Actions

Work Header

YOUR MARK ON ME

Summary:

"Kamu tandain aku aja tiap hari gini nggak apa kalo bisa bikin tenang."

"I'm so sorry, Leo."

"Eh, serius, aku nggak apa. Mark me, I'll wear it everyday. Proudly."

"You're so silly. Nanti kalo diomelin Seible gimana?" Claude menyebut nama kepala HR mereka.

"Nggak usah berani-berani negorlah kalo kerjaan aku selalu di atas KPI."

"Sombong banget?!"

Notes:

What beta we valo brainrot so hard.

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

 

 

 

 

 

"CLA—CLAUDE ... pelan a-ah ...."

Ada suara bunyi tepukan kulit bertemu kulit yang heboh dari kamar Leo dan Claude malam itu. Ada setelan kantor yang berserakan dari pintu depan sampai kamar utama mereka. Ada Claude yang hanya memakai kemeja putihnya dengan semua kancing yang terbuka sedang melonjak-lonjakkan tubuhnya di atas badan Leo dengan penis mengacung tegak dan menepuk-nepuk perut Leo.

"Kenapa, mm? Mau ah keluar?" tanya lelaki yang rambut terang sewarna mutiaranya telah menempel di dahinya karena keringat. Gerakannya terlalu bersemangat—membuat Leo kewalahan di bawahnya—sama sekali tak terlihat seperti seseorang yang baru saja menghabiskan seharian meeting dengan jajaran BOD.

"Pookie, kalo kamu kayak gitu ya aku bakal cepet keluarnya ah jangan diremes—"

"Kayak ah gimana?"

Claude dengan kekehan dan senyum miring sialannya.

Leo menggigit bibirnya dan memejamkan matanya. Pemandangan di hadapannya sama sekali tidak membantu dirinya yang sedang mati-matian menahan diri untuk tidak muncrat saat itu juga.

Alfa di dalam jiwanya meraung ingin mengambil kendali, tidak sudi dibuat submisif begini. Bagian dari dirinya itu ingin menarik Claude ke bawah kuasanya dan membuat lelaki itu tidak banyak bertingkah seperti ini. Namun sebagian dirinya paham, ia ingin diperlakukan begini. Ingin patuh di bawah kekasihnya yang memegang kuasa penuh akan dirinya malam ini. Rencana lain di benaknya bisa dilakukan kapan saja. Toh mereka sudah berjanji untuk menjadi belahan jiwa masing-masing sedari setengah tahun lalu. Tidak perlu buru-buru. Masih banyak waktu. Sekarang, insting Leo memintanya untuk memohon pada kekasihnya—alfanya.

"Pookie ah, please ... please."

"Ya kalo mau ah keluar, keluar aja."

"Kamu udah deket emangnya?"

"Masih lama."

Sial.

Claude seksi sekali.

Sumpah.

Tubuh liat penuh ototnya mengilap oleh peluh. Gerakannya luwes seperti penari dan Leo adalah panggungnya. Juga penuh tenaga selayaknya lelaki itu tengah melakukan rutinitasnya di pusat kebugaran, fokus dan tidak setengah-setengah. Dan di dalam sana—oh, ia luar biasa. Dari eksterior Claude yang tinggi tegap dan kekar, tidak akan ada yang bisa menebak—tidak boleh ada, hanya Leo Kuga yang bisa—bagaimana ia sangat lembut di dalam selayaknya kain beledu. Claude selalu menjepit Leo dengan sangat ketat dari dalam. Cengkeramannya sangat posesif mau sebanyak apa pun mereka memakai pelumas—benda yang tak perlu mereka pakai jika salah satu dari keduanya adalah omega. Tapi tak ada omega yang bisa seketat Claude, Leo bertaruh. Membuat Leo kini harus mengendalikan dirinya dengan ekstra karena khawatir ia mengeluarkan simpul penis alfanya sebelum Claude mencapai klimaksnya.

"Ya udah pelanin ah. Claude, Pookie, please ...?"

"Bawel."

Setelahnya, sesuatu yang tak pernah Leo bayangkan terjadi: Claude melepaskan diri darinya. Tidak berhenti di situ. Baru saja Leo tersenyum dan berniat untuk duduk atau berganti posisi—ia pikir Claude akan mengajaknya missionary—tapi lelaki jangkung itu melenggang turun dari ranjang dan berjalan menjauh.

Lah?

Ini, aku ditinggal?

"Aku mau buat pasta. Kamu mandi trus susul ke depan aja kalo laper, ya ...."

Leo perlu beberapa detik untuk mencerna situasi bahwa Claude meninggalkannya sendiri di tengah aktivitas seksual mereka yang sedang panas-panasnya. Leo mau keluar barusan, sungguh. Claude meninggalkannya untuk memasak pasta. Dua kondisi ini masih butuh proses di kepalanya.

Hah? Ini serius aku ditinggal?

Leo mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia menatap selangkangannya. Tidak ada tanda-tanda menyerah dari adik kecilnya. Opsi bermain sendiri untuk menuntaskan hasrat juga sudah tidak seseru dulu sebelum ada Claude dalam hidupnya. Maka sudah pasti jawaban dari semua ini hanya satu: guyuran air dingin.

Betul kata Claude tadi—pastilah, ia paham Leo luar dalam—ia harus mandi.

Mungkin setelahnya, Leo bisa berpikir tenang dan mengingat apa yang membuat alfanya menjadi moody begini, sebelum menariknya kembali ke ranjang dan meneruskan kegiatan keduanya yang belum usai.

Iya, begitu saja.

Leo mengaku mengindahkan aroma Claude yang sempat berubah menjadi sedikit masam saat sampai rumah tadi karena ia sudah terlebih dulu diserang dengan beringas sedari mereka menutup pintu ruang tamu. Ciuman kekasihnya seperti orang kelaparan, kedua tangannya menggerayang liar di tubuh Leo, mulutnya tanpa ampun mengerjai Leo seperti ia adalah lembaran wagyu yang bebas diambil di restoran shabu-shabu.

Padahal keduanya sedang di rumah, tidak sedang di kamar mandi perusahaan atau di gudang ATK kantor yang mengharuskan mereka untuk melakukan quickie karena karyawan lain bisa masuk kapan saja. Tidak pula sedang dikejar waktu untuk mengerjakan sesuatu. Namun Claude bertingkah seperti alfa yang sedang birahi. Leo mengingat-ingat kembali siklus kekasihnya. Masih lama kok. Leo dan Claude berbagi siklus birahi yang sama di sekitar bulan Maret dan September setiap tahunnya. Mereka dengan tertib menandai pergerakan siklus tersebut untuk persiapan izin cuti ke kantor dari jauh hari. Maka tingkah laku Claude yang ini, jelas bukan karena pengaruh tersebut.

Tanpa banyak berpikir tadi, Leo oke saja meladeni Claude yang sedang naik begini. tentu saja. Mungkin Claude sedang pusing di kantor dan butuh pelampiasan. Mungkin kekasihnya itu sedang merindukannya, mengingat mereka kerap melembur dalam dua minggu terakhir dan tidak ada waktu bercumbu selain saling menggesekkan diri sampai selesai lalu mengantuk dan tidur sampai pagi. Leo tidak banyak protes, sumpah. Ia menikmati semua sentuhan kekasihnya.

Ia juga sangat merindukan Claude.

Pagi tadi, Leo bangun terlebih dahulu dari kekasihnya dan ia tak ada niat segera beranjak untuk mempersiapkan sarapan mereka berdua seperti biasa. Yang ada, ia menghabiskan beberapa menit waktunya untuk diam menatap kekasihnya yang masih terlelap sambil menghadap ke arahnya.

Lelakinya terlihat indah.

Rambut terangnya terkena sinar mentari pagi yang mencuri masuk dari sela-sela gorden mereka. Tampak semakin bersinar menyilaukan. Tahi lalatnya di dagu bagai sedang mencemooh Leo jika ia tidak mengecupnya di sana. Claude terlihat seperti peri dan Leo Kuga terpaksa jatuh cinta lagi. Sampai satu suara menginterupsinya.

"Tone it down, Boy. You reek of sweetness."

Claude bergumam malas, masih sambil memejamkan mata. Mungkin ia tiba-tiba mencium feromon Leo yang mendadak kasmaran dan tercampur dengan sedikit gairah. Seperti anak yang ketahuan sedang melakukan aksi jahil, Leo terkekeh. Ia mendekat untuk mengecup ujung hidung Claude.

"'Msorry. Can't help it."

Paginya manis. Tidak ada yang salah seingatnya. Kini, Leo turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Masih mencoba mengumpulkan memorinya yang mungkin terlewat. Apa kira-kira yang membuat belahan jiwanya menghentikan cumbuannya tadi? Mungkin Leo terlalu serius berfokus memikirkannya sehingga ereksinya perlahan turun dan alfanya sudah jauh lebih kalem—jujur, barusan ia sempat berpikir untuk mengejar Claude ke dapur dan membuat lelaki itu menungging di pantri untuknya.

Saat lembut air dari pancuran mengenai ujung kepala Leo dan perlahan turun membasuh badannya, saat sedang memejamkan mata untuk menikmati dingin air membelai tubuhnya, Leo seketika tersadar.

Astaga.

Ia tahu apa yang membuat Claude kesal tadi.

Dan jika tebakannya benar, Leo pikir, alfanya manis sekali.

Leo ingat. Tadi siang, ada satu omega perempuan yang menyatakan rasa kagumnya pada Leo. Adalah anak magang di hari terakhirnya. Gadis yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu bekerja menjadi staf Leo dan sudah banyak membantu kinerja para juniornya. Beberapa kali Leo mengajaknya ke rapat presentasi produk supaya anak itu bisa mempelajari bagaimana tugas seorang sales marketing di dunia nyata. Tak menyangka bahwa sang omega menyimpan rasa yang spesial pada dirinya.

Hal ini bukanlah sesuatu yang Leo sembunyikan dari Claude karena kekasihnya melihat sendiri bagaimana saat anak magang itu menghampiri meja mereka saat sedang menghabiskan waktu diskusi sore di toko kopi sebelah lobby gedung kantor. Seible, rekan kerja mereka, pun ada di sana.

"Maaf ganggu tea time-nya, Mas-mas. Maaf juga nggak sopan mendadak samperin Mas Leo tanpa janjian sebelumnya."

"It's okay, Sel. Ngomong aja. Eh, ini nggak apa ada Bapak-bapak ini, ya? Atau kamu mau bicara berdua?"

"Aman, Mas. Saya nggak tau lagi kapan bisa ngomong gini mengingat hari ini hari terakhir saya. Mau bilang aja, saya kagum sama cara Mas handle tim. Saya suka sama Mas Leo—ini cuma pengakuan aja ya, Mas! Jangan ngerasa harus jawab atau apa, saya cuma mau plong aja sebelum ninggalin kantor ini. Saya nggak tau juga Mas punya pasangan atau enggak dan saya nggak mau tau, I swear! I just want to let it out, that's it."

Seible terbatuk. Claude tersedak.

Leo melongo.

Mungkin terlalu lama melongo karena Claude perlu berdeham untuk membuat Leo segera bereaksi, jika tidak, kasihan anak ini. Pasti akan terasa kagok di tengah senior-seniornya begini.

"Makasih banyak, Sel. Appreciated a lot. Saya sama tim kebantu banyak juga ada kamu di sini," jawabnya retoris.

Inginnya ia menjawab Saya sudah ada pasangan, itu, orang ganteng di sebelah kamu. Tapi tak kunjung Leo utarakan karena ia dan Claude tentu saja masih harus backstreet di kantor. Pun di meja mereka ada Seible

"Untung kamu besok udah cabut ya, Sel. Kalo enggak, saya kirim SP langsung nanti malem," ujar Seible berguyon.

Nah, 'kan? Apa Leo bilang.

"E-eh, Mas Seible!? Maaf, Mas."

Mungkin gadis lupa saking gugupnya, bahwa ia baru saja menyatakan perasaan pada seniornya di dalam perusahaan yang melarang hubungan romantis antarkaryawan langsung di depan kepala Human Resource, Seible sendiri. Yang walau terlihat ramah, tidak segan-segan melakukan teguran atau mengeluarkan staf yang melanggar aturan perusahaan. Ia kemudian membungkuk beberapa kali sebagai gestur meminta maaf yang Seible balas dengan lambaian tangan pertanda tidak masalah. Toh ia sudah tidak akan bekerja di sini mulai besok.

Setelah wanita muda itu berpamitan pulang, ketiga pria yang duduk melingkari meja itu terdiam beberapa saat. Kemudian cekikikan sembari menyindir Leo yang disebut banyak penggemarnya. Tidak lama, Claude berpamitan untuk kembali rapat dengan jajaran direksi di lantai dua puluh empat. Tidak ada yang aneh setelahnya. Claude masih baik-baik saja ... kecuali saat ... perjalanan ke rumah keduanya.

Claude sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Leo sekarang ingat.

Sial.

Sial sial sial.

Leo harus segera mempercepat mandinya.

 

 

 

Tidak memikirkan untuk memakai baju lengkap atau menyambar jubah mandi, Leo berjalan cepat menuju ruang tengah. Ia mendapati Claude sedang duduk bersila di atas karpet sambil menggulirkan lini masa sosial medianya. Sudah ada dua piring berisi penne cream cheese di atasnya. Di waktu makan malam mereka yang biasa, menu itu akan membuat liurnya menetes di dalam mulut. Namun kini, mood kekasihnyalah yang membuatnya ketar-ketir.

Claude yang cemburu memang menggemaskan. Namun diamnya Claude bukan sesuatu yang bisa Leo nikmati. Lelaki itu bisa menghilang sampai seminggu untuk menenangkan diri dan kembali seperti tidak ada apa-apa. Sedangkan Leo, Leo selalu butuh kedekatan. Alfa dalam dirinya terlalu teritorial dan posesif untuk harus berjauhan dengan belahan jiwanya.

"Oh?" Adalah reaksi pertama Claude saat melihat Leo berdiri di sampingnya dengan hanya handuk yang melilit malas di pinggulnya. Tetesan air masih turun dari rambut Leo.

"I'm sorry ...."

"Huh?"

"It's only you, Claude. It's just you, you have to believe me, I promise. I nev—"

"Hey, calm down. Kita makan dulu?"

"Nggak selera."

"Makan. Then we'll talk. Or continuing what we're pausing before, mm?"

Suara Claude yang pelan walau ada sedikit nada menggoda di sana, kedua alisnya yang naik, dan tatapannya yang meyakinkan tak ayal membuat Leo menurut. Barusan, alfa Claude yang berbicara. Leo tidak ingin membantah alfanya.

Duduklah Leo di samping Claude. Ikut bersila di atas karpet. Saat mengambil piringnya mendekat, ia dapat mencium bagaimana harum masakan kekasihnya. Laparnya kembali datang sampai perutnya berbunyi nyaring. Claude terkekeh.

"Let's dig in," ajaknya.

Entah Claude memang sengaja memberinya porsi lebih banyak, atau lelaki itu makannya cepat, atau Leo yang terlalu menikmati kunyahannya, namun kekasihnya sudah terlebih dulu membersihkan isi piringnya. Saat Claude beranjak, Leo tiba-tiba panik dan pasti Claude dapat mencium feromonnya yang gusar.

"Ambil minum aja. Terusin makannya, Pup."

Lagi-lagi Leo mengangguk. Alfanya seketika kalem setelah mendengar panggilan sayang dan mendapat satu elusan di puncak kepalanya sebelum Claude pergi ke dapur.

Tidak apa-apa.

Alfanya masih di sini.

Semuanya aman.

Tenang saja.

Tak berapa lama, Claude kembali menghampirinya dengan gelas dan teko kaca berisi air mineral. Namun, lelaki itu tidak duduk di sampingnya, tetapi di atas sofa di belakang Leo. Leo masih melanjutkan makannya dan menyesuaikan duduknya kala Claude berkata Sini, Le, lalu menempatkan diri di belakangnya. Terdengar bunyi embusan angin hangat dari hair dryer yang tidak Leo sadari telah dibawa Claude. Lelaki itu mengeringkan rambut hitam Leo dan menyisirnya dengan jemarinya sendiri.

Nyaman sekali.

Leo hampir ketiduran jika saja tidak ingat untuk minum setelah makan. Gumaman senang tak sengaja ia lakukan karena dirawat begini oleh pasangan sendiri membuatnya merasa disayang sekali.

Oh!

Tiba-tiba, seperti baru diberi kesadaran bahwa ada hal penting yang perlu dibicarakan, ada yang harus ia lakukan untuk menenangkan alfanya, Leo membalikkan badannya.

"Claude, Pookie ...."

"Mm?"

Posisi Leo yang duduk di antara kedua paha Claude yang terbuka dengan kekasihnya yang hanya memakai jubah mandi tanpa ada apa-apa di dalamnya membuat ia berhadapan dengan dada bidang Claude. Ia membawa kedua tangannya untuk mengelus paha Claude, menyingkap apa yang ditutup oleh kimono handuknya yang sebenarnya tak begitu berguna.

"Leo ... what are you doing ...."

Ia tidak menjawab. Masih sibuk mengelus naik turun paha penuh otot Claude yang sekal. Sambil sesekali memainkan ibu jarinya untuk mengusap paha dalam kekasihnya. Ada suara serupa rintihan kecil yang Claude keluarkan. Ada pergerakan pada kain kimono yang menutup pusat tubuhnya. Ada yang berkedut antusias. Ada yang hidup lagi di sana. Leo baru saja makan, tapi menatap tubuh lelakinya di hadapan mata begini kembali membuatnya lapar.

"Tadi katanya mau lanjut yang tadi, 'kan?"

"Iya, tap—shit, Leo ..."

Tanpa ragu, Leo membuka jubah mandi Claude seperti sedang membuka tirai kamarnya di pagi hari. Kemudian tersenyum menatap bagaimana penis Claude menantangnya, seperti sedang mengajaknya bermain. Masih mengelus kedua paha di samping wajahnya, Leo memasukkan penis setengah tegang itu ke dalam mulutnya.

"Rambutnya masih ada yang belum ah kering ini, Le." Claude kembali melanjutkan mengeringkan rambut bagian belakang Leo.

"Mm."

Leo merasakan kekasihnya kian membesar di dalam mulutnya. Ia perlahan melahap seluruh zakarnya sampai ke belakang mulut, masuk ke kerongkongan. Alfanya ini panjang. Maka Leo harus tetap bernapas dan tenang. Jurus andalannya saat sudah relaks adalah dengan bergumam seperti tadi atau menelan ludahnya hingga otot-otot lehernya berkontraksi.

Sukses.

Claude yang sedari tadi masih menyisir lembut rambutnya, kini menjambaknya. Sambil mendesis. Gerakan tangan satunya yang memegang hair dryer terhenti. Leo kini telah mendapat seluruh atensi kekasihnya. Alfa dalam dirinya mengaum senang. Maka, ia kembali mulai bergerak maju dan mundur, menggulirkan lidah dan mencecap, bergumam dan mengerang. Satu tangannya ia turunkan untuk meremas pelir kekasihnya pelan dan menggenggamnya seperti buah itu akan jatuh jika tidak ia pegang.

Semua aksinya mendapatkan reaksi yang memuaskan dari sang kekasih. Claude bisa saja menjadi sangat diam jika itu menyangkut perasaannya yang tidak nyaman. Namun untuk hal begini, lelaki itu cukup vokal untuk mendesah, mengerang, memuji, bahkan mengumpat seperti tadi. Dan semuanya itu mampu membuat alfa dalam diri Leo merasa bangga telah mampu membuat pasangannya seperti ini.

"Enak, Le. Jangan berenti ...." ujarnya saat Leo menatap ke arahnya. Mata tajam Claude sudah beralih menjadi sayu. Sesekali ia menghempaskan kepalanya ke sandaran sofa namun segera kembali tegak seperti tak mau kehilangan momen menatap Leo yang tengah berlutut di hadapannya dengan mulut yang penuh dengan ereksinya.

"Keras juga nggak kamu, mm?"

Leo melepaskan kulumannya dari penis Claude dan menggantinya dengan pijatan tangan. Ia meraba penisnya sendiri.

Keras.

Keras sekali.

Dan ... oh?

"Sengaceng-ngacengnya ini. Basah banget juga."

"Yeah? Mana coba?"

Sinting.

Suara Claude yang serak membuat Leo pusing. Beberapa kali ia mengurut penisnya sendiri dan menyeka cairan bening di ujung penisnya dengan telunjuk dan jari tengahnya lalu ia angkat ke hadapan wajah kekasihnya. Orang gila itu menarik pergelangan tangannya dan memasukkan kedua jari tersebut ke dalam mulutnya. Hisapan Claude dan permainan lidahnya yang menggelitik membuat napas Leo memburu.

Ia butuh Claude sekarang juga.

Butuh berada di dalam Claude, atau Claude di dalamnya, persetan, yang mana sajalah.

"Claude, please ...." Ia beranjak dari posisinya untuk berdiri di hadapan kekasihnya yang kini menatapnya penuh puja. Setelah melepaskan dua jari Leo dari mulutnya, Claude mengecup perut Leo dan menciumi zakarnya yang sudah mengacung tegak.

"Pookie, come on ...," ajaknya. Suaranya hanya serupa bisikan. Saat Claude tampak semakin asyik dengan mainan barunya, Leo baru akan memprotes lagi. Namun, niatnya ditangguhkan karena kini penisnya sudah masuk ke dalam mulut kekasihnya. Isi kepalanya seketika kosong. Semuanya terasa ringan.

Leo menggerakkan pinggulnya pelan, lalu sedikit mendesak. Ia tahu Claude mampu menerimanya. Lelaki itu malah menggerayang pada kedua pipi bokong Leo dan meremasnya, lalu menekannya untuk maju, untuk masuk semakin dalam padanya. Tenggorokan Claude terasa hangat. Ia ingin berada di dalamnya lebih lama, tapi tentu saja Claude tidak membiarkan dirinya lama-lama terlena.

Dan apakah Leo pernah sebut jika kekasihnya memiliki tindik di lidah?

Oh, efek logam itu saat bertemu dengan lubang penisnya rasanya luar biasa.

Alfanya itu menggerakkan satu telapak tangannya turun. Terus turun sampai ke lubang analnya, lalu memijat perineumnya. Leo menggeram. Kemudian merintih. Kacau. Claude terlalu lama. Ia mendesis kala satu jari Claude memasukinya. Lalu dua. Kemudian tiga. Secara refleks, Leo membuka kedua kakinya lebih lebar. Tidak ada perlawanan berarti dari tubuhnya karena ia memang sudah mempersiapkan diri di kamar mandi tadi dengan banyak pelumas di lubangnya. Pun diserang dari depan dan belakang sekaligus begini membuat kakinya lemas. Sepertinya ia harus memohon untuk dipangku ke ranjang. Tapi tidak, kamar tidur masih terlalu jauh. Leo ingin digagahi di sini.

Sekarang juga.

"Claude—Alpha, please ... Give it to ah me."

Setelah bunyi vulgar dari berpisahnya mulut Claude dari penis Leo terdengar, lelaki itu menengadah untuk bertanya, sembari malas-malasan mengurut pelir Leo bagai anak yang masih tidak mau berpisah dengan mainannya, "Di sini aja, ya? Aku nggak akan lama ini, Pup. Udah di ujung banget."

Ia melirik pada satu tangan Claude yang tidak sedang berada di dalam rektumnya kini sedang menggenggam zakarnya kuat-kuat seperti takut jika tidak diremas begitu, batangnya itu akan terbang atau mungkin muncrat tak terkendali. Leo terkekeh.

Mereka sama saja.

Gawat.

"Thank God. Come here, Claude."

Leo menarik Claude untuk berdiri lalu menarik tengkuknya sebelum mencium—melahap—bibirnya. Ciuman mereka terlalu serakah untuk dikategorikan romantis. Terlalu banyak lidah. Terlalu sembrono. Claude merengkuhnya begitu rapat. Keduanya harus memutus tautan bibir keduanya dengan desahan kala pusat tubuh mereka bergesekan di bawah sana. Handuk Leo sudah entah ke mana dan kaitan kimono Claude sudah terlepas entah sejak kapan.

Dengan sembarangan, Leo merebahkan dirinya di pegangan sofa dan membuka kedua kakinya lebar-lebar. Claude tertegun menatapnya sepersekian detik sambil menelan ludahnya—Leo tersenyum miring melihat bagaimana jakun Claude naik-turun kala memandangnya—sebelum akhirnya menarik bantal-bantalan sofa ke dekat Leo dan menyimpan salah satu di belakang kepalanya. Memastikan Leo nyaman. Diperlakukan bak putri begitu membuat Leo berkedut berkali-kali di bawah sana.

Ayo.

Cepatlah.

Tidak tahan.

Leo mau cepat dimasuki.

"Alpha ...." Jurus andalannya yang lain: menatap Claude sambil memohon dan memegangi kedua kakinya dengan tangan sambil mengangkang lebar. Total submisif. Seperti omega.

Terbukti berhasil.

Alfa Claude menggeram. Leo merinding. Juga bersemangat.

Ia menggeliat saat tubuh Claude mendekat. Keduanya mengerang saat pusat tubuh mereka bersatu. Leo refleks mengalungkan kakinya di pinggul Claude posesif. Jika sejam yang lalu kekasihnya terasa hangat dan ketat dari dalam, kali ini Claude terasa keras dan lezat di dalam tubuh Leo. Denyutan otot-otot kelaminnya yang menahan ejakulasi dapat Leo rasakan dari dalam. Ia refleks menjepit Claude di dalamnya. Kedua lengannya ia kalungkan ke punggung kekasihnya. Instingnya tidak mau sang alfa menjauh sebelum tuntas dengannya.

"Leo, Darling ...."

"Mm? A-ah, Claude—"

"Enak ah banget kamu."

"Iya?"

"Banget. Nggak ah kuat aku. Gimana dong?"

"Keluarin kalo nggak kuat."

"Kamu?"

"Mau keluar. Bentar lagi ah keluar."

"Go on, Babe. Keluarin pejunya buat aku, alfanya kamu—"

Jorok.

Mulut Claude kotor.

Tapi itu juga yang membuat Leo melengkungkan punggungnya dan mengerang kencang. Ia mencapai klimaksnya dengan intens. Maninya memenuhi perut. Pelukannya pada Claude mengetat penuh tenaga.

Jika kekasihnya bukan alfa, tentu lelaki itu tidak akan mampu bergerak. Tidak bagi Claude. Lelakinya itu masih menggerakan pinggulnya dengan lihai dan terus melesak keluar masuk tubuh Leo. Lalu ia merasa gigitan kencang di perpotongan leher dan bahunya. Napas pendek-pendek dan erangan serak Claude bisa ia dengar tepat di telinganya.

"Leo ... Darling, Puppy, My Alpha—"

Astaga.

Leo bisa berdiri lagi kalau begini.

"Let it out, Alpha. Come on ah for me."

Hanya seperti itu. 

Seperti anjing yang menuruti perintah majikannya, Claude bergetar di atas tubuhnya. Namun, sebelum Leo semakin mengetatkan pelukannya, Claude melepaskan dirinya. Ia mendesahkan nama Leo berulang kali sambil menegakkan tubuhnya dan mengocok penisnya sampai isinya tumpah di perut dan dada Leo.

Claude keluar cukup banyak. Beberapa cipratannya mengenai pipi dan dagu Leo. Sebelum kekasihnya mengelap maninya di wajah Leo, ia lebih dulu menyekanya dengan jemari kemudian memasukannya ke dalam mulut. Semuanya dilakukan dengan saling bertatap puas dengan partnernya. Tatapan mereka terlalu intens sampai Leo tidak menyadari bahwa usapan ringan yang terasa di tubuhnya adalah kekasihnya yang sedang menyebarkan sperma mereka yang sudah tercampur baur ke seluruh permukaan perut Leo. Sampai ke leher-lehernya.

Leo memiliki belahan jiwa yang sama posesifnya dengan dirinya.

Manis sekali.

Ia terkekeh.

Claude Clawmark menandai Leo Kuga sebagai miliknya. Seharusnya tidak perlu, karena toh Leo sudah tidak akan ke mana-mana lagi. Tapi jika ini membuat Claude tenang, maka Leo akan pasrah saja. Ia menikmatinya, omong-omong. Dihakpatenkan begini rasanya seksi.

Rasanya diinginkan.

Leo benar-benar harus menahan diri atau ia akan kembali ke rencana semula dan mendorong Claude untuk menungging di pantri dan menggaulinya di sana. Di saat yang sama Claude mengecup beberapa titik di dadanya. Lalu lelaki itu mencium Leo lagi di bibir. Ia bisa merasakan aroma dan cairan keduanya yang bercampur di dalam mulut.

Leo merintih.

Tanpa dikontrol, ia kembali berejakulasi untuk yang kedua kali. Tidak terlalu banyak seperti yang pertama, namun tetap membuatnya kaget. Ia mengumpat sambil berusaha mengatur napasnya. Claude mengangkat satu alisnya.

"Kotor banget kamu," komentar Claude sambil berdecak tak percaya. Ia mengambil cairan baru dari atas perut Leo dan mengusapkannya di perutnya sendiri. Senyumnya miring. Leo mengumpat lagi. Ia memilih untuk memejamkan matanya daripada melihat pemandangan seseksi itu di hadapannya dengan risiko harus ereksi lagi. Penisnya butuh istirahat barang satu jam.

"Nggak papa. 'Kan dikotorin kamu."

"Dikotorin apa dikontolin, mm?" bisik Claude di atas bibir Leo.

"Anjing, itu mulut ngomongnya ...."

Claude terkekeh. Wajahnya merah. Mungkin Leo juga sama. Rasanya hangat menjalari pipi. Kekasihnya mengulurkan tangan untuk membantu Leo berdiri. Lelaki itu menyelipkan rambut abu tua Leo ke belakang telinga dengan wajah sangat kasmaran. Leo harus menggigit lidahnya dan menahan raungan alfa di dalam dirinya untuk tidak menindih Claude saat itu juga.

"Mandi lagi jangan, Bub?"

"Kamu tuh belum mandi dari balik kantor, Clark. Keburu angot-angotan."

Claude hanya tersenyum malu-malu sambil menyeluduk ke perpotongan leher Leo.

Bayi besarnya ini, memang.

Keduanya berjalan ke kamar mandi di dalam kamar mereka dengan Claude yang mengekor di belakang Leo sambil memeluk pinggangnya erat. Tentu saja dengan adegan tersandung-sandung dan sempat juga menabrak meja karena Claude yang terlampau menggelayut manja dan Leo tidak sempat lihat ke depan karena selalu ingin menoleh untuk menciumi bibir lelakinya. Walau akhirnya keduanya sampai juga di depan wastafel untuk cuci muka.

Claude masih menciumi lehernya saat Leo bengong menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Selain tubuhnya yang sudah pasti bau feromon Claude, kekasihnya itu banyak meninggalkan bekas gigitan di lehernya juga di lengan atasnya. Ada banyak bekas hisapannya di leher, rahang, tulang selangka, bahu, dekat puting, dan entah di bagian mana lagi yang tidak terlihat oleh pantulan cermin mereka.

"Clark, astaga," ujarnya sambil mengusap pelan semua tanda yang alfanya berikan. Claude menatap pantulan mereka di cermin, dan menatap ke mana arah usapan tangan Leo di tubuhnya.

"Woah, Pup ... kamu kayak abis dimakan singa gitu ih!?"

"Kamu singanya. Singa rabies."

Keduanya terbahak. Claude mengecup bahunya sambil menggumamkan maaf. Leo menjulurkan tangannya untuk mengelus kepala Claude. Ia tersenyum sembari mengelus jalinan tangan Claude di atas perutnya.

Pantulan tubuh nyaris telanjang mereka—Claude masih mengenakan kimononya yang tidak terikat—terlihat serasi. Warna rambut keduanya yang bertolak berlakang. Beda tinggi tubuh mereka. Banyak perbedaan namun tetap saling melengkapi. Terima kasih pada Claude yang adalah kuncen pusat kebugaran yang bawel meminta Leo untuk work out dan menjaga dietnya setiap hari, kini mereka memiliki tubuh fit dengan otot liat dan banyak kotak-kotak di perut.

Leo anggap mereka adalah pasangan yang sempurna.

"Claude ...."

"Mm?"

"Kamu tandain aku aja tiap hari gini nggak apa kalo bisa bikin tenang."

"I'm so sorry, Leo."

"Don't be sorry that you're not an omega. Karena aku juga bakal sedih dengan sebab yang sama nantinya."

"Roger, Capt."

"Eh, serius, aku nggak apa. Mark me, I'll wear it everyday. Proudly."

"You're so silly. Nanti kalo diomelin Seible gimana?" Claude menyebut nama kepala HR mereka.

"Nggak usah berani-berani negorlah kalo kerjaan aku selalu di atas KPI."

"Sombong banget?"

Keduanya menghabiskan waktu di kamar mandi lebih dari sewajarnya. Karena ada rindu yang masih harus dibayar dan ada hati yang harus dibuat merasa aman. Buku-buku jemari tangan dan kakinya kisut, tapi Leo tidak akan protes. Kekasihnya yang merajuk cemburu membuatnya semakin candu.

 

 

 

*

 

 

 

Di pantri kantor keesokan harinya, Leo berpapasan dengan Seible saat sedang menyeduh kopi. 

"Mas, buset, lu nggak ngajuin cuti aja? Buset leher lu—"

"Mm?"

"Lu lagi birahikah? Bau lu ... bau Mas Claude banget. Lu nggak diapa-apain sama dia, 'kan? Kalo ada apa-apa bilang gue, Mas—wait, bau lu berdua nyampur ... eh, anak monyet ya, lu pada! Sejak kapan?! Kenapa nggak cerita-cerita ke gue? Gue temen lu sebelum jadi HR lu ya, setan! Najis lu bau banget—ngewe sampe pagikah?"

Leo Kuga terbahak. 

Sedikit menyesal, seharusnya ia melakukan ini sedari lama.

 

 

 

*

 

Notes:

AKU KOTHORRRRRRRR~

On a serious note, I'm glad to be back in this slimey smutty fic way. 🤤 Wish I could make my vtuber fics 10 before 2025 ends. Amen!
Also, thank you for the kudos and for reading. Means the world. 🥺🫶🏼