Chapter Text
Life is shit.
Jay pikir tidak ada kalimat lain yang sesuai untuk deskripsikan situasinya saat ini, selain dengan sumpah serapah dan umpatan pada hidup yang sepertinya gemar mempermainkan dirinya. Sebab jam baru saja menunjukkan pukul delapan di pagi hari, namun rasanya Jay sudah ingin hilang dari peradaban sepenuhnya saja, mungkin diculik oleh alien atau ditelan tanah yang dipijaknya saja.
Maybe he could try the latter . Mungkin dengan tidur di atas aspal jalanan menuju kampus yang saat ini ditapaki, dengan cukup lama, tubuhnya bisa betulan ditelan bumi dan raganya hilang menyisakan nama. Dengan demikian, Jay tidak perlu lagi memusingkan urusan tugas kampus yang makin tidak masuk akal atau kran di apartemennya yang tidak kunjung benar meski sudah tiga kali diperbaiki oleh tukang ledeng—atau apapun yang membuat hidupnya terasa menyebalkan. He wishes he could just disappear in thin air.
Tapi tentu saja, it’s not that easy . Sayangnya, di pukul delapan pagi hari ini, Jay masih harus menyusuri lapangan parkir kampus dengan sejumlah peralatan potret yang penuhi tas selempangnya; masih harus menghadiri kelas digital imagining and editing di jam sepuluh nanti dan kumpulkan tugas yang hampir saja dia lupakan karena terburu-buru setelah membetulkan kran air selama satu setengah jam lebih; pun, masih harus bertahan hidup sampai makan siang nanti karena toast gosong yang dia santap sebagai sarapan tadi tidak cukup untuk mengganjal perutnya sampai kelas terakhir di sore hari. Life is shit, indeed . Tapi Jay bisa apa selain sedikit mengumpat lalu pasrah lalui semuanya?
“Keran air lo bocor lagi?” The familiar voice makes him turn his head , dapati sahabat perempuannya, Chisa, tengah tersenyum lebar dengan dua cup kopi panas di masing-masing tangan. Tanpa berpikir panjang, Jay ambil salah satunya; undang dengusan tajam dari si perempuan yang dibalas oleh sebuah cengiran khas miliknya.
“Apa jadinya hidup gue tanpa lo ya, Sa?” Dramatis. Pertanyaannya itu dibalas delikan tajam dan ekspresi geli dari si perempuan. Padahal yang disampaikan benar adanya, sebab sejauh ini Chisa adalah satu dari sedikit yang buat Jay masih bertahan—untuk kuliah, untuk jalani hari-hari–sebab sahabatnya itu selalu tau kapan Jay berada di titik terendah, selalu tau kapan harus menariknya untuk kembali bangkit.
Hanya satu cup kopi susu hangat dan beberapa kalimat canda yang dilontarkan, bagi Jay sudah cukup; selama masih ada yang mengerti dirinya, meski dalam level paling dangkal sedikit pun.
“Emang lo ga ada rencana mau cari flat baru?” Keduanya tengah berjalan menyusuri koridor fakultas saat Chisa bertanya, hampir membuat Jay tersedak kopi karena kaget. “ I know tempat lo sekarang harganya pas banget di kantong, tapi kalo tiap minggu lo harus panggil tukang dan kena musibah gini, mendingan cari yang lebih bagus dikit ga sih?”
Jay mengangguk kecil, tampak menimang ucapan yang Chisa katakan. Lucunya meski dalam satu bulan terakhir ledeng tempat Jay tinggal sudah bocor dan mampet sebanyak lima kali, pikiran untuk pindah tempat tinggal tidak pernah tersirat di kepalanya. “Jujur kebanyakan tugas jadi gue belom kepikiran kesana sama sekali.”
“Hmm… Tapi mikirin Jake ga pernah lupa?”
Kali ini pertanyaan yang dilontarkan buat Jay menghentikan langkah, tatap sahabatnya dengan pupil yang melebar. Looking scandalous. “Kok jadi dia?”
Nada bicara Jay refleks meninggi, terdengar melengking at one point , undang gelak tawa dari sahabat perempuannya. “Tapi bener ga?”
Jay memutar bola matanya. It’s a rhetorical question . Jay tahu Chisa tahu jawabannya tanpa dia sampaikan, yet he decided to entertain his best friend . “Jake mah sampe tidur aja kebawa mimpi.”
Chisa tersedak, Jay tertawa puas. “Jorok lu!”
“Jay!” Memutar tubuhnya, Jay dapati Sunghoon yang berada dua baris di belakangnya, duduk di bagian atas meja dengan punggung yang membelakangi Jay. It wasn't a strange sight , sebab Sunghoon bukan Sunghoon jika tidak miliki caranya sendiri di lingkungan kampus. But the guy who peeked through Sunghoon’s back yang berhasil tarik seluruh oksigen dari paru-paru Jay, buat si Taurus malfungsi.
Dibalik meja tempat Sunghoon duduk, Jake tengah bersandar dengan kacamata yang bingkai tegas struktur wajahnya, terlihat serasi dengan ranum berbentuk busur cupid yang merona sempurna, buat si lelaki tampak dua kali lipat lebih tampan dari biasanya. When their eyes meet, Jake smiles; the one smile that makes Jay fall on his knees . Pun kali ini rasanya Jay dibuat untuk kembali jatuh pada lingkaran yang sama, untuk jatuh cinta lagi entah keberapa kalinya— a loop he doesn’t even know will ever stop.
“...lar?” Jay mengerjap cepat saat pendengarannya tidak sengaja tangkap perkataan Sunghoon lagi, refleks mengalihkan pandangannya dari wajah Jake, missing the smudge smile on the younger face.
“Hah?”
Sunghoon berdecak, dan Jay dapat lihat si Sagittarius tatap dirinya dengan tatapan tidak percaya, kesal karena ucapannya tidak didengar. Kedua alis Sunghoon bertaut untuk menegaskan, sementara Jay hanya bisa simpulkan senyum bersalahnya, berharap kalau itu cukup untuk menghindari omelan Sunghoon.
“Tugasnya udah kelar kan?”
"Oh, u-udah udah kok.. sebentar..." Jay kalang kabut, mengubek-ubek tas yang dibawa untuk cari hardisk yang kelompok mereka pakai untuk tugas kelas digital imagining and editing yang dalam hitungan menit akan dimulai, sementara Sunghoon memperhatikan dengan tatapan curiga dan Jay dapat lihat Chisa dari ujung matanya tengah mati-matian menahan tawa.
“Emang kurang ajar.” Jay ucapkan itu saat Chisa hampiri mejanya begitu kelas mereka berakhir, acuhkan gelak tawa sahabatnya yang beberapa sekon lalu sebut dirinya seperti pecundang yang terciduk lakukan tindakan kriminal—gelagapan, terlihat ciut di depan Sunghoon.
“Lo harus liat muka lo tadi tau! I’m sure lo bakal ketawa juga.”
Jay memutar bola matanya, sampirkan tas yang dibawanya tadi ke bahu, sebelum mengitari meja yang diduduki, bersiap untuk keluar kelas. “ Whateve r, Sa.”
Bersisian dengannya, Chisa tersenyum lebar. Bumping their shoulder to annoy the sake of Jay, earning another huff.
“Jay!” Si pemilik nama refleks berbalik, temui sosok yang memanggil beberapa saat lalu tengah tersenyum sambil sedikit melambaikan tangan, meminta agar Jay mendekat ke tempatnya duduk.
“Oi, bang. Kenapa nih?” Jay membalas, hampiri tempat Heeseung berada tanpa banyak berpikir. Di belakangnya, Chisa yang sempat ragu pada akhirnya mengikuti dan balas senyuman Heeseung yang tertuju padanya dengan kikuk. Berbeda dengan Jay yang akrab dengan Heeseung sejak masa orientasi dulu, Chisa hanya sebatas tahu presensi satu sama lain tanpa memiliki interaksi yang berarti.
Heeseung tidak langsung menjawab. Yang dilakukan si lelaki selama beberapa saat adalah merogoh saku jaket flanel yang dikenakan untuk tunjukkan ponsel pintarnya kepada Jay. For a second, sorot mata Jay tertinggal pada potongan baju yang Heeseung kenakan, terlalu familiar baginya untuk tidak tahu pemilik asli dari jaket flanel tersebut. Namun belum sempat Jay terpaku pada perasaannya yang campur aduk, ucapan Heeseung lagi-lagi alihkan atensinya.
“Gue punya proyek musik,” Heeseung mulai kalimat itu dengan satu topik yang jadi kegemaran Jay. “Tugas wajib angkatan, buat bikin lagu. Ga panjang. Minimal semenit maksimal dua menit.”
Jay mengangguk, ikuti arah pembicaraan si lelaki dengan seksama. Mereka berdua punya ketertarikan besar pada musik, bonded by their interest on the subject. Hanya saja, berbeda dengan Jay yang lakukan musik sebagai hobi, Heeseung menyusuri rute profesional untuk lakukan yang disuka— the guy is in music department, salah satu music prodigy yang digandrungi kampus mereka .
“Kalau boleh gue minta tolong, I need your help for the composition dan instrumen gitarnya.” Jay tatap Heeseung dengan cepat, terkejut atas permintaan si lelaki barusan. Ragu terukir di wajahnya secara jelas, sebab Heeseung sudah lontarkan kalimat afirmasi lain sebelum Jay sempat mengelak. “ I’ve known you for a while now , gue tau lo punya kapabilitas untuk ini. Gue udah mikirin konsepnya, dan gue rasa ga ada orang lain yang sesuai dengan peran ini selain lo.”
Menghela nafasnya, Jay membalikkan tubuhnya ke arah Chisa berdiri, meminta pendapat sahabatnya itu untuk menerima atau menolak, lalu dibalas dengan sebuah senyum getir yang sarat akan rasa bersalah—tanda kalau Chisa juga tidak bisa memutuskan.
“ I’m sure Kak Heeseung bakal bantuin juga kok, he will guide you through all the process .” Jay dengar suara itu lebih dahulu sebelum melihat wajah Jake, and when he does , the scene unfold was really beautiful, Jay dapat rasakan dadanya yang semakin sesak, tidak mampu hirup oksigen dengan baik. How is this man so breathtaking? How’s Jake so beautiful?
Berdiri di samping Heeseung, Jake tatap wajah Jay dengan dua iris yang berbinar. A puppy-eyes, they said . Satu yang berkekuatan magis, seolah punya kemampuan sihir yang bisa buat siapa saja untuk menurut.
Jay tentu saja jadi satu yang termasuk ke dalamnya, bahkan tanpa Jake meminta pun Jay sudah bertekuk lutut. Terbukti saat segala keraguan yang dimiliki beberapa sekon lalu seketika lenyap bersamaan dengan kedua obsidian mereka yang bertemu, pun senyum sumringah yang Jake tunjukkan setelah dengar jawaban Jay berikutnya buat si lelaki mendadak terbang ke langit ketujuh.
“ Okay, tapi gue mau run through everything sebelum kita mulai proyeknya.” Heeseung mengangguk, sementara Jake menatap yang lebih tua dengan sebuah senyum yang begitu sumringah—senyum yang Chisa katakan memang khusus diperuntukkan oleh Heeseung. And how ironic it is , sebab Jay yang lukis senyum Jake, Jay yang jadi alasan dari bahagia si November namun justru hanya Heeseung yang bisa pandangi mahakarya itu secara cuma-cuma.
“Pasti. Nanti gue chat ya. Sekalian janjian lah buat diskusiin ini berdua.” Jay mengangguk, tidak lagi ingin melanjutkan pembicaraan. Pun tidak lama Heeseung pamit untuk lebih dahulu pulang, bersamaan dengan Jake yang merangkul lengan si Oktober, tidak berikan jarak seolah menempelkan tubuh dengan Heeseung adalah salah satu hal wajib dilakukan untuk bertahan hidup.
By the time they exit the classroom , Jay dapat lihat sebuah kecup yang Heeseung bubuhkan pada pucuk hidung yang lebih muda, juga Jake yang terkikik geli karena tingkah lucu kekasihnya. They look happy . Jake looks happy. Yet part of Jay wishes it was him instead of Heeseung. Sebab Jay bisa berikan satu dunia untuk Jake, even devotion ; Jay bisa berikan seluruh macam sembah yang dunia tawarkan.
“Damn—”
“I know, Sa.”
Hanya saja, Jay juga tahu, apapun yang dia tawarkan pada Jake tidak akan pernah sebanding dengan satu senyum dari Heeseung pada si lelaki. And the thought makes him sick . Bagaimana bisa Jay begitu jahat sampai sempat berpikir untuk hancurkan bahagia yang Jake punya dengan Heeseung?
“ I know how pathetic I am , gue ga butuh diperjelas.” Chisa menghela nafasnya, mensejajarkan langkah keduanya, pun memberikan tepukan pelan pada bahu si lelaki. Jay mendengus, but he appreciated it anyway. They don’t talk about it anymore, going on about their day tanpa mengungkit pembicaraan dengan Heeseung tadi.
Jay masih temui presensi Jake beberapa kali di lingkungan kampus, somehow his eyes always found him, bersama teman-temannya yang lain atau saat tengah berdua dengan Heeseung.
Pertemuan pertama Jay dan Heeseung soal tugas musik akhir yang lebih tua datang di pertengahan minggu, saat Jay sedang tidak mengharapkan undangan untuk temu itu datang. Dia tengah punya banyak tugas praktikal dan persiapan untuk ujian saat pesan dari Heeseung masuk ke ponselnya, hampir meminta pertukaran janji temu sebelum melihat tempat mereka akan bertemu.
Studio keramik lantai 3 Gedung Timur. Lengkap dengan informasi kalau mereka bisa menggunakan ruangan itu berdiskusi karena di waktu yang sama, studio tersebut Jake gunakan untuk latihan dan membuat proyek mata kuliah seni pahatan tanah liat.
Katakan Jay pathetic, tapi jelas dia tidak akan menolak kesempatan apapun yang membuatnya berakhir untuk temui Jake. Jay tidak pernah punya rencana untuk merebut Jake dari Heeseung, he’s not that shameless, but Jay likes Jake dan Jay akan terima apapun yang diberi kepadanya untuk berada di sekitar Jake.
“Gue balik kosan dulu baru ke tempat lo ya, ada buku yang lupa gue bawa.” Suara Chisa membuyarkan lamunan Jay begitu saja, membuat tubuhnya menegak dengan cepat sebelum sadar kalau mereka berdua punya janji untuk belajar bersama. “Ga bakal lama kok, paling jam limaan udah nyampe sana.”
“Wait, sa.” Jay meraih lengan sahabatnya itu, membuat si perempuan berbalik dengan tatapan bingung. Namun cukup sabar untuk mendengar lanjutan kalimat Jay. “Kayaknya kita ga jadi belajar hari ini deh.”
Chisa mengernyit, semakin bingung dengan ucapan Jay. “Trus kapan? Kan ujiannya besok. Lo mau kerjain portofolio lu? Bukannya diundur ke weekend biar lo fokus ngerjain itu doang?”
Menghela nafasnya, Jay memegang kedua bahu Chisa kemudian, meminta sahabatnya itu untuk kembali diam sementara dia menjelaskan. “Heeseung minta ketemu buat diskusi soal tugas dia itu, hari ini, jam setengah lima. Gue ga yakin bakal selesai cepet.”
Kali ini Chisa mendengus, hempaskan kedua tangan Jay dari bahunya sebelum memberikan sentilan di dahi si lelaki, loloskan umpatan dari Jay begitu saja. “Diundur ke jam 7, then. Baru diskusi pertama juga, kan? Minta Heeseung cepet selesai. Ga ada ya ga belajar cuma karena mau ketemu Jake. Nanti ngulang di semester depan baru nangis!”
Jay meringis, kedua bibirnya mengerucut, namun Chisa tidak bergeming. Their dynamics work weirdly that way. “Fine,” Ucap Jay pada akhirnya. “Gue balik sebelum jam 7, kita belajar dari jam segitu.”
Lalu setelah membicarakan detail lainnya, seperti Chisa yang berencana membawa makanan siap saji supaya mereka bisa makan malam bersama nantinya, juga Jay yang memberitahu kalau pertemuannya di studio keramik sesuai informasi Heeseung, keduanya berpisah arah. Jay couldn’t help but feel giddy to meet Jake .
Hanya saja, yang tidak Jay duga adalah mendapati Jake seorang diri di dalam ruangan studio tempat janji temu mereka, tangan berlumuran tanah liat abu-abu sementara netranya sibuk dengan sebongkah tanah liat—hampir berbentuk serupa dengan wajah manusia—di atas meja pahat.
“Jake?” Si empunya nama terlonjak di tempatnya, almost knocking his clay over, karena suara Jay yang cukup menggelegar. Keduanya saling bertatapan, Jake memandang dengan keterkejutan yang sarat terlukis di wajah, sementara Jay spontan menyebut kata maaf. “Sorry, gue ga bermaksud nakutin.”
Jake tertawa saat kembali sadar dari keterkejutan, menggelengkan kepala sebelum membersihkan tangannya ke apron yang digunakan. Jay finds it cute . Terlebih saat sadar ada bekas tanah liat di pipi kiri Jake yang sepertinya tidak disadari oleh si lelaki. “ It’s okay , gue juga kelewat fokus sampe ga sadar ada yang masuk—Take a seat, mau ketemu Heeseung kan? Dia masih ada urusan sama dosen pembimbingnya.”
Jay mengangguk, mengambil duduk di bangku yang tidak terlalu jauh dari meja yang Jake gunakan, memperhatikan tanah liat yang barusan Jake kerjakan dengan seksama pun menerka-nerka siapa yang dibentuk oleh si lelaki.
“It's nobody.” Jake kembali dengan tangan yang basah dan jauh lebih bersih, pun ujung rambut yang terkena air karena wajah si lelaki baru saja dibersihkan. Jake is glowing, dan Jay hampir lupa caranya bernafas. “Cuma sesekali kebayang di kepala, fitur-fiturnya, dan kebentuk jadi wajah manusia gitu aja.”
Jay memperhatikan objek pembicaraan, menatap Jake bergantian sebelum mengutarakan penilaiannya. “Gue kira Heeseung, tapi ga mirip sih. Maksudnya, gue pikir an artist loves to put their loved one to the media they’re creating, no? ”
Jake tersenyum tipis, mengikuti arah pandang Jay ke hasil karya dirinya. “Some do, some do not. Not a fan of that, repot kalo udah ga bareng-bareng, rasa ga suka atau bencinya takut tercermin di karya. I don’t want to hate what I have created.”
Jay mengangguk kecil, sedikit banyak merasa perkataan Jake masuk akal. Namun sebelum berkomentar lebih, Jake sudah kembali dengan sebuah pertanyaan lain. “How about you? Lo suka foto apa aja? Do you have a specific subject or object yang lo suka foto?”
Di tempatnya duduk, Jay dapat melihat ekspresi ingin tahu yang Jake punya, melekat pada dirinya yang mendadak rasakan telinganya memanas. “Jadi lo tau gue kuliah fotografi?” Jake mengangguk, tersenyum singkat sebelum Jay kembali berbicara. “To be honest, gue ga punya kapasitas untuk milih apa aja yang gue foto dan ga gue foto, since you know, fotografi punya elemen dan teori yang luas. Semakin beragam yang gue foto semakin bagus pengalaman dan portofolio gue, tapi gue lebih cenderung enjoy foto hal-hal yang gue suka, or things and scenery yang bikin gue bahagia.”
“Supaya perasaan bahagianya abadi?” Jake meneruskan, memperhatikan Jay yang kemudian tersenyum sebagai tanggapan atas pertanyaannya.
“Yes, you’re right.”
It was ten in the evening, saat Jay putuskan untuk menutup kolom tugasnya. Dua minggu Jay habiskan untuk tugas yang satu ini, habiskan tengah malam dengan sorot lampu laptop yang terpapar dan buat matanya sakit. It needs a lot of attention to each details, buat Jay beberapa kali harus minum obat penghilang sakit kepala karena terlalu banyak informasi yang perlu diproses.
Hanya saja malam ini, mengingat yang Jay perlukan hanya tersisa bagian terakhir, finalisasi, he’s accompanied with his espresso martini instead. Bukan perpaduan yang menyenangkan, namun pahitnya vodka yang bercampur dengan asam dari kopi membuat kepalanya terasa lebih ringan, tanpa merampas kesadaran sepenuhnya.
Jay tengah mengirimkan tugas tersebut saat web browser laptopnya termuat ulang. Memaki, Jay coba untuk mengecek router dan kondisi internetnya, namun yang didapati adalah informasi kalau koneksi baik-baik saja. Lucunya, sampai satu menit berlalu pun belum ada progress yang berarti, sebab tampilan layarnya masih sama.
Helaan nafas Jay terdengar memenuhi ruang kamar tidurnya. Perlahan jarinya memijat pangkal hidung dengan teratur, mencari ketenangan pun hilangkan penat. Gila, rasanya Jay ingin sekali mengamuk. Seminggu ini ada saja cobaan yang hidup berikan tanpa jeda, seolah bermain dengan kewarasannya dan menanti kira-kira kapan Jay jadi gila.
Hampir larut dalam pikirannya sendiri, Jay tersentak saat ponselnya berikan tanda atas panggilan masuk dari Kai, teman satu departemen yang Jay kenal sejak tugas kelompok mereka di semester tiga. Tanpa berpikir panjang, Jay menjawab.
“Halo, gimana Kai?”
“Lagi pada ngumpul di rumah Beomgyu, ikut ga lu?” Jay tampak berpikir untuk beberapa saat. Tugasnya sudah selesai, pun masih pagi untuknya ikut party. Tapi rasa lelah dan pegal di sekujur tubuh membuat Jay menjadi ragu.
“Kagak, deh. Gue masih kerjain tugas, deadline jam 12.” Jay dapat dengar Kai berdecak di seberang sana, mencibir tabiatnya yang senang sekali mengumpulkan tugas kepepet dengan deadline. But he lets him go anyway, dengan iming-iming kalau Sabtu besok Jay akan ikut yang lain kumpul.
Selesai dengan obrolan singkatnya, atensi Jay kembali ke layar laptop yang kini tidak lagi tampilkan layar putih polos tetapi situs berwarna merah, pink, putih, dan hitam yang menarik perhatian.
Dahinya mengernyit dalam. Jay tidak ingat dia membuka website lain selain portal pengumpulan tugas kampus.
Dilihatnya laman website tersebut, font nya cukup menarik, simple namun tidak membosankan. Di bagian atas, nama dari website tersebut tertera jelas dalam warna maroon—wishuponan.exe. Tepat di bawahnya, tertera keterangan yang menarik atensi Jay sepenuhnya.
LELAH CINTA TAK TERBALASKAN?
MAKE A WISH NOW AND WE WILL GRANT IT
100% CHANCE OF SUCCESS [GUARANTEED]
Jay terkekeh setelah selesai membaca, tidak habis dibuat heran dengan upaya marketing yang perusahaan atau apapun yang website online ini lakukan. Tapi Jay tidak bisa pungkiri kalau sejatinya kalimat yang ditunjukkan di layar laptopnya itu cukup banyak menyentil rasa ingin tahunya, ingin cari tahu seberapa legit yang diiklankan.
Jadi tanpa banyak berpikir, pun karena tengah memburu tenggat waktu tugasnya, Jay mengisi satu persatu kolom yang muncul sesaat setelah kursornya men klik link tersemat.
Tanpa disadari olehnya, malam Sabtu telah kembali menyapa. Dan layaknya mahasiswa kehilangan setengah waras karena sistem perkuliahan yang merenggut setengahnya lagi, Sabtu malam adalah waktu yang paling menyenangkan bagi Jay. He could either spend the night at his apartment studio atau habiskan malam di salah satu bar yang tidak terlalu jauh dari kampus, meneguk alkohol sampai kehilangan sadar.
Unhealthy coping mechanism some says, tapi saat miliki waktu kelewat terbatas dan tekanan yang tidak ada habisnya, this shortcut is all he could get. Berpesta, minum alkohol, dan sesekali puaskan nafsu untuk lupakan semua yang membebani pikirannya.
Sabtu malam ini Jay pilih pilihan kedua, ke bar yang biasa dia datangi bersama dengan Chisa dan beberapa teman satu jurusan yang lain. Half through the night, Jay sudah tidak lagi dapati sahabat perempuannya, kemungkinan berada di sisi lain gedung. Tapi Jay tidak terlalu ambil pusing, ‘toh tujuan mereka disini untuk menghilangkan penat, lakukan hal-hal menyenangkan semau mereka, tidak terikat dengan satu sama lain.
Mendekati tengah malan, Jay dapati dirinya di tengah lantai dansa, terhimpit di bersama mereka yang asik menghilangkan penat. Kesadarannya tinggal beberapa persen, namun Jay masih dapat cium aroma alkohol yang malam itu menguar. Beberapa mengajaknya berbicara, undang tawanya meski kalimat yang terucap sama sekali tidak lucu.
Oh . Jay loves this. Jay loves feeling wanted, feeling adored. Merasa diterima. Terbalaskan .
Nafasnya tercekat begitu rasakan tepukan di bahu, temui seorang perempuan yang tidak dikenal tengah tersenyum padanya saat Jay menoleh. Untuk sepersekian detik, Jay menatap dengan bingung. But he returned the smile anyway. “Do you wanna go somewhere—have a little more fun, maybe?”
Jay tersenyum, his eyelids feel heavy, tapi tiap perkataan dan tujuan si perempuan dapat dipahami dengan jelas. Innuendo. Jay sedang tidak ingin, meski menggiurkan. He could hook up with the girl, have a little more ‘fun’, mungkin dengan cara itu Jay bisa lupakan perasaannya pada Jake, mengakhiri rasa sepihak yang berjalan di tahun kedua. But, Jake… Jay mengerjap cepat. Kaget dengan cara kerja isi kepalanya. Sial.
Bahkan dalam kondisi setengah sadarnya, yang otaknya ingat adalah Jake. Begitu besar rasanya pada si lelaki. Bahkan alam bawah sadarnya enggan untuk mencari pengganti Jake. Sial. Jay hanya bisa membalas si perempuan dengan rangkaian kata maaf. Jay ingin sekali menangis rasanya.
Dalam keramaian dan puluhan manusia yang penglihatannya tangkap pun, Jake masih jadi satu-satunya yang dituju oleh Jay. How pathetic. Jay dapat rasakan nafasnya perlahan tercekat, lehernya seperti tercekik. Penglihatannya perlahan kabur. Is it his anxiety? Jay tidak ingat kapan terakhir kali dia merasa demikian, namun di tengah kepalang, dia tetap berusaha cari tumpuan.
Fuck. Jay temui hitam pada pandangannya.
Jay terbangun dengan badan yang terasa lemas dan beberapa bagian tubuhnya sedikit terasa linu, seolah sebelum tidur yang dilakukan adalah maraton lari atau angkat beban yang menghabiskan banyak tenaga.
Menggerakkan sedikit tubuhnya, Jay mengerang saat sakit kepala menyerang tiba-tiba, menjadi pengingat akan banyaknya alkohol yang kemarin malam ditenggak. Dingin yang secara langsung menyentuh kulitnya perlahan rebut rasa kantuk yang dirasa, mengembalikan sadar hampir sepenuhnya.
What the fuck?
Jay mencoba mengingat kembali yang terjadi semalam selain alkohol dan musik bertempo cepat yang temaninya di lantai dansa, memenuhi indera dan memonopoli ingatan, namun hasilnya adalah nihil. He couldn’t remember. Sebab semua terjadi terlalu cepat, Jay bahkan tidak dapat cerna sedikitpun apa yang telah terjadi.
Jay mencoba menelisik keseluruhan ruang tidur, namun sinar matahari yang berada tepat di wajahnya—menembus dari kaca jendela—teramat terang dan menyilaukan mata.
Saat kepalanya menoleh ke arah lain, ranjang yang berantakan bukan kepalang menyambut dirinya, pun angin dari pendingin ruangan yang sentuh bagian atas tubuhnya membuat Jay sadar kalau tubuhnya sudah tidak lagi didekap bahkan oleh sehelai benangpun.
Jay dapat rasakan jantungnya berdetak semakin gila semakin lama waktu yang terbuang. Nafasnya semakin pendek, pikirannya diputarbalikkan oleh pikiran-pikiran yang saling bertentangan. But on top of everything, he wonders, why can’t he remember anything about the arrangement? Siapa yang tadi malam dibawanya ke ranjang?
He was never that entertained to the idea of having a one night stand thing. Terakhir kali Jay membawa seorang asing ke ranjangnya dan habiskan malam bercumbu adalah tiga tahun lalu. Jadi sebuah anomali jika saat ini, out of nowhere , Jay berakhir cari ekstasi dari kesenangan duniawi. Terlebih saat dia tidak mendambakan kontak fisik apapun sebelumnya.
Bunyi alarm yang penuhi indera pendengarannya membuat Jay terlonjak, buru-buru meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur dan mematikan pengingat begitu saja. Just when he’s about to get out of his bed, Jay baru menyadari selembar sticky note yang terletak tidak jauh dari tempat ponselnya tadi. There’s a short sentence written on the paper, dan Jay habiskan waktu lebih lama untuk membaca.
text me when you wake up
010xxx
Shit. Jay memijat pangkal hidungnya. Menghela nafas dalam just to get surprised the second later by how his surrounding reek of sex. Akan tetapi, sebelum dapat berpikir lebih lanjut, alarmnya berbunyi lagi. Jay hanya bisa mengumpat dengan frustasi sebelum akhirnya memutuskan untuk membersihkan diri dan bersiap ke kampus.
Di anak tangga terakhir, Jay berjinjit. Dari tempatnya berdiri, jelaga si lelaki bergulir dengan cepat mengarah pada ruang studio di depan, mencari sosok yang terakhir kali dia temui tadi malam. Di antara hiasan dinding dan pot tanaman setinggi satu meter, Jay dapati Jake yang tengah memainkan kedua tangan pada permukaan clay, tubuh sedikit membungkuk sejajar dengan meja putar.
Tidak ingin mengganggu seperti kali sebelumnya, Jay pilih untuk lambatkan langkah kaki, beri waktu lebih lama bagi Jake untuk seorang diri. Namun rencana itu gagal sepenuhnya saat kaki Jay terbentur
“Mau ketemu Hee—”
“Masuk aja. Dia bilang bakal telat maybe sepuluh sampe lima belas menitan.” Jay mengangguk, lepaskan alas kaki seperti yang dicantumkan di papan depan ruang studio, lalu mengambil duduk cukup jauh dari tempat Jake tengah membentuk clay . He looks around then , memperhatikan tiap dekorasi dinding yang digantung di dalam ruangan, lakukan segala cara untuk menghindar dari kemungkinan bertatapan dengan Jake sebisa mungkin.
Keduanya belum berbicara soal insiden tadi pagi, Jay juga belum mengirimkan pesan untuk mengkonfirmasi dugaannya. Sebab rather than getting entertained by idea, Jay tidak bisa membayangkan apapun yang kemungkinan mereka lakukan malam tadi. And if Jake doesn’t want to talk about it, then Jay tidak akan memaksa atau menginisiasi terlebih membuat posisi mereka semakin runyam.
Garisbawahi kalau Jake tidak mau.
“Kenapa ga kontak gue?”
Jadi saat Jake menghentikan laju roda gerabahnya, menatap ke arah Jay dengan cukup intens, Jay mau tidak mau menoleh. Keduanya saling menatap. Jay tidak langsung menjawab. Kelabakan atas pertanyaan tiba-tiba yang diutarakan.
“Gue ga—Gue pikir lo ga mau ungkit soal malem, I mean, there’s no point. Ngapain juga lo obrolin hal itu, kan?” Jake menghela nafasnya, merapikan anak rambut yang menutupi jidat dengan punggung tangan, menghindari jemarinya yang tertutup tanah liat basah—bahan dasar keramik yang dibuat—sebelum kembali memperhatikan Jay dengan seksama.
“I’m not a fan of running away from my problem, Jay. Stop bikin asumsi yang lu konsumsi sendirian. Gue tinggalin memo di nakas lo tuh ada alasannya.”
Jay sedikit meringis. Katakan dia berlebihan saat tidak mendapatkan keramahan di intonasi bicara yang Jake sampaikan padanya, katakan Jay berlebihan saat ekspresi Jake jauh dari manis dan bersahabat yang biasanya di lelaki tampilkan setiap hari. But it hurts. It fucking hurts. Rasanya Jay seperti ikan koi yang terlempar keluar dari akuariumnya, tanpa ada satu orang pun yang sadar sehingga Jay dibiarkan begitu saja, tidak berdaya—sekarat.
“Sorry…” Ucap Jay pada akhirnya, menunduk. Netranya temui jemari Jake yang terkulai di atas meja gerabah, lentik dan jenjang—indah. Seluruh yang berkaitan dengan Jake baginya selalu cantik, and he hates himself for having this though when they’re not in the right situation to even converse .
Jake beranjak dari bangku kayu kecilnya, merapikan sembarang seluruh peralatan membuat keramik yang digunakan, sebelum kembali dengan peralatan baru yang Jay tidak yakin apa. Keduanya kembali diam, larut dalam kesibukan masing-masing dan keheningan yang tidak terlalu menyenangkan. Sesekali Jay melirik jam yang tergantung di dinding, menghitung mundur sampai Heeseung datang, namun semakin Jay menanti semakin lama pula waktu berlalu.
“Ada yang lo inget soal semalem? Atau apapun yang bikin kita berakhir di ranjang berdua?” Jay belum memikirkan soal itu, but he’s sure he does not remember.
“No.” Jay merapikan posisi duduknya, menghadap Jake yang tidak terlalu jauh dari tempatnya duduk. “ It was one of the reasons gue gue ga hubungin lo. Gue ga inget apapun, gue bahkan ga inget kita ketemu tadi malem. I was in a bar last night, and when I opened my eyes this morning , gue telanjang dan ada memo yang lo tinggal di samping tempat tidur gue.”
Keduanya saling menatap dengan alasan yang berbeda. Jake looks desperate at most, sementara Jay terlihat sangat bersalah. Part of him wants to get away with this problem, but another part is feeling a heavy guilt for the man in front of him . It was Jake after all, Jake yang ada dalam skala prioritas tertinggi bagi Jay, Jake yang santun dan baik, Jake yang begitu Jay damba, Jake yang sangat setia pada Heeseung—Jake, who for Jay, is regarded highly.
Jay tidak perlu dijelaskan secara terang-terangan kalau yang mereka lakukan semalam adalah kesalahan. Di lain waktu, di kesempatan lain, di situasi yang berbeda, Jay mungkin akan merasa bangga dan senang bisa berakhir di satu ranjang dengan Jake, berbagi ekstasi dan saling meraih puncak mereka. Tapi yang Jay rasakan sekarang adalah jauh dari semua itu, jauh dari rasa bangga, apalagi senang. It’s Jake, who, with all of his being, Jay knows belongs to Heeseung.
“Gue ga akan bilang ke siapapun soal semalem.” Jay ucapkan itu pada akhirnya, buat Jake sedikit bergerak tidak nyaman di tempatnya duduk. Jay tahu bukan itu yang Jake inginkan, tapi lebih lebih lagi, Jay tahu kalau untuk saat ini mereka tidak punya solusi lain.
Jake menghela nafas, urungkan kalimat yang sebelumnya ingin diucapkan. Jay bukan teman dekatnya, namun lewat kelas yang mereka bagi dalam beberapa semester terakhir, sedikit banyak Jake paham sifat Jay dan orang seperti apa si lelaki. Jake ingin percaya pada Jay. Jadi pada akhirnya Jake mengangguk. “Gue percaya.”
And with that, they fell into the same silence again,
sampai akhirnya pintu ruang studio kembali terbuka, menunjukkan Heeseung yang datang sedikit tergesa dan merasa bersalah. Jay hanya bisa tersenyum saat Heeseung meminta maaf dan jelaskan situasi
he was in
, merasa ironis, sebab di antara keduanya, Jay lah yang seharusnya meminta maaf.
Chapter 2
Summary:
“Fuck, Jay.” It finally hits her, the way it did to Jay. “Heeseung tau?”
Jay menggelengkan kepalanya, dan keduanya kembali dalam kontes saling memandang. “Siapa yang tau soal ini selain gue?”
“Nobody. Jake cuma minta penjelasan soal ini, soal gimana kita berakhir di kasur gue, tapi sama-sama ga ada yang inget.”
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
“Lo halu ga sih?” Jay menghela nafasnya, menutup wajah dengan kedua tangan dengan bahu yang merosot.
In fact, Jay told anyone—someone. Tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatnya sendiri yang saat ini menanggapi dengan ekspresi khawatir, berpikir kalau Jay sudah di ambang putus asa sampai-sampai berhalusinasi. “Butuh rekomen psikolog?”
Jay mengerang kali ini, ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding sampai gegar otak dan lupa ingatan. Hanya saja Jay kelewat memahami tanggapan Chisa barusan, sebab nyatanya Jay juga tidak percaya dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Jake.
“I was not, Sa.” Pada akhirnya Jay menunjukkan sticky note yang sempat Jake tinggalkan, memberi bukti pada Chisa yang mendadak terdiam di tempatnya sambil menyentuh ujung kertas yang dimaksud. “I wish it as just my hallucination, but it’s not.”
Chisa menahan nafas saat sadar kalau tulisan yang terukir di atas kertas tersebut memang bukan tulisan Jay, kemudian refleks menutup mulutnya dengan tangan sembari menatap bergantian ke arah Jay dan kertas.
“Fuck , Jay.” It finally hits her, the way it did to Jay. “Heeseung tau?”
Jay menggelengkan kepalanya, dan keduanya kembali dalam kontes saling memandang. “Siapa yang tau soal ini selain gue?”
“Nobody. Jake cuma minta penjelasan soal ini, soal gimana kita berakhir di kasur gue, tapi sama-sama ga ada yang inget.” Jay membalas sejujurnya, buat Chisa kini menjambak rambut dengan frustasi. “Lo liat gue sama Jake malem itu?”
Chisa menggeleng, menatap sahabatnya itu dengan nanar. Ekspresi Jay benar-benar sarat akan rasa frustasi, namun sesungguhnya Chisa tidak punya opsi memberikan bantuan apa-apa. “Not that I remember. Semenjak kita pisah tuh gue udah ga sober, agak tipsy. Trus gue pulang sama temen gue, jadi abis misah gue ga liat lo lagi.”
Jay menghela nafasnya, sedikit banyak pasrah akan situasinya kali ini. Both him and Jake doesn’t remember anything , pun Chisa yang bersama Jay di malam yang sama tidak bisa banyak membantu.
Jay tengah merapikan peralatan menulisnya dan memasukkan buku catatannya saat smartwatch-nya menyala, menunjukkan notifikasi alarm kalau ada janji temu dengan Heeseung dalam lima belas menit lagi.
For a second he looks at it confused ; dibuat heran dengan kenyataan bahwa dia tidak dapat mengingat hal sepenting ini.
Sedikit tergesa, Jay bangkit dari duduknya dan membuat Chisa menatapnya dengan penuh tanya—menuntut penjelasan. “Gue ada janji sama Heeseung in like fifteen minutes.”
Chisa menaikkan sebelah alisnya. “Lagi?”
Jay mengangguk. “Gue cabut duluan.”
Tanpa menunggu balasan dari sahabatnya itu, Jay mempercepat langkahnya ke arah tempat janji mereka: studio keramik tempat Jake berlatih. Keduanya sudah menetapkan itu sebagai tempat mereka bertemu, mengatakan kalau suasana yang sunyi dan lokasi gedung yang jarang dilewati membuat Jay dan Heeseung lebih leluasa berdiskusi.
Jadi saat Jay dapati Jake yang tengah meletakkan gumpalan tanah liat ke atas pottery wheel, absen akan presensi Heeseung, Jay tidak lagi berusaha membawa topik obrolan untuk berbicara dengan yang lebih muda. He doesn’t have the courage , pun Jake nampak lebih senang dibiarkan asik sendiri.
Juga meski Jay dapat merasakan dadanya yang terasa sesak, lara merembet di kepala, si lelaki berharap kedepannya mereka akan tetap seperti ini. Jay sungguh tidak ingin kejadian seperti kemarin terjadi lagi.
Except it does.
Kali berikutnya Jay berakhir di atas tempat tidur, tubuh telanjang tanpa busana dan sprei acak-acakan, ditambah rambut yang terjuntai dengan tidak rapi, Jake membangunkannya dengan tergesa dan dilingkupi amarah.
“Unlock hp lo.” Hanya itu yang Jake ucapkan saat Jay membuka mata, masih setengah sadar untuk memproses situasi mereka. Saat selesai menuruti yang diinginkan Jake, Jay dapat melihat tangan si lelaki sibuk bermain di atas layar ponselnya.
“What’s going on? What happened?”
Jake meliriknya dengan tajam. Jay tidak mengerti kalau Jake marah kepadanya atau pada situasi mereka saat ini. “Fuck if I know!”
Bentakan itu membuat Jay sedikit terlonjak, kaget dengan mood yang menghampiri Jay hari ini. “Kalo…” Si November memijat pelipisnya, mengembalikan ponsel Jay setelah berhasil mendial nomornya sendiri. “Kalo sampe Heeseung tau—”
Jay menggeleng cepat. “He won’t, I promise. Gue janji ga bakal ada lagi kejadian kayak gini.”
Sejujurnya Jay pun tidak yakin dengan ucapannya barusan. But he knows that he will do anything to make sure this won’t happen again in the future. Pun Jay tahu kalau Jake sadar akan ketidakyakinan Jay. Hanya saja, keduanya tidak punya alibi lain.
“Good…” Jake membuang nafasnya, menatap sekitar mereka. “Lo ada baju yang bisa gue pake ke kampus? Yang ga pernah lo pake kemana-mana sebelumnya.”
Baru Jay sadar kalau sejak tadi Jake masih mengenakan bathrobe miliknya, menandakan kalau Jake sudah selesai membersihkan diri, selangkah lebih dulu dibanding Jay. Funny because unlike what it was before, this time Jake didn't leave him—yet.
“Ada paperbag di bagian bawah lemari, gue belom sempet pake semenjak beli. Lo bisa pake.” Jake mengangguk, meninggalkan Jay yang masih terdiam di atas kasurnya, memunggungi begitu saja. Jay looks at him then, memperhatikan tiap gerak gerik Jake. Pun fokusnya ada pada ramping pinggang dan kaki jenjang milik si November, membuat Jay dibuat bingung. Why can’t he remember anything?
“Lo inget sesuatu?”
Jake menoleh. Menggelengkan kepalanya kemudian. “Sadly.”
Jawaban itu lagi-lagi terdengar janggal, undang rasa tidak nyaman dan kegelisahan bagi Jay. “Okay— Lo butuh gue anter?”
Jake tampak berpikir sebentar, sembari menatap Jay dengan seksama, menimang dengan hati-hati sebelum menjawab. “Kelas gue mulai sejam lagi, if it is not too much for you. ”
Jay menggeleng, dengan cepat beranjak dari tempat tidurnya. Namun tubuh atletis si lelaki yang tidak tertutup apapun itu membuat Jake terkesiap dan dengan cepat mengalihkan pandangan, buat Jay buru-buru meraih selimut untuk menutup tubuhnya.
“Sorry, gue–” Jake mengacungkan ibu jarinya, meyakinkan Jay kalau dia baik-baik saja. “Gue mandi dulu abis itu gue anter lo.”
“One is an accident, two is coincidence.”
Tanggapan Chisa membuat Jay mengerang, menyandarkan tubuh sepenuhnya pada sofa di ruang tamu apartemen. Hari ini keduanya memilih habiskan waktu makan siang di tempat tinggal Jay, menunggu kelas siang.
Sejak datang ke kampus dengan Jake tadi pagi, Chisa tidak habis membombardir Jay dengan pertanyaan terkait si November. Ikut mengomel saat ingat hal yang terakhir kali Jay bahas dengannya.
“I swear, gue ga inget apapun.”
Chisa bergumam, menumpu wajahnya ke atas telapak tangan. “Coba lo inget-inget, sebelum ini semua, lo ada lakuin sesuatu ga? Or feeling a certain feeling that might trigger anything? ”
Jay menatap langit-langit ruang tamu, menelusuri ingatannya ke beberapa waktu sebelum dia dan Jake berakhir pada situasi ini. Tangannya masih bermain di atas gitar elektrik yang sejak tadi berada di pangkuan, menyusun irama instrumental yang akan dikirimkan untuk Heeseung.
“You kinda tried so hard for this. It's not even yours.” Chisa berkomentar saat Jay tidak membalas perkataannya tadi.
Jay menatapnya dengan sebelah alis yang terangkat. “ I always tried my hardest for everything .”
“Termasuk naksir orang tapi sepihak.” Ucapan Chisa itu dibalas oleh lemparan bantal sofa dari Jay, undang gelak renyah si perempuan.
“Hari ini ga berangkat sama Jay lagi?” Pertanyaan yang dilontarkan Heeseung membuat Jake menghentikan langkahnya, sedikit melonggarkan genggaman tangan keduanya namun Heeseung lebih dahulu mencengkram tangan yang lebih muda, sebabkan sedikit rasa sakit yang membuat Jake bungkam.
They look at each other for a while, and for one second Jake swears he could see the coldness in Heeseung's gaze. “Aku kemaren buru-buru—”
“Seburu-buru apa sampe ga bisa hubungin pacar kamu sendiri?” Lagi, intonasi pasif-agresif yang Heeseung ucapkan membuat Jake merasa tidak nyaman. Sudah dua hari berlalu, dan kekasihnya selalu mengungkit persoalan yang sama dengan intonasi yang sama-sama tidak menyenangkan pula.
Jake menghela nafasnya, berusaha sebisa mungkin untuk mengontrol emosi yang dirasa. It does feels like Heeseung doesn’t trust him, buat Jake mempertanyakan rasa percaya yang keduanya punya terhadap satu sama lain. “Aku udah jelasin berulang kali deh, you know the answer already, kamu mau aku jawab dengan apalagi kak?”
“Jujur sama kakak—”
“— I am! ” Suara Jake nyaring melengking, buat beberapa mahasiswa di lorong yang sama menoleh ke arah keduanya. But he’s too much in his anger to even care about it. Heeseung terlihat sama kagetnya, namun Jake tidak berhenti sampai disitu saja. “Aku udah enam kali jawab kalo aku buru-buru kemaren, dan Jay kebetulan paling deket sama posisi aku. Aku juga udah yakinin kakak kalau kedepannya, if I need help, I will contact you instead . Kalo aku udah bilang ini semua trus kamu tetep ga mau denger ya aku harus gimana lagi?”
Heeseung mengusap wajahnya, tampak berpikir sejenak sebelum merengkuh Jake ke dalam pelukan, berusaha memberikan ketenangan pada si November. “ I’m sorry. Aku ga bermaksud untuk neken kamu kayak gini. Bukan ga percaya juga sama kamu, I just— I feel jealous, I guess? ”
Jake memiringkan kepalanya. “Cemburu buat?”
Heeseung terkekeh sembari menangkup wajah Jake dengan kedua tangannya. Sorot mata si lelaki kontras dari saat sebelumnya, kali ini sarat akan cinta dan memuja. “Oh, Jake. Kalo kamu punya pacar secakep kamu, semanis kamu; you’ll understand .”
Jake berdeham, membiarkan Heeseung menggandeng tangannya untuk melanjutkan langkah mereka. Menurut. Meski masih ada perasaan yang mengganjal di pikirannya. It’s weird. He feels like something that Heeseung possessed; like an collectible object that was placed in his private museum .
But Jake decided to just shrug it off. He might have just been feeling a little bit under the weather.
Jay:
Kapan bisa ngobrol?
I think I found the answer we are looking for.
Jake tidak langsung menjawab pesan itu. Meski dia berkali-kali berikan izin untuk Jay menghubungi, tapi saat yang diharapkan datang, Jake tetap saja diliputi bimbang.
Dilihatnya Heeseung yang tengah duduk dibalik layar komputer, bersenandung sambil sesekali menuliskan ide yang terbersit di kepala si lelaki ke atas buku catatan miliknya, tampak luput pada dunianya sendiri sementara sejak beberapa jam lalu Jake tengah asik memainkan ponsel.
“Kak,” Jake coba memanggil. Tapi butuh setidaknya tiga kali percobaan sampai akhirnya Heeseung sadar dan menoleh padanya. “Aku ketemu temenku dulu boleh?”
Heeseung menatap jam dinding di ruang tamunya sebelum menjawab pertanyaan Jake. “Sekarang?”
Jake mengangguk. “Sebentar kok. Aku balik sebelum dinner .”
Heeseung tampak menimang, memperhatikan sekitarnya sebelum netra si lelaki mendarat ke atas catatan musiknya tadi. “Okay, kalo nanti mau aku jemput kabarin aja.”
“So?” Jake bertanya dengan tidak sabar, memandangi Jay yang tengah menyantap ramennya. Dia tidak datang untuk menemani Jay makan malam, Jake datang untuk mencari tahu jawaban yang Jay dapatkan.
Jay menjeda makannya, mengetukkan jari tengah dan telunjuk di atas meja. “Lo inget ga seminggu ini Heeseung berapa kali ke studio lu buat ketemu gue?”
Tampak berpikir, Jake tidak langsung menjawab. “Tiga? Atau empat ya, kayaknya empat termasuk kali pertama kalian ketemu.”
Jay mengangguk, letakkan sumpitnya. “Gue juga ingetnya empat.” Belum sempat Jake menginterupsi, Jay sudah lebih dulu membuka laptopnya, lihai mencari folder yang dia inginkan. “Kalo udah empat kali ketemu, dan gue inget kok I have done the intro part quite few times, harusnya progress musik ini udah bisa jadi minimal satu menit—”
“But it’s blank…”
Jay mengangguk lagi, temui sorot mata Jake yang sulit dibaca. Jay tau Jake masih belum mengerti apa yang ingin disampaikan. Jadi setelah menutup kembali laptopnya, he looks at Jake for a moment.
“I think we’re in a loop.”
“Hah?” Jake hampir tersedak ludahnya sendiri.
Jay mengesampingkan mangkuk ramennya, menghela nafas dalam sebelum menundukkan kepala. “I’m sorry, if my hypothesis is correct, it has something to do with the website.”
Setelahnya Jake memaksa Jay memberikan penjelasan lebih jauh, he knows nothing soal ‘loop’ yang dimaksud juga ‘website’ yang disebut. And Jay told him everything, tanpa pengecualian yang berarti, namun menghindari obrolan soal alasan dari yang dilakukannya. But Jake is way too smart, Jay could knows no better.
“Are you out of your fucking mind?!” Jay sedikit tersentak atas nada Jake yang melengking, terlalu self-aware akan tatap pasang mata yang mengarah pada meja keduanya. Jake yang menyadari hal itu juga berdeham, dengan cepat menurunkan suara.
“I’m sorry, gue pikir itu cuma web iseng, gue ga bermaksud lebih dari sekedar buat seru-seruan.” Jake menghela nafasnya. Dia bukan orang bodoh yang tidak bisa dengar rasa bersalah yang tersirat di kalimat yang Jay lantunkan barusan. Akan tetapi menurut Jake amarahnya cukup berdasar, dia punya hak untuk marah.
“This is ridiculous. Lo sadar ga?” Jay mengangguk. Sadar dengan penuh seberapa konyol situasi mereka saat ini. Pun, Jay pikir, dugaannya hanya hipotesis belaka. Jay juga akan bereaksi seperti Jake jika posisi keduanya ditukar, so Jay let him be. Jay biarkan Jake luapkan seluruh emosi yang dirasakan padanya; memperhatikan bagaimana nafas si November terengah disela ucapan menusuk yang Jake lantunkan padanya.
Jay pikir, he could bear this. He could bear Jake’s anger, hatred even. Until Jake asked him the question he was never prepared to answer . “Why? Kenapa lo masukin nama gue dan lo kesana?”
Untuk sepersekian menit Jay teringat akan pertanyaan Chisa beberapa bulan setelah keduanya tau soal hubungan Jake dan Heeseung, soal rasa yang disimpan dengan rapi oleh si lelaki, pun komitmen Jay untuk tidak mengusik hubungan romansa Jake entah dengan siapapun. Gue cuma berharap dia bahagia, gue cuma berharap siapapun pacarnya, they could treasure and cherish him.
Jake doesn’t need to know about the feeling he harbours for him, Jake doesn’t need to know about the prayers he whispers in the midst of the silence of his room, Jake doesn’t need to know anything about how much Jay loves him.
“Jay?”
“I’m sorry.” Jay beralasan, berusaha menghindari jawaban yang sesungguhnya. “Lo ga bakal suka yang lo denger.”
But Jake is Jake. The most resilient he ever knew. Jadi saat Jake kembali menuntut Jay tau kalau dirinya tidak akan bisa kabur dari ini. “Just, answer my question. Tell me the truth.”
“ I like you .” Jay menghela nafasnya. “ I was not in my right mind at that time — waktu itu gue pikir, t he idea of me and you being in a relationship will make things feel better .”
“Lo—” Jay dapat rasakan suara Jake yang bergetar, parau sebab rasa keterkejutan dan amarah yang bercampur jadi satu.
“Lo tau gue sama Heeseung,” Jay mengangguk. He knows. He knows damn well how much Jake loves Heeseung, and how happy Heeseung made him throughout their relationship. Jay adalah satu dari sebagian yang jadi saksi bagaimana hubungan keduanya berjalan. “Tapi lo masih berharap gue—”
“— I’m sorry .” Jay pleaded. “ I’m truly sorry , gue, apapun.” Ada banyak sekali yang Jay ingin utarakan, terlalu ramai sampai akhirnya melantur. “I would do anything to redo this . Gue akan lakuin apapun buat benerin ini semua, I promise .”
Jay temui sorot mata Jake setelahnya, greeted by the disgusted look that Jake gave to him, feeling the dull aches in his chest.
Oh, Jay knows the look.
“Then fucking do.”
Notes:
yep. it has an additional chapter. haha
Chapter 3
Summary:
“Lo repot-repot mau bantuin gue padahal yang bikin masalah gue sendiri, dan dipikir-pikir gue ngelibatin lo tanpa sepengetahuan atau konsen dari lo. I’m a total shit, and you have every right to walk away from my suffering—”
“But I don’t.” Jake menyahut, pangkas kalimat Jay begitu saja sebelum si lelaki sempat menyelesaikan.
“That’s the thing. You don't. And that makes me confused, you know.”
Notes:
i keep on adding a new additional chapter i cant help it lol (the last chapter will be published very soon as well) (i think)
Chapter Text
It’s been days since they last spoke to each other; days since the last time Jake saw him. Di beberapa kesempatan Jake temani Heeseung berkutat dengan tugas lagunya, Jay tidak pernah muncul.
Berkali-kali Jake meyakinkan diri kalau keduanya tidak perlu berurusan lagi, kalau Jay yang terus menerus absen dalam kegiatannya tidak memiliki korelasi dengan obrolan terakhir mereka. Namun saat Jay tidak juga muncul di kelas yang mereka sama-sama ikuti, Jake could feel his tension heighten.
Chisa, sahabat perempuan Jay yang Jake kenal berkat kelas bersangkutan, juga terlihat sama gelisah dengannya.
Sampai kelas berakhir, Jay masih tidak terlihat. Membuat Jake berpikir, apa ucapannya tempo hari terlalu berlebihan? Did he cross a line he shouldn’t cross?
Jake ingin sekali tanyakan teman-teman Jay, but then he realised, they were never that close for him to ask around about his whereabout without raising suspicions. Jadi sampai hampir seminggu lamanya, Jake memilih untuk menyimpan sendiri kegelisahannya.
“You good? Capek ya? Mau pulang duluan aja? Aku bisa anterin dulu.” Jake menggelengkan kepala, di sela ibu jari Heeseung yang mengusap pelan wajahnya—membiarkan. “Atau udahan aja kali ya.”
Jake mengernyit, tidak ingin Heeseung menyia-nyiakan waktu membuat tugas hanya untuk dirinya. “Jay ga dateng lagi?”
Bohong kalau Jake tidak lihat eskrepsi Heeseung yang berubah masam, bohong kalau Jake tidak menyadari perubahan atmosfer di antara keduanya saat nama Jay disebut. But he couldn’t just get it, why does Heeseung act that way? Out of everyone, Jay is the last person he needs to be jealous of.
Jay bukan tipe Jake. Bukan pula dalam hubungan yang dapat menggantikan sosok Heeseung dalam hidupnya. He loves Heeseung so deeply. Why isn’t it enough?
“Dia ga bisa dihubungin tuh. Aku udah coba samperin kelasnya, nanyain temen-temennya, tapi dia ga muncul di kelas juga. Mungkin lagi ada masalah personal?” Heeseung menjelaskan. Untuk sepersekian detik, Jake pikir Heeseung bisa bertindak normal, merespon pertanyaannya dengan kepala dingin.
“Kenapa nanya aku, deh? Aren’t you close with him? Kamu abisin banyak waktu sama dia toh, you must know better than I—”
“Aku pulang sendiri.”
By that, Jake doesn't wait for Heeseung to respond. Membanting pintu studio musik Heeseung, dan pergi begitu saja. Jake memutuskan untuk mendial nomor ponsel Jay, berharap setidaknya ponsel si lelaki aktif.
Namun saat suara operator mengungkapkan kalau nomor Jay tidak dapat dihubungi, Jake dengan cepat mencari kontak Chisa di portal sosial media kampus. Jake remember, there’s a poster with Chisa as the contact person, diunggah beberapa bulan lalu saat kampus mereka menyelenggarakan acara musik akbar.
“Chisa? Ini Jake. Gue mau nanya, kalo semisal lo tau Jay dimana?” Suara di sebrang sana samar terdengar, larut dalam ributnya lalu lintas dan obrolan orang-orang, membuat Jake kesulitan menangkap keseluruhan cerita si perempuan.
Saat sambungan itu berakhir, Jake dapati dirinya terengah. Jantungnya berdetak dengan begitu cepat seperti baru saja mengikuti lari maraton. Dengan cepat Jake memutar arah jalannya menuju gerbang kampus, memanggil taksi yang lewat, dan mengucapkan alamat apartemen Jay ke supirnya.
Saat Heeseung katakan kalau Jay sedang tidak bisa dihubungi, tidak pernah terlintas di kepala Jake kalau penyebabnya adalah kondisinya yang kacau balau–jauh dari kata manusiawi. Saat Chisa katakan kalau Jay sedang tidak baik, Jake tidak berpikir kalau yang dimaksud adalah demikian buruk.
He looks void. And Jake is terrified.
Sebab meski tidak kenal dekat dengan si lelaki, Jay yang selama ini Jake lihat berbanding terbalik dengan Jay yang saat ini didapati di depan mata—pandangan kosong dan raut wajah sarat akan letih.
“Jay?” Terkejut karena Jake yakin Jay tidak pernah menduga presensinya, si lelaki dengan cepat berdiri dari posisinya duduk, buat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh ke lantai jika bukan Jake yang dengan sigap menangkap tubuh Jay. “Easy and steady, easy and steady,” Ucap si November berulang-ulang, berbisik, sampai Jay bernafas cukup tenang.
Cengkraman tangan Jake yang masih melingkar di tubuh Jay buat posisi keduanya saling menempel, tidak berikan ruang bagi sedikitpun pergerakan. Hanya deru nafas yang bersahutan dan detak jantungnya sendiri yang Jake dapat tangkap, juga aroma musk dari tubuh Jay yang menguar dalam jarak mereka yang begitu dekat.
“What the fuck are you doing here, Jake?” Jay yang pertama kali jauhkan tubuh keduanya, serak lingkupi ucapnya, tatap si November dengan tajam meski amarah yang seharusnya ditunjukkan tertutup lelah dari sorot jelaga miliknya.
Jake laughs. Frantically. He sounds far from the Jake Sim everyone knows; he sounds like a maniac. “You know you don’t have any right to be mad right now karena harusnya gue gak sih yang marah? The fuck are you doing to yourself, Jay?” Jake pijat pelipisnya dalam ritme pelan saat netranya temui jelaga Jay yang terlihat kosong. “Just— fuck. Do you really want to die that much?!”
Jake dapat rasakan amarah lingkupi tubuhnya, panas membara, siap untuk meledak kapanpun yang dia mau. Namun sorot yang Jay tunjukkan undang sesak di bagian dada yang terasa asing bagi Jake. “And if I do?” Tanyanya disampaikan dengan senyum tipis yang terukir miris, “What are you gonna do about it?”
Jake mengusap wajahnya, berucap dibalik telapak tangan. Dan meski sulit, Jay masih bisa dengar ucapan si November berikutnya. “That’s stupid, we both know that.”
“Terus lo mau gue gimana, Jake?” Jay sounds desperate now, teringat akan percakapan mereka terakhir kali yang berakhir dengan pertengkaran hebat. Terkadang Jake sulit sekali untuk ditebak, buat Jay frustasi. “Do you have a better solution than this?”
“I do.” Balasan itu datang lebih cepat dari yang Jay kira, buat si April menatap dengan kedua pupil yang melebar. “I’ll sleep here tonight, with you.”
“Hah?”
“Lo bilang di website itu lo nulis buat bikin kita pacaran, right?” Jay mengangguk tanpa berpikir panjang, melongo atas ucapan Jake barusan. “Yaudah kalo gitu, why don't we act like one? Starting from me spending the night here, cuma tidur, ga ngapa-ngapain. And since you haven't taken a proper rest—wait, lo belom tidur berapa hari?”
Jay mengangkat kelima jarinya, undang tarikan nafas berat dari Jake yang kemudian memaki. “You’re fucking insufferable.”
“Kalo ga gitu you’ll wake up naked in my bed again, do you want that?”
Jake menghela nafasnya, menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Yeah, no— What I was trying to say, since lo udah ga tidur lima hari and you need it. I’ll sleep here, we’ll sleep together like a couple. If my hypothesis is correct then we’ll wake up just fine tomorrow, or else, we’ll see what will happen tomorrow yang penting lo tidur dulu.”
“But–”
“Lo minta solusi yang lebih bagus daripada biarin lo mati karena kekurangan tidur, and I came up with one, so you better do it sebelum gue paksa.”
Jay menghela nafasnya, defeated, mengangguk kemudian untuk hindari kelanjutan dari amarah Jake dan melangkah ke tempat tidurnya. He manages to stay quiet until his body is wrapped under the blanket. “If you need new clothes, cari aja di lemari gue yang sesuai. Kalo mau gosok gigi juga I have spare in my toilet cabinet.”
Jake berdeham sebagai jawaban, merapikan letak tas yang dibawa. Jake bukan seorang yang rapi, namun kondisi kamar Jay mendorongnya untuk ikut membantu membersihkan sampah bekas bungkus kopi kaleng dan botol yang berserakan di lantai. The room smells like a strong caffeine, pun sampah yang berserakan jadi bukti dari usaha Jay untuk tetap terjaga selama lima hari belakangan.
Orang gila. Jake tidak habis pikir kenapa Jay bisa dengan mudah hampir korbankan nyawanya, hidup serta mimpi, untuk hal sepele yang Jake yakini miliki solusi lebih baik lagi dari apapun yang sudah Jay lakukan.
Keluar dari kamar mandi setelah mengganti pakaiannya dengan milik Jay yang masih bersih, Jake dapati sosok pemilik kamar tengah menatap langit-langit. Dadanya naik turun dengan teratur, kedua tangan berada di atas perutnya. Dari tempatnya berdiri Jake tidak bisa liat persis ekspresi wajah Jay, hanya menerka kalau si lelaki tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri and somehow it’s true sebab begitu Jake menaiki kasur dan tambah berat pada sisi sebelah kanan, Jay refleks menatapnya dengan keterkejutan yang tidak sempat disembunyikan.
“Mikirin apa?” Jay menghela nafasnya, tersenyum simpul pada Jake yang tengah membetulkan posisi selimut yang menutupi bagian bawah badan si lelaki.
“Lo.” Jawabannya membuat sebelas alis Jake terangkat, bingung pun menunggu lelucon yang diharapkan mengikuti. Namun ekspresi serius yang Jay berikan padanya membuat Jake menelan ludahnya susah payah.
“Gue?”
Jay mengangguk, membenarkan posisi bantal kepalanya sebelum ucapkan yang sejak tadi memenuhi kepala. “Lo repot-repot mau bantuin gue padahal yang bikin masalah gue sendiri, dan dipikir-pikir gue ngelibatin lo tanpa sepengetahuan atau konsen dari lo. I’m a total shit, and you have every right to walk away from my suffering—”“But I don’t.” Jake menyahut, pangkas kalimat Jay begitu saja sebelum si lelaki sempat menyelesaikan.
“That’s the thing. You don't. And that makes me confused, you know.” Jay bergumam, membalikkan tubuhnya, membenamkan seluruh wajahnya ke bantal tidur, undang dengusan geli dari Jake yang masih menyandarkan tubuh ke headboard tempat tidur, mencari posisi yang nyaman di atas tempat tidur Jay yang tidak terlalu luas itu.
“Lo ga suka gue bantuin ya?” Dari posisi keduanya, Jake dapat liat Jay yang menggelengkan kepala.
Menunggu, Jake biarkan Jay menenangkan dirinya. Tahu dengan pasti kalau situasi yang mereka alami sama beratnya untuk dimengerti, keduanya sama-sama terjebak dalam untaian nasib yang tragis. Pun kalau boleh jujur, Jake sama frustasinya. Sebab hidup sebelum whatever arrangement they have right now jauh lebih sederhana untuk dijalani.
Setelah cukup lama terdiam, Jay pada akhirnya menghadapkan tubuhnya ke arah Jake, tatap si November dengan begitu lamat dan penuh pertimbangan sebelum utarakan yang sejak tadi ingin disampaikan. “Gimana soal lo sama Heeseung?”
Jake menghela nafasnya, tatap langit-langit kamar tidur Jay sebelum membiarkan tubuhnya merosot dan kepalanya temui bantal tidur. Kalau boleh jujur, he doesn’t know either. Hubungannya dengan Heeseung sudah berjalan hampir setahun, penuh bahagia pun cinta yang Jake tidak akan pernah mau tukar dengan apapun. Tapi disisi lain ada Jay yang dalam keadaan sekarat, yang membutuhkan Jake untuk ikut campur dalam apapun takdir yang si lelaki bawa pada dirinya sendiri.
Sooner or later Heeseung will know. Jake tahu pacarnya itu sangat pintar, memahaminya dengan sangat baik. But it’s not his top concern right now. Untuk saat ini, Jake hanya ingin lakukan apapun yang bisa cegah dirinya menjadi alasan Jay kehilangan nyawanya.
Sounds extreme, but given the condition Jake found Jay today, it’s not even an exaggeration.
“Itu urusan gue, I can take care of it.” Jake’s tone was light, berusaha untuk meyakinkan Jay tanpa menyinggung kekhawatiran si lelaki. And of course Jake lied. But Jay doesn't know. He doesn't need to know. “Mending lo pusingin tuh gimana caranya lo bisa make up for your lack of sleep.”
Jay mendengus, memutar bola matanya dan undang kekehan ringan dari belah bibir Jake—it eases the heaviness away. “Fine. Tapi kalo ada apa-apa—if anything, buat lo kesusahan, ngerugiin lo. You tell me, okay?”
Jake bergumam, memastikan pada Jay kalau dia akan lakukan yang diucapkan si lelaki barusan, lalu biarkan Jay berbalik kesisi tempat tidur yang lain sebelum pamit untuk tidur. Once he hears soft snores coming from Jay, Jake menatap langit-langit kamar, menghela nafasnya dalam.
It’ll be fine. Jake rapalkan mantra itu terus menerus. They’ll be fine.
Jay bangun seorang diri di atas kasur yang cukup berantakan, disambut sinar cahaya matahari yang menyilaukan mata—tanda kalau waktu menunjukkan tengah hari. Mengerang. He was prepared to see his body naked, tanpa satu helai pun benang, layaknya hari-hari tiap Jay dapati dirinya nikmati mewah dalam alam mimpi. Namun saat jarinya tidak sengaja sentuh katun di bagian badan atas, Jay could not help but stunned, tubuhnya seketika membeku—teringat soal apa yang terjadi semalam.
Jay beranjak dari kasur dengan cepat begitu kesadarannya kembali seutuhnya menuju ruang tamu. Detak jantungnya ribut bukan main saat mendengar samar suara lelaki, tampak seperti tengah berbicara seorang diri.
Sadar tebakannya benar, Jay merasa tengah dipermainkan semesta. Sebab berdiri tidak jauh dari pintu kamar tidurnya adalah Jake yang tengah memegang ponsel, tampak terhubung dengan panggilan suara dengan siapapun yang Jay tidak ketahui, mengenakan apron berwarna hitam milik Jay.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, aroma bawang putih ditumis dan omelet yang jadi kesukaannya membuat Jay pusing bukan main. What the fuck? He didn’t say that aloud. Namun sepertinya sadar akan presensi dirinya, Jake menoleh saat Jay masih tengah dilanda syok hebat. Tersenyum dan jauhkan ponsel yang digenggam begitu Jake temui jelaga milik Jay.
“Pagi, I bet you slept well?”
Jay mendekat, berdiri cukup jauh dari tempat Jake untuk menjaga jarak. Acuhkan rasa sesak yang melingkar di paru-parunya, pun Jake yang menatap dengan lamat. “Y-yeah… Lo ga balik?”
Jake tersenyum lebar, dan Jay bersumpah yang dilihat olehnya adalah pemandangan paling indah di pagi hari selama dua puluh tahun lebih dia hidup di dunia. Sebab katakan dia gila, katakan dia bucin, but Jake in his clothes, lengkap dengan apron milik Jay yang melingkar di tubuh semampai si November, rambut yang ditata asal, pun bibir ranum yang tidak perlu dipoles make up untuk terlihat merah, sanggup untuk hisap seluruh kewarasannya.
“Pengen masakin lo sarapan dulu.” Fuck. Jay dibuat pusing bukan main. Does Jake not know how his words could affect him? Jay mengumpat lagi dalam hati. Mati-matian untuk terlihat biasa saja. Sampai Jake memberikan gestur bahwa dia hendak mengakhiri panggilan telepon. “Besides, gue rasa masih ada yang perlu kita bicarain. Don't you think?”
Jay menelan salivanya. Masih tidak dapat memproses kalau rencana yang Jake usulkan semalam betul-betul akan mereka lakukan. It sounds funny; it sounds like a betrayal. Jay berkali-kali sampaikan itu pada Jake, namun seperti kali sebelumnya, Jay juga sadar kalau mereka tidak punya pilihan lain.
Jadi pada akhirnya mereka habiskan waktu sarapan berdua untuk susun strategi yang sama-sama menguntungkan kedua pihak, dimana Jake masih bisa habiskan waktu bersama Heeseung sementara Jay tidak lagi perlu tersiksa setidaknya sampai semua kembali menjadi normal lagi.
Hal pertama yang Jay dapati saat kembali ke kampus setelah seminggu penuh absen dari seluruh kelasnya adalah Chisa yang menatapnya seperti tengah melihat hantu; kedua pupil sahabatnya itu melebar seperti bola matanya akan copot dalam hitungan detik, pun Jay dapat melihat seberapa terkejutnya Chisa dari bagaimana bibir sahabatnya itu terbuka lebar.
“Gue masih hidup by the way,” Ucap Jay begitu tubuhnya bersandar di bangku yang berada satu baris di depan bangku Chisa. “Bukan hantu.”
“I, for real, though the next time I hear about you is about your funeral.” Jay tertawa, too loud for his own liking, hampir terjungkal dari bangku yang diduduki. Namun Chisa lebih dulu memukul lengan atasnya, nyaring sampai mengundang atensi teman sekelas mereka lainnya.
Keduanya hampir terlibat adu mulut jika saja suara Jake tidak menginterupsi, buat Jay dan Chisa menoleh dengan cepat pada si lelaki yang mendatangi mereka. “Gue boleh duduk di sini?” Jake berdiri dengan ransel hitamnya, menunjuk bangku kosong di sebelah Jay.
Chisa melirik Jay, kemudian menoleh lagi pada Jake. Berusaha sekuat tenaga untuk menjaga ucapannya untuk tidak merusak suasana. “Sure,” Jay menjawab. Menggeser barangnya yang sedikit mengambil tempat di bagian meja Jake.
Kedua lelaki itu menghadap depan setelahnya, sampai Profesor mereka memasuki ruangan, meninggalkan Chisa yang speechless dan semakin histeris saat beberapa kali Jay dan Jake bertukar obrolan dan canda.
"What was that?”
Jay menoleh, menghentikan langkahnya saat Chisa menghadang. “Apa?”
Sahabatnya itu mengernyit, looking at him suspiciously. “You and Jake, lo ga pernah sedeket itu sampe Jake mau duduk di samping lo. Mind you, there were a lot of empty seats when he arrived.”
Jay chuckles. Rangkul tubuh sahabatnya itu sebelum membawa keduanya berjalan menuju kantin kampus. “He’s always around tiap gue sama Heeseung bikin lagu, we weren’t that close, tapi sekarang udah lebih deket I think?”
Chisa masih menatap curiga padanya sampai mereka habiskan makan siang, namun Jay memilih untuk mengacuhkan pandangan sahabatnya itu. Jay tidak ingin Chisa tahu.
The arrangement is simple. For once in two days, Jake akan habiskan waktu di apartment Jay, sleeping in. Tidur berdampingan dan pagi harinya Jay akan mengantarkan Jake ke kelas pagi si lelaki, menurunkan Jake tidak terlalu jauh dari pintu masuk kampus mereka.
Saat Jake tidak bisa menginap karena jadwal si lelaki yang bentrok atau ada agenda lain yang Jake prioritaskan—hanging out with his friends, for example—keduanya hanya habiskan waktu bersama untuk makan atau menonton film yang Jake rekomendasikan seperti pasangan pada umumnya—kedua tangan saling bertautan selama itu.
They don’t do anything more than that, pun Jay tidak menginisiasi apapun—cukup tau diri dan tahu tempat untuk tidak memanfaatkan kebaikan Jake padanya. Untuk beberapa minggu setelah mereka setuju dengan rencana ini, the loop stop occurring. Jay tidak lagi perlu menahan tidurnya selama berhari-hari, tidak lagi mereka dapati keduanya terbangun dengan tubuh telanjang tanpa mengingat apapun yang terjadi malam sebelumnya.
Di pagi hari Jay acapkali membelikan Jake sarapan dan menyiapkan makanan yang dibeli sebelum Jake bangun, they exchanged small talk over their breakfast, namun tidak pernah lebih dari sekedar urusan kuliah. It was fine, things were good for a while. Sampai akhirnya Jake tidak muncul di pintu apartemen Jay pada waktu dan janji yang seharusnya, pun saat esok harinya Jay tidak mendapati keberadaan si lelaki di kampus mereka.
“You good?” Chisa bertanya saat keduanya berjalan dari parkiran kampus bersamaan, menuju kelas masing-masing yang kebetulan berada di gedung yang sama.
Jay mengangguk. “Yeah. All is good, gue duluan?”
Chisa mengangguk walau tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Jay barusan, melambaikan tangan sebelum Jay memasuki kelasnya.
Jay merasa ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman sepanjang hari, hanya saja si April tidak dapat mengidentifikasinya dengan pasti, terlebih saat kelas terakhir selesai dan Jay tidak mendapati keberadaan Jake dimana pun yang Jay datangi hari ini. Not even in the canteen during their lunch time.
Sure, Jake never promised him anything, tidak pernah katakan kalau dia akan terus temui Jay, tidak pernah mengatakan kalau keduanya kini menjadi teman dekat hanya karena keduanya sering bertukar obrolan. Tapi setelah tiga minggu keduanya menghabiskan waktu untuk ‘re-charge their connection’—seperti yang Jake katakan—mudah untuk merasa bahwa itu adalah rutinitas mereka yang baru. So, when Jake doesn’t show up everywhere or anywhere, perasaan tidak enak itu kembali tereskalasi.
“Hoon.” Sunghoon jadi yang pertama Jay hubungi, sebab Jay ingat kalau Sunghoon paling sering berada di kelas yang sama dengan Jake. Not that Jay was keeping a track, he just happened to see the guy often exit the same classroom as Jake’s on the same day. “Kelas terakhir lo tadi sama Jake, kan?”
“Iya, tapi hari ini anaknya ga masuk tuh. Tadi ditanyain dosen juga ga ada yang tau, padahal kelas pagi tadi dia ada kok.” Jay menghentikan langkahnya begitu saja, berbalik dengan cepat menuju tempat parkir dimana mobilnya terparkir. Shit. Jantungnya berdegup sangat cepat, cemas bukan main.
Jake, for as long as Jay knows him, bukan termasuk mahasiswa yang dapat dengan mudah melewatkan kelas, terlebih tanpa alasan yang jelas. Jake juga bukan seorang yang biasa memutuskan hal tidak logis tanpa berpikir panjang. It’s just not him.
“Jake pernah kayak gini juga?” Jay coba bertanya, memastikan. Lalu hening di sambungan telepon membuat Jay sedikit banyak mendapat jawabannya, tau kalau Sunghoon akhirnya tersadar.
“Gue kirim alamatnya lewat chat.”
Chapter 4
Summary:
“You look happy—Happier.” Chisa ucapkan itu sebulan kemudian. “So does Jake.” Ketiganya tengah habiskan akhir pekan mengunjungi kebun raya; Jay butuh pemandangan baru yang sesuai dengan tugas fotografi lanskap, sementara Jake ingin terlepas dari penat kuliah. Chisa ikut serta karena alasan yang tidak jauh berbeda dengan Jake, ditambah menjaga kedua teman lelakinya itu untuk menjaga sikap.
Jay bergumam, tangannya masih asik mengatur setting manual kameranya. “He makes me happy.”
Notes:
warning: there's an implied or mentioned of an abusive household di bagian tengah ceritanya, brief description of violence.
this is the last chapter of this fic (for real now) :] terima kasih udah membaca sampai sejauh ini ❤️
(See the end of the chapter for more notes.)
Chapter Text
“Who did this to you?” Begitu dibukakan pintu oleh si pemilik rumah, a small house yang jadi tempat Jake tinggal, Jay disuguhkan oleh pemandangan yang mengejutkan. The inside of the house looks normal, lebih baik dari keadaan apartemennya saat Jay putuskan untuk tidak tidur selama lima hari. Namun luka di tangan Jake dan rambut si lelaki yang berantakan membuat panik menjalar di sekujur tubuh Jay.
“Get away.” Jake yang hampir mengunci diri kalau saja Jay tidak lebih dahulu menahan pintu depan rumah, dan menerobos masuk, menatapnya dengan nyalang. Namun ada keputusasaan yang tersirat disana.
“Jake, I’m serious. Siapa yang ngelukain lo?”
“And why the fuck do you care?!”
Jay dapat lihat amarah yang Jake tahan, makian yang Jake telan bulat-bulat pada dunia. But he doesn’t stop . Jay tidak ingin berhenti dan acuhkan kondisi Jake saat ini. Jay tidak bisa berpaling dan diam hanya karena Jake meminta. He deserves to know, and Jake deserves to know that Jay will do anything for the sake of his well-being, his safety.
Jadi begitu Jake kehabisan tenaga, bahkan untuk berdiri, Jay rengkuh tubuh si November, bawa Jake ke dalam pelukannya dan berikan hening untuk menenangkan diri. Biarkan isak tangis itu pecah, biarkan Jake mengatur nafasnya perlahan. Biarkan Jake tumpahkan semuanya di hadapan Jay, dalam pelukan hangat yang disemogakan cukup untuk buat si November baik-baik saja.
“I care about you, Jake.” Jay bisikan kalimat itu saat deru nafas Jake perlahan kembali teratur, biarkan lengannya dicengkram erat oleh Jake sebagai tumpuan— grounding . “ And I know you don’t deserve any of this, lo adalah orang terakhir yang pantes disakitin. Lo orang terakhir yang berhak diperlakuin kayak gini.”
Jake masih sesegukan saat berusaha menghela nafas, cengkramannya erat pada baju yang Jay kenakan.“Gue belom mau ngomongin ini.”
Jay mengangguk paham, tidak lagi mendesak Jake untuk bercerita. “Tapi lukanya diobatin dulu, ya? Lo istirahat, gue bersihin pecahan kaca yang lain.”
Enggan mendebat, Jake menurut, biarkan Jay membawanya ke meja makan, menjauh dari segala sesuatu yang berpotensi untuk menyakiti. Sementara Jay mencari persediaan obat luka yang berada di kotak P3K, ucapan Heeseung beberapa saat lalu kembali penuhi kepalanya, menggerogoti tanpa ampun.
Tapi kamu sadar ga sih, sikap kamu sekarang kayak orang yang lagi selingkuh? Kamu lebih banyak abisin waktu sama Jay , you even let him drop you off. Di depan mata aku. My friends asked about it, tau ga? People talk about you and Jay, and they look at me like they pitied me. Aku ga suka dikasihanin Jake, tapi apa yang kamu lakuin sekarang? Kamu sengaja bikin aku dikasihanin orang-orang?
You want to end things? So it's true that you went out with Jay supaya bisa mutusin aku? What did you see in him? Duitnya banyak? Kalau aku tau kamu semurah ini, I wouldn't bother to ever date you.
Jake menggigit bibir bawahnya lagi— out of habit—it scares him. Semua yang Heeseung ucapkan padanya cukup untuk membuat Jake merasa kecil, merasa rendah, merasa kotor. Maybe he deserves it, he deserves to be called that way. Lelaki murahan, tidak tau adab.
This is why your father doesn't want you.
Mungkin yang Heeseung katakan benar adanya; alasan ayahnya tidak menginginkan dia tinggal lama di rumah, alasan kedua orang tuanya bertengkar dan berakhir menyekolahkannya jauh dari mereka. Maybe it's true, it's true that he's—
“Jake? Jake. Hey.” Guncangan di bahunya membuat Jake kembali terhisap ke alam sadar, menolehkan kepala dengan cepat, temui sorot mata Jay yang sarat akan panik, buat Jake membuang nafas yang sejak tadi–secara tidak sadar—ditahan. He lets out another sob , rasakan Jay yang merengkuh tubuhnya lagi ke dalam pelukan erat. “Shh… shh… tarik nafas, okay? Lo ga sendiri, lo ga bakal sendirian.”
Jake kembali habiskan sore hari itu dengan menangis, ucapkan sepatah dua kata pada Jay diantara kesesakan yang dirasa. Jay didn’t let go of him even for one second , konsisten memberikan ketenangan juga menyadarkan Jake bahwa dia tidak sendirian. Untuk pertama kalinya, Jake biarkan dirinya tidak berdaya, jujur tunjukkan betapa rapuh dirinya pada Jay—tanpa berusaha melawan, tanpa berusaha jadi baik-baik saja.
Funny thing is, it’s Jay who stays with him . Teman-teman yang selama ini Jake anggap dekat, menjauhkan diri darinya dan memandang sinis dari arah meja kantin tempat Heeseung berada. It’s not like he expects them to be on his side, Jake hanya berpikir kalau mereka tidak akan memihak siapapun, because they were his friends before anything else.
“Hari ini mau makan apa? Aku yang ngantri.” Jake mendongak, temui sorot mata Jay yang terfokus padanya. There’s a smile on Jay’s face; sebuah senyuman yang terkhusus Jay tunjukan hanya padanya. Kantin hari ini ramai, dan setiap kali ada antrian panjang, Jay selalu menawarkan hal yang sama. It’s the simple thing that makes Jake feel appreciated. Jadi pada akhirnya si November mengikut, biarkan Jay membelikan makanan.
“Nasi bento?” Jake mengangguk, lalu beralih pada Chisa yang sejak tadi memperhatikan keduanya, membiarkan si perempuan memilih makanannya. Beberapa hari terakhir banyak Jake habiskan dengan Chisa tiap kali Jay tengah sibuk dengan urusannya sendiri. Belum terlalu akrab, namun presensi Chisa di dekatnya beberapa waktu terakhir membuat Jake sedikit banyak merasa nyaman dan tidak sendirian.
“Kare, tapi jangan yang pedes. Sama es teh aja.” Setelah selesai mengingat tiap pesanan teman-temannya, Jay menghampiri satu persatu kedai tempat makanan dijual. He doesn’t think about anything else, atau perhatikan hal lain sampai harus berbagi antrian bayar dengan Heeseung di samping kirinya.
Heeseung tidak menyapa, hanya mendengus saat sadar akan presensi Jay dan setelahnya bertingkah seolah Jay kasat mata. Jay pun tidak mau ambil pusing, enggan berbicara. Katakan pertengkaran keduanya konyol, tapi Jay tetap tidak bisa menghargai Heeseung seperti sedia kala setelah tau yang diucapkan si lelaki pada Jake berapa hari lalu.
“Gimana sisaan gue, enak?” Jay menoleh dengan cepat ke arah Heeseung, nyalak amarah terlihat di kedua netranya. Namun Heeseung tidak bergeming, justru tampilkan senyum remeh yang sulut kekesalan Jay. “Udah diapain aja sampe anaknya nurut banget, ngikut lo kemana-mana?”
Jay tidak ingat apalagi yang Heeseung ucapkan setelahnya, tidak lagi dengar ucapan pengguna kantin lainnya karena yang si lelaki ingat adalah baku tangannya yang temui wajah Heeseung, darah yang mengalir disana dan pukulan balasan yang dirasakan tidak lama kemudian.
It was painful. Everything about it aches; his hands, his face, even his heart aches. Namun kabut amarah yang menutupi logika buat Jay sungkar untuk berhenti, sampai tarikan kuat di kerah bajunya dan sentuhan kedua tangan lentik Jake di dagunya, pun teriakan si lelaki buat kesadaran Jay kembali. It is just a matter of seconds until his body is dragged away from the crowd by Jake.
Jay meringis saat alkohol antiseptik menyentuh luka di ujung bibirnya, namun tidak berani layangkan protes saat netranya temui sorot dingin yang Jake tunjukan. Nafasnya berderu cepat, pun keringat dingin mengalir di pelipisnya saat sakit di sekujur tubuhnya terasa semakin intens. Keduanya tengah berada di klinik fakultas, Jake tengah membersihkan luka di wajah Jay setelah membaringkan si lelaki di atas kasur.
Keduanya tidak berbicara, sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing sampai Jay beranikan diri untuk menatap Jake, meminta maaf kemudian. “Maaf…” Suara Jay terdengar parau, seperti tengah berbisik. Sementara Jake tidak bergeming, masih sibuk membubuhi obat.
“Jake, gue minta maaf.” Ulangnya lagi, kali ini mencengkram pergelangan tangan Jake untuk tarik seluruh atensi si November, menghentikan pergerakan tangan Jake.
Menghela nafas, Jake letakkan tub obat luka yang sejak tadi dipegang ke nakas yang ada di samping tempat tidur, kemudian menunduk dan enggan untuk menatap Jay. “Gue ga suka dibuat khawatir.”
Jake sounds broken. Like he is the one in pain instead of Jay, tapi sedikit banyak Jay bisa pahami itu. Buat si April kembali dilingkupi rasa bersalah. Cengkraman tangan Jay di pergelangan tangan Jake melonggar; genggam tangan si November. “ I know, Jake, I know. And I’m really sorry . Harusnya gue ga kesulut emosi dan bikin semuanya jadi makin runyam.”
Jake mengangguk, bawa genggaman tangan mereka menempel ke pipi kanannya, buat Jay membeku pada posisinya tidur. Tapi Jay membiarkan Jake mencari ketenangan, pun pasrah saat cengkraman tangan si November semakin erat pada tangannya.
“Yang terjadi sama gue dan Heeseung, it was never your fault. We are just meant to end.” Ucapan Jake terdengar tidak begitu jelas, namun cukup untuk dapat dipahami oleh Jay. “Gue ga mau mengasosiasi diri gue dengan Heeseung lagi, dan gue harap lu juga ga perlu kepancing kayak tadi lagi.”
Jay tidak langsung menjawab, tidak begitu setuju dengan kalimat pertama Jake, namun memilih diam dan memperhatikan Jake dengan seksama—tiap garis wajah dan ekspresi yang ditunjukkan sebelum menganggukkan kepala. “Okay…”
“Promise?” Jake menjulurkan jari kelingkingnya, meminta pinky promise layaknya anak kecil yang butuh jaminan untuk tidak dibohongi. Jay finds it cute. Pun tanpa berpikir panjang Jay membalas dengan jari kelingkingnya juga. “Promise.”
There’s something shifted in the air ever since his fight with Heeseung, Jay could tell. But it’s not something unexpected. Jay paham betul kalau keributannya dengan Heeseung beberapa hari lalu akan jadi perbincangan besar bagi teman-teman kampus, he just wish Jake’s name wasn’t mentioned in every talks about him and Heeseung.
Jay masih merasa tidak adil bagi Jake untuk dilibatkan seperti itu, meski Jake sudah berulang kali meyakinkan bahwa ini bukan sepenuhnya kesalahan Jay. And speaking about the guy, belakangan Jake jadi sering habiskan waktu bersama Jay, he’s everywhere in his life now. Not that Jay is complaining. Hanya saja ada sedikit rasa bersalah yang sulit untuk Jay acuhkan begitu saja.
People are picking sides, semuanya punya opini masing-masing, berbicara seolah mereka yang secara langsung terlibat dalam hubungan Heeseung, Jake dan dirinya. Jay memilih untuk tidak terlalu mengikuti obrolan tersebut, tidak ingin membuat masalahnya semakin rumit. He talked about them to Jake once, and when Jake said he does not want to give any attention to the gossip, Jay coba untuk lakukan hal yang sama.
Just focus on us . Jake ucapkan itu suatu sore saat keduanya habiskan waktu menonton drama series baru kesukaan Jake di apartemen Jay. It wasn't supposed to sound more than an assurance, but the way Jake worded it made Jay’s stomach twisted. Is he the bad one to put a hope on whatever they’re starting to have?
“Clay yang aku pesen minggu lalu baru nyampe tadi pagi.” Keduanya memilih habiskan waktu kosong mereka di taman belakang kampus, nikmati terpaan angin sore dan suara merdu siulan burung yang bertengger di pohon yang ada di atas mereka.
“Hmm…” Jay bergumam, biarkan Jake menyandarkan kepala di bahunya. “Sesuai sama yang kamu mau?”
Jake mengangguk, menoleh pada Jay dan mendongak. “Agak mahal tapi jujur bagus banget. Aku belom kepikiran mau dipake buat apa, rencananya cuma mau stock, tapi jadi kepengen ke studio hari ini.”
Jake sounds genuinely happy, and that puts a smile on Jay’s face. “Mau aku temenin atau mau sendiri aja?”
“Temenin.” Jake jawab pertanyaan itu tanpa berpikir, buat senyum di wajah Jay semakin terlukis lebar. “Aku mau beli paket rice box sekalian buat makan malem, lumayan kalo berdua jadi lebih murah.
Jawaban Jake membuat Jay menaikkan sebelah alisnya, menatap Jake dengan tidak percaya. “Oh, jadi butuh aku nya cuma buat dapet promo?”
Jake tertawa, menatap langit biru dari balik rindangnya pohon beringin yang tutupi keduanya dari terik matahari. He doesn't answer Jay’s question, mengalihkan topik begitu saja. “Aku jahat ga kalo aku bilang aku ga pengen sendirian dulu? Aku kepengen bilang ini dari kemaren-kemaren tapi kayak manfaatin kamu.”
Jay menggeleng, cengkram erat bahu Jake. “Menurutku kamu ga jahat cuma karena kamu mau ditemenin. Nanti aku temenin kamu di studio. Besok aku temenin kamu lagi pas makan siang. Aku bakal temenin kamu sampe kamu bosen.”
Jake tertawa. He giggles. And the sound is enough to make Jay’s heart almost jump out of his ribcage. Ah, persetan soal ini dan itu. Mulai sekarang Jay hanya ingin buat Jake tertawa bahagia.
“You look happy—Happier.” Chisa ucapkan itu sebulan kemudian. “So does Jake.” Ketiganya tengah habiskan akhir pekan mengunjungi kebun raya; Jay butuh pemandangan baru yang sesuai dengan tugas fotografi lanskap, sementara Jake ingin terlepas dari penat kuliah. Chisa ikut serta karena alasan yang tidak jauh berbeda dengan Jake, ditambah menjaga kedua teman lelakinya itu untuk menjaga sikap.
Jay bergumam, tangannya masih asik mengatur setting manual kameranya. “He makes me happy.”
“Tau.” Chisa membetulkan posisi tidurnya di atas karpet piknik mereka, menoleh pada Jake yang tengah duduk di pinggiran danau yang tidak begitu jauh dari mereka, asik menggambar sketsa patung yang ada di sekeliling danau. “Kalo empat bulan lalu gue bilang lo bakal sedeket sama ini sama Jake, lo bakal percaya?”
Jay mendongak kali ini, menatap sahabatnya sebelum menggeleng. ”Talking to him directly was a dream for me back then.”
Chisa terkekeh saat mengingat betapa menyedihkan sahabatnya itu dulu. “I’m not saying I’m thankful for what happened between him and Heeseung, tapi gue seneng how it makes you two end up together.”
Jay menaikkan sebelah alis, menghentikan kegiatannya begitu saja dan beralih pada Jake yang melambaikan tangan padanya. He doesn’t know how to feel about what Chisa said.
“Gue ke Jake dulu.” Chisa bergumam, mempersilahkan Jay sembari menikmati angin yang menyentuh permukaan kulitnya. Sementara di tempatnya, Jake tidak berhenti melihat ke arah Jay, memperhatikan setiap langkah si April.
“Hey,” Jay menyapa, disambut oleh senyum manis Jake yang kemudian menggenggam tangan Jay begitu jarak di antara keduanya tidak lagi terbilang jauh. “Need my help?”
Jake mengangguk. “Kamu duduk disitu dong, the scenery is pretty here. Aku jadi pengen gambar kamu.”
Menurut, Jay duduki salah satu bangku yang ada di dekat Jake—terbuat dari batu dan berada tepat di hadapan Jake. He looks around then, sedikit ingin membuktikan penilaian Jake barusan. Saat Jay dapati indah pemandangan yang Jake maksud, dia kembali menoleh ke arah si November. “Kamu mau aku pose kayak gimana?”
Jake tampak berpikir sejenak. “Kayak lagi mikir, tapi mikirin sesuatu yang kamu suka!”
“Kalau yang aku suka wujudnya manusia?”
“Boleh.” Jake membuka lembar baru di buku sketsanya kemudian, bersiap untuk kembali menggambar.
Sementara Jay bergumam, tahu kalau Jake tidak akan dengar, jadi dia kembali bertanya. “Boleh sambil diliatin juga ga?”
Ucapannya itu membuat Jake mendongak, temui jelaga Jay yang menatapnya dengan lamat. Sebuah senyum terlukis di wajah tampan Jake setelah hening yang cukup mendebarkan, buat Jay ikut tersenyum. “Rewel,” Jake meledek. “Just do whatever you want, you are not the main character here.”
Jay tertawa, kali ini tidak lagi berkomentar, menghargai Jake yang sudah mulai menggambar. Seperti yang dikatakan sebelumnya, sepanjang sesi menggambar, Jay hanya menatap Jake. Dan kalau versi gambar dirinya terlihat seperti tengah jatuh cinta, then kudos to Jake for capturing exactly that.
“J-jay…” Jake pants. Cengkraman tangan pada lengan si April semakin kuat. Jake dapat rasakan Jay yang menghentikan pergerakannya secara langsung, tangan si lelaki menangkup kedua rahangnya dengan penuh hati-hati.
“Too much?” His raspy voice sent shivers down to Jake’s whole body. He could feel himself leaking again.
Jake mengangguk, lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat dalam ritme yang asal-asalan. Tingkahnya itu undang tawa dari Jay yang kini tengah mengusapkan ibu jari ke atas pipi Jake, adoring what he’s seeing. “Udah ga bisa ngomong, hm? Dumb, puppy.”
Jake mengerang. Kedua tangannya meraba-raba, mencari pegangan sampai Jay lingkarkan keduanya di leher si lelaki. “Satu lagi ya? Can you give me one more, pup?”
Jake doesn’t know, too fucked up to even think. But he let him use his body anyway, biarkan Jay menjamah setiap inci tubuhnya dengan penuh puja, tinggalkan tanda kepemilikan di tempat-tempat yang Jake tau akan menjadi kontroversial saat bangun di esok hari, dan meraup satu lagi putihnya bersama.
Lalui menit-menit berikutnya dengan setengah kesadaran, Jake tersenyum saat rasakan Jay membersihkan tubuhnya dengan telaten dan penuh hati-hati. Jake thinks it’s adorable. The way Jay treats him so carefully, like he’s the most treasured thing in the world; as if he is worth billions of dollars.
“I love you…” Jake terkekeh saat Jay refleks menghentikan kegiatannya, it turned into a hearty giggles saat Jay bubuhi kecupan di sepanjang garis rahangnya. “Say that back to me.”
“Emang selama ini kurang jelas?”
“But I still want to hear it from you.” Jay tertawa, meletakkan handuk yang digunakan kembali ke dalam baskom sebelum menutup tubuh Jake dengan selimut, dan bubuhi sebuah kecupan di kening si November.
“I love you too, Jake.” So much. So much that I would do anything for you; anything to keep everything that we have. “Sekarang tidur.”
Jake mengangguk, pejamkan matanya. He’s exhausted—sleepy—but happy. The happiest he could ever be over the past month.
Saat mendapati Jake sudah tertidur lelap, Jay kembali merapikan barang-barang bawaan mereka, pun mengumpulkan pakaian yang Jake kenakan sebelumnya. He’s happy, he’s relaxed. Berbanding terbalik dengan Jake, Jay merasa lebih berenergi setiap kali keduanya selesai bercinta. So he’s the one who cleaned up after the mess they left.
This time, however, Jay tersandung kaki kursi yang ada di dalam kamar hotel mereka saat tengah mengambil potret Jake yang tertidur—it’s a mutual consent they both agreed to—hampir saja menjatuhkan tas laptopnya, kalau si lelaki tidak lebih sigap.
Untuk beberapa saat Jay memperhatikan tas kulit itu sebelum meraih laptopnya dengan cepat, teringat ada email tugas profesor jurnalisme fotografi yang belum dibuka. He typed his password, only to be greeted by a website that is so familiar in his eyes.
wishuponan.exe
⚠️ “Congratulations, your wish is successfully granted! We hope that your love will be lasting and your days together filled with joy ;]”
Jay membeku; Jay dapat rasakan nafasnya yang tercekat. He looks at the boy sleeping on the bed, lalu kembali membaca pesan yang tertera di layar laptopnya.
“Shit.”