Chapter Text
Setiap tulisan yang ditulis dengan italic adalah flashback
'Boleh kamu keliling dunia dan temukan banyak tempat-tempat tuk singgah.. Sementara.
Kamu boleh namai itu rumah selama ada mereka yang kamu cinta.. Di dalamnya
(Sal Priadi - Kita Usahakan Rumah Itu)
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
“Coba buka rapot lo,” pinta Jeonghan pada Seungcheol yang duduk di atas motornya. Seungcheol menggeleng.
“Mana? Gue mau liat nilai-nilai lo!” pinta Jeonghan sembari mengulurkan tangannya.
“Enggak mau, Jeonghan.”
“Kenapa sih?” tanya Jeonghan kesal. “Nih, gue tunjukin rapot gue deh,” ujarnya sembari memajukan bibirnya dan menatap Seungcheol dengan kesal. Perempuan itu membuka rapotnya, memastikan Seungcheol dapat melihat nilai-nilai dia di lembar halaman berwarna biru itu.
“Ranking 1?”
“Iya dong! Liat deh, nilai Fisika gue sampe 100,” Jeonghan menunjuk satu kolom dari rentetan nila-nilai itu. “Beda tipis banget nilai gue sama nilai si Vania. Untungnya dua nilai Vania ada yang delapan puluh jadi gue tetep si ranking satu itu.”
“Iya, pinter banget deh Jeonghan ini,” ujar Seungcheol sembari tersenyum bangga dan mengelus kepala Jeonghan. “Mau minta hadiah apa?”
“Apa ya?” Jeonghan seraya berpikir. “Makan? Makan semua yang gue mau? Makan es krim juga! Terus main trampolin!”
“Iya, sekarang aja langsung kita makan yuk,” ajak Seungcheol sembari menyerahkan helm milik Jeonghan dan tersenyum saat perempuan itu memakai helmnya dan tersenyum dengan lebar.
Seungcheol memakai helmnya dan menaikan standar motornya, bersiap membawa sahabat cantiknya menuju tempat yang ia inginkan.
Jeonghan menaiki motor Seungcheol sembari memegang bahu Seungcheol. Ketika perempuan itu sudah siap di jok motor belakangnya, Seungcheol menoleh ke belakang.
“Siap?”
“Siap, kapten!”
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
Setelah menghabiskan satu porsi fish and chips, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju tempat selanjutnya yaitu kafe es krim yang Jeonghan sukai. Menurut Jeonghan kafe es krim di sana rasanya enak sekali meskipun tempatnya tidak terlalu luas dan juga sedikit jauh dari sekolah mereka. Biasanya Jeonghan dan Seungcheol akan datang ke sini ketika keduanya mendapatkan uang bulanan.
“Mau rasa apa?” tanya Seungcheol ketika mereka sudah menemukan meja dan kursi tempat mereka duduk.
“Kaya biasa.”
“Mint choco? Aneh banget kaya pasta gigi,” ujar Seungcheol.
“Enak malah, biar kaya sikat gigi,” balas Jeonghan. Seungcheol melepas jaketnya dan memberikan pada Jeonghan.
“Tunggu ya. Mau pesen dulu.”
Jeonghan mengangguk dan memperhatikan Seungcheol yang berjalan menuju kasir. Ia membuka jaketnya dan membuka ponselnya. Secara tidak sengaja, ia melihat rapot Seungcheol yang berada di dalam tasnya yang terbuka. Jeonghan melirik Seungcheol yang masih asik memilih rasa es krim yang dia inginkan. Jeonghan tahu ia kurang ajar, tapi ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia mengambil buku bersampul biru itu dan dengan cepat membuka lembaran buku itu dengan cepat.
Matanya menilisik deretan nilai di halaman itu. Bibirnya terkatup dan dengan cepat ia memfoto halaman itu kemudian kembali menyimpan rapot Seungcheol di tas pemiliknya. Jeonghan menatap Seungcheol kesal dan menunggu sahabatnya itu di kursi dengan wajah sedikit marah.
Ketika Seungcheol datang dengan dua cup es krim, lelaki itu menaikan alisnya dan duduk di sebelah Jeonghan. Ia menyodorkan es krim pesanan Jeonghan ke hadapan gadis berambut panjang itu.
“Ditekuk banget tuh muka kek kanebo kering.”
“Kenapa lo enggak bilang kalau lo juara umum?”
“Kagak ada.”
Jeonghan menunjukan foto yang baru saja ia ambil. Ia berpikir Seungcheol tak dapat berkelit lagi karena ia memiliki buktinya. Seungcheol menyendok es krim nya dan memasukannya ke mulut dengan santai. Ia menatap Jeonghan yang masih memasang wajah kesal.
“Enggak ah. Males.”
“Si anjir! Orang mah bangga jadi juara umum!”
“Emang bakal kepake di dunia kerja?” tanya Seungcheol. “Lagipula itu cuma apresiasi secara akademik. Enggak semua orang butuh. Mungkin ada yang butuh tapi gue enggak butuh.”
“Sombongnya ini manusia,” ujar Jeonghan sembari menyendok es krimnya dan memasukannya ke dalam mulut. “Kalau gitu harusnya gue dong yang nraktir lo. Karena prestasi lo di atas gue.”
“Enggak boleh gitu. Enggak ada aturannya.”
“Ya kebalik dong?”
Seungcheol mengelus rambut Jeonghan lalu mengecup pipinya. Jeonghan terdiam ketika Seungcheol memberi satu sentuhan lembut di wajahnya. Ia menyendok es krimnya berusaha untuk mengalihkan rasa kagetnya dengan aktivitas lain. Rasanya ada beribu kupu-kupu di perut Jeonghan ketika Seungcheol menunjukan kasih sayangnya melalui sentuhan yang Jeonghan sukai.
“Gue suka tau traktir lo. Ngeliat senyum lo, ngeliat lo yang ngerengek ke gue. Gue suka ketika lo pakai duit gue dan abisin duit gue,'" ujar Seungcheol.
"Beneran semua duit lo buat gue?" tanya Jeonghan dengan jenaka.
"Dunia juga gue bisa kasih sama lo," tukas Seungcheol.
"Mulai deh puitis ini mas-mas satu!"
Gue suka ketika lo mengantungkan semuanya ke gue.
Gue suka ketika lo bahagia karena gue.
Gue suka ketika lo di samping gue.
Gue suka lo.
Langkah kakinya bergerak dengan cepat ketika mendapatkan pesan dari sang kekasih. Jeonghan, menjadi pusat perhatian di fakultasnya karena ia berlari di sepanjang lorong.
“Liat Mingyu enggak?” tanya Jeonghan pada salah satu teman seangkatannya. Mereka menggeleng.
“Biasanya kan dia di kantin belakang,” jawab salah satu temannya.
“Kagak ada,” jawab Jeonghan bingung. “Ya udah deh. Thank you ya.”
Jeonghan kembali berlari dan sesekali berhenti ketika melewati kelas-kelas di gedung fakultasnya. Biasanya kekasihnya juga akan duduk-duduk di kelas kosong sembari mengobrol dengan sahabat-sahabatnya. Dengan siapa saja sebetulnya karena kekasihnya itu cukup populer di setiap kalangan.
“Han?” tanya Jisoo yang baru saja keluar dari kamar mandi.
“Soo, liat Mingyu ga?” tanya Jeonghan.
“Gue tadi liat dia baru turun dari motor sih. Dia enggak ada kelas pagi ya?”
“Terus dia di mana sekarang?”
“Kayanya di basement deh tadi gue liat dia duduk di sana — “
Belum selesai Jisoo bicara, Jeonghan sudah berlari menuruni tangga dan menemui kekasihnya. Jeonghan mengatur nafasnya ketika sampai di basement. Ia menemukan Mingyu yang duduk di pojok basement. Tubuh tinggi itu terbalut hoodie hitam yanh menutupi kepalanya. Lelaki itu asik memilih fokus pada gawainya dan tidak menyadari kehadiran Jeonghan.
“Sayang?” panggil Jeonghan dengan pelan. Mingyu mendongak dan ketika wajah itu menghadap Jeonghan, kekasih cantiknya menutup mulut dan dengan cepat lalu duduk di sisi Mingyu.
“Muka kamu kenapa coba?” tanya Jeonghan khawatir, bahkan hampir menangis. Mingyu tak bergeming. Ia memilih menundukan kepalanya dan menyimpan ponsel nya di dalam tas. Jeonghan dengan lembut memegang dagu nya dan meminta Mingyu untuk menatapnya.
"Sayang?” panggil Jeonghan dengan sedih.
“Enggak. Cuma dipukul aja,” jawab Mingyu dengan suara lemah. Tak ada hati dirinya untuk menatap Jeonghan mengingat atas dasar apa dirinya mendapatkan luka seperti ini.
Jeonghan kini memegang wajah Mingyu dan memperhatikan wajah kekasihnya dengan menelisik. Jeonghan ingin sekali menangis. Ia meremat kedua sisi jaket Mingyu di bagian dadanya, melampiaskan kekesalan juga rasa sedihnya saat ini.
“Kamu habis lakuin apa sampai dapat pukulan kaya gini?” tanyanya sembari menatap bola mata Mingyu.
“Aku enggak bisa cerita sekarang,” balas Mingyu. Bahu Jeonghan turun dengan lemas. Ia menatap Mingyu dengan sedih. Bagaimanapun Jeonghan sadar dilakukan kekasihnya saat ini adalah bentuk penolakan. Mingyu menolak untuk menceritakan hal sebenarnya dan Jeonghan tahu apabila ia memaksa Mingyu untuk bercerita, mood Mingyu akan kacau balau.
“Kita ke klinik ya? Biar luka kamu diperiksa dan diobatin.”
Mingyu sadar, bahwa ia telah menyia-nyiakan sebuah berlian mahal di hadapannya. Ia sadar bahwa semua yang Jeonghan lakukan adalah suatu ketulusan yang selalu Mingyu terima. Jeonghan tak pernah menuntut apapun namun hatinya selalu tulus dan penuh kasih sayang.
Tetapi, tidak bisa. Mingyu tak bisa melakukan itu. Mingyu tak bisa membohongi hatinya lagi.
Ini tentang hati lain yang perlu Mingyu jaga.
Bukan lagi Jeonghan.
"Tadi kata dokter lukanya harus sering dibersihin ya. Terus antibiotik nya juga diminum," pesan Jeonghan malam itu setelah mereka baru saja menebus obat di farmasi. Mingyu menatap Jeonghan yang tengah memasukan obat nya ke dalam tas.
"Kamu mau aku anter?" tanya Mingyu. Jeonghan menggeleng dan mengelus wajah kekasihnya.
"Enggak usah. Kamu langsung pulang aja. Mandi dan bersihin luka kamu, makan terus tidur," tutur Jeonghan. "Aku mau ke supermarket dulu."
Mata Mingyu menatap sedih kekasihnya saat ini. Rasanya serangan perasaan bersalah kini menyerangnya dengan luar biasa. Manuver-manuver itu membuat hati Mingyu sakit dan tak tega menatap Jeonghan.
"Jeonghan, kamu tahu kan kalau aku sayang kamu?" tanya Mingyu. Gadis itu mengangguk dan menepuk pelan pipi Mingyu.
"Tahu kok. Masa kamu enggak sayang aku."
Tak terbesit dalam pikiran Jeonghan sekalipun bahwa Mingyu akan menarik tubuhnya dan memeluknya dengan erat. Si cantik hanya bisa membalas pelukan itu dan mengelus punggung Mingyu dengan lembut.
"Kalau perlu cerita, aku siap dengerin," ujar Jeonghan. Mingyu mengangguk dalam peluknya kemudian menjauhkan tubuhnya. Ia mengecup dahi Jeonghan dengan lembut malam itu.
"Aku pulang ya, sayang," ujar Mingyu. Jeonghan mengangguk dan membalas ciuman Mingyu di pipi.
"Hati-hati. Kabarin aku kalau kamu udah sampai unit ya," pesan Jeonghan. Mingyu tersenyum kemudian mengelus kepala Jeonghan. Ia berjalan menjauh untuk mengambil motornya yang terparkir tak jauu dari posisi mereka.
Setelah memastikan Mingyu pulang dengan menggunakan motornya, Jeonghan menghela nafasnya kemudian membetulkan ikatan rambutnya. Seribu satu cara ia menolak kebaikan Mingyu untuk mengantarnya ke rumah karena Jeonghan tak akan langsung pulang. Entahlah. Akhir-akhir ini ia merasa aneh dengan sikap kekasihnya dan tak ingin hatinya bergelut dengan ketidakpastian dan sangkaan-sangkaan tak baik, lebih baik ia menolak kebaikan kekasihnya itu.
Ia hanya ingin menyendiri dan berbelanja sebentar ke supermarket dengan menggunakan angkutan online. Sebetulnya, ada rencana lain yang Jeonghan sudah siapkan. Ia ingin datang mengunjungi Seungcheol dan melihat kondisi sahabatnya karena hari ini Seungcheol tidak masuk.
Apalagi ia baru saja keluar dari rumah sakit. Jeonghan khawatir rupanya.
Takut aja dia mati sebenernya batin Jeonghan.
Dering nada panggilan menyadarkan Jeonghan. Lengannya terulur untuk mengambil ponsel di dalam tasnya. Alisnya mengerut ketika merasakan kantung pelastik di dalam tasnya. Matanya membelalak dan menarik pelastik itu keluar, sejenak membiarkan ponselnya terus berdering.
"Ya ampun obatnya Mingyu! Ya rlah pake lupa lu, Jeonghan!" pekik Jeonghan ketika menyadari kebodohannya. Ponsel nya terus berderinh seolah meminta nya untuk segera mengangkat panggilan itu. Jeonghan berdecak ketika tahu siapa yang menelepon.
Raja Bacot is calling…
“Lama banget sih angkat telponnya?"
"Handphone gue di dalam tas, rewel!"
"Lo di mana?"
“Baru nganterin Mingyu ke klinik. Ini mau balik,” jawab Jeonghan.
“Kenapa dia?”
“Abis dipukulin. Tau dah ama siapa,” ujar Jeonghan.
“Lo enggak balik sama dia?”
“Gue mau belanja dulu,” balas Jeonghan. “Lo kenapa tadi kagak masuk?”
“Sakit.”
“Bisa lo sakit?” tanya Jeonghan tak percaya.
“Beneran, Jeonghan. Gue sakit. Ini makanya gue enggak sanggup ke kampus.”
“Tapi suara lo enggak ada sakit-sakitnya,” tambah Jeonghan sambil terkekeh. “Masih nyebelin kek hari-harinya.”
“Suara gue harus gimana biar keliatan sakit emang?”
“Keliatan sakitnya gitu,” saut Jeonghan. “Lo di mana sekarang? Mau gue samperin enggak?”
“Di apartemen.”
Jeonghan terdiam ketika mendengar jawaban Seungcheol. “Apartemen siapa? Cewek lo?”
“Apartemen gue.”
“Sejak kapan lo punya apartemen? Gegayaan banget males.”
“Yeuh. Di kasih tau kaga percaya. Nanti gue share location deh.”
“Enggak mau. Taunya itu lokasi penjualan cewek! ” ujar Jeonghan sembari duduk di kursi yang terletak di depan klinik.
“Ya kali gue nyelakain lo. Gue share location ya. Gue di sini.”
“Iya deh.”
Dan setelah panggilan terputus, Jeonghan benar-benar terkejut karena Seungcheol benar-benar mengirimkan foto-foto apartemen yang dia maksud beserta swafotonya di setiap ruangan. Jeonghan juga mendapatkan detail alamat dari apartemen yang Seungcheol maksud.
“Wah, sinting,” ujar Jeonghan. Ia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk bertanya pada Seungcheol darimana sahabatnya itu mendapatkan apartemen mewah di tengah kota. Iya, Jeonghan tahu Seungcheol orang kaya. Orang tuanya bekerja sebagai pengusaha dan juga pebisnis properti. Tetapi, aneh sekali jika secara tiba-tiba anak bungsunya tinggal di apartemen.
Pokoknya sampe sana itu manusia mesti banget jelasin ke gue maksud si orang kaya itu batin Jeonghan.
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
Sembari membawa satu kantong pelastik belanjaan yang ia beli di supermarket sebelum datang ke lokasi yang Seungcheol kirimkan, Jeonghan menelepon Seungcheol berniat mengabari lelaki itu bahwa ia sudah sampai di lantai yang Seungcheol maksud.
“Ke mana lagi gue?”
“Lurus terus aja nanti ada nomor 088 nah itu unit gue.”
Jeonghan mematikan sambungan telepon dan berjalan sesuai arahan Seungcheol. Ia mengabsen setiap nomor unit dengan suara berbisik.
“087… 088. Ah, ini,” ujar Jeonghan ketika menemukan unit bernomor 088. Ia memencet bell satu kali dan tanpa menunggu lama pintu terbuka. Mulut Jeonghan terbuka lebar, niatnya ingin menghujani Seungcheol dengan beribu pertanyaan tetapi, bibir itu kelu dan mulutnya kembali merapat ketika melihat kondisi Seungcheol.
“Lo,” bisik Jeonghan, “kenapa?” tanyanya dengan khawatir.
Dari netra cokelatnya Jeonghan dapat melihat Seungcheol yang berdiri dengan kaos oblong favoritnya dan celana training abu-abu favoritnya. Tidak, bukan itu yang menjadi permasalahan kini. Permasalahan utama yang membuahkan beribu pertanyaan di otak Jeonghan adalah kenapa Seungcheol babak belur?
Kenapa ia mendapati plester kecil di ujung bibirnya? Pelipis nya yang memar? Pipi kirinya yang bengkak?
Seungcheol tidak menjawab. Ia menggeser tubuhnya dan mempersilahkan Jeonghan masuk. Perempuan itu menghela nafas dan masuk dengan cepat ke dalam unit apartemen itu. Ketika Jeonghan sudah masuk, Seungcheol menutup pintunya dan menguncinya. Jeonghan masih menatap Seungcheol dengan nyalang.
“Kenapa?" tanya Jeonghan dengan mata berkaca-kaca. "Jawab gue, Cheol. Jangan diem aja."
“Berantem.”
“Sama siapa, Seungcheol?” tanya Jeonghan frustasi. "Lo tuh — argh! Sakit kepala gue!” ujar Jeonghan dengan kesal. Ia menaruh belanjaannya di lantai dan mengacak rambutnya. Seungcheol hanya tersenyum tipis memperhatikan Jeonghan yang terlihat tak tenang.
Jeonghan terdiam beberapa saat. Pikirannya terlempar pada kondisi Mingyu yang ia dapati siang tadi. Rasanya seperti menyatukan titik-titik merah yang seharusnya saling terkait.
“Mingyu?”
Seungcheol diam. Bibirnya kelu, tak bisa menjawab apa yang ditanyakan oleh perempuan di hadapannya. Jeonghan berdecak dan memijat pelipisnya.
“Kalian ini udah pada gede kenapa sih pake berantem segala?” tanya Jeonghan frustasi. Rasanya emosinya sudah di ujung kepala dan siap meledak. Apalagi ketika melihat luka-luka di wajah Seungcheol yang kontras dengan kulitnya.
“Seungcheol!” panggil Jeonghan kesal. “Kenapa sih?”
“Namanya juga laki.”
“Iya tau. Siapa yang bilang kalian tumbuhan?” tanya Jeonghan. “Bisa kan selsein masalahnya dengan baik-baik tanpa harus tonjok-tonjokan?”
“Iya enggak lagi deh,” jawab Seungcheol sambil menunduk. Bak anak kecil yang dimarahi ibunya itulah Seungcheol sekarang.
“Kalian kan sohiban. Kenapa sih mesti kayak gitu?” tanya Jeonghan sembari melipat tangannya di depan dada dan menatap Seungcheol, meminta penjelasan dari sahabatnya itu.
“Maaf.”
Satu kata meluncur dari bibir Seungcheeol dengan nada penuh penyesalan. Jeonghan menurunkan bahunya perlahan kemudian menatap Seungcheol dengan lembut. Amarahnya menguap seketika mendapati lelaki dewasa muda ini terlihat sangat bersalah.
“Duduk yuk. Kita obatin luka lo.”
Seungcheol mengangkat kepalanya dan tersenyum saat Jeonghan mengulurkan tangannya, meminta Seungcheol membalas ulurannya. Seungcheol menggengam tangan Jeonghan dan mengikuti langkah kaki perempuan cantik itu untuk duduk di sofa.
Ketika mereka duduk di sofa, Jeonghan merogoh tasnya dan mendapati kantong pelastik kecil berwarna putih dengan logo klinik terkenal di kota itu.
“Tadi obatnya Mingyu ketinggalan di tas. Gue lupa kasih ke dia," tutur Jeonghan sembari tangannya merogoh kantong pelastik itu dan mengambil satu salep kecil. Jeonghan menaruh salep itu di ujung telunjuknya dan mengusapkannya tepat di luka yang tertoreh di wajah Seungcheol.
“Ssh— sakit ih! Pelan-pelan napa?” kesal Seungcheol. Jeonghan berdecak dan kembali menaruh salep itu di telunjuknya.
“Mingyu kagak dapet ini obat eh malahan lawan adu jotosnya yang dapet ini obat,” ujar Jeonghan ketika mengusapkan salep itu di luka Seungcheol yang lain. Jeonghan menaikan rambut Seungcheol yang berada di dahi lelaki itu kemudian memperhatikan seluruh wajahnya.
“Nah, ada lagi tuh lukanya,” ujar Jeonghan saat mendapati luka di dahinya. Ia mengusapkan kembali salep yang sudah ia simpan di ujung telunjuknya. Jeonghan mendekatkan wajahnya dan meniup perlahan luka-luka yang sudah ia usapi salep khusus luka itu.
Seungcheol tersenyum ketika mendapati wajah Jeonghan yang begitu dekat dengan wajahnya. Jahil di kepalanya muncul. Ia dengan cepat mengecup bibir Jeonghan.
“Diem. Enggak usah cium-cium,” tegur Jeonghan. Kembali sosok cantik itu meniup luka di wajah Seungcheol. Setelah memastikan semuanya kering, Jeonghan menatap Seungcheol beberapa detik kemudian menarik lengan lelaki itu agar ia bisa melihat dengan jelas siku milik Seungcheol.
“Luka bekas kecelakaan udah kering?”
“Udah.”
Jeonghan menurunkan lengan Seungcheol dan tersenyum pada sahabatnya itu.
“Sekarang jelasin kenapa lo tinggal di apartemen?”
“Gue minta ke bokap nyokap,” jawab Seungcheol dengan santai.
“Gaya banget deh! Orang kaya mah bebas!” balas Jeonghan. “Biar apa sih?”
“Biar kalau bawa cewek bebas.”
Jawaban Seungcheol berhasil membuat Jeonghan terdiam. Mereka saling bertatapan selama beberapa saat. Seungcheol terkekeh dan mengelus rambutnya.
“Cewek nya itu adalah Yoon Jeonghan.”
“Masa alasan itu doang sih?" tanya Jeonghan tak terima.
“Mau hidup mandiri. Rasanya pengen belajar untuk menentukan segalanya sendiri, mengurus segalanya sendiri,” ujar Seungcheol.
“Alah gegayaan lu. Kalau masuk angin tetep larinya ke mama. Minta balurin ama masakin sayur sop,” tutur Jeonghan sembari menoyor dahinya.
“Ya iya dong. Mama doang yang bisa," ujar Seungcheol.
Jeonghan tersenyum dan memilih untuk mengambil tas nya dan memasukan obat-obatan yang sudah ia pakai ke dalam pelastik.
"Tapi, selain Mama, adalagi yang bakal gue cari kalau butuh sesuatu."
"Hm? Siapa tuh?" tanya Jeonghan. Tak pernah terlintas dalam benak Jeonghan bahwa Seungcheol akan mengulurkan tangannya di pinggang Jeonghan kemudian menarik tubuhnya mendekat. Jeonghan tak kaget sama sekali. Ia bahkan merasa nyaman dan juga ia menikmati bagaimana perasaan hangat muncul di dadanya secara perlahan ketika ujung hidung mereka sudah bersentuhan. Tangan Jeonghan automatis terarah untuk melingkar di leher Seungcheol. Seolah itu lah tempat yang memang ditakdirkan untuk kedua lengan Yoon Jeonghan.
Tangan Seungcheol bergerak untuk mengelus punggung Jeonghan kemudian mengeratkan pelukannya pada tubuh ramping itu. Dada mereka bersentuhan. Seungcheol bisa merasakan detak jantungnya sendiri dan juga detak jantung Jeonghan saat ini.
"Lo. Yoon Jeonghan. Sosok yang bakal gue cari kalau gue buntu dan gue terpuruk," ujar Seungcheol dengan suara beratnya yang lembut. "Lo adalah 911 gue di saat gue butuh lo."
"Kenapa enggak Nayeon? Kenapa enggak cewek-cewek yang ngantri buat nge-date sama lo?"
"Karena mereka bukan lo," tukas Seungcheol. "Jujur aja deh sama gue lo tuh cembokur kan karena gue sama cewek-cewek itu?"
Lembut suara Seungcheol begitu nyaman di telinga Jeonghan. Mendorong dirinya untuk dapat bersuara dengan jujur tanpa ada kebohongan sedikitpun. Bibirnya maju beberapa sentimeter dan itu berhasil membuat Seungcheol gemas dibuatnya. Satu kecupan berhasil Seungcheol berikan pada Jeonghan.
"Kenapa lo enggak bisa cari cewek yang bisa ngertiin lo? Kenapa lo harus cari cewek yang enggak paham kondisi lo kayak gimana dan berujung bikin lo celaka?" tanya Jeonghan dengan binar mata redup yang ia berikan pada Seungcheol. Menggambarkan kegusaran hatinya yang kembali harus ia ingat tiap kali membahas kejadian itu.
"Buat ingetnya aja gue enggak sanggup," bisik Jeonghan. "Gue enggak bisa bayangin kondisi lo saat itu gimana. Pasti sakit banget."
Apa yang dikatakan Jeonghan benar adanya. Jeonghan tak ingin lagi mengingat kejadian itu. Rasanya hampir mati mendengar Seungcheol celaka dan ia tak mau lagi mendengar hal serupa. Ia mau Seungcheol sehat dan bersamanya.
"Gue cuma maunya lo karena lo yang ngertiin gue," pinta Seungcheol. "Cuma lo yang layak bersanding sama gue karena cuma lo yang tahu gue."
Netra keduanya saling beradu. Jeonghan mengelus rambut Seungcheol dengan lembut. Ia menaruh dagunya di atas bahu Seungcheol dan memeluk sahabatnya dengan erat. Seungcheol membalas pelukan Jeonghan dan merengkuh tubuh itu, membiarkan Jeonghan bersandar seluruhnya kepadanya.
"Kalau gitu nanti Mingyu ngamuk dan bukan lagi mukul lo, tapi bunuh lo," ujar Jeonghan sembari menutup matanya.
"Biarin. Enggak peduli gue. Kalau gue mati dibunuh, gue bangun lagi biar gue bunuh lagi dia," balas Seungcheol dengan berapi-api. Jeonghan terkekeh dan mengecup leher Seungcheol kemudian memilih untuk kembali menaruh kepalanya di atas bahu Seungcheol.
Satu kecupan Seungcheol bubuhkan di bahu Jeonghan. Ia ingin Jeonghan tahu bahwa ia mampu melakukan apapun demi Jeonghan, demi cintanya.
"Kenapa badan lo makin gede?" tanya Jeonghan sembari menutup matanya.
"Biar gendong lo enak."
Setelah itu, hanya tawa dan canda yang terdengar dari balik pintu unit apartemen nomor 088.
Biarlah mereka berdua menyadari bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain tanpa adanya tembok penghalang apapun di antara mereka.
Siang itu panas sekali. Terik matahari terlalu berani menunjukan sinarnya di atas bangunan klasik berwarna putih gading yang kokoh berdiri di tengah kota besar. Panasnya matahari berhasil melelehkan sendi-sendi, menghantarkan udara panas, menarik minat beberapa anak muda untuk berkumpul di bawah basement dengan semangkuk mie rebus, gorengan, makanan ringan, es teh maupun kopi, juga kacang-kacangan dan cemilan lain. Namun, bukan itu yang membuat mereka tertarik.
Ada hal lain yang membuat mereka tertarik lebih dari panganan yang mereka sukai itu. Melihat bagaimana Jeonghan duduk di antara Seungcheol dan Mingyu adalah hal yang lebih menyenangkan. Lebih tepatnya mereka hanya penasaran. Bagaimana bisa Jeonghan duduk di antara mereka sembari melipat kedua tangannya. Sedang Seungcheol memilih untuk pura-pura tidak melihat Mingyu, pun sebaliknya.
“Di depan semua anak-anak, nih,” ujar Jeonghan sembari menatap teman-temannya, “gue mau lo minta maaf ke Mingyu,” ujar Jeonghan sembari menatap Seungcheol dengan tajam.
“Aku juga mau kamu minta maaf sama Seungcheol,” ujar Jeonghan dengan tatapan yang sama tajamnya namun ia berikan pada Mingyu.
“Dia duluan yang mulai,” ujar Mingyu sembari menatap nyalang Seungcheol, memantik kembali api yang tengah tenang.
"Anjing yah lo! Lo duluan yang bikin perkara depan mata gue!" murka Seungcheol sembari berdiri dan menggebrak meja. Mingyu ikut bangkit dan hampir saja kerah kemeja milik Mingyu Seungcheol tarik apabila Dokyeom dan Soonyoung tidak menahan tubuh mereka berdua. Cukup sulit bagi mereka karena tubuh Seungcheol dan Mingyu besar sekali.
"Woy sabar bro!" teriak mereka.
Sahabat-sahabat mereka yang lain ikut memekik ketika melihat adu-aduan antara dua pentolan geng mereka yang terkenal akan keakraban dan kedekatannya. Jeonghan ikut berdiri dan mencoba untuk menjauhkan mereka.
"APA-APAAN SIH KAYA DI KEBUN BINATANG AJA MAIN SERUDUK-SERUDUK BEGINI!" teriak Jeonghan. Mingyu masih menatap Seungcheol dengan penuh amarah. Begitupula Seungcheol yang ingin sekali memberi satu hadiah bogem mentah di wajah Mingyu. Hitung-hitung memberi hiasan baru di wajah tampannya itu.
"Mingyu!" panggil Jeonghan sembari menatap kekasihnya dengan marah, "coba bilang apa alasan kalian bisa berantem kaya gini?"
Mingyu menarik diri dari Dokyeom, ia tak ingin Dokyeom menahan lagi tubuhnya. Ia merapikan kemejanya dan membalas tatapan Seungcheol dengan wajah tak suka.
Jeonghan tak mendapat jawaban dari kekasihnya sehingga ia memilih untuk memalingkan wajahnya dan menatap Seungcheol, "Cheol?! Kenapa sih?! Ada apa di antara kalian berdua sampai berantem hebat begini?!"
Suara Jeonghan yang setengah berteriak seolah menggambarkan betapa gadis ini ikut tertekan dengan posisinya yang berada di tengah-tengah baik itu Seungcheol sebagai sahabatnya dan Mingyu kekasihnya. Jeonghan tak ingin keduanya melanjutkan pertikaian ini karena baginya semua bisa diselesaikan dengan baik-baik asal mereka harus berani menekan ego.
Netra Seungcheol menatap kehadiran Wonwoo di antara sahabat-sahabatnya yang lain. Gadis berkacamata itu menyadari tatapan Seungcheol. Ia menunduk dan mencoba untuk menghindar dari tatapan Seungcheol yang penuh arti.
"Lepasin gue," bisik Seungcheol pada Soonyoung. Sahabatnya itu melepaskan tangannya dari Seungcheol.
"Kita berantem karena—," ucapan Seungcheol terpotong karena ia sempat melirik Wonwoo beberapa detik.
"Karena apa?" tanya Jisoo dengan penasaran.
"Kalah taruhan," lanjut Seungcheol.
"HAH?!"
"APA?!"
"Hah?!" respon Jeonghan hampir sama dengan yang lainnya. Ia spontan mendudukan tubuhnya karena kepalanya terlalu pusing diserang dengan kenyataan yang sebetulnya tak masuk akal sama sekali.
Mingyu menatap kaget Seungcheol beberapa detik kemudian ketika Seungcheol mengangguk seolah memberi tanda, Mingyu menghela nafasnya dan menatap Jeonghan. "Kami taruhan karena Manchester United."
"Hah?!" pekik Dokyeom dan Soonyoung terkejut.
"Sinting dah lo pada!" ujar Seungkwan dengan emosi.
"Terus kenapa harus sampe tonjok-tonjokan dah? Aneh lo berdua!" ujar Hansol yang ikut emosi mendengar itu semua.
"Kalau MU kalah, Mingyu harus kerjain Bab 4 skripsi gue," tambah Seungcheol. "Kalau MU menang, gue harus kerjain Bab 4 skripsi nya Mingyu," jelas Seungcheol.
"Wah, edan!"
"Agak enggak masuk di akal sih!"
Seungcheol melirik pada Jeonghan yang terdiam di tempat duduknya. Gadis itu memijat kepalanya karena pusing luar biasa ketika mengetahui dua laki-laki dewasa di hadapannya bertengkar bak anak kecil hanya karena alasan konyol.
"Sayang—"
"Don't 'sayang' me right now, Mingyu," ujar Jeonghan dengan frustasi. "Aku lagi coba memahami alasan kalian ini meskipun enggak masuk di akal."
"Kalo masuk akal mah enggak akan bertengkar," tutur Seungcheol dengan pelan.
"Gue bisa denger, Cheol," ujar Jeonghan dengan kesal. "Udah deh lu pada maafan cepet! Jangan bikin kita semua gila karena alasan kalian itu!"
Dua lelaki bertubuh kekar itu saling menatap kemudian Mingyu terlebih dahulu yang menarik Seungcheol ke dalam pelukannya. Tak jauh dari sana, Wonwoo menyadari gerak bibir Seungcheol ketika wajahnya begitu dekat dengan telinga Mingyu. Mungkin sahabat-sahabatnya termasuk Jeonghan tak menyadari bahwa ada rentetan kalimat yang Seungcheol sampaikan pada Mingyu saat itu.
Wonwoo dapat membaca gerak bibir Seungcheol begitupula Mingyu yang terdiam ketika mendengar hal tersebut. Setelah itu Seungcheol melepas pelukannya, tersenyum manis pada Mingyu dan menepuk-nepuk bahu sahabatnya.
Lo mati di tangan gue, Kim Mingyu. Sampe lo enggak akuin perbuatan lo dan bikin Jeonghan hancur, gue enggak akan ampuni lo sama Wonwoo dan gue akan bongkar kebusukan lo depan semua.
Setelah mediasi yang mereka lakukan di basement beberapa hari lalu, Seungcheol menyadari sesuatu yang berbeda di antara Jeonghan dan Mingyu. Bukan, Jeonghan masih cantik dan menawan di matanya. Tidak ada yang berubah dari gadis serupa peri di hidupnya. Tetapi, Mingyu. Ini yang aneh.
Lelaki itu seolah tak ingin jauh dari Jeonghan. Ia tak ingin Jeonghan melakukan apapun sendirian. Contohnya ketika Jeonghan sedang menyantap makan siangnya, Mingyu akan ada di sana, duduk manis tepat di sebelah Jeonghan. Lalu ketika Jeonghan mengerjakan sesuatu bersama sahabat-sahabat perempuannya, Mingyu juga akan duduk di sana meskipun ia memilih untuk bermain game di ponselnya. Pun ketika di kelas, Mingyu akan menyisakan satu kursi di sebelahnya dan meminta Jeonghan untuk duduk di dekatnya. Seungcheol tahu itu karena Jeonghan biasanya akan duduk di dekat Jisoo atau Minghao.
Juga yang membuat Seungcheol sedikit tak suka adalah ketika Mingyu selalu menghalangi apapun yang berhubungan dengan Seungcheol. Seolah Jeonghan tak lagi diizinkannya untuk banyak berdekatan dengan Seungcheol.
Laki-laki bermarga Choi itu menyeringai ketika melihat Mingyu dan Jeonghan yang duduk tak jauh darinya di kantin. Mau sampai kapan Mingyu? Mau sampai kapan lo sembunyiin kebusukan lo itu depan Jeonghan? batin Seungcheol.
Bentuk perilaku seperti ini sudah Seungcheol kenal karena beberapa kali teman laki-lakinya di perkumpulan pernah melakukan ini. Ketika perempuan mereka sudah curiga akan kebohongan yang mereka lakukan, laki-laki akan berusaha keras menjadi sosok yang selalu ada di dekat mereka. Melakukan apapun yang perempuan inginkan dan seolah membuat cinta mereka begitu besar. Perempuan mana yang tidak luluh dengan hal seperti itu? Termasuk Jeonghan.
"Ngapain lo? Ngelamun?" tanya Soonyoung ketika siang itu ia baru saja datang. Seungcheol meneguk kopi nya dan menatap Soonyoung bingung.
"Kelas pagi lo ke mana? Kesiangan bangun?" tanya Seungcheol. Soonyoung nyengir dan mengangguk.
"Anying gue kebangun siang banget! Jam sembilan coba!" ujarnya sambil terkekeh. Seungcheol ikut terkekeh kemudian melirik Jeonghan dan Mingyu yang bersiap meninggalkan kantin. Ia menghabiskan kopinya kemudian menaruh gelas pelastik kosong di tengah meja.
"Yuk ke kelas!" ajak Seungcheol sembari menepuk paha Soonyoung. Bagaimanapun ia tak ingin terlambat masuk ke kelas dan mengikuti mata kuliah yang ia gemari siang itu, Viktimologi.
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
Mata kuliah Viktimologi menjadi mata kuliah yang digemari Seungcheol, Jeonghan dan sahabat-sahabat mereka. Bahkan ketika mereka harus menghabiskan 4 sks untuk mata kuliah itu, mereka tidak merasa keberatan sama sekali. Sejak jam pertama kelas, Seungcheol sudah gerah melihat Mingyu yang duduk di sebelah Jeonghan dan sesekali memegang tangan gadis cantik itu. Jeonghan akan tersenyum dan membalas perlakuan Mingyu dengan elusan di lengan kekarnya.
Giliran gini aja elus-elus tangan Mingyu. Awas lo gue cipok nanti sampe bengkak bibir lo batin Seungcheol yang duduk di kursi belakang bersama Soonyoung, Dokyeom dan Hansol.
"Sebelum kita break sebentar untuk ke kamar mandi, ada yang mau bertanya tidak tentang materi hari ini?" tanya Ibu Yuri sore itu sembari menatap papan di belakangnya. Ia kembali menoleh pada mahasiswa-mahasiswa yang duduk dengan rapi dan tenang di hadapannya.
"Ya, Jisoo?" tunjuk Ibu Yuri ketika melihat tangan Jisoo terangkat. "Mau tanya apa, cantik?"
Sorakan terdengar di kelas ketika Ibu Yuri memuji Jisoo. Gadis itu terkekeh dan kembali fokus pada hal yang akan ia tanyakan.
"Bu, tahu kan ya kasus yang baru- baru ini? Yang perempuan dibunuh dan dimutilasi sama pacarnya?" tanya Jisoo. Ibu Yuri mengangguk dan melepas kacamatanya.
"Iya, ngeri ya? Kok bisa tega banget itu laki lakuin ke pacarnya kaya gitu ck!"
"Nah, pertanyaan saya, Bu," ujar Jisoo sembari menyamankan posisi duduknya. "Boleh enggak sih kalau kita masih pacaran tapi udah bikin surat perjanjian sama pacar kita? Kita kan enggak pernah tahu kejadian-kejadian buruk yang nimpa kita. Namanya manusia, pasti ladang khilaf kan yah, Bu."
"Pertanyaan bagus, Jisoo!" tukas Ibu Yuri dengan senyum di wajahnya.
"Noh, pacar lo merasa dirugikan kali makanya dia mau bikin surat perjanjian sama lo," bisik Seungcheol sembari menyenggol bahu Dokyeom.
"Lo tuh sama si Jeonghan! Teman tapi nenen!" bisik Dokyeom membalas perkataan Seungcheol. "Belum jadi pacar udah nenen aja lu!"
"Kampret!" ujar Seungcheol sambil menepuk keras bahu Dokyeom.
"Sebetulnya bisa aja kita bikin perjanjian tertulis sama pacar kita. Meskipun hubungan kalian belum sah di mata hukum, tapi zaman sekarang kita perlu ada tindakan preventif dalam segala hal apalagi jika melibatkan pihak luar," jelas Ibu Yuri.
Semua mahasiswa mendengarkan dengan baik penjelasan Ibu Yuri. Bagi mereka, ini hal penting sehingga mereka perlu memberi atensi pada hal tersebut.
"Oke lah kita sebut pembunuhan sudah pasti bukan lagi melanggar perjanjian. Itu udah masuk rana pidana. Coba di sini siapa yang bisa kasih ide salah satu contoh hal yang bisa kita tulis di surat perjanjian ketika kita pacaran? Dan kalau itu dilanggar, salah satu pihak bisa dituntut atau bisa minta ganti rugi?" tanya Ibu Yuri.
Seungcheol dengan semangat mengangkat tangannya. Ibu Yuri menunjuk Seungcheol.
"Ya, Seungcheol?"
"Perselingkuhan, Bu!" teriak Seungcheol dengan semangat. Mingyu terdiam di tempatnya ketika mendengar jawaban Seungcheol. Berbeda sekali dengan reaksi teman-teman mereka yang heboh mendengar jawaban Seungcheol. Jeonghan ikut menoleh ke belakang dan tersenyum pada Seungcheol.
"Betul, perselingkuhan bisa kita jadiin salah satu klausul dari surat perjanjian. Jadi, kalau pacar kalian selingkuh ya itu udah melanggar perjanjian. Minta duit kalau mereka melanggar itu ya!" ujar Ibu Yuri disertai kekehan.
Seungcheol menatap Mingyu sembari menyeringai kemudian si ketua kelas itu kembali membuka mulutnya, bersiap untuk lemparan lain yang ingin ia berikan semata-mata tertuju pada Mingyu. Sebagai sindiran pada lelaki itu.
"Betul, Bu! Jadi kalau pacaran yah yang logis-logis ajalah. Masa pacarnya udah baik banget tapi masih aja berani selingkuh ama sahabatnya sendiri!" saut Seungcheol.
"Wah, itu sih bayarnya double soalnya pacarannya sama sahabatnya ya?!" tambah Hansol sembari tertawa.
Senyum Jeonghan memudar. Ia kembali memutar tubuhnya ke depan kemudian melirik Mingyu yang sedari tadi memilih diam dan tidak menimpali lelucon Seungcheol sore itu. Biasanya dia akan ikut heboh seperti Seungcheol dengan yang lain tapi kali ini tidak.
Tak jauh dari situ, Wonwoo mencoba untuk tersenyum dan berusaha untuk tidak terpancing pada apapun yang terjadi di kelas saat itu.
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
Tepat pukul 18.00 Jeonghan tiba di rumahnya. Kelas mereka selesai pukul lima sore dan Mingyu segera mengantarkannya pulang karena kekasihnya itu sudah berjanji akan mengantar sang ayah ke rumah sakit, melakukan kontrol setelah operasi jantungnya beberapa bulan silam.
Baru saja Jeonghan akan melepas sepatunya, suara klakson mobil terdengar di depan rumah Jeonghan. Ia tahu itu mobil siapa. Jadi, Jeonghan dengan cepat berlari dan mendapati Seungcheol yang memarkirkan mobilnya di depan rumah Jeonghan. Ia berjalan mendekati sisi kanan mobil Seungcheol, menunggu kaca mobil itu terbuka dan menunjukan sang empunya mobil.
Kaca pun terbuka dan Seungcheol duduk di belakang kemudi dengan senyum tampannya. Senyum yang akan selalu membuat hati Jeonghan menghangat tiap kali melihat senyum di bibir itu terukir.
"Tumben bawa mobil?" tanya Jeonghan.
"Takut hujan jadi gue bawa mobil," jawab Seungcheol. "Makan yuk! Gua yang traktir deh!" ajak Seungcheol.
"Lo tuh enggak tau waktu banget! Gue baru aja sampe rumah!" seru Jeonghan sembari memukul lengan Seungcheol.
"Sebentar aja. Yuk? Nanti gue anterin kok tuan puteri Yoon Jeonghan sampai ke rumah," ujar Seungcheol. Jeonghan berpikir beberapa saat sembari menyimpan telunjuknya di dagu.
"Hm? Gimana ya? Pergi enggak ya?"
"Lama! Ayo cepet Hani!"
"Iya, deh raja bacot!"
Jeonghan dengan senyum lebar berjalan ke sisi kiri mobil kemudian membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Seungcheol.
"Tapi nanti lo yang izin ke ayah bunda ya karena nyulik anak perempuannya yang cantik dan seksi ini untuk pergi sama lo," ujar Jeonghan sembari mengedip-ngedipkan matanya. Seungcheol terkekeh dan mengelus kepala sahabatnya itu.
"Iya, nanti pas anter lo balik gue turun ke dalem karena udah bawa anaknya pergi," balas Seungcheol.
Baru saja mobil bergerak menjauhi komplek perumahan, Jeonghan sudah mengambil ponsel Seungcheol yang tersimpan di dashboard. Ia terkekeh ketika melihat lockscreen yang Seungcheol pakai di ponselnya. Bagaimana gambar dirinya dan Seungcheol yang tengah memakai seragam SMA duduk di depan kelas mereka dengan posisi begitu dekat. Tangan Seungcheol memeluk kepala Jeonghan hingga kepala Jeonghan bersandar di bahunya sedang Jeonghan hanya tersenyum lebar ke arah kamera.
"Foto kapan anjir ini? Udah lama banget gila," seru Jeonghan. Seungcheol melirik ponselnya kemudian ikut terkekeh.
"Itu selesai Ujian Tengah Semester enggak sih? Yang lo hampir-hampiran pingsan karena belom makan dari pagi tapi udah dipaksa mikirin ratusan soal Matematika?"
"Oh iya gue inget! Terus lo datang ke kelas gue pas istirahat sambil bawa nasi padang dan maksa banget nyuapin gue saat itu. Mana suapan lo gede-gede banget lagi sampe gue mual sendiri," kekeh Jeonghan. Lelaki itu ikut tersenyum lebar ketika menyadari bahwa Jeonghan begitu semangat menceritakan kisah mereka beberapa tahun silam.
Hati Seungcheol menghangat melihat itu.
"Mau ganti lagu?" tanya Seungcheol tanpa melepaskan pandangannya dari lalu lintas padat sore itu. Tentu saja karena ini jam pulang kantor. Semua orang akan berlomba-lomba sampai ke rumah mereka dengan cepat. Di balik itu, Seungcheol bersyukur karena ia bisa lebih lama berduaan dengan Jeonghan.
"Ada playlist gue kan di spotify lo," respon Jeonghan dengan kalimat yang tidak menjawab sama sekali. Ia masih fokus mencari lagu yang ingin ia putar sore itu bersama Seungcheol.
Ketika lagu sudah ditemukan, Jeonghan segera memutarnya kemudian menaruh ponsel Seungcheol di atas pahanya. Ia lakukan itu karena mungkin sewaktu-waktu ia ingin mengganti lagu yang ia putar dengan lagu lain. Kebiasaan seperti itu sudah Seungcheol ketahui dan Seungcheol tidak merasa keberatan sama sekali.
"Tumben play lagu Mas Sal Priadi?" tanya Seungcheol ketika alunan Kita Usahakan Rumah Itu terputar di mobilnya, mengiringi perjalanan mereka, mengalun dengan nyaman di telinga mereka.
"Enak. Kemaren Minghao puter lagu ini terus di kostannya," ujar Jeonghan. Seungcheol meraih tangan Jeonghan, menautkan tangan mereka kemudian mengecup punggung tangannya. Senyum Jeonghan melebar diperlakukan seperti itu. Seungcheol selalu membuatnya bagai seorang Ratu, kapanpun dan dimanapun. Bahkan untuk momen sederhana yang mereka buat.
"Kalau punya rumah nanti lo mau apa? Beli perabotan atau nyusun tata ruang?" tanya Seungcheol. Ia melirik sesaat Jeonghan yang ikut bersenandung ketika mendengarkan lantunan lagu tersebut.
"Beli perabotan!" tukas Jeonghan. "Lo enggak begitu ngerti perabotan dan hal-hal lucu lainnya, Cheol."
"Berarti lo mau dong nanti di masa depan punya rumah sama gue?" tanya Seungcheol sembari melirik Jeonghan sekilas. Ia masih mau berkendara dengan aman dan nyaman. Apalagi ia membawa Jeonghan saat itu. Meskipun begitu, tautan tangan mereka tidak lepas sama sekali.
"Lah? Iya kan? Nanti gue jadi nyonya besar, lo jadi supir pribadi keluarga gue?"
Seungcheol menggigit tangan Jeonghan dengan gemas disusul dengan teriakan juga kekehan dari bibir Jeonghan.
"Ya udah berarti nanti supirnya diam-diam pas malam menyergap nyonya rumah, mengikatnya, dan menyetubuhi nyonya rumahnya sampai nyonya rumahnya hamil ya?" tanya Seungcheol penuh banyolan.
"Kalau itu sih kita lihat dulu ya. Supirnya bisa bikin enak atau enggak ya," jawab Jeonghan tak kalah lucu. Keduanya terkekeh mendengar pertanyaan dan jawaban asal dari mulut masing-masing.
Keduanya kembali terdiam, menikmati keheningan dan ketenangan di dalam mobil mewah milik Seungcheol. Ketika mobilnya harus berhenti karena lampu lalu lintas yang berubah menjadi warna merah, Seungcheol menoleh pada Jeonghan. Ia menatap bidadari cantiknya yang tengah menatap pemandangan di luar melalui jendela di sampingnya. Seungcheol mengecup punggung tangannya kemudian mengelus rambut panjang itu dengan lembut.
Jeonghan menoleh dan ikut tersenyum ketika Seungcheol melakukan hal penuh kasih padanya.
"Boleh kamu keliling dunia dan temukan banyak tempat-tempat tuk singgah.. sementara."
Seungcheol ikut bernyanyi mengikuti alunan lirik Sal Priadi pada bagian itu. Jeonghan tak melepaskan pandangannya dari Seungcheol saat Seungcheol menyanyikan bagian itu di hadapannya.
"Kamu boleh namai itu rumah selama ada mereka yang kamu cinta..di dalamnya..."
Ketika bagian itu selesai dinyanyikan, Jeonghan tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada wajah Seungcheol. Nafas keduanya beradu, hidung mereka bersentuhan. Seungcheol tersenyum saat bulu mata Jeonghan menyapu kelopak matanya.
"Hi, rumah," sapa Jeonghan setengah berbisik. Setelah itu bibir keduanya saling menempel dengan penuh kelembutan, menikmati alunan musik pengakhir lagu, di sore hari yang cerah beserta ratusan kendaraan yang mengelilingi mobil mereka.
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
Mereka tiba di salah satu restaurant cepat saji baru di kota Bandung, kota mereka tinggal dan lahir. Restaurant yang menjual ayam dan juga beberapa panganan lain yang Seungcheol yakini Jeonghan akan suka datang ke sana.
"Cheol, penuh banget anjir! Ini mah kaya satu kelurahan datang ke sini!" keluh Jeonghan. Seungcheol meraih tangan Jeonghan dan menyatukan kedua tangan mereka. Ia ikut memperhatikan kondisi di restaurant tersebut sembari mencari kursi kosong yang ada di sana. Tetapi, nihil. Tidak ada satupun yang kosong kecuali kursi yang diperuntukan khusus untuk driver online.
"Makan di mobil aja?" tanya Seungcheol. Jeonghan mengangguk ragu.
"Iya, deh. Penuh banget di sini. Enggak tahu deh kapan kosongnya, orang yang mau pesen aja banyak banget."
"Lo tunggu aja di kursi situ," tunjuk Seungcheol ke arah deretan kursi khusus driver online. "Gue aja yang pesen. Lo mau pesen apa?"
"Hm paket spicy chicken yang pakai telor sama fried kailan, terus mau kentang goreng sama es krim juga dong Cheol," pinta Jeonghan sembari melihat deretan menu di belakang meja pemesanan.
"Ya. Lo tunggu ya, gue yang antri," ujar Seungcheol sembari melepas genggamannya.
"Terima kasih, sayang aku," ucap Jeonghan tanpa tahu kalau Seungcheol bahagia sekali ketika Jeonghan memanggilnya sayang. Biasanya Seungcheol akan mendengar panggilan itu ketika sedang bercinta tetapi hari ini tidak. Meskipun intensi nya berbeda tetapi Seungcheol tetap senang.
Sepeninggal Seungcheol menuju antrian, Jeonghan segera mencari tempat duduk dan duduk di sana sembari membuka ponselnya. Menghabiskan waktu dengan membuka instagram, membalas kolom komentar atau melihat reels di explore nya. Jika sudah seperti itu biasanya Jeonghan sudah tak sadar dengan sekitar.
Hingga tiba-tiba dari arah luar ia bisa mendengar ada sepasang kekasih yang bertengkar hebat. Meskipun bukan suatu pertengkaran yang memicu reaksi orang-orang sekitar dengan suara keras atau bantingan barang, tetapi pertikaian antara laki-laki dan perempuan itu berhasil menarik atensi Jeonghan.
Awalnya Jeonghan tak ingin tahu dan berusaha tidak peduli dengan masalah yang terjadi dengan orang lain. Namun, telinganya tidak bisa berbohong. Ia bisa mendengar apa yang tengah dipermasalahkan kedua orang itu. Hati Jeonghan ikut tersayat ketika mendengar isak tangis dari perempuan yang kini menutup wajahnya dan mencoba untuk menarik pakaian sang lelaki. Rasanya Jeonghan ingin sekali menarik perempuan itu dan menyadarkan dia bahwa itu bukan sesuatu yang pantas dilakukan ketika laki-laki itu tega melakukan hal tersebut padanya.
Setelah pasangan itu memilih pergi, Jeonghan seakan hampa. Ia merasa ada sesuatu yang turut menyakiti hatinya dan mempertanyakan permasalahan tersebut pada dirinya sendiri. Sesuatu yang tidak ia alami tetapi hal tersebut ikut mempengaruhi pikiran Jeonghan saat itu. Hingga ia tak menyadari bahwa Seungcheol sudah membawa dua kantung pelastik besar berisi pesanannya dan juga pesanan Seungcheol malam itu.
"Ngelamun bae," tegur Seungcheol. "Udah nih selesai. Makan yuk!"
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
Selama sesi menikmati makanan yang sudah Seungcheol pesan, Jeonghan lebih banyak diam dan menikmati makananya dengan tenang. Sesekali mengomentari makanan yang ia makan atau mencoba makanan yang Seungcheol makan. Hal tersebut disadari oleh Seungcheol. Biasanya gadis ini akan berbicara banyak ketika menemukan makanan enak, memberikan pujian dengan berlebihan atau memaksa Seungcheol untuk mencoba makanannya.
Malam itu tidak. Jeonghan hanya berkomentar, "enak ya, Cheol," ketika suapan pertama masuk ke dalam mulutnya. Setelah itu Jeonghan lebih banyak diam dan menikmati makanannya. Merasa aneh dengan sikap sahabatnya, Seungcheol mulai bertanya pada perempuan cantik yang duduk di sebelahnya.
"Aneh banget deh lo. Tumben diem aja," tutur Seungcheol. "Biasanya lo cerewet banget kalo nemu makanan enak. Setau gue lo demen banget ama ayam."
"Perasaan lo aja," balas Jeonghan sembari membereskan bekas makannya yang tak bersisa. Ia menaruh semua sampah ke dalam kantung pelastik besar. Tak lupa juga meraih bekas makan Seungcheol dan memastikan mobil itu bersih tanpa kotoran makanan.
"Perasaan gue ya ada yang ngeganggu pikiran lo saat ini," tambah Seungcheol. Lelaki itu tidak mau melanjutkan perkataannya ketika Jeonghan dengan telaten membersihkan tangannya dengan wet tissue. Setelah tangan Seungcheol bersih, ia mengambil wet tissue baru dan membersihkan tangannya sendiri.
Jeonghan membuang tissue bekasnya ke dalam kantung pelastik kemudian menatap Seungcheol tanpa ekspresi. "Emangnya laki-laki itu gampang pindah hati ya?" tanya Jeonghan dengan pelan.
"Hm?" tanya Seungcheol bingung. Alisnya sudah naik, pertanda ia tidak mengerti akan apa yang Jeonghan katakan.
"Tadi gue ngedenger ada pasangan berantem," ujar Jeonghan. Tangannya bergerak mengambil satu cup es krim yang dibelikan Seungcheol untuknya. Lelaki di hadapannya tidak merespon sedikitpun. Ia hanya ingin Jeonghan menyelesaikan apa yang ingin ia sampaikan malam itu pada Seungcheol. Sesuatu yang Seungcheol yakini berimbas pada perasaannya karena sebelum mereka makan, Jeonghan masih seperti Jeonghan. Dalam hal ini maksudnya Jeonghan masih cerewet, banyak komentar dan juga selalu melempar banyolan.
Ia menyendok satu suap es krim dan memasukan ke dalam mulutnya sendiri. Meringis sedikit ketika dingin es berhasil membuat giginya linu. "Laki-lakinya selingkuh, perempuannya nangis. Dia kayanya baru tau kalau cowoknya selingkuh," lanjut Jeonghan dengan tenang. Namun, matanya tidak bisa berbohong, ada kegundahan besar tertancap di sana.
"Terus?" tanya Seungcheol. Jeonghan mengambil satu sendok es krim dan menyuapkannya untuk Seungcheol. Es krim tersebut diterima baik oleh laki-laki itu.
"Gue ikut sedih padahal bukan gue yang diselingkuhin, Cheol," jujur Jeonghan. "Rasanya hati gue ikut sakit waktu cewe itu nangis dan marah karena enggak terima cowonya udah mempermainkan dia."
Ada hal yang ingin Seungcheol sampaikan ketika Jeonghan menyatakan kejujurannya pada Seungcheol. Sesuatu yang Seungcheol tahan hingga saat ini karena ia tahu ketika ia mengatakan hal tersebut, ada hati yang tersakiti. Seungcheol tidak peduli pada pihak lain yang akan menanggung resiko dari hal tersebut, dirinya hanya peduli pada sosok di hadapannya yang terlihat baik-baik saja namun sebetulnya ia adalah sosok rapuh yang perlu perlindungan.
"Seungcheol," panggil Jeonghan. "Apa semua laki-laki begitu ya?"
"Begitu gimana?" tanya Seungcheol dengan tenang.
"Enggak setia, cepat bosan, enggak komitmen sama janji yang udah dibangun," jawab Jeonghan. Ia menghela nafasnya dan menyimpan es krim yang sedang ia nikmati. Terlihat jelas bahwa ini bukan hal biasa yang ia rasakan. Satu nama ingin ia ucapkan tapi Jeonghan tidak mau membuat pikirannya semakin runyam hanya karena asumsi-asumsi tak berdasar di dalam pikirannya.
"Kalau lo tanya gue pertanyaan tersebut atas dasar pengalaman gue selama ini, jawabannya ya. Ada banyak kawan gue yang lakuin hal tersebut ataupun mengalami hal tersebut," ujar Seungcheol tanpa mengalihkan tatapannya dari Jeonghan. Netra cokelat indah milik Jeonghan seakan terpusat pada bola mata legam milik Seungcheol yang kini tengah menatapnya.
"Kawan gue yang selingkuh dari pacarnya, orang tua mereka yang punya simpanan atau bahkan nikah lagi. Itu bagai cerita lama yang terus berputar di lingkup pertemanan gue," tuturnya sembari meraih tangan Jeonghan dan menyatukan kedua tangan mereka.
"Tapi, gue punya prinsip," ujar Seungcheol dengan lembut. "Pasangan gue adalah prioritas gue, gue jaga dan akan jadi orang pertama yang gue cari dalam setiap kondisi. Apapun ending nya, terserah dia. Gue mau dia bahagia, dia jadi ratu di hati gue dan menerima semua yang terbaik yang bisa gue kasih ke dia."
Mata keduanya terpaku tak bergerak, tatapan bertaut dan tangan yang tak ingin berpindah sama sekali. Jeonghan meremas lembut tangan Seungcheol yang tengah menggengam tangannya.
"Kalau pada akhirnya gue yang harus dikhianati atau semesta enggak mengizinkan gue dengan dia, maka gue akan melepaskan dia. Yang terpenting adalah gue udah setia sama dia dan membahagiakan dia."
Jeonghan terdiam mendengar penuturan Seungcheol. Sesuatu menggelitik hatinya ketika mendengar hal tersebut. Tak pernah ia bayangkan bahwa jawaban Seungcheol akan seperti ini. Jawaban logis dan penuh keyakinan.
"Yang setia, bakal tetap ada meskipun ada banyak rintangan di depannya," lanjutnya seraya mengelus wajah Jeonghan. "Dan yang enggak setia, semulus apapun jalan di depannya, dia tetep akan pilih putar badan dan meninggalkan."
Sosok cantik berambut indah itu diam beberapa saat sembari menatap mata indah di hadapannya. Ia tersenyum dan menyentuh tangan Seungcheol yang masih berada di wajahnya.
"Keren banget perumpamaan lo raja bacot," bisik Jeonghan. "Jarang banget gue denger lo sebijak ini."
Tanpa aba-aba Seungcheol segera menyatukan kedua bibir mereka. Ia menutup matanya dan mulai menghisap bibir atas Jeonghan yang manis. Begitupula Jeonghan yang menaruh kedua tangannya di leher Seungcheol, meminta lelaki itu untuk memperdalam ciuman mereka. Jeonghan ikut menutup matanya dan menikmati bagaimana bulu mata panjang itu menyentuh wajahnya.
Geli di wajah dan juga perasaan menyenangkan di dalam perutnya menjadi perpaduan harmonis dalam sesi percintaan mereka malam itu. Seungcheol menurunkan salah satu tangannya, mengelus bahu Jeonghan yang masih tertutup cardigan, lalu turun ke pinggang rampingnya. Ia merengkuh pinggang itu dan semakin memperdalam ciumannya.
Lidah mereka bertaut, tidak peduli dengan posisi mereka yang tak nyaman, keduanya semakin menyatu dalam ciuman panas. Jeonghan bermain dengan lidah lelaki itu dan membiarkan dirinya semakin melekat pada tubuh Seungcheol. Ia tak membiarkan lelaki itu menang dalam permainan ini. Jeonghan butuh pelampiasan emosi. Ia tidak mau menangis.
Ciuman malam itu menjadi pelampiasan emosi Jeonghan atas apa yang menganggu pikirannya.
Seungcheol meremat pinggang itu dan sesekali mengelus pantat Jeonghan yang masih tertutup dress tipis yang Jeonghan pakai. Lenguh tertahan di bibir Jeonghan ketika Seungcheol meremas pelan pantatnya. Seungcheol menjauhkan bibir mereka dan apa yang ia lakukan berhasil membuat Jeonghan kecewa.
"Mmh...."
Mata cantik itu begitu sayu. Wajahnya bersemu dan juga bibirnya bengkak. Seungcheol menyukai itu. Ia tak bisa bertahan! Dengan cepat ia kembali menyerang bibir itu lagi dan tangannya ikut bergerak untuk melepas cardigan Jeonghan dan melemparnya ke belakang. Begitupula dengan Jeonghan yang sempat menjauhkan wajahnya dan membantu Seungcheol untuk melepas t-shirt nya.
"Aah-ahh.." desah Jeonghan ketika Seungcheol mencium lembut lehernya dan memberikan gigitan kecil di leher itu. Lidah Seungcheol bermain di lehernya dan membuat ukiran fana dengan lidahnya yang tak bertulang. Itu membuat Jeonghan dilanda nikmat.
"Seungcheol.." desah Jeonghan ketika tangan itu bukan hanya meremas pinggangnya tetapi ikut mengelus pinggangnya, punggungnya dan juga bahunya yang terbuka karena cardigan nya sudah tak menempel lagi di tubuhnya yang indah. Gadis itu menggigit bibirnya ketika gigi lelaki yang tengah mencumbunya mulai menggigit kecil dan memberi tanda di leher atasnya. Ia bergidik ketika lidah Seungcheol menjilat belakang telinganya dan sempat mengulum telinganya.
Tangan Jeonghan bergerak untuk mengelus sesuatu di balik celana denim Seungcheol. Tangannya bergerak naik dan turun, memberi elusan pada benda hidup di dalam sana.
"Hani," bisik Seungcheol. "Boleh?" tanya Seungcheol dengan nada bergetar sembari menunjuk kancing dress Jeonghan. Yang ditanya mengangguk memberi izin. Kemudian dengan cepat Seungcheol membuka kancing-kancing itu dan menurunkan bagian atas dress Jeonghan hingga ke pinggang.
Pujian dan untaian kata-kata puitis yang menggambarkan keindahan selalu ada di ujung lidah Seungcheol tiap kali melihat dengan bebas tubuh Jeonghan. Ia memuja tubuh itu. Tubuh indah dari seseorang yang ia cintai.
Jeonghan mengedipkan matanya ketika Seungcheol terdiam beberapa saat sembari menatap payudara nya yang masih terbungkus bra merah muda nan cantik. Jeonghan memeluk leher Seungcheol dengan kedua tangannya kemudian menatap lelaki itu dengan tatapan hangat.
"Sayang?" panggil Jeonghan. Panggilan yang mereka setujui tiap kali mereka bercinta. Seungcheol tak menggubris, ia tersenyum dan memilih untuk menempelkan dahi mereka kemudian memberi kecupan di bibir Jeonghan.
"Kenapa?" tanya Jeonghan.
"Kamu luar biasa cantik, Jeonghan," bisik Seungcheol. "Kamu sampai kapanpun adalah sosok tercantik di hidup aku. Kamu cantik dan aku sayang banget sama kamu."
Senyum Jeonghan mengembang. Ia kembali menarik leher Seungcheol dan mencium bibir itu dengan penuh cinta. Tangan Seungcheol bergerak untuk melepas bra Jeonghan dan melepaskannya dari tubuh perempuan itu. Selagi bibir mereka bertaut, tangan itu bergerak memijat payudara montok milik perempuan itu dan memberi elusan lembut di benda kenyal itu.
"Nghh..." lenguh Jeonghan ketika Seungcheol memainkan payudaranya kemudian mencubit lembut putingnya yang sensitif. Tak hanya itu, jemari Seungcheol juga menekan dan menarik puting itu.
"Seungcheol... sayang," bisik Jeonghan keenakan ketika Seungcheol menyentuh titik sensitifnya. Matanya terpejam dan membiarkan Seungcheol kembali mencumbu lehernya. Jeonghan menjambak lembut rambut hitam Seungcheol dan menarik kepala lelaki itu untuk mencumbu lehernya dan membiarkan bibir itu turun menuju dadanya.
"Ahh, sayang," bisik Jeonghan ketika mulut hangat itu mengulum putingnya dan memainkannya dengan lidahnya. Jeonghan selalu suka ketika Seungcheol menyusu. Ia suka ketika payudaranya dimainkan dan dipuja oleh lelaki itu.
"Kamu suka banget nyusu ya sampe segitunya?" bisik Jeonghan sembari terkekeh."Pelan-pelan, sayang. Aku kan enggak kemana-mana," tegur Jeonghan ketika Seungcheol dengan semangat memainkan payudaranya dan menghisapnya dengan kuat.
Basah sekali celana dalam Jeonghan. Vagina nya sudah mengeluarkan cairan pre-ejakulasi dan membuat celana dalamnya lembab. Ia menggerak-gerakan pinggangnya, menciptakan friksi pada kursi mobil yang terbungkus lapisan kulit. Bibirnya melenguh tanda nikmat. Meskipun ia tidak bisa melenguh bebas karena mereka masih di tempat umum. Gila memang!
Ini bukan pertama kali mereka melakukan public sex tetapi, rasanya tetap nikmat! Bagi keduanya, percintaan panas mereka bukan hanya sebagai cara untuk memuaskan nafsu mereka. Tetapi ada cinta, kasih sayang, dan juga pujian. Mereka selalu menikmati hal itu sekalipun status mereka hanyalah sahabat.
"Ssh.. ahh.."
Bibir indah itu mendesah ketika Seungcheol menjilat perutnya kemudian kembali menghisap payudaranya bagai bayi yang membutuhkan susu. Tangan Jeonghan bergerak untuk membuka ikat pinggang Seungcheol, membuka kancing celananya dan menurunkan sleting celananya. Ia mengelus penis yang masih terbungkus celana dalam hitam milik Seungcheol.
Geraman tertahan dari mulut Seungcheol terdengar karena mulutnya dipenuhi dada Jeonghan yang membengkak. Jemari Jeonghan bergerak mengeluarkan penis Seungcheol dari tempatnya. Ia tersenyum ketika melihat titik basah di ujung kemaluannya. Tangannya refleks bergerak memberi sentuhan yang selalu Seungcheol rindukan.
Naik, turun, memijat dan berputar. Terutama di bagian kepala penisnya. Jeonghan suka sekali memainkan bagian itu.
"Hani.." desah Seungcheol. Jeonghan tersenyum dan menatap wajah Seungcheol yang frustasi. Ia menutup matanya dan kembali memberi kecupan-kecupan juga hisapan di dada Jeonghan yang berisi.
Ia mendorong pelan tubuh Seungcheol agar kembali bersandar di kursinya sedangkan ia menurunkan tubuhnya dan mulai menghisap penis itu dengan mulutnya. Awalnya hanya sebuah kecupan dan juga jilatan di kepala penis itu. Ia menggoda batang besar itu agar semakin siap memasuki arena pertempurannya.
"Nghh.. Jeonghan... sayang," geram Seungcheol ketika Jeonghan memasukan seluruh penisnya ke dalam rongga mulutnya. Menahannya sebentar kemudian mengeluarkannya lagi. Seungcheol mengelus rambut Jeonghan yang berada di selangkangannya kemudian menyatukan semua rambutnya dan mengikatnya dengan tangannya. Gadis itu tersenyum dan mengecupi sepanjang penis Seungcheol.
"Hmm.."
Gumaman yang dibuat Jeonghan muncul dari mulutnya ketika ia mulai memasukan kembali penis Seungcheol ke dalam mulutnya. Darah Seungcheol berdesir ketika Jeonghan tidak melepaskan pandangannya dari matanya. Gawat! Seungcheol bisa gila saat ini.
"Sayang.." bisik Seungcheol sembari menahan rambut Jeonghan juga membantu Jeonghan menaik turunkan kepalanya, memompa penis tegang itu dengan mulut hangatnya. Jeonghan semakin cepat mengulum benda panjang itu. Seungcheol menggeram ketika Jeonghan menahan kembali penis itu di mulutnya dan saat dirinya hampir tersedak, ia mengeluarkannya lagi.
"Kesedak nanti kamu, honey," bisik Seungcheol sembari mengelap liur di bibir Jeonghan. Bagaimanapun ia tidak mau perempuannya tersakiti meskipun ini nikmat sekali.
Jeonghan kembali mencium penis itu dan mengulum kepala penis Seungcheol. Menikmatinya bak lollipop terenak yang pernah ia makan. Tak lupa lidahnya juga bergerak untuk menggoda bola kembar Seungcheol yang sejak tadi tak tersentuh. Rasanya Seungcheol ingin sekali menekan kepala itu dan memaksanya untuk menghisap penis dan testisnya bersamaan.
"Sini, sayang," ujar Seungcheol sembari menepuk pahanya dan meminta Jeonghan untuk bangkit dan duduk di pahanya. Jeonghan melirik sebentar ke arah luar melalui kaca kemudian meraih ponsel Seungcheol dan memutar lagu dengan keras agar terdengar di mobil yang mereka tumpangi.
Kekehan keduanya terdengar ketika lagu Sal Priadi mulai terputar malam itu. Instrumen Amin Paling Serius terputar dengan keras. Pengalaman baru bagi mereka ketika mendengar lagu ini dengan kondisi akan bersetubuh dan setengah telanjang.
"Baru tahu kalau lagu Mas Sal bisa dipake lagu ngewe," ujar Seungcheol sembari mengelus paha Jeonghan. Si cantik tersenyum lebar kemudian mengecup bibir Seungcheol.
"Biar enggak kedengeran lagi plak plik plok nya," saut Jeonghan. Lengan ramping itu mengalung di leher Seungcheol kemudian wajahnya mendekat pada leher tebal itu dan memberi kecupan juga hisapan di sana. Tangan Seungcheol bergerak mengelus vagina Jeonghan yang masih terbungkus celana dalam. Ia memastikan lubang itu siap untuk dimasuki penisnya. Jeonghan melenguh di tengah-tengah aktifitasnya memberi tanda di leher lelakinya.
"Aku lepas ya?" izin Seungcheol sembari berbisik di telinga Jeonghan. Yang ditanya mengangguk tanpa melepas cumbuannya. Seungcheol dengan cepat menarik celana dalam Jeonghan kemudian membantu perempuan itu untuk menaikan tubuhnya dan melepaskan celana dalamnya.
"Ahhh."
Genital mereka bersentuhan. Seungcheol bernafas cepat ketika penisnya menyentuh vagina basah dan licin itu. Begitu panas, basah dan siap dikawini. Jeonghan menyingkap dress nya dan mempertemukan alat kelamin mereka. Ia menggesekan vaginanya sembari menatap Seungcheol penuh intensi.
"Aku enggak bawa kondom," ujar Seungcheol.
"Keluarin di luar ya," pinta Jeonghan. "Aku lagi masa ovulasi."
Seungcheol tidak menjawab. Ia memainkan penisnya tepat di lubang hangat Jeonghan, membuat gadisnya melenguh kenikmatan. Dengan perlahan ia memasukan penisnya ke dalam lubang kawin hangat itu. Jeonghan ikut sedikit menaikan pantatnya ketika Seungcheol memasukan penisnya. Geraman dan desisan terdengar dari kedua mulut mereka disusul dengan alunan lagu Bulan Yang Baik dari Sal Priadi.
"Ahhhh," desahan feminin itu keluar dari mulut Jeonghan ketika seluruh penis Seungcheol tertancap di dalam lubangnya. Seungcheol menutup matanya dan mengais udara dengan cepat. Ia merindukan tubuh Jeonghan dan lenguhan cantik dari sosok di atas tubuhnya.
Jeonghan terdiam beberapa saat sembari memeluk leher Seungcheol dan menaruh dagunya di atas bahu Seungcheol. Lelaki itu tidak ingin memulai duluan, ia ingin Jeonghan menemukan titik nikmatnya sendiri. Tangan Seungcheol bergerak untuk mengelus paha dan juga punggung Jeonghan dengan lembut.
Pinggul Jeonghan bergerak perlahan, naik dan turun. Seungcheol mendesis dan ikut meremas pinggang ramping sahabatnya. Meskipun gerakan Jeonghan begitu pelan dan tidak terburu-buru, tetapi Seungcheol menikmatinya. Secara naluri ia ingin bergerak cepat menumbuk lubang itu dengan kasar. Tetapi ia ingin Jeonghan menikmati kegiatan seks mereka.
Bukan kecepatan tetapi kenikmatan yang dapat diraih keduanya itu yang Seungcheol terapkan.
"Nghh..." lenguh Jeonghan tiap kali penis Seungcheol berhasil menyentuh sweet spot nya. Ia menikmati bagaimana penis itu menyentuh setiap inci lubang vaginanya, menggesek setiap labirin di dalam sana. Juga bagaimana penis itu memenuhi vaginanya. Jeonghan menikmati itu semua.
"Sayang," bisik Seungcheol sembari mengelus rambut Jeonghan. Tubuh sexy itu menjauh dari Seungcheol kemudian menyimpan kedua tangannya di bahu kanan dan kiri Seungcheol. Wajah Seungcheol mendekat pada puting menegang itu kemudian menghisapnya. Jeonghan masih menaik turunkan tubuhnya dan membiarkan Seungcheol menghisap payudaranya dengan lahap.
"Ahh.. sayang.." desah Jeonghan serasa dihujani kenikmatan baik di bagian bawah maupun dadanya. Hormon sebelum menstruasi memang membuatnya lebih bergairah dan juga ingin sekali disentuh. Jeonghan sangat menikmati persetubuhan mereka malam itu.
"Capek," eluh Jeonghan dengan mata sayu dan wajah memerah. Seungcheol tak tahan untuk mencium bibirnya dan menggigit bibir merona itu dengan penuh nafsu. Ciuman itu tidak berlangsung lama karena Seungcheol menjauhkan bibir mereka dan mengarahkan tangannya pada Jeonghan. Dengan senang hati Jeonghan meraih tangannya dan mengulum jari telunjuk dan tengahnya.
"Aku gerak?" bisik Seungcheol di telinganya. Jeonghan mengangguk dengan tidak sabar. Seungcheol mengecup bahunya kemudian merengkuh pinggangnya dan mulai bergerak sedikit lebih cepat daripada pergerakan Jeonghan. Ia tidak mau langsung bergerak beringas karena pasti Jeonghan perlu penyesuaian.
"Ahhh... Seungcheol," desah Jeonghan ketika ia sudah mengeluarkan jari Seungcheol dari mulutnya. Matanya terpejam dan mulutnya sibuk mendesah tiap kali Seungcheol menumbuk lubangnya. Tangan Jeonghan berpegangan pada bahu Seungcheol sedangkan lelakinya menumbuk lubangnya dengan kecepatan yang meningkat, lebih keras dari sebelumnya.
Seungcheol menjilat leher dan dadanya juga memberi kecupan di dadanya yang membal. Mata Seungcheol diberkati sekali ketika melihat hal itu. Jeonghan yang duduk diatasnya dan ia setubuhi, desahannya yang fantastis juga payudaranya yang bergerak naik dan turun.
"Ahh— sayang," desahan khas dari mulut Jeonghan berhasil membangkitkan sisi liar Seungcheol yang sejak tadi ia tahan. Ia mulai mempercepat lagi tingkat gerakannya. Bibirnya kembali mendekat pada puting merah muda itu dan menghisapnya dengan penuh semangat. Jeonghan mendesis dan sedikit menegakan tubuhnya, membelai rambut Seungcheol dan menekan kepala itu agar lebih dalam menghisap payudaranya.
"Ahh, Seungcheol.." desah Jeonghan ketika Seungcheol meremat pinggulnya dan menusuk lubangnya dengan sedikit kasar. Seungcheol menjauhkan kepalanya dan menatap Jeonghan yang tengah menutup matanya juga mengigit bibirnya, menikmati setiap apa yang Seungcheol lakukan pada tubuhnya malam itu.
Keringat mereka menyatu, menetes dalam gairah dan nikmat yang tak dapat dijelaskan. Pikiran mereka saling memenuhi satu sama lain. Gerakan keras itu seolah mereka abaikan meskipun mobil yang mereka tumpangi ikut bergoyang semakin keras.
Seungcheol mendekatkan wajahnya pada telinga Jeonghan. Ia mengecup daun telinganya kemudian berbisik, "Enak? Hm?"
Suara berat itu berhasil membuat bulu kuduk Jeonghan berdiri dan darahnya berdesir. Gairahnya semakin meningkat seiring dengan hormon pre-menstruasi dan juga setiap hal yang Seungcheol berikan padanya. Kepalanya mengangguk. Ia menggigit bibirnya dan menutup matanya.
Yes! Seungcheol bersorak dalam hati. Perempuannya selalu puas dengan tindakannya dan juga bagaimana cara Seungcheol memperlakukannya. Bagi Seungcheol, Jeonghan adalah ratu nya dan ia ingin Jeonghan menikmati hubungan mereka secara intim. Merekapun menyadari bahwa setiap aktifitas seksual yang mereka lakukan di manapun didasari dengan keinginan dan kerinduan semata.
Pergulatan mereka begitu panas, begitu menggairahkan namun penuh kasih sayang dan keintiman. Jeonghan beberapa kali memutar bola matanya ke belakang karena kenikmatan yang menyerangnya. Seungcheol pun sama, ia begitu menikmati hal yang ia lakukan bersama Jeonghan setiap kali mereka berhubungan seks.
Tubuh Jeonghan yang menggoda penuh keringat, wajah cantiknya, rambut nya yang tergerai, dada nya yang padat dan membal, tubuh seksi nya dan juga jangan lupakan bibirnya yang selalu mendesahkan nama Seungcheol. Begitupula Jeonghan yang terpikat dengan ketampanan Seungcheol, tubuhnya yang atletis yang selalu Jeonghan peluk, otot-ototnya yang kuat, juga penis nya yang perkasa.
Saling melengkapi dan memiliki.
"Cantik nya aku," bisik Seungcheol sembari mengecup pipi Jeonghan. "Kamu punya aku, sayang. Kamu punya aku," bisiknya penuh otoritas.
"Iya.. punya kamu... punya kamu," jawab Jeonghan dengan meracau. Air liur nya menetes seiring dengan pergerakan Seungcheol di bawah sana. Mata Seungcheol bergerak menatap tubuh Jeonghan yang ikut naik turun bersamaan dengan gerakannya yang semakin kuat.
Seungcheol menarik wajahnya dan mencium bibir Jeonghan dengan penuh cinta. Keduanya saling menempelkan kening mereka dengan Jeonghan yang inisiatif memberi kecupan di bibir Seungcheol. Lelaki itu kemudian menjauhkan wajahnya, memeluk Jeonghan dan mengecup bahu telanjangnya dengan mesra. Jeonghan memeluk leher Seungcheol dan menempelkan dahi nya di bahu Seungcheol. Keduanya berlomba-lomba mengais oksigen di dalam ruang sempit yang berembun karena uap nafas mereka.
"Sayang, aku mau keluar," ujar Seungcheol dengan terbata. Jeonghan menjauhkan kepalanya kemudian bergerak dengan perlahan. Ia menaikan sedikit pantatnya dan membantu Seungcheol untuk mengeluarkan penisnya dari dalam lubang vaginanya.
Tangan Seungcheol bergerak untuk mengocok penisnya sendiri tepat di hadapan vagina Jeonghan yang terhidang di hadapannya. Sedang Jeonghan menyandarkan punggungnya pada setir mobil, melebarkan kakinya dan membiarkan vaginya terpampang di hadapan Seungcheol. Jarinya bergerak untuk memainkan klitoris nya, merangsang puncak kenikmatannya.
Mereka berdua saling menatap penuh intensi, penuh gairah dan juga rasa ingin memiliki. Jeonghan menggigit bibirnya dan ketika ia mendapat puncaknya, tubuhnya mendak-mendak di atas paha Seungcheol.
"Ahhh...," desahnya. Ia menutup matanya sembari memainkan putingnya sendiri. Tubuhnya bergerak mengikuti kenikmatan yang ia terima atas jarinya sendiri di bawah sana. Melihat hal itu, Seungcheol semakin cepat mengocok penisnya karena ia merasa puncaknya sudah sebentar lagi. Lengan kekarnya menarik pinggang Jeonghan sehingga kini penisnya menempel begitu dekat dengan vagina nya yang perlahan mengeluarkan cairan putih dari lubangnya.
"Aku keluar, sayang," ujar Seungcheol dengan terbata. Geraman lelaki itu begitu seksi di telinga Jeonghan. Desahan manja dan feminin keluar dari mulut Jeonghan ketika penis itu menyentil klitorisnya. Penis besar Seungcheol menyemburkan sperma nya beberapa kali, menembakan bakal benih itu tepat di vagina Jeonghan. Dengan sengaja Seungcheol menyundul vagina merah itu dengan kepala penisnya, menepuk-nepuk penis itu hingga semua sperma nya keluar dan membasahi vagina Jeonghan.
Sembari meremas dada besar yang membusung itu, Seungcheol meratakan spermanya di atas vagina Jeonghan yang mengkilat. Deru nafas keduanya saling bersautan setelah aktifitas mereka yang membutuhkan banyak energi. Jeonghan tersenyum ketika Seungcheol menarik tubuhnya dan membawanya ke dalam pelukan. Kembali kecupan ringan itu Seungcheol bubuhkan di dahi, pelipis, bibir dan juga bahunya.
"Aku sayang kamu," bisik Seungcheol. "Aku sayang banget sama kamu."
"Aku juga," balas Jeonghan. "Aku sayang kamu, Seungcheol."
"Sebagai sahabat," tambah Seungcheol dengan tenang. "Aku tahu isi hati kamu."
Helaan nafas dari mulut Jeonghan menjadi penanda bahwa ada sesuatu lain di dalam hati dan pikirannya. Jeonghan menutup matanya dan mengecup dada bidang Seungcheol. Rasanya, ia hanya ingin seperti ini selama beberapa saat. Hanya ada dia dan Seungcheol dalam ruang yang mereka ciptakan, dalam waktu yang mereka rangkai berdua.
"Enggak masalah. Aku dah biasa dapat jawaban kaya gini," Seungcheol berujar dengan tenang sembari mengelus rambut Jeonghan. "Karena aku cuma maunya kamu dan eksistensi kamu yang enggak hilang dari hidup aku."
Perkataan itu sebetulnya biasa, tidak ada yang spesial. Perkataan yang sudah sering ia dengar dari mulut seorang Choi Seungcheol. Namun, ada satu hal yang Jeonghan rasakan berbeda dari perkataan itu. Seolah berhasil membuat hati nya luluh lantah tak karuan. Seolah bisa membuat dadanya berdetak lebih cepat dan kepalanya melayang saat itu juga.
"Makasih ya, kamu selalu ada untuk aku," bisik Jeonghan.
"Kapanpun kamu butuh aku, aku selalu ada untuk kamu," balas Seungcheol dengan penuh sayang. "Asal jangan lagi deh ngewe sambil denger lagu Mas Sal Priadi. Kaya merasa berdosa banget lagi asik-asik ah oh ih eh lagunya Gala Bunga Matahari."
"Itu biar kita sadar kalau kita bisa aja meninggal pas lagi asik-asik begini," tambah Jeonghan disertai kekehan. Seungcheol mengeratkan pelukannya di tubuh Jeonghan dan mengecup puncak kepalanya.
"Bisa juga meninggal karena abis makan langsung ngewe. Gila! Perut gue begah!"
"Bacot banget elah ini raja bacot!"
Biarkan mereka berdua saling menikmati waktu mereka. Karena bagaimanapun perasaan yang timbul saat ini bukan hanya karena kebutuhan semata tetapi juga kesetiaan dan pengorbanan yang tidak dapat dirangkai dengan kata-kata.
Kakinya berjalan dengan mantap melewati beberapa pintu unit apartemen ternama. Ia tak perlu merapal setiap nomor di sana hanya untuk mengetahui di mana orang yang ingin ia temui berada. Ketika matanya menangkap nomor unit yang ia tuju, langkahnya berhenti tepat di depan pintu kemudian menekan bel yang terletak di sisi kanan. Bibirnya tak berhenti bersiul sembari menunggu pintu tersebut di buka.
Beberapa detik kemudian, sang empunya unit membuka pintu nya dan berdiri dengan tatapan datar. Menatap seseorang yang kini berdiri di depan pintu dengan ekspresi yang sulit dipahami.
"Ngapain ke sini?" tanya sang pemilik unit. Yang ditanya hanya tersenyum sembari menyilangkan tangannya di depan dada
"Lagi ada Wonwoo di dalem?" tanyanya sembari menunjuk bagian dalam dari unit tersebut dengan dagunya.
"Bukan urusan lo mau ada dia atau enggak," tukas sosok tinggi yang kini masih berdiri menghalangi seolah tak ingin apapun bahkan siapapun di dalam sana dapat dilihat oleh sosok di hadapannya.
"Gue cuma mau ngobrol sama kalian. Enggak ada maksud lain."
"Terakhir lo ke sini buat keributan dan semuanya jadi kacau, Cheol."
Seungcheol terkekeh dan mengusap wajahnya. Senyumnya dengan cepat menghilang dan membalas tatapan nyalang itu dengan tatapan menusuk, penuh dendam.
"Gue datang ke sini bukan untuk ngajak ribut," ujar Seungcheol dengan tenang seolah tak ada apapun saat ini yang terjadi di antara mereka berdua.
"Setidaknya sebagai orang dewasa kita bisa selsein ini dengan kepala dingin dan enggak merugikan siapapun, Gyu."
Mingyu — sosok itu terdiam beberapa saat, meyakinkan dirinya jika mengundang masuk lelaki yang merupakan sahabatnya ini bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mingyu mendengus kemudian menggeser tubuhnya.
"Masuk."
Seungcheol tersenyum dan menepuk bahu kiri sahabatnya sebanyak dua kali kemudian melangkah masuk ke dalam unit apartemen milik sahabatnya sekaligus kekasih dari Jeonghan.
· · ─ ·𖥸· ─ · ·
Bak terdakwa di hadapan hakim, keduanya baik Mingyu ataupun Wonwoo duduk terdiam di hadapan Seungcheol, sang hakim yang menatap mereka bergantian seolah meminta kejelasan dari keduanya.
"Lo enggak usah bohong sama gue, Gyu kalau memang lo dan Wonwoo udah ngabisin banyak waktu di apartemen ini," tuturnya sembari menatap Wonwoo. Suaranya begitu tenang namun itu hal yang membuat Wonwoo tak ada muka untuk berbicara sedikit pun di hadapan sahabatnya sekaligus lelaki yang sudah ia anggap sebagai kakak laki-lakinya.
"Kalau iya kenapa?" lelaki yang duduk di sebelah Wonwoo bertanya balik seolah menantang lelaki di hadapannya. Seungcheol hanya tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya.
"Lo berdua udah gede dan tahu kalau semua ini udah melewati normal yang ada. Berhubungan diam-diam padahal salah satunya udah punya pasangan apa itu wajar?" tanya Seungcheol sembari menatap keduanya bergantian.
Mingyu menggenggam tangan Wonwoo ketika perempuan itu sudah siap membuka mulutnya. Ia mengelus punggung tangan gadisnya seolah ingin menyampaikan bahwa ia perlu tenang dan tak perlu membalas apa yang ditanyakan Seungcheol pada mereka.
"Gue tau ini salah dan gue bertanggung jawab penuh atas apa yang gue lakukan di belakang Jeonghan," sambung Mingyu tanpa melepaskan tautan tangannya dengan Wonwoo. "Dan gue enggak mau membela diri gue dalam hal ini karena gue tahu kalau gue udah berkhianat begitu hebatnya."
"Itu lo sadar—"
"Tapi gue berhak membela diri gue juga ketika gue mau mengedepankan kebahagiaan gue, cinta gue dan masa depan gue sama orang yang gue pilih," lanjut Mingyu tanpa melepaskan tatapannya dari Seungcheol.
"Semua berhak bahagia tapi lo enggak bisa egois hanya karena lo mau meraih kebahagiaan lo, lo harus mengorbankan dan menyakiti seseorang yang sayang dan tulus sama lo," balas Seungcheol.
"Kalau Jeonghan memang sayang sama gue seharusnya dia ngebiarin gue memilih kebahagiaan gue," lanjut Mingyu seraya menatap Seungcheol dengan tajam. "Kalau gitu harusnya dia terima dengan apa yang gue lakukan."
Seungcheol mendengus dan tertawa datar. Ia mengusap wajahnya dan menatap keduanya dengan nanar. "Gue udah janji sama diri gue sendiri dan Jeonghan untuk enggak mukul lo lagi, Mingyu. Lo bener-bener jahat dan brengsek dengan perkataan lo itu. Lo sadar enggak?"
Pertanyaan itu berhasil mencubit sedikit ego Mingyu yang tersulut. Ia yang hendak membalas perkataan Seungcheol memilih untuk diam dan menutup mulutnya rapat.
"Apa kabar orang yang rela melepas kebahagiaan nya hanya untuk melihat orang yang dia cintai bahagia? Lo pernah bayangin enggak gimana rasanya terbunuh pelan-pelan?"
Pertanyaan Seungcheol seolah menampar keduanya baik itu Mingyu maupun Wonwoo. Seungcheol yang selalu berapi dalam menyatakan apapun kini terlihat terpukul dan juga sedih ketika menyampaikan itu dan Wonwoo begitu menyadari hal tersebut.
"Kalian enggak pernah tahu kan gimana rasanya harus mengikhlaskan perasaan kalian sama orang yang enggak pernah sekalipun memilih kalian?" tanya Seungcheol lagi dengan lirih.
"Gimana rasanya jadi pilihan terakhir? Gimana rasanya tidak diperjuangangkan?"
"Itu yang lo rasain ke Jeonghan kan?" pertanyaan Wonwoo membuat Seungcheol terdiam dan menatap perempuan itu. Unit apartemen Mingyu seolah menjadi ajang di mana satu sama lain saling menyerang melalui perkataan yang berdasarkan apa yang mereka rasakan. Tentu, ini melibatkan perasaan di antara ketiganya dan juga Jeonghan sebagai pemeran utama dalam cerita ini.
"Ya," Seungcheol mengangguk. "Gue selalu menerima kalau gue adalah pilihan terakhir karena dia bakal milih orang lain ketimbang gue."
Perasaan bersalah membuncah di dalam hati Mingyu ketika mendengar suara hati Seungcheol yang ia simpan selama ini. Mingyu tak pernah tahu ini. Yang ia tahu hanya Seungcheol adalah sahabat Jeonghan dan di antara keduanya murni hanyalah hubungan persahabatan di antara perempuan dan laki-laki.
"Lo enggak pernah cerita ini sama gue...." ujar Mingyu dengan pelan namun di nadanya tetap terselip keterkejutan luar biasa.
"Mingyu, lo inget kan waktu gue SMA gue hampir aja masuk ke pergaulan temen-temen pemakai gue yang narik gue ke dalem lingkaran narkotika?" tanya Seungcheol. Mingyu mengangguk, ia masih ingat cerita.
"Iya, gue inget karena saat itu gue salah satu orang yang mukulin temen-temen lo dan laporin mereka ke pihak sekolah," tukas Mingyu. "Lo.... enggak make lagi kan, Cheol?"
Mingyu bertanya dengan hati-hati. Seungcheol menggeleng dan tersenyum.
"Gue hampir enggak punya masa depan, suram dan juga enggak ada harapan karena tekanan dari keluarga gue. Tapi, Jeonghan hadir di hidup gue, meyakinkan gue bahwa gue enggak perlu jadi yang sempurna untuk bisa ngebahagiain banyak orang, gue cuma perlu jadi Seungcheol yang apa adanya dan menjalani hidup dengan bahagia," tuturnya dengan senyum di wajah. Mingyu dan Wonwoo menyadari bahwa berdasarkan cerita itu, nama Jeonghan adalah nama terpenting dalam hidup Seungcheol.
Bagi Mingyu, hal ini tidak menyakitinya sama sekali. Ia hanya bertanya pada dirinya sendiri saat ini apakah perasaan yang ia miliki sudah sebesar perasaan Seungcheol kepada Jeonghan?
"Dan gue enggak mau dia sedih. Apapun pilihan dia, gue cuma mau dia bahagia," tutur Seungcheol dan senyum di wajahnya. Matanya menerawang, membayangkan wajah Jeonghan yang tersenyum tanpa air mata setetespun.
"Go ahead," tukas Mingyu. "Lanjutin kalau lo memang mau Jeonghan bahagia dengan cara lo."
Seungcheol melipat tangannya di dada dan menatap Mingyu dengan sinis. "Tanpa lo suruh juga gue emang pengen Jeonghan bahagia sama gue. Lo kan udah ngelepasin dia."
"Gue percaya kalau lo bisa lebih bahagiain Jeonghan dan gue juga tahu kalau selain gue, ada lo di hidup dia. Gue bukan satu-satunya sumber kebahagiaan dia," balas Mingyu. Ia menoleh pada Wonwoo dan mengecup punggung tangannya.
"Biarin gue jadi satu-satunya sumber kebahagiaan untuk Wonwoo," ujar Mingyu dengan mantap tanpa keraguan sedikit pun.
"Tapi," potong Seungcheol. "Gimanapun ini perlu diomongin empat mata sama Jeonghan. Kalau memang kalian udah mantap dengan keputusan kalian. Minta maaf dengan tulus, jelasin secara baik-baik tanpa adanya pembelaan. Gimanapun respon dia, lo berdua harus menerima itu."
Mingyu dan Wonwoo mengangguk. Mereka sudah siap atas apapun yang mereka terima, terutama respon Jeonghan atas hal ini. Sebagai sesama perempuan, Wonwoo kini telah berpikir jauh atas reaksi atau bahkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan Jeonghan ketika mengetahui bahwa dirinya telah bermain cinta dengan kekasihnya sendiri.
"Oke, gue harus balik," Seungcheol bangkit dan menepuk celananya. Mingyu yang lebih dulu berjalan mendekat dan memeluk Seungcheol dengan tulus.
"Gue minta maaf," bisik Mingyu. Pelukan itu Seungcheol terima. Ia menepuk punggung lebar sahabatnya dan tersenyum tipis.
"Yang penting lo selsein semuanya. Lo laki-laki. Jangan pengecut," pesan Seungcheol. Mingyu menjauhkan tubuhnya dan mengangguk.
"Lo juga, lo harus jelasin ke Jeonghan semuanya," ujar Seungcheol ketika Wonwoo berjalan mendekat padanya. "Jeonghan sayang banget sama lo. Pasti dia bakal kecewa luar biasa ketika tau itu."
"Iya, gue bakal selsein semuanya," jawab Wonwoo. Seungcheol menepuk kepala Wonwoo dengan penuh sayang kemudian memeluk sahabat perempuan itu.
Setidaknya satu benang kusut sudah terurai meskipun benang kusut lainnya masih terikat dan perlu waktu untuk mengurainya.
Matahari bersinar seolah menjadi pendukung bagi orang-orang yang beraktifitas pagi itu. Udara yang segar dan bersih, juga semilir angin yang menggerakan ranting-ranting pohon dengan begitu indahnya. Semuanya begitu indah dan menyegarkan. Bagi Jeonghan, pagi itu juga bukan pagi yang biasa karena ia akan melakukan sesuatu untuk terakhir kalinya, sesuatu yang membantu dia untuk mencapai apa yang menjadi misi nya sebagai mahasiswa tingkat akhir.
Hari ini adalah hari terakhir dirinya dan Seungcheol mendatangi pengadilan negeri untuk melakukan wawancara terkait skripsi mereka. Jika mereka sudah mendapatkan informasi dari narasumber maka selesailah Bab 4 mereka. Bagi mereka berdua dan teman-teman mereka, bab selanjutnya tidak begitu sulit sehingga di bab 4 ini mereka harus bekerja lebih extra daripada sebelumnya.
Jeonghan dengan balutan kemeja tangan panjang dan celana berbahan kain berjalan menuju basement kemudian melangkahkan kakinya ke arah mobil berwarna hitam yang terparkir di sana. Ia membuka pintu mobil dan tersenyum mendapati Seungcheol yang duduk di kursi pengemudi.
"Lo potong rambut?" kalimat pertama yang diucapkan Jeonghan pada Seungcheol pagi itu.
"Iya. Udah gerah banget," jawab Seungcheol. Jeonghan masuk ke dalam mobil, duduk di kursi dan menutup pintu mobil. Ia tersenyum lebar sembari menyerahkan satu kantung pelastik pada Seungcheol.
"Gue bikinin nasi goreng sama sempet beliin lo kopi tadi pas lewat supermarket," ujar Jeonghan.
"Makasih, sayang. Lo udah sarapan?" Seungcheol bertanya balik. Anggukan menjadi jawaban dari Jeonghan.
"Udah. Tadi sarapan nasi goreng yang sama kaya buat lo," jawab Jeonghan. Seungcheol menaruh kantung pelastik itu kemudian menarik pinggang Jeonghan dengan lembut dan mengecup bibirnya.
"Ganteng," bisik Jeonghan. Tangannya melingkar di leher Seungcheol.
"Lo suka?"
"Suka banget. Lo keliatan banget Arab nya."
Keduanya terkekeh mendengar perkataan Jeonghan. Seungcheol yang terlebih dulu mendekatkan wajahnya dan mencium bibir merah merona milik Jeonghan yang hari ini begitu manis sama seperti hari sebelumnya. Tangan Jeonghan yang terkait di leher itu sesekali menjambak rambut Seungcheol ataupun mengelus rambutnya. Jeonghan menutup matanya dan mulai menggoda lidah Seungcheol dengan lidahnya sendiri.
Tubuh mereka semakin rapat bahkan kini Jeonghan bisa merasakan bagaimana payudara nya menempel dengan tubuh Seungcheol yang berbalut kemeja formal. Seungcheol menggigit bibir Jeonghan dan ketika Jeonghan melenguh, ia memasukan lidahnya ke dalam mulut Jeonghan.
Tangan Seungcheol tak absen untuk mengelus pinggang, meremas dan menepuk lembut bongkah padat di bawah sana. Meskipun kini mereka berdua tengah menikmati percumbuan mereka, insting Seungcheol bergerak untuk membuka mata. Tanpa melepas pagutannnya dengan Jeonghan, Seungcheol mendapati seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari mobilnya. Menatap mereka berdua dari ujung sana seolah apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang biasa.
Seungcheol membalas tatapan dan itu dan menyeringai di sela-sela cumbuannya. Ia menaikan alisnya dan kembali menutup mata, menarik tubuh Jeonghan lebih dekat lagi.
Sosok di sana enggan membalikan tubuhnya. Ia tersenyum tipis dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Saat di rasa dua orang di sana sudah saling menjauhkan wajah mereka, ia berbalik dan berjalan cepat menjauhi basement. Setidaknya dengan mata kepalanya sendiri ia bisa melihat Seungcheol memang mencintai Jeonghan.
Setidaknya Wonwoo tahu bahwa sekalipun Mingyu kini mempertahankan dirinya untuk tetap bersama lelaki itu, ia sedikit lega karena Seungcheol sudah dapat membahagiakan Jeonghan.
Ia hanya berharap semunya jauh lebih mudah ke depannya. Entah apa yang akan terjadi tapi ia hanya ingin semuanya bahagia.
"Jeonghan ke mana?" tanya Wonwoo pada Minghao. Wajar ia bertanya karena pagi itu ia datang terlambat dan tidak berani masuk ke kelas karena dosen yang mengajar mata kuliah tersebut terkenal galak sekali. Jadi, dia memilih menunggu di perpustakaan sembari menyelesaikan skripsi.
"Ke klinik. Dia mules. Kayanya mens hari pertama," jawab Minghao. "Minta obat ke Suster Maria."
"Kasian banget," iba Wonwoo. "Gue susul deh ya. Siapa tau dia juga mau dibeliin makanan atau apa gitu."
"Iya, Darl. Lo samperin deh. Kasian dia," saut Joshua yang baru saja datang ke kantin siang itu. Wonwoo meraih ponselnya dan berjalan menuju klinik kampus mereka. Untung saja klinik posisinya tidak begitu jauh dari kantin sehingga Wonwoo tidak perlu capek-capek berjalan. Lagipula panas sekali siang itu.
Ketika kakinya hampir memasuki klinik, ia mendengar suara aneh dari dalam sana. Suara lenguhan perempuan dan juga suara lain seperti suara laki-laki yang bergumam. Wonwoo mengernyit dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
Sebagai perempuan dewasa, ia tahu itu suara apa. Ia tahu betul itu suara dari dua orang yang tengah bersetubuh. Dada Wonwoo berdegup keras seiring dengan kakinya melangkah masuk ke dalam klinik dengan perlahan. Ia tidak mau kedatangannya disadari siapapun.
Semua ranjang di sana kosong. Tetapi, ada satu ranjang di ujung sana yang gordennya tertutup dan bayang jelas seorang wanita terlihat samar dari balik gorden. Wonwoo melangkah lebih dekat dan mencoba melihat dari jarak dekat. Beruntungnya, gorden itu tidak tertutup sempurna.
Apa yang ia lihat saat ini tidak pernah ia bayangkan. Matanya merekam dengan jelas bagaimana kedua sahabatnya yang terkenal akan kedekatannya saling mencumbu dan memberik kenikmatan. Jeonghan yang duduk di atas ranjang menutup matanya, menikmati bagaimana dada besarnya dihisap dan dimainkan lelaki yang duduk di sampingnya.
Lelaki yang Wonwoo tahu siapa. Lelaki yang sudah ia anggap kaka laki-lakinya sendiri.
"Seungcheol.... jangan digigit, sayang," lenguh Jeonghan. Seungcheol tersenyum dan menarik wajah Jeonghan untuk ia cium. Wonwoo juga dapat melihat bagaimana tangan Jeonghan mengocok penis Seungcheol yang sudah tegak di bawah sana.
"Aku mau keluar, sayang," ujar Seungcheol dengan susah payah. Wonwoo tersadar dan melangkahkan kakinya menjauh dari dua orang yang saling menuntaskan hasrat siang itu.
Jantungnya berdegup lebih cepat, ia tak pernah membayangkan jika kedua sahabatnya hampir bersetubuh siang itu di klinik.
· ─ ·𖥸· ─ · ·
to be continue..