Chapter 1: Pertemuan pertama
Chapter Text
“Tuan Muda! Jangan terlalu cepat!” teriakan seorang pria tenggelam dalam ramainya jalanan, namun sosok yang dipanggil tuan muda itu masih dapat mendengarnya dan segera membalas, “Cepat, Dai! Kalau terlambat, kita tidak bisa mendapatkan posisi yang bagus!” walau setelahnya, sang tuan muda segera berlari meninggalkan pria bernama Dai tersebut.
“Tuan Muda.” Dai segera memanggil setelah berhasil menyusul langkah tuan mudanya. Ia sedikit kehabisan napas, namun hasil dari latihan beladirinya, membuat hal tersebut tidak terlihat.
“Akhirnya kamu sampai! Kamu jago beladiri, kenapa larinya lebih lambat dari aku sih?” tawa kecil tuan muda itu terdengar riang, tanpa ada maksud buruk dalam ucapannya.
“Bukankah itu karena anda meminta saya membawa semua ini, Tuan Muda?” Dai menunjukan segala macam benda yang ia pegang –juga yang ada di dalam tas punggungnya.
“Untuk apa semua ini, Tuan Muda?” Setelah menaruh semua barang, ia bertanya.
“Untuk anak-anak di sekolah itu, mereka kekurangan mainan dan buku,” ucapnya santai sembari menyodorkan teh pada Dai, “minum dulu.”
“Tuan Muda, ini tugas saya! Bagaimana jika ada yang melaporkannya pada Tuan?” ucap Dai sedikit panik saat melihat tuan mudanya menyodorkan gelas teh yang telah dituangkannya sendiri.
“Apa? Apa menurutmu ayah akan peduli dengan hal-hal seperti ini? Lagian kita sudah seperti teman –atau lebih seperti saudara ku rasa, apa perlunya formalitas?” Tuan muda itu membalas santai tanpa memperhatikan Dai. Matanya mulai fokus ke arah panggung di tengah kedai teh. Iya, mereka berdua terburu-buru karena sedang ingin melihat pertunjukan dongeng di kedai teh ini.
“Hah ... Tetap saja, bukankah tidak baik jika dilihat orang? Anda Tuan Muda dari keluarga Chae.” Dai tentu saja bersyukur atas sikap tuan muda dan keluarganya, namun menurutnya, ada beberapa hal yang tetap tidak boleh terlihat oleh pihak luar.
“Terus kenapa? Justru karena aku Chae Bamby, Tuan Muda dari keluarga Chae, maka aku berhak melakukan apa saja,” suaranya mengandung nada bangga alih-alih sombong, “lagian, aku tidak melakukan hal buruk.”
“Hahaha, anda menang, Tuan Muda.” Ucap Dai pasrah, yang dibalas dengan senyum lebar dari tuan mudanya.
“Sudah mulai!” Setelah Bamby mengucapkannya, ia mulai fokus mendengarkan cerita pendongeng di atas panggung, begitupun para pengunjung lainnya.
“Siapa itu?” suara magnetis seorang pria terdengar di salah satu bilik kedai teh di lantai dua sesaat setelah pendongeng di panggung mulai bercerita. Pria lain yang berdiri di sampingnya segera melihat ke arah yang dimaksud tuannya, sebelum melaporkan jawaban.
“Ia tuan muda ke-empat dari keluarga Chae, Tuan.” Suaranya penuh dengan nada hormat dan ke hati-hatian. Saat pria itu menjawab, ia menundukkan kepalanya, tidak berani melihat langsung ke wajah lawan bicaranya walaupun mereka bersebelahan.
“Kelaurga Chae?” pria itu seperti sedang berpikir, “aku tidak tahu bahwa keluarga Chae memiliki anak sepertinya. Anak pertama dan keduanya cukup terampil.” Nadanya terdengar malas.
“Ya, Tuan. Anak pertama saat ini masih berada di provinsi Yan, sedangkan yang kedua bergabung dengan pasukan militer di perbatasan Barat.”
“Ada lagi, kan?”
“Anak ketiga, seorang putri baru selesai dengan pendidikannya. Saya dengar, keluarga Chae sedang mencarikannya calon suami.”
“Keluarga Chae sepertinya masih sangat makmur.” Setelahnya hening mengisi bilik tersebut. Hanya terdengar suara samar pendongeng yang masih menceritakan kisah di panggung.
“Bagaimana dengannya? Masih begitu muda?” Pria itu menopang wajah dengan tangan kirinya, terlihat begitu santai dan juga tidak peduli dengan sekelilingnya. Namun, pupil biru itu masih fokus menatap wajah Tuan Muda Chae yang asyik menonton pertunjukan.
“Saat ini, ia masih belajar, Tuan.”
“Masih sangat muda,” pria itu masih fokus menatap tuan muda tersebut, “sepertinya ia tidak tahu betapa kejamnya dunia, bukan?” ucapnya dengan santai dengan sedikit seringai di bibirnya. Sedangkan pria yang sedari tadi melaporkan jawaban, mundur selangkah ke belakang dan hanya diam, bersikap seolah tidak mendengar kalimat yang diucapkan tuannya.
“Apakah keluarga Chae telah membuat Yang Mulia kesal sebelumnya?” pikiran ini langsung terlintas di benak pria tersebut saat mengingat pertanyaan-pertanyaan tuannya.
Setengah jam kemudian pertunjukan itu berakhir. Sebagian pengunjung memilih pulang dan sebagian lagi memilih untuk menuntut lebih banyak cerita.
“Hei, ceritakan lagi yang lainnya!”
“Iya benar! Hari masih siang, ayo ayo lanjutkan!” beberapa pengunjung ikut berseru.
“Mohon tenang Tuan dan Nona. Tentu saja saya masih punya banyak cerita menarik setelah ini, tapi mari kita saksikan dulu pertunjukan alat musik yang akan ditampilkan oleh Song bersaudara! Anda semua pasti akan menyukainya!” sang pendongeng membalas dengan ceria sembari mengarahkan kedua musisi itu untuk naik ke panggung. Walau beberapa penonton merasa tidak puas, namun mereka juga tidak memiliki masalah jika harus menunggu sebentar. Lagi pula, kedua musisi itu juga masih memiliki reputasi bagus di antara para musisi lainnya.
“Tuan Muda, apa anda akan kembali?” Dai bertanya sambil menuangkan secangkir teh lagi untuk tuan mudanya.
“Sebentar lagi, aku penasaran dengan pertunjukan selanjutnya,” Ia meminum tehnya, sebelum melanjutkan “tidak ada kegiatan kan setelah ini?”
“Tidak ada, Tuan Muda. Oh, hanya saja besok anda harus datang ke istana untuk perjamuan musim semi. Anda mungkin perlu bersiap dulu nanti.” Pengingat dari Dai berhasil membuat Bamby tersadar tentang jadwalnya besok.
“Hm ... Jika aku tidak datang, pasti ayah dan ibu akan marah, kan?” Bamby bertanya dengan cemberut. Jujur saja, ia terlalu malas menghadiri perjamuan-perjamuan formal seperti itu, terlebih lagi perjamuan istana. Walau kemungkinan besar ia tidak akan bertemu dengan anggota kerajaan apalagi Raja –karena ia pasti akan menunggu di aula yang berbeda dari orang tuanya, namun tetap saja lebih baik pergi bermain atau datang ke kelas.
“Ya ... Saya khawatir begitu. Nona Muda juga akan hadir, jadi anda tidak akan merasa bosan, Tuan Muda.”
“Kakak akan sibuk dengan teman-temannya, lagian para nona muda itu pasti lebih suka melihat bunga-bunga di halaman dibanding tetap di aula. Ku rasa aku harus mencari teman dulu untuk besok.” Bamby mulai memikirkan dengan serius, kira-kira tuan muda dari keluarga mana saja yang akan hadir di perjamuan besok.
Saat Tuan Muda Chae sibuk memikirkan teman untuk perjamuan besok, tuan yang sebelumnya berada di bilik lantai dua, sudah mulai berjalan turun, hendak keluar dari kedai teh. Manik birunya melirik Bamby yang sedang sibuk mengobrol bersama pelayan di sebelahnya. Setelah beberapa langkah ia keluar dari kedai teh, terlihat sebuah kereta kuda mewah terletak di ujung jalan yang sepi.
“Pejabat Chae dan keluarganya akan hadir di perjamuan istana besok?”
“Iya, Yang Mulia. Ibu Suri yang mengundangnya.” Pria di sampingnya menjawab dengan suara rendah.
“Bukankah keluarga Chae masuk faksi netral?” Kaki janjangnya terus melangkah menuju kereta kuda di ujung jalan, “Namun, ia menerima undangan Ibu Suri?” tanyanya dengan nada yang tidak bisa ditebak.
“Saya rasa Tuan Chae juga tidak memiliki kuasa untuk menolak, Yang Mulia.”
“Ya, lagi pula ini hanya perjamuan.” Setelah itu, sosok yang dipanggil Yang Mulia itu memasuki kereta kudanya.
“Kasim Hong.”
“Ya, Yang Mulia.” Pria itu –Kasim Hong, kepala kasim kepercayaan raja saat ini, menjawab dengan patuh.
“Besok sepertinya akan menarik.” Setelahnya pintu kereta kuda itu ditutup rapat. Kasim Hong terdiam sebentar, sebelum akhirnya naik dan duduk di samping kusir. Tak lama kemudian, kereta kuda mewah itu menghilang dari ujung jalan yang sepi, seolah-olah kereta kuda tersebut tidak pernah ada di situ.
“Apakan Yang Mulia tertarik dengan Tuan Muda Chae?” Kasim Hong hanya bisa memikirkan kemungkinan ini, karena sedari awal mata sang raja selalu fokus pada Tuan Muda Chae. Namun, Kasim Hong juga tidak mengerti, apa yang membuat Yang Mulia tertarik? Seingatnya, baru ini keduanya bertemu. Sejak Yang Mulia naik takhta lima tahun lalu, kunjungan diam-diam keluar istana juga bisa dihitung dengan jari, jadi kemungkinan kecil keduanya pernah bertemu.
“Tapi ya apa yang ku bisa, pemikiran penguasa memang tidak bisa ditebak.” Kasim Hong mendesah dalam hati sembari menggelengkan kepalanya pelan. Raja saat ini, Raja Yejun, sosok yang terlihat lembut, namun pemikirannya tidak pernah bisa diprediksi.
Chapter 2: Menarik
Chapter Text
“Jadi, bukankah kamu bilang kamu mau ajak teman mainmu hari ini? Sepertinya banyak keluarga bangsawan yang hadir. Apa tidak ada yang temanmu yang hadir? Bukankah kamu punya banyak teman?” pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dari bibir sang kakak –Nona Muda Chae Hanna, sesaat setelah ia dan Bamby sampai di aula perjamuan musim semi.
“Ya ... yang dekat denganku tidak hadir. Sedangkan mereka, aku terlalu malas bersosialisasi sekarang.” Bamby menjawab dengan lambat dan melirik kakak perempuannya, “Lagi pula, bukankah mereka yang hadir hari ini rata-rata berasal dari faksi timur?”
“Apa yang salah? Yang Mulia berasal dari faksi itu.” Hanna menjawab dengan suara pelan.
“Ya, betul. Lalu, apa kakak akan bergabung dengan nona muda lainnya?” tanya Bamby penasaran. Ia agak berharap bahwa kakak perempuannya akan lebih memilih untuk bersama Bamby di aula luar ini. Ia terlalu malas untuk bergabung di aula dalam bersama tuan muda lainnya. “Uh, tiba-tiba aku merasa tidak cocok dengan status bangsawan ini.” pikir Bamby geli.
“Tentu saja! Sudah sana masuk, aku mau ke temanku dulu!” jawab Hanna riang sebelum pergi meninggalkan Bamby sendirian di depan aula.
“Ya ya, baiklah.” Gumamnya malas. Setelahnya, ia mulai melangkah masuk ke aula dan bergabung dengan tuan muda lainnya sembari menunggu jamuan di mulai. Sedangkan Dai dan pelayan lainnya tidak memiliki izin untuk masuk dan harus menunggu di luar.
Setelah bersosialisasi selama sejam, mereka yang hadir memiliki kebebasan untuk berkeliling menikmati mekarnya bunga musim semi di halaman. Bahkan beberapa tetua sudah mulai keluar dan ikut menikmati pemandangan. Bamby berkeliling sampai akhirnya berhenti di ujung bagian yang sepi. Ia terdiam, melihat bunga-bunga yang bermekaran itu sembari termenung. Sesaat setelahnya, terdengar suara seorang pria di sampingnya.
“Apakah ini Tuan Muda Chae Bamby?” Bamby tertegun sejenak saat ia melihat ke arah sumber suara. Jubah naga, bahkan jika Bamby tidak tahu wajah sang raja, ia tidak sebodoh itu sampai tidak dapat mengenali pakaiannya.
“Yang Mulia.” Bamby segera menjawab sembari menundukan tubuhnya dengan penuh kehati-hatian.
“Bangun. Santai saja, Tuan Muda Chae. Aku bisa memanggilmu Tuan Muda Bamby, kan?” terdengar kekehan dibalik jawaban sang raja.
“Sesuai keinginan anda, Yang Mulia.” Bamby melirik sebentar ke arah sang raja sebelum menatap ke bawah lagi. “Yang Mulia sendirian?” pikir Bamby bingung.
“Bagaimana perjamuannya? Apa menyenangkan?”
“Perjamuannya begitu menyenangkan, Yang Mulia.”
“Terlalu kaku. Tidak menyenangkan, Tuan Muda Bamby.” Ada sedikit nada kesal dibalik kalimat yang Yejun ucapkan.
Ekspresi Bamby sedikit kaku mendengarnya. Kemudian, ia memaksakan senyum dan menjawab, “Maafkan saya, Yang Mulia. Saya rasa saya sedikit gugup karena ini pertama kalinya saya masuk istana.”
“Benarkah?” nadanya sedikit menyelidik, “Benar. Kalau begitu, kita bisa terus bertemu. Lama-lama kamu tidak akan gugup, kan?” Bamby reflek mengangkat pandangannya dan melihat sang lawan bicara. Saat matanya bertemu dengan tatapan Yejun, Bamby merasa bisa melihat rasa geli terpancar di baliknya.
Sesaat, Bamby ragu harus menjawab apa. Ayahnya tidak pernah mengajarkan situasi seperti ini, ok! Rasanya ia ingin kembali menemui ayahnya dan bertanya, “Ayah, aku harus menjawab apa jika Yang Mulia tiba-tiba bilang ingin bertemu denganku lagi?”. Namun sayang, situasinya tidak mengizinkan dan sekarang ia harus berjuang sendiri.
“Um ...”
“Hahaha apa itu membuatmu takut?” ucapan Bamby segera dipotong oleh Yejun yang tertawa geli melihat Bamby gelisah di hadapannya.
“Berapa usiamu saat ini?” pertanyaan tiba-tiba ini membuat Bamby bingung, namun ia segera menjawab “20 tahun, Yang Mulia.”
“Begitu.” Bamby kembali menatap tanah, jadi ia melewatkan kilatan tak terbaca yang melintas di mata sang raja.
“Apa kamu akan memasuki istana? Bergabung sebagai pejabat istana?”
“Saya belum benar-benar memikirkannya. Jadi, saya rasa saya akan melewatkan ujian kerajaan tahun ini, Yang Mulia.”
“Sayang sekali. Aku dengar Tuan Muda ke empat dari keluarga Chae benar-benar cerdas. Merupakan berkah bagi kerajaan ini jika orang sepertimu bisa bergabung.”
“Terima kasih atas perhatian anda, namun rumor juga sering kali terlalu melebihkan, Yang Mulia.”
“Tuan Muda Chae terlalu rendah hati.” Yejun tersenyum menatap wajah pemuda di depannya. Bamby masih sibuk menatap tanah dan mungkin karena gugup, bulu matanya yang panjang itu bergetar ringan. Terlihat seperti kepakan sayap kupu-kupu yang rapuh saat kupu-kupu itu sedang bersantai di atas bunga. Entah mengapa, melihatnya membuat jari-jari Yejun gatal. Ia tiba-tiba memiliki rasa urgensi untuk menyentuh bulu mata Bamby dan mengusap ujung mata yang menarik itu dengan lembut.
Semakin Yejun memikirkannya, semakin ia merasa bahwa bukan hanya jarinya saja yang terasa gatal. Namun hatinya pun ikut terasa gatal, seperti ada yang menggelitiknya.
“Katanya kepala akademi memuji esai milikmu?”
“Hah?” Bamby reflek mengangkat kepalanya, sedetik kemudian ia tersadar “Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia!” ucapnya panik sembari menundukan tubuh dalam-dalam.
“Hahahaha tidak masalah. Bagaimana dengan esaimu?” Yejun tertawa riang melihat tingkahnya yang canggung.
“Uh, itu, ya. Kepala Akademi Lin sempat memuji esai saya mengenai masalah yang melanda provinsi Nan beberapa waktu lalu, Yang Mulia.” jawab Bamby dengan gugup.
“Begitu. Pasti isinya benar-benar hebat. Pria tua itu biasanya sangat sulit mengeluarkan pujian bahkan jika itu murid kesayangannya sekalipun.” Yejun mengiyakan dengan santai.
“Baiklah, sepertinya sudah waktunya kembali. Kamu bisa kembali lebih dulu. Mungkin Tuan Chae sedang sibuk mencarimu.”
“Baik, terima kasih Yang Mulia. Saya undur diri lebih dulu.” Bamby mengucapkan salam perpisahan, membungkukan badannya sebelum akhirnya mundur dengan sedikit tergesa-gesa.
“Jika aku tau akan bertemu Yang Mulia, lebih baik aku tetap di dalam saja!” Bamby menggerutu kesal dalam hati. Bertemu raja benar=benar membuatnya panik, terlebih lagi ini kali pertama pertemuan mereka. Walau raja sekarang terkenal lembut dan baik hati terhadap rakyatnya, namun tetap saja ia seorang raja. Perhatiannya terkadang juga bisa menjadi malapetaka.
Setelah Bamby menghilang dari pandangan Yejun, seseorang muncul dari sisi lain halaman dan berjalan mendekati Yejun.
“Yang Mulia.” Pria itu membungkukan tubuhnya dan menyapa dengan hormat.
“Kasim Hong, kamu bisa berbicara santai dengan pejabat Chae tentang undangan untuk tuan muda ke empat mereka. Esainya pasti menarik.” Yejun memberi perintah dengan santai. Pupil birunya menatap bunga yang bermekaran di hadapannya dengan malas.
“Sesuai perintah anda, Yang Mulia.” Kasim Hong menjawab dengan patuh. Dalam benaknya, ia sudah mulai mencatat rencana untuk besok. Sepertinya, setelah audensi pagi esok hari, ia perlu mencegat pejabat Chae untuk membahas undangan ini. Kasim Hong hanya berharap bahwa pejabat Chae akan cukup bijaksana untuk tidak membuat keributan tentang undangan yang datang tiba-tiba ini.
Chapter 3: Kunjungan ke istana
Chapter Text
“Pergi ke istana setelah ini.” Sesampainya Bamby di ruang kerja ayahnya, ia langsung mendengar kalimat ini.
Bamby tertegun sejenak sebelum bereaksi, “Ayah ingin aku masuk harem raja?” tanyanya dengan nada bingung.
“Konyol!” Ayah Bamby menyangkal dengan semangat sebelum akhirnya menghela napas, “Haahh ... Apa yang ada dipikiranmu? Yang Mulia tertarik dengan esaimu dan mengundangmu untuk berbincang di istananya hari ini.”
“Hehehe, aku hanya bercanda, Ayah.” Bamby berjalan menuju kursi di depan meja kerja ayahnya dan duduk dengan santai sembari melihat berkas kerja yang berserakan di atas meja.
“Kemarin aku bertemu Yang Mulia. Ia juga bertanya tentang esai,” Bamby menatap wajah ayahnya yang sekarang sedang mengerutkan kening gelisah, “kurasa, Kepala Akademi Lin benar-benar puas dengan esaiku. Beritanya terdengar hingga Yang Mulia.”
“Apa yang bisa disembunyikan dari Yang Mulia,” sang ayah menghela napas, “di bawah langit ini, semuanya milik Yang Mulia. Lagi pula, kepala akademi juga merupakan mantan guru Yang Mulia.”
“Aku mengerti.” Bamby terdiam sejenak. “Kalau begitu, aku akan berangkat sekarang.” Ia beranjak dari tempat duduknya.
“Hati-hati saat di istana. Selama ini kita tidak pernah memihak dan hanya setia pada kerajaan.” Ayah Bamby menatap tajam ke arah pintu tempat Bamby berdiri. “Setiap dinding memiliki telinga.”
“Aku mengerti, Ayah.” Bamby menatap wajah ayahnya sembari tersenyum. “Aku sudah dewasa. Aku akan segera kembali!” Kemudian terdengar suara pintu tertutup. Ayah Bamby terdiam beberapa detik melihat kepergian anaknya.
Chae Bamby, anak bungsunya itu anak yang cerdas. Ia juga paham dengan situasi politik saat ini. Walau terlihat tenang, nyatanya kerajaan ini tidak pernah benar-benar tenang setelah kenaikan Raja Yejun lima tahun yang lalu. Sebagian pangeran yang gagal bersaing telah kehilangan nyawanya, namun masih ada dua pangeran yang hidup di pengasingan.
Raja saat ini memang memiliki kuasa karena kakeknya masih menjabat sebagai perdana menteri, namun kekuatan militernya cukup lemah. Kekuatan militer terbesar saat ini dipegang oleh keluarga Yun dan yang kedua dipegang oleh keluarga Do. Karena hubungan baik antara putra tunggal keluarga Do –Do Eunho dengan raja, maka posisi raja saat ini sebenarnya sudah sembilan puluh persen aman. Tetapi tetap saja, masih ada peluang untuk kemungkinan terburuk.
Memikirkan hal ini, membuat Ayah Bamby merasakan sakit kepala. Ia selalu berada di posisi netral dan hanya berpihak pada kerajaan, bukan raja. Kekhawatiran terbesarnya ialah kedua anak terakhirnya. Ia berharap Hanna bisa mendapatkan suami dengan latar belakang yang kuat, yang bisa melindunginya jika terjadi pergolakan politik.
Sedangkan untuk Bamby, ia berharap bisa mengirim anak itu ke lokasi yang aman, jauh dari ibu kota dan politik ini. Ia bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Namun, situasi sekarang sepertinya tidak memungkinkan. Bagaimanapun ia adalah pejabat senior. Walau tidak berada di jalan yang salah, tetap saja ia sudah banyak mendengar dan melihat. Orang-orang itu tidak akan bisa melepaskannya. Terkadang, berada di samping musuh akan lebih aman daripada bersembunyi. Satu-satunya harapannya sekarang hanyalah agar Bamby tidak masuk istana dan terlibat dengan politik. Tapi saat ia pikir semuanya berjalan sesuai rencana, sang raja malah tertarik dengan putra bungsunya.
“Haah ... Ku pikir aku akan mengkhawatirkan Hanna, ternyata anak kecil ini yang membuatku lebih khawatir.”
“Yang Mulia, Tuan Muda Chae sudah sampai.” Lapor Kasim Hong.
“Suruh masuk.”
“Salam, Yang Mulia.” Ucap Bamby saat ia mengikuti Kasim Hong masuk ke dalam ruang kerja sang raja. Sebenarnya, Bamby terkejut bahwa ia diizinkan masuk ke ruang kerja raja –terlebih lagi ia bukan seorang pejabat resmi.
“Hm.” Yejun hanya bergumam menanggapinya, “Kamu bisa keluar, Kasim Hong.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Duduk. Ada banyak camilan di meja, kamu bisa memakannya.” Yejun mempersilakan Bamby untuk duduk dengan santai tanpa melihat ke arahnya.
“Terima kasih, Yang Mulia.” Bamby duduk di tempat yang disediakan dengan gugup.
“Aku sudah membaca esaimu, itu menarik. Caramu menanggapi situasi di Provinsi Nan benar-benar terasa baru.” Yejun menopang wajahnya dengan tangan kanannya di meja, sedangkan tangan kirinya sedang memegang lembar esai milik Bamby.
“Terima kasih, Yang Mulia–“ Bamby hendak bangun dan memberi pernghormatan lagi sebelum dipotong oleh ucapan Yejun,
“Berhenti. Duduk saja dengan santai, aku tidak suka formalitas itu.” Ada sedikit nada kesal di baliknya. Bamby tertegun sejenak sebelum akhirnya duduk dengan tenang di posisi semula.
“Coba jelaskan esaimu.” Yejun melirik Bamby dengan minat.
“Baik, Yang Mulia. Begini ...” Bamby menjelaskan isi esainya dan Yejun mendengarkan dengan malas. Sejak awal Bamby menjelaskan, raja muda itu tidak begitu fokus dengan isi esai. Ia memang sudah membacanya dan menurutnya itu esai yang bagus. Namun, dengan Bamby di depan matanya, bagaimana mungkin esai itu bisa lebih menarik dari si penulis?
Di sisi lain, semakin Bamby menjelaskan semakin bersemangatnya ia hingga lupa bahwa yang berada di depannya adalah raja. Ia selalu tertarik dengan ilmu pengetahuan dan berpikir bahwa mengabdikan diri untuk membantu masyarakat merupakan hal yang indah. Karena itu, ia selalu bersungguh-sungguh dengan pelajarannya.
Sedangkan Yejun, matanya kini hanya fokus pada wajah Bamby. Mata itu terlihat indah, terutama saat sedang menjelaskan hal yang pemiliknya minati. Pupil merah muda itu seperti menyimpan ribuan bintang yang penuh cahaya. Tatapan Yejun turun ke arah hidung Bamby lalu bergeser melihat kedua pipi yang lembut itu. Pemuda di hadapannya sudah melewati masa remaja dan wajahnya mulai kehilangan lemak bayi, namun pipi itu tetap terlihat lembut dan menggoda untuk dicubit. Yejun kembali merasa gatal di jari-jari tangannya. Ia memiliki keinginan untuk mengusap dan memegang pipi itu.
Kemudian, tatapan mata Yejun beralih ke bibir mungil pemuda di hadapannya. Bibir lembut berwarna merah muda itu terbuka dan tertutup, karena sang pemilik masih berbicara dengan semangat tentang esainya. Yejun menahan rasa urgensi di hatinya untuk langsung melangkah ke depan dan menempelkan jarinya di bibir ranum Bamby.
“Hahh ...” helaan napas keluar dari bibir Yejun. Awalnya ia pikir ia hanya sekadar tertarik dengan anak bungsu dari keluarga Chae. Namun sekarang, ia yakin bahwa ini lebih dari sekadar rasa tertarik.
Saat ini posisi di istana dalam masih kosong dan kenyataan ini selalu menjadi duri di hati ibunya dan keluarga pihak ibunya. Banyak keluarga yang telah mengirim putrinya ke sisi Yejun, namun Yejun merasa tidak tertarik dan mengembalikan mereka semua. Berkat kepemimpinan cemerlangnya lah yang membuat ibu dan keluarga ibunya menarik langkah mundur dari pembahasan istana dalam untuk saat ini. Namun, jika mereka tahu bahwa ia tertarik pada Bamby –terlebih lagi seorang pria, situasinya pasti akan sangat kacau.
“Yang Mulia?” panggilan penuh kehati-hatian itu berhasil menyadarkan Yejun dari lamunannya. Saat Yejun meilhat wajah gugup Bamby, ia menjadi merasa sedikit tidak berdaya.
“Tidak apa-apa, aku hanya sedang memikirkan sesuatu.” Walau Yejun tidak wajib menjelaskan dirinya, namun itu terucap secara alami dari bibirnya. “Baru tiga kali bertemu dan aku sudah jatuh sedalam ini untuknya?” pikir Yejun geli. Awalnya ia cukup waspada dengan keluarga Chae. Walau selama ini mereka berada di pihak netral, namun tidak ada jaminan bahwa manusia tidak akan berubah. Oleh karena itu, sikap Yejun ke Bamby terasa cukup kasar walau ia merasa tertarik. Namun sekarang, hanya dengan tiga pertemuan, Yejun merasa sikapnya bisa melunak ke titik yang mengejutkan bahkan bagi dirinya sendiri.
“Minum tehmu, pasti melelahkan berbicara sedari tadi.”
“Ah –terima kasih, Yang Mulia.” Bamby meneguk teh dalam gelasnya dengan pelan, namun matanya tidak lepas dari sosok di depannya. Ia melihat Yejun tersenyum tipis saat melihatnya yang membuat Bamby segera menundukan pandangannya. “Sepertinya ia tahu tentang tatapanku.” Bamby berpikir dalam hati. Namun ia juga merasa aneh, hari ini Yejun terlihat lebih lembut dan santai dibandingkan kemarin. “Apa karena Yang Mulia sedang berada dalam suasana hati yang baik hari ini?” sebuah pertanyaan muncul di benak Bamby.
“Sebentar lagi jam makan siang.” Yejun menatap Bamby yang sudah menaruh kembali cangkir tehnya, “apa Tuan Muda Chae ada janji setelah ini?”
“... aku harus menjawab apa?” Bamby sedikit panik di dalam hati. “Itu ...”
“Baiklah, mungkin aku terlalu terburu-buru.” Yejun memotong ucapannya. Ia merasa sangat disayangkan bahwa ia tidak bisa makan siang bersama sosok di hadapannya. Namun, ia juga sadar bahwa akan terlalu menarik perhatian banyak pihak jika tiba-tiba mereka makan bersama.
“Lusa akan ada ritual doa di Kuil Tian untuk menyambut musim semi tahun ini.” Yejun menatap Bamby, “Bagaimana dengan keluarga Chae?”
“Ayah dan saya yang akan hadir, Yang Mulia.”
“Begitu. Baiklah, kamu bisa kembali.” Yejun kemudian memanggil Kasim Hong masuk, “Kamu mungkin harus menyiapkan perbekalan untuk perjalanan lusa. Tuan Muda Chae akan kembali.” Kalimat terakhir diarahkan pada Kasim Hong.
“Baik, Yang Mulia.” Balas Kasim Hong sebelum mempersilakan Bamby untuk mengikutinya.
“Salam, Yang Mulia.” Bamby membungkukkan tubuhnya sebelum mengikuti Kasim Hong keluar.
“Saya akan meminta seseorang untuk mengantar anda kembali, Tuan Muda Chae.”
“Tidak, tidak perlu. Saya bisa kembali sendiri, Kasim Hong.” Bamby menolak tawaran itu secara reflek. Oh ayolah, ia tidak mampu memikirkan rumor apa yang akan muncul jika ia kembali dengan kereta kuda milik istana. Bagaimanapun, kereta kuda paling sederhananya pun tetap saja menunjukan status istana.
Seperti bisa membaca pikiran tuan muda di hadapannya, Kasim Hong menjawab,
“Anda tidak perlu khawatir, Tuan Muda Chae. Yang Mulia sudah membuat pengaturan untuk anda. Kereta kuda itu ada di dekat pintu gerbang istana, anda bisa yakin tentang ini, Tuan Muda Chae.” Kasim Hong menjelaskan dengan rasa hormat yang cukup. Setelah mendengar penjelasan bahwa raja terlibat dalam pengaturan ini, bagaimana mungkin Bamby bisa menolak?
“Baiklah. Terima kasih, Kasim Hong.” Kasim Hong hanya tersenyum menanggapinya.
Saat Bamby berada dalam kereta kuda menuju kediaman keluarga Chae, ia kembali memikirkan kejadian hari ini. Walau ia cukup yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetap ada rasa khawatir yang muncul mengingat sikap aneh sang raja padanya. Bamby tidak habis pikir, apa yang menarik darinya? Ia bukanlah seorang pejabat resmi istana atau bahkan calon pejabat. Jika esainya begitu menarik, mengapa esai para pelajar lainnya juga tidak membuat raja tertarik? Kenyataannya, bukan hanya ia yang mendapat pujian dari ujian esai saat itu. Namun, bagaimanapun Bamby memikirkannya, ia tetap tidak berhasil mendapatkan jawaban yang cocok dengan situasi ini.
“Tapi, Yang Mulia benar-benar tampan.” Bamby berpikir bahwa pujian-pujian yang sering ia dengar dari nona dan tuan muda di ibu kota tentang raja, memang benar adanya. “Sayang sekali istana dalamnya masih kosong. Orang semenakjubkan itu, kira-kira siapa yang bisa merebut hatinya?” memikirkannya membuat Bamby menjadi penasaran.
“Ya ... lebih baik memikirkan perjalanan lusa.” Kuil Tian berada di sisi selatan ibu kota dan akan memakan waktu hampir setengah hari perjalanan. Sesampainya di sana, ia juga tidak bisa langsung kembali di sore hari karena ritual setidaknya akan dilakukan selama tiga hari. Belum lagi, ia sebagai rakyat hanya bisa menunggu rombongan raja bergerak terlebih dahulu. Jadi, secara keseluruhan, bisa saja ia harus menetap di sana selama lima atau enam hari –termasuk waktu perjalanan.
“Apa aku akan bertemu dengan Yang Mulia lagi?” Bamby pikir, mungkin ia tidak akan memiliki kesempatan bertemu raja lagi. Walaupun mereka akan berada di lokasi yang sama, tetap saja rombongan Bamby akan terpisah beberapa aula dari rombongan sang raja.
Namun, saat Bamby yakin bahwa ia tidak akan bertemu raja lagi, kenyataannya di sinilah ia sekarang, berdiri berdampingan dengan sang raja di sisi lain halaman kuil –tanpa Kasim Hong, ayahnya atau bahkan pengawal pribadi sang raja.
“Yang Mulia?!” Bamby terkejut melihat Yejun yang sedang tersenyum di hadapannya.
Chapter 4: Sentuhan di pipi
Chapter Text
“Yang Mulia?” Bamby mulai bertanya-tanya, apa sang raja mengikutinya sampai ke sini? “Kenapa kami bisa bertemu lagi?! Tanpa ada orang lain dan di sudut kuil seperti ini? Jika ada penyergapan dari musuh, bukankah aku orang pertama yang akan dicurigai?!” pikirannya mulai panik saat melihat situasi sepi di sekelilingnya.
“Yang Mulia, apa anda seorang diri? Bagaimana mungkin anda bisa berkeliling sendiri? Ini bukan di istana –tidak, bagaimana dengan Kasim Hong? Yang Mulia–” Bamby lupa sejenak bahwa yang di depannya adalah seorang raja, walau bibirnya selalu menyebut Yang Mulia.
“Hahahaha, apakah Tuan Muda Chae merasa khawatir padaku?” Ada kilatan bahagia yang terlintas di pupil birunya saat menjawab rentetan pertanyaan Bamby.
“Itu–” Bamby tertegun saat melihat tatapan Yejun. Namun setelah ia berkedip, ia tidak dapat menemukan ada yang aneh dari tatapan pria di hadapannya. “Apa aku salah lihat?”
“Maaf atas kelancangan saya, Yang Mulia.” Bamby membungkukkan tubuhnya. Setelah tenang, ia mulai sadar, sepertinya ia telah melewati batas antara pemimpin dan rakyatnya. “Aku juga tidak tahu mengapa aku begitu gugup tapi di lain waktu jadi begitu gelisah.” pikir Bamby kesal.
“Tidak masalah. Ya, walau ini di luar istana, ini masih Kuil Tian. Seharusnya tidak ada masalah.” Kuil ini merupakan kuil utama yang biasa dikunjungi oleh anggota kerajaan, jadi keamanannya masih lebih aman dibandingkan lokasi lainnya.
“Bagaimana perjalanannya?”
“Semuanya baik-baik saja, Yang Mulia.” Setelah lima detik menunggu jawaban yang tak kunjung muncul, Bamby mengangkat pandangannya, berusaha melihat ekspresi lawan bicaranya. Saat manik merah muda itu bertemu dengan manik biru sang raja, Bamby hanya bisa terdiam. “Tatapan itu ...” Apa Yang Mulia memiliki pemikiran lain? “Tunggu, atau mungkin aku melakukan kesalahan? Karena pertanyaanku tadi?!”
Sedangkan Yejun hanya tersenyum menatap pemuda di hadapannya. Ia memperhatikan semua tindakan kecil Bamby, mulai dari lirikan hati-hatinya, tatapan terkejutnya saat bertemu pandang dengan Yejun, lalu renungannya, hingga akhirnya pupil merah muda itu melebar karena terkejut lagi. “Sungguh, apa yang ia pikirkan di kepala kecilnya itu?” Yejun terkekeh melihat tingkah Bamby, “seperti hamster, makhluk kecil yang penuh drama.”
“Mengapa Tuan Muda Chae kita begitu menarik?” tangan kanan Yejun bergerak sendiri menuju wajah Bamby dan bersarang di pipi pemuda itu. Jari-jari Yejun bergerak pelan, mengusap pipi lembut Bamby dengan penuh kehati-hatian.
Bamby sendiri hanya bisa mematung. “Tunggu, apa yang terjadi? Ini, tangan Yang Mulia?” pikiran Bamby kini cukup kacau. Walaupun begitu, perasaan jari-jari hangat yang mengusap pipinya sekarang terasa begitu nyata, yang artinya Yang Mulia benar-benar sedang menyentuh pipinya!
“Yang –Yang Mulia?” gumaman bingung Bamby kembali membawa Yejun ke kenyataan.
“Apa aku membuatmu takut?” Yejun mencubit pelan pipi Bamby sebelum menarik kembali tangannya.
“Uh, itu, Yang Mulia–”
“Apa itu terasa buruk?” Tatapan Yejun menajam bahkan tanpa ia sadari.
Bamby sedikit takut melihatnya, sebelum ia menjawab, “tidak, tidak seperti itu, Yang Mulia” dengan pelan.
Yejun menghela napas melihatnya, “Ku rasa karena ini istana dalam masih kosong.”
Bamby yang mendengarkan ucapannya hanya terdiam karena tidak mengerti. “Apa hubungannya?”
“Baiklah, kamu bisa kembali dulu.” Yejun mengalihkan pandangannya dari Bamby.
Walaupun Bamby masih merasa bingung dengan semua situasi ini, ia hanya bisa menjawab, “baik, Yang Mulia” sebelum mengundurkan diri.
Yejun hanya terdiam sembari melihat pemandangan danau di hadapannya. “Aku terlalu terburu-buru” desah Yejun dalam hati. Ini hanya beberapa pertemuan dan mereka tidak saling kenal sejak awal, tetapi Yejun menemukan bahwa dirinya semakin tidak sabar. Dibandingkan fakta bahwa ia menyukai seorang pria, ia lebih merasa khawatir membuat orang yang ia sukai itu merasa takut. Saat Yejun hendak tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, ia mendengar suara Kasim Hong memanggilnya.
“Yang Mulia.” Saat Yejun melirik Kasim Hong, pupil birunya juga menangkap sosok wanita yang berjalan ke arah mereka.
“Yang Mulia.” Wanita itu menyapa dengan santai dan hanya menundukkan sedikit kepalanya.
“Salam, ibu. Kamu bisa pergi.” Kalimat terakhir ditujukan pada Kasim Hong. Yejun tahu bahwa panggilan Kasim Hong sebelumnya untuk memberitahunya tentang kedatangan Ibu Suri.
“Ia berjaga dengan hati-hati di sana hingga ku pikir kamu sedang bertemu dengan kekasihmu.” Sesaat setelah Kasim Hong menghilang dari pandangan mereka, Ibu Suri mengucapkan kalimat ini sebagai pembuka obrolan keduanya. Walaupun diucapkan dengan santai, namun Yejun bisa menangkap nada penuh selidik di baliknya.
“Ibu bercanda, tidak ada siapa-siapa di sampingku.” Yejun menjawab sembari tersenyum tipis.
“Sudah berganti tahun. Tahun ini kamu sudah dua puluh enam tahun, bagaimana dengan permaisurimu?”
“Aku masih sehat. Negeri ini juga baik-baik saja, apa yang terburu-buru?” Yejun mengalihkan pandangannya ke permukaan danau yang tenang.
“Aku sudah tua dan ingin menggendong cucu, mau sampai kapan aku menunggu?” Ibu Suri mendengus kesal mendengar jawaban anaknya.
“Lalu ibu bisa meminta kedua pangeran di pengasingan itu kembali ke ibu kota. Bukankah mereka sudah memiliki banyak anak? Ibu akan bisa menggendong cucu.”
“Yang Mulia!” ucapan penuh amarah itu terdengar di telinga Yejun, “Apa Yang Mulia ingin kehilangan takhtanya dengan membawa mereka kembali?”
Yejun hanya terdiam, lalu menjawab “kalau ibu tidak ingin anakmu ini kehilangan takhta, maka jangan membahas ini lagi” dengan santai.
“Kamu benar-benar sudah merasa mampu!” ucapan marah itu menutup percakapan mereka. Ibu Suri kembali dengan marah, meninggalkan Yejun seorang diri.
“Yang Mulia.” Setelah beberapa waktu, Kasim Hong kembali ke sisi sang raja.
“Ku rasa Ibu Suri sedang terburu-buru.” Yejun melangkah kembali ke arah kuil, “jangan sampai ada yang tahu pertemuan tadi.”
“Saya mengerti, Yang Mulia.” Kasim Hong awalnya mengira bahwa Yang Mulia hanya tertarik dengan bakat tuan muda ke empat dari keluarga Chae, namun saat melihat interaksi keduanya tadi, Kasim Hong merasa bahwa ia telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Walaupun begitu, Kasim Hong lebih terkejut saat melihat ekspresi rajanya yang begitu lembut di hadapan Tuan Muda Chae.
Kasim Hong telah mengabdikan dirinya mulai dari saat mendiang raja berkuasa, walau saat itu ia hanya kasim muda yang mengikuti kepala kasim. Sedangkan untuk raja yang sekarang, selain sebagai kasim, Kasim Hong juga merasa seperti tetua karena ia telah melihat Yejun tumbuh dewasa. Mulai dari ia lahir, masa remajanya yang penuh pergolakan tentang perebutan pewaris takhta, hingga kini Yejun berhasil menjadi seorang raja. Ekspresi lembut di wajah Yang Mulia itu, Kasim Hong bahkan lupa kapan terakhir kali ia melihatnya.
“Namun, ini akan menjadi jalan yang lebih sulit bahkan dari saat perebutan takhta ...” ... karena ini melibatkan perasaan. Kasim Hong hanya dapat berharap, bahwa langit akan memberikan sedikit keringanan jika akhir dari takdir keduanya tidak berada di ujung yang sama.
Saat Kasim Hong sedang bergulat dengan pemikirannya, Bamby sendiri juga sedang merenungi kejadian sebelumnya. Ia berbaring santai di tempat tidurnya sambil menatap langit-langit ruangan. “Apa maksudnya? Istana dalam ... Apa hubungannya istana dalam yang kosong dengan situasi tadi?” Bamby mengerutkan keningnya.
“Tunggu ...” Bamby kembali mengingat tatapan Yejun sebelumnya, interaksi mereka sebelum hari ini dan sapuan lembut jari Yejun di pipinya. “Itu ... Apa maksudnya, Yang Mulia tertarik padaku?” Bamby merasa terkejut saat menerima kesimpulan dari pemikirannya sendiri.
Walaupun Bamby tidak pernah menjalin hubungan, bukan berarti ia tidak mengerti apa-apa. Teman-temannya bilang ia cukup peka dan cerdas secara emosional –walau lebih sering tidak, dan ada banyak buku cerita yang menggambarkan tentang hubungan romansa manusia, jadi bagaimana mungkin Bamby tidak mengerti?!
“ ... atau aku terlalu berlebihan?” gumaman lembut lolos dari bibirnya. Sekarang Bamby jadi meragukan pemikirannya sendiri. Apa ia mengerti atau tidak? Apa ia peka atau tidak?
“Ahhhhhh!!!” Ia menutup wajahnya dengan selimut sebelum melepaskan rasa frustasinya.
Beberapa detik kemudian, wajah mungilnya yang memerah muncul dari balik selimut.
“Ini akan menjadi masalah ...” Pupil merah muda itu berkaca-kaca dan wajahnya menunjukkan ekspresi tidak berdaya.
“Aku sudah tahu dari dulu bahwa aku tidak menyukai wanita, karena itu aku tidak pernah menjalin hubungan. Keluargaku belum tahu, tapi mungkin mereka tidak masalah selama orang yang ku suka bukan orang jahat. Namun, jika itu Yang Mulia ...” Bamby mendesah kesal, tidak bisa membayangkan akan sekacau apa situasinya.
“Walau Yang Mulia terkadang menakutkan, tetapi ia memang menakjubkan ...” Bamby menatap kosong langit-langit kamarnya.
“ ... apa ini? Kenapa aku memikirkan Yang Mulia?!”