Work Text:
“Omokage…. tolong… kau jaga Ryuji dan Narumi dengan baik. Meskipun aku bukan ibu yang baik… aku mohon untuk… merawat mereka… dengan baik…”
Sebuah kata-kata terakhir yang menyayat hati. Omokage tidak percaya jika dia kehilangan tuan nya yang tercinta. Bertahun-tahun dia mengabdi kepada nya, tapi tidak ada yang tahu kematian akan datang kapan. Banyak kenangan dari berdirinya Honmaru hingga saat tuan nya memiliki anak dan melihat mereka tumbuh. Sungguh sulit mengucapkan selamat tinggal kepada tuan nya yang tercinta.
“Katakan bahwa aku masih mencintai mereka, Omokage,”
Tiba saat di Honmaru bersama dengan satu tim yang dikirim dari pemerintah tanpa seorang Saniwa, Omokage hanya menyimpan rasa sedih yang mendalam. Dia memikirkan bagaimana perasaan Ryuji dan Narumi mendengar bahwa ibunya sudah mati di medan pertempuran. Semilir angin membuat suasana Honmaru terasa suram diselimuti gelapnya masa berkabung.
Mikazuki menepuk bahu Omokage untuk membuatnya lebih tegar. Mikazuki juga tersenyum sendu untuk menghibur Omokage yang tidak berdaya apa yang harus dia katakan. Kematian ibu mereka seperti petir di siang bolong.
Ryuji nampak bermain dengan Buzen, Sasanuki, dan Izuminokami. Sementara Narumi dibacakan cerita oleh Fukushima dan dipangku oleh Nenbutsu. Langkah Omokage terhenti saat hendak masuk aula. Sambil diselimuti kegelapan, Omokage menahan tangisan nya. Selain terpukul, dia juga dirundung rasa bersalah.
Datanglah Hasebe, rekan satu timnya yang baru saja pulang dari ekspedisi. Hasebe memiringkan kepala sambil membaca ekspresi dari Omokage. Selain itu, tidak ada tanda-tanda dari ibu Ryuji dan Narumi.
“Omokage? Mengapa kau murung saja…? Lalu… kemana Anya?”
“Hasebe. Tolong kumpulkan semua Touken Danshi. Aku akan memberi pengumuman,” kata Omokage lalu dia masuk ke ruang sekretariat untuk mengumpulkan tenaga.
Hasebe tidak mengerti situasi yang dihadapi Omokage. Dia hanya melihat Omokage berjalan dengan tatapan kosong sembari melihat Ryuji yang asik bermain dengan Touken Danshi yang lain. Selama berjalan, pikirannya dihantui oleh rasa bersalah yang amat mendalam. Bagaimana jika Ryuji menyalahkan dirinya?
Narumi yang masih kecil melihat Omokage yang berjalan mendekati ruang sekretariat. Narumi seketika turun dari pangkuan Nenbutsu lalu berlari ke arah Omokage. Langkah Omokage terhenti setelah Narumi memeluk kakinya. Omokage tersenyum saat Narumi mengajaknya bermain.
Tak lama muncul Mikazuki bersama dengan Kiyomitsu. Mikazuki hanya menatap Omokage prihatin. Omokage saat ini bingung, terpukul, dan tak berdaya menghadapi situasi ini. Tetapi dia berusaha tegar. Sambil menggendong Narumi, dia sekali lagi berusaha tersenyum.
“Narumi… ano… kau bermain bersama Mikazuki yah? Aku akan membuat laporan. Ajak Ryuji kakakmu juga yah?” kata Omokage.
“Baik, Omo-chan,”
“Omokage sudah pulang. Tapi kemana Anya-san?” tanya Kiyomitsu.
“Kita panggil dulu yang lain.” ujar Omokage lalu masuk ke ruang sekretariat.
Omokage mengunci pintu rapat-rapat lalu duduk terdiam di meja. Dia menatap kosong ke arah foto figura berisi dua orang pria menggendong Ryuji dan Narumi dengan seorang wanita di tengah dua pria itu. Selain itu, dia melihat foto dirinya duduk berdua dengan tuannya. Dia pun berdiri lalu berjalan ke arah tuannya yang berfoto selfie dengannya juga Kurikara Gou, Touken Danshi tipe tantou pertama tuannya. Tak lama, Omokage memukul tembok dengan rasa frustasi. Kemudian tangis nya pecah. Dari luar, dia dilihat oleh Kiyomitsu.
Setelah 10 menit, semua Touken Danshi berkumpul di aula. Hanya Mikazuki dan Omokage yang tidak ada di aula. Suasana nya begitu tegang. Terlebih lagi, sosok tuan mereka tidak hadir. Hasebe hanya memberi tahu jika kerja keras selama di Honmaru mengalami peningkatan. Namun ada kendala yang dihadapi mereka. Kiyomitsu yang sadar dengan kondisi Omokage memberi usul hanya Tenka Goken dan perwakilan dari masing-masing kelompok pedang berdasarkan penempa nya.
Pedang yang dimaksud Kiyomitsu satu persatu memasuki ruang sekretariat kecuali Mikazuki. Dia masih menemani Ryuji dan Narumi. Omokage masih duduk diam menunggu yang lain masuk. Seperti biasa, Hasebe membuka rapat kali ini.
“Sepertinya ada hal yang tidak bisa diumumkan secara terbuka. Jadi terima kasih karena kalian sudah kemari sebagai perwakilan,” ucap Hasebe.
“Aku dari awal tidak enak dengan Anya. Dia kenapa, Omokage?” tanya Kiyomitsu.
“Entah aku harus memulainya dari mana. Ta…tapi…” ucap Omokage terbata-bata. “Anya. Saniwa kita… dia…”
“Tidak mungkin. Apakah dia…,” kata Nagasone.
“Iya… dia meninggal…. saat pertempuran. Maafkan aku jika aku tidak bisa melindunginya,” ucap Omokage dengan penuh penyesalan. “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan pada dua anaknya. Aku merasa gagal menjadi pengasuh nya,”
Kiyomitsu tidak percaya jika tuan yang selama ini mengandalkannya pergi untuk selamanya. Seisi ruangan juga merasa kehilangan sosok yang mereka panggil ‘aruji’. Yang bisa Kiyomitsu lakukan hanyalah menangis keras.
Di ruangan lain, Ryuji menyusun lego sambil menunggu ibu nya pulang dari misi. Narumi yang duduk di pangkuan Mikazuki hanya melihatnya dengan tatapan polos.
“Mama kok nggak balek yah?” tanya Ryuji.
“Iya. Katanya janji buatin boneka Sanpo. Aku mau dibikinin Jikkyu-san. Dia lucu,” ujar Narumi.
Tak lama, datanglah Suishinshi dengan tatapan yang sedih. Dia datang membawa makanan kesukaan Ryuji untuk menghibur nya. Tak lupa dengan boneka Sanpo yang dibuat sendiri oleh Fukushima. Ryuji bingung dengan ekspresi Suishinshi yang murung saja.
“Sui-san? Kenapa kau sedih?” tanya Ryuji.
“Um… anu… soal Anya-”
Mikazuki pun menepuk bahu Ryuji dengan Narumi yang masih berada dalam pelukan Mikazuki. Senyum Mikazuki pun memperlihatkan betapa sedihnya situasi sekarang.
“Ryuji…. Narumi… kalian bisa berusaha tegar kan?” tanya Mikazuki.
“A….ada apa ini? Mama kenapa? Apa dia sakit?” kata Ryuji panik.
“Anya-san. Dia… dia meninggal dalam pertarungan,” ujar Suishinshi.
“Ma…mama? Dia… dia meninggal katamu?” kejut Ryuji diikuti gelas jatuh dari Kurikara.
Dari sekian Touken Danshi selain Omokage, Kurikara juga merasa terpukul mendengar kematian tuan nya yang tersayang. Tidak percaya dengan sosok yang menemani nya bertahun-tahun. Ryuji ambruk seketika dan Narumi menangis keras.
Suishinshi yang sadar akan kehadiran Kurikara terkejut dengan ekspresi Kurikara. Suishinshi seketika berdiri dan berusaha menjelaskan ini pada Kurikara. Sayang sekali, Kurikara seketika berlari menjauhi Suishinshi.
Kurikara berlari keluar dari Honmaru dan sampai lah dipantai. Dengan rasa kecewa, Kurikara berteriak lalu menangis sejadi-jadinya.
“Kenapa kau pergi secepat itu, Anya? KENAPA!!!”
.
.
.
(17 tahun kemudian)
Omokage hanya terduduk sambil menatap langit. Terlihat Honmaru milik tuan lamanya terbengkalai. Dia menikmati suasana sekaligus bernostalgia saat dirinya bertugas di Honmaru yang dia tempati.
Kurikara yang berkeliling bersama dengan Konnosuke juga menatap sendu mengingat kenangan di masa lalu. Dia ingat bagaimana hari-harinya dia bermain dengan tuan nya. Biasanya dia dan tuannya bermain kejar-kejaran.
“Tidak terasa sudah 17 tahun yah?” kata Kurikara sambil memonyongkan bibirnya.
“Anya. Seandainya kau masih hidup, Honmaru juga tidak akan terasa sepi,”
Keduanya pun pulang dengan senyum kecut. Mengingat Honmaru yang terlihat seperti rumah angker pun punya kenangan yang berarti. Kini mereka bekerja tanpa adanya seorang Saniwa. Saat ini belum ada pengganti.
Tiba mereka di rumah Ryuji dan Narumi yang baru. Omokage masih saja memasang tatapan kosong selama perjalanan pulang. Pandangan nya pun pecah saat ada suara teriakan seorang lelaki diikuti beberapa teriakan panik orang lain.
“Cih, Ryuji kambuh lagi pasti,” keluh Omokage. “Haduh, Anya…. tidak hanya Touken Danshi saja yang gagal gamon, contohnya aku. Lihat anakmu Ryuji,”
