Chapter Text
Konon, semuanya bermula dari seorang pangeran.
Bukan pangeran biasa — melainkan pangeran yang keemasannya berasal dari titisan dewa, yang lahir sebagai omega di bawah cahaya matahari, dicintai para dewa, namun terbelenggu oleh harapan mereka. Seorang yang tubuhnya ditempa untuk keagungan, jiwanya dipahat untuk tahta. Namanya berhembus bersama angin: Achilles dari Phthia.
Lalu ia menghilang.
Suatu pagi, istana terbangun dengan ranjang yang kosong, sepreinya dingin tak berpenghuni. Tak ada kabar. Tak ada jejak. Hanya keheningan — seperti sunyi sebelum badai. Mereka berkata, ia telah diculik. Ada yang berkata dengan paksa. Ada pula yang berkata karena cinta.
Kebenarannya, seperti kebanyakan legenda, tak sesederhana itu.
Yang mencurinya bukan bangsawan. Bukan pahlawan. Hanya seorang asing tanpa nama, tanpa darah biru, tanpa emas. Seorang pencuri, kata mereka. Seorang pengembara yang tak punya apa-apa selain lidah yang tajam dan tangan yang gemetar saat menyentuh wujud ilahi.
Mereka bertemu bukan di medan perang, melainkan di balik bayang. Mereka tidak menari di balairung, tapi di atas debu. Namun di antara mereka tumbuh sesuatu yang tak bisa dinamai — bukan takdir, bukan pula pemberontakan, tapi sesuatu yang purba. Lebih tua dari peperangan. Lebih tua dari aturan.
Pangeran itu pergi — atau dibawa. Dan bersama, mereka berjalan melewati hutan dan api, lapar dan tawa. Bersama mereka mengalahkan manusia dan perasaan. Bersama mereka berbaring di sisi sungai dan menyebut nama satu sama lain seperti doa.
Saat mereka ditemukan, sang pangeran tak mau dilepaskan. Bahkan saat pasukan datang. Bahkan saat mahkota ditawarkan kembali.
Maka lahirlah sebuah kisah — tentang pangeran yang memilih cinta daripada tahta, yang membiarkan dirinya dicuri bukan karena lemah, tapi karena bebas. Tentang seorang pencuri yang menjadi lebih dari sekadar mitos. Tentang dua laki-laki yang menghancurkan hukum dunia dan menciptakan hukum mereka sendiri.
Dan dari kisah mereka, lahirlah sebuah adat. Sebuah upacara.
Mereka menyebutnya "Penculikan".
Gema dari pencurian suci itu — ketika satu orang mencuri yang ia cintai, bukan karena malu, tapi sebagai janji. Sebuah cara untuk berkata, “Meskipun dunia menolak kita, aku memilihmu.”
Kini, di desa yang sunyi dan kota yang resah, ada yang masih melakukannya. Sebuah selendang di jendela. Sebuah nyanyian di bawah nyala obor. Sebuah perjalanan dalam gelap, bergandengan tangan, seperti masa dahulu.
Mereka berkata, semuanya bermula dari seorang pangeran.
Tapi mereka yang benar-benar mengingat... tahu bahwa semuanya bermula dari cinta.