggil pelayan untuk memberikannya piring kotor.

Anaxa melihat Ratio yang datang menghampirinya bersama seorang Pria tinggi berambut pendek dan berwarna coklat. Pria itu kemudian membungkuk di depan Anaxa dan memperkenalkan dirinya.

“Nama saya Reca, saya adalah salah satu dosen di universitas ini. Senang berkenalan dengan anda.”

Keduanya lalu saling menjabat tangan. “Nama saya Anaxa, senang berkenalan dengan anda juga.”

“Saya mendengar dari Pak Ratio bahwa anda seharusnya berbicara dengan istri anda. Jangan khawatir, saya akan membantu anda untuk kembali ke hotel.”

Sebelum sempat mengatakan sesuatu, Reca memutar dan berjalan ke arah sala satu staf yang dia kenal dan kembali ke Anaxa.

“Anda sudah bisa kembali ke hotel. Tenang saja.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama, dan selamat atas kelahiran anak anda.”

“Pak Reca, saya akan menemani Pak Anaxa sampai ke luar universitas.”

“Baik, saya akan tunggu di sini.”

Di depan hotel sebelum masuk, Ratio menyerahkan tas kecil kepada Anaxa. “Ini untuk anda.”

“Untuk saya?”

“Benar, isinya adalah biscuit buatan istri saya. Sebagai tanda terima kasih karena sudah menolong anak kami, telepon genggam dia baterainya sudah habis saat anda menghubungi dia.”

Anaxa menerima tas itu. “Sampaikan terima kasih saya kepada istri anda.”

Ratio mengangguk dan pamit. Lalu kembali ke universitas. Anaxa mengunci pintu kamarnya, menaruh tas kecil di atas meja dan merebahkan dirinya di kasur sebentar sebelum mandi.

Lalu dia membuka telepon genggamnya untuk menghubungi Aglaea dan dilihatnya Aglaea masih online. Dia kemudian menekan tombol video call.

“Anaxa?”

“Halo, akhirnya aku bisa menghubungimu.”

Aglaea terlihat kelelahan dan saat ini berada di kasur.

“Bagaimana dengan Alexia?”

“Dia baru saja tidur.”

“Aku akan pulang besok, tapi di malam hari.”

“Baiklah, hati-hati ya.”

Keduanya lalu berbicara hingga keduanya mulai mengantuk.

06

Aglaea mengenakan jaket musim dingin dan syalnya, memeriksa ulang isi tasnya sebelum pergi keluar. Anaxa berdiri di depannya sambil menggendong Alexia yang tidur. Anaxa mennyuruh Aglaea untuk pergi jalan-jalan sendirian selama seharian.

“Apa kamu yakin tidak apa-apa aku tinggalkan?”

“Tidak apa-apa, kamu butuh waktu untuk istirahat seharian. Kamu ‘kan sudah sering mengasuh Alexia.”

“Baiklah kalau begitu. Aku sudah menyimpan ASI perah di kulkas.”

Setelah Aglaea keluar, Anaxa membaringkan Alexia di ranjang bayi dan menyelimutinya. Dia berjalan menuju ke ruang kerjanya untuk mengambil laptop kerjanya, lalu kembali ke kamarnya untuk bekerja di kamarnya sambil menjaga Alexia. Belum sempat Anaxa menyalakan laptopnya untuk bekerja, Alexia menangis dengan kencang dan Anaxa bergegas menghampirinya, diperiksanya suhu badan dan ternyata normal, mencium bau badan tapi popoknya tidak bau, saat menyodorkan botol susu, Alexia tidak mau meminumnya.

Anaxa kemudian menggendongnya dan menepuk-nepuk punggung Alexia dengan pelan. Alexia berhenti menangis, tapi saat ditaruh di ranjangnya lagi, dia menangis lagi. Dia menggendong Alexia lagi dan tangisannya berhenti.

“Hoo, kamu mau digendong sama Ayah ternyata.”

Anaxa melihat keluar, salju turun. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk mengenalkan salju kepada Alexia. Anaxa berjalan menuju lemari baju, mengambil baju musim dingin untuk dirinya dan Alexia, serta sarung tangan Alexia. Dia mengganti baju Alexia terlebih dahulu.

Anaxa berjalan ke taman kecil di belakang rumahnya dan berjalan di tengah. Alexia yang tadi tenang menjadi riang dan menggerak-gerakkan tangannya karena melihat salju, Anaxa mengecup kening anaknya dan Alexia semakin menjadi senang.

“Alexia, kalau kamu sudah besar nanti, Ayah dan Ibu akan menunjukkan dan mengajarimu berbagai hal.”

Seolah-olah mengerti dengan ucapan ayahnya, Alexia memegang ujung rambut Anaxa dan menariknya dengan pelan. Anaxa tertawa melihat Alexia yang sangat senang, mereka terus melihat salju hingga Alexia jatuh tertidur.

“Aku pulang.” Aglaea menutup pintu masuk, menaruh syal dan jaketnya di gantungan dekat pintu masuk.

Aglaea berjalan menuju ke dapur terlebih dahulu untuk menyimpan makanan yang dia beli, lalu dia berjalan ke ruang tengah. Dilihatnya Anaxa yang sedang berbaring di lantai sambil memeluk Alexia yang berada di atas badannya. Aglaea berbaring di samping Anaxa.

“Jadi, bagaimana dengan Alexia di hari ini?”

“Dia sempat menangis kencang dua kali. Baru tenang setelah aku menggendongnya dan menujukkan salju kepadanya.”

Aglaea mengusap pipi anaknya dengan ibu jarinya, lalu mencium kening Anaxa.

“Bagaimana kalau kita ke kamar?” Saran Aglaea.

Keduanya berjalan menuju ke kamar, Anaxa menaruh Alexia di keranjang bayi dan menyelimutinya. Anaxa dan Aglaea bergantian mencium pipi anak mereka dan mereka merebahkan diri mereka di kasur.

Anaxa mencium Aglaea berkali-kali dan Aglaea hanya tertawa dengan pelan. Aglaea lalu memeluk Anaxa dengan erat. Anaxa tahu bahwa Aglaea sudah tidak hamil lagi tapi dia mengelus perut Aglaea.

“Kamu ingin kita punya anak lagi?”

“Tidak.” Anaxa berhenti sebentar. “Hanya saja aku masih takjub kamu membawa anak kita di perutmu selama sembilan bulan, dan itu sangat tidak mudah.”

“Memang benar. Tapi kamu selalu berada di sisiku, dan banyak orang baik yang membantu kita.”

“Aku masih merasa bersalah karena tidak bisa menemanimu saat persalinan.”

“Hei, kamu tidak perlu minta maaf. Aku juga salah karena memintamu untuk tetap bertemu dengan muridmu. Sebagai gantinya, kamu harus menyempatkan dirimu bersama Alexia.”

Aglaea membelai poni Anaxa. “Tapi, kamu bisa menemaniku di lain waktu.”

“Apa kamu ingin punya anak lagi?”.

“Iya, tidak ada salahnya kalau Alexia akan punya saudara kan? Sama seperti kamu dan kakakmu.”

Anaxa tertawa. “Kamu benar, dan kita akan memberikan kasih sayang yang sama seperti kita mencurahkan kasih sayang kita ke Alexia.”

Alexia terbangun dan mengeluarkan suara. Aglaea turun dari kasur, memeluk dan menggendongnya. “Kamu sudah bangun saja.” Lalu dia merebahkan Alexia di samping Anaxa dan Aglaea merebahkan dirinya di samping Alexia.

Alexia menggenggam jari Aglaea dengan tangannya dan air mata Aglaea tumpah, meskipun sudah lahir dan sudah berumur dua bulan, Alexia masih membuat Aglaea masih merasa terharu.

Anaxa akan terus mengingat pemandangan cinta antar ibu dan anak yang dia saksikan. Seketika dia teringat bahwa mereka belum sempat mengambil foto keluarga. Dia berencana untuk ke foto studio di bulan depan.

.

Anaxa menatap figura foto keluarga mereka yang dipajang di ruang tamu. Dia masih ingat, Alexia sempat susah untuk diam saat difoto hingga anak pemilik foto studio meminjamkan bonekanya kepada ayahnya untuk menarik perhatian Alexia dan hasilnya sukses. Anaxa merasa ada yang menggerakkan ujung bajunya, saat melihat ke bawah ternyata Alexia yang terbangun di tengah malam dan mengucek matanya. Alexia sudah berumur tiga tahun.

“Ayah… Toilet…” Guman Alexia. “Soalnya Ibu baru selesai kerja.”

“Baiklah.”

Alexia merentangkan tangannya. “Gendong.”

Anaxa menggendongnya “Kamu selalu senang digendong sama Ayah sedari kamu bayi.”

“Aku paling suka digendong sama Ayah, kalau sama Ibu aku paling suka dipeluk.”

Anaxa berpikir, kalau Alexia sudah dirasa cukup umur mungkin dia dan Aglaea akan mempertimbangkan untuk memiliki anak lagi. Dilihatnya lagi warna rambut anak perempuannya. Jika anak kedua mereka adalah laki-laki, Anaxa berharap semoga anak keduanya mewarisi warna rambut Aglaea.