Actions

Work Header

wishuponan.exe

Chapter 3

Summary:

“Lo repot-repot mau bantuin gue padahal yang bikin masalah gue sendiri, dan dipikir-pikir gue ngelibatin lo tanpa sepengetahuan atau konsen dari lo. I’m a total shit, and you have every right to walk away from my suffering—”

“But I don’t.” Jake menyahut, pangkas kalimat Jay begitu saja sebelum si lelaki sempat menyelesaikan.

“That’s the thing. You don't. And that makes me confused, you know.”

Notes:

i keep on adding a new additional chapter i cant help it lol (the last chapter will be published very soon as well) (i think)

Chapter Text

It’s been days since they last spoke to each other; days since the last time Jake saw him. Di beberapa kesempatan Jake temani Heeseung berkutat dengan tugas lagunya, Jay tidak pernah muncul. 


Berkali-kali Jake meyakinkan diri kalau keduanya tidak perlu berurusan lagi, kalau Jay yang terus menerus absen dalam kegiatannya tidak memiliki korelasi dengan obrolan terakhir mereka. Namun saat Jay tidak juga muncul di kelas yang mereka sama-sama ikuti, Jake could feel his tension heighten. 


Chisa, sahabat perempuan Jay yang Jake kenal berkat kelas bersangkutan, juga terlihat sama gelisah dengannya.


Sampai kelas berakhir, Jay masih tidak terlihat. Membuat Jake berpikir, apa ucapannya tempo hari terlalu berlebihan? Did he cross a line he shouldn’t cross?


Jake ingin sekali tanyakan teman-teman Jay, but then he realised, they were never that close for him to ask around about his whereabout without raising suspicions. Jadi sampai hampir seminggu lamanya, Jake memilih untuk menyimpan sendiri kegelisahannya.


You good? Capek ya? Mau pulang duluan aja? Aku bisa anterin dulu.” Jake menggelengkan kepala, di sela ibu jari Heeseung yang mengusap pelan wajahnya—membiarkan. “Atau udahan aja kali ya.”


Jake mengernyit, tidak ingin Heeseung menyia-nyiakan waktu membuat tugas hanya untuk dirinya. “Jay ga dateng lagi?” 


Bohong kalau Jake tidak lihat eskrepsi Heeseung yang berubah masam, bohong kalau Jake tidak menyadari perubahan atmosfer di antara keduanya saat nama Jay disebut. But he couldn’t just get it, why does Heeseung act that way? Out of everyone, Jay is the last person he needs to be jealous of.


Jay bukan tipe Jake. Bukan pula dalam hubungan yang dapat menggantikan sosok Heeseung dalam hidupnya. He loves Heeseung so deeply. Why isn’t it enough?


“Dia ga bisa dihubungin tuh. Aku udah coba samperin kelasnya, nanyain temen-temennya, tapi dia ga muncul di kelas juga. Mungkin lagi ada masalah personal?” Heeseung menjelaskan. Untuk sepersekian detik, Jake pikir Heeseung bisa bertindak normal, merespon pertanyaannya dengan kepala dingin. 


“Kenapa nanya aku, deh? Aren’t you close with him? Kamu abisin banyak waktu sama dia toh, you must know better than I—”
“Aku pulang sendiri.”


By that, Jake doesn't wait for Heeseung to respond. Membanting pintu studio musik Heeseung, dan pergi begitu saja. Jake memutuskan untuk mendial nomor ponsel Jay, berharap setidaknya ponsel si lelaki aktif. 

 


Namun saat suara operator mengungkapkan kalau nomor Jay tidak dapat dihubungi, Jake dengan cepat mencari kontak Chisa di portal sosial media kampus. Jake remember, there’s a poster with Chisa as the contact person, diunggah beberapa bulan lalu saat kampus mereka menyelenggarakan acara musik akbar.


“Chisa? Ini Jake. Gue mau nanya, kalo semisal lo tau Jay dimana?” Suara di sebrang sana samar terdengar, larut dalam ributnya lalu lintas dan obrolan orang-orang, membuat Jake kesulitan menangkap keseluruhan cerita si perempuan. 


Saat sambungan itu berakhir, Jake dapati dirinya terengah. Jantungnya berdetak dengan begitu cepat seperti baru saja mengikuti lari maraton. Dengan cepat Jake memutar arah jalannya menuju gerbang kampus, memanggil taksi yang lewat, dan mengucapkan alamat apartemen Jay ke supirnya.

 


 


Saat Heeseung katakan kalau Jay sedang tidak bisa dihubungi, tidak pernah terlintas di kepala Jake kalau penyebabnya adalah kondisinya yang kacau balau–jauh dari kata manusiawi. Saat Chisa katakan kalau Jay sedang tidak baik, Jake tidak berpikir kalau yang dimaksud adalah demikian buruk. 


He looks void. And Jake is terrified.


Sebab meski tidak kenal dekat dengan si lelaki, Jay yang selama ini Jake lihat berbanding terbalik dengan Jay yang saat ini didapati di depan mata—pandangan kosong dan raut wajah sarat akan letih.


“Jay?” Terkejut karena Jake yakin Jay tidak pernah menduga presensinya, si lelaki dengan cepat berdiri dari posisinya duduk, buat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh ke lantai jika bukan Jake yang dengan sigap menangkap tubuh Jay. “Easy and steady, easy and steady,” Ucap si November berulang-ulang, berbisik, sampai Jay bernafas cukup tenang.


Cengkraman tangan Jake yang masih melingkar di tubuh Jay buat posisi keduanya saling menempel, tidak berikan ruang bagi sedikitpun pergerakan. Hanya deru nafas yang bersahutan dan detak jantungnya sendiri yang Jake dapat tangkap, juga aroma musk dari tubuh Jay yang menguar dalam jarak mereka yang begitu dekat.


“What the fuck are you doing here, Jake?” Jay yang pertama kali jauhkan tubuh keduanya, serak lingkupi ucapnya, tatap si November dengan tajam meski amarah yang seharusnya ditunjukkan tertutup lelah dari sorot jelaga miliknya.  


Jake laughs. Frantically. He sounds far from the Jake Sim everyone knows; he sounds like a maniac. “You know you don’t have any right to be mad right now karena harusnya gue gak sih yang marah? The fuck are you doing to yourself, Jay?” Jake pijat pelipisnya dalam ritme pelan saat netranya temui jelaga Jay yang terlihat kosong. “Just— fuck. Do you really want to die that much?!”


Jake dapat rasakan amarah lingkupi tubuhnya, panas membara, siap untuk meledak kapanpun yang dia mau. Namun sorot yang Jay tunjukkan undang sesak di bagian dada yang terasa asing bagi Jake. “And if I do?” Tanyanya disampaikan dengan senyum tipis yang terukir miris, “What are you gonna do about it?”


Jake mengusap wajahnya, berucap dibalik telapak tangan. Dan meski sulit, Jay masih bisa dengar ucapan si November berikutnya. “That’s stupid, we both know that.”


“Terus lo mau gue gimana, Jake?” Jay sounds desperate now, teringat akan percakapan mereka terakhir kali yang berakhir dengan pertengkaran hebat. Terkadang Jake sulit sekali untuk ditebak, buat Jay frustasi. “Do you have a better solution than this?”


“I do.” Balasan itu datang lebih cepat dari yang Jay kira, buat si April menatap dengan kedua pupil yang melebar. “I’ll sleep here tonight, with you.”


“Hah?”


“Lo bilang di website itu lo nulis buat bikin kita pacaran, right?” Jay mengangguk tanpa berpikir panjang, melongo atas ucapan Jake barusan. “Yaudah kalo gitu, why don't we act like one? Starting from me spending the night here, cuma tidur, ga ngapa-ngapain. And since you haven't taken a proper rest—wait, lo belom tidur berapa hari?”


Jay mengangkat kelima jarinya, undang tarikan nafas berat dari Jake yang kemudian memaki. “You’re fucking insufferable.” 


“Kalo ga gitu you’ll wake up naked in my bed again, do you want that?”


Jake menghela nafasnya, menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Yeah, no— What I was trying to say, since lo udah ga tidur lima hari and you need it. I’ll sleep here, we’ll sleep together like a couple. If my hypothesis is correct then we’ll wake up just fine tomorrow, or else, we’ll see what will happen tomorrow yang penting lo tidur dulu.”


“But–”
“Lo minta solusi yang lebih bagus daripada biarin lo mati karena kekurangan tidur, and I came up with one, so you better do it sebelum gue paksa.”


Jay menghela nafasnya, defeated, mengangguk kemudian untuk hindari kelanjutan dari amarah Jake dan melangkah ke tempat tidurnya. He manages to stay quiet until his body is wrapped under the blanket.If you need new clothes, cari aja di lemari gue yang sesuai. Kalo mau gosok gigi juga I have spare in my toilet cabinet.” 


Jake berdeham sebagai jawaban, merapikan letak tas yang dibawa. Jake bukan seorang yang rapi, namun kondisi kamar Jay mendorongnya untuk ikut membantu membersihkan sampah bekas bungkus kopi kaleng dan botol yang berserakan di lantai. The room smells like a strong caffeine, pun sampah yang berserakan jadi bukti dari usaha Jay untuk tetap terjaga selama lima hari belakangan. 


Orang gila. Jake tidak habis pikir kenapa Jay bisa dengan mudah hampir korbankan nyawanya, hidup serta mimpi, untuk hal sepele yang Jake yakini miliki solusi lebih baik lagi dari apapun yang sudah Jay lakukan. 


Keluar dari kamar mandi setelah mengganti pakaiannya dengan milik Jay yang masih bersih, Jake dapati sosok pemilik kamar tengah menatap langit-langit. Dadanya naik turun dengan teratur, kedua tangan berada di atas perutnya. Dari tempatnya berdiri Jake tidak bisa liat persis ekspresi wajah Jay, hanya menerka kalau si lelaki tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri and somehow it’s true sebab begitu Jake menaiki kasur dan tambah berat pada sisi sebelah kanan, Jay refleks menatapnya dengan keterkejutan yang tidak sempat disembunyikan.


“Mikirin apa?” Jay menghela nafasnya, tersenyum simpul pada Jake yang tengah membetulkan posisi selimut yang menutupi bagian bawah badan si lelaki.


“Lo.” Jawabannya membuat sebelas alis Jake terangkat, bingung pun menunggu lelucon yang diharapkan mengikuti. Namun ekspresi serius yang Jay berikan padanya membuat Jake menelan ludahnya susah payah.


“Gue?”


Jay mengangguk, membenarkan posisi bantal kepalanya sebelum ucapkan yang sejak tadi memenuhi kepala. “Lo repot-repot mau bantuin gue padahal yang bikin masalah gue sendiri, dan dipikir-pikir gue ngelibatin lo tanpa sepengetahuan atau konsen dari lo. I’m a total shit, and you have every right to walk away from my suffering—”“But I don’t.” Jake menyahut, pangkas kalimat Jay begitu saja sebelum si lelaki sempat menyelesaikan. 


“That’s the thing. You don't. And that makes me confused, you know.” Jay bergumam, membalikkan tubuhnya, membenamkan seluruh wajahnya ke bantal tidur, undang dengusan geli dari Jake yang masih menyandarkan tubuh ke headboard tempat tidur, mencari posisi yang nyaman di atas tempat tidur Jay yang tidak terlalu luas itu.


“Lo ga suka gue bantuin ya?” Dari posisi keduanya, Jake dapat liat Jay yang menggelengkan kepala. 


Menunggu, Jake biarkan Jay menenangkan dirinya. Tahu dengan pasti kalau situasi yang mereka alami sama beratnya untuk dimengerti, keduanya sama-sama terjebak dalam untaian nasib yang tragis. Pun kalau boleh jujur, Jake sama frustasinya. Sebab hidup sebelum whatever arrangement they have right now jauh lebih sederhana untuk dijalani.


Setelah cukup lama terdiam, Jay pada akhirnya menghadapkan tubuhnya ke arah Jake, tatap si November dengan begitu lamat dan penuh pertimbangan sebelum utarakan yang sejak tadi ingin disampaikan. “Gimana soal lo sama Heeseung?” 


Jake menghela nafasnya, tatap langit-langit kamar tidur Jay sebelum membiarkan tubuhnya merosot dan kepalanya temui bantal tidur. Kalau boleh jujur, he doesn’t know either. Hubungannya dengan Heeseung sudah berjalan hampir setahun, penuh bahagia pun cinta yang Jake tidak akan pernah mau tukar dengan apapun. Tapi disisi lain ada Jay yang dalam keadaan sekarat, yang membutuhkan Jake untuk ikut campur dalam apapun takdir yang si lelaki bawa pada dirinya sendiri.


Sooner or later Heeseung will know. Jake tahu pacarnya itu sangat pintar, memahaminya dengan sangat baik. But it’s not his top concern right now. Untuk saat ini, Jake hanya ingin lakukan apapun yang bisa cegah dirinya menjadi alasan Jay kehilangan nyawanya. 


Sounds extreme, but given the condition Jake found Jay today, it’s not even an exaggeration.


“Itu urusan gue, I can take care of it.” Jake’s tone was light, berusaha untuk meyakinkan Jay tanpa menyinggung kekhawatiran si lelaki. And of course Jake lied. But Jay doesn't know. He doesn't need to know. “Mending lo pusingin tuh gimana caranya lo bisa make up for your lack of sleep.” 


Jay mendengus, memutar bola matanya dan undang kekehan ringan dari belah bibir Jake—it eases the heaviness away. “Fine. Tapi kalo ada apa-apa—if anything, buat lo kesusahan, ngerugiin lo. You tell me, okay?”


Jake bergumam, memastikan pada Jay kalau dia akan lakukan yang diucapkan si lelaki barusan, lalu biarkan Jay berbalik kesisi tempat tidur yang lain sebelum pamit untuk tidur. Once he hears soft snores coming from Jay, Jake menatap langit-langit kamar, menghela nafasnya dalam. 


It’ll be fine. Jake rapalkan mantra itu terus menerus. They’ll be fine.

 


 

Jay bangun seorang diri di atas kasur yang cukup berantakan, disambut sinar cahaya matahari yang menyilaukan mata—tanda kalau waktu menunjukkan tengah hari. Mengerang. He was prepared to see his body naked, tanpa satu helai pun benang, layaknya hari-hari tiap Jay dapati dirinya nikmati mewah dalam alam mimpi. Namun saat jarinya tidak sengaja sentuh katun di bagian badan atas, Jay could not help but stunned, tubuhnya seketika membeku—teringat soal apa yang terjadi semalam.


Jay beranjak dari kasur dengan cepat begitu kesadarannya kembali seutuhnya menuju ruang tamu. Detak jantungnya ribut bukan main saat mendengar samar suara lelaki, tampak seperti tengah berbicara seorang diri. 


Sadar tebakannya benar, Jay merasa tengah dipermainkan semesta. Sebab berdiri tidak jauh dari pintu kamar tidurnya adalah Jake yang tengah memegang ponsel, tampak terhubung dengan panggilan suara dengan siapapun yang Jay tidak ketahui, mengenakan apron berwarna hitam milik Jay. 


Untuk pertama kali dalam hidupnya, aroma bawang putih ditumis dan omelet yang jadi kesukaannya membuat Jay pusing bukan main. What the fuck? He didn’t say that aloud. Namun sepertinya sadar akan presensi dirinya, Jake menoleh saat Jay masih tengah dilanda syok hebat. Tersenyum dan jauhkan ponsel yang digenggam begitu Jake temui jelaga milik Jay. 


“Pagi, I bet you slept well?”
Jay mendekat, berdiri cukup jauh dari tempat Jake untuk menjaga jarak. Acuhkan rasa sesak yang melingkar di paru-parunya, pun Jake yang menatap dengan lamat. “Y-yeah… Lo ga balik?”


Jake tersenyum lebar, dan Jay bersumpah yang dilihat olehnya adalah pemandangan paling indah di pagi hari selama dua puluh tahun lebih dia hidup di dunia. Sebab katakan dia gila, katakan dia bucin, but Jake in his clothes, lengkap dengan apron milik Jay yang melingkar di tubuh semampai si November, rambut yang ditata asal, pun bibir ranum yang tidak perlu dipoles make up untuk terlihat merah, sanggup untuk hisap seluruh kewarasannya. 


“Pengen masakin lo sarapan dulu.” Fuck. Jay dibuat pusing bukan main. Does Jake not know how his words could affect him? Jay mengumpat lagi dalam hati. Mati-matian untuk terlihat biasa saja. Sampai Jake memberikan gestur bahwa dia hendak mengakhiri panggilan telepon. “Besides, gue rasa masih ada yang perlu kita bicarain. Don't you think?”


Jay menelan salivanya. Masih tidak dapat memproses kalau rencana yang Jake usulkan semalam betul-betul akan mereka lakukan. It sounds funny; it sounds like a betrayal. Jay berkali-kali sampaikan itu pada Jake, namun seperti kali sebelumnya, Jay juga sadar kalau mereka tidak punya pilihan lain. 


Jadi pada akhirnya mereka habiskan waktu sarapan berdua untuk susun strategi yang sama-sama menguntungkan kedua pihak, dimana Jake masih bisa habiskan waktu bersama Heeseung sementara Jay tidak lagi perlu tersiksa setidaknya sampai semua kembali menjadi normal lagi.

 



Hal pertama yang Jay dapati saat kembali ke kampus setelah seminggu penuh absen dari seluruh kelasnya adalah Chisa yang menatapnya seperti tengah melihat hantu; kedua pupil sahabatnya itu melebar seperti bola matanya akan copot dalam hitungan detik, pun Jay dapat melihat seberapa terkejutnya Chisa dari bagaimana bibir sahabatnya itu terbuka lebar. 


 “Gue masih hidup by the way,” Ucap Jay begitu tubuhnya bersandar di bangku yang berada satu baris di depan bangku Chisa. “Bukan hantu.”


“I, for real, though the next time I hear about you is about your funeral.” Jay tertawa, too loud for his own liking, hampir terjungkal dari bangku yang diduduki. Namun Chisa lebih dulu memukul lengan atasnya, nyaring sampai mengundang atensi teman sekelas mereka lainnya.


Keduanya hampir terlibat adu mulut jika saja suara Jake tidak menginterupsi, buat Jay dan Chisa menoleh dengan cepat pada si lelaki yang mendatangi mereka. “Gue boleh duduk di sini?” Jake berdiri dengan ransel hitamnya, menunjuk bangku kosong di sebelah Jay.


Chisa melirik Jay, kemudian menoleh lagi pada Jake. Berusaha sekuat tenaga untuk menjaga ucapannya untuk tidak merusak suasana. “Sure,” Jay menjawab. Menggeser barangnya yang sedikit mengambil tempat di bagian meja Jake. 


Kedua lelaki itu menghadap depan setelahnya, sampai Profesor mereka memasuki ruangan, meninggalkan Chisa yang speechless dan semakin histeris saat beberapa kali Jay dan Jake bertukar obrolan dan canda. 

 


 

"What was that?” 
Jay menoleh, menghentikan langkahnya saat Chisa menghadang. “Apa?”


Sahabatnya itu mengernyit, looking at him suspiciously. “You and Jake, lo ga pernah sedeket itu sampe Jake mau duduk di samping lo. Mind you, there were a lot of empty seats when he arrived.”


Jay chuckles. Rangkul tubuh sahabatnya itu sebelum membawa keduanya berjalan menuju kantin kampus. “He’s always around tiap gue sama Heeseung bikin lagu, we weren’t that close, tapi sekarang udah lebih deket I think?”


Chisa masih menatap curiga padanya sampai mereka habiskan makan siang, namun Jay memilih untuk mengacuhkan pandangan sahabatnya itu. Jay tidak ingin Chisa tahu.

 


 
The arrangement is simple. For once in two days, Jake akan habiskan waktu di apartment Jay, sleeping in. Tidur berdampingan dan pagi harinya Jay akan mengantarkan Jake ke kelas pagi si lelaki, menurunkan Jake tidak terlalu jauh dari pintu masuk kampus mereka. 


Saat Jake tidak bisa menginap karena jadwal si lelaki yang bentrok atau ada agenda lain yang Jake prioritaskan—hanging out with his friends, for example—keduanya hanya habiskan waktu bersama untuk makan atau menonton film yang Jake rekomendasikan seperti pasangan pada umumnya—kedua tangan saling bertautan selama itu.


They don’t do anything more than that, pun Jay tidak menginisiasi apapun—cukup tau diri dan tahu tempat untuk tidak memanfaatkan kebaikan Jake padanya. Untuk beberapa minggu setelah mereka setuju dengan rencana ini, the loop stop occurring. Jay tidak lagi perlu menahan tidurnya selama berhari-hari, tidak lagi mereka dapati keduanya terbangun dengan tubuh telanjang tanpa mengingat apapun yang terjadi malam sebelumnya.


Di pagi hari Jay acapkali membelikan Jake sarapan dan menyiapkan makanan yang dibeli sebelum Jake bangun, they exchanged small talk over their breakfast, namun tidak pernah lebih dari sekedar urusan kuliah. It was fine, things were good for a while. Sampai akhirnya Jake tidak muncul di pintu apartemen Jay pada waktu dan janji yang seharusnya, pun saat esok harinya Jay tidak mendapati keberadaan si lelaki di kampus mereka.


“You good?” Chisa bertanya saat keduanya berjalan dari parkiran kampus bersamaan, menuju kelas masing-masing yang kebetulan berada di gedung yang sama.


Jay mengangguk. “Yeah. All is good, gue duluan?”


Chisa mengangguk walau tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Jay barusan, melambaikan tangan sebelum Jay memasuki kelasnya.


Jay merasa ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman sepanjang hari, hanya saja si April tidak dapat mengidentifikasinya dengan pasti, terlebih saat kelas terakhir selesai dan Jay tidak mendapati keberadaan Jake dimana pun yang Jay datangi hari ini. Not even in the canteen during their lunch time.


Sure, Jake never promised him anything, tidak pernah katakan kalau dia akan terus temui Jay, tidak pernah mengatakan kalau keduanya kini menjadi teman dekat hanya karena keduanya sering bertukar obrolan. Tapi setelah tiga minggu keduanya menghabiskan waktu untuk ‘re-charge their connection’—seperti yang Jake katakan—mudah untuk merasa bahwa itu adalah rutinitas mereka yang baru. So, when Jake doesn’t show up everywhere or anywhere, perasaan tidak enak itu kembali tereskalasi.


“Hoon.” Sunghoon jadi yang pertama Jay hubungi, sebab Jay ingat kalau Sunghoon paling sering berada di kelas yang sama dengan Jake. Not that Jay was keeping a track, he just happened to see the guy often exit the same classroom as Jake’s on the same day. “Kelas terakhir lo tadi sama Jake, kan?”


“Iya, tapi hari ini anaknya ga masuk tuh. Tadi ditanyain dosen juga ga ada yang tau, padahal kelas pagi tadi dia ada kok.” Jay menghentikan langkahnya begitu saja, berbalik dengan cepat menuju tempat parkir dimana mobilnya terparkir. Shit. Jantungnya berdegup sangat cepat, cemas bukan main. 


Jake, for as long as Jay knows him, bukan termasuk mahasiswa yang dapat dengan mudah melewatkan kelas, terlebih tanpa alasan yang jelas. Jake juga bukan seorang yang biasa memutuskan hal tidak logis tanpa berpikir panjang. It’s just not him. 


“Jake pernah kayak gini juga?” Jay coba bertanya, memastikan. Lalu hening di sambungan telepon membuat Jay sedikit banyak mendapat jawabannya, tau kalau Sunghoon akhirnya tersadar. 


“Gue kirim alamatnya lewat chat.”