Chapter Text
Cheirophilia atau hand fetishism adalah fetish seksual untuk tangan. Ini termasuk juga ketertarikan seksual pada area tertentu seperti jari, telapak tangan atau kuku, atau ketertarikan pada tindakan tertentu yang dilakukan oleh tangan.
Paling tidak, itulah penjelasan yang ditemukan Kwon Soonyoung di Google ketika ia sedang berusaha mencari jati dirinya saat ini.
Fetish tangan? Dia? Punya fetish? Pada tangan? Atau lebih tepatnya, pada JARI?
Soonyoung mengusap wajahnya kasar. Melemparkan ponselnya ke samping bantal, ia lalu memandangi langit-langit kamar.
Tatapan hampa, serupa isi pikirannya yang kosong.
Hanya satu yang tengah melayang-layang di kepalanya saat ini, yaitu sebuah kenyataan bahwa ia memiliki fetish terhadap tangan sahabatnya sendiri, Lee Jihoon.
Semua omong kosong ini bermula dari sana, tatkala ia iseng membuka Instagram kampusnya dan menemukan foto Jihoon di sana. Itu adalah foto saat pensi berapa minggu lalu.
Soonyoung adalah orang yang sangat jarang membuka media sosial seperti Instagram ataupun Twitter. Ia membukanya sesekali, tapi tidak sering. Frekuensi membuka aplikasi Instagramnya sebulan pun dapat dihitung dengan jari. Ia biasanya akan berselancar di Youtube atau Facebook, karena menurutnya dua platform itu lebih mudah dimainkan dan lebih lengkap fiturnya dibanding Twitter dan Instagram. Namun malam itu, karena ia sangat gabut dan Jihoon tak kunjung membalas pesannya, akhirnya ia iseng membuka instagram. Kebetulan postingan paling atas yang muncul dari akun BEM kampusnya. Berdasarkan iseng, telunjuknya pun mengklik akun tersebut dan melihat-lihat koleksi foto yang terpampang di sana.
Ada banyak foto yang diunggah terkait event-event beberapa minggu terakhir hingga yang terbaru, termasuk acara pensi dua minggu lalu. Soonyoung menilik semuanya tanpa ada satu pun yang luput. Sampai akhirnya berhenti menggulir begitu layarnya memampangkan foto Jihoon.
Dia tidak tahu kenapa, tapi ia tak mampu melepaskan pandangannya dari sana.
Atau lebih tepatnya, ke arah tangan Jihoon yang tengah menggenggam mic.

Saat itu belum muncul perasaan aneh di benaknya sehingga ia melanjutkan penjelajahan. Namun butuh waktu lima menit baginya untuk bisa beralih dari foto Jihoon ke foto yang lain.
Pada gambar-gambar selanjutnya, ada banyak sosok Jihoon yang terpotret. Wajar karena Jihoon saat itu juga ikut meramaikan pensi dengan anggota klub band-nya. Dan Soonyoung, sama seperti sebelumnya, selalu salah fokus ke arah lain dari anggota tubuh temannya itu; tangan indahnya.
Kenapa ia baru menyadarinya sekarang ... bahwa Jihoon memiliki tangan yang sangat cantik?
Soonyoung terpaku memandangi. Terpesona.
Ia tahu temannya itu memiliki tangan yang indah karena kawan-kawan perempuan mereka selalu berseru iri tiap kali melihat tangan Jihoon. Namun Soonyoung tak pernah tertarik untuk memerhatikannya lebih dekat. Akan tetapi saat ini, setelah ia perhatikan lamat-lamat, tak dapat disangkal bahwa tangan Jihoon adalah tangan tercantik yang pernah ia lihat selama 20 tahun umurnya.
Jarinya panjang dan lentik, kuku lonjong pink berkilau, kulit seputih susu seperti milik bayi, serta urat yang menonjol membuatnya tak hanya indah namun juga maskulin. Dan jika ia bayangkan tengah menyentuh tangan itu, pasti teksturnya sehalus sutera....
Tangan Jihoon begitu cantik saat menggenggam mic, dengan flush merah jambu di kukunya yang berkilau seperti dilumuri kutek bening-padahal ia sangat tahu Jihoon tidak pernah sekalipun dalam hidupnya menyentuh apa yang namanya penyemir kuku.
Soonyoung bertanya-tanya, apakah akan lebih cantik lagi jika jari-jari indah itu melingkar di sekitar batang kemaluannya?
Segera, pikiran spontan-aneh bin sesatnya itu sontak saja menariknya kembali ke dunia nyata.
Ia terlonjak, duduk seketika dari kasurnya dan melempar jauh ponselnya hingga ke ujung tempat tidur. Matanya membeliak syok. Lantas terngiang-ngiang dalam benak apa yang baru saja lewat di kepalanya barusan.
Apa ... apa-apaan itu? Apa yang barusan ia pikirkan!?
Namun, seketika-tanpa diminta, apalagi dicegah-sebuah bayangan nakal tiba-tiba tergambar di otaknya. Di mana jemari lentik Jihoon sedang melingkar di sekitar kemaluannya yang keras dan mengocoknya perlahan selagi ia mendesahkan nama si pemilik tangan. Kemudian Jihoon di depannya, menyeringai sembari bertanya, "suka ya diginiin sama tangan gue?"
"ENGGAK!"
Soonyoung dengan cepat menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha mengusir semua imajinasi kotor yang terus menerus melesak masuk memenuhi otaknya.
Merasa tak berhasil mengenyahkan semua bayangan gila itu, ia lantas berdiri. Tergesa menuruni tangga menuju kamar mandi. Menggedor-gedor pintunya membabi buta bak sedang dikejar setan. Sampai kakak perempuannya yang berada di dalam memaki-maki karena kegiatannya membasuh diri sambil karaoke terganggu oleh ulah sang adik tak tahu diri.
Soonyoung segera menyiram kepalanya dengan air dingin. Berharap semua bayangan panas yang terus berputar di otaknya segera menguap menjadi asap. Berkali-kali merapalkan mantra agar ia berhenti memikirkan tentang tangan sahabatnya.
Setengah jam berlalu dan ia baru keluar dari kamar mandi dengan wajah lesu seolah sebagian nyawanya telah disedot. Saat ditanya ibunya kenapa, ia hanya menjawab "Mampet,". Ibunya hanya mengangguk sambil menyuruh minum obat pelancar pencernaan, namun mampet yang dimaksud Soonyoung adalah otaknya. Otaknya mampet oleh imajinasi kotor yang tiba-tiba datang seperti tsunami-tak dapat dicegah, menyapu akal sehat, dan... memporandakan segala.
Tak pernah sekalipun Soonyoung membayangkan-atau bahkan memikirkan hal kotor tentang Jihoon. Tapi malam itu, ia melakukan masturbasi sambil memandangi foto Jihoon yang tengah memegangi mic.
Hari-hari Soonyoung menjadi suram sejak fantasi anehnya terhadap tangan Jihoon mulai menguasai otak. Tiap kali ia melihat sahabatnya itu melakukan sesuatu dengan tangannya; seperti menulis, mengetik, menjentikkan jari, bahkan hal paling kecil seperti membuka tutup botol pun membuat Soonyoung terangsang. Ia tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Kenapa ia mendadak menjadi orang mesum begini? Terhadap sahabat karibnya sendiri pula? Kalau Jihoon tahu isi kepalanya akhir-akhir ini, pasti dia akan langsung menjauhi Soonyoung. Tidak ingin berteman dengannya lagi karena Soonyoung memiliki fantasi menjijikkan terhadap tangannya....
Tidak! Soonyoung tak mau itu terjadi!
Maka dari itu, ia putuskan untuk menjaga jarak dari Jihoon.
Tapi rupanya, menjaga jarak ternyata lumayan sulit karena; 1) jadwal kelas mereka sama, 2) Jihoon tak pernah duduk jauh darinya, 3) seorang dosen memasangkan mereka untuk tugas kelompok sampai dua minggu ke depan.
Alhasil, rencana Soonyoung untuk menjauh langsung gagal total, yang terjadi malah ia semakin dekat dengan Jihoon lantaran sering ke rumahnya untuk mengerjakan tugas kelompok. Beruntung kelompoknya tidak hanya diisi oleh mereka berdua saja. Ada Junhui dan juga Wonwoo. Akhirnya, demi menyelamatkan kewarasan otaknya, selama kerja kelompok berlangsung, Soonyoung akan selalu berada di sisi Wonwoo atau Jun, dan tentu saja, menghindari melihat ke arah Jihoon-ke arah tangan lebih tepatnya.
Dan syukurlah, dalam dua minggu itu ia sama sekali tak pernah lagi berpikiran aneh-apalagi kotor terhadap tangan Jihoon. Selain karena menghindari menatap tangan sahabatnya itu, ia juga selalu berusaha mendistrak diri sendiri jika mulai kepikiran atau sedang sendirian di kamarnya. Pokoknya, dua minggu itu bisa ia lewati dengan damai dan tanpa rasa ingin melempar diri ke laut karena semua imajinasi kotornya.
Namun, namanya juga hidup, selalu ada saja yang tak sesuai dengan ekspektasi.
Sebisa mungkin ia menghindari Lee Jihoon dan menjaga jarak darinya di setiap kesempatan, nyatanya malah lelaki itu sendiri yang datang padanya. Membuat mereka berduaan dalam satu ruangan dan duduk dengan lengan saling berhimpitan.
"Gue minjem game dari Wonwoo. Little Nightmare sama Little Nightmare 2. Ini lagi booming banget di Youtube. Para gamers pada mainin. Mumpung lo baru beli PS5 nih, jadi gue numpang main di sini, ya."
Begitulah cakap sahabat meresahkannya itu begitu Soonyoung membukakan pintu untuknya. Jihoon bahkan tidak mengiriminya pesan sama sekali kalau akan berkunjung, kemudian tiba-tiba saja muncul di depan pintu rumahnya sambil menenteng dua CD game yang dipinjamnya dari teman sekelas mereka.
Dan tentu saja, tidak ada alasan bagi Soonyoung untuk mengusir. Apalagi kalau ibunya sudah terlebih dahulu melihat Jihoon dan menyuruhnya masuk dengan raut bahagia seolah Jihoon adalah anak kandungnya yang selama ini hilang.
Alhasil, di sinilah mereka sekarang. Di dalam kamar Soonyoung, berdua saja ditemani oleh bunyi stik PS yang dimainkan Jihoon sejak tadi.
Ayahnya memang baru membelikannya PS5 sebagai hadiah karena Soonyoung berhasil memenangkan juara 1 lomba dance tingkat nasional dan IPK-nya secara ajaib bangkit dari keterpurukan alias dari 2,9 menjadi 3,5.
Lantaran merasa dirinya sangat hebat, ia lantas meminta hadiah pada sang ayah. Sebenarnya ayahnya membelikannya PS5 juga dengan tambahan uang hasil menang lomba Soonyoung-karena sebenarnya mereka berdua diam-diam telah lama menginginkan membeli benda ini namun budget belum mencukupi. Ditambah lagi sulit sekali mendpatkan izin dari Baginda Ratu penguasa rumah a.k.a ibunya. Namun karena prestasi Soonyoung, akhirnya mereka diperbolehkan membeli PS5 asal jangan bermain sampai lupa waktu.
"Lo beneran gak mau main?"
Lamunannya buyar ketika suara Jihoon menembus indera rungu. Ia menggeleng spontan.
"Dibilangin gue gak bisa main game horor," jawabnya sambil sedikit bergeser pelan-pelan dari sebelah Jihoon. Ia akhirnya dapat bernapas lega lagi ketika lengan mereka tak lagi menempel.
"Iya? Padahal gak terlalu horor banget ini-WUAH!"
Teriakan Jihoon membuat Soonyoung terlonjak. Ia lantas memukul lengan sahabatnya itu dengan kesal.
"Tuh, lo aja sampe ngejerit!"
"Itu gegara tangannya tiba-tiba muncul!" Jihoon membela diri sembari menunjuk layar televisi di hadapannya. Ia mendengus kemudian kembali memainkan stiknya, merapalkan kata-kata penuh dendam terhadap monster bertangan panjang yang tiba-tiba muncul dari dalam tembok sembari berusaha kabur.
Sedangkan Soonyoung, bukannya menonton aksi Jihoon di layar kotak itu, ia justru terfokus pada tangannya yang bergerak lincah di stik.
Dua minggu sejak Jihoon berkunjung ke rumahnya, hari ini pemuda itu berkunjung kembali, namun dengan alasan yang berbeda. Bukan untuk bermain game, melainkan menjenguk sahabatnya yang jatuh sakit karena hujan-hujanan.
"Kan udah gue bilang gak usah ikut-ikutan Seokmin sama Mingyu maen ujan. Dah tau sendirinya kena angin dikit langsung meriang, ini pake mandi-mandi segala. Terkapar, kan, lo."
Soonyoung, dengan kompres tempel di jidatnya, mengerucutkan bibir. "Jangan galak-galak napa, Ji, kan gue lagi sakit."
"Galak dari mananya coba? Gue cuma ngasih nasihat biar lo gak ngulangin lagi."
"Iyaa, iyaaa! Bawel ah. Uhuk, uhuk!"
Jihoon menghela napas. Ia lalu bangkit sedikit dari lesehannya di karpet kemudian menyentuh pipi Soonyoung dengan punggung tangan.
"Panas bener badan lo. Udah minum obat?"
Soonyoung mengangguk.
"Ya udah, istirahat, gih. Gue pulang dulu, ya. Entar malem gue ke sini lagi-" Jihoon berhenti berucap saat tangannya yang baru ia tarik dari pipi Soonyoung tiba-tiba ditahan.
"Sejuk, Ji ...," Soonyoung menggenggam tangan lembut Jihoon, mengusapkannya ke pipinya yang memerah panas, sementara matanya memejam nyaman. "Biarin kayak gini bentar, ya, plis?"
Jihoon memandangi wajah Soonyoung lumayan lama, kemudian menghela napas. Menggeser duduknya lebih dekat dengan tempat tidur, ia lalu mengelus pipi gembul itu dengan ibu jari.
"Ya udah."
"...."
"...."
"Ji, nginep sini aja, ya."
"...."
"Ji?"
"Iyaa."
Lewat tengah malam, Soonyoung terbangun dengan keringat di sekujur tubuh. Mendudukkan diri perlahan, lantas menatap ke sekeliling kamar yang gelap.
Badannya sudah agak mendingan, panasnya pun mulai turun. Ia melepaskan kompres tempel yang sudah tidak dingin lagi dari kening dan menaruhnya di meja samping tempat tidur.
"Ji?" panggilnya dalam remang-remang gelap.
Suara embusan lembut dari bawah seakan menyahut panggilannya. Soonyoung bergeser demi melihat ke samping ranjang. Ternyata Jihoon tidur di lantai-dengan beralaskan karpet lembut, sahabatnya itu tertidur lelap dengan bantal dan selimut pikachu miliknya.
Soonyoung tersenyum mendapati Jihoon benar-benar menuruti permintaannya untuk menginap. Dia bisa melihat tas sekolah Jihoon di atas meja belajarnya, artinya lelaki itu tidak pulang ke rumahnya semalam.
Pelan-pelan, Soonyoung meringsut turun dari kasur. Mendekati Jihoon yang tidur terlentang dengan tangan kanan di atas perut.
Soonyoung duduk di sampingnya, memerhatikan wajah tampan yang tertidur damai itu. Embusan halus dari celah bibir tipisnya, kelopak mata kecil yang terpejam, juga hidung mancung yang terkadang membuatnya gemas ingin mencubit.
Soonyoung tanpa sadar menarik napas dalam kekaguman. Banyak hal yang baru-baru ini ia sadari tentang sahabatnya. Bahwa segala hal tentang Lee Jihoon itu sangat indah dan menakjubkan. Parasnya, suaranya, bakatnya, otaknya yang pintar, tingkah lakunya yang kadang kala membuatnya salah tingkah, dan tentu saja ... tangannya yang indah dan cantik.
Soonyoung melirik tangan kanan Jihoon yang tergeletak damai di atas perut. Naik turun mengikuti irama napasnya yang teratur.
Soonyoung mengawasi wajah Jihoon lagi, kemudian menoleh ke arah tangannya, lalu ke wajah sahabatnya itu lagi. Beberapa menit menimbang, ia akhirnya membuat keputusan.
Sekali ini saja.
Ia menjangkau tangan Jihoon. Meraihnya dengan sangat perlahan sambil mengawasi mata sahabatnya yang masih setia terkatup.
Ia tersenyum senang ketika berhasil menggenggam tangan cantik itu. Mengelusnya dengan penuh kagum dan hati yang meledak-ledak, seakan ada kembang api di dalamnya.
Seperti dugaannya, kulit Jihoon sehalus sutera. Bahkan lembut dan lebih empuk dari roti yang baru selesai di panggang. Jari-jari Jihoon lentik dan panjang, oleh karena itu Soonyoung mengaitkan kelima jari mereka. Menautkannya seperti sedang menyatukan dua bagian hati yang terpisah-menyatu, menjadi satu.
Soonyoung menatap Jihoon kembali, yang masih betah berkelana di alam mimpi.
"Ji, jangan jijik sama gue, ya?" bisiknya sepelan mungkin. Bagaikan tiupan angin di luar sana. Sayup-sayup mengusik telinga.
Di tengah kegelapan dan hening malam, Soonyoung menelusuri tangan Jihoon dengan bibirnya. Menciumi kulit putih sahabatnya lambat-lambat. Diam-diam, memuaskan semua fantasi di otaknya selama ini. Tanpa perasaan menyesal.
Di hari lain, Soonyoung tak bisa menahan cemburu melihat Jihoon menggandeng tangan seorang gadis yang merupakan pacar barunya. Mereka berdua jadian belum lama, tapi gadis itu sudah sangat menempel sekali dengan Jihoon.
Tidak, Soonyoung bukannya cemburu melihat dua orang itu selalu bermesraan dan tampak serasi, dia hanya tidak bisa menahan kekesalannya tiap melihat gadis itu menggenggam tangan Jihoon tepat di depan matanya. Atau yang lebih membakar ubun-ubunnya lagi, ketika gadis itu terang-terangan mengecupi jari-jari Jihoon di hadapannya.
Soonyoung tidak menyukai pemandangan itu. Amat sangat tidak suka.
Ia berusaha untuk bersikap biasa saja, tapi akal sehatnya tak mau diajak bekerja sama. Hatinya selalu terbakar dan ia selalu merasa ingin mendorong gadis itu menjauhi Jihoon-nya. Atau kalau bisa, ia ingin memotong tangan gadis itu saja biar tidak bisa lagi menyentuh tangan Jihoon lagi!
Soonyoung tahu obsesinya terhadap tangan Jihoon sudah mulai tidak beres, ditambah lagi emosinya selalu tak stabil tiap melihat gadis itu berada di sekitar sahabatnya itu. Maka, ia putuskan untuk melakukan sesuatu demi menghentikan semua perasaan meresahkan ini.
Hingga seminggu kemudian, ia akhirnya menerima kabar bahwa Jihoon dan gadisnya telah berpisah.
"Gue pikir dia beda, ternyata sama aja kayak cewek-cewek yang lain."
Soonyoung menepuk pundak Jihoon dengan tatapan iba, dengan baik menyembunyikan senyum puas di belakang wajahnya. "Ya, udah, Ji. Mau gimana lagi? Siapa juga yang bisa nebak kalau ternyata dia udah punya pacar sebelumnya dan malah ngejadiin lo selingkuhan? Mana dosen pula. Udahlah, mending lo cari yang lain aja."
Jihoon menggeleng seraya berdecak. "Ogah. Males banget gue nyari lagi. Nanti dapet yang kayak gitu lagi gimana? Biarin gue kayak gini aja."
Soonyoung tersenyum. "Ya udah, kayak gini juga gapapa. Kan masih ada gue."
Jihoon menoleh, melihat Soonyoung yang menaik turunkan alisnya. "Emangnya lo bisa ngegantiin peran cewek gue?"
"Bisa, lah. Gue kan multitalen. Emang peran cewek lo tuh ngapain aja? Sini kasih tau gue biar gue bisa praktekin biar lo gak galau-galau lagi."
"Seks."
Soonyoung nyaris tersedak udara.
"Lo bisa ngasih gue seks gak?"
Mata keduanya bertemu, saling menatap lurus. Soonyoung yang melongo dengan kedua bibir terbuka, dan Jihoon yang hanya diam memandangnya lurus-lurus dan tajam sampai Soonyoung merasa kepalanya bisa berlubang oleh dua kelereng gelap itu.
Plak!
"Aduh!"
"Dasar ngehe lo! Ya kali gue seks sama lo! Lo kan cowok! Makhluk gatau diri lo emang, ya!"
Jihoon mengusap belakang kepalanya yang kena tamparan telak sembari terkekeh.
"Bercanda doang, bego! Ya kali gue beneran minta ngewe sama lo. Biar gue tertarik sama cowok juga selera gue lebih tinggi."
"Bangsat! Maksudnya kalau lo ngewe sama gue berarti selera lo rendah gitu!?"
"Gue gak bilang, ya. Lo sendiri yang bilang."
"Emang pantes lo disebut babi! Dah, ah! Pergi sana lo! Gangguin aja orang lagi nugas juga!" Soonyoung merajuk, kembali berbalik ke hadapan laptopnya.
"Lo gak mau makan apa? Dah lewat jam makan siang nih. Nanti maag lo kumat."
"Udah makan cilok tadi gue. Masih kenyang."
"Cilok mana bisa bikin kenyang. Sejam lagi pasti perut lo dah ngeraung-raung. Udahlah mending ikut gue aja. Gue traktir makan." Jihoon berdiri dan membereskan barang-barangnya.
"Orang baru putus mah harusnya ngegalau, ya. Ini lo malah ngetraktir orang makan."
"Gue udah move on."
"Cepet banget buset!?"
"Jadi mau gak?"
"Iya! Bentar gue beresin laptop gue dulu!"
Soonyoung mematikan laptopnya kemudian membereskan kertas-kertas yang berserakan di hadapan. Memasukkan semuanya dengan tergesa-gesa lantaran Jihoon terus mendesaknya untuk cepat tanpa sama sekali bergerak untuk membantu, lantas membuat Soonyoung kesal dan melemparinya dengan bola-bola kertas sampah.
"Lama lo."
"Iya, ini udah selesai, setan." Soonyoung menutup resleting tasnya dengan bibir mengerucut kesal.
Jihoon yang sejak tadi hanya berdiri sambil bersidekap kemudian menghampiri dan meraih tangannya.
"Ya udah, ayok. Lama banget lo kayak nenek-nenek."
Kalau dalam situasi normal, Soonyoung pasti akan membalas ejekan itu dengan amukan seperti biasa. Namun kali ini, ia tak dapat berkutik lantaran Jihoon tiba-tiba menggandeng tangannya. Menggenggamnya dengan lembut dan membawanya menuju parkiran fakultas. Bisa Soonyoung rasakan tangan Jihoon yang agak berkeringat dan tekstur kulitnya yang sedikit kasar karena akhir-akhir ini temannya itu memang suka sekali mengunjungi gym.
Rasanya sungguh nyaman digenggam seperti ini. Hangat dan agak sedikit merangsang-Soonyoung tidak tahu mengapa. Seperti ada setruman di telapak tangannya, yang kemudian merambat ke setiap saraf di tubuhnya. Dan sensasi itu, tak dapat dipungkiri, sangat menyenangkan.
Soonyoung, dengan pipi merona dan senyum yang berusaha disembunyikan, membalas genggaman Jihoon dengan kantung hati yang tumpah ruah oleh kebahagiaan.
Saat itu, Soonyoung masih belum menyadari apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ia hanya berpikir bahwa dirinya cuma sangat menyukai bentuk tangan Jihoon yang lucu dan indah, makanya dia jadi ingin terus memandangi dan menyentuhnya. Namun karena Jihoon galak dan tak menyukai skinship semacam itu, ia hanya mampu melakukannya diam-diam.
Tidak masalah kan kalau Soonyoung diam-diam suka memiliki pikiran kotor pada sahabatnya sendiri? Toh, Jihoon sama sekali tidak tahu dan ia juga tidak merugikan siapapun selama dapat menyimpan semua pikirannya itu untuk dirinya sendiri. Benar, kan?
Sayangnya, pemikiran naif itu pada akhirnya runtuh juga oleh kenyataan pahit.
Soonyoung sedang tiduran di kasurnya. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas malam. Keadaan di rumahnya sudah sepi karena semua penghuninya (minus dirinya) sudah menjelajah alam mimpi.
Soonyoung tidak bisa terlelap karena tadi sore dia sudah tidur sekali lantaran kelelahan setelah seharian latihan dance. Saat bangun, langit sudah gelap dan ibunya langsung menyuruhnya makan. Ketika itu, jam menunjukkan pukul sembilan malam.
Usai makan, ia lekas mandi karena sejak usai latihan tadi dirinya langsung tidur begitu saja saat merebahkan diri.
Acara bersih-bersihnya sangat kilat, oleh karena itu pukul setengah sepuluh ia sudah duduk di depan play station yang baru dibelikan ayahnya. Memutuskan untuk bermain game sampai dirinya mengantuk. Namun, entah apa yang diinginkan benaknya malam itu, Soonyoung sama sekali tak menikmati sesi bermainnya.
Bosan, dimatikannya benda itu kemudian merangkak naik ke kasur. Meraih ponsel yang sudah penuh sejak tadi sore di-charge, ia membuka aplikasi chat. Ada beberapa pesan masuk dari anggota dance-nya, menanyakan perihal lomba yang akan mereka ikuti sebulan lagi. Soonyoung membalasnya dengan cepat kemudian beralih ke aplikasi media sosial. Menilik Instagram Jihoon yang jarang sekali digunakan. Temannya itu sangat jarang meng-upload foto dirinya sendiri. Kebanyakan gambar-gambar yang memenuhi akun Instagramnya itu tak lain hanya potret gitar atau tulisan-tulisan kaligrafi yang dibuatnya selama bosan di kelas.
Namun ada satu foto yang selalu tak bosan untuk Soonyoung pandangi. Potret lama Jihoon bersama gitar barunya.
Namanya Dory Gibson Go. Atau seringkali dipanggil Dory oleh Jihoon. Itu adalah nama gitar kesayangan sahabatnya. Gitar itu Jihoon dapatkan sebagai hadiah kelulusan SMA dari mendiang ayahnya. Ia sangat menyayangi gitar itu, setiap malam atau di waktu senggang, dia selalu memetiknya dan bernyanyi dengan harmoni yang menyejukkan jiwa-mungkin karena itu adalah kenang-kenangan terakhir dari ayahnya. Sosok yang selalu diidolakan dan menginspirasi Jihoon untuk menuntut ilmu di bidang musik.
Soonyoung sangat menyukai setiap kali Jihoon bermain dengan gitarnya. Bukan hanya karena ia senang jari-jari indah itu memetik lincah setiap senar, tapi juga bagaimana sosok Jihoon menjadi begitu mempesona dengan segala karismanya. Dengan gitar di pangkuan, ia akan menyanyikan lagu-lagu lawas kegemaran ayahnya dengan suara yang manis, namun juga menghanyutkan di saat bersamaan. Wajah lugunya ketika bernyayi, senyum lebar yang manis, serta mata yang terpejam saking ia menghayati setiap untaian liriknya. Lee Jihoon selalu bisa menyihir siapapun untuk terhanyut dalam dunia musiknya.
Tak terkecuali Soonyoung.
Jihoon dan gitar adalah hal yang paling dia sukai-tapi, entahlah, sepertinya sekarang ia baru menemukan hal baru yang ia sukai lagi dari sahabatnya itu. Hanya saja, ia masih bingung menganggap ini sebagai sesuatu yang benar atau salah. Salahkah ia jika begitu menyukai tangan Jihoon? Benarkah kelakuannya yang akhir-akhir ini sering kali terangsang dan terpikirkan hal kotor tiap kali memandang atau menyentuh jari-jari yang cantik itu?
Foto Jihoon yang tengah memegang gitar di hadapannya seakan tak memedulikan pertanyaan yang membuntal di otaknya. Yang ia dapatkan justru rangsangan di organ selatannya-yang berdenyut tiba-tiba begitu bayangan yang tak pernah diminta melesak begitu saja ke dalam pikiran; di mana ingatan pada malam itu kembali berputar di kepalanya, saat Jihoon yang tertidur pulas dan Soonyoung yang menciumi tangannya sembari bermasturbasi tepat di samping sahabatnya itu.
Itu salah! Kenapa dia melakukan hal menjijikkan seperti itu? Kenapa dia berubah menjadi orang mesum begini? Ia harus berhenti!
Namun alarm peringatan dalam kepalanya bagaikan jam weker yang selalu ia matikan tiap pagi agar bisa tidur kembali-sama sekali diabaikan lantaran sukma telah lebih dulu dikuasai nafsu.
Lalu, bagaikan didukung oleh raja setan, tiba-tiba Jihoon mengiriminya pesan.
Jihoon
Bsk siang temenin gw ke service laptop
Kepala Soonyoung jadi agak pening. Hasratnya tengah berkumpul menjelang tengah malam, dan Jihoon sedang terjaga di seberang sana dengan ponsel yang menampilkan ruang chat mereka berdua.
You
knp lg tuh laptop
Jihoon
Mati total
Pdhl kmrn msh bs idup
Tumben lo jam segini msh bangun?
Biasanya udh bobo kek anak bayi
You
gue baru bangun 🤪
td sore ketiduran abis latihan
lg ngapain lo?
Jihoon
Ngapain lo nanya gw lg apa
You
nanya doang anjir
gue lg gabut gabisa tidur nih 😔
Jihoon
Lg ngerjain tugas pake laptop mak gw
Bsk deadline
You
ohh
Jihoon
Lo klo gabut mending maen ps sana
You
lg maleeessss
eh ji
Jihoon
Paan
You
kirimin gue foto telapak tangan lo dong
Jihoon
Hah? Buat apa?
You
gue abis nemu postingan di fb cara ngeramal masa depan seseorang dari garis telapak tangan
makanya siniin telapak tangan lo!!
biar gue ramal🤗
Jihoon
Jgn suka percaya kek bgituan
Sesat
You
ih udah sih kirimin ajaa😡
nanti hasilnya gue kasih tauu
Dan, tara! Jihoon benar-benar mengirimkan foto tangannya.
Soonyoung langsung mengklik foto itu, yang mana di sana terpotret telapak tangan putih bersih Jihoon yang terbuka.
Tuhan... mengapa Engkau memahat tangan Jihoon dengan sebegini indahnya? Batin Soonyoung menangis.
Ia tak pernah bosan memuji betapa sempurnanya jari jemari itu. Panjang, lentik, dengan semburat merah muda di setiap ujung jari.
Dan bagian paling ia suka: kuku Jihoon yang mengkilap, berkilau merah muda cantik. Tangannya yang terlihat kecil, namun jika kau menggenggamnya langsung, telapak itu bisa membungkus telapak tanganmu dengan hangat bagai selimut. Kulitnya lembut namun sedikit kasar, membuat Soonyoung sering kali menghayalkan bagaimana sensasi jika telapak kasar itu menggosok miliknya yang menegang. Atau bagaimana jari-jari panjang Jihoon bergerak di dalam dirinya, mengorek-ngorek lubang kenikmatannya demi menemukan titik kenikmatan yang tersembunyi. Lalu ketika dia menemukannya, lantas jarinya akan bergerak cepat maju mundur menghajar pintu surganya, membuat Soonyoung benar-benar mencapai nirwana.
Ahh, andaikan itu benar-benar terjadi....
Soonyoung masih mengingat bagaimana sensasi ketika ia menyentuh dan menciumi tangan Jihoon malam itu. Perasaan itu semakin meningkatkan libidonya, lantas membuat celananya semakin menyempit.
Masih memandangi telapak indah Jihoon di layarnya, Soonyoung menurunkan celana pendeknya. Melempar kain lembut itu ke samping tilam kemudian melebarkan kedua kaki. Melirik ke arah organ panjangnya yang kini sudah mengeras, terbaring menantang di atas perut, siap untuk dielus dan dimanja demi menjemput nikmat yang sudah tak tertahan.
"Jihoon ...." Soonyoung meraih miliknya, menggosoknya dengan pelan dan lembut. Matanya memejam, membayangkan bahwa tangan yang tengah memanja penisnya sekarang ini adalah tangan sahabatnya.
"Hngh ... Ji ...." Gerakannya semakin cepat, seiring dengan fantasi yang mulai berkeliaran di dalam visinya yang tertutup.
"Enak diginiin?"
Menggigit bibir bawahnya, Soonyoung menggeliat. "Ehm ... enak ... lebih cepet, Ji ...."
"Kayak gini?"
"Ahh! Iya ... iya, kayak gitu ... Ji ... ah, sumpah enak banget, Ji, tangan lo ...."
Ia terus meracau. Bibir semi tebalnya tak henti digigit demi meredam desahan. Bukan, bukan perkara kocokan tangannya yang begitu nikmat, tapi bayangan panas yang terus berputar di otaknya lah yang membuat sekujur tubuhnya menjerit senang.
Jihoon ada di atasnya, dengan rambut hitam berantakan dan senyum kecil seksinya di bibir, sedang membungkus milik Soonyoung dengan tangan cantiknya. Jempolnya yang panjang menutup lubang kencingnya hingga cairan putihnya tersumbat. Soonyoung merengek, memohon agar ia dibiarkan keluar. Namun Jihoon sama sekali tak mendengarkan, malah semakin menstimulasi dirinya dengan gerakan tangan yang sangat cepat, membuat Soonyoung mengejang hingga punggungnya melengkung ke atas.
"Ji-Jihoon! Ah, plis! Gue mau...!"
Dan akhirnya Jihoon dalam bayangannya pun menuruti keinginannya. Jempol yang menutupi jalur keluarnya pun menyingkir. Seketika itu pula cairannya menembak keluar, bersamaan desir nikmat tiada ampun yang dihantarkan ke sekujur tubuh hingga otak. Punggung Soonyoung masih melengkung sementara bibirnya terbelah tanpa suara.
Beberapa saat setelahnya, punggungnya kembali menyentuh kasur. Kakinya lemas seperti jelly, namun ia masih mengocok miliknya hingga organ keras itu klimaks sekali lagi. Cairan sperma kembali menembak keluar, namun tak sebanyak sebelumnya. Soonyoung pun menghela napas akhirnya.
Dadanya naik turun, agak terengah. Matanya memandang kosong langit-langit kamar. Sementara kedua kakinya masih terbuka lebar, mempertontonkan kekacauan di pangkal pahanya yang basah dan lengket-entah bagaimana kabar seprai kasurnya yang baru diganti pagi ini. Ia harus buru-buru mengelapnya sebelum mengering....
Namun, tubuhnya tak mampu bergerak. Antara terlalu lemas atau karena rasa bersalah yang kini memenuhi rongga dadanya.
Selalu saja ... Selalu saja berakhir seperti ini.
Mulanya dia akan menjebak diri dengan memandangi foto tangan Jihoon, kemudian otaknya mulai berfantasi, lalu terangsang, dan berakhir dengan dirinya yang bermasturbasi sambil membayangkan tangan Jihoon yang melingkar di sekitar penisnya. Dan ketika ia sudah mencapai pelepasannya, rasa menyesal dan jijik pada diri sendiri langsung menghampiri.
Siklus itu telah terjadi berulang kali. Namun, tetap saja, Soonyoung terus mengulangi. Padahal sebelumnya ia sudah berjanji (entah sudah berapa kali juga) bahwa akan berhenti melakukan semua ini. Namun nyatanya?
Kenapa ia jadi begini? Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Kenapa... kenapa ia memiliki fantasi seliar ini pada tangan sahabatnya sendiri? Apakah ini masih sehat? Apa ia masih normal?
Untalan bola benang kusut di dalam kepalanya terusik ketika merasakan getaran pada ponsel yang kini tergeletak di samping bantal. Soonyoung segera meraihnya kemudian duduk. Menggapai tisu di atas nakas kemudian mulai mengelap bekas-bekas kekacauannya di seprai dan paha. Ketika semua sudah kembali beres seperti sedia kala (meskipun meninggalkan bekas basah), ia pun kembali berbaring dan membuka pesan yang baru masuk dari Jihoon.
Jihoon
Oi
Lama
Udah belom ngeramalnya?
Soonyoung meringis. Padahal itu cuma alasan bodohnya saja demi mendapatkan foto tangan Jihoon.
Ia pun langsung mengetikkan balasan.
You
aduh gimana ya ji
setelah gue cobain, keknya gue gapaham deh ini gmn cara ngeramalnya
hehehehe.....
sorry ya ji gue kagak jd deh ngeramal masa depan lo wkwkwk
Jihoon
Yeee goblok
Balasan Jihoon datang secepat angin, tanpa Soonyoung harapkan sahabatnya itu sampai melampirkan foto tangannya yang sedang mengacungkan jari tengah-yang membuat kepala Soonyoung seketika pusing karena keinginan tiba-tiba untuk mengemut jari itu.
Ia tak membalas pesan itu lagi dan malah beralih ke Google.
Tidak boleh begini terus. Jelas-jelas kelakuannya akhir-akhir ini sangat sangat aneh. Ia harus mencari tahu apa yang tengah terjadi sebenarnya. Kenapa ia begitu terobsesi terhadap tangan Jihoon.
Setelah berselancar selama sepuluh menitan (ternyata tidak memerlukan waktu lama), akhirnya ia temukan jawaban dari segala keanehannya akhir-akhir ini.
Cheirophilia.
Atau fetish tangan, adalah fetish seksual untuk tangan. Ini termasuk juga ketertarikan seksual pada area tertentu seperti jari, telapak tangan atau kuku, atau ketertarikan pada tindakan tertentu yang dilakukan oleh tangan.
Paling tidak, itulah sepenggal penjelasan yang mati-matian berusaha Soonyoung cerna maksudnya sejak belasan menit yang lalu.
Fetish tangan? Dia? Punya fetish? Pada tangan? Atau lebih tepatnya, pada JARI?
Tidak mungkin! Ini tidak benar, kan? Mana mungkin dia punya fetish seperti itu!
Tapi semua ciri-ciri yang terpapar di sini sama persis dengan yang ia alami ....
Tapi Soonyoung hanya menyukai tangan Jihoon saja... kalau tangan orang lain dia malah sekali tidak tertarik. Lantas, apakah ini benar-benar fetish?
Dia? Punya fetish? Dan bisa-bisanya ia baru sadar di saat semua yang ia lakukan selama ini sudah sangat jelas...?
Soonyoung mengusap wajahnya kasar. Melempar ponselnya ke samping bantal, ia lalu memandangi langit-langit kamar.
Tatapan hampa. Serupa isi pikirannya yang kosong.
Hanya satu yang tengah melayang-layang di kepalanya saat ini.
Sebuah kenyataan bahwa ia memiliki fetish terhadap tangan sahabatnya sendiri, Lee Jihoon.
Chapter Text
Tiga hari berlalu sejak hari itu.
Dan sudah tiga hari juga Soonyoung menjauhi Jihoon.
Kenyataan bahwa ia memiliki pikiran tidak sehat terhadap sahabatnya sendiri membuat dirinya dirundung rasa bersalah dan jijik. Namun tetap saja, ia tak bisa mengontrol matanya untuk memerhatikan Jihoon dari jauh—apalagi sumber dari perasaan menjijikkan yang mengendap dalam dirinya ini selalu mengundang untuk diperhatikan.
Soonyoung tidak bisa mematikan hasratnya untuk memerhatikan tangan sahabatnya.
Ia ingin melihatnya dari dekat. Ingin menyentuhnya. Menciuminya. Mengendusnya. Menjilatnya. Astaga, Soonyoung ingin Jihoon membelainya dengan tangan indahnya kemudian menarikan jari-jari cantiknya di setiap inci tubuhnya!
Tapi sekali lagi, ia hanya akan dihantam perasaan bersalah. Otaknya bahkan nyaris gila. Ia harus berhenti memikirkan semua itu kalau masih ingin mempertahankan persahabatan mereka.
Benar. Apa yang akan terjadi kalau Jihoon sampai mengetahui semua fantasinya ini? Akankah sahabatnya itu jijik padanya? Kemudian tak ingin berteman dengannya lagi? Atau yang lebih buruk, Jihoon jadi membencinya?
Tidak mau! Soonyoung tidak ingin dibenci Jihoon. Itu adalah hal paling terakhir yang ia inginkan di dunia ....
Lalu Soonyoung harus bagaimana?
Ia bisa saja menyimpan semua fantasinya rapat-rapat dan bersikap seolah anak kecil yang polos, tapi kalau begitu ia hanya akan menjadi teman yang lebih menjijikkan bagi Jihoon, kan? Berteman baik layaknya sepasang saudara, namun diam-diam di belakang dia berfantasi kotor dan bahkan bermasturbasi sambil membayangkan temannya sendiri? Bagi Soonyoung sendiri saja itu sudah sangat menjijikkan, apalagi bagi Jihoon.
Maka kesimpulannya, ia harus menghilangkan apa yang dinamakan fetish ini dari dirinya.
Soonyoung tidak tahu bagaimana caranya. Tapi pikirnya, ia harus menghindari segala hal yang bisa membuatnya berhasrat pada Jihoon. Menghapus aplikasi Instagramnya, mem-format memori ponsel, dan tentu saja, menjaga jarak dengan objek fantasi seksualnya.
Tiga hari sudah terlewat dengan Soonyoung yang mati-matian menekan semua keinginannya. Rasanya begitu sulit karena selama ini ia selalu menempel pada Jihoon—ia baru sadar tak pernah sehari pun dirinya jauh dari sahabatnya itu. Paling tidak, dalam satu hari itu mereka pasti bertemu. Atau kalau tidak bertemu, ya pasti akan berkirim pesan sampai salah satunya terlelap lebih dulu—entah sejak kapan kebiasaan ini menjadi sebuah rutinitas wajib, keduanya bahkan sama sekali tak sadar.
Rasanya gelisah, tapi ia harus menahannya sampai bisa kembali dengan pikiran normal.
Jihoon sendiri awalnya biasa saja dengan sikap Soonyoung yang terlihat menghindar. Ia pikir itu karena Soonyoung sedang sibuk-sibuknya sekarang karena sedang musim UTS ditambah lagi temannya itu juga harus latihan setiap hari untuk lomba yang akan diikutinya sebulan lagi.
Jihoon bahkan tidak masalah pesan spam-nya tiap malam tidak pernah dibalas—bahkan dibaca pun tidak. Dipikirnya lagi, mungkin Soonyoung ketiduran karena kelelahan. Namun anehnya, semua pesan-pesannya itu seperti memang sengaja tidak dibuka. Ia seringkali melihat Soonyoung bermain ponsel di kelas, dan ketika ia mengirimi ajakan makan siang bersama, temannya itu bahkan sama sekali tak membacanya. Jihoon tidak mengerti kenapa Soonyoung bersikap seperti itu padanya. Dan mengesalkannya lagi, sahabatnya itu selalu pergi tiap kali Jihoon ingin mendatangi!
Jihoon masih berpikir positif kalau Soonyoung tidak bermaksud seperti itu. Mungkin karena dia sibuk dan Jihoon selalu salah timing tiap ingin menghampiri.
Namun, pikiran positifnya itu tentu tak dapat dipertahankan lebih lama.
Seminggu berlalu, dan Soonyoung masih bersikap sama. Yang membuat Jihoon tak habis pikir, temannya itu sampai menepis kasar tangannya ketika Jihoon datang dan menggandengnya. Ditambah pelototan murka dan raut wajah marah.
“Lo tuh apa-apaan, sih!? Jangan pegang-pegang gue seenaknya dong!”
Seruan kesal itu terus terngiang bahkan sampai ke alam mimpi. Jihoon tak bisa tidur memikirkannya. Memikirkan apa kesalahannya. Apa yang sudah ia perbuat sampai Soonyoung sekesal itu padanya. Padahal mereka sudah teramat sering bergandengan tangan, tapi kenapa sahabatnya itu tiba-tiba berkata seperti itu? Apalagi raut wajahnya yang marah. Apa salahnya?
Tak ingin semua pertanyaan itu membuntal terlalu lama di kepala, maka keesokan hari seusai kelas, ditariknya paksa Soonyoung ikut dengannya.
Hatinya sakit, tapi juga panas, saat Soonyoung meronta-ronta minta dilepaskan, membuat berpasang-pasang mata melirik ke arah mereka di sepanjang jalan.
Jihoon mendorong Soonyoung memasuki toilet dosen di lantai tiga kemudian mengunci pintunya dari dalam.
Kini mereka tinggal berdua saja di sana. Di ruangan yang sempit, basah, dan beraroma karbol. Jihoon memandang Soonyoung dingin, sedangkan sosok itu sibuk merintih sambil mengusap pergelangan tangannya yang memerah.
“Lo apa-apaan sih, Ji!?”
“Lo tuh yang apa-apaan! Masalah lo sama gue tuh apa? Kalau gue punya salah sama lo, gue minta maaf. Tapi gak gini caranya, Soonyoung!” ia mengeluarkan api yang selama seminggu ini membakar di benaknya. Dipandanginya sosok si sahabat yang kini terdiam, menunduk ke lantai.
Bahu Jihoon sedikit melorot. “Gue ada salah apa sama lo, Soonyoung?” Nadanya melembut, ia pandangi sahabatnya itu dengan sedih. “Kenapa lo ngejauhin gue? Perasaan seminggu lalu kita baik-baik aja. Tapi kenapa sekarang lo kayak benci banget sama gue?”
Soonyoung semakin tertunduk. Bibirnya terkatup rapat, seakan menolak untuk memberikan jawaban dari semua pertanyaan Jihoon. Membuat pemuda yang lebih pendek itu nyaris naik pitam. Maka dihampirinya sahabat karibnya itu, mencengkeram kedua pipinya dengan satu tangan.
“Jawab! Gue nih lagi ngomong sama lo!”
Masih, dua belah bibir semi tebal itu masih terkatup rapat. Keduanya saling menatap dengan sorot tajam—sama-sama menusuk, sama-sama penuh kilau amarah dan frustrasi. Hingga akhirnya Jihoon benar-benar habis kesabaran.
“Sumpah lo tuh sebenernya kenapa, sih!?”
“Gue tuh punya fetish ke lo!!!”
Layangan tinju Jihoon berhenti di udara. Matanya membola. Tak terkecuali Soonyoung yang sama terkejutnya—yang lantas langsung membekap mulutnya sendiri dengan kaget.
“Lo... lo apa?” Kepala Jihoon tiba-tiba pening. Entah karena amarah yang telah naik ke ubun-ubun atau karena ucapan Soonyoung yang belum sepenuhnya bisa dicerna.
Soonyoung masih terdiam dengan mulut tersegel tangan. Atmosfir tegang bercampur canggung mengitari mereka, bahkan degup jantung pun terdengar lebih jelas dari pada suara napas masing-masing.
Sampai akhirnya Jihoon melihar bulir-bulir bening mengalir dari mata Soonyoung.
“Soon—“
“Udah? Puas, kan, lo?”
Nada sinis berbalut tangis itu seketika menyayat relung Jihoon.
“Soon, gue gak mak—“
“Sekarang lo jijik, kan, sama gue? Setelah lo tau kalau gue punya fetish ke lo? Iya, kan?”
Jihoon melangkah maju, ingin menyentuh sahabatnya itu namun Soonyoung segera menepis.
“Soonyoung, gue gak jijik—“
“Alah, udahlah, Ji! Gak usah sok ngejaga perasaan gue! Kalau lo jijik sama gue tinggal bilang aja!” Suaranya meninggi, matanya yang merah dan berkaca menusuk tajam ke dalam kelereng gelap lawan bicara. Rahangnya mengeras, namun, tak dapat dipungkiri ekspresi kecewa tercetak jelas di wajahnya. Soonyoung mengepalkan tangan, kemudian berujar dengan suara pelan. “Pertemanan kita cukup sampai di sini. Makasih buat semuanya, Ji.”
Usai mengatakan itu, Soonyoung segera angkat kaki. Menabrak bahu Jihoon dengan sengaja hingga pemuda yang lebih kecil itu terhuyung.
Pintu yang ditutup keras seakan menjadi ketukan palu putusnya benang hubungan mereka.
Hari-hari selanjutnya, mereka sudah tidak pernah lagi berkomunikasi apalagi berinteraksi. Jihoon bahkan sudah tidak pernah lagi mengirimi Soonyoung chat sama sekali. Di kampus, keduanya sudah seperti orang asing.
Teman-teman mereka berpikir Jihoon dan Soonyoung pasti sedang marahan seperti biasa, karena itu mereka hanya mendiamkannya saja. Ketika Jihoon ditanya pun, jawabannya hanya “Biasalah.”, yang membuat semuanya langsung mengerti kalau penyebab pertengkaran ini adalah Soonyoung yang lagi-lagi merajuk. Biasanya selalu begitu, karena kalau masalahnya datang dari Jihoon, mereka berdua tak akan marahan selama ini. Well, tidak sepenuhnya salah, sih. Soonyoung juga ketika ditanyakan malah tidak mau menjawab dan hanya menunjukkan ekspresi kecut.
Sampai suatu siang, Soonyoung tidak sengaja melihat Jihoon bersama mantannya. Mendapati mantan sahabatnya itu mengelus-elus lembut rambut si gadis manja yang tersipu malu. Hati Soonyoung seketika terbakar, tapi nyerinya juga bukan main. Ia langsung angkat kaki dari situ dengan mata yang berembun.
Ternyata cuma gue doang di sini yang sedih banget kehilangan lo!
Di kelas, ia tak dapat menahan kesalnya. Lantas melampiaskan semuanya dengan mencoreti isi binder sampai tinta penanya habis. Begitu sampai di rumah, ia langsung melemparkan tubuh ke ranjang kemudian menangis sambil menyalahkan dirinya sendiri.
Harusnya dia tidak bilang ....
Harusnya tidak jadi begini ....
Pertemanan mereka hancur seketika karena fetish menjijikkannya ....
Ia sudah kehilangan Jihoon .... tidak akan bisa memilikinya lagi ....
Air mata mengalir semakin deras sampai ia sesegukan. Matanya yang sudah berkantung karena kurang tidur, semakin jelas terlihat. Ia lelah terus menangis. Menangisi kebodohannya setiap hari.
Drrrttt ... Drrtt ....
Bahkan ponselnya yang sejak tadi terus bergetar pun diabaikan. Seolah sudah tidak peduli lagi dengan sekitarnya. Bahkan kalau ada tsunami menerjang rumahnya saat ini pun Soonyoung mungkin akan dengan pasrah memilih tenggelam saja.
Ia tidak mengerti kenapa rasanya sesakit ini. Seolah-olah, ia baru saja kehilangan setengah dari jiwanya.
Menggelikan. Lagi-lagi ia berpikir menjijikkan soal Jihoon.
Drrrttt ... Drrrttt ... Drrrttt ....
Sudah seperti vibrator, getaran yang tak kunjung berhenti itu membuat Soonyoung akhirnya kesal juga. Benar-benar mengusik acara menangisnya saja!
Diambilnya benda pipih itu dari saku jaket denimnya, siap-siap memarahi siapapun yang terus mengganggunya sejak tadi. Namun matanya seketika membulat begitu mendapati nama Jihoon di sana.
Entah karena kaget atau panik, ia refleks menekan ikon merah. Dan panggilan itu pun seketika terputus.
Namun, belum juga sempat berpikir, sebuah pesan tiba-tiba muncul di layar.
Jihoon
Ayo ketemu
Soonyoung diam menatap pesan itu. Tak percaya Jihoon baru saja mengiriminya pesan.
Seolah dapat membaca pikirannya, pesan selanjutnya datang lagi dari Jihoon.
Jihoon
Gue tau lo baca
Bales cepet
Jgn begong doang
Kenapa dia bisa tau!?
Akhirnya Soonyoung mendudukkan diri dan menatap ponselnya dengan gamang. Sampai akhirnya jemarinya mulai mengetikkan balasan.
You
gak mau
Bukan bermaksud jual mahal, tapi Soonyoung masih belum siap. Memandang mata Jihoon saja dia tak mampu, apalagi kalau harus bertemu?
Balasan datang terlalu cepat. Soonyoung membukanya dan segera memelototkan mata.
Jihoon
Gw udh di dpn kamar lo
Bunda lo ngizinin gw masuk
Tok, tok, tok!
Kepalanya mendongak begitu ketukan muncul di pintu kamarnya. Lalu benda pipih dalam genggaman kembali bergetar.
Jihoon
Buka.
Sekarang.
Ada titik di ujung katanya. Menandakan perintah itu tidak boleh—dilarang—untuk ditolak lagi.
Akhirnya dengan sangat terpaksa, Soonyoung bangkit dan berjalan gugup ke pintu. Itu tidak dikunci, harusnya Jihoon tinggal masuk saja kalau dia benar-benar memaksa ingin bertemu langsung dengan Soonyoung. Tapi, lelaki itu masih meminta izinnya dulu—meski dengan segala kalimat penekanannya.
Begitu pintu terbuka, wajah dingin Jihoon segera terpampang nyata di hadapannya. Soonyoung tercekat, tubuhnya seolah membeku saat itu juga.
Jihoon, masih dengan tas ransel kuliahnya, bersidekap. Ekspresi datarnya mengisyaratkan bahwa ia datang dengan membawa banyak hal untuk dibicarakan. Dan Soonyoung, mau tidak mau harus siap menjawab semua.
Tanpa bicara apapun, ia mempersilakan lelaki yang lebih pendek itu masuk. Jihoon mendudukkan dirinya di karpet berbulu lembut seperti biasa, sedangkan Soonyoung duduk dengan tegang di tepi tempat tidur.
Hening kemudian melingkupi mereka. Tak ada satu pun yang berbicara. Jihoon justru memainkan ponselnya sejak tadi, mengabaikan keberadaan Soonyoung yang sudah hampir gila karena tension canggung di sekitar mereka.
“Mau ngomong apa, Ji?” Akhirnya dia bertanya. Suaranya kecil, namun jelas ketus—ia tak dapat mengontrol emosinya yang tengah bercampur aduk sekarang.
Jihoon menarik napas sebelum menoleh ke arah Soonyoung. Sorotnya masih sama dingin seperti tadi, membuat Soonyoung semakin dirundung tegang sampai jari-jari tangannya mendingin.
Namun yang pertama kali keluar dari bibir Jihoon justru, “Gue gak ditawarin minum dulu, nih?”
Kalau di keadaan mereka yang biasa, sudah pasti wajah orang di hadapannya itu telah Soonyoung lempari dengan guling. Namun di keadaan yang masih canggung seperti ini, ia hanya mampu mendengus.
“Emang lo bakal lama di sini?” ketus sekali nadanya.
“Gue mau main PS.”
Soonyoung ingin marah mendengarnya, namun sebelum sempat bibirnya mengeluarkan kata, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Sang ibunda tercinta muncul dari balik pintu kayu putih sambil membawa nampan minuman dan cemilan.
“Nak Jihoon sampe malem kah di sini?”
Jihoon terseyum manis, membuat Soonyoung memutar bola mata. Orang ini memang sangat tahu bagaimana cara menjerat wanita dalam pesonanya, tak peduli yang tua atau muda.
“Jihoon nginep sini, Tante. Boleh, kan?”
“Wah, iya? Kebetulan banget itu tante masak banyak. Ayahnya Soonyoung lembur hari ini, jadi makan malemnya di luar. Terus mbaknya Soonyoung juga lagi keluar kota. Jihoon suka gak tempe bacem?”
“Wah, kesukaan Jihoon banget itu, Tan!”
Ibunda Soonyoung tersenyum cerah. Pipinya yang berisi seperti mochi mengembang lucu. Usai menaruh semua makanan di hadapan Jihoon, wanita paruh baya itu segera pamit. Namun sebelum benar-benar menghilang di balik pintu, ia sempatkan mengedipkan sebelah mata.
“Cepet baikan, ya, kalian berdua. Biar Soonyoung gak cengeng lagi.”
Soonyoung yang tengah bersidekap lantas membeliak. “Ih, bunda! Kapan aku cengeng!?”
Namun bundanya telah lebih dulu menutup pintu. Sayup-sayup terdengar suara kekehan tawa seiring dengan langkah kaki yang menjauh.
Soonyoung langsung memandang Jihoon kesal. “Mau lo tuh apa, sih!?”
“Gamau apa-apa. Masa gue gak boleh ke sini? Biasanya juga tiap hari juga boleh-boleh aja,” Jihoon tak acuh memakan cemilan yang disediakan dengan tenang.
Amarah Soonyoung yang sejak tadi terus naik, akhirnya meledak juga. “Lo bukannya jijik sama gue? Karena gue punya fetish ke lo. Oh, atau jangan-jangan lo datang ke sini buat ngejek gue? Atau malah mau mutusin pertemanan kita secara resmi!? Ya udah, silakan aja kalau gitu!”
“Soon.”
Soonyoung terengah usai mengeluarkan semua hardikan itu. Kepalanya mendidih, rasanya seperti ada asap yang keluar dari sana. Dipandanginya Jihoon yang juga tengah menatapnya. Lagi-lagi, keheningan membalut mereka berdua. Kali ini Soonyoung sama sekali tak berniat memecah kebisuan. Sampai akhirnya Jihoon berpindah duduk dari karpet ke sampingnya. Diangkatnya wajah Soonyoung yang tertunduk, kemudian dengan halus mengusap kedua matanya dengan ibu jari.
“Lo nangis lagi.”
Mendengar itu, isakan yang sejak tadi ditahan akhirnya keluar juga. Soonyoung sama sekali tak menepis dua tangan Jihoon yang melingkupi wajahnya. Air mata terus mengalir dan menganak sungai, Jihoon dengan tekun mengusapnya tanpa bicara.
“Jangan nangis,” ia berbisik lembut, yang justru membuat Soonyoung semakin ingin terisak lebih keras.
“Gue tuh nangis karena malu, bego! Karena gue punya fetish, pertemanan kita jadi ancur kayak gini ...,” suaranya pilu. Hatinya benar-benar berat oleh rasa bersalah dan penyesalan. Ia menangis layaknya anak kecil.
Jihoon mengusap air mata yang tak kunjung berhenti itu dengan punggung tangan, masih tetap tenang sekalipun sekarang Soonyoung sudah tersedu-sedu.
“Padahal gue gak pernah bilang gamau temenan sama lo. Lo nyimpulin semuanya sendiri.”
“Tapi ... gue ... punya fetish ....”
“Terus kenapa? Lo masih mikir gue jijik sama lo? Soon, kalau gue jijik sama lo, gak mungkin gue bisa ada di sini. Duduk di samping lo, ngelap air mata lo kek gini.”
Soonyoung tetap terisak mendengarnya, tak tahu harus menjawab apa.
“Lo punya fetish juga bukan kemauan lo, kan? Lo gak ngelakuin kesalahan apapun. Lo juga gak ngerugiin siapapun. Gue gak masalah lo punya fetish ke gue. Soonyoung dengan fetish masih tetep temen gue.”
Air mata Soonyoung kembali deras mendengarnya. Namun tak semenyedihkan tadi. Kali ini ia mengusapnya sendiri dengan kedua tangan, sambil berkali-kali mengucap terima kasih. Dan Jihoon, mengelus kepalanya dengan lembut. Menenangkan sahabatnya yang sudah pasti telah overthingking selama berapa hari ini, hingga kantung mata di bawah matanya seakan dapat bercerita tentang semua keresahan yang selama ini mengganggu tidurnya.
“Jadi ... kita masih temenan?” tanya Soonyoung begitu tangisannya mereda, kini tengah menggenggam erat tisu di tangannya.
Jihoon mengangguk, tersenyum kecil. “Masih.”
“Lo gak jijik sama sekali sama gue?”
Menggeleng, “Gue jauh lebih jijik pas lo makan mie goreng pake nutela sama mayonaise.”
Soonyoung langsung memukul bahu Jihoon. “IH! Itu, kan, dare! Gue juga jijik makan itu!”
“Tapi abis semangkok.”
“Ya kan dare-nya disuruh abisin!”
“Sampai bersih gitu mangkoknya berarti lo doyan.”
“Enggak, ih! Jihoon lo kenapa sih selalu nyebelin?!” Soonyoung kembali memukuli sahabatnya itu, kali ini menggunakan guling andalannya. Sementara Jihoon hanya tertawa-tawa sambil terus menjawab semua sangkalan Soonyoung. Suasana tegang dan pilu barusan seketika terangkat. Soonyoung kembali tersenyum dan tertawa lagi.
Jihoon kemudian meraih pipinya, membuat gerakan Soonyoung berhenti dan terpaku. Diusapnya sisa air mata di pelupuk mata sipit sahabatnya itu.
“Jangan jauhin gue kayak gitu lagi, ya?”
Hati Soonyoung menghangat. Ia raih tangan Jihoon di pipinya.
“Lo beneran gak masalah ... gue punya fetish sama tangan lo?”
Mendengar itu, Jihoon lantas berkedip. Ia menarik tangannya dari pipi Soonyoung lalu memandanginya beberapa detik.
“Jadi lo ... terangsang sama tangan gue?”
Soonyoung memerah mendengar kata ‘terangsang’. Namun tetap mengangguk pelan. Ia lalu menunduk lagi, malu.
“Jangan malu. Gue gak masalah. Kan udah gue bilang tadi? Biasa aja sama gue.” Jihoon menarik kembali dagu Soonyoung sehingga mereka kembali bertatapan. Sekilas, didapatinya mata Jihoon bergulir ke arah lain—ke bibirnya.
“Serius?” Soonyoung bertanya lagi, kali ini dengan nada dan ekspresi memelas.
“Iya. Udahan lo nangisnya. Mendingan kita main PS.” Namun kemudian, Jihoon kembali menangkup pipi tembam Soonyoung. Menarik ujung kedua bibir sahabatnya itu ke atas dengan jempol hingga membentuk lengkungan senyum.
“Nah, gitu,” ia tersenyum puas. Dan Soonyoung ikut tersenyum, terkekeh pelan lalu menangkupkan kedua tangannya di atas dua tangan Jihoon yang masih berada di pipinya. Memejamkan mata, “Thanks, Ji ....”
Siang itu hingga menjelang malam, keduanya habiskan dengan main game bersama. Bercanda tawa, saling menjahili, bahkan mengejek satu sama lain seolah kejadian tempo hari tak pernah terjadi. Meski Soonyoung masih sedikit canggung jika berada terlalu dekat dengan Jihoon, misalnya ketika kulit mereka tak sengaja bersentuhan, sosok itu akan tersentak kemudian bergeser menjauh diam-diam. Bukan berarti Jihoon tak menyadari, ia hanya berpura-pura tidak tahu. Tidak apa, ia tahu Soonyoung masih belum terbiasa.
Menjelang pukul tujuh, bunda Soonyoung meneriaki mereka dari bawah, mengajak makan malam. Keduanya lantas membantu wanita paruh baya itu menata makanan di meja.
Suasana makan malam itu mengalir ceria. Ada begitu banyak makanan di meja seperti ucapan ibunda Soonyoung tadi siang. Dan Jihoon, dengan sukacita memakannya lahap. Merespon dengan tawa saat satu-satunya wanita di meja itu menceritakan kejadian lucu ketika berbelanja minggu lalu. Atau bagaimana ia mengomentari cara makan Soonyoung yang tak pernah berubah dari sejak kecil; tidak pernah mau memakan makanan yang mengandung cabai dan menyingkirkan semua benda merah itu dari piringnya meski cuma sebiji saja. Bukan alergi, sejak kecil ia memang takut pada cabai karena pernah tidak sengaja tergigit dan rasanga benar-benar pedas seperti terbakar. Sampai sekarang ia masih trauma.
Begitu selesai makan malam, keduanya menawarkan diri membereskan meja dan mencuci semua piring. Melarang ibunda Soonyoung untuk membantu dan mengantarnya ke ruang tengah untuk bersantai menonton sinetron kesukaan.
“Gue nyuci, lo ngelap, ya, Ji.”
Begitulah akhirnya mereka kini berdiri bersisian di depan tempat cuci piring. Busa berkumpul di sekujur tangan Soonyoung karena terlalu banyak menuangkan sabun, namun tak masalah, keduanya melakukan tugas masing-masing dengan perasaan ringan dan senandung nada di bibir.
“Jadi inget kalo di rumah Soojin, gue selalu ngelakuin ini sama dia.”
Alis Soonyoung mengernyit mendengar nama itu.
“Mantan lo? Yang tadi siang sama lo itu?”
Jihoon meliriknya dengan ekor mata, sedikit ekspresi bingung di wajahnya.
“Oh, lo liat?”
Agak kaget karena bibirnya tergelincir, namun Soonyoung tetap tenang menjawab. “Iya, gak sengaja liat tadi pas ke fakultas lo. MAU NEMUIN SEUNGKWAN YA BUKAN MAU NGELIAT LO!”
“Santai aja bego ngomongnya. Gue bahkan belum nuduh lo apa-apa,” protes Jihoon sembari mengelap piring basah yang diberikan Soonyoung.
Bibir pemilik nama Kwon itu mengerucut, membuat Jihoon memandanginya. “Ya, makanya gue perjelas dulu sebelum dituduh apa-apa sama lo.”
“Oh.”
Kemudian hening menyapa. Hanya suara dentingan piring dan keran air yang mengudara. Sampai Soonyoung akhirnya bersuara, “Lo balikan lagi sama dia?”
Jihoon tersenyum kecil sebagai respon, lalu melirik Soonyoung dengan mata jahil. “Kalau iya kenapa, kalau enggak kenapa?”
Bibir Soonyoung semakin melengkung ke bawah dan matanya menatap tajam. “Kalau iya, gue gak peduli. Kalau enggak juga gue gak peduli!”
“Ya udah, ngapain nanya kalau gak peduli.”
Bunyi benda dibanting di wastafel, untungnya hanya mangkuk plastik.
“Jihoon sumpah ya lo nyebelin banget!!” Sambil menghentakkan kaki.
Jihoon, yang sejak tadi menahan tawa, akhirnya menyemburkannya juga melihat tingkah gemas sahabatnya itu.
“Sorry-sorry, hahaha!” Ia masih tertawa, membuat Soonyoung melotot marah.
“Diem, ih!”
“Gabisa! Lo lucu kalo marah! Hahaha!”
“Gue gibeng ya pala lo pake piring ini!” ancamnya sambil menenteng piring yang masih dilelehi busa.
“Oke, oke. Iya, ini gue berhenti. Hahaha.” Jihoon menarik napas dalam, mencoba menghentikan gelitikan di dadanya. Namun sulit rasanya karena wajah Soonyoung saat ini begitu lucu. Kedua alisnya menyatu, bibirnya melengkung ke bawah berharap terlihat bengis (namun hasilnya malah jadi menggemaskan), dan pipinya yang mengembung merah.
Akhirnya dengan susah payah, tawanya pun berhenti. Soonyoung kadang masih tak habis pikir kenapa sahabatnya ini mudah sekali tertawa. Bahkan untuk hal-hal receh yang sama sekali tidak ada lucu-lucunya pun dapat membuat Jihoon terpingkal sampai berguling-guling di lantai. Antara selera humornya sudah another level atau memang Lee Jihoon saja yang aneh.
“Lo tadi nanya gue sama Soojin balikan apa enggak? Jawabannya enggak. Tadi cuma ketemu doang. Dia mau balikin barang-barang gue yang masih ketinggalan di rumahnya.”
“Barang? Barang apa?”
“Lo gak perlu tau kalau itu.”
Soonyoung memandang Jihoon lagi dengan tatapan ‘harusnya gak ada rahasia di antara kita!’. Namun Jihoon sama sekali tak memandangnya balik, malah sibuk mengelapi piring-piring. Membuat Soonyoung sadar kalau yang ia tanyakan barusan sudah menyentuh ranah privasi. Akhirnya ia kembali fokus mencuci sisa piring.
Hening tiba-tiba menyelimuti. Namun rasanya tidak secanggung tadi siang, mungkin karena mereka tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing—atau mungkin pikiran masing-masing?
Sampai ketika bahu keduanya bersentuhan, kulit dengan kulit bertemu, saat itulah Soonyoung terlonjak. Piring beling terlepas dari tangan—nyaris saja terpelanting ke lantai kalau saja Jihoon tidak buru-buru menangkapnya.
Keduanya membeliak kaget. Soonyoung yang berdiri kaku memandangi Jihoon yang berjongkok di lantai, memegangi piring dengan dua mata membola dan mulut yang terbuka. Lalu yang lebih pendek itu mendongak, ekspresi kagetnya tadi telah berubah menjadi raut marah. Matanya pun menyorot tajam. Seketika, nyali Soonyoung menciut. Jihoon berdiri kembali, namun anehnya Soonyoung merasa jauh lebih kecil dari sahabatnya itu.
“Soonyoung,”
“Maaf—“
“Udah gue bilang, kan, biasa aja sama gue?”
“Maaf, Ji, gue kaget beneran tadi ....” Soonyoung memejamkan matanya erat, menunduk takut.
Suasana santai tadi meluntur jadi awkward kembali.
Jihoon menghela napas. “Ya, udah. Jangan nunduk kayak gitu. Santai aja. Buruan kita selesain ini.”
Soonyoung akhirnya mengangkat wajahnya kembali, memandangi Jihoon dengan sorot memelas dan bibir melengkung sedih. Tak berkata apapun lagi, ia melanjutkan pekerjaannya kembali. Merapalkan dalam hatinya untuk bersikap biasa saja. Sekalipun beberapa kali lengan keduanya bersingguhan lagi, atau bahkan tangan Jihoon yang sempat menyentuh tangannya saat menyerahkan piring tadi, Soonyoung tetap merapalkan hal yang sama.
“Biasa saja ... biasa aja ... biasa aja, Kwon Soonyoung!!!”
Namun, tak dapat dipungkiri, sekalipun otaknya bekerja keras memerintahkan seluruh anggota tubuh untuk bersikap biasa, kenyataannya sungguh sulit. Bahkan jantungnya sama sekali menolak patuh untuk berdetak dengan normal. Debarannya begitu kencang sampai Soonyoung takut Jihoon dapat mendengarnya.
Setelah selesai mencuci semua piring, keduanya kembali ke kamar. Jihoon bilang ingin melanjutkan bermain PS, sementara Soonyoung memutuskan untuk mandi. Namun begitu pemuda sipit itu kembali ke kamar dengan rambut basah dan handuk kecil di atas kepala, didapatinya Jihoon justru tengah duduk berselonjor di kasur sambil bermain ponsel.
“Katanya tadi mau main PS?” tanyanya sembari menutup pintu kamar.
“Hmm?” Jihoon menyahut tanpa mengalih fokus. Jarinya sibuk menggulir layar ponsel dengan lembut, kemudian menari-nari lincah ketika mengetikkan sesuatu di sana, membuat mata Soonyoung kesulitan untuk berpaling dari pemandangan menarik itu.
“Nanti aja. Mau twitteran dulu bentar,” jawab Jihoon akhirnya.
Soonyoung mengangguk kemudian dengan gugup menggosok-gosok rambut hitamnya yang masih basah, menundukkan pandangannya agar tidak terus tergoda untuk melihat jemari Jihoon yang terus bergerak aktif di sana.
Ia perlahan duduk di tepi tempat tidur usai menggantung handuk lembabnya. Mengambil ponsel yang terkapar di meja belajar, Soonyoung mulai mengikuti kegiatan Jihoon; membuka sosmed dan membalas beberapa pesan yang masuk. Begitu fokusnya ia pada kegiatan itu hingga tak menyadari bahwa Jihoon sudah mengalihkan atensinya dari ponsel dan kini tengah memandanginya.
“Soon.”
“Hm?”
“Wangi banget. Lo ganti shampo apa gimana?”
“Oh, iya ini shampo keponakan gue yang nginep kemaren. Kebetulan shampo yang biasa gue pake udah abis, terus bunda belum sempet beli. Jadinya disuruh pake shamponya anak tante gue dulu,” jawab Soonyoung panjang lebar dengan lancar, matanya masih tak berpaling dari ponsel—sebenarnya ia tengah merasa sangat canggung sekarang karena sedang berduaan saja dengan Jihoon. Kalau tadi berbeda, mereka berduaan tapi sambil bermain PS, jadi tidak terlalu sepi dan canggung. Tapi sekarang suasananya sangat awkward dan Soonyoung juga bisa merasakan tatapan Jihoon di sekujur tubuhnya. Seakan mata itu berusaha menembus ke dalam kulitnya dan membuatnya menyusut menjadi sekecil biji kuaci.
Intinya Jihoon sedang menatapnya intens dalam diam, dan Soonyoung merasa tak nyaman dengan itu. Tapi mau protes pun ia tak bisa, bibirnya seperti dilem rapat. Akhirnya ia hanya bisa berpura-pura tak tahu sembari sok sibuk menggulir layar.
Sampai tiba-tiba sebuah sentuhan lembut pada tengkuk membuatnya terlonjak— Soonyoung refleks menjatuhkan ponsel dan segera berbalik demi menatap Jihoon. Telapak tangannya lantas segera menutupi area yang barusan disentuh temannya itu.
“A-apa sih ngagetin aja!”
Jihoon hanya berkedip, seolah sama sekali tak melakukan sebuah dosa barusan. Ia lalu menunjukkan sesuatu di tangannya. Seuntai benang.
“Ini ada benang di tengkuk lo. Keknya dari handuk lo tadi. Santai aja sih panikan amat gue gak bakal gigit lo kok.”
SANTAI PALA LO BOTAK—! BULU KUDUK GUE SAMPE BERDIRI SEMUA, ANJING!
Soonyoung menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Ia memungut kembali ponselnya dan lanjut men-scroll media sosial dengan bibir mengerucut.
Namun, baru juga lima menit jantungnya kembali berdetak normal, ia lagi-lagi harus melompat kaget lantaran tangan Jihoon kembali mengelus tengkuknya.
Oke, kali ini Soonyoung tidak akan panik seperti tadi.
Masih bermain dengan ponselnya, ia bertanya ketus, “Ada apaan lagi di tengkuk gue?”
Lima detik berlalu, dan Jihoon sama sekali tak menyahut. Namun tangannya tak berhenti mengelus bagian belakang leher Soonyoung.
“Gak ada. Cuma pengen ngelus aja.”
Hah?
Bisa Soonyoung rasakan sentuhan dari ujung-ujung jari Jihoon di kulitnya. Jari Jihoon dingin—mungkin karena suhu rendah AC di kamarnya—tapi juga terasa menyengat. Seperti ada aliran listrik di setiap ujung jemarinya dan masuk ke dalam kulit lalu menyebar ke setiap pembuluh darah Soonyoung. Membuat darahnya mendidih dan bergejolak. Pipinya memerah.
Tangan Jihoon masih belum berhenti mengusapnya, seolah memang tak ada rencana untuk berhenti. Akhirnya Soonyoung memberanikan diri menoleh.
Awalnya matanya menunduk ke bawah, memandang sebelah tangan Jihoon yang masih menggenggam ponsel di atas paha, kemudian perlahan mengangkat pandangannya ke atas. Menilik wajah Jihoon yang juga tengah menatapnya. Namun berbeda dengan sorot mata tadi, kali ini Jihoon memandangnya dengan lembut. Mata itu ... entah kenapa berbinar aneh.
Jemari Jihoon di tengkuk Soonyoung merambat turun ke perpotongan leher. Punggung tangannya dengan lembut melintasi ceruk jenjang ke tulang selangka, kemudian naik ke rahang. Dengan jari indahnya, ia lalu mengelus lembut pipi berisi Soonyoung. Lembut dan empuk, persis seperti tekstur bakpao langganannya ketika SD dulu.
Soonyoung hanya mampu berkedip sambil berusaha membuat jantungnya tenang, ia takut Jihoon bisa mendengar betapa berisiknya keadaan hatinya sekarang.
Jempol lelaki itu kemudian turun perlahan ke bawah. Menekan bibir merah jambu yang tebal.
Bukannya semakin tenang, jantung Soonyoung kian menggila begitu mendapati mata Jihoon yang kini tengah menatap lurus bibirnya. Tatapan itu ... Soonyoung pasti sedang berhalusinasi. Karena ia mengenal jelas tatapan itu. Itu sama persis seperti matanya ketika ia memandangi tangan Jihoon. Dan saat ini, temannya itu tengah memandangi bibirnya... dengan sorot lapar?
“Ji?”
Bibirnya ditekan lembut.
“Gue boleh gak nyium lo?”
Mata itu akhirnya menatap ke matanya kembali. Namun Soonyoung merasa jiwanya langsung terhisap ke dalam sepasang kelereng gelap itu.
“C-cium?” Ia tergagap, kesulitan mencerna.
Lagi, bibirnya ditekan lembut oleh jempol Jihoon. Darah Soonyoung kembali berdesir.
Jihoon mendekatkan wajah. Tatapan mata intens mengunci netranya untuk berpaling.
“Nyium bibir lo... boleh?”
Soonyoung masih belum bereaksi.
Tangan Jihoon berpindah ke tengkuk, kemudian menariknya mendekat.
“Sebagai gantinya, lo boleh ngelakuin apapun ke tangan gue.”
Ucapan itu membuat Soonyoung berkedip bingung. Namun sosok Jihoon seperti tak ingin membiarkannya berpikir lama, maka semakin ia dekatkan wajahnya. Soonyoung tak bisa mundur karena ada tangan yang menahan tengkuknya.
“Maksud lo?” Pada akhirnya, hanya pertanyaan yang mampu dilontarkan.
Dengan jarak yang hampir membuat ujung hidung keduanya bersentuhan, Jihoon masih menatapnya tajam. Menusuk dan mengintimidasi. Soonyoung, bahkan untuk meneguk ludah saja ia tak sanggup. Mata gelap itu seakan mengawasi setiap gerak-geriknya, membuatnya takut untuk bergerak seinci pun. Perasaan apa ini? Ia merasa seperti tengah berada di hadapan predator ....
“Jihoon, lo terlalu deket—“ Soonyoung meletakkan tangannya di dada bidang lelaki itu, bermaksud mendorongnya menjauh sedikit, namun Jihoon justru memegang tangannya—memasukkannya ke dalam genggaman, membuat jantung Soonyoung nyaris meledak oleh perasaan kaget dan senang.
“Lo suka, kan, sama tangan gue? Lo terangsang, kan, sama ini?” Mata Jihoon masih tak beralih dari matanya saat ia mengaitkan kelima jari mereka bersama, sementara tangan di tengkuknya bergerak menyisir rambut Soonyoung yang basah, lalu menjambaknya lembut. Soonyoung memejamkan mata tanpa sadar, darah seolah memompa deras ke sepenjuru tubuhnya. Adrenalinnya bergolak, sekujur tubuhnya pelan-pelan terangsang oleh perlakuan lembut itu.
Namun, ia segera menyadarkan diri. Tidak boleh, ia sudah berjanji akan menghentikan fetish anehnya ini.
Soonyoung menggeleng, mencoba melepaskan tangannya dari tautan Jihoon. “Ji, lo kenapa? Jangan kayak gini. Nanti gue—“
Namun tangannya kembali ditarik, kali ini digenggam erat dan dibawa ke hadapan bibir Jihoon. Dan tanpa Soonyoung pernah duga, lelaki itu mencium tangannya. Kedua belah bibir Soonyoung langsung menganga.
“Soonyoung,” Jihoon bergumam di depan punggung tangannya, yang masih sibuk ia cumbui. Matanya terpejam. Deru napas hangatnya membuat Soonyoung merinding di sekujur badan. Obsidiannya terbuka lagi, menenggelamkan Soonyoung ke dalam lautan gelap yang dalam melalui tatapan penuh dominasi. “Gue pengen nyium lo.”
Netra itu bagai laut hitam, yang misterius dan juga mematikan. Soonyoung merasa dirinya tersedot ke dalam sana, kemudian tenggelam sampai ke dasar tanpa ada satu pun tangan yang terulur menolongnya. Hanya ada Jihoon, di dasar lautan itu. Menantinya dan menyambutnya ke dalam buaian semu.
Seperti terhipnotis, kepalanya mengangguk. Masih belum mengerti apa yang tengah terjadi, namun Soonyoung memilih mengikuti insting dan kata hati. Dan kata hatinya mengatakan, untuk mengikuti ke mana arus akan membawanya. Entah ke tepian, atau malah ke pusaran hitam yang menelannya sampai hilang.
Jihoon tanpa menunggu lebih lama, langsung memajukan wajah. Karena sejak tadi jarak mereka sudah sangat dekat, maka bibir keduanya dalam sekejab langsung bertemu. Dan Soonyoung terpaku. Matanya melebar menatap iris mata Jihoon di hadapannya, yang masih terbuka dengan kolam gelapnya yang tak pernah bisa ditebak. Memagut bibirnya pelan-pelan, lamat-lamat, seolah tengah memetakan setiap inci dari ranum tebalnya.
Ciuman itu tak berlangsung lama, atau mungkin memang lama namun Soonyoung tak sempat menghitung karena terlalu sibuk mendengarkan detak jantungnya yang menggila? Entahlah, yang jelas begitu bibir keduanya berpisah, bibirnya terasa sedikit kebas dan basah.
Jihoon masih memandangnya dengan tatapan sama. Ya, tatapan lapar itu masih belum hilang. Sehingga tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, Soonyoung kembali ia tarik mendekat. Membenturkan bibir mereka lagi, dan kali ini tidak lembut seperti sebelumnya, tapi liar dan menuntut.
Seperti seekor predator yang tengah nikmat mengunyah daging mangsanya. Dan begitulah Lee Jihoon sekarang. Menekan tengkuk Soonyoung agar lidahnya dapat semakin dalam mengeksplorasi seisi gua panas itu. Sementara kepalanya tak berhenti bergerak memburu bibir kenyal dengan rakus. Ke kanan, ke kiri, melumat ranum lezat itu seolah-olah ingin menyedot habis sari manis yang ada di sana—yang membuatnya sampai seketagihan ini. Dan Soonyoung, hanya mampu memejam sembari merintih di tempat duduknya. Sebelah pahanya berada di atas paha Jihoon, sementara kedua tangannya bersandar di dada bidang lelaki itu. Ia terhimpit, sulit bernapas, dan rasanya seperti sedang dimakan.
Hingga ketika pasokan oksigen kian menipis, Soonyoung menepuk-nepuk dada Jihoon. Lelaki itu mengerti dan melepaskannya. Keduanya sama-sama terengah. Soonyoung meraup udara di sekitarnya dengan rakus. Pupilnya sampai bergetar, antara syok dengan keganasan yang tak pernah ia ketahui dari sahabatnya atau itu adalah ciuman paling gila yang pernah ia alami.
Sedangkan Jihoon, ia tak mengalihkan matanya sekalipun dari Soonyoung yang masih tertunduk mengejar napas. Kedua tangan chubby sahabatnya itu masih mencengkeram baju di dadanya. Ruang kamar yang semula dingin, kini terasa hangat oleh suhu tubuh mereka, yang naik seketika berkat ciuman tadi.
Setelah agak lama, Jihoon mengangkat dagu Soonyoung kembali. Mereka berpandangan. Ada setitik air mata di ujung mata sipit itu, namun ia tahu itu bukan air mata kesedihan seperti tadi siang.
Wajah Soonyoung merah seluruhnya sampai ke telinga. Ke lehernya juga. Dan bibir merah mudanya yang gemuk dan empuk itu menjadi merah delima karena bengkak. Ah, Jihoon ingin mencicipinya lagi. Menghisap dan menggigitnya sampai mengeluarkan darah, kemudian menjilat dan menghisapnya.
Maka kembali ia raup ranum itu. Soonyoung pasrah dan memejamkan mata. Tangannya mengalungi leher Jihoon ketika dengan perlahan tubuhnya dibaringkan ke permukaan ranjang. Jihoon menimpanya, mengurungnya di bawah tubuh. Tak berhenti sedetik pun mencumbuinya, seolah bibir Soonyoung memiliki sari madu yang membuatnya ketagihan sampai tak ingin berhenti untuk mengecap.
“Ji... Ji, udah... bibir gue sakit ....”
Jihoon melepaskan tautan mereka setelah lelaki di bawahnya menepuk-nepuk dadanya kembali. Kali ini Soonyoung tak dapat menyembunyikan wajah saat ia dengan frustrasi meraup oksigen sebanyak mungkin di sekelilingnya. Bibirnya yang berkilau oleh saliva terbuka, menarik dan meloloskan udara dengan rakus. Sementara wajahnya kian memerah, ada air mata yang mengalir jatuh dari ujung kelopak, dan Jihoon dengan senang hati menjilatnya.
Soonyoung tak berkomentar apa-apa, ia biarkan sahabatnya itu sesuka hati mencumbui wajahnya. Ia terlalu lemas untuk bersuara. Begitu syok dengan apa yang tengah terjadi. Tadi siang, ia menangisi hubungannya dengan Jihoon yang sudah di ambang kehancuran, dan malam ini, detik ini, ia malah berbaring tak berdaya di bawah tubuh sahabatnya itu—yang dengan rakus mencumbui bibirnya seolah tak ada hari esok.
Akhirnya dengan kekuatan yang tersisa, Soonyoung menangkup kedua pipi Jihoon. Membuat mereka saling bertatapan.
Dan Soonyoung terpaku beberapa saat. Mata Jihoon saat ini ... adalah mata yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Mata yang gelap, misterius, dan mematikan—persis seperti lautan dangkal. Ia tak pernah melihat Jihoon yang seperti ini sebelumnya. Apakah ini benar-benar Lee Jihoon sahabatnya?
“Jihoon?”
“Hm?”
“Lo... lo kenapa?”
Jihoon diam. Bukannya menjawab, pandangannya justru terjatuh pada bibir Soonyoung lagi, yang bengkak—bahkan terluka karena ia menggigitnya terlalu keras tadi. Lantas, diusapnya luka itu dengan ibu jari.
“Sakit?”
Soonyoung tidak menjawab, hanya terpaku dengan perlakuan lembut lelaki di atasnya itu, yang usai bertanya lantas menunduk dan menjilat lembut permukaan lukanya. Hati Soonyoung rasanya seperti diledaki kembang api warna-warni saat itu. Sementara di dalam perutnya berterbangan banyak kupu-kupu.
“Lo kenapa, Ji? Kenapa tiba-tiba gini?” ia mengelus pipi sahabatnya itu.
Jihoon memegang tangannya, mengusapnya lembut dengan ibu jari. “Gak tiba-tiba. Emang udah dari lama pengen ngelakuin ini. Gue ... udah lama nahannya.”
Soonyoung tak mengerti. Otaknya terlalu lambat untuk memproses.
“Lo bilang, lo punya fetish sama tangan gue, kan?”
Meski begitu, Soonyoung masih malu untuk mengakui. “Iya, terus kenapa?”
Ia tersentak begitu merasakan tangan Jihoon menyentuh selangkangannya—yang tak ia sadari sudah tegang dan sangat sensitif di bawah sana.
Dan Lee Jihoon, tersenyum memandangi ekspresi sahabatnya yang mulai panik saat tangannya mulai mengelus-elus sesuatu di balik kain tipis itu.
“Sama kayak gue.” Remasan pelan, Soonyoung menggigit bibir menahan erangan. “Gue juga punya fetish. Sama bibir lo.”
Setelahnya, ia kembali menyatukan bibir keduanya. Melahap semua desahan indah Soonyoung yang disebabkan oleh tangannya yang menelusup masuk ke balik celana.
Jihoon memandangi Soonyoung yang berbaring tak berdaya, dengan celana basah oleh semburan spermanya sendiri. Ia menatap tangannya yang lengket oleh cairan putih susu sahabatnya, kemudian tanpa tedeng aling-aling memasukkan kedua jarinya ke dalam mulut Soonyoung yang terbuka.
Soonyoung, entah karena fetish-nya ataukah ia memang sudah tak peduli lagi dengan situasi membingungkan yang tengah menerjangnya sekarang, langsung mengemut jari-jari itu seolah es krim.
Jihoon tersenyum, memasukkan jari yang lain ke dalam rongga panas itu. Merasakan sesuatu di dalam celananya berdenyut-denyut oleh pemandangan menakjubkan di hadapannya. Di mana jari-jarinya keluar masuk dari mulut indah Soonyoung.
“Gimana kalau kita bikin kesepakatan?”
Ruangan kamar itu remang-remang. Lampu utama sengaja dimatikan, digantikan dengan lampu kecil di meja samping ranjang.
Soonyoung menarik napas dengan susah payah, tersendat-sendat saat ia mengencangkan tenggorokannya. Matanya terpejam rapat dan air liur menetes dari dagu saat ia tak berhenti mengulum batang keras di dalam mulutnya.
Jihoon duduk, bersandar pada kepala tempat tidur, dengan pandangan lurus ke bawah—ke arah Soonyoung yang tekun menghisap kemaluannya. Memerhatikan bagaimana bibir indah itu melingkari penisnya, menciuminya dengan ranum semerah apel segar, kemudian menjilatnya menggunakan lidahnya yang panas. Sungguh, pemandangan yang Jihoon pikir hanya akan ada di dalam mimpinya saja. Tapi malam ini, dia berhasil mewujudkannya. Soonyoung sekarang ada dalam genggamannya, menyerahkan diri dengan sukarela dan Jihoon tidak pernah merasa seberuntung ini. Bertahun-tahun ia menyembunyikan fetish ini, menyembunyikannya dari Soonyoung yang selalu membuat dirinya hampir lupa diri. Sudah berusaha ia lampiaskan pada pacar-pacarnya yang memiliki tipe bibir yang serupa, namun tak sekalipun ia dapatkan kepuasan.
Bibir Soonyoung itu indah. Bagian atas tipis dan bagian bawahnya tebal, dan kalau diperhatikan lebih teliti, bibir itu mirip dengan bentuk hati. Jihoon sering sekali memikirkan bagaimana rasanya jika ia menghisap bibir bawah itu lama-lama. Apakah akan semakin menebal dan bengkak? Warnanya pasti merah sekali, dan itu pasti akan membuatnya semakin cantik. Lalu, tentu saja, ia selalu penasaran dengan teksturnya. Jihoon diam-diam selalu mengamati setiap kali Soonyoung berbicara, tersenyum, atau yang paling ia sukai adalah saat sahabatnya itu kesal dan cemberut. Ia akan memajukan bibirnya ke depan beberapa senti, dan itu merupakan pemandangan yang amat lucu.
Mengenal Soonyoung dari sejak sekolah menengah pertama, membuat Jihoon mengenal sahabatnya itu seperti ia mengenali telapak tangannya sendiri. Semua kebiasaan, sifat, bahkan semua ekspresi yang pernah ditampilkan Soonyoung telah tersimpan rapi di otaknya. Itu terkadang membuat Jihoon berpikir di tengah malam, kira-kira bagaimana ekspresi Soonyoung ketika dia terangsang? Atau bagaimana wajah sahabatnya itu ketika ia mendesah atau merintih keenakan? Dan... akan seperti apa pemandangannya jika bibir indah itu melingkar di penisnya?
Namun khayalan hanya akan berakhir menjadi khayalan semata. Jihoon sama sekali tak berharap semua fantasinya menjadi kenyataan. Mengesampingkan hasrat seksualnya yang selalu bergolak tiap kali di dekat Soonyoung, tetap saja lelaki itu adalah sahabat yang paling ia kasihi. Ia tahu fetish-nya tidak akan pernah hilang—ia sudah mencobanya, namun tak pernah memberikan hasil—akhirnya ia putuskan untuk mencari pelampiasan. Jihoon tak bisa menahannya terus menerus selama bertahun-tahun. Seharusnya bisa, kalau saja objek yang terus membuatnya terangsang tak selalu berada di dekatnya. Kalau terus ditahan, bisa-bisa ia berakhir gila.
“Ji ....”
Jihoon tersentak dari lamunan. Ditatapnya Soonyoung yang sudah melepaskan batangnya, dan kini menggenggamnya dengan jari-jari gemuknya.
“Iya, Princess?”
Soonyoung tampak terkejut dengan panggilan itu. Namun karena suasana panas yang masih belum surut di sekitar mereka, ia tak memprotes atau memberi komentar apapun. Pipinya justru semakin memerah saja dengan dua mata sipit yang melebar terkejut. Kalau boleh jujur, sebenarnya yang membuat Jihoon begitu memuja sosok ini tidak hanya bibir indahnya saja. Melainkan semua yang ada di diri Soonyoung semuanya sempurna. Matanya, pipinya, hidungnya, bentuk tubuh idealnya, bahkan lesung pipinya yang hanya muncul ketika makan atau ketika ia mengerutkan bibirnya saja.
Tangan Jihoon terulur, menyelipkan jari-jarinya ke belakang telinga dan menyisir rambut hitam Soonyoung yang berantakan.
“Kenapa, Soonyoung?” Jihoon bertanya lagi, dengan lembut—tentu saja, ia sedang dalam mood yang sangat baik sekarang.
Soonyoung sedikit menunduk malu, tidak pernah sebelumnya ia diperlakukan seperti ini oleh Jihoon. Rasanya seperti ... seperti Jihoon memperlakukan pacarnya ....
Jadi begini ya rasanya memiliki Jihoon sebagai pacar? Pikiran itu berputar-putar dalam benaknya seperti kabut merah muda—memabukan.
“Lo kenapa ... bisa suka sama bibir gue?” Karena ia merasa bibirnya biasa-biasa saja, tak seindah tangan Jihoon yang selalu membuatnya berfantasi macam-macam.
Jihoon terkekeh, lantas mengusap bibir bawah Soonyoung dengan jarinya, menekan-nekan ranum basah itu.
“Lo sendiri kenapa suka sama tangan gue?”
“Karena ... tangan lo indah. Cantik aja gue ngeliatnya. Sempurna ....”
“Pas lo ngeliat tangan gue, di pikiran lo apa yang pengen lo lakuin saat itu?”
Soonyoung berkedip, ragu-ragu untuk menjawab. Namun Jihoon tak mengalihkan tatap darinya, intens menunggu jawaban.
“Gue pengen ... megang tangan lo. Nyiumin setiap jari, telapak tangan, urat yang nonjol... ngulum jari-jari lo. Pengen ...,” jeda, matanya melirik malu-malu, kemudian menunduk, “Pengen tangan lo nge-handjob punya gue....”
“Kayak tadi?”
“Iya ... sampai gue klimaks kayak tadi dan tangan lo kotor sama sperma gue ....”
Jihoon tersenyum mendengarnya, sedikit membuat Soonyoung terpana karena sama sekali tak menerima tatapan jijik atau bahkan menghardik.
“Begitupun dengan gue, Soon. Alasan lo fetish-in sama tangan gue sama persis dengan gue fetish-in sama bibir lo. Lo ngerasa gak sih, kalau bibir lo ini sempurna banget? Emutable?”
Soonyoung nyaris tersedak mendengar kata terakhir.
Jihoon menekan bibir Soonyoung lagi, kemudian menyelipkan jempolnya ke dalam. “Kayak yupi. Kenyel-kenyel, lembut, manis.”
“Emang bibir gue manis?”
“Enggak. Tapi kalau dibayangin, rasanya bisa kayak stroberi, kadang ceri, kadang juga apel.”
Jujur, Soonyoung bingung harus merespon bagaimana. Tapi, perasaan aneh apa ini yang merasuki dadanya? Senang? Berdebar? Ia tidak mengerti. Maka, untuk menyembunyikan malu, ia kembali menunduk dan mengulum batang Jihoon lagi. Dan Jihoon kembali bersandar, menonton dengan tenang sembari menyisiri rambut gelap Soonyoung dengan jari-jarinya.
“Kok bisa sih lo punya bibir seindah dan secantik ini?” bisiknya pelan, rasanya begitu gatal untuk mengabadikan pemandangan menakjubkan di hadapannya dalam potret kamera. “Bagus... ya, kayak gitu. Sshh... emang bener kayaknya punya gue cuma bisa dipuasin sama lo doang,” Jihoon mendongakkan kepala, memejamkan mata sembari menggigit bibir. Rasa nikmatnya kian bertambah seiring dengan semakin dalam miliknya tertanam di rongga panas itu.
Kalimat-kalimat pujian serta desahan indah dari bibir Jihoon membuat Soonyoung semakin mabuk—mabuk kepayang—dan semakin bersemangat memberikan kuluman terbaiknya. Ini kali pertama ia mengulum penis seseorang, tentu saja, ia masih virgin dan straight. Menghisap kemaluan seorang laki-laki tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya sekalipun Jihoon yang menjadi objek fantasinya.
Straight, ya? Sepertinya ia mulai harus mempertanyakan orientasi seksualnya setelah semua ini selesai. Bahkan seharusnya, ia sudah mempertanyakannya dari sejak ia sadar memiliki fetish pada seorang laki-lakinya ini, kan?
Karena terlalu semangat memasukkan keseluruhan benda panjang itu ke mulut, akhirnya membuatnya tersedak. Jihoon segera mengusap tengkuknya.
“Pelan-pelan aja, Princess. Gak perlu buru-buru. Gue masih pengen nikmatin pemandangan indah lebih lama.”
Meskipun ini pertama kalinya bagi Soonyoung, tapi ia bisa melakukannya dengan baik. Sekalipun awalnya sedikit kikuk ketika harus memegang batang kemaluan sahabatnya sendiri dan memasukkannya ke dalam mulut.
Namun, kini, anehnya, ia justru ketagihan. Baru saja tersedak tak membuatnya membuang waktu lama untuk memasukkan ereksi itu kembali ke mulutnya. Mengulumnya dengan suara erangan yang teredam dan sebelah pipi yang menonjol. Ia tertawa kecil ketika menjilat poros penis itu, dan memandang Jihoon dengan kerlingan nakal—dia sendiri kaget bisa memiliki tatapan itu. Tapi anehnya, sekali lagi, Soonyoung menikmatinya. Situasi ini, suasana ini, dan rasa asin precum di lidahnya, serta tatapan panas Jihoon yang membakar setiap senti tubuhnya.
Pada detik itu, otaknya menyingkirkan segala macam pikiran yang berserak berantakan di kepala, yang membuntal menjadi benang kusut, bahkan yang tersebar acak bak puzzle yang tercerai berai. Semuanya ia sapu bersih dan hanya menyisakan satu hal saja yang boleh dipikirkan saat itu.
Aku milik Jihoon, dan Jihoon adalah milikku.
Mungkin karena tensi seksual yang menyelubunginya seperti kabut tebal, yang ia rasakan saat itu hanyalah kemaluannya yang berdenyut sakit meminta sentuhan, dan keinginannya untuk menyerahkan diri sepenuhnya pada Jihoon. Ia akan menerima apapun yang ingin atau akan Jihoon lakukan padanya.
Karena ia suka.
Ketika Jihoon sudah dekat dengan puncak, ia menyuruh Soonyoung melepaskannya. Lantas, Soonyoung segera menarik diri, namun tak mau mundur barang seinci. Sebaliknya, ia tatapi bagaimana tangan Jihoon yang bergerak cepat menggosok miliknya sendiri. Pemandangan menakjubkan itu tentu saja tak akan pernah dilewatkan walau sedetik pun oleh Soonyoung. Tangan putih dan cantik Jihoon melingkari batang besarnya yang basah oleh saliva miliknya. Oh, hati Soonyoung menjerit girang. Ia suka. Sangat suka pemandangan ini.
“Come here, Princess.” Jihoon duduk dengan kedua lutut, masih mengocok miliknya dengan laju.
Soonyoung mendekat, mengikuti arah mata Jihoon dan membungkuk di hadapan perut lelaki itu.
“Buka mulut.”
Seperti seorang submisif, ia menuruti perintah dari sang dominan. Maka, ia bukakan gua panasnya sekali lagi. Dan saat itulah cairan hangat tumpah ke mulutnya, menyiprat ke wajah dan mengalirkan tetes ke permukaan seprai.
Jihoon terengah, memoleskan sisa sperma yang tersisa di kepala kemaluannya pada belah bibir Soonyoung yang masih terbuka.
Kemudian, begitu penisnya menjauh, Soonyoung dengan otomatis mengatupkan bibir. Apel adamnya bergerak dengan cara yang seksi saat ia mendongak, menelan semua cairan asin yang ia tampung di mulut. Dan Jihoon, tak bisa menyangkal, mengakui itu adalah pemandangan paling favoritnya malam ini.
Soonyoung membuka mata. Cairan semen mencoreti wajahnya bagai lukisan abstrak. Bibirnya tersenyum sedikit saat lidahnya dengan sensual menjilat sisa rasa asin di tepi mulutnya.
“Lo jauh lebih cantik dengan bibir yang berlumuran sperma gue.”
Sepertinya Soonyoung memiliki tendensi pada pujian. Karena setiap kali Jihoon memujinya, libidonya kian menaik, membuatnya semakin terangsang dan ingin melakukan lebih demi bisa mendapatkan pujian lagi.
“Bikin gue berlumuran sperma lo kalau gitu.”
Jihoon diam menatap, kemudian meraih tisu yang tersembunyi di bawah tempat tidur. Didekatinya Soonyoung yang masih duduk merangkak dengan kedua tangan menyanggah tubuh, lalu dibesihkannya cairan lengket di sekitar wajah lelaki itu.
Soonyoung diam, memejamkan mata menikmati semua perhatian dan sentuhan lembut itu.
Setelah wajahnya bersih kembali, Jihoon membaringkannya kembali ke tempat tidur. Kemudian tanpa meminta izin terlebih dahulu, lelaki itu segera menarik turun celana piyamanya. Soonyoung sempat menahannya dengan refleks, namun tatapan penuh dominansi Jihoon membuatnya kembali pasrah dan membiarkan celananya terlepas sepenuhnya dari kaki. Kini hanya tinggal piyama atasnya saja. Dan Soonyoung, dengan malu-malu merapatkan kedua paha, menyembunyikan bagian paling privat di tubuhnya. Namun Jihoon dengan lembut menenangkannya dengan tatapan teduh, seolah berbisik “tenang, gue bakal merlakuin lo dengan baik. Percaya sama gue, ya, Princess?”
Maka, Soonyoung kembali luluh. Ia biarkan Jihoon melebarkan kedua kaki jenjangnya. Memperlihatkan bagian paling rahasia yang selalu ia jaga, yang belum terjamah siapapun kecuali tangannya sendiri—dan tangan Jihoon tadi.
Soonyoung nyaris menutupi kedua matanya dengan tangan karena malu. Jihoon, di antara kedua kakinya yang terbuka, diam terpaku memandangi dirinya. Yang berbaring terhampar setengah telanjang dalam keadaan pasrah.
“Pretty.”
Soonyoung mendengarnya dengan jelas. Kata itu meluncur bagai nyanyian angin di sore hari, yang tulus dan menenangkan hati.
Dirasakannya, tangan Jihoon mulai meraba paha. Jemarinya menjelajah, naik ... turun ... memetakan setiap inci kulit halus nan sintal. Soonyoung menggeliat kecil, menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara apapun selagi Jihoon fokus mengelusi paha dan lututnya dengan kedua tangan. Dari pangkal paha, meluncur mulus ke lutut, kemudian turun lagi, dan meremas bongkahannya yang kenyal. Rasanya seperti mendapatkan pijat relaksasi, namun yang ini terasa tegang karena tatapan buas Jihoon.
“So pretty,” ulangnya sekali lagi. Matanya tampak dingin, namun Soonyoung tahu di balik sepasang kelereng gelap itu ada api nafsu yang sedang membara. Ia bisa merasakannya.
Di bawah tatapan intens dua manik sekelam malam, Soonyoung seakan terbakar. Seolah tengah berbaring di atas bara api menyala, yang mana panasnya sampai melelehkan tulang-tulang dan organ dalam.
Ia kembali menggeliat ketika jemari panjang Jihoon mulai menyentuh lubangnya. Mengelusnya dengan jari tengah, sedikit menekannya seolah memberi tanda bahwa ia ingin masuk ke sana.
Soonyoung menggigit bibir saat sekujur tubuhnya merinding begitu sebuah pikiran melintas di benaknya. Ia pernah menonton porno gay sekali sebelumnya, saat SMA karena ia penasaran bagaimana sesama lelaki berhubungan intim, dan ia baru ingat—apa yang tengah ia alami sekarang sama persis dengan yang ada di film itu.
Jari-jari hangat Jihoon masih mengelusi cincin merah mudanya. Ya, merah muda, yang cantik dan indah. Bahkan kemaluan Soonyoung juga berwarna sama, bagi Jihoon pemandangan di hadapannya itu cukup menggemaskan namun di sisi lain juga membuat keinginannya untuk mendominansi segala yang di hadapannya kian berkobar.
“Siap?” ia tersenyum, namun Soonyoung sulit mengartikan senyuman sejuta makna itu. Alhasil, dia hanya mengangguk. Bagaimana pun, apapun yang akan Jihoon lakukan padanya sekarang akan ia terima. Darahnya mendidih karena rasa gugup dan tidak sabar, namun tak dapat dipungkiri bahwa sekujur tubuhnya menjerit kesenangan saat Jihoon tak dapat berhenti memandanginya, yang dengan sukarela berbaring terlentang siap dijamah olehnya.
Ia memang sangat terobsesi dengan tangan Jihoon. Tapi, ia jauh lebih ingin memiliki Jihoon untuk dirinya sendiri. Segala yang ada pada Lee Jihoon, hanya untuknya, dan milik Kwon Soonyoung seorang.
Jihoon bangkit sebentar menghampiri tasnya di meja belajar untuk mengambil sebotol pelumas baru di sana. Soonyoung hanya memerhatikan tanpa berkedip, bagaimana lelaki itu kembali lagi ke hadapan dua kakinya yang terbuka kemudian membaluri tangannya sendiri dengan cairan kental.
Itu pemandangan yang indah. Bagaimana keseluruhan telapak kanan dan jari-jari panjang Jihoon berkilau oleh cairan bening. Kemudian tanpa tedeng aling-aling, tangan itu meraih kemaluan merah mudanya yang terbaring di atas perut. Soonyoung sedikit mendesis oleh perasaan dingin yang membaluri panjangnya, mengerang lembut saat tangan Jihoon mulai naik turun perlahan.
Jihoon memerhatikan itu dengan rasa puas. Bagaimana kedua tangan Soonyoung terlentang di kedua sisi tubuhnya, matanya yang terpejam nikmat, dan bibir merah delimanya yang meloloskan erangan indah. Rasanya ingin sekali ia kecup kembali permukaan ranum bengkak itu, ingin meneguk semua suara indah yang membuat candu. Tapi ia lebih memilih menciumi paha sintal sahabatnya. Meletakkan kemerahan di sana-sini selagi ia memuaskan hasrat yang terlampau keras di tangan kanannya. Melukisi paha indah itu dengan ciuman kepemilikannya. Benar, Kwon Soonyoung harus menjadi miliknya. Jihoon tak yakin bisa hidup normal seperti sebelumnya setelah melewati malam ini. Ia butuh Soonyoung yang terbaring telanjang untuknya seperti saat ini, untuk seterusnya, sampai ia merasa cukup.
Jihoon tetap menciumi kanvas putih kenyal itu. Meninggalkan paha yang sudah penuh dengan lukisan indah, ia mulai mencumbui perut rata Soonyoung, membuat lelaki itu terkikik geli di tengah rasa nikmat yang membendung.
Piyama Soonyoung disingkap, Jihoon menyuruh lelaki itu menggigit kainnya. Padahal ia bisa saja melepaskan kancingnya satu per satu, namun ia lebih suka kalau bibir cantik itu mencepit fabrik piyama abu-abu. Desahan Soonyoung teredam ketika Jihoon mulai menjilati puting cokelat mudanya. Puting itu semakin keras ketika lidah liat berputar-putar di atasnya.
Jihoon suka saat Soonyoung menjadi lebih berisik saat ia bermain dengan titik sensitif di dadanya, untung saja bibirnya ia bebat dengan kain jadi suaranya tidak akan menembus sampai ke lantai bawah.
“Ahm!” rintihan Soonyoung kembali teredam saat Jihoon menggigitnya. Ia lantas meremat rambut hitam lelaki di atasnya dengan refleks. Seolah meminta maaf, Jihoon lalu menjilat lembut puting cokelat itu dan mencumbui area sekitar dadanya. Soonyoung tidak mengerti, ia seolah tengah mengawang di surga sekarang. Ah, ia ingin sekali mencium bibir Jihoon lagi, tapi bibirnya tak bisa bicara sekarang.
Erangannya mulai berisik saat Jihoon mempercepat gerakan. Pinggulnya sesekali melengkung dan jari-jari kakinya menukik, menandakan ia telah dekat dengan pelepasan.
Jihoon menarik diri dari atas tubuh Soonyoung, memandang puas mahakaryanya yang sudah tercetak indah di kedua dada dan leher jenjang sang sahabat. Ia semakin mempercepat tempo kocokan, sampai akhirnya Soonyoung benar-benar menjemput puncaknya. Punggungnya melengkung indah, fabrik kain terlepas dari bibir cantiknya demi meloloskan desahan nikmat—yang segera Jihoon bungkam dengan bibirnya sendiri.
Soonyoung mengalungkan lengan di sekitar leher Jihoon, meremat rambutnya selagi bibir dengan rakus melumat ranum yang sejak tadi ingin ia cumbu.
Kemaluannya berkedut sakit (namun juga sangat nikmat) di dalam genggaman Jihoon, sementara sperma menutupi perutnya yang tercorak hickey.
Soonyoung terengah begitu tautan bibir mereka terlepas. Kini, ia mulai terbiasa dengan tatapan gelap Jihoon. Ia suka. Ia ingin berenang di kolam gelap itu. Bersama Jihoon ia rela meski harus tenggelam sekalipun.
Jihoon memandangi jari-jarinya yang berlumuran sperma, kemudian menyodorkannya ke hadapan wajah Soonyoung. Tanpa berkata sepatah pun, memasukkan jari telunjuk dan tengahnya ke cela bibir bengkak itu. Dan Soonyoung, dengan senang hati mengulum dua jari itu lagi. Membersihkan sisa-sisa cairan asin yang melekat di sana. Tak hanya telunjuk dan jari tengah, ia masukkan juga jari manisnya. Dan Soonyoung terus mengemutnya dengan rela.
Usai semua jarinya bersih kembali, Jihoon kembali meraih pelumas. Membalurkan ke jari-jarinya yang sudah bersih tadi. Soonyoung diam memperhatikan, lubangnya berkedut, seolah meminta agar segera dijamah.
Dan terkabulkan.
Soonyoung kaget saat dua jari Jihoon menyentuh cincin merah mudanya. Menekannya pelan—namun bertenaga—dan masuk perlahan-lahan ke dalam.
Soonyoung memejamkan mata, menggigit bibir bawah begitu rasa sakit menghampirinya. Dan semakin menjadi seiring semakin dalamnya jari itu menerobos masuk.
“Sakit?” Jihoon bertanya tenang.
Soonyoung hanya mengangguk, tak sanggup menjawab. Hanya rintihan yang mampu ia keluarkan, serta air mata yang entah sejak kapan telah mengalir ke pipi.
“Tahan. Gue bakal bikin lo enak habis ini.”
Soonyoung percaya saja. Ya, dia selalu percaya pada Jihoon.
“Rilex, Princess.” Jihoon menenangkan sembari menciumi paha Soonyoung lagi. Tak ada gigitan, hanya ciuman selembut awan yang membawa Soonyoung melayang ke langit.
Jari ketiga masuk, dan jemari Soonyoung tak berhenti meremas seprai di bawahnya sampai carut-marut berantakan. Kakinya menukik begitu Jihoon mulai bergerak maju mundur.
“Mmhh ... sakit, Ji ....”
Jihoon tak menjawab, ia tampak fokus menggerakkan jarinya di dalam sana, seolah tengah mencari-cari sesuatu. Sampai ketika ia menyentuh sebuah spot yang membuat punggung Soonyoung kembali melengkungkan, saat itulah ia tersenyum.
“Oh? Di sini?” Maka ia percepat gerakannya. Menumbuk titik itu berkali-kali dengan konsisten sehingga membuat Soonyoung tak henti-hentinya meloloskan desah, memanggil nama Jihoon berkali-kali seolah lupa bahwa di bawah sana ada ibunya yang sedang menjemput mimpi.
“Gue suka lo ngedesahin nama gue kayak gitu, tapi kayaknya dinding kamar lo ini terlalu tipis gak, sih?”
Seolah sadar, Soonyoung seketika menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Dan Jihoon, dengan cepat melepaskan bekapan itu.
“Jangan dibekep, gue gak bisa liat bibir lo.”
Akhirnya, dengan susah payah, lelaki yang berbaring itu hanya bisa menggigiti bibirnya saja. Ia yakin itu berdarah, namun rasa sakitnya tak sebanding dengan serangan nikmat tiap kali jari Jihoon membentur prostatnya di dalam sana.
Tak perlu memakan waktu lama bagi Soonyoung mencapai puncak nikmatnya kembali. Ia lagi-lagi berlumuran sperma. Berpikir ia tak akan sanggup kalau harus klimaks sekali lagi, namun sayangnya Jihoon tak berpikir demikian.
“Gue udah buat lo keluar dua kali.”
Soonyoung diam mengawasi dengan mata yang nyaris terpejam lelah. Dengan sekujur tubuh yang lemas bagaikan jeli, Jihoon merentangkan kedua kakinya lebih lebar.
“Mau gue bikin jadi tiga kali gak?”
Soonyoung terlalu lelah untuk memikirkan apa maksud pertanyaan barusan, jadi ia hanya diam sambil terus memburu napas; yang dianggap Jihoon sebagai persetujuan.
Lelaki itu pun berdiri di atas lutut, melebarkan lagi paha kenyal Soonyoung dan mengarahkan penisnya yang sudah dilumuri pelumas ke cincin merah muda yang agak bengkak.
“J-Ji—“
“Ssshtt... rileks, Princess.” Jihoon menekan kepala penisnya di pembukaan gerbang yang berkedut itu. “Gue janji bakal bawa lo ke nirwana malem ini.”
Soonyoung hanya diam, merasai kepala penis Jihoon mulai membelah gerbang masuknya. Menerobos perlahan. Sungguh, sekalipun tadi ia telah digempur oleh tiga jari, namun ketika ada benda asing lain yang ingin masuk lagi, rasanya tetap saja sakit.
Soonyoung menggigit bibir, menatap figur Jihoon yang tak pernah ia percaya tengah melakukan ini padanya. Ia tak pernah berpikir, bahkan dalam mimpi terliarnya pun, akan bercinta dengan sahabatnya sendiri. Di mana Jihoon akan memasukkan batang kemaluannya ke dalam dirinya seperti ini. Soonyoung merasa sedikit aneh, namun di sisi lain juga senang dan... lega?
Ia memejamkan mata erat. Tetes air kembali jatuh dari ujung mata saat benda panjang itu berhasil masuk seluruhnya ke dalam. Soonyoung merasa seperti terbelah dua. Penuh. Sakit. Namun anehnya, ia tak sabar untuk segera digempur kembali.
“Do you trust me, Princess?”
“Yes, I do, Master.”
Karena dirinya baru sadar, ternyata ia menyukai Jihoon.
Jihoon tersenyum perlahan. “Panggilan yang bagus.”
End
'Omake'
Udara pagi yang sejuk bukan kombinasi yang bagus dengan suhu AC yang dingin. Belum lagi di luar sana tengah rintik-rintik.
Jihoon melirik gorden jendela yang ia buka separuh tadi. Di luar sana, langit masih gelap dengan semburat biru tua. Ricik-ricik air membasahi balkon, suaranya menjadi melodi paling syahdu menghantarkan rasa rileks ke tubuhnya yang penat.
Lee Jihoon sudah terjaga sejak pukul empat tadi karena guyuran hujan deras yang mengusik pendengaran. Kini jarum jam sudah menunjukkan ke lima. Suasana kamar masih gelap, namun ia sama sekali tak berniat menghidupkan lampu meja. Soonyoung masih terlelap di dadanya, bernapas pelan seperti seorang bayi. Gelungan selimut abu tebal membungkus tubuh polosnya, menempel hangat pada kulit Jihoon yang juga sama-sama telanjang.
Jihoon menyisir pelan-pelan poni hitam lelaki itu dengan tangan yang dijadikan Soonyoung sebagai bantal. Matanya tak lepas memandangi fitur indah yang masih terlalu betah menjelajahi bunga tidur. Matanya pun beralih pada objek yang paling ia suka; bibir ranum Soonyoung.
Dielusnya persik empuk itu dengan punggung telunjuk. Membuat lingkaran di sekitar bibir merah yang sempurna. Seperti dugaannya, bibir Soonyoung kalau diperhatikan lebih jeli, berbentuk mirip hati. Ia jadi ingat, saat ranum cantik ini melingkari miliknya semalam. Seduktif, adiktif, dan estetik. Ia tak mengerti kenapa, tapi menurutnya itu benar-benar indah sampai ia ingin sekali memotret dan mengabadikannya. Mungkin Jihoon benar-benar akan melakukannya di seks mereka selanjutnya?
Memikirkan mereka akan melakukan hal yang sama lagi seperti semalam sedikit membuat Jihoon terbangun. Kemaluannya yang terbaring di bawah sana sedikit berkedut, ia khawatir Soonyoung akan merasakannya karena paha lelaki itu menempel pada milik Jihoon.
Memikirkan mereka akan melakukan hal yang sama lagi seperti semalam sedikit membuat Jihoon terbangun. Kemaluannya yang terbaring di bawah sana sedikit berkedut, ia khawatir Soonyoung akan merasakannya karena paha lelaki itu menempel pada milik Jihoon.
“Hngh ... dingin ....”
Lamunan Jihoon terbuyar begitu mendengar rintihan lelaki di pelukannya. Soonyoung menggeliat, menenggelamkan diri ke dalam selimut. Seolah mencari sumber kehangatan lebih, tubuhnya semakin ia rapatkan pada Jihoon. Kemudian ia kembali terlelap, dengan tangan yang melingkar di perut sahabatnya.
Jihoon tersenyum, memiringkan tubuh dan menarik lelaki itu ke dalam pelukan. Menghantarkan semua kehangatan yang ia punya sembari mengecupi pelan pipi tembam yang dingin akibat suhu ruangan.
“Lo kenapa gemesin banget, sih?” bisiknya pelan agar Soonyoung tak mendengar.
Jemari lentiknya kemudian mengusap punggung Soonyoung di bawah selimut. Memetakan kanvas mulus yang semalam tidak sempat ia lukisi ciuman. Kemudian semakin turun ... turun terus sampai ia dapat merasakan permukaan kenyal di telapaknya. Jihoon meremasnya pelan sambil terus memerhatikan ekspresi Soonyoung yang masih setenang air danau. Tak ada reaksi, membuat Jihoon semakin ingin berbuat lebih. Diangkatnya paha Soonyoung perlahan ke atas pahanya, sehingga lubang kemerahannya bisa Jihoon jangkau dengan mudah.
Rasanya panas, sedikit becek dan bengkak—sisa spermanya semalam yang ia tumpahkan di dalam sana.
Kemudian tanpa pikir panjang, ia loloskan satu jarinya ke dalam. Tidak sulit karena lubang itu sudah licin dan masih merenggang karena kegiatan semalam.
Kali ini, alis Soonyoung sedikit berkedut, namun ia masih betah bermimpi. Maka, Jihoon masukkan lagi satu jari, dan saat itulah bibir cantiknya mengerang.
“Ji ....” Namanya disebut, namun si pemilik bibir rupanya masih terjebak di dalam bunga tidur. Jihoon penasaran, apa yang tengah dimimpikan sahabatnya itu sekarang ketika ia tengah melakukan ini.
Melakukan ini ketika Soonyoung tengah tertidur membuat Jihoon jadi teringat pada malam itu. Malam ketika ia menginap demi menemani Soonyoung yang sakit karena hujan-hujanan.
Saat itu ia masih belum tidur. Ia juga tahu saat Soonyoung meringsut ke sampingnya di tengah gelap dan diam-diam menciumi tangannya. Meski matanya terpejam, namun ia tahu hal-hal apa saja yang tengah dilakukan sahabatnya itu. Saat itu ia masih belum mengerti—sekalipun sudah bisa meraba apa yang sebenarnya terjadi. Hal itu terus tersimpan di kepalanya tanpa pernah disuarakan. Sampai pada akhirnya Soonyoung mengaku sendiri bahwa dia memiliki fetish pada tangannya.
Saat itu perasaan Jihoon terlalu kacau balau untuk merespon. Bukannya syok, kecewa, atau jijik. Justru, ia malah senang. Senang karena dugaannya selama ini benar.
Dan sekarang, ia mendapatkan Soonyoung dalam pelukannya. Kwon Soonyoung yang selama ini diam-diam ia impikan untuk dimiliki.
“Hngh ... ah—Ji ....” Mata itu akhirnya terbuka. Sedikit linglung dan bingung—kemungkinan ia bingung karena mendapati Jihoon ada di hadapannya ketika ia bangun. Sepertinya memori Soonyoung masih belum berkumpul dengan utuh.
“Ji...hoon?”
Lee Jihoon memasang senyuman manis, “Good morning, Princess.” Lalu menanamkan kecupan lembut pada bibir merah delima itu.
Notes:
Ya segitu aja. Makasih yg dah baca 🫶

woozint on Chapter 2 Mon 03 Nov 2025 02:41PM UTC
Comment Actions