Actions

Work Header

The child who shouldn't exist

Summary:

Orang bilang setiap jiwa punya satu warna.

Putih untuk yang suci. Hitam untuk yang terkutuk.

Lalu bagaimana dengan abu-abu? Mereka yang terjebak di antara—goyah, menunggu jatuh ke sisi mana pun dengan satu pilihan salah.

Tapi dia... berbeda.

Jiwanya tidak putih, tidak hitam, tidak abu-abu.
Jiwanya menyala emas.

Emas yang membakar. Emas yang menghapus. Emas yang melenyapkan dari eksistensi itu sendiri.

—markas besar Vatikan -14 tahun lalu—

"Jadi saya bertanya, tuan-tuan.."mephisto mengibarkan foto itu dengan kebanggaan hakiki—foto seorang anak kecil yang sedang diikat dimeja operasi dengan tabung dan selang.namun jika dilihat lebih serius terdapat warna emas yang menyala dari kedua mata anak itu."Haruskah kita menghancurkan satu-satunya senjata yang bisa membunuh iblis secara permanen? Atau haruskah kita... memeliharanya?"

"Dan siapa"angel bertanya "yang akan bertanggung jawab atas senjata ini? Siapa yang bisa menjamin dia tidak akan berbalik melawan kita?"

"Shiro Fujimoto."

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Chapter Text

Pelabuhan tampak sepi di pagi hari. Kabut tebal menyelimuti area dermaga, menciptakan atmosfer yang mencekam. Kontainer-kontainer besar berdiri seperti monumen raksasa, bayangannya samar di balik kabut. Suara ombak menghantam dermaga terdengar bergema, bercampur dengan suara aneh—sesuatu yang tidak natural.

Sebuah van hitam berhenti di pinggir area pelabuhan. Shiro dan Naruto turun dengan cepat.

"Tim exorcist ada di mana?" Naruto bertanya sambil mengamati sekitar dengan mata tajam.

"Sektor C. Mereka sudah mengamankan perimeter." Shiro menjawab sambil membuka bagasi mobil, mengambil dua koper besar berisi peralatan exorcist. "Tapi mereka tidak bisa mendekat. Iblis itu terlalu cepat berpindah host."

Naruto mengangguk, tangannya terulur—dan dari balik jaket yang ia kenakan, ia mengeluarkan sesuatu.

Sebuah **katana panjang dengan sarung hitam kelam**. Namun yang aneh—sepanjang bilah katana itu (meskipun masih tersarung), ada **rantai-rantai emas tipis dengan seal berbentuk kanji** yang melilit dari hilt hingga ujung sarung. Seal itu bersinar samar dengan cahaya keemasan—pertanda bahwa senjata ini bukan senjata biasa.

"Kau bawa *itu*?" Shiro menatap katana dengan tatapan was-was. "Apa perlu sampai segitunya?"

"Kalau iblis tingkat Upper Second dengan kemampuan parasit?" Naruto menyeringai tipis sambil mengikat katana itu di pinggangnya. "Better safe than sorry, Oyaji."

Shiro menghela napas tapi tidak protes lagi. Ia tahu—lebih dari siapa pun—bahwa senjata itu bukan hanya sekadar katana.

Mereka berjalan memasuki area pelabuhan, melewati kontainer demi kontainer. Kabut semakin tebal, visibility turun hingga hanya beberapa meter.

"Naruto-sama! Fujimoto-sama!"

Seorang exorcist muda berlari mendekat dengan napas tersengal. Seragam True Cross Order-nya basah oleh keringat dan... darah.

"Laporkan." Shiro berkata tegas.

"Kami sudah kehilangan tiga host. Iblis itu berpindah sebelum kami sempat mengeksekusi. Dan..." Exorcist itu menelan ludah dengan susah. "...dua rekan kami terluka parah. Salah satu bahkan... mungkin sudah terinfeksi."

Naruto langsung menatap tajam. "Di mana korban dan tim kalian sekarang?"

"Gudang B. Kami mengunci area itu untuk mencegah penyebaran."

"Good call." Naruto mengangguk, lalu menatap Shiro. "Oyaji, handle tim exorcist dan evakuasi korban yang belum terinfeksi. Aku akan masuk dan handle iblis-nya."

"Sendirian?" Shiro mengerutkan dahi. "Naruto—"

"Aku lebih cepat sendirian. Dan kau tahu aku bisa handle ini." Naruto tersenyum—tapi bukan senyum hangatnya yang biasa. Ini adalah senyum seorang predator yang sedang berburu. "Lagipula... kalau aku sampai kesulitan, *yang* akan keluar dengan sendirinya."

Shiro terdiam. Ia tahu apa yang Naruto maksud dengan "*yang*"—kekuatan mengerikan yang tersembunyi di dalam diri Naruto. Kekuatan yang bahkan membuat Satan sendiri menjauh.

"...Baiklah. Tapi jangan sampai *itu* keluar kecuali benar-benar emergency." Shiro berkata dengan nada serius.

"Deal." Naruto mengangguk, lalu berlari cepat menuju Gudang B.

---

## Di Dalam Gudang B - The Hunt Begins

Gudang besar dengan langit-langit tinggi. Cahaya remang-remang masuk dari jendela-jendela yang pecah. Di dalam, beberapa exorcist berdiri dengan posisi defensif, senjata mereka teracung ke arah tengah gudang.

Di sana—seorang pria paruh baya dengan seragam pelabuhan—berdiri dengan postur aneh. Kepalanya tertunduk, tubuhnya bergetar, dan dari mulutnya keluar suara-suara yang tidak manusiawi.

"Khe... khehe... KHEKEKE..." Tawa iblis yang mengerikan.

"Naruto-sama!" Salah satu exorcist berbisik saat melihat Naruto memasuki gudang. "Kami belum bisa menembak. Host-nya masih hidup."

"Mundur. Semua." Naruto berkata dengan tenang—tapi ada aura authoritas yang membuat semua exorcist langsung menurut tanpa bertanya.

Mereka mundur ke tepi gudang, memberi ruang untuk Naruto.

Naruto melangkah perlahan ke tengah gudang, tangannya belum menyentuh katana di pinggangnya. Matanya—mata biru cerah yang biasanya hangat—kini berubah tajam, fokus, dan... bersinar samar dengan cahaya keemasan.

"Oi, parasit kotor." Naruto berkata dengan nada santai—terlalu santai untuk situasi seperti ini. "Keluar dari tubuh itu sekarang, atau aku paksa keluar dengan cara yang tidak menyenangkan."

Pria yang dirasuki itu mengangkat kepalanya—dan matanya sudah berubah hitam pekat dengan pupil merah menyala.

"Khehe... Seorang exorcist bocah? Kau pikir aku takut padamu?" Suara iblis itu bergema—suara berlapis yang membuat bulu kuduk berdiri.

"Bocah?" Naruto menyeringai. "Kau salah info, kawan. Aku **Uzumaki Naruto. Paladin Termuda True Cross Order. Dan exorcist yang paling kau tidak ingin temui hari ini.**"

Iblis itu terdiam sejenak—seolah mengingat sesuatu—lalu tiba-tiba tubuh host bergetar hebat.

"U-Uzumaki...?! Kau... kau yang..."

"Oh, jadi kau dengar tentangku?" Naruto mengangkat alis, senyumnya melebar. "Bagus. Itu membuatnya lebih mudah."

Tiba-tiba—**mata Naruto berubah.**

Pupilnya yang biasanya bulat normal berubah menjadi **pupil vertikal seperti mata rubah**—tapi yang aneh, sclera (bagian putih mata) tetap putih bersih, tidak hitam seperti mata iblis. Dan iris birunya mulai bersinar dengan **cahaya emas yang intens**.

Ini bukan mata iblis. Ini adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang **lebih tua,Lebih primordial.**

Dan yang paling mengerikan—dari tubuh Naruto mulai memancar aura emas transparan yang berbentuk seperti... Udara yang terkondensasi atau apakah itu energi spiritual? Aura itu bergerak-gerak seperti api, tapi tidak panas—malah memberikan sensasi tekanan yang luar biasa.

"**Kenjutsu Spiritual: Shinseigan.**" (神聖眼 - Sacred Eyes)

Naruto berbisik dengan nada rendah—dan di detik berikutnya, **ia bisa melihat SEMUA.**

Di penglihatannya, dunia berubah. Ia bisa melihat:

- **Jiwa manusia host** yang bersinar putih kebiruan di dalam tubuh pria itu

- **Jiwa iblis parasit** yang berwarna hitam keunguan, melilit seperti ular di sekitar jiwa host

- **Garis-garis energi spiritual** yang menghubungkan iblis ke Gehenna

- **Titik lemah** dari ikatan iblis dengan host

"Found you." Naruto berbisik.

Iblis itu langsung panik,Tahu jika ikatan yang dibuatnya ditemukan."T-Tidak mungkin! Kau bisa melihatku?! Manusia tidak bisa—"

"Sayangnya,Aku bukan manusia lho." Naruto memotong dengan dingin.

Tangannya terulur—dan sesuatu yang SANGAT ANEH terjadi.

Dari telapak tangannya, muncul rantai-rantai emas bercahaya yang terbentuk dari energi spiritual murni. Rantai itu bergerak dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk seperti ular—menembus tubuh host tanpa melukai fisiknya—dan langsung melilit jiwa iblis yang tersembunyi di dalam!

Sringg!!

krattt!!!

Rantai emas itu membelit tubuh manusia dan Naruto langsung menariknya kearahnya, meregangkan nya sekuat mungkin dan berusaha menarik apapun yang ada didalam host.

"GYAAAAHHHH!!!" Manusia yang dirasuki Iblis itu berteriak kesakitan—meskipun terlihat kejam tapi Naruto tahu jika yang berteriak adalah jiwa iblis, bukan jiwa manusia yang didiami oleh host itu.

Srakk..

Pria host itu tiba-tiba ambruk, tapi sebelum jatuh, salah satu exorcist menangkapnya.

"Host aman!" Exorcist itu melaporkan.

"Good." Naruto menarik tangannya—dan rantai emas itu menarik keluar jiwa iblis dari tubuh host!**

Iblis itu—sekarang terlihat dalam wujud aslinya, seperti lintah raksasa berwarna hitam dengan puluhan tentakel—terseret keluar dan terikat erat oleh rantai emas Naruto.

"I-Ini tidak mungkin! Kau... kau bukan exorcist biasa! Kau..." Iblis itu menatap Naruto dengan mata penuh ketakutan. "...kau punya kekuatan ITU! Kekuatan yang bahkan Satan-sama takut untuk menyentuh mu!"

Mendengar pernyataan iblis dan pengakuan sepihak dari penjahat membuat Naruto menyeringai—seringai lebar yang membuat curse mark di pipi nya menyempit dan membuat wajahnya sangat mirip dengan binatang bernama rubah.

"Bingo. Sekarang..." Ia menarik katana dari sarungnya—dan di detik itu, rantai-rantai seal yang melilit katana itu pecah dengan bunyi gemerincing.

**SRING!**

Bilah katana itu terekspos—dan seluruh gudang tiba-tiba dipenuhi dengan cahaya keemasan,tekanan spiritual juga menyeruak ke udara membuat siapapun merasakan beban yang luar biasa berat. Sekedar untuk bernafas atau memikirkan apa yang membuat Bilah katana itu bersinar dengan intensitas cahaya emas yang —hampir membutakan.

"Kamui no Yaiba. (神威の刃 - Blade of Divine Authority)

Naruto mengayunkan katana itu dengan gerakan yang indah dan presisi—

!SLASH!

Iblis itu terbelah menjadi dua—terpotong di udara dengan presisi yang mengerikan. Tetapi bukan darah atau jeritan yang mengikuti. Bukan pula asap hitam khas yang menandakan kepulangan iblis ke Gehenna.

Tidak ada portal yang terbuka.

Tidak ada energi yang tersedot kembali ke dunia iblis.

Hanya... kekosongan.

Keheningan yang mencekam.

Kehampaan yang absolut.

Partikel-partikel tubuh iblis itu mulai memudar—bukan menghilang seperti kabut, tetapi terhapus seperti tinta yang dihapus dari kertas. Dan di detik terakhir kesadarannya, iblis itu merasakan terror yang belum pernah ia rasakan dalam ribuan tahun eksistensinya.

Ia tidak akan respawn.

Ia tidak akan kembali ke Gehenna untuk pulih.

Ia akan terhapus dari eksistensi. Sepenuhnya. Selamanya.

"GYAAAAAHHHHH—!" Itu adalah Teriakan terakhir iblis itu sebelum berhenti selamanya —karena tubuhnya mulai hancur menjadi partikel cahaya hitam yang menghilang.

Bukan hanya mati. Tapi Dihapus dari eksistensi.

Tidak ada tubuh. Tidak ada sisa. Bahkan koneksinya ke Gehenna terputus sepenuhnya.

Sringgg...

Naruto memasukkan kembali katananya ke sarung—dan rantai-rantai seal otomatis melilit kembali, menyegel kekuatan katana itu.

Cahaya emas di matanya perlahan memudar, pupilnya kembali normal.

Ia menghela napas panjang, lalu berbalik ke arah exorcist yang masih terdiam dengan tatapan tidak percaya.

"Urusan selesai. Evakuasi korban. Bersihkan area. Laporkan ke Vatican kalau iblis Upper Second Class sudah —dieliminasi permanen."

"P-Permanen...?" Salah satu exorcist berbisik. "Maksudnya... dia tidak akan respawn di Gehenna?"

"Yep." Naruto tersenyum—kali ini senyum hangatnya yang biasa. "Dia sudah tidak ada lagi. Sepenuhnya terhapus"

Semua exorcist terdiam. Mereka tahu—tidak ada exorcist normal yang bisa melakukan itu.Bahkan exorcist setingkat Paladin hanya bisa membunuh iblis dan mengirim mereka kembali ke Gehenna untuk respawn.

Tapi Naruto?

Ia bisa menghapus eksistensi iblis sepenuhnya.

Itulah mengapa Vatican membutuhkannya. Itulah mengapa ia diberi gelar Paladin di usia muda.

Dan itulah mengapa... bahkan Satan takut padanya.

---

## Di Luar Gudang - Setelah Pertempuran

Shiro menunggu di luar dengan ekspresi khawatir. Saat melihat Naruto keluar dengan santai—bahkan masih merapikan ikatan rambutnya—ia menghela napas lega.

"Selesai?" Shiro bertanya.

"Selesai. Clean. Tidak ada korban jiwa." Naruto menjawab sambil menguap. "Ugh, aku lapar. Onigiri Rin masih ada kan?"

Shiro tersenyum tipis. "Kau ini... habis bertarung dengan iblis Upper Class tapi yang dipikirkan cuma onigiri."

"Priorities, Oyaji. Priorities." Naruto nyengir lebar.

Tapi saat mereka berjalan kembali ke mobil, Shiro bertanya dengan nada serius. "Kau pakai *Shinseigan* dan *Kamui no Yaiba*?"

"Harus. Iblis parasit tidak bisa dibunuh dengan cara biasa tanpa korban host." Naruto menjawab sambil menatap tangannya. "Lagipula, aku sudah bisa kontrol dengan baik sekarang. Tidak seperti dulu yang... kau tahu."dan menghentikan bahunya.

Shiro terdiam. Ia masih ingat—bertahun-tahun lalu, saat Naruto pertama kali menggunakan kekuatan itu dan hampir... kehilangan kewarasanya.

"Vatican pasti akan minta laporan lengkap lagi." Shiro bergumam.

"Biarkan saja. Toh mereka juga butuh aku." Naruto mengangkat bahu cuek. "Yang penting sekarang... aku mau pulang, makan onigiri Rin, terus tidur siang."

Shiro tertawa kecil. "Kau tidak berubah, Naruto."

"Yep. Dan aku nggak mau berubah." Naruto tersenyum hangat. "Karena kalau aku berubah... aku takut Rin dan Yukio tidak akan mengenaliku lagi."

---

**Bersambung...**

---

# DATA BOOK KEKUATAN NARUTO -

## 1. **Shinseigan (神聖眼 - Sacred Eyes)**

- Kemampuan untuk **melihat jiwa, energi spiritual, dan eksistensi**

- Bisa membedakan jiwa manusia dan iblis

- Bisa melihat titik lemah spiritual

- **Pupil berubah vertikal seperti rubah + iris bersinar emas**

## 2. **Spiritual Chain Manipulation**

- Rantai emas yang terbentuk dari energi spiritual murni

- Bisa **menembus fisik tanpa melukai** dan langsung mengikat jiwa

- Digunakan untuk ekstraksi iblis parasit tanpa membunuh host

## 3. **Kamui no Yaiba (神威の刃 - Blade of Divine Authority)**

- Katana yang disegel dengan rantai spiritual

- Saat dilepas, bisa memotong eksistensi.

- Membunuh iblis **secara permanen** (tidak respawn di Gehenna)

- Inilah yang membuat beberapa iblis tingkat rendah sampai tinggi takut dan kabar terbaru termasuk Satan.

## 4. **Aura Emas (Divine/Primordial Energy)**

- Bukan demonic power
- Bukan holy power dari Assiah
- Sesuatu yang lebih tua—kemungkinan:

- Warisan dari eksperimen Section 13
- Kekuatan keturunan
- kemungkinan Hybrid antara Angel + Demon + sesuatu yang belum teridentifikasi.

 

Untuk fisik Naruto memiliki usia jauh lebih tua dari Rin dibawah shura dan sangat cepat menangkap informasi tinggi 190 cm dan sering menggunakan pakaian tanpa lengan yang mempertontonkan bisep dan otot diperutnya.

Satu lagi..dia takut jarum suntik.

Chapter 2: Secangkir teh didalam ancaman Vatikan

Summary:

Di tengah momen langka kebahagiaan keluarga Okumura, Naruto dipanggil ke medan perang—iblis parasit telah menginfeksi tujuh exorcist, dan hanya dia yang mampu menghentikannya tanpa menambah korban. Vatikan membutuhkan kemampuan uniknya: melihat iblis tanpa harus membunuh inangnya.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

# **7 JAM SEBELUM CHAPTER 1 DIMULAI**

---

**[Biara True Cross — Ruang Makan, 06:15 Pagi]**

Pagi itu, sinar matahari merayap malas melalui jendela ruang makan, melukis segala sesuatu dengan cahaya emas yang hangat. Naruto duduk santai di ujung meja dengan secangkir teh hijau mengepul di tangannya, mata biru cerahnya fokus pada buku tebal berbahasa Latin yang judulnya terlalu rumit untuk dibaca orang awam.

*Codex Daemonium: Tractatus de Natura Gehennae.*

Jari-jarinya membalik halaman dengan gerakan terlatih, membaca dengan kecepatan yang mustahil bagi seseorang yang biasanya tertidur di kelas. Sesekali ia menggumam pelan dalam bahasa Latin—lancar, sempurna, seolah itu bahasa ibunya sejak lahir.

Atmosfer damai melingkupi ruangan.

Terlalu langka untuk bertahan lama.

# **SCENE REVISION: RIN'S MORNING ENCOUNTER**

---

**[Biara True Cross — Ruang Makan, 06:15 Pagi]**

**DRAP... drap... drap...**

Suara kaki terseret malas menuruni tangga. Rin Okumura muncul dengan rambut hitam mencuat ke segala arah seperti sarang burung yang habis diterjang badai, mata setengah terpejam, dan menguap selebar gua. Kaos tidurnya miring, satu kaki celananya засунут ke dalam kaus kaki entah kenapa.

"Huaaaahm..." Ia menggaruk perut sambil berjalan gontai melewati ruang makan menuju dapur, kepala menunduk, masih 70% tidur. "Laper... mau susu..."

"Yo, Rin."

Suara itu—cheerful, familiar, tapi *seharusnya tidak ada di jam segini*—melayang dari arah meja makan.

Rin tidak merespon. Masih dalam autopilot mode pagi hari, ia terus berjalan menuju lemari es dengan mata setengah tertutup.

Naruto—yang duduk santai di ujung meja dengan buku Latin tebal dan secangkir teh—menatap adiknya dengan senyum geli. "Pagi, Rin~ Tidur nyenyak?"

Masih tidak ada respon. Rin membuka lemari es, meraih karton susu, menuangnya ke gelas dengan gerakan zombie.

"Rin, aku ada di rumah loh~" Naruto mencoba lagi dengan nada singsong.

Rin mengangguk setengah sadar. "Hmmm... iya... pagi..."

Ia meneguk susu. Menaruh gelas. Berbalik untuk kembali ke kamar.

Lalu—

Otaknya memproses.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

**KREK—**

Rin membeku di tengah langkah. Kepala perlahan—sangat perlahan seperti robot yang rusak—menoleh ke arah meja makan.

Naruto duduk di sana. Senyum lebar. Melambaikan tangan. Seperti hal yang paling normal di dunia.

"......"

Mata Rin melebar perlahan.

Semakin lebar.

Semakin lebar lagi sampai hampir keluar dari rongga mata.

"...Tunggu."

Ia mengedipkan mata. Sekali. Dua kali. Tiga kali dengan cepat seperti sedang reboot sistem.

"Tunggu tunggu tunggu tunggu—" Rin menggosok matanya dengan keras, menatap lagi. Naruto masih di sana. "NARUTO-NII?! KAU DI *RUMAH*?! PAGI-PAGI?! JAM SEGINI?!"

Naruto menutup bukunya dengan gerakan santai, senyum lebar otomatis terpasang seperti default setting. "Yo, Rin! Pagi yang indah ya~"

"PAGI YANG INDAH APAAN?!" Rin menunjuk dengan jari gemetar, susu nyaris tumpah dari gelas yang masih dipegangnya. "KAU—KAU KAN BIASANYA UDAH MENGHILANG DARI JAM LIMA PAGI! KEMANA AJA SELAMA INI?! JANGAN BILANG KAU JADI YAKUZA,KAU JADI MAFIA! ATAU PUNYA KEHIDUPAN GANDA ATAU—"

"Whoa whoa whoa!" Naruto tertawa, mengangkat kedua tangan dengan gesture menyerah. "Calm down, Sherlock! tarik Nafas dulu! Kau mau pingsan!"

 

"Jawab pertanyaannya ku!" Rin menarik kursi dengan dramatis dan duduk di seberang Naruto, menatapnya dengan mata menyipit penuh curiga. "Ayo Ngaku!"

Naruto menggaruk pipinya dengan jari, senyum agak gugup—gesture langka yang hanya muncul saat ia sedikit cornered. "Ahaha... ketahuan ya?"

"JELAS KETAHUAN!"

"Okay okay!" Naruto mengangkat tangan menyerah. "Aku lagi ada... penelitian kecil-kecilan. Tapi sekarang udah selesai kok! Jadi hari ini aku bisa full-time jadi kakak idaman di rumah!"

"Penelitian?" Rin mengernyitkan dahi, keingintahuannya terusik. "Penelitian apaan? Kau kan bukan tipe orang nerd kayak Yukio yang suka baca-baca buku tebal gitu."

Naruto melirik buku Latin di sampingnya—betapa irony—lalu kembali menatap Rin dengan senyum yang sedikit lebih lembut.

"Aku lagi meneliti... fenomena alam yang sangat langka," jawabnya dengan nada yang lebih serius dari biasanya. "Sesuatu yang harus dilindungi. Dijaga. Agar tidak punah atau..." Matanya menatap Rin dengan intensitas yang membuat adiknya sedikit tidak nyaman. "...dieksploitasi oleh pihak yang salah."

Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang protektif, possessive, dan sedikit berbahaya.

Tapi Rin tidak menangkapnya.

"Fenomena alam?" Rin memiringkan kepala seperti anjing bingung. "Maksudnya kayak... hewan langka gitu? Atau tumbuhan? Wah, boleh aku ikut lihat?! Kayak seru banget!"

Naruto terdiam sejenak—sangat singkat, hampir tidak terdeteksi—lalu senyumnya melebar lagi, kembali ke mode ceria.

"Sesuatu seperti itu," jawabnya sambil menyesap teh, mengalihkan pandangan ke jendela. "Sesuatu yang... sangat,sangat berharga. Kalau sampai jatuh ke tangan yang salah, bisa sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari yang kau bayangkan."

Rin tidak terlalu paham, tapi matanya berbinar penasaran. "Wah, sepertinya keren banget! Nanti kapan-kapan ajak aku ya! Aku juga mau liat 'fenomena alam' itu!"

Naruto tertawa—tawa yang terdengar tulus tapi ada nada pahit yang sangat tipis di baliknya. Ia meraih kepala Rin, mengacaknya dengan gemas sampai lebih berantakan dari sebelumnya.

"Ya, ya! Kapan-kapan kita lihat bareng-bareng!" Naruto menyeringai lebar, mata biru jernihnya—lebih jernih dari punya Rin—menatap adiknya dengan perhatian penuh.

"Tapi sekarang yang penting... kau laper kan? Mau aku buatin sarapan?"

"JANGAN!" Rin langsung melompat dari kursi dengan reflex menyelamatkan spatula dari tangan kakaknya. "Nii-san masak itu sama aja bunuh diri! Aku yang masak!"

"Kejam banget sih~" Naruto cemberut palsu. "Padahal aku udah improve lo!"

"Improve dari 'level bioweapon' jadi 'level racun standar' itu bukan improv, Nii-san!"

**DRAP... DRAP... DRAP...**

Suara langkah kaki teratur—sangat berbeda dari Rin—turun dari tangga. Yukio Okumura muncul dengan seragam sekolah sudah rapi sempurna, kacamata terpasang, rambut tersisir, dan tas sudah di bahu. Postur tegak. Ekspresi dewasa. The perfect student.

"Ohayo, Rin. Nii-san." Yukio menyapa dengan sopan sambil menyesuaikan kacamatanya—gesture yang sudah otomatis.

"YO, YUKIOOO!" Naruto melambaikan tangan enthusiastic. "Adik favoritku yang paling rapih!"

"Aku bukan favorit. Kau bilang semua orang favorit," Yukio menjawab datar sambil duduk di kursi dengan postur sempurna. "Dan aku belum sarapan. Rin, kau masak apa?"

"Onigiri!" Rin sudah berlari ke dapur dengan semangat berapi-api. "Kemarin aku belajar dari Bu Yamada! Tunggu ya!"

Naruto dan Yukio terdiam, saling menatap.

"...Seberapa besar pilihan kita untuk survive?" Naruto bertanya serius.

"Mengingat track record Rin... 50-50," Yukio menjawab dengan nada prihatin.

"I'll take those odds."

Beberapa menit kemudian—diiringi suara kacau dari dapur, umpatan frustrasi, dan satu 'ADUH PANAS!'—Rin kembali dengan nampan berisi onigiri yang... bentuknya chaos incarnate.

**BRAK!**

"TADAAA! Onigiri spesial ala Rin Okumura!" Ia meletakkan nampan dengan bangga yang sangat tidak proporsional dengan kualitas visual hasil karyanya.

Ada onigiri yang terlalu besar sampai kayak bola softball. Ada yang gepeng kayak ditimpa buku. Ada yang norinya robek sampai isinya tumpah. Ada yang... entah itu onigiri atau modern art.

Naruto menatap dengan ekspresi blank. "Rin."

"Apa?"

"Ini... dijadiin senjata lempar seperti nya lebih efektif?"

"NARUTO-NII JAHAT!" Rin lempar sendok kayu—yang dengan santai ditangkis Naruto tanpa melihat.

"Reflex!" Naruto menyeringai, lalu mengambil onigiri yang paling gepeng dengan keberanian seorang martir. "Tapi ya sudahlah! Kakak yang baik harus support adiknya! Itadakimasu~"

Ia menggigit.

Mata birunya melebar.

"...Oh."

"OH APA?!" Rin panik. "Jelek ya?! Rasanya aneh?! Aku tahu aku gagal—"

"INI ENAK!" Naruto langsung mengambil satu lagi dengan mata berbinar. "Serius! Rin, kau berbakat! Ini beneran enak!"

"...SERIUS?!" Rin langsung berbinar seperti bintang.

"DUA RIUS!"Naruto memberi acungan jempol dia ditangan kiri dan kanannya.

Yukio mengambil satu dengan skeptis tingkat maksimal, menggigitnya dengan hati-hati seperti sedang mencicipi racun sianida . Ia mengunyah. Pelan,kunyah lagi. Lalu Berhenti. Dan Mengunyah lagi.

"...Mengejutkan. Nasinya tidak terlalu asin. Isiannya proporsional. Teksturnya—"

"YUKIO JUGA BILANG ENAK!" Rin bersorak, melompat-lompat seperti anak kecil menang olimpiade.

Naruto tertawa, mengacak rambut Rin lagi. "See? Kau tuh punya bakat masak, cuma harus lebih sering latihan! Kalau udah mahir, buka resto yuk! Namanya 'Rin's Kitchen'! Atau 'Okumura Dining'! Atau—"

"'Biohazard Cafe'," Yukio nyeletuk pelan.

"YUKIO!"

Naruto tertawa lepas—tawa yang tulus, hangat, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang langka. Momen seperti ini. Momen sederhana di pagi hari. Makan bersama. Tertawa bersama.

Ini yang kulindungi, batinnya sambil menatap kedua adiknya yang masih berdebat. *Ini yang membuat pekerjaan menjadi sepadan.

"Sentimen tidak akan menyelamatkan mereka,"suara di kepalanya berbisik—dingin, logis.dan untuk sesaat bisa dipercaya.

Tapi ini yang memberi aku alasan untuk bertarung sampai titik terakhir,* Naruto menjawab dalam hati, senyumnya tidak pudar.

Ketenangan rapuh itu bertahan beberapa menit lagi.

Sampai—

**DRAP! DRAP! DRAP!**

 

Suara langkah kaki terburu-buru—sangat berbeda dari biasanya—menggema dari tangga. Shiro Fujimoto turun dengan wajah serius, ponsel masih di tangan, layar menyala dengan notifikasi yang berkedip urgent.

Atmosfer berubah instan.

"Naruto ayo ikut aku."." Suaranya tegas. Tanpa embel-embel. Tanpa basa-basi.

Naruto langsung paham. Senyumnya pudar sekilas—digantikan dengan tatapan tajam yang sangat kontras dengan sikap cerianya—sebelum kembali ceria dengan sangat cepat.

Tapi tidak cukup cepat.

Yukio menangkapnya.

Naruto meletakkan onigiri yang baru setengah dimakan, tapi sebelum ia sempat berdiri, Shiro sudah melangkah cepat dan menarik lengannya.

"Tunggu, Oyaji—" Naruto mencoba protes sambil meraih onigiri. "Aku belum selesai makan—"

"Tidak ada waktu." Shiro menarik dengan kuat, hampir menyeret. "Ini mendesak."

"EH?! SEENGGAKNYA BIARKAN AKU BAWA ONIGIRINYA!" Naruto berbalik dramatis ke arah Rin dengan tatapan panik —ekspresi langka dari si kakak yang terkenal santai. "RIN! SIMPAN SISA MAKANANKU! TUTUP RAPAT PAKAI PLASTIK WRAP! TARUH DI KULKAS! JANGAN—AKU BAKAL KEMBALI—POKOKNYA JANGAN KASIH KE SIAPA-SIAPA! AKU BAKAL LANJUTIN BEGITU PULANG!"

"H-HAH?! O-OKE!" Rin refleks menjawab meski bingung total.

Naruto masih mencoba meraih onigiri sampai detik terakhir, tangannya terangkat dramatis seperti scene tragis di film Titanic. "ONIGIRIIIII-KUUUUUU—!"

**BLAM!**

Pintu tertutup.

Keheningan.

Rin dan Yukio terdiam, menatap pintu dengan ekspresi bingung identik.

"...Apaan sih barusan?" Rin menggaruk kepala, benar-benar lost.

Yukio terdiam lebih lama, mata di balik kacamata menyipit. "Ayah... jarang sekali seserius itu kecuali..."

"Kecuali apa?"

Yukio menggeleng pelan, tapi tatapannya tidak lepas dari pintu. "...Bukan apa-apa."

Tapi dalam hatinya, otak yukio mulai berputar memproses semua kemungkinan buruk yang telah disatukan menjadi satu potongan puzzle.

Ayah dan Nii-san sering menghilang bersama dengan tiba-tiba. Setiap kali itu terjadi, Nii-san pulang dengan wajah lelah yang ia sembunyikan dengan senyum. Dan setiap kali itu terjadi... ada berita tentang iblis yang ditemukan mati di area tertentu.

Apakah ini hanya Kebetulan?

Tapi satu fakta penting yang harus kalian ketahui. Yukio tidak percaya kebetulan.

---

6 jam sebelum chapter 1 dimulai.

**[Mobil Shiro — Jalan Menuju Pelabuhan, 06:47]**

Mobil sedan hitam melaju kencang menyusuri jalan kota yang masih sepi, ban berdecit tajam saat belok. Shiro menyetir dengan fokus tinggi, rahang terkatup erat. Naruto duduk di kursi penumpang, mengikat rambut pirangnya ke belakang dengan gerakan cepat dan terlatih—persiapan pre-mission yang sudah jadi muscle memory.

Atmosfer dalam mobil: tegang, dingin, profesional.

Sangat berbeda dari lima menit yang lalu.

"Jadi?" Naruto membuka pembicaraan dengan nada datar—nada yang sangat kontras dari sikap cerianya di rumah. "Apa yang terjadi kali ini?"

Shiro melirik ponsel di dashboard, layar menunjukkan pesan dari True Cross Order dengan huruf merah: **[URGENT - PALADIN REQUIRED]**.

"Aktivitas iblis tingkat tinggi terdeteksi di distrik pelabuhan sejak tadi malam," Shiro menjawab tegas. "Beberapa Exorcist dari Mid-Knight Class sudah dikirim sejak jam empat pagi. Mereka tidak ada yang kembali."

Naruto mengerutkan dahi, jari-jarinya berhenti mengikat rambut. "Tidak ada yang kembali? Sama sekali?"

"Sama sekali." Shiro menggenggam setir lebih erat. "Komunikasi terputus jam lima. Vatican meminta *kau* secara spesifik."

"Tingkat berapa?"

"Upper Second Class minimum. Tapi Vatican suspect ada kemungkinan First Class—atau lebih tinggi."

Naruto bersandar di kursi, mata biru cerahnya berubah tajam dan dingin.ada sedikit nada bosan yang terselip dalam nada bicaranya."Kalau cuma Second Class, Arc Knight harusnya bisa handle. Kenapa minta aku?"

Shiro terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Dia tahu betul Naruto paling benci kalau family time-nya diganggu. "Karena iblis itu tipe Parasit. Bersarang di dalam tubuh manusia, berpindah-pindah host dengan kecepatan luar biasa. Exorcist biasa tidak bisa mendeteksinya tanpa membunuh hostnya terlebih dahulu—dan kami sudah kehilangan tiga warga sipil karena kesalahan identifikasi."penjelasan darinya membuat kerutan didahi Naruto berkurang.

Dan Meskipun rasa jengkel masih terukir di wajahnya, Naruto langsung tahu bahwa masalah ini tidak bisa diabaikan lagi. "Dan kalian butuh aku karena aku bisa 'melihat'nya tanpa harus membunuh siapa pun."

 

"Tepat." Shiro mengangguk. "Kau satu-satunya yang bisa melakukannya dengan presisi tinggi. Vatican tidak mau ambil risiko korban lebih banyak—terutama setelah insiden Kyoto kemarin yang jadi mimpi buruk."

Naruto menyeringai sinis, menatap keluar jendela pada kota yang masih damai dan tidak tahu apa-apa. "Dasar. Mereka selalu seperti itu."

"Naruto—"

"Kalau butuh 'senjata presisi', panggil Naruto," ia melanjutkan dengan nada mengejek. "Kalau ada pekerjaan kotor dan berisiko tinggi, panggil Naruto. Kalau ada yang harus masuk duluan ke zona bahaya, panggil Naruto. Tapi kalau ada penghargaan, promosi, atau pengakuan publik..." Ia tertawa pahit. "...mereka lebih suka kasih ke orang yang 'bersih'. Yang nggak punya 'metode kontroversial'."

Shiro meliriknya dengan tatapan prihatin—tatapan yang sudah ia tunjukkan ribuan kali. "Kau tidak harus melakukan ini terus, Naruto. Kau bisa menolak. Kau sudah melakukan lebih dari cukup."

"Dan biarkan orang-orang tidak bersalah mati?" Naruto menggeleng, tatapannya mengeras. "Aku bukan tipe orang yang bisa tidur nyenyak kalau tahu ada yang bisa kulakukan tapi tidak kulakukan."

Shiro tersenyum tipis—senyum yang penuh kebanggaan dan kesedihan di saat bersamaan. "Kau terlalu baik untuk dunia ini, Naruto."

"Mungkin," Naruto menjawab pelan, menatap tangannya sendiri. Tangan yang sudah tidak terhitung berapa banyak iblis yang ia bunuh, berapa banyak nyawa yang ia selamatkan, berapa banyak rahasia yang ia kubur.

"Tapi setidaknya... aku bisa melindungi orang-orang yang ku sayangi"

Ia menoleh ke Shiro, matanya berkilat berbahaya.

"Termasuk Rin."

Shiro terdiam mendengar nama itu.

Atmosfer dalam mobil semakin berat.

"Ngomong-ngomong..." Naruto melanjutkan dengan nada lebih serius. "Ada update dari Vatican tentang... kondisi Rin?"

Shiro menggenggam setir sampai buku jarinya memutih. "Belum ada perubahan signifikan. Api birunya masih tersegel dengan baik oleh Kurikara. Tapi Mephisto mengirimkan laporan kemarin malam—ada fluktuasi kecil yang terdeteksi."

"Fluktuasi?" Naruto langsung alert. "Kapan?"

"Kemarin sore. Saat Rin berkelahi dengan anak-anak yang menyiksa burung. Kau tahu sendiri bagaimana Rin kalau menyangkut hewan."

Naruto menghela napas panjang, mengusap wajah dengan frustasi. "Emosi tinggi memicu fluktuasi... Klasik. Flame of Satan 101."

"Vatican mulai... gelisah," Shiro melanjutkan dengan hati-hati. "Ada beberapa pihak—terutama dari Grigori—yang mulai mendesak untuk 'mengambil tindakan preventif'."

Naruto langsung menatap Shiro dengan tatapan yang membuat suhu dalam mobil turun drastis. Mata birunya yang biasanya hangat kini menyala dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

"Tindakan macam apa?" Suaranya yang datar membawa suasana dimobil semakin mencekam. Terlalu datar untuk seseorang yang terkenal ramah dan senang menggoda saudara-saudara nya.

"Kau tahu sendiri." Shiro menjawab dengan nada berat. "Eksekusi preventif. Atau isolasi permanen di Gehenna Gate yang di bawah Vatikan. Mereka takut Rin jadi Satan kedua."

Keheningan melanda.

Kemudian—

"Over my dead body."

Naruto mengucapkannya dengan nada yang begitu dingin, begitu final, sampai Shiro bisa merasakan sesuatu di udara—menekan aura spiritualnya sampai batas maksimal yang membuat bulu kuduk berdiri.

Selama setengah detik, mata Naruto berkilat *emas**.

"Selama aku masih bernafas," Naruto melanjutkan dengan senyum yang tidak mencapai mata—senyum yang lebih menakutkan daripada ancaman verbal, "tidak ada siapa pun—Grigori, True Cross, Vatican, bahkan Satan —yang boleh menyentuh Rin. Kalau mereka berani..."

Ia tidak melanjutkan.

Tidak perlu.

Implikasinya sudah sangat, sangat jelas.

Shiro tidak menjawab. Ia tahu lebih dari siapa pun—bahkan lebih dari Vatican—bahwa Naruto tidak pernah main-main. Bocah yang bersikap ceroboh dan sembrono di rumah itu bisa menjadi sesuatu yang jauh, lebih mengerikan saat menyangkut miliknya.

"Jangan khawatir," Shiro akhirnya berkata, suaranya lebih lembut. "Selama aku masih Paladin, tidak ada yang bisa menyentuh Rin. Dan selama *kau* masih ada... Vatican tidak akan berani bertindak sembarangan. Mereka tahu apa yang terjadi kalau kau lepas kendali."

Naruto tersenyum tipis—senyum yang pahit tapi genuine. "Good. Karena kalau mereka berani..."

Ia menatap keluar jendela, pada kota yang masih damai.

"...mereka akan menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan dari Satan."

*"Benar,"* suara di kepalanya berbisik dengan nada... bangga? *"Kami akan pastikan mereka tidak pernah terlahir kembali."*

*Damn right,* Naruto menjawab dalam hati, senyumnya melebar sedikit.

Mobil terus melaju, meninggalkan biara yang hangat—menuju pelabuhan yang dingin, gelap, dan penuh dengan kematian yang menunggu.

Di balik senyum hangatnya, Naruto Uzumaki menyimpan sesuatu yang bahkan Satan takut untuk hadapi secara langsung.
---

**[Bersambung ke Part 2: The Hunter's True Face]**

Notes:

Semakin banyak kamu memberikan pujian semakin cepat aku memberikan pembaharuan cioo👍

Chapter 3: Hanya kau,aku dan makanan yang tau.

Summary:

Dibalik topeng wajah ceria yang diperlihatkan oleh kakaknya,Yukio tahu jika dia memiliki sesuatu yang membuat orang melihatnya sebagai monster. Dari makanan yang tidak bisa ditolerir sampai kebutuhan akan daging iblis yang terus meningkat yang dia sendiri tidak bisa prediksi.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Malam Penuh Rahasia
Malam menyelimuti rumah keluarga Fujimoto dengan keheningan yang mencekam. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahaya keperakan pada setiap sudut halaman belakang. Di kejauhan, terdengar gonggongan anjing yang segera teredam kembali oleh sunyi.

Kresek. Kresek. KRING—

Suara logam beradu memecah keheningan. Seseorang sedang memanjat pagar besi setinggi tiga meter di belakang rumah.

Shiro Fujimoto—yang kebetulan belum tidur—menoleh tajam ke arah suara. Matanya menyipit, tangan refleks bergerak ke saku tempat ia menyimpan rosario. Instingnya sebagai Paladin langsung tersulut.
Tapi kemudian ia melihat siluet yang familiar.

Sosok bertubuh ramping dengan hoodie menutupi kepala, bergerak dengan kelincahan yang tidak wajar—terlalu cepat, terlalu mulus untuk manusia biasa. Cahaya bulan hanya menangkap bayangan wajahnya, tapi ada sesuatu yang berkilau di dalam kegelapan hoodie itu.

Sepasang mata berwarna emas.
Bersinar redup. Predator. Tidak sepenuhnya manusiawi.

"Naruto."

Suara Shiro tenang tapi tegas, memotong malam dengan autoritas yang tak terbantahkan.

Figur di atas pagar terhenti sejenak, kepala menoleh ke bawah. Cahaya emas di dalam hoodie berkedip sekali—seperti hewan nokturnal yang tertangkap cahaya senter—sebelum sosok itu melompat turun.

BRUUK...

Mendarat sempurna dengan lutut sedikit tertekuk, menyerap benturan tanpa suara berlebihan. Debu nyaris tidak terusik. Gerakan yang terlalu presisi, terlalu terlatih.

Bukan cara anak muda biasa turun dari pagar.

Naruto berdiri tegak, menyingkap hoodie dari kepalanya dengan gerakan santai—terlalu santai untuk seseorang yang baru tertangkap basah pulang tengah malam. Rambut pirangnya berantakan, beberapa helai menempel di dahi yang berkeringat.
Tapi yang paling mencolok—
Mulutnya masih mengunyah sesuatu.
Rahangnya bergerak perlahan, methodical, mengunyah dengan cara yang membuat Shiro tidak nyaman meski ia sudah terbiasa melihatnya.

"Oh, Ayah." Naruto menelan—gerakan tenggorokan yang jelas terlihat, terlalu keras untuk sekadar makanan biasa—lalu tersenyum lebar. "Masih bangun?"

Matanya sudah kembali normal. Biru cerah khas Uzumaki. Tidak ada lagi cahaya emas itu.

Tapi Shiro tahu apa yang barusan ia lihat.

"Apa kau menemukan sesuatu?" Shiro bertanya langsung pada inti masalah, melewatkan basa-basi. Nadanya tetap datar tapi matanya menyelidik—mengamati setiap detail: cara Naruto berdiri (terlalu waspada), cara tangannya bergerak (siap bertarung kapan saja), cara pupilnya melebar sedikit di kegelapan (masih dalam mode berburu).

Naruto mengangkat bahu, mengacak rambutnya sendiri dengan tangan—gerakan casual yang kontras dengan ketegangan di bahunya. "Tidak ada yang mencurigakan sejauh ini," jawabnya sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong hoodie.
Paket plastik kecil.

Berisi potongan daging mentah berwarna merah gelap.

Ia membukanya dengan gerakan praktis, mengambil sepotong tanpa ragu, lalu memasukkannya ke mulut dengan santai—seperti orang makan camilan biasa.

Bunyi kunyahan terdengar terlalu jelas di malam sunyi.

Shiro menahan ekspresinya tetap netral, meski perutnya sedikit bergejolak. Ia sudah terbiasa. Seharusnya sudah terbiasa. Tapi melihat anak angkatnya memakan daging mentah—di tengah malam seperti ini...

Beberapa hal tidak pernah menjadi mudah untuk disaksikan.

"Mungkin besok aku akan tanya Gaara untuk detail lebih lanjut," Naruto melanjutkan sambil mengunyah, kemudian menawarkan paket itu ke depan wajah Shiro dengan senyum nakal. "Mau?"

Buk..

Shiro merespons dengan tendangan di tulang kering—tidak keras, hanya cukup untuk menepis tangan Naruto—sambil menatapnya dengan tatapan yang berkata jangan-coba-coba.

"Maaf, maaf," Naruto tertawa kecil, menarik tangannya kembali. "Aku cuma bersikap sopan, Ayah."

"Dasar kau ini," Shiro menggeleng pelan, tapi ada sedikit kehangatan di balik nadanya yang kering.

Mereka berdiri di sana sejenak—ayah dan anak di bawah cahaya bulan—berbagi momen aneh yang sudah menjadi rutinitas rahasia mereka.
Momen yang tidak akan pernah diketahui Rin atau Yukio.

Tidak boleh mereka ketahui.
Karena beberapa rahasia terlalu berbahaya untuk dibagi.

—Pagi yang Tidak Biasa—

Cahaya pagi merayap masuk melalui celah tirai, menggambar garis-garis keemasan di lantai kayu ruang tamu. Burung-burung berkicau riang di luar—kontras tajam dengan keheningan mencekam di dalam rumah.

Terlalu sunyi.

Terlalu tenang.

Ada yang tidak beres.

Sreek...srek..

Rin Okumura turun dari tangga dengan langkah terseret, mata setengah terbuka, rambut hitam berdiri ke segala arah seperti habis kesetrum. Ia menguap lebar—sampai rahangnya berbunyi krek—sambil menggaruk perut yang terekspos karena kaos tidurnya terangkat.

"Huaaaam... ngantuk banget sih..." gumamnya dengan suara serak.

"Mimpi aneh lagi... ada kucing ngomong jadi Ayah... weir—"
Tapi langkahnya berhenti di anak tangga terakhir.

Tubuhnya membeku.

Karena di sofa ruang tamu—
Naruto sedang tidur.

Rin mengerjap. Sekali. Dua kali. Tiga kali cepat seperti loading.

"...Hah?"

Kakaknya—Uzumaki Naruto, si raja tidur yang bahkan gempa tidak akan membangunkannya—terbaring di sofa dengan posisi yang terlihat sangat tidak nyaman.

Satu kaki tergantung dari sandaran. Lengan kiri menutupi wajah. Rambut pirangnya lebih berantakan dari biasanya, menutupi setengah bantal kecil di bawah kepalanya.

Dan yang paling aneh: dia masih memakai jaket.

Jaket training biru favoritnya. Zipper tertutup setengah. Hoodie terlipat di belakang leher.

Rin berdiri di tangga dengan kepala miring seperti anjing bingung.
"...Naruto-nii? Kenapa tidur di sofa?"

Ini sangat aneh.

Naruto pernah bilang—dengan nada serius—kalau tidur di sofa itu "like being tortured, Rin. Seriously. Aku lebih milih tidur di lantai."

Jadi kenapa sekarang dia tidur di sana? Dengan jaket masih menempel di badan?

Rin perlahan turun tangga, hati-hati, berniat membangunkan kakaknya—atau setidaknya lempar bantal ke wajahnya—tapi matanya tertangkap oleh sesuatu.

Kantong-kantong belanjaan.
Banyak. Plastik putih besar tersusun rapi—terlalu rapi—di atas meja. Beberapa tertutup ketat, beberapa terbuka sedikit sehingga isinya samar terlihat.

Rasa penasaran mengalahkan akal sehat.

Rin mendekat dengan langkah pelan, mata menyipit seperti detektif amatir.
Dan apa yang ia lihat membuat dahinya berkerut.

Ini bukan belanjaan biasa.

Kantong pertama: sayuran normal. Wortel, bawang bombay, kentang.

Tapi kantong kedua...

Rin mengangkat plastik transparan tebal yang berisi—
Cairan merah kental dalam kantong medis.Seperti kantong darah yang sering ia lihat di drama medis. Tapi ini bukan darah manusia.

Cairan ini lebih gelap—merah tua seperti anggur tua—lebih kental, dan ada sesuatu tentang cara cairan itu bergerak. Lambat. Terlalu lambat. Seperti punya kehidupan sendiri.
Dan yang paling mengganggu—ada aura aneh yang memancar dari kantong itu. Sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"Apa... ini...?" gumamnya pelan, mengangkat kantong ke arah cahaya dengan gerakan hati-hati.

Cairan bergerak dengan cara yang salah—terlalu kental, terlalu... hidup.
Lalu matanya jatuh ke kantong ketiga.
Daging.

Potongan besar daging—mungkin sapi, tapi ada yang aneh—dengan warna merah cerah yang hampir bercahaya. Terlalu merah. Terlalu segar.

Tidak ada tulang. Tidak ada lemak berlebih. Hanya potongan daging murni dengan presisi bedah—tepi terlalu bersih, terlalu sempurna.
Dan yang paling mengganggu: daging itu masih segar. Mencurigakan sekali segarnya.

Indra penciumannya—yang selalu lebih tajam dari orang normal—menangkap aromanya dengan jelas:
Darah segar yang belum membeku sepenuhnya. Daging yang dipotong maksimal 6-8 jam lalu. Aroma metalik yang sedikit melenceng. Dan di bawah semua itu—aroma sesuatu yang tidak sepenuhnya alami.

Rin merinding.

Ia menatap daging itu dengan campuran takjub dan ngeri, perlahan mengulurkan tangan—
Lalu menariknya kembali karena tiba-tiba takut.

"Supermarket mana yang jual daging kayak gini...?" gumamnya hampir berbisik. "Dan dari mana Nii-san dapetin ini tengah malam? Supermarket tutup jam 9..."
Pikirannya berputar mencari penjelasan logis tapi tidak menemukan apa-apa yang masuk akal.

Rin mengangkat salah satu potongan daging dengan sangat hati-hati, memeriksanya.

Teksturnya sempurna. Terlalu sempurna. Serat otot sejajar dengan presisi tidak wajar. Tidak ada marbling. Tidak ada ketidaksempurnaan.

Ini bukan daging dari pasar. Ini kualitas restoran mewah yang Rin cuma bisa lihat dari luar karena terlalu mahal.

"Dari mana sih Nii-san dapetin—

"Rin."

Suara dingin itu—datar, tanpa emosi, memotong keheningan seperti pisau—membuat Rin melompat.
"UWAH!"

Ia menoleh dengan gerakan whiplash—dan Yukio sudah berdiri tepat di belakangnya.

Dekat. Terlalu dekat. Invasi ruang personal paling dekat.

Wajahnya tenang seperti biasa—tenang yang mengerikan saat Yukio sebenarnya kesal tapi menyembunyikannya—tapi ada sesuatu di balik kacamatanya.
Sesuatu tajam. Sesuatu waspada. Sesuatu hampir... protektif.

Dan yang paling creepy: Rin tidak mendengarnya datang sama sekali.
"YUKIO!" Rin memegang dadanya dramatis, hampir menjatuhkan daging. "JANGAN MUNCUL TIBA-TIBA KAYAK HANTU! JANTUNGKU MAU COPOT TAU!"

Tapi Yukio tidak merespons.

Set...Tangannya terulur cepat—halus tapi tegas—merebut daging dari tangan Rin dengan kekuatan yang sedikit terlalu keras.

"Ini bukan buatmu," Yukio berkata dengan nada datar yang entah kenapa lebih mengerikan daripada kalau dia berteriak.

Rin berkedip, terkejut dengan reaksi abnormal dari adiknya.
"Hah? Emang kenapa? Bukannya ini buat masak—"

"Bukan."

Yukio memotong dengan nada tajam—hampir kasar—menatap Rin dengan intensitas yang membuat kakaknya mundur selangkah.
Ada sesuatu di mata Yukio. Sesuatu yang jarang Rin lihat.
"Ha?

Ketakutan.

Halus. Tersembunyi di balik lapisan tenang. Tapi ada.
"Ini bukan bahan makanan biasa," Yukio melanjutkan dengan suara yang terlalu terkontrol.

Rin mengerutkan kening, rasa ingin tahu malah meningkat. "Lalu buat apa? Emang ini apa? Kok aneh-aneh banget—

"Titipan dariku." Yukio memotong lagi, lebih cepat. "Untuk bahan eksperimen medis. Kelompokku butuh sampel jaringan untuk praktikum. Advanced anatomy class."
Penjelasan itu mengalir terlalu mulus. Terlalu terlatih.

Seperti sudah diucapkan sebelumnya. Berkali-kali.

Rin terdiam sejenak, memproses informasi dengan otak yang masih setengah tidur.

Lalu wajahnya berubah.
Dari bingung... menjadi jijik.
"HAAAAAH?!"

Rin benar-benar melompat mundur, menunjuk daging di tangan Yukio dengan ekspresi horor murni.

"YUKIO! KAU MENJIJIKKAN! KENAPA HARUS PAKAI BAHAN ASLI SEGALA?!"

Ia tidak bisa melanjutkan karena terlalu sibuk terbayang-bayang gambar mengerikan.

Mayat. Kadaver. Formalin. Pisau bedah memotong daging. Darah di mana-mana—
"UWEEEKKK—" Rin membuat suara muntah dramatis, menutup mulut. "GROSS BANGET! Yukio, that's so DISGUSTING! Kau bawa potongan... potongan... BODY PARTS ke rumah?!"
"Untuk pendidikan," Yukio memotong dengan nada datar yang sama, tidak terganggu sama sekali. "Mahasiswa kedokteran butuh sampel asli."

"ITU TETAP JIJIK—"

"Bukan manusia," Yukio menambahkan cepat. Terlalu cepat. "Sampel hewan. Untuk anatomi komparatif."

Rin berhenti. "...Oh."

Jeda.
"Tapi tetap itu menjijik—"
Tapi Yukio sudah bergerak.
Tidak merespons. Tidak menjelaskan lebih lanjut. Tidak memberi Rin kesempatan untuk bertanya lagi.
Ia hanya menatap Rin dengan tatapan yang blank sekaligus intens—tatapan yang hampir... peringatan—lalu berbalik tajam.

"Tunggu! Yukio! Kau belum jelasin kenapa—"

Tapi Yukio sudah berjalan menuju tangga dengan langkah cepat tapi terkontrol—tidak berlari, tapi jelas lebih cepat dari biasa—membawa semua kantong itu dalam gendongan.
"YUKIO!" Rin berteriak lagi.

Tapi adiknya tidak menoleh.

Tidak melambat.

Tidak mengakuinya sama sekali.
Yukio naik tangga dengan kecepatan sedikit tidak wajar—mengambil dua anak tangga sekaligus—menghilang di balik tikungan dalam hitungan detik.
Meninggalkan Rin berdiri sendirian dengan wajah penuh kebingungan, jijik, dan kecurigaan.

"...Apa-apaan sih dia?" Rin menggaruk kepala dengan kedua tangan.
"Eksperimen medis... sampel hewan... itu jelas ada yang aneh..."
Ia berhenti, mengerutkan kening.
Ada yang salah dengan reaksi Yukio.
Sangat salah.

Yukio selalu tenang. Selalu rasional. Selalu mau menjelaskan sampai detail menyakitkan.

Tapi tadi itu?

Itu penghindaran. Jelas, terang benderang.

Rin bukan secerdas Yukio, tapi dia tidak bodoh. Dia bisa tahu kalau seseorang menyembunyikan sesuatu.
Dan Yukio jelas menyembunyikan sesuatu.

Matanya melayang ke sofa—di mana Naruto masih tidur seperti orang mati—lalu kembali ke tangga.
"Nii-san juga aneh..." Rin bergumam pelan. "Tidur di sofa... bawa barang-barang mencurigakan tengah malam..."

Ia berdiri di sana cukup lama, hanya... berpikir.

Mencoba menghubungkan titik-titik yang entah kenapa tidak nyambung.
Lalu akhirnya—
"...Ah, sudahlah."
Rin menggeleng, membuang seluruh rangkaian pikiran karena berpikir terlalu keras pagi-pagi benar-benar menyakitkan.

"Mending aku bikin sarapan aja."
Ia dengan sengaja tidak melirik ke sofa.

Tidak memikirkan kenapa Naruto pulang terlalu malam.

Tidak memikirkan apa isi kantong-kantong itu sebenarnya.
Tidak memikirkan kenapa Yukio terlihat begitu... takut.

Karena beberapa hal—

Beberapa kebenaran—

Lebih baik tidak diketahui,Setidaknya untuk sekarang.

.
..
....
....

Latar :kamar Naruto.

Yukio berdiri di depan pintu kamar Naruto, dada naik turun sedikit—bukan karena kelelahan fisik, tapi dari kecemasan yang perlahan menghimpit tulang rusuknya.

Kantong plastik memotong jarinya karena beratnya. Tangan sedikit gemetar. Napas pendek dan terkontrol.

Ia melirik ke belakang dengan gerakan paranoid—cepat, tajam, memeriksa setiap bayangan—memastikan Rin tidak mengikuti.

Koridor: kosong.

Tangga: sunyi.

Suara Rin dari dapur: jauh, teredam, diiringi dentingan panci.
Bagus.

Setelah yakin aman, Yukio meraih gagang pintu dengan tangan yang masih sedikit bergetar dan memutarnya dengan presisi hati-hati.

KLEK.

Bunyi klik pelan. Hampir tidak terdengar.

Ia masuk dengan gerakan cepat—menyelinap seperti bayangan—dan menutup pintu di belakang dengan keheningan yang sama.

Klik.

Kunci berputar.
Yukio berdiri di sana sejenak, punggung menempel di pintu, hanya... bernapas.

Mencoba menenangkan jantung yang berpacu.

Mencoba menekan kepanikan yang perlahan merangkak naik ke tenggorokan.

"Tenang," ia berbisik pada diri sendiri. "Tenang. Ini rutinitas. Kau sudah melakukan ini puluhan kali."
Tapi tidak pernah menjadi lebih mudah.

Tidak pernah.

Ia memaksa diri untuk bergerak, berbalik menghadap ruangan.
Kamar Naruto terlihat rapi seperti biasa—hampir tidak wajar rapi untuk seseorang dengan kepribadian sekacau Naruto.

Tempat tidur sudah dirapikan dengan lipatan sempurna, meski jelas tidak ditiduri semalam. Bantal tersusun simetris. Selimut terlipat dengan presisi obsesif.

Meja belajar: organized chaos. Buku-buku tebal berbahasa Latin tersusun rapi. Dokumen True Cross Order dengan cap [CLASSIFIED - PALADIN LEVEL ACCESS ONLY] tersebar tapi tetap tertata. Peta Jepang dengan tanda-tanda merah—lingkaran, silang, anotasi dalam tulisan tangan Naruto yang mengejutkan rapi.

Tapi Yukio tidak melirik semua itu.
Dia sudah melihatnya sebelumnya. Sudah menghafalkan setiap detail.
Ia tahu apa yang dilakukan kakaknya di malam hari.

Ia tahu, dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Ia berjalan langsung ke sudut ruangan gelap—tempat yang strategis tersembunyi di balik lemari pakaian besar yang ditempatkan pada sudut aneh.

Observer biasa tidak akan menyadari. Tidak akan berpikir untuk melihat.
Tapi Yukio tahu persis apa yang ada di sana.

Di balik tumpukan buku medis dan kardus berlabel "BARANG LAMA - JANGAN DIBUKA"—
Berdiri sebuah lemari pendingin kecil.

Ukurannya tidak lebih besar dari mini-fridge, tapi desainnya sangat berbeda dari appliance komersial.
Ini unit pendingin tingkat medis.

Industrial. Profesional. Mahal.

Eksterior stainless steel tanpa goresan—terawat teliti. Pintu dengan segel kedap udara yang bisa terdengar desisan lembut saat dibuka. Panel digital di depan yang menyala biru lembut di kegelapan, menampilkan suhu saat ini dengan presisi desimal:
-2.0°C
KELEMBAPAN: 45%
STATUS: OPTIMAL

Yukio meletakkan kantong-kantong belanjaan di lantai dengan gerakan hati-hati—menghindari suara—lalu meraih gagang dengan tangan yang sudah berhenti gemetar.

Ia sudah melakukan ini terlalu sering untuk masih nervous membukanya.
Yang membuatnya nervous adalah apa yang ada di dalam.

Ia menarik.

FSSSHHH—
Udara bertekanan keluar dengan desisan lembut yang terdengar terlalu keras di ruangan sunyi. Udara dingin langsung menyeruak keluar dalam gelombang terlihat, membawa kabut tipis yang mengalir turun seperti efek dry ice, menyebar di lantai dalam julur-julur hantu.

Penurunan suhu langsung terasa tajam. Napas terlihat dalam embusan putih.

Dan isi lemari itu—Daging.

Begitu. Banyak. Daging.

Potongan-potongan daging segar dikemas dengan obsesi dalam kotak styrofoam berlapis plastic wrap, kantong vacuum-sealed dengan label tulisan tangan Naruto (tanggal, klasifikasi, catatan dalam singkatan yang hanya Naruto pahami), dan wadah plastik transparan yang ditumpuk dengan efisiensi Tetris.

Semua dengan kualitas yang terlalu tinggi—terlalu sempurna—terlalu mahal untuk keluarga pastor biasa yang hidup dari donasi jemaat.

Tapi yang membuat perut Yukio bergejolak setiap kali ia membuka kulkas ini—

Bukan jumlahnya.

Bukan kualitasnya.

Melainkan jenisnya.

Karena Yukio tahu—dengan kepastian yang membuatnya mual—
Ini bukan daging sapi.

Bukan daging babi.
Bukan daging ayam atau kambing atau hewan ternak apapun.

Ini adalah daging iblis.

Demon flesh.

Yukio bisa merasakannya—bahkan tanpa menyentuh—karena ia Exorcist terlatih. Karena ia menghabiskan bertahun-tahun mempelajari Fisiologi Demonic. Karena ia belajar merasakan hal-hal ini melalui pengulangan dan paparan yang tidak diinginkan tapi perlu.

Sisa energi demonic masih menempel pada potongan-potongan daging itu seperti residu yang tidak bisa dibersihkan sepenuhnya.

Energi yang lemah—hampir habis—nyaris tidak terdeteksi untuk orang yang tidak terlatih.

Tapi untuk Yukio?
Seperti listrik statis di kulit. Kesemutan halus. Keanehan yang tidak bisa didefinisikan tapi pasti terasa.

Ia mengambil salah satu kotak styrofoam baru yang dibawa Naruto—yang masih sedikit hangat dari berada di luar—membukanya dengan jari yang ingin gemetar tapi ia paksa tetap stabil.

Di dalam—
Potongan daging berwarna merah gelap yang hampir burgundy, dengan tekstur yang sedikit salah dibanding daging normal.

Serat otot sejajar sempurna. Tidak ada variasi acak. Seperti tumbuh di lab, bukan berkembang alami.
Ada urat-urat hitam tipis yang menjalar melalui daging seperti urat obsidian—struktur seperti benang yang tidak seharusnya ada di jaringan hewan normal.

Tanda khas fisiologi iblis.
Bukti yang tidak terbantahkan bahwa ini berasal dari sesuatu yang bukan dari dunia ini.

Yukio merasakan empedu naik di tenggorokan. Gelombang mual yang sudah menjadi teman familiar setiap kali ia melakukan ini.

Ia menelan dengan susah payah, memaksanya turun, bernapas lewat mulut untuk menghindari baunya.
"Naruto-nii..."

Pikirannya nyaris tidak koheren. Campuran kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, dan ketidakberdayaan.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan setiap malam...?"

Ia tahu secara teknis. Tahu Naruto menjalankan misi. Tahu Naruto memburu iblis. Tahu Naruto adalah Paladin—termuda dalam sejarah True Cross.

Tapi ini—

Koleksi daging iblis yang disimpan seperti persediaan makanan—
Ini adalah sesuatu yang berbeda sama sekali.

Dengan tangan yang determinedly steady—latihan membuat sempurna bahkan dalam horor—Yukio mulai menyimpan semua kotak baru ke dalam lemari.

Menumpuk dengan presisi Tetris yang sudah ia sempurnakan selama berbulan-bulan melakukan ini. Mengorganisir berdasarkan tanggal—yang terlama di depan untuk digunakan dulu, yang terbaru di belakang. Menjaga rotasi. Mencegah pemborosan.

Seperti ia sedang menyimpan kebutuhan sehari-hari keluarga biasa.
Kecuali persediaan ini adalah mayat entitas supernatural.

Ia memeriksa label yang Naruto tulis:
"Kelas-2 Atas - Tipe Ghoul - 24/11 - Distrik Gudang - Eliminasi Bersih"

"Kelas-2 Tengah - Varian Hobgoblin - 23/11 - Zona Residensial B - Berantakan"

"Kelas-1 Bawah - Coal Tar (terkondensasi) - 22/11 - Area Pelabuhan - Diserap"

Klinis. Efisien. Profesional.
Seperti laporan misi.
Yang, Yukio duga dengan murung, memang benar demikian.

Ia selesai menumpuk, menata semuanya dengan ketepatan level OCD, lalu perlahan menutup pintu kulkas.

FSSSHHH—
Segel tekanan terkunci kembali dengan finalitas yang terasa terlalu berat.

Panel digital berkedip:
-2.0°C
KELEMBAPAN: 45%
STATUS: OPTIMAL
TINGKAT STOK: 87% KAPASITAS.

Pembacaan terakhir membuat Yukio berhenti sejenak.

87%.

Naruto akhir-akhir ini... sibuk.
Lebih sibuk dari biasanya.
Membawa kembali lebih banyak. Lebih sering. Seolah ia—
—menimbun.

Pikiran itu membuat Yukio merinding yang tidak ada hubungannya dengan udara dingin dari kulkas.

"Kenapa? Apa dia bersiap untuk sesuatu? Apa dia tahu sesuatu yang tidak aku tahu?"

"Berhenti."
Yukio mengatakannya keras, suaranya nyaris berbisik tapi tegas.
Ia tidak boleh terjebak dalam spiral ini. Tidak sekarang.

Ia berdiri, membersihkan lututnya, dan memaksa diri mengalihkan pandangan dari kulkas.

Tatapannya—tanpa sengaja—jatuh pada foto di meja samping.

Foto keluarga. Lama. Dari beberapa tahun lalu.

Tiga bocah kecil tersenyum lebar di depan kamera—terjebak dalam momen kebahagiaan murni yang tidak rumit:

Rin dengan senyum lebar sampai gusinya terlihat karena gigi depannya belum tumbuh kembali—ekspresi kegembiraan murni yang tidak bisa dirusak apapun.

Yukio—bahkan saat anak-anak—dengan ekspresi serius tapi ada sedikit senyum di sudut bibir, mencoba terlihat dewasa tapi gagal karena masih bocah dengan kacamata terlalu besar untuk wajahnya.

Dan Naruto di tengah—tepat di mana ia selalu menempatkan diri, selalu di tengah, selalu di antara adik-adiknya—dengan kedua tangan memeluk kepala mereka dalam headlock ceria, senyum begitu lebar sampai matanya menyipit tertutup, rambut pirang berantakan dari berlarian, noda tanah di pipi dari bermain di luar.

Kebahagiaan murni.

Tanpa beban.

Tanpa rahasia.

Tanpa daging iblis yang disimpan di kulkas tersembunyi.

Tanpa perburuan di malam hari.

Tanpa entitas yang terbelit dalam jiwa yang membutuhkan makan.

Hanya... bocah. Anak normal dengan masa kecil normal.

Yukio merasakan sesuatu yang tajam dan menyakitkan memutar di dadanya.

"Kapan itu berubah?" ia bertanya pada diri sendiri, menatap foto yang tiba-tiba kabur karena matanya menyengat. "Kapan Nii-san berhenti jadi anak kecil bahagia itu dan mulai jadi... ini?"

Dia tahu jawabannya, secara teknis.

Tahu linimasa. Tahu peristiwa. Tahu fakta.

Tapi memahami dan menerima adalah dua hal yang sangat berbeda.

"Maafkan kami, Nii-san..."

Bisikan keluar tanpa izin, suara sedikit retak di tengah, nyaris tidak terdengar bahkan di ruangan sunyi.

"Karena tidak bisa melindungimu... seperti kau melindungi kami."

Karena itulah yang dilakukan Naruto, bukan?

Melindungi mereka.

Setiap malam. Setiap perburuan. Setiap iblis yang dibunuh dan dibawa kembali sebagai makanan untuk entitas yang hidup di dalam dirinya.

Semuanya—

**Semuanya**—

Untuk menjaga Yukio dan Rin tetap aman.

Untuk menjaga mereka tetap polos.

Untuk mencegah mereka menghadapi kengerian yang Naruto hadapi sendirian.

Dan Yukio—

Yukio tidak bisa berbuat apa-apa selain membantu menyembunyikan bukti. Membantu mempertahankan kebohongan. Membantu mengaktifkan sistem yang perlahan menghancurkan kakaknya dari dalam.

"Aku ini pengusir setan," pikirnya dengan getir, akhirnya berpaling dari foto karena tidak tahan melihatnya lagi. "Bahkan tidak bisa menyelamatkan kakakku sendiri dari beban yang dia pikul untuk kami."

Ia berjalan menuju pintu dengan langkah yang tiba-tiba terasa berat—dibebani rasa bersalah dan ketidakberdayaan yang sudah menjadi teman tetap.

Tangan di gagang pintu.

Satu pandangan terakhir ke belakang—

Pada kulkas tersembunyi di sudut.

Pada foto masa-masa yang lebih bahagia.

Pada ruangan yang rapi dan teratur, menyimpan begitu banyak rahasia.

Lalu ia membuka pintu dan melangkah keluar ke koridor, menutup dengan keheningan yang sama seperti saat ia masuk.

**Klik.**

Kunci berputar.

Di luar—

Suara Rin yang bersenandung riang terdengar dari dapur, fals dan ceria, mungkin menyanyikan lagu anime opening dengan buruk sambil mencoba memasak sarapan.

Benar-benar tidak menyadari.

Benar-benar polos.

Benar-benar aman karena ketidaktahuan.

Dan Yukio...

Yukio memilih—seperti yang ia lakukan setiap hari—

Untuk membiarkannya tetap begitu.

Karena beberapa kebenaran—

Beberapa rahasia—

Terlalu berat untuk diketahui.

Terlalu berbahaya untuk dibagi.

Terlalu menyakitkan untuk dihadapi.

Jadi ia akan menanggung beban ini.

Ia akan menjaga rahasia ini.

Ia akan menjadi kaki tangan dalam kebohongan yang menjaga keluarga mereka dari kehancuran.

Karena jika Rin pernah tahu—

Jika Rin pernah mengetahui apa yang sebenarnya hidup di dalam Naruto—

Apa sebenarnya **Naruto**—

Segalanya akan hancur.

Dan Yukio tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Tidak akan membiarkan itu terjadi.

Tidak peduli berapa pun harganya.

---

## **Scene 3: Bangun dari Tidur yang Gelisah**

Di ruang tamu, Naruto perlahan membuka mata.

Tidak dengan gerakan tiba-tiba. Tidak dengan kejutan.

Tapi dengan kesadaran bertahap seseorang yang bahkan dalam tidur, tidak pernah benar-benar lengah.

Matanya—biru cerah seperti langit musim panas—menatap langit-langit dengan fokus yang aneh untuk seseorang yang baru bangun. Tidak ada kebingungan. Tidak ada disorientasi.

Hanya ketenangan yang terlatih.

Ia mendengar suara-suara di rumah.

Rin di dapur—dentang panci, gumaman frustasi saat sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, bau samar sesuatu yang mungkin atau mungkin tidak terbakar.

Yukio di lantai atas—langkah kaki pelan tapi ia bisa mendengarnya, pintu yang tertutup pelan, napas yang sedikit lebih cepat dari biasanya.

*Yukio baru saja masuk ke kamarku*, pikir Naruto dengan kepastian tenang. *Menyimpan... persediaan.*

Ia tidak bergerak. Tidak membuka mata sepenuhnya. Hanya berbaring di sana, mendengarkan.

Merasakan.

**Menunggu.**

Di dalam dirinya—di tempat yang dalam, di sudut gelap jiwanya yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun—

Sesuatu **bergerak**.

Seperti binatang besar yang terbangun dari tidurnya. Meregangkan tubuh. Menguji batasan kandangnya.

Naruto merasakan sensasi familiar itu—tekanan di balik tulang rusuk, panas yang menjalar di pembuluh darah, suara bisikan yang bukan suara di telinganya.

***"Lapar..."***

Bisikan itu seperti ombak. Seperti pasang surut. Selalu ada. Selalu menunggu.

***"Lebih banyak... butuh... lebih banyak..."***

Naruto menutup mata lebih erat, rahangnya mengencang.

*Diam*, ia memerintahkan di dalam pikirannya sendiri, dengan otoritas yang lahir dari bertahun-tahun latihan. *Aku baru memberimu makan tadi malam. Kau akan mendapat lebih banyak nanti.*

Bisikan itu mereda—tidak menghilang, tidak pernah benar-benar menghilang—tapi mundur seperti air yang surut dari pantai.

Menunggu.

Selalu menunggu.

Naruto membuka mata sepenuhnya, menatap langit-langit dengan ekspresi yang terlalu tua untuk wajahnya yang masih muda.

Ia mendengar Yukio turun tangga. Langkah-langkahnya terkontrol seperti biasa, tapi Naruto bisa mendengar ketegangan di sana. Bisa merasakan kekhawatiran yang adiknya coba sembunyikan.

*Maaf, Yukio*, pikir Naruto dengan kesedihan yang tidak pernah ia ucapkan keras. *Maaf kau harus tahu. Maaf kau harus membantu menyembunyikan ini. Maaf kau harus menanggung beban yang bukan milikmu.*

Tapi ia tidak bisa mengubahnya.

Tidak bisa mengubah apa yang ia adalah.

Tidak bisa mengubah apa yang hidup di dalam dirinya.

Yang bisa ia lakukan hanyalah **melindungi** mereka.

Yukio. Rin. Shiro.

Keluarganya.

Satu-satunya hal yang tersisa dari kemanusiaannya.

Jadi ia akan terus berburu.

Terus membunuh.

Terus memberi makan pada monster di dalam dirinya—

Agar monster itu tidak pernah, **tidak pernah**, berbalik pada orang-orang yang ia cintai.

Naruto perlahan duduk dari sofa, meregangkan leher yang kaku dengan bunyi krek pelan.

Ia melirik ke tangga—di mana Yukio baru saja menghilang—lalu ke arah dapur—di mana Rin masih berjuang dengan sarapan.

Dan ia tersenyum.

Senyum yang sama yang ia tunjukkan di foto lama itu.

Senyum yang tidak pernah memudar bahkan ketika segalanya berubah.

Senyum yang ia paksa tetap ada—

Karena jika ia berhenti tersenyum—

Jika ia biarkan kegelapan menang—

Maka monster di dalam dirinya akan menang.

Dan itu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa ia izinkan terjadi.

**Tidak peduli harganya.**

---

The end.....

End...

 

Apakah ada yang mau bonus.

Oke! Lanjutkan!!

 

Epilog...

# Epilog: Sarapan yang "Berkesan"

---

Ruang makan keluarga Fujimoto terlihat damai di pagi itu—atau setidaknya seharusnya terlihat damai.

Cahaya matahari pagi menembus jendela dengan lembut, memantulkan sinar keemasan pada meja kayu yang sudah tua. Burung-burung berkicau di luar. Angin sepoi-sepoi menggerakkan tirai.

Pemandangan idilis rumah tangga Jepang yang harmonis.

Kecuali untuk satu detail kecil yang sangat mengganggu:

Apa yang ada di atas meja.

Naruto duduk di kursinya dengan postur yang terlalu kaku—punggung terlalu lurus, tangan terlipat di atas meja dengan jari-jari terjalin erat seperti sedang bernegosiasi dalam pertemuan bisnis yang sangat serius.

Di depannya, tersaji sebuah piring.

Dan di atas piring itu—

"Sesuatu"

Naruto menatap objek di piringnya dengan intensitas yang biasanya ia reserved untuk menganalisis pola pergerakan iblis atau membaca dokumen classified dari Vatican.

Kepalanya sedikit miring ke kiri—**tepat** 15 derajat—mata menyipit dengan fokus laser yang mengerikan.

Seperti ilmuwan yang sedang mengamati spesimen baru yang potentially dangerous.

Atau mungkin seperti ahli bom yang sedang memutuskan kawat mana yang harus dipotong.

"...Rin," Naruto berkata perlahan, sangat perlahan, dengan nada yang terlalu controlled untuk seseorang yang biasanya berbicara dengan antusiasme golden retriever. "Ini... *apa*?"

Di seberang meja, **Rin** berdiri dengan bangga seperti chef yang baru memenangkan kompetisi memasak internasional—dada membusung, tangan di pinggul, senyum lebar penuh kepercayaan diri yang completely unjustified.

"Omelet!" Rin mengumumkan dengan kebanggaan yang jelas terdengar. "Aku belajar dari video YouTube kemarin! Lihat, bahkan ada keju di dalamnya! Dan sayuran! Sehat kan?"

Naruto tidak merespons segera.

Ia hanya menatap.

Dan menatap.

Dan menatap.

Yukio—yang sudah duduk di kursinya sendiri dengan postur sempurna seperti biasa—mendorong kacamatanya ke atas dengan satu jari dalam gerakan yang telah menjadi nervous tic-nya.

Di depannya juga ada piring yang sama.

Ia menatap isinya dengan ekspresi yang sangat, *sangat* carefully neutral—seperti diplomat yang sedang mencoba tidak menyinggung negara asing yang baru saja menyajikan hidangan nasional mereka yang... questionable.

"Rin," Yukio berkata dengan nada yang sangat measured, setiap kata dipilih dengan hati-hati seperti berjalan di ladang ranjau. "Aku menghargai usahamu. Sungguh. Tapi... apa kau yakin ini... aman untuk dikonsumsi?"

"HAH?!" Rin berbalik ke arah Yukio dengan ekspresi terluka yang dramatis—mata melebar, mulut terbuka, tangan di dada seperti baru ditikam dari belakang. "APA MAKSUDMU 'AMAN'?! Ini OMELET, Yukio! Telur! Keju! Sayuran! Bahan-bahan normal! Bukan racun!"

"Secara teknis," Yukio menyahut dengan nada yang masih sangat calm tapi ada edge tajam di sana, "racun botulinum juga berasal dari bahan 'normal'—bakteri yang tumbuh dalam makanan yang tidak dimasak dengan benar—"

"YUKIO!"

"—dan mengingat warna yang sedikit... Aneh... pada bagian tepi omelet ini, serta tekstur yang mencurigakan di bagian tengah, aku hanya ingin memastikan bahwa—"

"KAU BILANG MASAKANKU BERACUN?!"

"Aku tidak mengatakan itu. Aku hanya menyatakan kemungkinan teoretis bahwa—"

"CUKUP."

Suara Naruto—yang tiba-tiba sangat tegas dan authoritative—memotong perdebatan mereka seperti pisau.

Kedua adiknya terdiam seketika, menoleh ke arah kakak tertua mereka.

Naruto masih belum mengalihkan pandangan dari piringnya.

Dengan gerakan yang sangat, *sangat* perlahan—seperti gerakan slow-motion dalam film action—ia mengangkat garpu dengan tangan kanan.

Kemudian, dengan presisi bedah yang mengerikan, ia menusuk bagian tepi omelet.

**Ctak.**

Suara itu terdengar terlalu keras.

Terlalu... *solid*.

Omelet seharusnya tidak membuat suara seperti itu saat ditusuk garpu.

Naruto mengangkat potongan kecil—sangat kecil, ukuran sebesar kuku jempol—dan membawanya ke depan wajahnya untuk inspeksi lebih dekat.

Matanya menyipit lebih tajam.

"Rin," ia berkata dengan nada yang sangat, *sangat* serius. "Berapa lama kau memasak ini?"

Rin mengalihkan pandangan yang sedikit, percaya diri. "Um... sekitar... sepuluh menit...?"

"Dengan api...?"

"...tinggi?"

**Jeda panjang yang sangat tidak nyaman.**

Yukio menutup mata dan menghela napas panjang—napas orang yang sudah pasrah pada takdir.

Naruto menurunkan garpunya dengan perlahan, meletakkannya di samping piring dengan bunyi klik pelan yang terdengar terlalu final.

"Rin," Naruto berkata dengan nada yang terlalu gentle, terlalu patient—nada yang biasanya digunakan untuk berbicara dengan anak kecil atau orang yang sedang mengalami trauma. "Api tinggi... untuk omelet... itu tidak—"

"AKU TAHU ITU KESALAHAN, OKE?!" Rin meledak, wajahnya memerah—entah dari malu atau frustasi atau kombinasi keduanya. "Aku cuma... aku pikir kalau apinya besar, masaknya lebih cepat dan—"

"That's not how cooking works," Yukio menyela dengan nada flat yang entah kenapa lebih menyakitkan daripada kalau dia berteriak.

"AKU TAHU!" Rin mengacak rambutnya dengan kedua tangan, membuat rambut hitamnya berdiri ke segala arah seperti landak frustasi. "Tapi aku udah usaha keras, tau! Aku bangun pagi! Aku lihat video tutorial! Aku ikutin semua langkah—well, *hampir* semua langkah—dan... dan..."

Suaranya pelan di akhir, kehilangan momentum.

"...kalian nggak harus makan kalau nggak mau..." gumamnya dengan nada yang tiba-tiba kecil, tidak seperti Rin yang biasanya.

**Keheningan.**

Yukio dan Naruto bertukar pandangan—komunikasi silent yang lahir dari bertahun-tahun menjadi saudara.

Yukio menaikkan satu alis: *"Kau yang kakak tertua. Kau yang putuskan."*

Naruto menghela napas panjang—napas resign yang dalam—lalu mengambil garpu dan pisaunya kembali.

"Rin," ia berkata sambil memotong sepotong kecil omelet dengan effort yang suspicious. "Tentu saja kami akan makan."

Rin mendongak, mata berbinar dengan harapan. "Serius?!"

"Tentu." Naruto tersenyum—senyum yang sedikit terlalu tegang di sudutnya, tapi seperti dirinya."Kau sudah berusaha keras. Kami tidak akan menyia-nyiakannya."

Ia membawa potongan omelet ke mulut—

Yukio mengamati dengan ekspresi fascinated horror, seperti menonton seseorang yang akan melompat dari pesawat tanpa parasut—

Dan Naruto memasukkannya ke mulut.

**Kretek.**

Lagi-lagi, bunyi yang salah untuk omelet.

Naruto mengunyah.

Dan mengunyah.

Dan... mengunyah.

Ekspresi wajahnya tidak berubah—tetap tersenyum, tetap cheerful—tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang berteriak dalam diam.

Wajahnya seperti berteriak keras : *"Oh Tuhan, kenapa. Kenapa ini teksturnya seperti karet ban. Kenapa ini rasanya seperti karton yang dibakar. Kenapa bagian tengahnya masih dingin. KENAPA ADA CANGKANG TELUR DI DALAMNYA—"*

Tapi ia terus mengunyah.

Dan akhirnya—setelah effort heroic—ia menelan.

**Glek.**

"Enak," Naruto berkata dengan nada yang terlalu ceria, masih tersenyum. "Sangat... *berkarakter*."

"BOHONG!" Rin menunjuk dengan jari telunjuk, mata menyipit dengan curiga. "Kau bohong! Aku lihat wajahmu tadi! Kau terlihat seperti sedang mengunyah sepatu!"

"Aku tidak—"

"KAU BOHONG, NII-SAN!"

"Rin, sungguh, ini... *unik*—"

"'UNIK' ITU CODE WORD UNTUK 'MENJIJIKKAN'!"

Yukio—yang diam-diam sudah memotong sepotong kecil dari omelet-nya sendiri—memasukkannya ke mulut dengan resignation complete.

**Lima detik kemudian.**

Yukio berhenti mengunyah.

Wajahnya—yang biasanya carefully controlled—berubah menjadi ekspresi yang hanya bisa dideskripsikan sebagai *"I have made a terrible mistake."*

Ia meraih gelas air dengan gerakan yang terlalu cepat—hampir putus asa—langsung minum setengah isi gelas dalam satu tegukan.

"...Rin," Yukio berkata setelah meletakkan gelas dengan bunyi sedikit terlalu keras, suaranya hoarse. "Kau... kau menaruh garam atau gula ke dalam adonan telur?"

Rin berkedip. "Garam. Kenapa?"

"Berapa banyak?"

"Um... segenggam?"

**"SEGENGGAM?!"**

Yukio dan Naruto berteriak bersamaan—harmony perfect dari shock dan horror.

"ITU TERLALU BANYAK!" Yukio melanjutkan, mendorong kacamatanya dengan gerakan yang almost frantic sekarang. "Takaran garam untuk omelet dua telur itu maksimal seperempat sendok teh! Segenggam itu—itu—secara medis itu sudah masuk kategori asupan sodium yang berbahaya—"

"Oke, oke, AKU SALAH!" Rin mengangkat kedua tangan dalam gesture surrender, wajahnya sekarang benar-benar merah. "Aku nggak akan masak lagi! Puas?!"

"Tidak," Naruto berkata dengan tegas, masih dengan senyum—meskipun sekarang ada keringat dingin sedikit di pelipisnya. "Kau akan tetap belajar masak. Cuma... mungkin... dengan supervisi."

Rin menatapnya dengan tidak percaya. "Serius? Kalian masih mau aku masak setelah... ini?" Ia menunjuk ke piring-piring dengan gesture vague.

"Tentu." Naruto berdiri, berjalan menghampiri Rin, dan menepuk pundak adiknya dengan gentle. "Tidak ada yang langsung jago dari awal. Bahkan aku dulu juga pernah bikin nasi yang gosong sampai jadi arang."

"Really?"

"Really." Naruto mengangguk dengan serius. "Ayah sampai harus buang pancinya karena nggak bisa dibersihkan lagi."

Rin tertawa kecil—masih sedikit malu tapi sudah tidak se-defensive tadi.

"Jadi..." Rin menggigit bibir bawahnya, looking up at Naruto dengan mata yang hopeful. "Besok aku boleh coba lagi? Dengan... supervisi?"

Naruto tersenyum—genuine kali ini, warm dan reassuring. "Boleh. Tapi kali ini kita pastikan kau tahu perbedaan antara 'segenggam' dan 'sejumput', oke?"

"Deal!"

Yukio—yang masih duduk di mejanya, masih menatap sisa omelet dengan expressi trauma—berkata dengan nada dry: "Aku akan memastikan kit pertolongan pertama kita lengkap untuk jaga-jaga."

"YUKIO!"

"Aku serius. Kita juga harus punya nomor kontak pusat kendali racun. Untuk berjaga-jaga."

"ITU BERLEBIHAN!"

Sementara kedua adiknya berdebat—Rin dengan defensif, Yukio dengan calm logic yang somehow lebih menyebalkan—Naruto berjalan kembali ke mejanya.

Ia melirik piringnya.

Melirik omelet yang masih tersisa—masih banyak tersisa—dengan tekstur questionable dan rasa yang... memorable dalam cara yang salah.

Lalu ia mengambil garpu dan pisaunya kembali.

Dan mulai memotong potongan lain.

Yukio menoleh dengan tajam. "Nii-san. Kau tidak perlu—"

"Rin sudah berusaha keras," Naruto memotong dengan gentle tapi firm. "Aku akan menghabiskannya."

"Itu akan merusak sistem pencernaanmu—"

"Aku pernah memakan hal yang jauh lebih buruk, Yukio."

Nada suara Naruto tiba-tiba berubah—masih gentle, masih calm, tapi ada sesuatu di bawahnya. Sesuatu yang gelap. Sesuatu yang membuat Yukio terdiam seketika.

Karena mereka berdua tahu apa yang dimaksud Naruto.

*Hal-hal yang jauh lebih buruk.*

Yukio menutup mulutnya, rahangnya mengencang, dan hanya mengangguk pelan.

Naruto melanjutkan makan dengan tekad yang almost heroic—setiap gigitan adalah test of will, setiap tegukan air adalah mercy—sementara Rin dan Yukio melanjutkan debat mereka tentang safety protocol untuk cooking session berikutnya.

Dan di tengah kehangatan pagi itu—di tengah perdebatan konyol tentang omelet gosong dan takaran garam—

Ada momen kebahagiaan sederhana.

Momen yang Naruto akan lindungi dengan segala cara.

Bahkan jika itu berarti harus memakan omelet terburuk dalam sejarah kuliner Jepang.

**Beberapa hal lebih berharga daripada taste buds yang selamat.**

Keluarga adalah salah satunya.

---

**[SEPULUH MENIT KEMUDIAN]**

Shiro Fujimoto masuk ke ruang makan dengan koran pagi di tangan, menyapa dengan cheerful: "Pagi, anak-anak! Ada sarapan untukku—"

Ia berhenti.

Menatap piring di depan Naruto—yang sudah kosong, bersih, tidak ada sisa.

Menatap Naruto—yang tersenyum terlalu lebar, dengan keringat sedikit di pelipis, dan minum air dengan desperate.

Menatap Rin—yang terlihat bangga tapi juga defensive.

Menatap Yukio—yang terlihat seperti baru menyaksikan kecelakaan kereta api dalam slow motion.

"...Apa yang terjadi di sini?"

"**NOTHING!**"

Ketiga anak menjawab bersamaan dengan volume yang suspicious.

Shiro menatap mereka dengan narrow eyes, detective instinct-nya sebagai Paladin langsung aktif.

"Rin, apa kau masak?"

"...mungkin."

"Naruto, apa kau memakannya?"

"...dengan senang hati."

"Yukio, apa itu aman?"

"...secara medis, definisi 'aman' itu subjektif—"

"**YUKIO!**"

Shiro menghela napas panjang—napas orang tua yang sudah sangat terbiasa dengan chaos pagi di rumah tangga ini—lalu berjalan ke dapur untuk membuat kopi.

"Aku tidak dibayar cukup untuk ini," gumamnya sambil berlalu.

"KAU TIDAK DIBAYAR SAMA SEKALI, KAN?! KAU PASTOR!" Rin berteriak dari ruang makan.

"EXACTLY MY POINT!"

Dan sementara Shiro membuat kopi, sementara Rin dan Yukio kembali berdebat tentang apakah pepper spray termasuk kitchen safety equipment yang necessary, sementara Naruto diam-diam mengeluarkan antacid dari saku dan menelannya dengan desperate—

Kehidupan di rumah keluarga Fujimoto berlanjut.

Chaotic. Loud. Penuh dengan love yang diekspresikan dalam cara-cara yang weird.

Dan Naruto tidak akan mengubahnya untuk apapun di dunia ini.

**Bahkan jika itu berarti harus menderita heartburn selama tiga hari ke depan.**

---

**[END EPILOG]**

---

**P.S.:**

Naruto menghabiskan omelet itu.

**Semuanya.**

Yukio hanya menghabiskan seperempat—lalu "accidentally" menjatuhkan sisanya saat Rin tidak melihat, dan menggantinya dengan cereal.

Rin merasa sangat dihargai dan besok akan mencoba membuat pancake.

Yukio sudah mulai research tentang fire extinguisher yang portable.

Shiro mencium bau gosong dari dapur dan memutuskan untuk sarapan di luar.

Dan entitas di dalam Naruto—yang biasanya hanya mau makan daging iblis—somehow actually cukup terhibur oleh drama pagi ini untuk diam selama beberapa jam.

***"...Keluarga kalian aneh."***

*"Aku tahu,"* Naruto menjawab di dalam pikirannya dengan senyum. *"Itulah kenapa aku mencintai mereka."*

***"...Omelet itu mengerikan."***

*"Aku tahu itu juga."*

***"Kau akan menderita nanti."***

*"Worth it."*

Dan untuk sekali—hanya sekali—

Entitas di dalam dirinya tidak membantah.

Karena bahkan monster pun bisa mengerti cinta keluarga.

**Setidaknya sedikit.**

Notes:

Oke gays..bukan cuma kalian aku juga penasaran dengan cerita ku sendiri. Bukan karena aku membuatnya dengan sembrono! Tidak,ini adalah pengembangan cerita yang sangat diluar dugaan aku berusaha keras agar kalian melihat sisi sebenarnya dari Naruto.

Notes:

Jadwal Update: Mingguan (atau sesering inspirasi muncul!)

Terima kasih telah membaca! Komentar dan kudos memberi makan jiwa penulis (dan menjauhkan iblis). ✨