Chapter 1
Notes:
Disclaimer: ABO Desire dan semua karakternya belongs to Nong Jian.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Kesunyian yang hening menyambut Huayong ketika langkahnya memasuki rumah. Pintu ganda tertutup di belakangnya. Sudah waktu senja ketika ia mengendarai mobil dari kantor tadi. Ia membuang tas jinjingnya di sofa terdekat. Nada suaranya mendesak memanggil-manggil nama Shaoyou.
Jam kerja staf rumah tangga sudah berakhir, dipastikan mereka semua pulang, meninggalkan kediaman ini hanya ada Shaoyou dan Peanut. Huayong semestinya tidak perlu merasa panik, tetapi apapun yang berkaitan dengan Shaoyou selalu membuatnya jungkir balik.
Huayong lekas meneliti setiap ruangan, mencari keberadaan Shaoyou. Beruntung rumah ini tidak terlalu besar—Huayong teringat rumahnya di Negara P yang merupakan mansion megah dengan banyak ruangan seperti labirin. Instingnya mengatakan untuk menengok ke dalam kamar bayi.
Warna oranye pastel menyambut pandangannya ketika Huayong membuka pintu bercat putih. Tirai brokat menjuntai jatuh menutupi jendela, memblokir pemandangan langit senja di luar. Sebuah boneka harimau duduk di sofa pendek di pojok kamar. Dekorasi kamar itu sederhana, tiga poster bergambar rubah mini dan pohon-pohon, ditempel pada dinding polos. Shaoyou yang memilihnya. Desain kamar sang buah hati sudah disepakati, dengan tatanan simpel, namun nyaman dan melindungi.
Huayong menghembuskan napas yang tanpa sadar tertahan. Merasa lega. Di atas ranjang single bercat putih gading, Shaoyou terlelap. Laki-laki itu bernapas lembut ketika ia berbaring miring. Cahaya lampu membingkai lekuk wajahnya yang tenang. Sosok mungil Peanut dalam rengkuhan lengannya. Wajah bayi itu bersandar di dada Shaoyou. Piyama satin biru memeluk tubuh pria itu, seluruh kancingnya hampir terbuka semua—menampilkan kulit putih pucat dadanya yang terekspos.
Langkah-langkah Huayong berdesir pelan di atas lapisan karpet ketika ia menghampiri ranjang dan duduk di tepinya.
Mendapati Peanut yang masih terjaga, Huayong tak dapat menahan senyum. Tatapannya penuh afeksi dan kelembutan. Sepertinya Shaoyou tertidur saat sedang menyusui. Sesuatu dalam dadanya menghangat dan meleleh melihat pemandangan itu.
Bayi berusia enam bulan itu terjaga penuh. Mata bulatnya menatap Huayong, yang sejenak menahan napas. Bayi Peanut dalam kondisi tenang dan tidak berisik—tidak ada suara celotehan atau apapun.
Huayong ragu-ragu ketika mengulurkan tangan. Mengusap kepala sang bayi, kemudian membetulkan kancing piyama Shaoyou. Tiba-tiba Peanut membuka mulut lebar-lebar, menampilkan gusi merahnya yang ompong—tampak seperti senyuman aneh di mata Huayong. Oh, astaga! Huayong diliputi oleh perasaan gemas yang luar biasa. Sudah lebih dari enam bulan, namun ia masih tidak percaya kalau itu adalah putranya sendiri. Yang masih belum bisa melakukan apapun selain menangis dan mengompol, tersenyum kepadanya. Seperti keajaiban dunia!
Tangan Huayong masih terulur, meraih bongkahan pipi bulat itu, menekan cubitan kecil. Kemudian, ia meletakkan jarinya di telapak mungil, yang ternyata hanya seukuran ibu jari. Peanut menggenggam ibu jari Huayong tiba-tiba. Genggamannya tidak begitu kuat, tapi terasa seperti bayi itu ingin menahan keberadaan ayahnya.
Kamu mau apa?
Huayong mencoba bicara melalui isyarat mata. Yang dibalas Peanut dengan gembira, mengangkat kakinya dan menendang-nendang udara. Huayong tak dapat menahan keinginan itu. Ia mengangkat bayi Peanut dan lekas merengkuhnya ke dalam gendongan. Huayong mengingat-ingat cara menggendong bayi seperti yang diajarkan Shaoyou—rentangkan lengan kanan, letakkan kepala di atas siku, tahan bagian pantat bayi dengan telapak tangan, gunakan tangan kiri untuk menopang.
“Huasheng, kamu sudah lumayan berat nih.”
Tatapan Huayong melembut. Ia menggendong bayi Peanut dan membawanya duduk di sofa.
Boneka harimau diletakkan di pangkuan. Ada aroma anggrek lembut menyebar dengan intensitas perlahan yang menenangkan. Peanut dalam rengkuhan dadanya, anak itu mulai berceloteh dengan suara patah-patah. Bebunyian random yang tidak jelas, seperti suara-suara “pa” dan “da” yang berulang.
Huayong teringat saat-saat kritis Shaoyou ketika membawa Peanut ke dunia. Ada campuran rasa bersalah saat diingat lagi; dirinya yang waktu itu siap mati dan tidak memedulikan Peanut—hampir saja melimpahkan kemarahannya pada Peanut sebagai penyebab bagi keadaan Shaoyou-nya. Saat ini, seharusnya itu sudah bukan apa-apa lagi. Yang dirasakan Huayong adalah bahagia tiada tara. Lagipula, ini darah dagingnya. Sudah selama itu, menyiapkan nama bagi bayi yang bahkan belum lahir saat dia berusia enam belas.
Huayong mencoba menyuarakan lantunan lagu. Selama beberapa menit dalam keadaan seperti itu hingga Peanut mulai jatuh terlelap. Ia sedang berusaha bangkit berdiri ketika suara Shaoyou terdengar.
“Huayong? Kamu sudah pulang?” Shaoyou bangun dari posisi baringnya. Tatapan matanya mengantuk dan wajahnya sepucat lipatan kertas.
“Tuan Sheng tidur lagi aja. Biar Peanut aku yang jagain.”
Shaoyou mengirim senyum tulus ketika Huayong berjalan menghampiri ranjang untuk mengembalikan Peanut, menidurkannya ke bantal dengan hati-hati.
“Sepertinya dia cuma mau tidur kalau sama kamu.” Shaoyou menarik selimut flanel bermotif wortel menutupi tubuh si bayi.
“Tuan Sheng sudah ngelakuin yang terbaik juga kok. Tadi aku lihat dia masih bangun meski sudah disusuin.”
“Pasti kamu lagi capek-capeknya, maaf ya aku ketiduran.”
“Nggak apa-apa kok. Tuan Sheng yang jauh lebih capek ngurus Peanut sendiri seharian.” Huayong meraih tangan Shaoyou yang terulur, meremas jari-jemarinya perlahan.
Shaoyou balas tersenyum hangat. "Ada nanny kok nggak sendirian." Ia mencoba bangkit sepenuhnya dari ranjang. “Kamu laper? Coba aku lihat pembantu tadi ninggalin masakan apa.”
Huayong gagal membujuk Shaoyou agar tetap beristirahat di kamar saja, tetapi ia juga merasa senang saat mereka bergandengan tangan menuju ruang makan dan menyantap makan malam bersama.
***
Huayong terbangun oleh suara lengkingan tangis bayi. Ia bergegas bangkit ketika dilihatnya Shaoyou masih terlelap di sampingnya. Ia berjalan tergesa ke kamar bayi. Tangis Peanut semakin keras begitu Huayong mendekat. Aturan pertama yang harus diingat saat mendapati bayi menangis; cari tahu penyebabnya, mungkin popoknya perlu diganti, mungkin karena dia lapar, tapi mungkin juga keduanya.
Jadi, pertama-tama Huayong mengganti popok Peanut dengan yang baru. Setelah menaburkan bedak di area bawah tubuh bayi, ia memastikan popoknya direkatkan dengan benar. Tangis Peanut mulai reda ketika Huayong merengkuhnya dalam gendongan. Huayong melantunkan nada-nada teduh seraya mengusap-usap punggungnya. Feromon anggrek penenang terpancar memenuhi udara. Berharap bunyi tangisan Peanut tidak membuat Shaoyou terbangun. Dengan Peanut yang masih dalam gendongan, ia lekas meraih dot bayi yang tersedia di meja. Menuangkan susu formula dan menyeduhnya dengan air hangat.
Beberapa menit kemudian, Huayong mendapati dirinya merebah dengan posisi miring, tangan disangga kepala. Peanut sudah tenang di pelukannya, meneguk botol susu dengan rakus. Satu tangan Huayong direntangkan untuk menahan botol agar tidak jatuh.
Ia mengamati. Fitur wajah lembut bayi itu. Mewarisi bentuk bibir Shaoyou, dengan mata dan hidung miliknya. Rambut legam hampir tumbuh merata di kepalanya. Makhluk mungil yang begitu polos dan murni, buah cintanya dengan Shaoyou. Ia sudah memperjuangkan kehadiran anak ini dengan begitu gigihnya. Menghujaninya dengan feromon penenang sejak masih dalam kandungan. Rasanya seperti keajaiban. Ialah yang menghadirkan keajaiban ini ke dunia. Kehadiran Peanut adalah pelengkap bagi dunianya bersama Shaoyou. Sebuah keluarga kecil yang selalu ia dambakana. Potret bagi impiannya yang sempurna.
Huayong merasakan kedua matanya berat oleh kantuk, tetapi ia berjuang keras untuk terjaga; tidak membiarkan kantuk menguasainya. Ia baru membolehkan dirinya tidur jika Peanut sudah terlelap. Tidak apa-apa jika dirinya yang harus terjaga sepanjang malam.
***
Sheng Shaoyou terbangun dengan perasaan aneh. Jam weker berbentuk jamur di nakas menunjukkan pukul tiga pagi. Rajang di sampingnya kosong. Huayong tidak ada, tetapi kebutuhan mendesak untuk buang air mendorongnya pergi ke kamar mandi. Ia lekas menghampiri kamar bayi begitu selesai buang hajat.
Langkah Shaoyou tertahan di ambang pintu. Memerhatikan punggung Huayong yang rebah di ranjang Peanut. Ia tak dapat menahan senyum hangat ketika berjalan menghampiri tempat kedua orang kesayangannya berada.
Posisi tidur Huayong tampak aneh dan tidak nyaman. Satu lengan ditekuk di bawah kepala, yang pasti akan membuatnya pegal jika terbangun besok. Tapi Shaoyou tak kuasa membangunkannya. Ada botol susu yang sudah kosong, tergeletak di samping kepala Peanut, yang juga sudah terlelap.
Itu pemandangan favoritnya di dunia. Shaoyou terdiam cukup lama ketika mengulum senyum tanpa melepaskan tatapannya dari mereka berdua. Ia meraih selimut lain yang lebih lebar, menghamparkannya memeluk tubuh Huayong dan Peanut. Shaoyou mencondongkan kepala ke wajah Huayong, dengan lembut mendaratkan bibir di keningnya.
Notes:
Saya bukan crazy rich, jadi maaf, kalau ceritanya tidak terkesan “bergelimang harta.” Ingin sekali mendapat asupan cerita dengan soft dads Huayong, jadi memutuskan untuk melanjutkan ini; cerita-cerita keluarga Hua Sheng dan perkembangan Peanut di bawah asuhan orangtua Enigma dan Alpha.
Anyway, ayo kita tunggu sama-sama episode 16 :”)
Chapter Text
Huayong menarik tali hipseat carrier yang sedikit melorot ke atas bahu. Peanut menggantung nyaman di gendongannya. Ia menggunakan satu lengan untuk menahan tubuh bayi. Peanut menginjak bulan keduabelas. Berat badannya sudah naik. Huayong baru menyadarinya ketika ia mencoba duduk di jok depan. Berjuang agar masuk sepenuhnya, yang terasa sedikit sulit.
Shaoyou memandang dengan agak khawatir. Laki-laki itu sudah duduk nyaman terlebih dahulu di depan kemudi, hampir tanpa halangan. Sudut bibirnya terangkat sedikit, antara ingin mengomentari Huayong yang kesusahan atau merasa kasihan.
“Gimana?” Shaoyou mengulurkan tangan, membantu Huayong memasang seat belt. “Mau tukeran aja? Kamu yang nyetir di sini biar Huasheng sama aku?”
Huayong menggeleng, mengulum senyum hangat. Menepuk-nepuk perut Peanut yang duduk nyaman di pangkuannya. “Nggak masalah, Tuan Sheng. Ini udah aman.”
Peanut membalas dengan membuat bunyi ocehan dan tawa lucu menggemaskan. Huayong mengusap kepala Peanut dengan puas dan bangga.
Diam-diam, Shaoyou menyalakan kamera ponsel, tak ingin melewatkan momen. Kedekatan Huayong dan Peanut harus selalu diabadikan, sebab ia menyukainya.
“Oke,” kata Shaoyou, setelah meletakkan ponsel dan mulai menyalakan starter mobil. “Kita berangkat.”
Setelah pagi yang sedikit riuh. Tiga puluh menit sebelumnya, Peanut berimprovisasi dalam aktivitas makan, ketika bayi itu membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Hari ini adalah workshop parenting yang pertama mereka hadiri. Shaoyou sempat membujuk agar mereka membawa serta nanny, tetapi Huayong bersikeras bahwa acara ini tidak perlu melibatkan orang lain.
Huayong ingin menangani Peanut sendiri, jadi berakhirlah dengan Shaoyou yang sepakat menyetir di perjalanan mereka.
Shaoyou mencoba berkonsentrasi dalam mengemudi. Berjuang agar fokusnya tidak terpecah. Ia terus menahan dirinya agar tidak memandang ke samping. Ia bukannya khawatir, tapi mengamati cara Huayong yang menjaga Peanut, dan anak itu yang merasa nyaman di gendongan ayahnya. Ia jadi bertanya-tanya, jika Peanut bisa bicara, mungkinkah, anak itu lebih memilih digendong Huayong daripada dirinya?
Huayong tidak tahu pikiran Shaoyou yang seperti itu. Mereka berdua kemudian membicarakan workshop itu; menebak-nebak dengan bersemangat sekaligus ingin tahu. Pengalaman apakah yang akan dihadirkan oleh acara seperti itu untuk mereka.
“Walau begitu,” kata Huayong. “Bersama Peanut setiap harinya adalah pengalaman berharga.”
Shaoyou berujar setuju. “Kalau untuk Peanut, kita selalu usahakan yang terbaik kan?”
Huayong menggumam singkat. Lagipula, mereka berdua sudah sepakat. Ketika dua minggu lalu, Shaoyou memunculkan ide itu. Agar mereka berdua menghadiri workshop parenting. Huayong tidak butuh waktu lama untuk berpikir, dan langsung menerima idenya.
***
Pada permulaan acara, Shaoyou sempat ingin menggendong Peanut, namun entah mengapa anak itu enggan berpindah tangan. Peanut merengek saat Shaoyou meraih hipseat dan mencoba memisahkannya dari Huayong.
Shaoyou mengomentari mengapa Peanut justru memilih lengket dengan ayah yang lain. Huayong terkekeh menanggapi reaksi Shaoyou yang seperti kesal tidak dipilih oleh anaknya.
Ada sekitar sepuluh pasangan (dua puluh orang) alpha dan omega yang menjadi partisipan workshop. Shaoyou dan Huayong mengambil kursi paling depan. Tampaknya mereka berdua cukup menarik perhatian peserta lain.
Acara dibuka oleh narasumber yang merupakan seorang alpha wanita. Perempuan itu berwajah ramah ketika memulai sesi perkenalan. Huayong mengira Peanut akan banyak mengoceh atau melancarkan keributan kecil, namun, ternyata anak itu diam dan tenang di pangkuannya. Peanut diberi dot susu yang dipegang oleh Shaoyou, yang terus-menerus mengulurkan tangan ke arahnya.
Huayong menyimak beberapa pengetahuan psikologi parenting. Dia sudah membaca sebagian hal itu dari buku, namun momen ini justru menyampaikan sentuhan baru. Teringat olehnya beberapa memori masa lalu. Ia mencoba mencocokkan pembahasan itu dengan kondisinya. Sedikit merasa kecut. Satu-satunya kehangatan yang diperoleh adalah tahun-tahun singkat saat ibunya hidup, dan ia tidak ingat momen manis yang dia bagi bersama ayahnya.
Namun, ketika Huayong menoleh pada Shaoyou, yang membalas tatapannya dengan senyum simpul hangat—seolah bisa membaca pikirannya yang campur aduk. Huayong tidak hendak menangis, sungguh. Tapi Shaoyou benar. Mereka haruslah memutus rantai pengabaian dan ketiadaan cinta, yang berdampak pada relasi tak sehat itu untuk selamanya. Huayong mengeratkan rengkuhan tangannya pada Peanut. Berjanji akan memberikan semua cinta yang Peanut butuhkan dan tidak akan mengabaikannya.
Sesi workshop bagian berikutnya adalah yang paling seru.
Dibimbing oleh narasumber pria berusia tiga puluhan, para peserta duduk berkelompok. Mereka diberi arahan untuk menciptakan interaksi yang nyaman antara orangtua dan anak.
Sebidang sensory board berdiri di antara Huayong dan Shaoyou. Huayong mengamati tampilan papan sensorik itu. Ada potongan renda, stik es krim, styrofoam, hingga kertas glitter yang ditempelkan sedemikian rupa. Tampak materialnya berkualitas tinggi—dapat dipahami mengingat jumlah biaya workshop ini.
narasumber menyampaikan instruksi agar kegiatan dimulai oleh masing-masing orangtua.
Shaoyou memulai dengan pertanyaan, “Huasheng, coba tunjuk mana yang bentuknya indah?” Serta merta Peanut menunjuk pada potongan kertas glitter kuning cerah berbentuk bunga matahari.
“Bagus, Sayang!” Sepasang mata Shaoyou berbinar bangga. “Kamu suka bunga matahari?”
Peanut menganggukkan kepala dan bersuara uhh uhh yang bisa diartikan sebagai “ya” lalu berujar, suka! Suka! (Pelafalannya masih bercampur, huruf-hurufnya tidak terlalu jernih, tapi baik Shaoyou maupun Huayong, dapat memahami itu—selalu, sebagai orangtua yang pertama memahami anaknya.)
“Mungkin warna kuning mencolok itu menarik perhatiannya?” Huayong menimpali.
Merasa diserang oleh rasa gemas, Huayong mengulurkan tangan dan mencubit pipi gembul Peanut.
Kemudian, giliran Huayong yang memulai instruksi. Ia mencoba mengetes pemahaman Peanut dan perkembangan bicaranya. Ia menanyakan beberapa hal seperti tekstur setiap benda. Peanut memiliki tingkat konsentrasi yang bagus ketika ia menunjuk dengan tangan mungilnya, dua kali salah tunjuk. Terbalik saat menyentuh benda, antara yang kasar dan yang halus. Namun, ada kesempatan ketika Peanut tampak mencoba keras menerangkan tekstur benda, yang terdengar belum sempurna, dan malah menerbitkan ocehan random—yang justru semakin menerbitkan rasa gemas.
Ada jeda yang cukup sebelum dimulai kembali sesi berikutnya. Narasumber menerangkan bahwa ini akan disebut dengan “Perlombaan Kecocokan” antara anak versus ayah, dan anak versus bunda. Dalam permainan ini, hasilnya adalah untuk evaluasi, terang pembicara. Sebagai perbandingan, sejauh mana kecocokan anak dalam interaksi dengan orangtuanya.
Kini Peanut duduk tegak ketika perhatian Huayong tak lepas darinya. Potongan balok susun dengan berbagai warna dan bentuk tersebar di matras. “Huasheng,” panggilnya. Mencoba menarik fokus anak itu agar tertuju padanya. “Ayo, kita mulai susun baloknya di sini.”
Huayong memulai dengan menyusun balok segi panjang sebagai dasar. Peanut menatap, dan mulai mengambil potongan balok acak, namun, Huayong menahan tangannya lembut. “Kamu tahu bentuk yang ini? Nah, ayo. Ambil yang ini. Ditata sama seperti ini ya.”
Instruksi Huayong tampaknya mudah untuk diikuti. Balok demi balok akhirnya tersusun tinggi. Ada suara tepuk tangan halus ketika Huayong menoleh pada Sahaoyou yang sejak tadi mengamati mereka. Rona kebanggan tersirat di wajahnya. Hatinya melambung. Huayong berjanji akan melakukanya lebih baik lagi, demi ditatap oleh Shaoyou dengan cara seperti itu.
Ketika tiba giliran Shaoyou, Huayong mengamati. Kali ini adalah kesesuaian gerak motorik tangan. Ada worksheet berupa lembaran kosong, dan spidol warna. Shaoyou mengarahkan Peanut cara memegang pensil warna. Yang ternyata belum dikuasai olehnya. Jadi, Shaoyou membantu; memegangi tangan mungil itu dan mereka mulai mencoret-coret kertas bersama. Ada momen saat fokus Peanut teralihkan. Anak itu tampak mencari-cari Huayong, dan kemudian berusaha lepas dari pangkuan Shaoyou. Shaoyou pura-pura terkejut melihat Peanut merangkak ke arah Huayong, yang kemudian mencoba membujuknya agar kembali.
“Ayo, Huasheng,” ujar Huayong, membiarkan anaknya merangkak ke pangkuan. Tangan mungil menarik-narik kemejanya.
Ia lalu bangkit untuk mengembalikan Peanut ke pangkuan Shaoyou. “Bantu Papa dulu ya. Selesaikan yang ini. Tadi sudah sama ayah kan?”
Kesimpulan dari evaluasi perlombaan kecocokan itu, tampak Peanut yang sangat nyaman dengan kedekatan fisik Huayong. Namun, Shaoyou tak mau menyerah. Ia mengatakan pertemuan berikutnya dia akan menjadi Papa yang unggul. Huayong terkekeh sebagai tanggapan.
“Mungkin,” kata Huayong. “Dia mau balas dendam.” Seraya menarik-narik pipi Peanut dengan gemas. “Semingguan ini selama hari-hari kerja, dia sudah bersamamu.”
“Oh! Benar. Dia mau monopoli kamu itu, Ayong.” Shaoyou mencebikkan bibir.
Jadi, mana yang lebih menggemaskan? Tuan Sheng atau Kacang Kecil? Huayong berpikir, berjuang menahan diri agar tidak mencium Shaoyou saat itu juga.
Memasuki penutupan acara, narasumber menyuarakan pengumuman terakhir.
“Baiklah,” kata narasumber wanita. “Keluarga teladan kita kali … Adalah pasangan Tuan Hua dan Tuan Sheng. Selamat!”
Ada gema tepuk tangan meriah dari peserta lain, ketika mereka diminta untuk berdiri dan maju ke depan. Presenter menyerahkan sesuatu seperti piagam penghargaan. Laki-laki pembicara yang sebelumnya, terlihat maju ke depan, mengalungkan kalung berupa rangkaian bunga, pada masing-masing leher Shaoyou dan Huayong.
*
Peanut masih menempeli Huayong bahkan saat perjalanan pulang. Lagi-lagi, Shaoyou yang mengambil peran mengemudikan mobil. Peanut tertidur pulas dalam rengkuhan Huayong, dibungkus oleh hipseat carrier.
Mereka berdua membicarakan kesan akan workshop itu. Huayong merasakan sukacita, puas terhadap pengalaman ini.
“Pertemuan berikutnya,” ujar Shaoyou. “Bulan depan.”
Seperti yang sudah diumumkan, para peserta akan bergantian maju membawa presentasi; evaluasi bagi apa-apa yang mereka lewati bersama anak di rumah, saling berbagi pengalaman kepada yang lain.
“Aku sedikit ragu, Tuan Sheng. Apa aku bakal mumpuni buat presentasi seperti itu?”
“Anggap aja kayak ngasih presentasi rapat perusahaan.” Shaoyou melirik dari sudut mata. Entah bagaimana dia dapat membaca pikiran Huayong.
“Lihat,” lanjut Shaoyou. “Aku bahkan nggak nyangka kita langsung dinobatkan jadi … apa itu namanya … keluarga teladan?” Shaoyou terkekeh halus.
“Berlebihan nggak sih?”
“Hmm, nggak kok. Itu kan buat kamu. Kamu berhak dapet gelar best father loh, Ayong.”
“Tapi, disebut keluarga kan karena kita melakukannya berdua, Tuan Sheng juga berhak dapetin itu.”
“Jadi, kamu puas?”
“Banget. Gimana denganmu, Tuan Sheng?”
“Oh, sama. Kecuali bagian Peanut yang malah salah fokus pengennya nempel kamu terus.”
Huayong terkekeh geli. “Tuan Sheng masih dendam sama yang tadi?”
“Oh, enggak tuh.”
“Apa ini cemburu sama aku?”
“Males.” Shaoyou memutar bola mata.
***
Shaoyu tengah bersandar pada deckchair di halaman belakang rumah. Laptop menyala di tangan, cahaya biru menyinari wajah putihnya yang tampan. Ia tengah memeriksa beberapa berkas. Ia memang tengah cuti panjang demi mengurus Peanut, namun, ini tidak menghalanginya untuk tetap bekerja sedikit di balik layar. Sore hari dengan angin sepoi-sepoi. Sesekali Shayou melirik ke bawah. Peanut duduk tenang berkutat dengan mainan balok dan puzzle. Ada suara celotehan sesekali.
Huayong berjalan dari arah pintu, membawa nampan dengan gelas dan teko kaca berisi es sirup yang berembun. Peanut berseru kegirangan memanggil-manggil “da-da da-da” begitu mengenali kedatangan Huayong. Setelah meletakkan nampan di meja, Huayong berlutut di bawah, menata balok-balok mainan. Membiarkan Peanut yang merangkak naik ke pangkuannya.
Huayong mengangkat Peanut dan bangkit menuju deckchair kosong di seberang Shaoyou. Ia bercengkrama dengan Peanut. Kepala mungil itu rebah di atas dada bidangnya. Huayong mengusap-usap punggung Peanut.
Beberapa saat kemudian, Shaoyou menutup laptop, menuangkan es sirup untuk dirinya dan meneguk isi gelas. Hati Shaoyou menghangat ketika mengamati dua orang kesayangannya.
Ada jeda yang cukup lama ketika Shaoyou masuk ke dalam rumah. Huayong mendapati Peanut diam tak bergerak di atas dadanya. Dengan napas naik turun yang teratur. Ia memandang ke bawah, cukup puas membiarkan anak itu memejamkan mata. Huayong mencoba menyibukkan diri membuka ponsel dan berselancar di internet; memeriksa pasar saham.
Huayong meletakkan ponsel. Ia mulai merasa ngantuk. Memejamkan mata selama beberapa menit. Tiba-tiba sesuatu menekan bibirnya. Benda kenyal yang basah dan lembut, diikuti oleh aroma jeruk yang sangat familier menyeruak di hidungnya. Mula-mula Huayong terdiam, membiarkan Shaoyou mencium. Namun, ia tak kuasa menahan diri. Tepat ketika Shaoyou menarik bibirnya, Huayong mencekal pergelangan tangan lelaki yang lebih tua erat-erat.
“Ayong! Kamu nggak lagi tid—hmph!”
Huayong menarik kerah piyama Shayou dan lekas menabrakkan bibir mereka. Pertahanan Shaoyou runtuh. Ia membuka mulut. Huayong menyambutnya dengan menyelipkan lidah dan menarik bibir bawah Shaoyou, menggigit kecil—selalu bibir Shaoyou yang tidak pernah membuatnya puas.
Shaoyou mengeluarkan lenguhan lembut—terdengar manis di telinganya. Ada momen saat Huayong melepas ciuman, menyadari mereka berdua sama-sama kekurangan oksigen. Namun, hanya seperseikan detik, ia menyambar bibir Shaoyou dan melumatnya lagi.
“Tuan Sheng,” suaranya terdengar berat. Napasnya memburu. “Hati-hati kalau menggodaku.”
Huayong hendak bangun, namun menyadari beban tubuh mungil yang bergelung di dadanya. Ia bangkit dengan perlahan.
Shaoyou menjilat bibirnya yang basah dan bengkak akibat ciuman mereka sebelumnya. Ia menyeringai. “Kamu yang harusnya hati-hati.”
Notes:
Saya baru aja baca novel part Peanut! It's so lovely! ❤❤❤
Catatan aja AU ini mengambil kebebasan canon besar-besaran dari originalnya dengan banyak tambahan dan perubahan.
Chapter 3
Notes:
Chapter ini POV Shaoyou.
Jalan-jalan ke Amusement Park tapi ini beda jauh dari versi originalnya.
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
Shaoyou mengharapkan paginya sedikit lebih tenang. Alih-alih kerusuhan kecil seperti tornado mini. Ia bangun dengan antisipasi, mengingat acara hari ini; piknik keluarga. Peanut minta jalan-jalan, jadi mereka mengatur rencana mengunjungi Taman Bermain D.
Shaoyou pergi ke dapur untuk segelas air minum, mendapati Huayong yang sudah sibuk dengan spatula dan teflon. Mengenakan apron berwarna pink pucat dengan tempelan aksesori kepala boneka rubah. Kebiasaan Huayong, selalu menyiapkan sarapan pagi, sesibuk apapun dirinya. Dia tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
Shaoyou sungguh menyukai sisi domestik Huayong, yang sudah menjadi kebiasaan sejak dirinya masih mengandung Peanut. Meski Shaoyou pernah sekali mengutarakan, agar jam masuk asisten rumah tangga dibuat lebih awal, supaya Huayong tidak perlu repot-repot. Lagipula mereka selalu punya lebih banyak pembantu. Namun, Huayong menolak. Dia bersikeras, khusus yang satu ini, katanya, “Aku tetap mau kesempatan, nyiapin sarapan untuk kalian berdua. Rasanya berharga sekali. Aku nggak mau nyerahin tanggung jawab itu ke orang lain. Sesibuk apapun.”
Hati Shaoyou menghangat saat mengingat kesungguhan Huayong.
Huayong menyadari kehadiran Shaoyou. Ia menoleh dan mengirim senyum lebar. “Acara nanti sudah diatur, Tuan Sheng.”
Seraya tangan Huayong yang cekatan, memindahkan telur dadar dari teflon ke piring. Ada piring lain berisi pangsit kukus isi daging. Shaoyou mengamati mug mini berbentuk kepala boneka. Bubur beras dengan irisan wortel dan topping salmon. Semua mengepulkan uap hangat, dengan aroma kaldu menyengat. Huayong menatanya dengan estetik. Shaoyou menyendok sejumput bubur, mencoba mengukur rasanya.
Huayong mengerjapkan mata, menyadari “pemeriksaan” Shaoyou itu. Sejak kali pertama Peanut menelan makanannya sendiri, Shaoyou-lah yang ketat mengatur nutrisi dan nilai gizi yang masuk ke perutnya. Briefing takaran gizi untuk koki rumah tangga diperbarui setiap hari. Shaoyou juga memastikan, Huayong juga tak meluputkan nutrisi makanan khusus putra mereka.
Shaoyou menelan bubur di mulutnya. Setelah menilai dan mempertimbangkan sejenak, ia mengangguk dan menggumam.
“Sudah pas,” komentar Shaoyou. Itu pujian. Ia berniat mengganti bubur Peanut jika rasa bubur ini didominasi msg atau tidak ada sayurannya.
Huayong mengulum senyum puas. “Aku tau,” katanya bangga.
“Kamu bilang tadi udah ngatur acaranya?” Shaoyou kembali ke topik sebelumnya. Ia lekas duduk di kursi terdekat, meraih gelas air minum.
“Ya,” jawab Huayong. “Kubilang pada Chang Yu. Kita sewa seluruh Taman Bermain D itu khusus hari ini.”
Shaoyou yang sedang meneguk air minum, hampir tersedak. “Apa?” Matanya melotot. “Kamu mau monopoli semua tempat itu? Jangan bercanda!”
“Aku nggak bercanda, Tuan Sheng. Kamu nggak suka?”
“Bukan begitu.” Shaoyou mengusap rambutnya frustrasi.
Kadang-kadang, kelakuan Huayong agak di luar nalar. “Uangmu emang nggak terbatas. Tapi, kita main ke sana pake cara normal aja lah. Beli tiket dan berbaur. Biar Peanut juga belajar, ingat.”
Huayong memanyunkan bibir dan bahunya merosot turun. “Padahal aku bermaksud baik. Biar Tuan Sheng nyaman dan Peanut aman. Aku nggak mau nanti ada apa-apa sama kalian.”
“Ayong. Jangan berlebihan. Kan ada kita berdua.”
“Baiklah. Tapi buat jaga-jaga, aku tetap akan bawa bodyguard pribadi ya, Tuan Sheng.”
“Oke deh. Terserah.”
Baru kemudian Shaoyou ingat untuk membangunkan Peanut. Ia bergegas ke kamar anaknya. Yang tidak butuh waktu lama. Sebab Peanut lebih bersemangat ketika ia mengingat rencana hari ini. Anak itu lekas melompat dari tempat tidur, mencari keberadaan Ayah Hua di dapur.
Mereka menyantap sarapan terlebih dahulu. Sepanjang sarapan, Peanut banyak berceloteh dan bertanya. Ketika Huayong berkata, Peanut harus menghabiskan makanannya, sebelum mandi dan membersihkan diri.
Mandi? Apa itu mandi? Peanut mencecar. Ia adalah anak yang sangat aktif. Tak melewatkan satu kesempatan membiarkan orangtuanya tenang.
“Mandi, Huasheng. Bersihkan badan. Pakai sabun, pakai air. Biar seger.”
Kenapa harus mandi? Aku nggak pengen mandi, celotehnya lagi.
Shaoyou menyuapkan bubur ke mulut Peanut, suapan demi suapan.
“Harus mandi, Huasheng. Kenapa kamu nggak mau mandi?”
Dingin, dingin. Peanut menjawab, bereaksi dengan memeluk tubuh sendiri. Seolah sensasi tengah diguyur air dingin. Hei, siapa yang mengajarinya berakting begutu?
“Pakai air hangat, Huasheng. Airnya hangat, bukan yang dingin,” Huayong menanggapi.
Apa Tuan Rubah juga mandi? Kalau Tuan Harimau? Tanya Peanut lagi—rubah dan harimau adalah cerita fabel yang setiap malam dibacakan untuknya menjelang tidur.
“Ya. Tuan Rubah mandi di sungai,” Huayong menjawab. “Tuan Harimau juga mandi. Jadi, Huasheng juga ikut mandi.”
Namun, ketika acara makan selesai, dan bubur di mangkuk sudah habis, anak itu masih bersikeras tidak ingin mandi.
“Ayo, Huasheng. Kalau nggak mau mandi, nanti di jalan dimakan gajah raksasa.” Huayong berkata asal, mengarang ancaman kecil.
Nggak mau! Nggak mau! Sahutnya ketakutan. Peanut nggak mau dimakan gajah.
“Biar gak dimakan gajah, ayo mandi ya.”
Shaoyou berjuang keras menggendong Peanut dan membawanya ke kamar mandi, tetapi anak itu agak meronta dan mulai menitikkan air mata.
Pada akhirnya, Peanut berhasil dibujuk, setelah Shaoyou berujar, jika Peanut menolak mandi, kemungkinan mereka akan batal pergi jalan-jalan.
***
Area Amusement Park itu sudah dipenuhi pengunjung. Ketika mereka mengantri membeli tiket, hampir berdesak-desakan. Huayong sempat menyinggung bahwa ia memang sebaiknya menyewa tempat ini semua sendiri. Shaoyou memperhatikan, ada lebih dari dua puluh bodyguard sewaan Huayong. Mereka berpakaian serba hitam, masing-masing ditempatkan di sudut yang terpisah dari keramaian. Karena mencolok, jelas tak luput dari pandangannya.
Keluarga itu membaur membelah keramaian. Mereka tampak elegan dengan penampilan kasual masing-masing; Huayong berbalut t-shirt putih dengan kemeja jeans biru yang diikat memeluk pinggang rampingnya. Shaoyou berjalan di sisinya, mengenakan kemeja biru dongker berkerah kotak-kotak. Peanut dalam gendongan Shaoyou. Tubuh mungilnya dibalut dungarees, mengenakan sepatu dengan motif kepala puppy, yang menambah kesan imut.
Mereka menyisih sebentar untuk memasang aksesori bandana mickey mouse di kepala masing-masing. Huayong berjongkok sejajar dengan Peanut, yang bersikeras ingin memasangkan bandana di kepalanya. Shaoyou terkekeh geli melihat cara bandana itu terpasang di kepala Huayong.
Huayong membawa handycam, yang digunakan untuk mengambil jepretan foto mereka bertiga.
Wahana-wahana di dalam area tampak menjulang tinggi, bergerak membawa keceriaan bagi pengunjung. Shaoyou tertegun. Mau tidak mau, suasana ini membangkitkan sebagian memori. Ia tahu keluarganya lebih dari mampu. Mereka bisa saja memilih piknik ke lokasi seperti ini lebih sering. Namun, satu-satunya ingatan yang Shaoyou miliki adalah saat ia berusia enam tahun—ia tidak begitu ingat usianya saat itu.
Ayahnya selalu sibuk. Saat itu adalah kali pertama dan terakhir Shaoyou dibawa mengunjungi Amusement Park. Bersama ibunya. Dalam ingatan yang samar-samar, ia lebih banyak menghabiskan waktu menjelajah wahana-wahana bersama ibunya. Ayahnya pergi meninggalkan mereka berdua di pertengahan acara—beralasan sibuk, atau mungkin itu hanya dalih baginya melakukan perselingkuhan lain. Namun, Shaoyou berusaha untuk menikmati momen dan bersenang-senang, sebab ibunya sudah bersusah payah membujuk ayahnya—meski tidak berjalan lancar.
Kemudian, Shaoyou tidak pernah meminta rekreasi lagi.
“Tuan Sheng?” Shaouyou mengerjapkan mata. Huayong mengibaskan tangan di depan wajahnya, memanggilnya kembali dari lamunan masa lalu.
Peanut berada di gendongan Shaoyou. Entah mengapa anak itu memilih lengket dengannya kali ini.
Huayong menjepretkan kamera berkali-kali. “Lihat itu. Tuan Sheng!”
Dia tampak lebih antusias, sama seperti Shaoyou sendiri yang terkagum-kagum. Rasanya seolah orangtuanya lebih membutuhkan rekreasi seperti ini daripada Peanut.
Keceriaan Huayong dan Peanut itu menular pada dirinya.
“Lihat, kamu bersemangat.” Shaoyou berkomentar, tak dapat menahan lengkungan kurva di bibirnya.
“Aku lebih bersemangat kalau kita rekreasi-nya di kamar aja berdua sama Tuan Sheng.”
Shaoyou memutar bola mata. “Jangan mulai!” sanggahnya ketus.
Meski begitu, Huayong tak henti-hentinya menyalakan lensa setiap kali ada kesempatan—bergembira seperti anak kecil.
Peanut ikut-ikutan bersuara, lihat! Lihat! Tak henti menunjuk dengan jari mungilnya setiap kali matanya menangkap wahana yang bergerak atau berputar, bertanya-tanya Apa itu? Apa itu?
Shaoyou menjelaskan nama-nama masing nama wahana. Mengeja kata-kata tertentu agar Peanut bisa mengikutinya, “Tinggi! Tinggi!” “Naik! Naik!” “Berputar! Berputar!”
“Huasheng. Coba kamu turun dan jalan sendiri.” Huayong mendekat. Tatapannya menjadi serius. Oh, Shaoyou sangat mengenali jenis kilatan rasa cemburu yang tersirat itu.
“Nempel terus sama Tuan Sheng,” lanjut Huayong.
Peanut menggeleng-gelengkan kepala. Tangan mungil mengeratkan genggaman di kain kemeja Shaoyou. Sejak sebelum berangkat tadi, nampaknya ada api “permusuhan” menyala di antara ayah-anak itu.
“Tuan Sheng. Bukannya ini namanya terlalu manjain anak ya?” Huayong mulai merajuk, meminta dukungan.
“Udahlah, Ayong. Cuma gendong ini.”
Huayong manyun. “Ah, kenapa ya. Aku nggak pernah kepikiran dulu kita first date di tempat ini. Bikin kenangan yang isinya berdua aja.”
“Jangan jadi anak kecil lagi, Ayong. Lagian. “Dulu” kapan yang kamu maksud? Waktu masih nipu jadi fake omega itu?”
Diungkit dengan masa-masa kelam itu, Huayong merasa tertusuk. “Tuan Sheng menyebalkan.”
“Jadi, kita mau naik apa nih?”
Ada perdebatan lucu antara Peanut dan Huayong. Peanut menunjuk area spinning tea cup yang menarik perhatiannya. Namun, Huayong bersikeras agar mereka menaiki bianglala terlebih dahulu. Pada akhirnya, Shaoyou mengambil pilihan Peanut. Seperti yang diduga, Huayong merajuk dan menolak ikut naik.
Cangkir teh raksasa itu berputar membawa Shaoyou dan Peanut di dalamnya. Huayong berdiri di luar pembatas, diam-diam mengarahkan kamera kepada mereka berdua. Shaoyou memperhatikan, meski Peanut tertawa-tawa dan bergembira bisa menaiki wahana bersamanya, anak itu merasa kehilangan Huayong.
Peanut menunjukkan perasaannya ketika mereka turun dari wahana pertama. “Ayah. Ikut,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Huayong tampaknya luruh oleh mata buluat polos itu. Ia membungkuk dan mendaratkan cubitan ringan di pipi Peanut.
“Oke. Kali ini Ayah yang nentuin ya?”
Peanut mengangguk. Dia mulai berjalan sendiri, tidak lagi meminta digendong oleh Shaoyou.
Mereka naik bianglala bertiga. Dengan Huayong dan Peanut yang kembali akur dan bersemangat. Mereka juga pergi menyewa kostum. Atas permintaan Peanut, mereka mengenakan kostum selama sisa permainan kemudian. Huayong dengan kostum rubah dan Shaoyou dengan kostum harimau.
“Apa ini konsepnya …” kata Huayong, “ayah rubah, papa harimau, dan anak naga.” Shaoyou dan Peanut sama-sama tertawa geli.
Anak naga! Anak naga! Peanut mengulang-ngulang kata itu. Belakangan, anak itu senang mengulang-ulang kata baru yang dia dengar.
Beberapa wahana yang mereka naiki di antaranya; carousel, roller coaster yang ketinggiannya rendah—berupa naga hijau panjang yang berputar-putar menarik pengunjung di lintasannya, dan terakhir, mereka bermain perosotan air.
*
Setelah berganti pakaian dan keluar dari arena taman bermain, mereka berkunjung ke kedai es krim.
Peanut di pangkuan Shaoyou, Huayong duduk di kursi di hadapannya, menyuapkan es krim ke mulut Peanut.
Huayong mengajak Peanut berbicara tentang kesan permainan hari ini.
“Kamu senang?” Huayong mengusapkan tisu ke sudut bibir Peanut yang belepotan es krim.
Peanut menajwab dengan gembira senang! Senang!
Shaoyou mengarahkan agar Peanut berkata terima kasih, Ayah! pada Huayong. Anak itu mengikuti ucapannya, yang dijawab Huayong dengan penuh suka cita.
“Ayah suka waktu naik bianglala. Pemandanganya bagus!” Huayong menunjuk kamera yang duduk di meja. “Kalau Huasheng?”
Peanut menepuk-nepukkan telapak tangan. Dan berujar air! Air! Dia menyukai perosotan air.
Huayong menyinggung kenapa pagi sebelum berangkat, Peanut sangat takut terkena air.
Shaoyou terkekeh. Tangannya memegang hairdryer mengeringkan rambut Peanut. “Nggak ada yang nanya ke Papa nih?”
Huayong mengedipkan mata, “Oh iya! Tuan Sheng suka di wahana mana?”
Shaoyou menjawab bahwa dia suka semuanya, asalkan bersama mereka bertiga. Namun, Huayong menyanggah bahawa jawaban hanya boleh pilih satu.
Menit berikutnya, Huayong bergantian memegang hairdryer dan mengeringkan rambut Shaoyou. Peanut tampak mulai mengantuk. Anak itu sepertinya sudah kelelahan, ketika kepala mungilnya terkulai di pelukan Shaoyou.
Hari itu mereka pulang dengan adrenalin yang kelelahan dan gembira. Pada suatu kesempatan saat mobil berhenti di lampu merah, Shaoyou meraih satu tangan Huayong yang terbebas dari kemudi. Huayong memahami ungkapan cinta yang disampaikan Shaoyou lewat tatapannya.
Notes:
Merasa mati gaya nulis adegan rekreasi keluarga cemara :D
Btw episode 16-nya berasa roller coaster ya 😭 tapi gemes banget lihat debut keluarga cemara HuaSheng ♡♡♡
Chapter Text
Mobil rolls-royce putih meninggalkan mansion keluarga Hua Sheng, berkendara dengan mulus di jalanan Jianghu. Pagi hari senin adalah perpaduan arus padat yang sibuk dengan rutinitas harian kota metropolitan. Huayong berusaha membagi fokusnya antara mengemudi dan menanggapi celotehan Peanut yang tak henti mengoceh dari kursi belakang.
Mereka berdua sepakat untuk mengantar Peanut bersama-sama di hari pertama sekolah. Huayong lebih suka jika Shaoyou duduk di jok depan bersamanya, namun, apa mau dikata. Shaoyou lebih mementingkan putra mereka—bukannya Huayong cemburu atau apa, sungguh. Lagipula, kalaupun Shaoyou yang mengemudikan mobil, Huayong-lah yang harus menjaga Peanut. Tapi tampaknya, Peanut sedang dalam mode aktif penuh. Dia begitu bersemangat atas ide masuk sekolah—bertemu kawan baru dan guru baru. Apalagi, saat tahu Lele juga akan bersekolah di tempat yang sama.
Semenjak malam bahkan, ketika Huayong membacakan dongeng rutin sebelum tidurnya, Peanut lebih berminat membicarakan “agenda sekolah” besok. Alhasil, malam itu adalah kali pertama, cerita favorit Peanut—tentang keluarga rubah dan harimau—menjadi terlupakan, digantikan oleh topik “bertemu guru dan kawan baru.”
Huayong menyungging senyum simpul, melirik melalui kaca spion yang menampilkan fitur wajah Shaoyou. Tubuh Peanut yang mungil terhalang oleh kursi, namun sesekali fiturnya muncul di spion—saat anak itu tiba-tiba berdiri—yang sudah berkali-kali menarik atensi Huayong, bersuara mengingatkan agar Peanut duduk dengan tenang di kursinya.
“Ya, ya. Huasheng Dear,” kata Shaoyou. “Kita nanti bertemu Lele.” Yang telah menjawab pertanyaan yang sama untuk kesekian kali.
“Oh, betul. Ada temen-temen baru.” “Banyak temen-temen baru.” “Guru-guru yang besar seperti ayah dan papa.”
Shaouyou menjawab pertanyaan berulang itu dengan sabar. Huayong menghela napas. Ia teringat saat menggendong Peanut dan membawanya mengikuti kelas parenting dulu. Itu sudah lebih dua tahun lalu, namun rasanya baru kemarin. Sekarang, anak itu sudah tak perlu digendong-gendong lagi. Padahal, waktu itu, dia masih belum pandai bicara—hanya sepatah dua patah huruf yang terbata-bata meluncur dari lidah cadelnya. Lihatlah, sekarang, dia sudah menguasai hampir semua kosa-kata, pintar berkata-kata dan banyak bertanya.
“Anak ceriwis itu tandanya dia bertumbuh, Ayong.” Shaoyou pernah berujar sewaktu Huayong mengeluhkan mengapa Peanut menanyakan satu hal yang sama berulang kali.
Walaupun suara cempreng itu kadang membuat kepala pening, diam-diam, Huayong merasa bangga melihat pertumbuhan Peanut.
***
Ruang tunggu playgroup seperti potongan dunia dongeng yang keluar dari imajinasi kanak-kanak. Desain interior modern; lampu berbentuk awan-awan putih yang digantung. Atap dan dinding bagian atasnya berlapis kayu mahoni; memberikan sentuhan hangat pada ruangan. Sebuah partisi kayu berwarna krem pudar berdiri. Tepat di sisi pintu bercat merah muda yang merupakan pembatas ke ruang guru.
Dekorasi penyambutan yang elegan, tidak jauh dari ekspektasi Huayong. Ia berharap banyak pada tempat ini sejak kali pertama mendiskusikan pilihan sekolah Peanut bersama Shaoyou.
Di salah satu deretan kursi putih, Huayong bersedekap seraya mengamati sekeliling. Map kertas berisi berkas formulir data-data Peanut berada di genggaman. Shaoyou duduk di sisi kanan, bersama Peanut yang masih bergelayut manja di pangkuannya. Mengenakan sailor biru muda berlengan pendek. Sepasang mata bulat diedarkan kesana kemari, bersemangat memeriksa lingkungan baru.
Shaoyou menata topi baret biru dongker yang jatuh miring di kepala Peanut.
Huayong teringat keluarga Shen Wenlang dan berniat menghubungi pria itu. Namun, mereka tiba-tiba datang tepat saat dipikirkan.
Little Peanut berseru girang melihat kedatangan Lele. Merasa seolah menemukan sosok yang dikenali di tempat luas yang masih asing. Kedua anak itu saling menghampiri dan berpelukan.
Shen Wenlang mengambil tempat di kursi sebelah Huayong, diikuti Gaotu yang mengirim senyum ramah.
“Huasheng udah nunggin, tapi kamu datang akhiran.” Huayong membuka percakapan. Kemarin kedua keluarga sudah membuat janji untuk datang bersama, demi mempertemukan Peanut dan Lele—sebelum diperkenalkan pada lingkungan baru.
Wenlang mendengus. “Harusnya kamu tahu, jalanan Jianghu yang padatnya minta ampun.” Ia beralasan. “Cuma datang lebih awal nggak usah jadi sok si paling gasik.”
Huayong hendak membalas, namun disela oleh Shaoyou—menyadari atmosfer sengit yang baru terbentuk. Alpha-S itu mengirim senyum simpul persahabatan pada Wenlang juga Gaotu.
Beruntung kemudian, dua guru wanita muda keluar dari ruang guru, menghampiri mereka. Satu orang mengenakan blazer ungu dengan rok abu-abu, dan satu lagi yang tampak lebih muda, berbalut t-shirt hijau sage dengan celana jins hitam.
Guru wanita pertama memperkenalkan diri sebagai Miss Yin, memberikan sambutan dan serah terima formulir. Yang lebih muda bernama Miss Shu, lekas menggandeng Lele dan Peanut, untuk dibawa menuju ruang kelas.
*
Pada suatu kesempatan, Miss Shu mendekat ke tempat Peanut dan Lele, mulai membujuk kedua anak itu agar ikut dengannya. Huayong tak luput memperhatikan.
Ketika Peanut menoleh padanya, seolah meminta isyarat persetujuan atau apapun; haruskah dia percaya pada orang asing ini? Huayong mengirim anggukan pasti, itu gurumu. Sudah saatnya, ikutlah dengannya. Peanut juga meminta isyarat yang sama dari Sahoyou, dan seolah anak kecil itu paham. Jadi, dia mengambil tangan Miss Shu, yang lekas menggandeng kedua anak itu meninggalkan ruang tunggu.
Peanut berjalan dengan berani, menyongsong masa depannya.
Huayong mengamati punggung mungil anaknya yang dibawa pergi mejauh, terpisah memasuki ruang kelas. Kini, kacang kecilnya tampak seperti peri kecil yang baru menumbuhkan sayap, dan belajar terbang sendiri. Shaoyou meraih tangan Huayong, meremas jari-jemarinya perlahan. Pria itu mengirim senyum simpul yang hangat. Mereka berdua berbagi kebanggaan itu. Huayong ingin mematri perasaan ini; salah satu momen terbaik dalam hidupnya.
***
Cahaya hangat mengalir dalam kamar anak yang didominasi warna orange pastel. Aroma diffuser jeruk yang baru diganti, menyebar dalam intensitas lembut dan menenangkan.
Fokus cerita kali ini ada pada dua sosok yang duduk berhadapan. Huayong di tepi ranjang, tangan berkutat mengoleskan lotion bayi pada Peanut, yang setelah beberapa usaha, berhasil duduk dengan tenang kali itu.
Sebelumnya, Shaoyou baru saja meninggalkan ambang pintu, ketika pria itu mengintip sebentar untuk memastikan sesuatu. Huayong mengirim isyarat agar keadaan di sini diserahkan padanya kali ini. Mengacungkan jempol—isyarat aman terkendali . Meski pada kenyataannya, Peanut masih bergerak sangat aktif, meloncat-loncat di tempat tidur, berpegangan tangan pada Huayong, menarik-narik rambut hitam ayahnya untuk bermain-main, menciptakan suara-suara dan lantunan random yang cukup berisik.
Shaoyou berdiri di ambang pintu, bersandar ke kusen. Tangan bersedekap santai. Ia tertawa kecil menyaksikan adegan ayah-anak itu. Huayong masih pantang menyerah—Huayong yang pernah berkomentar asal; bahwa rasa-rasanya lebih mudah menaklukkan alpha kelas S daripada mengatur anak balita yang sedang lincah-lincahnya. Shaoyou lantas menghadiahi cubitan kecil di bahu Huayong dan sedikit "umpatan" kekesalan.
Namun, melihat Huayong yang gigih seperti itu, berusaha menjadi ayah terbaik untuk putera mereka—Huayong selalu mau untuk belajar, Shaoyou tahu, bukan semata demi Tuan Sheng-nya, tapi itu naluri kebapakannya sendiri. Bagi Shaoyou, ini semua menerbitkan kehangatan manis yang tiada tara.
Huayong melongok ke pintu. Shaoyou sudah pergi. Ia menghela napas.
"Good. Dear Huasheng. Seperti ini. Kalau anteng kan kamu gantengnya nambah berkali lipat."
Meletakkan botol lotion. Huayong meraih sepasang kaus kaki. Berwarna putih dengan garis-garis cokelat dan aksesori kepala tiger yang menempel di atasnya. Tangan bergerak dengan perlahan memakaian kaus kaki. Jari-jemari mungil kaki itu terasa lunak ketika disentuh.
Suasana ini entah mengapa, terasa sedikit kikuk.
Penaut mengulurkan tangan, meraih ujung lengan shirt Huayong. Sepasang mata bulat yang mewarisi miliknya, mengerjap dan menatap.
"Ayah..." panggilnya dengan suara cempreng yang sudah dihapal Huayong.
Huayong mengirim senyum simpul. Suasana kembali cair. "Hmm?" jawabnya. Ia memiringkan kepala, menunggu kata-kata apa gerangan yang hendak diluncurkan oleh pikiran sepolos kertas ini.
"Tadi siang di sekolah..."
"Oh, ya. Tadi siang gimana?" Huayong menyelaraskan percakapan, menunjukkan ketertarikan. "Seneng di sekolah?"
Lalu mulai meluncurlah cerita-cerita...
Bahwa sekolahnya sangat-sangat menyenangkan. Bahwa mereka bernyanyi bersama Miss Yin . Dan mewarnai gambar bersama Miss Shu. Bahwa Lele membagi makan siangnya berupa buah anggur dan biskuit.
"Aku kasih punyaku juga buat Lele, stroberi... Lele bilang stroberiku enak!"
Huayong menyimak dengan seksama. Mencatat detail itu; kesan dan perasaan putranya. Dia berhasil melewati hari pertama sekolah dengan lancar.
Huayong sempat berpikir, kalau-kalau hari pertama Peanut di sekolah tidak berjalan lancar ataupun terjadi sesuatu—bukannya ia tidak percaya. Hanya insting orang tua untuk berjaga-jaga. Namun, tanpaknya kekhawatiran itu tidak perlu. Sebab Peanut adalah putranya, yang paling pintar sedunia—siapa dulu ayahnya? Pada akhirnya ia hanya memuji diri sendiri.
Huayong menyisir rambut Peanut dengan jari-jemari. Dengan perlahan, membaringkan anak itu di bantal.
"Besok Ayah bawakan waffle tambahan ya? Biar kamu kasih ke Lele juga."
"Hmm hmm, asyikk!" Peanut mengangguk-anggukkan kepala. Seolah pikirannya tengah memutar momen menyenangkan yang akan terjadi besok.
"Nah. Sekarang. Waktunya tidur," kata Huayong.
"Cerita!" Peanut menyahut. Sebuah boneka rubah merah diselipkan di atas dada mungil. Lengannya memeluk erat-erat boneka rubah itu, tak hendak dilepaskan.
"Benar. Cerita." Huayong menarik selimut biru pucat bergambar bunga-bunga kartun, menutupi hingga ke perut.
Ia bangkit meraih satu buku dari tumpukan di atas nakas. Lalu membuka buku itu, yang kertasnya sudah terlipat di sana-sini. Ada bekas garis seperti sobekan di tepi sampulnya, akibat terlalu banyak dibuka. Dan isi ceritanya sudah sangat dihapalnya di luar kepala—bagaimana mungkin Huasheng menyukai mendengar cerita yang sama, berulangkali setiap hari? Apa tidak bosan?
Huayong membacakan cerita itu lagi. Ten Little Fairies. Cerita tentang 10 peri kecil dan perjalanan mereka. Kali itu tampaknya sesi membaca Huayong sedikit lebih cepat. Peanut jatuh terlelap tak lama setelah lima halaman terlewati. Biasanya, anak itu baru terlelap saat cerita selesai dibacakan. Mungkin hari pertama sekolah memberi pengaruh bagi vitalitas tubuhnya. Huayong menutup buku. Mengulurkan tangan menarik selimut Peanut dan mengusap kepalanya. Tatapannya dipenuhi kelembutan.
Tiba-tiba ada sepasang lengan melingkari tengkuknya. Diikuti aroma harum jeruk yang khas. Huayong merasakan beban kepala Shaoyou menempel di bahu. Hidung menyentuh sisi rahangnya.
"Sayang ..." bisik Shaoyou lembut—hampir samar agar tidak mengganggu tidur si kecil. "Aku suka kamu."
Huayong tak dapat menahan lengkungan kurva di bibir. Hatinya berbunga-bunga oleh kehangatan yang tak dapat dilukiskan.
"Kalau sedang begini. Kamu kayak memabukkan," ujar Shaoyou manja.
Huayong membuat isyarat jari telunjuk di bibir "sstt" tetapi membiarkan Shaoyou pada posisi itu. Menolehkan kepala sedikit agar bibir mereka dapat bersentuhan. Seperti puzzle yang direkatkan, terasa tepat pada tempatnya.
Mereka berciuman lembut. Hanya rasa sayang dan kehangatan yang disalurkan. Ketika kedua pasang bibir terpisah, ada tatapan penuh cinta dan ucapan terima kasih tersirat.
Tanpa melepas kaitan tangan, jari-jemari saling menggenggam. Satu lengan Huayong bersandar di pinggang ramping Shaoyou. Mereka berdua bergerak nyaris tanpa suara berjalan meninggalkan kamar anak. Sebuah lagu kehangatan terlantun dalam keheningan ketika mereka memadu kasih di balik pintu tertutup. Dua bilur aroma yang melayang terjalin; menceritakan bisik-bisik yang hanya terdengar dalam gelembung mereka berdua.
Notes:
Terima kasih semua yang sudah membaca, berkomentar, menandai dan meninggalkan jejak. It means a lot for me♡
Tanushree99 on Chapter 1 Wed 08 Oct 2025 08:51AM UTC
Last Edited Wed 08 Oct 2025 08:52AM UTC
Comment Actions
kelopakbiru on Chapter 1 Fri 10 Oct 2025 06:03AM UTC
Comment Actions
Mayucchiato on Chapter 1 Thu 09 Oct 2025 01:24AM UTC
Comment Actions
kelopakbiru on Chapter 1 Fri 10 Oct 2025 06:07AM UTC
Comment Actions
Tanushree99 on Chapter 2 Sat 11 Oct 2025 05:11AM UTC
Comment Actions
kelopakbiru on Chapter 2 Mon 13 Oct 2025 07:14PM UTC
Comment Actions
Tanushree99 on Chapter 3 Mon 13 Oct 2025 07:39PM UTC
Comment Actions
kelopakbiru on Chapter 3 Sat 18 Oct 2025 06:44AM UTC
Comment Actions
Tanushree99 on Chapter 4 Sun 19 Oct 2025 05:35PM UTC
Comment Actions