Actions

Work Header

Robin: Vendetta

Chapter 18: Don't Tell The Bat

Chapter Text

"Kau tidak harus menghajarnya!" Tim berkata—nyaris berteriak—pada Bruce yang baru saja keluar dari ruangan. Wajah laki-laki itu berkerut tidak suka.

Beberapa menit telah berlalu sejak Bruce memasuki ruangan dengan ekspresi tidak bersahabat kemudian menuntut penjelasan dan jawaban dari sang pelaku kejahatan, Vendetta. Tidak lupa, dia juga menceramahinya tentang semua hal yang terjadi, tentang korban-korban, tentang kerusakan, tentang hati nurani. Tapi ujung-ujungnya, gadis itu tidak mengatakan apa pun tentangnya atau tentang Black Water, tidak peduli berapa kali pun Bruce memaksa. Gadis itu lebih keras kepala dari semua orang. Bruce menyerah—untuk sekarang. Dia menghentikan sesi interogasi sementara daripada emosi menguasai dirinya dan membuat suasana semakin rumit.

"Kita sudah beri dia kesempatan, dan dia menyia-nyiakannya. Dia tetap membunuh, dan dia akan terus membunuh kalau kita tidak bisa menghentikannya," ucap Bruce tegas, pintu tertutup rapat-rapat di belakangnya. "Dia masih tidak mau bicara," tambahnya sambil berjalan menjauh dari ruangan. Ekspresi wajahnya tampak tidak puas dengan semua yang terjadi.

Tim cepat-cepat bergerak, mengekorinya dengan tergesa-gesa. "Kau memukulinya, Bruce. Itu bukan cara kita memperlakukannya," katanya. Sedikit kekhawatiran terselip dalam suaranya.

Bruce tiba-tiba menghentikan langkah kaki, dia berbalik ke arah Tim, kini tubuh mereka saling berhadapan. "Lalu bagaimana cara kita memperlakukannya?" dia bertanya. Matanya menatap laki-laki itu tajam, suaranya tegas, membuat ketegangan di antara mereka terasa nyata. Tapi, ada nada kekecewaan dari cara dia bicara, mungkin ditujukan pada dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu." Tim mengedipkan mata, setelahnya, dia menggelengkan kepala. "Tapi kalau itu tidak bekerja, maka kita harus cari cara lain. Apa pun selain kekerasan," ucapnya yakin.

Melihat determinasi di wajahnya, Bruce terdiam selama beberapa saat. Perkataan Tim mulai menyusup ke dalam pikiran, menyadarkannya akan perbuatannya. Sebagai vigilante, pria berkepala empat itu sering kali menggunakan kekerasan untuk mendapatkan informasi dari para kriminal. Tapi, mungkin kali ini dia telah melangkah sedikit lebih jauh dari biasanya. Dia tahu menggunakan kekerasan seolah tidak ada cara lain—terlebih lagi ketika korbannya adalah seorang gadis yang seumuran dengan anak angkatnya—bukanlah hal yang benar benar.

Di sisi lain, Bruce juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa gadis itu telah mengacau di kotanya, Gotham. Kekacauan yang dia ciptakan pun bukan kekacauan kecil, bukan pembunuhan biasa, melainkan pembantaian. Banyak nyawa orang hilang di tangannya hanya dalam waktu hitungan hari. Tidak hanya itu, berita yang tersebar meneror warga, menyebarkan rasa takut di penjuru kota. Bagaimanapun, Gotham adalah tanggung jawabnya, dan setiap ancaman harus ditangani dengan serius. Tidak boleh lagi ada nyawa yang hilang di dalam atau di luar pengawasannya. Sebagai seorang pelindung, dia akan melakukan hal apa pun untuk menghentikan semua ini.

Tapi, Bruce perlahan merasakan setitik perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Dia mendengus pelan, dengan enggan mengakui kalau dia memang hampir membiarkan emosi menguasainya. Itu tidak biasanya terjadi, dan dia harusnya tidak kalah dengan perasaannya sendiri.

"Bruce, Tim benar. Kita memborgolnya, kita juga menahannya di ruangan itu. Itu sudah cukup menyiksa baginya, bukan begitu?" Dick menyela, tenang tapi yakin. Dia berjalan mendekat ke arah mereka, bersiap untuk melerai jika ketegangan kembali memanas di antara keduanya.

Sambil menghela napas, Bruce memijat pelipisnya. Kedua mata biru milik anak laki-lakinya itu kini menatapnya penuh harap, seolah memohon agar dia mendengarkan alasan mereka dan mempertimbangkan keputusannya agar sesuatu seperti ini tidak terjadi lagi.

"Dengar," Bruce memulai, suaranya sedikit lebih tenang. "Aku—kita masih belum yakin apa yang Black Water rencanakan. Tapi satu hal yang pasti, mereka merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan gadis bernama Vendetta itu. Gadis itu punya sesuatu yang menjadi bagian dari rencana besar mereka, sesuatu yang penting juga berbahaya. Dan aku tidak bisa membiarkan mereka, atau bahkan gadis itu sendiri, mencapainya."

"Sesuatu yang berbahaya? Apa maksudmu, Bruce?" Tim mengernyitkan dahinya heran.

Pikiran Bruce berkelana, memutar ulang memori kemarin malam, mengingat kembali apa yang pernah Shawn, ketua Black Water, katakan padanya—

"Dia lebih berbahaya dari itu. Apa kau tahu kalau dia bisa membunuh setiap orang di kota ini menggunakan kekuatannya? Yang perlu dia lakukan hanyalah berpikir, mengulurkan tangan, menciptakan senjata, dan menjentikkan jari. Itulah yang ingin aku capai."

—Tapi dia tidak akan memberitahu hal tersebut pada mereka. Belum.

"Kita harus terus mengawasi dan menjauhkannya dari wanita itu, atau bahkan seluruh Black Water," kata Bruce tegas, seolah tidak ada ruang untuk protes.

Tidak hanya Tim, Dick juga ikut mengernyitkan dahinya heran. Mereka bertukar pandang, berbagi tatapan heran sekaligus tidak mengerti. Dari reaksi yang mereka dapat, keduanya merasakan hal yang sama. Merasa kalau ada sesuatu yang sengaja pria itu sembunyikan dari mereka, sesuatu yang sempat terlewatkan oleh semua orang kecuali dirinya. Tapi, sebelum salah satu dari keduanya melontarkan pertanyaan, Bruce memutarnya tubuh lebih dulu. Jubahnya yang berwarna sehitam malam berkobar dengan dramatis begitu dia berbalik.

"Sekarang, karena dia tidak berguna dan tidak mau bicara, aku punya hal lain yang lebih penting untuk diurus." Bruce mengepalkan tangan. "Baik Black Water ataupun Paradeisos tidak akan pernah luput dari pengawasanku," ucapnya final sambil melangkah pergi.

Masih dalam kebingungan, Tim dan Dick memperhatikan kepergian Bruce tanpa mengatakan apa pun. Dick mengangkat kedua bahu, tidak ada argumen atau kalimat sok pintar yang terlintas dalam benaknya saat ini—dia pikir Bruce hanya bersikap suram seperti biasanya. Sementara itu, Tim menyentuh dagu dengan jari, otaknya mulai memikirkan apa yang harus dia lakukan sekaligus bertanya-tanya apa yang Bruce sembunyikan dari mereka. Sampai suara dering ponsel yang kencang tiba-tiba terdengar, memecah keheningan di antara keduanya.

"Um, hehe." Dick tersenyum lebar menampilkan barisan giginya, dia nyaris tertawa, wajahnya tampak berseri-seri. Ternyata yang bunyi adalah ponselnya.

Melihat Dick yang menggenggam ponselnya dengan erat, Tim semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Dia heran atas perubahan suasana yang mendadak. Padahal, mereka baru saja lolos dari adu mulut serta lolos dari atmosfer yang menegangkan, ditambah lagi fakta kalau urusan mereka dan gadis itu sama sekali belum selesai. Entah apa yang membuat laki-laki itu tersenyum lebar. Menaikkan sebelah alis, dia menatap saudaranya heran, meminta penjelasan.

"NightQueen memanggilku," ucap Dick. "Apa aku boleh pergi?" tanyanya.

Merasa konyol, Tim mendengus. "Seriusan, Dick?" Dia menaikkan sebelah alis, tapi pada akhirnya dia mengusap wajah, tidak ada tenaga untuk berdebat. "Ya, tentu, silahkan," katanya.

"Yeay!" Dick tampak senang. "Sampai nanti, Tim, hubungi aku kalau ada sesuatu!" dia berseru kencang, melambaikan tangan semangat, lalu pergi meninggalkan Batcave begitu saja.

Sehabis kepergiannya, suasana di Batcave menjadi lenggang, lebih sunyi dari sebelumnya. Tim berdiri seorang diri, berbagai pertanyaan yang belum terjawab kembali muncul ke permukaan pikirannya, berbelit bagai benang kusut. Di saat semua saudaranya punya pacar atau kesibukan lain untuk dilakukan, kenapa hanya dia yang terjebak dalam situasi seperti ini sendirian? Apakah ini hanya perasaannya saja atau dia memang selalu sial sejak hari dirinya diculik?

Sambil menghela napas, Tim menyisir rambutnya dengan jari. Matanya tertuju pada tempat di mana gadis itu berada. Setelahnya, bagai ada tangan transparan yang mendorongnya kuat, dia berjalan ke ruangan tersebut. Daripada tidak ada hal lain untuk dilakukan, pikirnya sebagai alasan sambil mendekatkan wajah ke pemindai untuk melakukan pemindaian retina. Daun pintu pun bergeser terbuka, dan tanpa menunggu apa pun lagi, dia melangkah masuk.

Pandangan Tim menyapu sekeliling ruangan sebelum terfokus pada Vendetta yang duduk diam di atas kursi, masih belum menyadari kedatangannya. Gadis itu tidak lagi berusaha kabur atau membebaskan diri, tapi dia dapat melihat pergelangan tangan dan kakinya yang memar dan memerah. Tidak hanya itu, pipi dan dagunya juga bernasib hampir sama. Sedikit memar dan bengkak, bekas pukulan. Sesuatu mencubit hati Tim saat dia melihat pemandangan tersebut, membuatnya teringat akan pertemuan pertama mereka. Hanya saja posisinya terbalik, dan gadis itu tidak terlalu terlihat menyedihkan sepertinya dulu, dia tetap terlihat cantik.

"Aku tidak ingin bicara denganmu," ucap Vendetta datar dan tanpa emosi begitu dia menyadari kalau Tim lah orang yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.

"Tapi aku ingin bicara denganmu," jawab Tim tulus.

Gadis itu merengut. "Biarkan tinju saja yang bicara."

"Apa? Kau mau berkelahi?" tanya Tim heran.

"Tadi Bruce bicara dengan tinju." Dia mencibir.

"Itu karena kau tidak mau buka mulut," ujar Tim seolah itu hal yang sudah jelas.

Menyadari kesalahannya sendiri, Vendetta mendengus sebal kemudian memalingkan muka dari Tim. Dia tidak ingin melihat laki-laki itu, dia juga tidak ingin laki-laki itu melihat keadaannya yang tidak berdaya. Tim menaikkan sebelah alis dan mengernyitkan dahi, cukup terkejut dengan sikap gadis itu yang berbanding terbalik dengan apa yang dia perkirakan—dia kira gadis itu akan melontarkan sesuatu penuh sarkasme dibumbui seringaian seperti biasanya.

"Kalau kalian menahanku di sini, Black Water akan melakukan sesuatu. Kalau kita terlambat, kalian tidak akan bisa menghentikannya," ucap Vendetta, masih tidak ingin melihat ke arahnya.

"Lalu?" respon Tim singkat, dia sudah bisa menduga jawaban yang akan datang.

Ekspresi gadis itu berubah serius. "Biarkan aku pergi, aku harus menghentikan mereka," katanya.

"Dengan cara apa? Membunuh mereka?" Tim melipat kedua tangannya di depan dada.

Malah dijadikan bahan sindiran. Vendetta menggigit bibir, kesabarannya sudah habis untuk dipakai bercanda atau main-main. Dia telah berkali-kali menjelaskan pada Bruce kalau Black Water akan melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan kalau mereka terus menahannya dan tidak membiarkannya pergi. Dia mengatakan hal yang sama pada Tim, berharap reaksinya akan berbeda dari pria itu. Tapi harapannya berakhir sia-sia. Apa yang dia harapkan dari para vigilante ? Mungkin dia memang harus menghancurkan tempat ini kalau ingin kabur.

"Maaf."

Kata itu tiba-tiba menghampiri indera pendengarannya. Begitu pelan dan lirih, nyaris tidak terdengar. Vendetta refleks mengangkat kepala ke arah Tim, kedua alisnya bertaut.

"Untuk apa?" tanyanya heran.

Karena membiarkanmu dipukuli, atau mungkin karena membuatmu berada di sini.

Itu yang hatinya katakan, tapi mustahil bagi Tim untuk mengatakan kalimat tersebut lantang-lantang seolah tidak ada apa pun yang terjadi di antara mereka. Bagaimanapun juga, memang dia lah yang membuat gadis itu berada dalam keadaan tidak mengenakkan seperti ini. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak menjawab dan berlagak seolah tidak mendengar pertanyaan tersebut. Tanpa sadar, dia memainkan jarinya sendiri, tatapannya jatuh ke lantai.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Tim, seketika merasa sedikit canggung.

Vendetta tertawa, tawa yang hambar. "Aku tidak apa-apa," balasnya pahit.

Jarak di antara mereka berdua mungkin hanya dua atau tiga meter, tapi Tim merasa seolah ada lahan yang terbentang sejauh mata memandang serta tembok raksasa tinggi yang memisahkan mereka berdua di sisi yang berlawanan. Entah karena borgol itu, atau memang karena keadaan yang membuatnya merasa seperti ini. Apa pun itu, keduanya membuat dia tidak nyaman.

Tim mengamati gadis itu untuk yang kesekian kalinya. Rambutnya yang sebiru malam, matanya yang berkilau emas bagai bintang, gaya pakaiannya yang unik, serta wajahnya yang tidak lagi terhalangi masker. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang tampak mengintimidasi saat mereka bertarung kemarin malam, sekarang gadis itu tampak tidak berdaya. Melihat seseorang yang begitu kuat berakhir dalam keadaan seperti ini, membuatnya merasa aneh.

Terlalu lama memperhatikan, pandangan mereka tanpa sadar telah bertemu. Biru dan emas. Tim berharap banyak, dia ingin gadis itu mengatakan sesuatu padanya, mengajaknya berbicara. Tapi, yang dia dapatkan adalah alis yang menukik dan wajah yang merengut tidak suka.

"Jangan lihat aku seperti itu. Kau sendiri yang membuatku berada dalam keadaan sulit seperti ini," ucap Vendetta tajam, suaranya memotong kasar keheningan yang menyelimuti.

Tim sedikit terperanjat dari tempatnya berdiri, terkejut dengan ledakan emosi yang tiba-tiba. Ini bukan kali pertama dia mendengar gadis itu marah pada sesuatu, tapi ini adalah kali pertama dia mendengar gadis itu marah padanya. Padahal dia hanya memperhatikannya dalam diam, tidak menatapnya atau melakukan sesuatu yang aneh. Tapi, dari cara bicaranya, gadis itu seakan-akan membencinya. Kebencian? Atau mungkin kekecewaan? Dia tidak tahu.

Merasakan ketegangan yang menggantung di udara, Tim menelan ludah. Tangannya yang semula bebas kini mengepal di sisi tubuhnya. Dia tidak ingin ini. Dia tidak ingin ada permusuhan atau salah paham di antara mereka—setelah semua yang mereka lalui.

"Vendetta."

Dia memanggil namanya. Nama itu meluncur dari bibirnya dengan hati-hati. Lembut dan penuh harap, seolah tidak ingin melukai perasaannya.

"Kau pernah menyelamatkanku, bicaralah padaku," ucap Tim, suaranya sedikit serak.

Vendetta terdiam selama beberapa saat, tatapannya tajam dan penuh waspada. Dia mencoba membaca ekspresi Tim, menelusuri lekuk wajahnya, mencari tanda-tanda yang mungkin bisa memberi petunjuk tentang apa yang sebenarnya laki-laki itu rasakan sekaligus menimbang-nimbang maksud yang tersembunyi di balik kata-katanya. Tapi, dia tidak menemukan tipuan apa pun. Yang bisa dia lihat adalah raut yang jujur serta suara yang berhasil menyentuhnya.

Jauh di dalam hatinya, dia tahu kalau Tim hanyalah seorang laki-laki yang ingin melakukan hal baik dan membantu banyak orang. Dia tahu kalau Tim peduli sesama dan tidak akan pernah menyakiti—atau bahkan membunuh—orang lain sepertinya. Itulah kenapa dia memutuskan untuk menyelamatkannya, dan dia tidak akan pernah menyesalinya sekalipun.

Akhirnya, Vendetta pun menjawab, "Kalau cara bicaramu seperti Batman, aku tidak mau," katanya.

"Seriusan? Itu alasannya?" Tim mengerutkan kening, sedikit bingung, tapi juga diam-diam merasa lega dengan respon ringan tersebut.

"Tentu saja tidak, pintar." Dia mendengus sambil memutar bola matanya dramatis, nyaris tertawa. Sedetik kemudian, ekspresi wajahnya kembali serius, balik menatap laki-laki itu lekat-lekat. "Kalau kau ingin aku bicara denganmu, lepaskan aku dulu dari borgol ini," tegasnya.

Tim menggeleng. "Kau tahu aku tidak bisa melakukannya." Dia menolak tidak kalah tegas.

"Kau bisa," sanggah Vendetta cepat, tatapan matanya tidak pernah luput darinya.

"Tapi—"

"Aku janji aku tidak akan kabur dan melukaimu." Dia memotong perkataannya dengan suara yang rendah tapi mantap. "Kau boleh mengurungku di sini, tapi lepaskan aku dari borgol ini." Kini matanya yang berwarna emas, melakukan sesuatu yang disebut sebagai 'memelas'.

Napas Tim tercekat begitu melihat tatapan memelas darinya, terkejut tapi juga tidak terkejut. Pemandangan itu cukup aneh baginya, bagai sesuatu yang langka atau bahkan keajaiban dunia. Dia tidak langsung membalas atau memprotes, pikirannya berkecamuk. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak tahu kalau omongan gadis itu bisa dipercaya atau tidak. Salah barang sedikit saja, semuanya bisa berantakan. Tapi, satu hal yang pasti, dia tahu kalau keyakinannya mulai goyah.

"Lepaskan aku, Tim. Aku janji aku tidak akan kabur dan melukaimu. Setelah itu, kita bisa bicara." Sekali lagi, Vendetta mencoba membujuknya sambil melembutkan suara dan menatapnya dengan sorot mata penuh harap. Hatinya berharap usahanya berhasil.

"Ugh," Tim merengut. "Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" tanyanya skeptis.

"Aku bukan orang yang ingkar janji," gadis itu menjawab tanpa ragu dan penuh percaya diri.

Menahan napas, Tim menantang dirinya sendiri dengan memberanikan diri untuk melihat langsung ke dalam sepasang mata berwarna emas yang sedang memelas padanya. Ada sesuatu dalam tatapan gadis itu. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi itu bukan sesuatu yang jahat. Setelah beberapa detik penuh pergulatan batin, dia akhirnya menghela napas panjang, tanda menyerah. Bahkan dirinya sendiri terkejut betapa mudahnya dia luluh.

"Baiklah," gumam Tim, tidak banyak pilihan. "Tapi jangan sampai Bruce tahu."

Perlahan, dia mendekat, tangannya sedikit berkeringat ketika dia dengan hati-hati mulai membuka borgol tersebut satu per satu. Rasanya cukup menegangkan dan membuatnya berdebar. Karena sekali borgol ini terbuka, memasangkannya kembali bukan hal yang mudah.

Senyum jahil tiba-tiba muncul di wajah Vendetta, "Aku akan memberitahunya!" serunya.

"He-hei!" Tim refleks memekik.

Reaksi lucu darinya membuat gadis itu tertawa. Sadar kalau dirinya baru saja dijahili, Tim mendengus, kemudian lanjut membuka borgol dengan bibir yang mengerucut sebal. Sebenarnya dia ingin ikut tertawa, tapi dia menahannya dan menyembunyikannya dengan ekspresi jengkel. Dia tidak mau mengakui kalau ada sesuatu dalam suara tawa itu yang membuatnya merasa hangat dan nyaman, sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan dengan logika.

Tidak lama kemudian, borgol tersebut sepenuhnya lepas. Beban yang ada di sekujur tubuh Vendetta langsung terangkat. Dia telah bebas, dan ini adalah saat yang telah dia tunggu-tunggu.

"Trims," ucapnya sambil bangkit berdiri untuk merenggangkan tubuhnya yang kaku.

Saat dia berdiri, Tim mundur beberapa langkah, menjaga jarak dengannya. Dia seolah kembali ke kenyataan kalau gadis itu adalah seorang metahuman sekaligus assassin yang jauh lebih kuat darinya. Jika mereka saling serang, sudah jelas siapa yang sangat dirugikan. Dalam kepalanya pun seketika terlintas momen di mana gadis itu berhasil melumpuhkannya, menerjangnya, dan menindihnya ke atas tanah. Apakah keputusannya untuk melepaskan gadis itu dari borgol sudah benar? Keraguan menyelip masuk ke dalam hatinya—dia juga agak takut dimarahi Bruce.

Merasakan kecemasannya, Vendetta mengulas sebuah senyum tipis. "Aku sudah janji aku tidak akan menyakitimu. Tenang saja," ucapnya dengan nada menenangkan.

Tim tertegun, sebelum akhirnya mengangguk perlahan. "Baiklah, kalau itu katamu," jawabnya.

Vendetta kembali duduk di kursinya. Dia menyilangkan kedua kaki dan tangan, bersandar dalam posisi yang terlihat santai alih-alih angkuh. Ada sesuatu yang halus tapi tegas dalam gerak-geriknya, seperti sikap aslinya yang menyebalkan mulai muncul ke permukaan.

"Oke," katanya, memecah kecanggungan. "Tanyakan yang ingin kau tanyakan."

Tim menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa makin kencang, dadanya bertalu-talu. Ini adalah pertanyaan yang telah lama selalu menghantui pikirannya sejak dia tahu kalau gadis itu ingin—sedang balas dendam terhadap sebuah organisasi rahasia yang misterius, dan sekarang adalah saatnya untuk mengungkapkannya.

"Apa yang telah mereka lakukan padamu?" ujarnya pelan, hampir seperti bisikan.

* * *